PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Maloklusi dapat didefinisikan sebagai penyimpangan yang cukup besar dalam
pertumbuhan dento- fasial yang dianggap secara estetik dan fungsional tidak sesuai
(Cobourne, 2009). Maloklusi memberikan dampak dalam bidang estetik atau
penampilan (Joelijanto, 2012). Selain itu, maloklusi juga memberikan permasalahan
fonetik dan pengunyahan (Joelijanto, 2012). Maloklusi bisa menyebabkan terjadinya
gangguan bicara, dimana kebanyakan huruf membutuhkan susunan gigi yang baik
untuk dapat dilafalkan secara jelas (Joelijanto, 2012).
Salah satu jenis maloklusi yaitu gigi berjejal (Sasea, 2013). Gigi berjejal
merupakan keadaan berjejalnya gigi di luar susunan gigi yang normal (Sasea, 2013).
Prevalensi gigi berjejal merupakan komponen tertinggi dalam jumlah maloklusi
(Sasea, 2013). Di Inggris ditemukan jumlah gigi berjejal sebanyak 80,23% dari 596
anak anak usia 11- 12 tahun ( Alhummayani). Pada penelitian di Departemen
Orthodonti FKG UI tahun 1999 di Jakarta menunjukkan dari 270 anak usia 12 14
tahun ditemukan gigi berjejal sebanyak 44,9%, gigi renggang (diastema) sebanyak
16,7%, gigi protrusi 6,3%, deepbite 6,3%, scissor bite 12,3%, dan gigi terbuka (open
bite) sebanyak 13,2% (Sasea, 2013).
Gigi berjejal lebih banyak terjadi pada rahang bawah daripada rahang atas
(Laguhi, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gigi Padjajaran tahun 2013 menunjukkan persentase gigi berjejal sebesar
50% di segmen anterior rahang bawah (Laguhi, 2014). Bhalajhi mengungkapkan
bahwa penyebab gigi berjejal terjadi karena tidak harmonisnya ukuran gigi dan
panjang lengkung rahang, misalnya ukuran gigi yang terlalu besar, lengkung rahang
yang terlalu pendek atau jumlah gigi yang melebihi normal (Laguhi, 2014). Gigi
berjejal pada rahang bawah lebih banyak terjadi daripada rahang atas karena adanya
tekanan dari jaringan lunak bibir dan posisi serta ukuran lidah, gigi berlebih,
tanggalnya gigi tetap, dan bentuk gigi yang tidak normal (Laguhi, 2014).
Gigi berjejal merupakan keluhan yang sering menimbulkan gangguan pada
penampilan seseorang, pengunyahan serta pembersihan gigi ( Savitri, 2014). Hasil
penelitian Gabris (2006) menunjukkan bahwa beberapa anomali gigi seperti gigi
berjejal menyebabkan retensi plak dan akan memicu terjadinya karies (Kusuma,
2014).
Karies adalah istilah medis untuk gigi berlubang (Chisembu, 2015). Menurut
World Oral Health Organization (WHO) pada tahun 2012, ditemukan 90% anak
sekolah di seluruh dunia pernah menderita karies gigi (Ningsih, 2016). Prevalensi
karies tertinggi terjadi di Asia dan Amerika Latin (Ningsih, 2016). Hasil survei Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) nasional tahun 2007 menunjukkan prevalensi karies di
Indonesia mencapai 72,1% (Malohing, 2013). Provinsi Sumatera Barat mempunyai
indeks DMFT sebesar 5,25 dan menduduki posisi ke 6 tertinggi diantara 32 provinsi
di Indonesia (Susi, 2013). Prevalensi karies di Kota Padang sebesar 58,4% (Susi,
2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aikins di Nigeria pada tahun 2012
menunjukkan bahwa pada anak sekolah usia 12-18 tahun memiliki pengetahuan
tentang maloklusi sebesar 82,5% dari jumlah sampel (Djunaid, 2013). Penelitian
Faruk di Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan bahwa pada pelajar sekolah dasar
yang berjumlah 118 orang orang menunjukkan bahwa mereka memiliki pengetahuan
maloklusi sebesar 34,57% dari jumlah sampel (Hoesin, 2007).