Anda di halaman 1dari 16

GIZI PADA LANSIA

Pembimbing:
Sri Lestari, SP

Disusun oleh:
Wiraharto
090100034

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/


ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN/
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat kami selesaikan tepat pada
waktunya.
Pada kesempatan ini, kami menyajikan makalah dengan judul Gizi pada
Lansia. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas

ii

kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas


Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada ibu Sri Lestari, SP atas kesediaan beliau sebagai
pembimbing dalam penulisan makalah ini. Besar harapan, melalui makalah ini,
pengetahuan dan pemahaman kita akan semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan makalah ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai
pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga
makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya kesehatan.
Medan, 06 Februari 2014

Penulis

iii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB I

BAB II

PENDAHULUAN........................................................................

1.1.
1.2.
1.3.

Latar Belakang..............................................................
Tujuan............................................................................
Manfaat..........................................................................

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA...............................................................

2.1. Lansia...................................................................................... 3
2.2. Peran Nutrisi dalam Pencegahan Penyakit............................. 3
2.3. Perubahan Fisiologis Tubuh pada Lansia............................... 4
2.3.1. Komposisi Tubuh............................................................ 4
2.3.2. Hilangnya Kemampuan Sensorik.................................... 6
2.3.3. Kesehatan Oral................................................................ 6
2.3.4. Sistem Gastrointestinal.................................................... 7
2.3.5. Sistem Kardiovaskuler.................................................... 7
2.4. Kebutuhan Nutrisi pada Lansia............................................... 8
2.4.1. Karbohidrat..................................................................... 8
2.4.2. Lemak.............................................................................. 8
2.4.3. Protein............................................................................. 9
2.4.4. Cairan.............................................................................. 9
2.4.5. Vitamin dan Mineral....................................................... 10
BAB III KESIMPULAN............................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 13

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Malnutrisi merupakan salah satu masalah yang cukup sering menjadi

fokus perhatian dalam masyarakat. Malnutrisi dapat disebabkan oleh karena


kurangnya asupan makanan, peningkatan kebutuhan energi dalam tubuh, dan juga
proses ekskresi yang meningkat. Nutrisi sangat diperlukan sebagai sumber energi
dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan untuk mempertahankan homeostasis
tubuh.
Data penduduk yang diperoleh dari biro sensus penduduk di Amerika
Serikat pada tahun 2005 menyatakan jumlah penduduk berusia 65 tahun dan lebih
adalah sekitar 35 juta penduduk, pada tahun 2010 mencapai 40,2 juta penduduk
dan pada tahun 2030 diperkirakan akan mencapai sekitar 72 juta penduduk1.
Badan Pusat Statistik di Indonesia pada tahun 2005 menyatakan bahwa
jumlah penduduk lansia di Indonesia adalah sebanyak 10.095.038 penduduk
(4,62%)2 dengan usia harapan hidup (UUH) sebesar 70 tahun. Jumlah penduduk
lansia tersebut dapat dikelompokkan menjadi penduduk yang berusia 65-69 tahun
sejumlah 4.183.147 penduduk (1,92%), 70-74 tahun sejumlah 3.040.404
penduduk (1,39%), dan usia 75 tahun ke atas sejumlah 2.871.487 penduduk
(1,31%). Pada tahun 2006, UUH Indonesia adalah 70,2 tahun, dan mengalami
sedikit peningkatan pada tahun 2007 menjadi usia 70,4 tahun. Prevalensi gizi
buruk pada lansia di Indonesia pada tahun 2001 adalah sebesar 11,56%,
sedangkan prevalensi gizi lebih adalah sebesar 8,11%3.

1.2.

Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan
memahami tentang gizi pada lansia dan untuk memenuhi persyaratan dalam
mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
1.3.

Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan

pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara
umumnya agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai gizi
pada lansia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Lansia4
Menurut biro sensus Amerika Serikat, lansia dapat didefinisikan sebagai

2.1.

orang yang telah mencapai usia 65 tahun atau lebih. Lansia dapat diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok usia 65-74 tahun dikategorikan sebagai
young old, 75-84 tahun dikategorikan sebagai old, dan 85 tahun atau lebih
dikategorikan sebagai oldest old4.
Peran Nutrisi dalam Pencegahan Penyakit4,5,6,7
Nutrisi dapat berperan dalam mencegah timbulnya suatu penyakit,

2.2.

terutama pada usia lanjut. Pada orang lanjut usia, nutrisi bukan hanya
diaplikasikan dalam terapi nutrisi medis, namun juga dapat dijadikan untuk
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Ada 3 peran nutrisi dalam
pencegahan penyakit, yaitu sebagai berikut:
1. Pencegahan Primer
Nutrisi sebagai pencegahan penyakit primer artinya nutrisi memiliki
peran sebagai promoter kesehatan dan pencegahan penyakit. Dalam hal
ini, nutrisi berperan sebelum seseorang menderita suatu penyakit. Dengan
kata lain, konsumsi nutrisi yang tepat dan proporsional dapat
mempertahankan

kesehatan

tubuh,

sehingga

kemungkinan

untuk

menderita suatu penyakit lebih rendah. Hal ini merupakan langkah pertama
dalam meningkatkan kesehatan pada lansia.
2. Pencegahan sekunder
Nutrisi sebagai pencegahan penyakit sekunder artinya nutrisi memiliki
peran untuk mengurangi risiko dan memperlambat progresivitas penyakit
kronis yang berhubungan dengan nutrisi. Dalam hal ini, nutrisi memegang
peran penting dalam menjaga dan mempertahankan fungsi tubuh dan
kualitas hidup penderita. Pada lansia, fungsi organ tubuh sudah mulai
menurun, sehingga sering menyebabkan ketergantungan terhadap orang
lain dan kecacatan. Penyakit-penyakit kronis degeneratif, seperti penyakit
jantung koroner, diabetes, dan osteoporosis, sangat mempengaruhi fungsi
tubuh dan kualitas hidup. Fungsi tubuh sangat dipengaruhi oleh pola

makan dan nutrisi,. Untuk mempertahankan fungsi tubuh yang bagus,


disarankan untuk mengonsumsi berbagai variasi makanan sehat.
3. Pencegahan tersier
Nutrisi sebagai pencegahan penyakit tersier artinya nutrisi memiliki
peran dalam terapi nutrisi medis pada penyakit tertentu. Dalam hal ini, ahli
gizi juga berperan dalam manajemen penyakit dan merencanakan
pemulangan pasien.
2.3.

Perubahan Fisiologis Tubuh pada Lansia


Penuaan merupakan proses biologis normal yang terjadi pada semua

manusia. Penuaan berlangsung seiring berjalannya waktu. Proses penuaan selalu


terjadi bersamaan dengan penurunan fungsi sistem tubuh. Proses pertumbuhan
tubuh terjadi hingga usia sekitar 30 tahun, dan proses penuaan dimulai pada usia
tersebut.
2.3.1. Komposisi Tubuh
Komposisi tubuh pada lansia berbeda dengan usia muda. Perubahan
komposisi tubuh berlangsung secara lambat dan progresif sesuai dengan proses
penuaan. Komposisi lemak tubuh dan lemak viseral meningkat, sedangkan massa
otot berkurang pada lansia. Sarkopenia berasal dari bahasa Yunani sarx yang
berarti otot/daging dan penia yang berarti hilang/berkurang 5. Sarkopenia
adalah suatu sindrom yang ditandai dengan penurunan massa dan berkurangnya
kekuatan otot rangka yang bersifat progresif dan menyeluruh yang dapat
menyebabkan gangguan fisik, kualitas hidup yang jelek, dan kematian6.
Berkurangnya massa otot akan mengakibatkan berkurangnya fungsi serta
kekuatan otot. Dampaknya bagi lansia sangat besar, terutama menurunkan
mobilitas lansia, meningkatkan risiko jatuh, dan juga mempengaruhi kecepatan
metabolisme tubuh. Meskipun sarkopenia merupakan proses yang normal, pada
lansia yang aktif melaksanakan aktivitas fisik, proses tersebut berlangsung secara
lambat, begitu juga sebaliknya, pada lansia yang kurang melaksanakan aktivitas
fisik, penurunan massa otot berlangsung lebih cepat.
Beberapa mekanisme terjadinya sarkopenia diantaranya termasuk sintesis
protein, proteolisis, integritas neuromuscular, dan komposisi lemak tubuh.
Sarkopenia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor endokrin, seperti kadar

kortikosteroid, growth hormone, insulin-like growth factor -1, fungsi tiroid, dan
resistensi insulin dapat menyebabkan sarkopenia. Kerusakan neuron motorik
akibat trauma maupun penyakit neurodegeneratif menyebabkan impuls untuk
menginisiasi gerakan tidak dapat dihantarkan pada serabut otot. Dengan demikian,
otot menjadi tidak berfungsi, dan jika dibiarkan lama kelamaan akan
menyebabkan penurunan massa otot akibat imobilitas dan inaktivitas fisik. Proses
ini dikenal dengan sebutan disuse atrophy6.
Pada usia 30-40 tahun, proses terjadinya sarkopenia mulai berlangsung,
dan proses ini bertambah cepat setelah mencapai usia 75 tahun. Obesitas
sarkopenik adalah istilah untuk menggambarkan penurunan massa otot rangka
yang disertai dengan massa jaringan lemak yang berlebihan. Pada kondisi seperti
keganasan, arthritis rheumatoid, dan proses penuaan, massa otot rangka akan
berkurang secara progresif, namun massa jaringan lemak hanya sedikit atau tidak
mengalami perubahan6. Sel-sel lemak (adiposit) secara aktif mensekresikan leptin
dan beberapa sitokin proinflamatorik yang kemudian akan menyebabkan
katabolisme jaringan otot. Penurunan massa otot rangka yang disertai dengan
beban tubuh yang berlebihan dapat meningkatkan risiko jatuh dan mengurangi
tingkat aktivitas fisik sehingga kemudian akan semakin mempercepat proses
sarkopenia. Penderita obesitas sarkopenik memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
menderita sindrom metabolik dibandingkan dengan yang hanya menderita
sarkopenia saja atau obesitas saja7.

2.3.2. Hilangnya Kemampuan Sensorik


Kehilangan kemampuan sensorik terjadi pada proses penuaan. Kehilangan
kemampuan sensorik dapat terjadi pada usia yang berbeda dan tingkat keparahan
yang berbeda. Proses penuaan dapat menyebabkan disgeusia, kehilangan sensasi
kecap, dan hiposmia, kehilangan sensasi cium. Kehilangan kemampuan sensorik
tersebut tidak hanya terjadi pada proses penuaan, namun dapat juga terjadi pada
beberapa keadaan, seperti trauma kepala, diabetes, hipertensi, serta penyakit
neurologis, termasuk Alzheimer dan Parkinson. Gigi yang rusak dan kebersihan

gigi dan hidung yang buruk serta merokok dapat menyebabkan kehilangan
kemampuan sensorik.
Pada proses penuaan, terjadi peningkatan ambang sensasi. Dengan kata
lain, dibutuhkan stimulasi yang lebih untuk dapat mencetuskan sensasi yang
seharusnya.

Contohnya,

pada

lansia

yang

mengalami

disgeusia,

ada

kecenderungan untuk menambahkan gula atau garam pada makanan yang akan
dikonsumsi. Hal ini dapat menyebabkan kadar gula dan garam pada makanan
yang dikonsumsi bertambah. Jika hal tersebut berlanjut dalam jangka waktu yang
lama, maka akan meningkatkan risiko untuk menderita diabetes maupun
hipertensi.
2.3.3. Kesehatan Oral
Kesehatan oral memegang peranan yang sangat penting dalam asupan
nutrisi. Rongga mulut merupakan tempat pertama untuk asupan nutrisi. Gangguan
gizi dapat terjadi jika kesehatan rongga mulut tidak baik. Gigi yang rusak, mulut
kering, maupun penggunaan gigi palsu dapat menyebabkan kesulitan dalam
mengunyah dan menelan makanan, terutama makanan yang padat. Individu
dengan gangguan-gangguan tersebut lebih menyukai makanan yang lembut dan
mudah dikunyah, serta cenderung menghindari makanan bergizi yang lebih padat,
seperti daging, buah-buahan dan sayur-sayuran, serta biji-bijian.

2.3.4. Sistem Gastrointestinal


Perubahan pada sistem gastrointestinal pada proses penuaan akan
mempengaruhi asupan serta penyerapan nutrisi. Kehilangan sensasi kecap dan
produksi saliva akan menyebabkan kesulitan dalam menelan makanan. Disfagia
yang disebabkan oleh karena kelemahan pada otot lidah dan pipi menyebabkan
kesulitan dalam mengunyah dan menelan. Atrofi mukosa lambung dapat
menyebabkan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan lambung dari
kerusakan yang disebabkan oleh makanan yang dapat mengiritasi lambung,
infeksi, maupun ulkus. Gastritis dapat memperlambat waktu pengosongan
lambung, serta menyebabkan inflamasi dan nyeri. Selain itu, atrofi mukosa
lambung juga dapat mengganggu proses penyerapan sari-sari makanan.

Aklorhidria adalah produksi asam lambung yang berkurang. Sekitar 30%


dari lansia mengalami aklorhidria. Asam lambung dan faktor intrinsik yang cukup
diperlukan dalam proses absorpsi vitamin B12. Risiko terjadinya diverikulosis
juga meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Gangguan tersebut dapat
menyebabkan nyeri perut bagian bawah dan diare. Konstipasi juga sering terjadi
pada lansia. Konstipasi dapat disebabkan oleh kurangnya asupan cairan dan
aktivitas fisik, serta rendahnya asupan serat. Konstipasi juga disebabkan oleh
waktu transit usus yang lama serta penggunaan obat-obat antiperistaltik.
2.3.5. Sistem Kardiovaskuler
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian di Amerika.
Perubahan pada sistem kardiovaskuler sangat bervariasi antar individu dan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk kebiasaan merokok,
olahraga, dan asupan nutrisi. Peran nutrisi pada sistem kardiovaskuler yang paling
utama adalah menjaga kadar lemak darah. Kadar kolesterol yang tinggi
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Banyak
penelitian telah menunjukkan bahwa penurunan kadar kolesterol darah serta
tekanan darah dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler.
2.4.

Kebutuhan Nutrisi pada Lansia


Kebutuhan energi pada lansia cenderung berkurang seiring dengan

bertambahnya usia. Hal ini disebabkan oleh karena kecepatan metabolik basal
tubuh yang dipengaruhi oleh fungsi tiroid serta komposisi tubuh lansia dimana
telah terjadi penurunan massa otot yang cukup signifikan. Kebutuhan energi
berkurang sekitar 1-2% setiap dekade 8. Kebutuhan energi dapat diperoleh dari 3
sumber energi utama, yaitu karbohidrat, lemak, dan protein.
2.4.1. Karbohidrat
Proporsi asupan karbohidrat yang dianjurkan pada lansia adalah sekitar 4565% dari jumlah energi total yang dikonsumsi setiap hari. Proporsi karbohidrat
cukup banyak karena karbohidrat merupakan sumber energi utama yang
diperlukan tubuh. Karbohidrat juga merupakan sumber energi paling utama

sebelum lemak dan protein digunakan4. Karbohidrat dapat diperoleh dari bijibijian, sayur, dan buah-buahan. Selain mengandung karbohidrat, sumber makanan
tersebut juga mengandung serat, yang sangat diperlukan untuk mencegah
terjadinya konstipasi, serta vitamin dan mineral. Asupan serat yang dianjurkan
pada lansia adalah sekitar 14 gram per 1000 kkal8.
2.4.2. Lemak
Proporsi asupan lemak yang dianjurkan pada lansia adalah sekitar 20-35%
dari total asupan kalori setiap hari. Jenis asam lemak yang utama harus
dikonsumsi adalah asam lemak tak jenuh rantai tunggal dan asam lemak tak jenuh
rantai ganda. Asam lemak jenuh yang dikonsumsi sebaiknya tidak melebihi 10%
dari total asupan kalori setiap hari. Pada lansia juga dianjurkan untuk
mengonsumsi kolesterol tidak melebihi 300mg per hari serta asupan asam lemak
trans seminimal mungkin. Pada lansia dengan kadar LDL yang meningkat, maka
dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang rendah lemak, serta asupan asam
lemak jenuh tidak boleh melampaui 7% dari total asupan kalori setiap hari, serta
konsumsi kolesterol di bawah 200mg per hari. Meskipun asupan lemak yang
berlebihan

pada

lansia

dapat

meningkatkan

risiko

terjadinya

kanker,

aterosklerosis, dan penyakit degeneratif lainnya, namun asupan lemak tidak boleh
dibatasi dalam jumlah yang sangat sedikit. Kekurangan asupan lemak juga dapat
menyebabkan defisiensi nutrisi dan kehilangan berat badan, yang merupakan
kedua hal yang menyebabkan risiko kesehatan yang buruk dibandingkan obesitas.
2.4.3. Protein
Proporsi asupan protein yang dianjurkan pada lansia adalah sekitar 1015% dari asupan total kalori setiap hari. Asupan protein pada lansia tidak jauh
berbeda dengan asupan protein pada usia muda. Protein cukup penting bagi lansia
untuk mempertahankan sistem imun tubuh, mencegah atrofi otot, dan
mengoptimalisasi massa tulang. Namun, bukan berarti asupan protein harus
ditingkatkan pada setiap lansia. Pada lansia yang menderita penyakit kronis,

terutama penyakit ginjal kronis, peningkatan asupan protein dapat memperberat


kerja ginjal.
Selain asupan energi yang berbeda pada lansia, asupan air, vitamin dan
mineral juga harus diperhatikan pada lansia.
2.4.4. Cairan
Komposisi cairan tubuh pada orang dewasa sekitar 60% dari berat badan.
Pada lansia, terjadi perubahan komposisi tubuh seperti peningkatan komposisi
jaringan lemak tubuh dan penurunan massa otot, serta perubahan komposisi cairan
tubuh dari 60% menjadi sekitar 50% dari berat badan. Keseimbangan cairan tubuh
harus tetap dipertahankan untuk menjaga keadaan fisiologis tubuh lansia tetap
baik. Lansia cenderung merasa sulit atau terganggu bila harus mengambil minum
dan sering buang air kecil, sehingga biasanya cenderung untuk mengurangi
asupan cairan. Dehidrasi pada lansia dapat terjadi apabila asupan cairan
berkurang, terjadi gangguan fungsi ginjal, dan pengeluaran cairan yang
berlebihan, misalnya karena penggunaan laksatif dan diuretik. Asupan cairan yang
dianjurkan adalah sekitar 1500ml per hari.
2.4.5. Vitamin dan Mineral
Asupan vitamin dan mineral lebih diutamakan daripada asupan energi pada
lansia. Dengan semakin bertambahnya usia, asupan kalori semakin dikurangi
namun asupan vitamin dan mineral semakin ditingkatkan. Vitamin yang penting
bagi lansia antara lain vitamin B12 dan vitamin D, sedangkan mineral yang
penting diperhatikan pada lansia antara lain natrium, kalium, serta kalsium.
Vitamin B12
Vitamin B12 diserap dengan bantuan dari faktor intrinsik yang dihasilkan di
lambung. Pada penderita gastritis atrofik, produksi faktor intrinsik berkurang,
sehingga vitamin B12 tidak dapat diserap. Proses penuaan juga dapat
menyebabkan penurunan produksi asam lambung sehingga mengganggu

10

penyerapan vitamin B12. Dampak paling utama pada defisiensi vitamin B12
adalah anemia dan gangguan neurologik. Asupan vitamin B12 yang dianjurkan
pada lansia sebaiknya diperoleh dari makanan suplemen dan fortifikasi karena
bioavailabilitas pada makanan tersebut lebih tinggi (Rolfes).
Vitamin D
Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang cukup penting bagi lansia. Sejalan
dengan proses penuaaan, kulit tidak lagi mampu memproduksi vitamin D secara
efisien, penurunan fungsi ginjal juga menyebabkan berkurangnya kemampuan
ginjal untuk mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya. Lansia dianjurkan
untuk mengonsumsi sumber vitamin D diluar makanan yang dikonsumsi seharihari, terutama dari susu yang difortifikasi dengan vitamin D. Untuk
mempertahanakn kadar vitamin D dalam tubuh serta untuk mencegah
pengeroposan tulang, lansia dianjurkan untuk mengonsumsi vitamin D sebanyak
10-15 mikrogram per hari.

Natrium
Natrium memegang peranan yang sangat penting dalam nutrisi bagi lansia. Lansia
memiliki risiko yang cukup besar untuk terjadinya hipernatremia dan
hiponatremia. Hipernatremia dapat terjadi akibat asupan garam yang berlebihan,
yang mungkin disebabkan karena hilangnya sensasi kecap pada proses penuaan,
dan dehidrasi, yang dapat disebabkan terutama oleh kurangnya asupan cairan.
Sedangkan hiponatremia dapat terjadi karena proses dilusi akibat retensi air yang
disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal. Lansia dianjurkan untuk mengonsumsi
natrium tidak lebih dari 1500mg per hari untuk mempertahanakan fungsi
fisiologis tubuh.
Kalium

11

Kalium juga merupakan salah satu mineral yang penting pada lansia. Menurut
Dietary Guidelines for Americans (DGA) tahun 2005, kalium dapat mengurangi
efek natrium terhadap peningkatan tekanan darah. Anjuran asupan kalium pada
lansia adalah sekitar 4700mg per hari, terutama dari buah-buahan dan sayuran.
Kalsium
Absorpsi kalsium sangat dibantu oleh keadaan asam dalam lambung. Pada proses
penuaan terjadi atrofi mukosa lambung serta penurunan produksi asam lambung,
sehingga terjadi gangguan penyerapan kalsium pada lansia. Oleh sebab itu, asupan
kalsium harus ditingkatkan pada lansia.

12

BAB III
KESIMPULAN

1. Gizi merupakan salah satu aspek kesehatan yang memainkan peranan


penting dalam kesehatan pada lansia.
2. Nutrisi dapat berperan dalam mencegah penyakit pada lansia, baik sebagai
pencegahan primer, sekunder, maupun tersier.
3. Pada lansia, telah terjadi perubahan fisiologi tubuh, termasuk dalam hal
komposisi

tubuh,

kemampuan

sensorik,

kesehatan

oral,

sistem

gastrointestinal, dan sistem kardiovaskuler. Perubahan fisiologis tersebut


harus diimbangi dengan asupan nutrisi yang sesuai dengan kondisi
masing-masing individu lansia, baik yang sehat maupun yang menderita
penyakit, terutama penyakit kronis.
4. Kebutuhan nutrisi pada lansia berbeda dengan orang dewasa. Dengan
mengetahui perubahan fisiologis tubuh lansia dibandingkan dengan orang
dewasa, maka dapat disesuaikan asupan energi dengan kebutuhan tubuh
lansia.

DAFTAR PUSTAKA

13

1. U.S. Census Bureau. 2005. Current Population Reports 65+ in the United
States. Washington DC. U.S. Government Printing Office.
2. Badan Statistik Indonesia. 2005. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok
Umur, Jenis Kelamin, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Available at:
http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_
tabel&kat=1&idtabel=116&Itemid=165 (Accessed 3 February 2014)
3. Indraswari, W, Thaha, AR, Jafar, N. 2012. Pola Pengasuhan Gizi dan
Status Gizi Lanjut Usia di Puskesmas Lau Kabupaten Maros tahun 2012.
4. Wellman, NS, Kamp, BJ. 2006. Nutrition in Aging. Krauses Food and
Nutrition Therapy 12th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.
5. Stenholm, S, Harris, TB, Rantanen, T, et al. 2008. Sarcopenic obesity
definition, etiology and consequences. National Institutes of Health. Curr
Opin Clin Nutr Metab Care. 11(6): 693-700.
6. Cruz-Jentoft, AJ, Baeyens, JP, Bauer, JM, et al. 2010. Sarcopenia:
European consensus on definition and diagnosis. British Geriatric Society.
Age and Ageing. 39: 412-423.
7. Lim, S, Kim, JH, Yoon, JW, et al. 2010. Sarcopenic Obesity: Prevalence
and Association with Metabolic Syndrome in the Korean Longitudinal
Study on Health and Aging (KLoSHA). Diabetes Care. 33: 1652-1654.
8. Rolfes, SR, Pinna, K, Whitney, E. 2009. Life Cycle Nutrition: Adulthood
and the Later Years. Understanding Normal and Clinical Nutrition 8th
edition. USA: Yolanda Cossio.

Anda mungkin juga menyukai