Anda di halaman 1dari 16

7 BAB I

PENDAHULUAN
Uretra merupakan bagian terpenting dari saluran kemih. Pada pria dan wanita,
uretra mempunyai fungsi utama untuk mengalirkan urin keluar dari tubuh. Saluran
uretra juga penting dalam proses ejakulasi semen dari saluran reproduksi pria.
Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya
jaringan fibrotik pada dinding uretra. Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam
berkemih, mulai dari aliran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat
mengalirkan urin keluar dari tubuh.
Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena uretra
pada wanita lebih pendek. Segala sesuatu yang melukai uretra dapat menyebabkan
striktur.

zzzz

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI URETRA PRIA


Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna di bagian bulibuli sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi.
Uretra pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior.

Gambar 1. Anatomi Uretra Pria


A. Uretra Bagian Anterior
Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inci). Saluran ini dimulai
dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior ini berupa
tabung yang lurus, terletak bebas di luar tubuh, sehingga kalau memerlukan operasi
atau reparasi relatif mudah.
2

Uretra bagian anterior terbagi menjadi:


a. Pars bulbaris : terletak di proksimal, merupakan bagian uretra
yang melewati bulbus penis
b. Pars pendulum/cavernosum : dengan panjang
sekitar 15 cm, berjalan melalui penis (juga
berfungsi sebagai transport semen)
c. Pars glandis : bagian uretra di gland penis. Uretra ini sangat
pendek dan epitelnya berupa squamosa

B. Uretra Bagian Posterior


Uretra posterior dikelilingi oleh kelenjar prostat yang dinamakan uretra
prostatika dengan panjang kurang lebih 2,5 cm. Bagian selanjutnya adalah uretra
membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua bagian uretra, yakni
sekitar 2 cm dan sifatnya sukar untuk dilatasi serta pada bagian ini terdapat otot yang
membentuk sfingter. Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan kemih
dan berhenti pada waku berkemih. Uretra membranacea terdapat di bawah dan di
belakang simfisis pubis, sehingga trauma pada simfisis pubis dapat mencederai uretra
membranasea.

2. DEFINISI
Striktur uretra adalah penyempitan atau penyumbatan lumen uretra akibat
adanya jaringan fibrotik pada uretra dan/atau daerah peri uretra, yang pada tingkat
lanjut dapat menyebabkan fibrosis pada korpus spongiosum. Penyakit ini lebih
banyak terjadi pada pria daripada wanita karena adanya perbedaan panjang uretra.
Uretra pria dewasa berkisar antara 23-25 cm, sedangkan uretra wanita sekitar 3-5 cm.

3. ETIOLOGI
Striktur uretra dapat terjadi pada:
1. Kelainan Kongenital
Hal ini jarang terjadi. Misalnya: Meatus kecil pada
meatus

ektopik

pada

pasien

hipospodia.

Divertikula

kongenital juga merupakan penyebab terjadinya proses


striktura uretra.
2. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia
3. Trauma
Fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars membranasea, trauma
tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang mengenai uretra pars
bulbosa, trauma langsung pada penis, instrumentasi transuretra yang kurang
hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter
yang salah, bahkan pemasangan kateter yang terlalu lama. Selain itu juga
dapat dikarenakan tindakan endoskopi untuk melihat traktus urinarius yang
merusak jaringan di uretra.
4.

Post Operasi
Beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur
uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.

5.

Infeksi
Merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra,
seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis
gonorrhoika ataupun non gonorrhoika, terutama yang terjadi secara berulang.

6. Tumor

Tumor bisa menyebabkan striktura melalui dua cara, yaitu


proses penyembuhan tumor yang menyebabkan striktura uretra,
ataupun tumor itu sendiri yang mengakibatkan sumbatan uretra.

4. PATOFISIOLOGI
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan
mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal.
Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna
epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.
Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan secara
epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat)
yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas
dan memperkecil lumen uretra, sehingga terjadi striktur uretra.
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada uretra. Jaringan parut ini berisi kolagen dan
fibroblas, dan ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi ke seluruh
ruang pada lumen dan menyebabkan pengecilan diameter uretra, sehingga
menimbulkan hambatan aliran urine. Karena adanya hambatan, aliran urine mencari
jalan keluar di tempat lain dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Karena
7uiuekstravasasi urine, daerah tersebut akan rentan terjadi infeksi akan menimbulkan
abses periuretra yang kemudian bias membentuk fistula uretrokutan (timbul
hubungan uretra dan kulit).

5.

DERAJAT PENYEMPITAN URETRA


Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi

tiga tingkatan:
1. Ringan, jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra

2. Sedang, jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan diameter lumen uretra
3. Berat, jika terdapat oklusi lebih besar dari diameter lumen uretra
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus
spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

Gambar 2. Derajat Penyempitan Uretra

6. GEJALA KLINIS
Gejala penyakit ini mirip seperti gejala penyebab retensi urine tipe
obstruktif lainnya. Diawali dengan sulit kencing atau pasien harus mengejan
untuk memulai kencing namun urine hanya keluar sedikit-sedikit. Gejala
tersebut harus dibedakan dengan inkontinensia overflow, yaitu keluarnya
urine secara menetes, tanpa disadari, atau tidak mampu ditahan pasien.
Gejala-gejala lain yang harus ditanyakan ke pasien adalah adanya disuria,
frekuensi kencing meningkat, hematuria dan perasaan sangat ingin kencing
yang terasa sakit. Jika curiga penyebabnya adalah infeksi, perlu ditanyakan
adanya tanda-tanda radang seperti demam atau keluar nanah. Selain itu, bisa
juga disertai pembengkakan/abses di daerah perineum dan skrotum, serta bila

terjadi infeksi sistematik juga timbul panas badan, menggigil, dan kencing
berwarna keruh.
7. PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
A. Anamnesa
Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari
penyebab striktur uretra.
B. Pemeriksaan Fisik Generalis dan Lokalis
Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra,
infiltrat, abses atau fistula.
2. Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium
-

Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi

Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal

B. Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan
pancaran urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan
lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal adalah 20 ml/detik.
Bila kecepatan pancaran kurang dari 10 ml/detik menandakan ada obstruksi.
C. Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak
penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih
lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar
sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari
buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang

striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau


operasi.

Penggunaan

ultrasonografi

(USG)

cukup

berguna

dalam

mengevaluasi striktur pada pars bulbosa. Dengan alat ini kita juga bisa
mengevaluasi panjang striktur dan derajat luas jaringan parut, contohnya
spongiofibrosis.
D. Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan
memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan
kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli-buli.
Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya
penyempitan lumen uretra.
E. Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika
diketemukan adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna
(sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.

8. DIAGNOSIS
Diagnosis striktur uretra dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis pasti striktur uretra didapat dari pemeriksaan radiologi, tentukan
lokasi dan panjang striktur serta derajat penyempitan dari lumen uretra.

9. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen,
tidak hanya sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung
pada lokasi striktur, panjang/pendek striktur dan kedaruratannya. Contohnya,
jika pasien datang dengan retensi urine akut, secepatnya lakukan sistostomi

suprapubik untuk mengeluarkan urine dari buli-buli. Sistostomi adalah


tindakan operasi dengan membuat jalan antara buli-buli dan dinding perut
anterior. Jika dijumpai abses periuretra, lakukan insisi untuk mengeluarkan
nanah dan berikan antibiotika. Jika lokasi striktur di uretra pars bulbosa
dimana terdapat korpus spongiosum yang lebih tebal daripada di uretra pars
pedularis, maka angka kesuksesan prosedur uretrotomi akan lebih baik jika
dikerjakan di daerah tersebut.
Penanganan konvensional seperti uretrotomi atau dilatasi masih tetap
dilakukan, walaupun pengobatan ini rentan menimbulkan kekambuhan. Hasil
sebuah studi mengindikasikan 80% striktur yang ditangani dengan internal
uretrostomi mengalami kekambuhan dalam 5 tahun berikutnya. Pemasangan
stent adalah alternatif bagi pasien yang sering mengalami rekurensi striktur.
Namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadi komplikasi seperti
hiperplasia jaringan uretra sehingga menimbulkan obstruksi sekunder.
Beberapa pilihan terapi untuk striktur uretra adalah sebagai berikut:
1. Dilatasi Uretra
Ini merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam
penanganan striktur uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat
keparahan striktur masih rendah atau pasien yang kontra indikasi dengan
pembedahan. Dilatasi dilakukan dengan menggunakan balon kateter atau busi
logam dimasukan hati-hati ke dalam uretra untuk membuka daerah yang
menyempit. Pendarahan selama proses dilatasi harus dihindari karena itu
mengindikasikan terjadinya luka pada striktur yang akhirnya menimbulkan
striktur baru yang lebih berat. Hal inilah yang membuat angka kesuksesan
terapi menjadi rendah dan sering terjadi kekambuhan.
2. Uretrotomi Interna

Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan tindakan


insisi pada jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi menggunakan pisau
otis atau sasche. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktur total, sedangkan
pada striktur lebih berat pemotongan dikerjakan secara visual menggunakan
kamera fiberoptik dengan pisau sasche. Tujuan uretrotomi interna adalah
membuat jaringan epitel uretra yang tumbuh kembali di tempat yang
sebelumnya terdapat jaringan parut.
Jika tejadi proses epitelisasi sebelum kontraksi luka menyempitkan lumen,
uretrotomi interna dikatakan berhasil. Namun jika kontraksi luka lebih dulu
terjadi dari epitelisasi jaringan, maka striktur akan muncul kembali. Angka
kesuksesan jangka pendek terapi ini cukup tinggi, namun dalam 5 tahun angka
kekambuhannya mencapai 80%. Selain timbulnya striktur baru, komplikasi
uretrotomi interna adalah pendarahan yang berkaitan dengan ereksi, sesaat
setelah prosedur dikerjakan, sepsis, inkontinensia urine, dan disfungsi ereksi.
3. Pemasangan Stent
Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah striktur. Stent
biasanya dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. Ada dua jenis stent
yang tersedia, stent sementara dan permanen. Stent permanen cocok untuk
striktur uretra pars bulbosa dengan minimal spongiofibrosis. Biasanya
digunakan oleh orang tua, yang tidak fit menjalani prosedur operasi. Namun
stent permanen juga memiliki kontra indikasi terhadap pasien yang
sebelumnya menjalani uretroplasti substitusi dan pasien straddle injury
dengan spongiosis yang dalam. Angka rekurensi striktur bervariasi dari 40%80% dalam satu tahun. Komplikasi sering terjadi adalah rasa tidak nyaman di
daerah perineum, diikuti nyeri saat ereksi dan kekambuhan striktur.
4. Uretroplasti

10

Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra, namun


masih jarang dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang menguasai
teknik bedah ini. Sebuah studi memperlihatkan bahwa uretroplasti
dipertimbangkan sebagai teknik bedah dengan tingkat invasif minimal dan
lebih efisien daripada uretrotomi. Uretroplasti adalah rekonstruksi uretra
terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis. Ada dua jenis uretroplasti yaitu
uretroplasti anastomosis dan substitusi.
Uretroplasti anastomosis dilakukan dengan eksisi bagian striktur kemudian
uretra diperbaiki dengan mencangkok jaringan atau flap dari jaringan sekitar.
Teknik ini sangat tepat untuk striktur uretra pars bulbosa dengan panjang
striktur 1-2 cm. Uretroplasti substitusi adalah mencangkok jaringan striktur
yang dibedah dengan jaringan mukosa bibir, mukosa kelamin, atau preputium.
Ini dilakukan dengan graft, yaitu pemindahan organ atau jaringan ke bagian
tubuh lain, dimana sangat bergantung dari suplai darah pasien untuk dapat
bertahan. Proses graft terdiri dari dua tahap, yaitu imbibisi dan inoskulasi.
Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh darah paien dalam 48 jam
pertama. Setelah itu diikuti tahap inoskulasi dimana terjadi vaskularisasi graft
oleh pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang bisa digunakan adalah
buccal mucosal graft, full thickness skin graft, bladder epithelial graft, dan
rectal mucosal graft. Dari semua graft diatas yang paling disukai adalah
buccal mucosal graft atau jaringan mukosa bibir, karena jaringan tersebut
memiliki epitel tebal elastis, resisten terhadap infeksi, dan banyak terdapat
pembuluh darah lamina propria. Tempat asal dari graft ini juga cepat sembuh
dan jarang mengalami komplikasi. Angka kesuksesan sangat tinggi mencapai
87%. Namun infeksi saluran kemih, fistula uretrokutan dan chordee bisa
terjadi sebagai komplikasi pasca operasi.
5. Prosedur Rekonstruksi Multiple

11

Adalah suatu tindakan bedah dengan membuat saluran uretra di perineum.


Indikasi prosedur ini adalah ketidakmampuan mencapai panjang uretra, bisa
karena fibrosis hasil operasi sebelumnya atau teknik substitusi tidak bisa
dikerjakan. Ketika terjadi infeksi dan proses radang aktif sehingga teknik graft
tidak bisa dikerjakan, prosedur ini bisa menjadi pilihan operasi. Rekonstruksi
multiple memang memerlukan anestesi yang lebih banyak dan menambah
lama rawat inap pasien, namun berguna bila pasien kontra indikasi terhadap
teknik lain.

10. KOMPLIKASI
A. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel
Pada striktur uretra kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat, maka otot
kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat kemudian
akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal
terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi
timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah
penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan
divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan
mukosa keluar buli-buli tanpa dinding otot.
B. Residu urine
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak
timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah
keadaan dimana setelah BAK masih ada urine dalam kandung kemih. Dalam
keadaan normal residu ini tidak ada.
C. Refluks vesiko ureteral

12

Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-buli
melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang
meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli
akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.
D. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh
mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat
mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi
maka akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah terkena infeksi.Adanya
kuman yang berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul
pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan
segala akibatnya.
E. Infiltrat urine, abses dan fistulasi
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa
timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine
yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat
urine, kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul
fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.

11. PENCEGAHAN
-

Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis

Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan kateter

Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi penyakit


menular seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada satu pasangan
dan memakai kondom

13

Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti


infeksi dan gagal ginjal.

12. PROGNOSIS
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani
pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika
setelah dilakukan observasi selama 1 tahun tidak menunjukkan tanda-tanda
kekambuhan. Setiap pasien kontrol berkala dilakukan pemeriksaan pancaran
urine yang langsung dilihat oleh dokter atau dengan pemeriksaan
uroflowmetri. Untuk mencegah terjadinya kekambuhan, sering kali pasien
harus menjalani beberapa tindakan, antara lain dilatasi berkala dengan busi
dan kateterisasi bersih mandiri berkala (KBMB) atau CIC (clean intermitten
catheterization), yaitu pasien dianjurkan melakukan kateterisasi secara
periodik pada waktu tertentu dengan kateter yang bersih (tidak perlu steril).

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo Basuki B. Striktura uretra, dalam: Dasar-dasar UROLOGI. Ed 2. CV.


Sagung, Jakarta, 2003. p. 153-6.
2. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Striktur Uretra, dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Ed. Revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1996. p. 1018-19.
3. Cook J, Sankaran B, Wasunna A.E.O. Uretra Pria, dalam: Penatalaksanaan Bedah
Umum di Rumah Sakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1995. p. 165-6.
4. Rochani. Striktur Urethra, dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Binarupa Aksara,
Jakarta, 1995. p. 152-6.
5. Santucci RA, Joyce GF, Wise M. Male urethral stricture disease. Journal of
Urology 2007; 177(5):166774.
6. Lumen N, Hoebeke P,Willemsen P, De Troyer B, Pieters R, Oosterlinck W.
Etiology of urethral stricture disease in the 21st century. Journal of Urology
2009;182(3):9837.
7. Anthony R, Mundy, Andrich DE. Urethrical Strictures. BJU International 2010;
107:6-26.

15

16

Anda mungkin juga menyukai