Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Gangguan menentang oposisional adalah salah satu grup gangguan perilaku yang

disebut gangguan perilaku disruptif. Gangguan menentang oposisional didefinisikan


sebagai pola dari ketidakpatuhan dan perilaku suka menantang terhadap figure
otoritas. Ciri-ciri yang muncul pada anak adalah sangat keras kepala dan sering
marah. Gangguan ini ditandai dengan anak yang terus-menerus marah dan sulit
dikontrol. Gangguan menentang oposisional diperkenalkan sebagai diagnosis yang
terpisah di DSM-III. 1,2
Estimasi prevalensi gangguan menetang oposisional bervariasi tergantung pada
opulasi, kriteria diagnostik, periode, dan yang memberikan informasi. Survei yang
terbaru menggunakan kriteria DSM-IV telah memperlihatkan hasil sekitar 5% anakanak berumur 6 hingga 18 tahun memenuhi kriteria DSM-IV untuk gangguan
menentang oposisional.3
Kemampuan anak-anak untuk mengkomunikasikan keinginannya dan menentang
keinginan orang lain sangat penting untuk perkembangan yang normal untuk
memantapkan autonomi, membentuk identitas, dan mengatur standar serta kontrol.
Patologi dimulai ketika fase perkembangan berkembang secara abnormal, figure
autoritas bereaksi secara berlebihan, atau perilaku oposisional terjadi lagi beberapa
kali daripada kebanyakan anak di usia mental yang sama.4
1.2.
Tujuan
Tujuan pembuatan refarat ini adalah untuk lebih mengerti dan memahami
tentang gangguan menentang oposisional dan untuk memenuhi persyaratan dalam
megikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Rumah Sakit Jiwa Provsu,
Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Universitas Sumatera Utara.
1.3.

Manfaat
Refarat ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca

khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umum agar dapat

lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai gangguan menentang


oposisional.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Nasofaring
2.1 Definisi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring(KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima, 2006
dan Nasional Cancer Institute, 2009).
2.2 Epidemiologi
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di
bawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 54 tahun. Laki-laki lebih banyak

dari wanita dengan perbandingan antara 2 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum


dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika
Serikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 (Nasional Cancer Institute, 2009).
Disebahagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu
15-30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan
Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun. Insiden
tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara
lain. Hal ini menunjukkan sebuah kecenderungan untuk penyakit ini apabila
dikombinasikan dengan lingkungan pemicu (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002
dan Nasional Cancer Institute, 2009).
Di Indonesia, KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang
terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung dan
Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF
(Nasir, 2009). Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi
4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun (Punagi,2007). Dari
data laporan profil KNF di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin Makassar ,periode Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari
keganasan di bidang THT adalah KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun
2002 -2007 ditemukan 684 penderita KNF.
2.3 Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin
mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF adalah:
1. Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat
tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis
korelasi menunjukkan gen HLA (humanleukocyte antigen) dan gen pengkode

enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan


terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar
karsinoma nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir, 2009) .
2. Infeksi Virus Eipstein-Barr
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma
nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasienpasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder
telah dibuktikan mengandung antibody IgG terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB
dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA
(VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien
di Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini
berhubungan dengan karsinoma nasofaring tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan
karsinoma nasofaring non-keratinisasi (non-keratinizing) yang aktif (dengan
mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel skuamosa atau
elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasir, 2009 dan Nasional Cancer Institute,
2009).
3. Faktor Lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan
timbulnya

karsinoma

nasofaring

yaitu

golongan

Nitrosamin,

diantaranya

dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik,


diantaranya nikel sulfat (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2009).
2.4 Klasifikasi & Histopatologi
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi
tipe 1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran histologinya
karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang dan sebagian

lainnya dengan sel yang lebih ke arah diferensiasi baik, tipe 3 karsinoma tanpa
diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas membentuk sinsitial dengan batas
sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa
keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer
antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa
dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan
dengan virus Epstein-Barr (Roezin, Anida, 2007dan Nasir, 2009).
2.5 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring
2.5.1 Gejala Dini
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin,Anida, 2007).
Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien
mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga
tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut
yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan
terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya
terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran (Roezin,
Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh
sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau
mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu,
sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga
hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai
dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini
bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada

infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering
terjadi pada anak yang sedang menderita radang (Roezin, Anida, 2007 dan National
Cancer Institute, 2009 ).
2.5.2 Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5
sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan
pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke
bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering
diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus
kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan
sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran
kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter (Nutrisno, Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009).
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah
rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak
dan menyebabkan ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah
wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran
serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat
penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot
rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi
tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua
sisi tubuh (Arima, 2006 dan Nur lita, 2009).
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama
aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal
ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini
terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Pandi, 1983 dan
Arima, 2006).

2.6 Stadium Karsinoma Nasofaring


2.6.1 T = Tumor
Tumor Primer (T)
TX - tumor primer tidak dapat dinilai
T0 - Tidak ada bukti tumor primer
Tis - Karsinoma in situ
T1 - Tumor terbatas pada nasofaring yang
T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan / atau hidung fosa
T2a - Tanpa ekstensi parafaring
T2b - Dengan perpanjangan parafaring
T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal
T4 - Tumor dengan ekstensi intrakranial dan atau keterlibatan SSP, fosa
infratemporal, hypopharynx, atau orbit (Roezin,Anida, 2007 dan National Cancer
Institute,2009).
2.6.2 N = Nodule
N Pembesaran kelenjar getah bening regional (KGB).
N0 - Tidak ada pembesaran.
N1 - Terdapat metastesis unilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm merupakan
ukuran terbesar diatas fossa supraklavikular
N2 - Terdapat metastesis bilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm merupakan
ukuran terbesar diatas fossa supraklavikular
N3 - Terdapat metastesis
N3.a- KGB dengan ukuran kurang dari 6cm
N3.b- KGB diatas fossa supraklavikular (Roezin,Anida, 2007 dan National Cancer
Institute, 2009).

2.6.3 M = Metastasis
Mx = Adanya Metastesis jauh yang tidak ditentukan.
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh (Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute,
2009).
2.6.4 Stadium
Stadium 0 Tis, n0, M0
StadiumI - T1, n0, M0
Stadium IIA - T2a, n0, M0
Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0),(T2a, N1, M0 ),( T2b, N0, M0)
Stadium III - ( T1, N2, M0 ),(T2a, N2, M0),( T2b, N2, M0),( T3, N0, M0),
(T3,N1,M0),( T3, N2, M0)
Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0),( T4, N2, M0)
Stadium IVB - Setiap T, N3, M0
Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1 (Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer
Institute, 2009).
2.7 Diagnosis
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan
daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak
akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior,
lateral dan Waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar
tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media.
Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain -lain dilakukan untuk mendeteksi
metastasis (Nasir,2008).
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat


dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung
dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi dimasukkan
melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy (Krishnakat, Samir, 2002 dan Nasir, 2008).
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga
dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan
melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan
melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring
umumnya dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%.Bila dengan cara ini
masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan
kuret daerah lateral nasofaring dalam nakrosis. Endoskopi dapat membantu dokter
untuk melihat bagian dalam tubuh dengan hanya menggunakan thin,fexible tube.
Pasien disedasi semasa tuba dimasukkan melalui mulut ataupun hidung untuk
menguji area kepala ataupun leher. Apabila endoskopi telah digunakan untuk melihat
naso faring, disebut nasofaringoskopi (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).
2.8 Terapi bagi Karsinoma Nasofaring
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan
ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai
terpai adjuvant (tambahan) ( Roezin, Anida, 2007 National Cancer Institute, 2009).
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil

10

saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.
Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan
epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan
mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang
bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan
kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Fuda Cancer Hospital Guangzhou,
2002 dan Arisandi, 2008).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di
leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk
(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi (Roezin, Anida, 2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.
Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor
sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk
makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba
memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air
liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah
leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu
makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual ( Roezin,Anida, 2007).
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap
dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul
metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua
keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain
pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya
meninggal dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring

11

yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis
tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Roezin, Anida, 2007).
2.9 Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan
lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif
daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan
hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila
dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus
berkeratinasi. Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti stadium yang
lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan dan ras Cina
daripada ras kulit putih (Arima, 2006) .
2.10 Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme,
fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan
gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat
terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism
dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin
terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi
pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko
untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi
langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Maqbook,
2000 dan Nasir, 2009).
2.11 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan

12

risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara
memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya. Penyuluhan mengenai lingku ngan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinankemungkinan faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA
dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini
(Tirtaamijaya, 2009).

Anda mungkin juga menyukai