Anda di halaman 1dari 17

4.

1 Pengaruh Jumlah Penambahan Starter terhadap Kinerja Reaktor


Pada penelitian ini digunakan tiga jenis mikroba sebagai katalis proses fermentasi,
yaitu Lactobacillus plantarum, Bacillus subtilis, dan Aspergillus oryzae. Pada
variasi awal dalam penelitian akan dilihat pengaruh jumlah starter mikroba yang
diberikan terhadap pertumbuhan mikroba. Variasi yang dipilih adalah variasi
aliran samping dengan penambahan starter 10% (v/v) untuk variasi 1 dan 5%
(v/v) untuk variasi 2. Aliran samping dipilih berdasarkan hasil penelitian Destri
dan Gunawan (2015) yang merupakan jenis aliran yang menghasilkan penurunan
HCN paling besar. Pertumbuhan ketiga mikroba untuk kedua variasi ditampilkan
pada Gambar 4.1.

a
8
7

log CFU Samping 10%

Samping 5%

6
5

12

16

20

24

28

Jam ke

b
8
7
6

log CFU samping


10%
5

samping 5%

4
3

12

16

Jam ke-

20

24

28

g/L

samping 10%

samping 5%

12

16

20

24

28

Jam ke-

Gambar 4.1. Pertumbuhan mikroba pada aliran samping dengan 10% (v/v)
dan 5% (v/v) starter mikroba. (a) Lactobacillus plantarum, (b)
Bacillus subtilis, dan (c) Aspergillus oryzae.
Berdasarkan Gambar 4.1, pertumbuhan mikroba untuk penambahan jumlah
starter mikroba 10% (v/v) dan 5% (v/v) tidak memiliki perbedaan yang
signifikan sehingga dapat dikatakan bahwa untuk kedua variasi penambahan
mikroba tersebut memiliki kinerja yang sama dalam proses fermentasi. Hal
tersebut juga dapat terlihat dari karakteristik tepung fercaf yang dihasilkan
berupa penurunan kadar sianida dalam singkong hasil fermentasi, swelling
power, warna, dan rendemen pada tepung fercaf yang juga tidak signifikan
berbeda. Penurunan kadar sianida pada singkong, swelling power, warna, dan
rendemen ditunjukan pada Gambar 4.2dan 4.3.
Terlihat bahwa penambahan starter mikroba 10% (v/v) dan 5% (v/v) memiliki
perbedaan kualitas tepung yang signifikan. Untuk membuat proses produksi
tepung fercaf skala semi kontinu dalam fermentor semi kontinu lebih
ekonomis, maka penggunaan starter yang dipilih adalah sebesar 5% (v/v).
Oleh karena itu, pada variasi arah aliran atas, co-current, counter-current, dan
statis akan menggunakan starter mikroba sebesar 5%.

0%
-10%
-20%

Persentase Penurunan HCN Singkong

-30%
-40%

Starter 10%
Starter 5%

-50%
-60%

Tray ke-

Gambar 4.2. Penurunan konsentrasi sianida dalam singkong pada variasi


penambahan starter mikroba

Gambar 4.3. Kualitas tepung fercaf pada variasi jumlah penambahan starter mikroba. (a) swelling power, (b) warna, (c) rendemen

4.2 Hidrodinamika Fermentor


Menurut Destri dan Gunawan (2015), moda aliran samping baik tanpa starter
maupun menggunakan starter dengan laju alir masing-masing sebesar 0,4590,532 L/s merupakan variasi yang memberikan penurunan HCN terbaik,
meningkatkan viskositas larutan tepung singkong, dan meningkatkan kestabilan
larutan

tepung

singkong.

Selain

itu,

sistem

sirkulasi

pada

fermentor

mengindikasikan kemungkinan terjadinya proses pengadukan sehingga oksigen


yang terlarut pada media pelunak meningkat. Pengadukan merupakan salah satu
faktor penting untuk memperoleh produktivitas mikroba dalam proses fermentasi
dan hal ini dapat dicapai dengan agitasi dan aerasi, tetapi pengadukan yang cepat
dapat merusak dan struktur sel mikroba dan menyebabkan perpindahan massa
yang rendah (Potumarthi, dkk., 2006). Peningkatan jumlah oksigen akan
membantu pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses fermentasi
menjadi lebih cepat mengingat bahwa mikroba yang digunakan bersifat fakultatif
anaerob. Semakin meningkatnya pertumbuhan mikroorganisme, proses fermentasi
akan berlangsung lebih cepat. Sirkulasi dari aliran media pelunak dapat
mempercepat perusakan morfologi permukaan dari singkong meskipun jumlah
HCN akhir dari singkong tidak memiliki perbedaan yang signifikan (Prasetya dan
Tanujaya, 2012).
Fermentor semi kontinu memiliki empat jenis arah aliran, yaitu aliran atas,
samping, co-current, dan counter-curent. Aliran atas terdiri dari 32 lubang aliran
dengan setiap tray mendapatkan sirkulasi dari empat lubang aliran. Aliran atas
terdiri dari 64 lubang aliran dengan setiap tray memperoleh sirkulasi dari delapan
lubang aliran. Untuk aliran co-current dan counter-current, sirkulasi berasal dari
dua lubang aliran. Hidrodinamika selama proses fermentasi ditinjau dengan
melihat jenis aliran dalam reaktor dengan pendekatan perhitungan rejim aliran
dengan bilangan (NRe) pada unggun berjejal. Hidrodinamika pada tiap arah aliran
ditampilkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Hidrodinamika pada tiap arah aliran dalam fermentor semi kontinu
Laju Alir
Aliran
NRe Aliran
Jenis Aliran
(L/s)
Samping
0,642
898
Laminer
Atas
0,605
1.693
Laminer
Co-current
0,265
570
Laminer
Counter current
0,273
586
Laminer
Statis
0
0
Aliran digolongkan dalam jenis aliran laminer ketika NRe<2100 dan aliran
turbulen pada NRe>4000 (Holman, 2002). Berdasarkan penggolongan jenis aliran
yang di tampilkan pada Tabel 4.1, seluruh arah aliran yang digunakan dalam
fermentor kontinu ini termasuk dalam aliran laminer meskipun laju alir yang
digunakan lebih besar dibandingkan dengan penelitian Destri dan Gunawan
dengan laju alir dalam jenis aliran transisi. Hal ini disebabkan perbedaan skala
volume dalam reaktor batch dan semi-kontinu. Pada fermentor semi kontinu
memiliki volume yang delapan kali lebih besar jika dibandingkan dengan batch.
Pada jenis aliran laminer dapat dikatakan tidak terjadi pengadukan karena tidak
adanya turbulensi dalam reaktor sehingga kemungkinan besar pada setiap arah
aliran dengan laju alir pada Tabel 4.1 tidak akan menghasilkan perbedaan
pertumbuhan mikroba dan kualitas tepung fercaf yang signifikan.
Pengadukan dapat terjadi ketika adanya turbulensi dalam fermentor. Untuk
memperoleh kondisi turbulensi aliran dalam fermentor semi kontinu, maka laju
alir pada tiap arah aliran harus ditingkatkan. Laju alir minimal untuk mencapai
kondisi jenis aliran turbulen (NRe>4000) pada masing-masing arah aliran
ditampilkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Laju alir minimum untuk mencapai
turbulensi tiap arah aliran dalam
fermentor semi kontinu
Aliran
Laju Alir (L/s)
Samping
2,86
Atas
1,43
Co-current
1,86
Counter current
1,86

4.3 Pertumbuhan Mikroba dalam Fermentor Semi-Kontinu


Proses fermentasi singkog tiap tray dilaksanakan selama 8 jam. Untuk
keseluruhan proses fermentasi berlangsung selama 32 jam. Pengecekan jumlah
mikroba dilakukan selama 4 jam sekali hingga jam ke-28. Salah satu faktor pada
pertumbuhan mikroba dalam fermentor semi kontinu adalah derajat asam dari
medium fermentasi. Derajat asam dapat berubah seiring meningkatnya aktivitas
Lactobacillus plantarum dan Bacillus subtilis dalam menghasilkan asam selama
proses fermentasi. Pada Gambar 4.4 ditampilkan profil derajat asam larutan
fermentasi pada fermentor semi kontinu untuk tiap variasi.

5
samping

counter-current

atas

co-current

pH
4
tanpa aliran
3
0

12

16

20

24

28

Jam ke-

Gambar 4.4. Derajat asam larutan fermentasi dalam fermentor semi-kontinu

Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa derajat asam selama proses fermentasi masih
berada pada rentng pH 4-5. Hal ini menunjukan bahwa mikroba starter yng
digunakan dalam proses fermentasi masih dapat tumbuh baik pada kondisi.
Terlihat pula pada jam ke-24 derajat asam mulai konstan dan tidak berubah
secarasignifikan. Penurunan derajat asam yang tidak signifikan bahkan cenderung

konstan ini dapat menyatakan bahwa proses fermentasi masih dapat dilakukan
tanpa melakukan pengaturan derajat asam yang dapat menambah biaya dalam
produksi.
Pertumbuhan Lactobacillus plantarum, Bacillus subtilis, dan Aspergillus oryzae
selama proses fermentasi pada fermentor semi kontinu ditampilkan pada Gambar
4.5.

a
8
Samping
7

counter current

Atas

co current

log CFU
6
tanpa aliran
5
0

12

16

20

24

28

Jam ke

b
8
7
samping

counter current

atas

co current

log CFU

4
tanpa aliran
3
0

12

16

20

24

28

Jam ke-

c
1.2 samping
1.0
0.8

Counter-curent

f(x) = 0.31 ln(x) - 0.26

g/L 0.6 Logarithmic (Counter-curent)

atas

0.4
0.2
0.0

0 co current
4

12

16

aliran 28
20 tanpa24

Jam ke-

Gambar 4.5. Pertumbuhan mikroba dalam fermentor semi kontinu. (a)


Lactobacillus plantarum, (b) Bacillus subtilis, (c) Aspergillus
oryzae.

Terlihat pada Gambar 4.4 menunjukan bahwa variasi aliran tidak memberikan
perbedaan yang signifikan pada pertmbuhan ketiga mikroba yang ditambahkan
dalam proses fermentasi. Pertumbuhan mikroba cenderung mulai menurun setelah
jam ke-24. Penurunan tersebut disebabkan oleh tidakadanya substrat singkong
baru yang dimasukan ke dalam fermentor. Substrat merupakan salah satu faktor
bagi pertumbuhan mikroba. Berkurangnya substrat pada jam ke-24 hingga jam ke32 (fermentor telah kosong) menyebabkan petumbuhan mikroba melambat
bahkan menurun karena mikroba kekurangan asupan makanan dan nutrisi dari
substrat. Kurva pertumbuhan pada Gambar 4.4 menunjukan bahwa ketiga
mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi masih tumbuh dengan baik dan
belum mencapai tunak pada jam ke-28 sehingga proses fermentasi masih dapat
dilanjutkan.
Seperti yang telah dibahas pada sub bab hidrodinamika bahwa jenis aliran yang
dihasilkan pada setiap arah aliran seluruhnya termasuk jenis laminer sehingga
tidak terjadi turbulensi di dalam fermentor. Tidak adanya turbulensi dalam
fermentor menyebabkan kontak mikroba dengan substrat menjadi lebih sedikit
sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan mikroba tidak sebaik ketika terjadi
turbulensi. Sirkulasi yang menyebabkan turbulensi dapat meningkatkan oksigen
dalam larutan fermentasi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba
mengingat bahwa mikroba yang digunakan adalah mikroba yang bersifat
fakultatif anaerob.
Kinerja fermentor semi kontinu terhadap pertumbuhan mikroba akan terlihat
ketika dibandingkan dengan reaktor batch. Perbandingan pertumbuhan mikroba
pada fermentor semi kontinu dengan reaktor batch ditunjukan pada Tabel 4.3
berupa perbandingan pertumbuhan mikroba pada jam ke-24 antara fermentor semi
kontinu dan batch.

Tabel 4. 3. Perbandingan konsentrasi mikroba pada fermentorsemi kontinu batch


Variasi
Aliran samping 10%
Aliran samping 5%
Aliran atas 5%
Aliran co-current 5%
Aliran counter-current 5%
Tanpa aliran 5%
Fermentor batch
(Trihatmoko dan Zaenudin, 2015)

Lactobacillu
s plantarum
(cfu)
8,9x107
9,1x107
4,4x107
3,8x107
3,0x107
2,1x107

Bacillus
subtilis
(cfu)
1,4x107
2,3x107
1,0x107
6,0x106
1,3x107
7,0x106

7,6x108

1,5x107

Aspergillus
oryzae
0,32 gr/L
1,26 gr/L
0,56 gr/L
0,75 gr/L
0,91 gr/L
0,64 gr/L
1,0x103 cfu

Reaktor semi kontinu memiliki volume reaktor yang lebih besar sehingga
pertumbuhan mikroba lebih lambat dibandingkan dengan reaktor batch.
Konsentrasi mikroba pada reaktor semi kontinu yaitu kurang dari 10 8 cfu/mL
untuk Lactobacillus plantarum dan Bacillus subtilis, sedangkan untuk Aspergilus
oryzae hanya sebesar 1,26 gram/L untuk pertumbuhan paling tinggi. Konsentrasi
tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan konsentrasi mikroba pada reaktor
batch yang memiliki konsentrasi Aspergilus oryzae 103 cfu, Bacillus subtilis
1,5x107 cfu, dan Lactobacillus plantarum 7,6x108 cfu. Kosentrasi mikroba yang
tinggi menunjukan bahwa aktivitas mikroba dalam mensekresikan enzim yang
membantu proses fermentasi akan semakin tinggi dalam reaktor tersebut sehingga
perbedaan konsentrasi mikroba antara fermentor kontinu dan batch ini dapat
menyebabkan perbedaan karakteristik dari tepung fercaf seperti pada swelling
power, viskositas, warna tepung, dan perolehan rendemen.
Analisis Warna Tepung Fercaf
Kualitas tepung dapat dilihat dari warna tepung karena dapat mempengaruhi
warna produk yang dihasilkan. Warna tepung putih dan bersih cenderung lebih
diminati oleh konsumen karena tidak akan mempengaruhi warna produk. Tepung
gaplek cenderung memiliki warna putih kotor dengan sedikit kecoklatan dan

memiliki aroma khas gaplek, sedangkan tepung tapioka memiliki warna putih
bersih serta tidak berbau (Suprapti, 2005). Analisis Warna (Colorimetri) dilakukan
untuk melihat perubahan warna tepung gaplek dan tepung hasil fermentasi
(fercaf). Proses fermentasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas warna dari
tepung

singkong

dan

menghilangkan

aroma

khas

singkong

sehingga

penggunaannya tidak terbatas pada produk tertentu. Kenampakan dari tepung


gaplek, tepung fercaf, tepung tapioka, dan tepung terigu ditunjukan pada Gambar
xx.
Warna dari tepung dinyatakan dalam derajat putih atau Whiteness Index (WI).
Berdasarkan penelitian Destri dan Gunawan (2005), variasi arah aliran,
penambahan starter, dan laju alir sirkulasi pada reaktor fermentasi batch tidak
berpengaruh secara signifikan. Pada penelitian ini akan dilihat pengaruh
hidrodinamika dan pertumbuhan mikroba dalam reaktor semi kontinu terhadap
perubahan warna tepung fercaf. Gambar xx menunjukan warna tepung fercaf pada
berbagai variasi yang dibandingkan dengan warna tepung gaplek, tapioka, dan
terigu. Terlihat bahwa tepung warna tepung fercaf hampir menyerupai warna
tepung tapioka dan memiliki derajat putih yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tepung terigu. Perubahan warna ini disebabkan oleh Lactobacillus plantarum yang
bersifat proteolitik yaitu dapat menguraikan protein yang dapat menyebabkan
warna kecoklatan pada proses pengeringan sehingga warna tepung fercaf menjadi
lebih putih. Hal ini menunjukan bahwa proses fermentasi pada reaktor semi
kontinu dapat meningkatkan kualitas warna dari tepung fercaf.

Berdasarkan analisis statistika dengan tigkat kepercayaan 95% terlihat bahwa tiap
tray tidak memiliki perbedaan yang sinifikan. Hal ini menunjukan bahwa tiap tray

pada produksi tepung fercaf dalam reaktor semi kontinu telah memiliki
konsistensi kualitas warna tepung. Perbedaan nilai derajat putih untuk setiap
variasi juga tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukan bahwa
pada penelitian ini belum terlihat adanya pengaruh arah aliran pada perubahan
warna tepung fercaf. Proses pengeringan yang digunakan diperkirakan lebih
mempengaruhi perubahan warna tepung. Pengeringan pada temperatur 70C
menghasilkan warna kromatik yang lebih cerah bila dibandingkan dengan
temperatur pengeringan 80C (Lidiasari, E., dkk., 2006). Hal ini dapat terjadi
karena adanya reaksi maillard yang lebih cepat pada temperatur pengeringan 80C
dibandingkan temperatur pengeringan 70C. Reaksi maillard terjadi pada bahan
yang mengandung gula dan protein tinggi yang mengalami pemanasan sehingga
menimbulkan warna coklat (Winarno, 1991).
Selain terjadi perubahan warna, tepung fercaf juga mengalami perubahan aroma.
Aroma khas singkong telah berkurang sehingga tepung fercaf memiliki aroma
yang netral jika dibandingan dengan tepung gaplek yang masih memiliki aroma
khas singkong. Perubahan aroma ini disebabkan oleh aktivitas Lactobacillus
plantarum dan Bacillus subtilis yang digunakan sebagai starter mikroba dalam
proses fermentasi. Lactobacillus plantarum akan menghasilkan asam laktat
sehingga aroma khas singkong akan terdegradasi. Bacillus subtilis mensekresikan
enzim protease yang dapat dapat menghasilkan glutamat dalam proses proteolisis
(Amoa-Awua, dkk., 2014). Glutamat yang dihasilkan dapat berkontribusi dalam
meningkatan aroma dan rasa produk.

Analisis Kadar Air Tepung Fercaf Hasil Fermentasi dalam Fermentor Semi
Kontinu
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tepung mocaf, kadar air
maksimum pada tepung adalah sebesar 13%. Pada Gambar xx ditampilkan nilai
kadar air dari tepung fercaf yang diproduksi pada reaktor semi kontinu dengan

nilai pembanding berupa kadar air tapioka, terigu, dan SNI mocaf. Hasil analisis
kadar air menunjukan bahwa pada penelitian ini memiliki kadar air tepung fercaf
yang dihasilkan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Terlihat bahwa kadar
air tepung fercaf hasil produksi reaktor semi kontinu masih diatas batas
maksimum SNI. Hal ini mungkin saja terjadi karena adanya perbedaan proses
pengeringan pada industri besar yang telah menggunakan alat pengeringan dalam
memproduksi tepung dalam skala besar. Sebagai contoh, kadar air tepung tapioka
dan tepung terigu industri memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan kadar air
tepung fercaf.

Pengeringan yang tepung fercaf dilakukan dengan mengalirkan udara panas


(50C) selama 1 jam kemudian diangin-anginkan menggunakan kipas selama
kurang lebih dua hari. Proses pengeringan secara tradisional ini banyak memiliki
kendala dalam melakukan pengeringan dalam skala besar. Kelembaban udara
dalam ruang yang rendah dengan kadar air yang masih tinggi setelah proses
pengaliran udara panas menjadi hambatan pada proses pengeringan dan
menimbulkan kontaminasi jamur pada tepung. Tidak meratanya proses
penganginan dapat menyebabkan proses pengeringan menjadi lebih lama. Oleh
karena itu perlu dilakukan kajian mengenai proses pengeringan dalam skala besar
agar dapat menghasilkan kadar air memenuhi SNI mengingat pengaruh kadar air
sangat besar terhadap shelflife dari suatu produk pangan.

Rendemen Tepung Fercaf pada Produksi dengan Fermentor Semi Kontinu

Rendemen tepung fercaf dihitung dengan membandingkan perolehan tepung


fercaf dengan jumlah bahan baku berupa singkong yang digunakan. Pada produksi
tepung fercaf dalam reaktor unggun bergerak (semi-kontinu), singkong yang
digunakan adalah sebanyak 2,5 kg untuk setiap tray. Fermentor semi kontinu ini
dapat menampung 8 tray dengan total berat singkong 20 kg. Pada penelitian ini
dilakukan fermentasi untuk 3 batch secara semi kontinu dengan total singkong
yang digunakan sebanyak 60 kg dan menghasilkan 24 tray tepung fercaf.
Perhitungan rendemen ini menjadi salah satu perhitungan neraca massa yang
dapat digunakan dalam mengantisipasi kehilangan pati yang lebih besar selama
proses fermentasi.
Perhitungan rendemen merupakan salah satu faktor penentuan keekonomisan dari
suatu produksi. Rendemen tepung fercaf pada tiap variasi dibandingkan dengan
rendemen pada proses batch dan skala yang lebih kecil untuk mengetahui
keekonomisan produksi dengan skala yang lebih besar pada proses semi kontinu.
Berdasarkan hasil penelitian Trihatmoko dan Zaenudin (2015), rendemen tepung
fercaf pada fermentasi menggunakan Lactobacillus plantarum, Aspergilus oryzae,
dan Bacillus subtilis pada reaktor batch dengan kondisi tanpa aliran adalah
sebesar 26%. Rendemen tepung fercaf juga dibandingkan dengan rendemen
rendemen tepung fercaf, tepung tapioka, dan tepung terigu di industri. Rendemen
fercaf industri sebesar 30% (Widowati, 2009), rendemen tapioka industri sebesar
22,5% (Kemenristek, 2013), dan rendemen tepung terigu industri sebesar 20%
(Lubis, 2005). Perbandingan rendemen antar tepung dapat di lihat pada Gambar
xx.

Pada Gambar xx terlihat bahwa rendemen fercaf pada reaktor semi kontinu lebih
besar dibandingkan dengan reaktor batch dan rendemen dari tepung industri.
Berdasarkan perolehan tersebut dapat dikatakan bahwa produksi tepung fercaf
dengan reaktor semi kontinu memiliki nilai yang ekonomis dengan kapasitas
perolehan produk yang lebih besar dibandingkan reaktor batch. Salah satu faktor
yang mempengaruhi perolehan rendemen antara reaktor semi kontinu dan batch
adalah konsentrasi mikroba pada fermentor semi kontinu lebih rendah
dibandingkan dengan reaktor batch. Pengaruh konsentrasi mikroba ini terlihat dari
peran masing-masing mikroba yang digunakan. Lactobacillus plantarum berperan
dalam menghidrolisis pati sehingga pati dalam singkong akan berkurang dan
dapat menurunkan rendemen. Bacillus subtilis mendegradasi pati menjadi amilosa
sehingga pati dapat larut ke dalam larutan fermentasi dan menyebabkan rendemen
berkurang. Aspergilus oryzae mendegradasi selulosa sehingga akan lebih banyak
pati yang hilang dan dapat menyebabkan perolehan rendemen menurun.
Pada Gambar xx terlihat bahwa rendemen pada penelitian ini tidak memiliki
perbedaan yang signifikan sehingga dapat dikatakan bahwa arah aliran tidak
berpengaruh pada perolehan rendemen. Rendemen yang dihasilkan pada tiap tray
juga tidak memilikiperbedaan yang signifikan sehingga dapat dikatakan bahwa
produksi tepung fercaf dalam fermentor semi kontinu telah memiliki konsistensi
perolehan rendemen dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan
fermentor batch. Hal ini menunjukan bahwa produksi tepung fercf akan jauh lebih
ekonomis dibandingkan dengan fermentor batch.

Amoa-Awua, W.K., Awusi, B., Owusu, M., Appiah, V., Ofori, H., Thorsen, L.,
Jespersen, L. (2014): Reducing The Atypical Odour of Dawadawa: Effect of
Modification of Fermentation Conditions and Post-Fermentation Treatment
on The Development of The Atypical Odour of Dawadawa, Journal of Food
Control, 42, 335-342.
Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia, Menyulap limbah tapioka menjadi
plastik, Info Iptek, Suplemen Gatra, 2013.
Lidiasari, E., dkk., Pengaruh Suhu Pengeringan Tepung Tapai Ubi Kayu Terhadap
Mutu Fisik dan Kimia Yang Dihasilkan. ISSN 1411 0067 Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian Indonesia. Volume 8, No. 2, 2006, Hlm. 141 146
Lubis, S., Peningkatan derajat putih (30%) dan rendemen (20%) tepung gandum
lokal melalui implementasi teknologi penyasahan abrasif pada skala 100 kg
tepung/jam, Badan Litbang Pertanian, 2010.
Potumarthi, R., Ch., Subhakar, , Jetty, A., 2006, Alkaline protease production by
submerged fermentation in stirred tank reactor using Bacillus licheniformis
NCIM-2042: Effect of aeration and agitation regimes, Biochemical
Engineering Journal 34 (2007) 185192.
Suprapti, L.,Teknologi Pengolahan Pangan: Tepung Tapioka, Pembuatan dan
Pemanfaatannya, Kanisius, Yogyakarta, 2005.
Widowati, S.; Wargiono, J., Nilai gizi dan sifat fungsional ubikayu monograf,
Ubikayu: Inovasi teknologi dan kebijakan pengembangan, Puslitbang
Tanaman Pangan, Bogor, 2009, 320-346.
Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai