Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

HIFEMA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata

Oleh:

FEBRINA YOLANDA
1407101030366

Pembimbing:
dr. Ismi Laila, Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas Laporan
Kasus yang berjudul keratitis. Salawat dan salam semoga selalu tercurah
kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari
alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu tugas dalam menjalani
Kepanitraan Klinik Senior pada bagian /SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Unsyiah/RSUD dr. Zainoel Banda Aceh. Penulis menyadari bahwa
penyusunan tugas Laporan Kasus ini tidak terwujud tanpa ada bantuan dan
bimbingan serta dukungan dari dosen pembimbing. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. ismilaila,
Sp.M yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas Laporan Kasus
ini.
Penulis telah berusaha melakukan yang terbaik dalam penulisan tugas
Laporan Kasus ini, namun penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan.
Segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk
penyempurnaan tulisan ini. Akhir kata penulis berharap semoga tugas ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan semua pihak khususnya di bidang kedokteran serta
dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan.

Banda Aceh, Oktober 2016


Penulis

Febrina Yolanda

DAFTAR ISI

2
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................2


2.1 Kornea...............................................................................................2
2.1.1 Anatomi & fisiologi .......................................................................2
2.2 Keratitis ............................................................................................4
2.2.1 Definisi ..........................................................................................4
2.2.2 Etiologi...........................................................................................5
2.2.3 Patofisiologi ...................................................................................5
2.2.4 Gejala klinis ...................................................................................6
2.2.5 Klasifikasi.......................................................................................7
2.2.6 Diagnosis......................................................................................16
2.2.7 diagnosis banding.........................................................................18
2.2.8 Penatalaksanaan............................................................................18
2.2.9 Komplikasi ..................................................................................19
2.2.10 Prognosis ....................................................................................19
2.2.11 Pencegahan .................................................................................20

BAB III LAPORAN KASUS...............................................................................21


3.1 Identitas Pasien................................................................................21
3.2 Anamnesis.......................................................................................21
3.3 Pemeriksaan Fisik............................................................................22
3.4 Resume ...........................................................................................24
3.5 Diagnosa kerja.................................................................................24
3.6 Tatalaksana......................................................................................24
3.7 Planning...........................................................................................24
3.8 prognosis..........................................................................................25

BAB IV ANALISA KASUS.................................................................................26

BAB V KESIMPULAN........................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29

BAB I
PENDAHULUAN

3
1.1 Latar Belakang

Keratitis merupakan suatu kondisi dimana kornea mata yang merupakan


bagian terdepan bola mata, mengalami peradangan.1 Keratitis dapat disebabkan
oleh infeksi maupun noninfeksi. Keratitis akibat noninfeksi dapat disebabkan oleh
trauma ringan, seperti goresan kuku, atau akibat memakai lensa kontak yang
terlalu lama. Keratitis akibat infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur,
dan parasit.2 Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan infeksi pada
pemakaian lensa kontak adalah bakteri tetapi acanthamoeba belakangan ini
ditemukan sangat banyak, infeksi akibat jamur sangat jarang. 3
Lensa kontak adalah protesa okular yang dikenakan untuk memperbaiki
visus. Mayoritas lensa kontak dipakai untuk koreksi penglihatan karena alasan
kosmetik. Terdapat berbagai tingkat pengetahuan dalam penggunaan dan
perawatan lensa kontak. Komplikasi dari pemakaian lensa kontak terjadi karena
beberapa faktor: penyalahgunaan lensa, pemakaian lensa yang tidak sesuai, atau
penyakit mata sebelumnya. 5,6
Komplikasi lensa kontak yaitu mulai dari self-limiting sampai
mengganggu penglihatan, hal tersebut memerlukan diagnosis dan pengobatan
yang cepat untuk mencegah terjadinya kebutaan. Dengan jutaan orang yang
memakai lensa kontak, walaupun kecil persentasenya komplikasi lensa kontak
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Komplikasi lensa kontak
sangat beragam pada umumnya melibatkan kelopak mata, konjungtiva, dan semua
lapisan kornea (yaitu, epitel, stroma, endotelium).5,7
Sekitar 6% dari pemakai lensa kontak per tahun akan terkena beberapa
komplikasi, meskipun sebagian besar komplikasi ini cukup kecil. Sebuah studi
baru-baru ini telah menemukan bahwa 9,1% pemakai lensa kontak mengunjungi
Unit Kedaruratan Mata.8
Diperkirakan 30 juta orang di Amerika Serikat memakai lensa kontak soft.
Kejadian keratitis fungal diperkirakan 4-21 per 10.000 pertahun pada pemakai
lensa kontak soft, tergantung pada apakah pengguna memakai lensa semalaman.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
I. HIFEMA

Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam COA, yaitu


daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Hifema dapat terjadi akibat trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan darah bercampur
dengan aquous humor yang jernih. Bila pasien duduk hifema akan terlihat
mengumpul di bagian bawah COA dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang
COA. Darah dalam cairan aquous humor dapat membentuk lapisan yang terlihat.
Jenis trauma yang menimbulkan hifema tidak perlu harus menyebabkan perforasi
bola mata.

II. ETIOLOGI

Hifema biasanya disebabkan trauma pada mata, yang menimbulkan


perdarahan atau perforasi. Hifema juga dapat terbentuk pada kornea pasca bedah
katarak.Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor
pada iris, retinoblastoma, dan kelainan darah.Hifema spontan pada anak sebaiknya
dipikirkan kemungkinan leukemia dan retinoblastoma.

Pendarahan yang timbul dapat berasal dari kumpulan arteri utama dan
cabang dari badan ciliar, arteri koroid, vena badan siliar, pembuluh darah iris pada
sisi pupil.

III. PATOFISIOLOGI

Kontusio atau benturan yang mengakibatkan penekanan bola mata


anteroposterior, pengembangan bagian tengah skleral, limbus menegang dan
perubahan letak lensa/ iris posterior dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intra okuli secara tiba-tiba yang mana dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak pada sudut bola mata.

Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker
mungkin juga bisa menyebabkan perdarahan pada COA.Trauma tumpul dapat
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek

16
pembuluh darah iris dan merusak sudut COA. Tetapi dapat juga terjadi secara
spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam ruang
COA, mengotori permukaan dalam kornea.

Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan


primer.Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak.Perdarahan sekunder
biasanya timbul pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya biasanya lebih
hebat daripada yang primer.Oleh karena itu seseorang dengan hifema harus
dirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan perdarahan sekunder ini terjadi karena
resorpsi dari bekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak
mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali.

Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel
darah merah melalui sudut COA menuju kanal sclhem sedangkan sisanya akan
diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya
enzim fibrinolitik di daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam
bentuk hemosiderin.Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk
ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan
disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea, yang hanya dapat ditolong dengan
keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh
disertai glaukoma.

IV. KLASIFIKASI

Menurut Sheppard berdasarkan tampilan klinisnya:

Grade I: darah mengisi kurang dari sepertiga COA dengan prevalensi


kejadiannya sebanyak 58%.

Grade II: darah mengisi sepertiga hingga setengah COA dengan prevalensi
kejadiannya sebanyak 20%.

Grade III : Darah mengisi lebih dari setengah dan hampir total COA
dengan prevalensi kejadiannya sebanyak 14%.

Grade IV: Darah memenuhi seluruh COA dengan prevalensi kejadiannya


sebanyak 8%.

17
Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi:

18
Hifema traumatika adalah perdarahan pada COA yang disebabkan
pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma pada
segmen anterior bola mata.

Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata).

Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga
pembuluh darah pecah.

Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya juvenile
xanthogranuloma).

Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).

Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas:

-Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.

-Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma

VII. MANIFESTASI KLINIK

Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan


adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA
(dapat diperiksa dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan gangguan visus.
Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan pericorneal, penderita
mengeluh nyeri pada mata, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), sering disertai
blefarospasme, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargi, disorientasi
atau somnolen.

Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang
terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk,
hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema dapat
memenuhi seluruh ruang COA. Selain itu, dapat terjadi peningkatan tekanan intra
ocular, sebuah keadaan yang harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya
glaucoma. Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi
(midriasis), dapat terjadi pewarnaan darah (blood staining) pada kornea, anisokor
pupil.

19
VIII. DIAGNOSIS

Penderita hifema perlu untuk dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi adanya riwayat trauma, kapan
terjadinya trauma. Perlu ditanyakan adanya penyakit lain yang menyertai seperti
kelainan pembekuan darah seperti sel sabit, penyakit hati dan pemakaian aspirin
atau obat tertentu.

Pemeriksaan menggunakan slit lamp digunakan untuk menilai jumlah


akumulasi darah, memastikan tidak ada darah yang mengeras (clot), dan
penyerapan darah tetap lancar. Pemeriksaan Laboratorium seluruh orang kulit
hitam dan keturunan hispanik dengan hifema harus diketahui keadaan sel darah
sabitnya. Pemeriksaan radiologi tidak terlalu diperlukan, tetapi dapat menilai
adanya tulang orbita yang patah atau retak.

Tajam penglihatan dengan menggunakan snellen card mungkin terganggu


akibat kerusakan kornea, aquos humor, iris dan retina.Lapang pengelihatan
mengalami penurunan mungkin disebabkan oleh patologi vaskuler okuler, atau
glukoma.Pengukuran tonografi dilakukan untuk melihat tekanan intra okuler
(TIO). Pemerikasaan oftalmoskopi untuk melihat struktur internal okuler, edema
retina, bentuk pupil dan kornea. Pemeriksaan darah lengkap, laju sedimentasi dan
LED menunjukkan anemia dan keadaan sistemik/infeksi. Tes toleransi glukosa
untuk menentukan adanya diabetes.

IX. PENATALAKSANAAN

Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak


berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan
penderita hifema traumatik ini masih banyak diperdebatkan, namun pada dasarnya
adalah :

1. Menghentikan perdarahan.

2. Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.

3. Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat


absorbsi.

20
4. Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain.

5. Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan


traumatik hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan
dengan cara konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan
tindakan operasi.

PERAWATAN KONSERVATIF/TANPA OPERASI

1. Tirah baring (bed rest total)

Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala


diangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30 - 45 o (posisi semi fowler).
Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta
memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak pendapat dari
banyak ahli mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama yang
harus dikerjakan bila menemui kasus traumatik hifema. Bahkan beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dengan tirah baring kesempurnaan absorbsi dari
hifema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan
sekunder. Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat
kemungkinan perdarahan sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih
pada anak-anak, sehingga kalau perlu harus diikat tangan dan kakinya ke tempat
tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar.

2. Pemakaian obat-obatan

Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema tidaklah


mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat
absorbsinya dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas
digunakan obat-obatan seperti :

Koagulansia

Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun


parenteral, berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya :

21
Anaroxil, Adona AC, Coagulen, Transamin, vit K dan vit C. Pada hifema yang
baru dan terisi darah segar diberi obat anti fibrinolitik (Dipasaran obat ini
dikenal sebagai transamine/ transamic acid) sehingga bekuan darah tidak
terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk
memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan
terjadinya perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250
mg dan hanya kira-kira 5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat
timbulkan gangguan transportasi cairan COA dan terjadinya glaukoma juga
imbibisio kornea. Selama pemberiannya jangan lupa pengukuran tekanan intra
okular.

Midriatika Miotika

Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan


midriatika atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan
dan kerugian sendiri-sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi,
tapi meningkatkan kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan.
pemberian midriatika dianjurkan bila didapatkan komplikasi iridiocyclitis.
Akhirnya beberapa penelitian membuktikan bahwa pemberian midriatika dan
miotika bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua kali sehari akan
mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian salah satu obat saja.

Ocular Hypotensive Drug

Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox)


secara oral sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan
intraokuler. Bahkan Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian
intravena urea, manitol dan gliserin untuk menurunkan tekanan intraokuler,
walaupun ditegaskan bahwa cara ini tidak rutin. Pada hifema yang penuh
dengan kenaikan tekanan intra okular, berilah diamox, glyserin, nilai selama
24 jam. Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas
normal, lakukan parasentesa yaitu pengeluaran drah melalui sayatan di kornea
Bila tekanan intra okular turun sampai normal, diamox terus diberikan dan
dievaluasi setiap hari. Bila tetap normal tekanan intra okularnya dan darahnya
masih ada sampai hari ke 5-9 lakukan juga parasentesa.

22
Kortikosteroid dan Antibiotika

Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi


komplikasi iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika.

PERAWATAN OPERASI

Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma


sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. dan tidak ada
pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5
hari. Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila tekanan
bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata maksimal
> 35 mmHg selama 7 hari.Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan
pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari atau bila
ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.

Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia anterior


perifer bila hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama
9 hari. Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari
keseluruhan indikasinya adalah sebagai berikut :

1. Empat hari setelah onset hifema total

2. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)

3. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4
hari (untuk mencegah atrofi optic)

4. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari COA selama 6 hari
dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)

5. Hifema mengisi lebih dari COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk
mencegah peripheral anterior synechiae)

6. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya
dengan tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika
Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari,
pembedahan tidak boleh ditunda. Suatu studi mencatat atrofi optic pada 50
persen pasien dengan total hifema ketika pembedahan terlambat. Corneal

23
bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan sickle cell
hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak
terkontrol dalam 24 jam.

Tindakan operasi yang dikerjakan adalah :

1. Parasintesis

Mengeluarkan cairan/darah dari bilik depan bola mata melalui lubang yang
kecil di limbus. Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox atau
jika darah masih tetap terdapat dalam COA pada hari 5-9.

2. Melakukan irigasi bilik depan bola mata dengan larutan fisiologis.

3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka corneo-


scleralnya sebesar 120.

X. PROGNOSIS

Prognosis dari hifema traumatik sangat tergantung pada tingginya derajat


hifema, ada/tidaknya komplikasi dari perdarahan/traumanya, cara perawatan dan
keadaan dari penderitanya sendiri. Hifema yang penuh mempunyai prognosa yang
lebih buruk daripada hifema sebagian dengan kemungkinan timbulnya glaukoma
dan hemosiderosis.

XI. KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema adalah


perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping
komplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina,
katarak dan iridodialysis: Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada
tingginya hifema.

1. Perdarahan sekunder

Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan


insidensinya sangat bervariasi, antara 10 - 40%.Perdarahan sekunder ini timbul
karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan
primernya.Perdarahan sekunder biasanya lebih hebat daripada yang primer.

24
2. Glaukoma sekunder

Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh


tersumbatnya trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah. Insidensinya
20% , sedang di RS: Dr: Soetomo sebesar17,5%. Adanya darah dalam COA dapat
menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur-unsur darah menutupi
sudut COA dan trabekula sehingga terjadinya glaukoma.Glaukoma sekunder
dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata
sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.

3. Hemosiderosis kornea

Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam


bentuk sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm sedangkan
sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat
dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan
setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari
hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea
menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang
hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat
terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaukoma. Hemosiderosis ini akan
timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder disertai kenaikan tekanan
intraokuler. Gangguan visus karena hemosiderosis tidak selalu permanen, tetapi
kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (2 tahun).
Insidensinya 10%. 3 Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis
bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.

4. Sinekia Posterior

Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.Komplikasi ini


akibat dari iritis atau iridocyclitis. Komplikasi ini jarang pada pasien yang
mendapat terapi medika mentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien dengan
evakuasi bedah pada hifema. Peripheral anterior synechiae anterior synechiae
terjadi pada pasien dengan hifema pada COA dalam waktu yang lama, biasanya 9
hari atau lebih. Patogenesis dari sinekia anterior perifer berhubungan dengan iritis
yang lama akibat trauma atau dari darah pada COA. Bekuan darah pada sudut

25
COA kemudian bisa menyebabkan trabecular meshwork fibrosis yang
menyebabkan sudut bilik mata tertutup.

5. Uveitis

Penyulit yang harus diperhatikan adalah glaukoma, imbibisio kornea,


uveitis. Selain dari iris,darah pada hifema juga datang dari badan siliar yang
mungkin juga masuk ke dalam badan kaca (corpus vitreum) sehingga pada
funduskopi gambaran fundus tak tampak dan ketajaman penglihatan menurunnya
lebih banyak. Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman
penglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokular masih normal.
Perdarahan yang mengisi setengah COA dapat menyebabkan gangguan visus dan
kenaikan tekanan intra okular sehingga mata terasa sakit oleh karena glaukoma.
Jika hifemanya mengisi seluruh COA, rasa sakit bertambah karena tekanan intra
okular lebih meninggi dan penglihatan lebih menurun lagi.

26
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Meilina Emely
Umur : 59 tahun
No. CM : 0-95-28-28
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : blang kejeren
Suku : Aceh
Agama : Islam
Status : menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Pemeriksaan : 30 Oktober 2016

3.2 Anamnesis
Keluhan utama :

Mata berdarah di bola mata kanan

Keluhan tambahan :

gatal pada mata kanan

27
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan mata berdarah didalam bola mata kanan
sejak 2 hari yang lalu. pasien mengatakan bola mata kanan menjadi merah dan
gatal secara tiba-tiba. Pasien mengaku tidak ada mengenai sesuatu pada mata
kanannya. Pasien juga pernah operasi katarak mata kanan saat 4 tahun yang lalu,
kemduian diikuti dengan operasi katarak mata kirinya 2 bulan kemudian. Ia
mengatakan mata kanan sudah tidak bisa melihat lagi. Riwayat DM ( ) riwayat
hipertensi ( )

Riwayat penyakit dahulu :

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien


sudah memiliki riwayat operasi katarak mata kanan sejak 4 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal seperti ini

Riwayat kebiasaan sosial :


Pasien seorang ibu rumah tangga

3.3 Pemeriksaan Fisik

a. Status Present
Kesadaran Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah :
Frekuensi Jantung :
Frekuensi Nafas :
Temperatur : 37 0C

b. Status Oftalmologis (21 Oktober 2016)


Uji Hiscberg :

28
Uji Pursuit : OD sulit dinilai, OS normal

Gambar :

VOD 0
VOS 5/60

Pemeriksaan Segmen Anterior


OD Bagian Mata OS
Edema (-) Palpebra Superior Edema (-)
Edema (-) Palpebra Inferior Edema (-)
Hiperemis (+) Conjungtiva Tarsal Superior Hiperemis (-)

Hiperemis (+) Conjungtiva Tarsal Inferior Hiperemis (-)

Hiperemis (+) injeksi Conjungtiva Bulbi Hiperemis (-)


konjungtiva (+)
Keruh (+) Kornea Jernih (+)
Infiltrat(-)
Hifema total (+) COA Kedalaman cukup,
jernih
Sulit dinilai Pupil Bulat (+), RCL (+),
RCTL (+)
Sulit dinilai Iris Sulit dinilai
Sulit dinilai Lensa IOL (+)

Foto Klinis Pasien

OD OS

29
Gambar 3.1 Foto Klinis Pasien tanggal 21 Oktober 2016

3.5 RESUME
Pasien datang dengan keluhan mata berdarah didalam bola mata kanan
sejak 2 hari yang lalu. pasien mengatakan bola mata kanan menjadi merah dan
gatal secara tiba-tiba. Pasien mengaku tidak ada mengenai sesuatu pada mata
kanannya. Pasien juga pernah operasi katarak mata kanan saat 4 tahun yang lalu,
kemduian diikuti dengan operasi katarak mata kirinya 2 bulan kemudian. Ia
mengatakan mata kanan sudah tidak bisa melihat lagi. Riwayat DM ( ) riwayat
hipertensi ( ). Dari pemeriksaan oftalmologis didapatkan hifema total, injeksi
konjungtiva hiperemis pada mata kanan.

3.6 DIAGNOSA KERJA


Hifema OD grade IV

3.7 TATALAKSANA
- Bed rest
- LFX 8 x gtt ODS
- P-Pres 6 x gtt ODS
- Kalnex 3x 500 mg
- Ciprofloxacin 2 x 500 mg
- Metil prednisolon 3x 4 mg

3.8 PLANNING
USG mata

3.9 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam

30
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

BAB IV
ANALISA KASUS

Telah dilaporkan seorang pasien perempuan usia 16 tahun dengan


diagnosis klinik keratitis Orbital Dekstra Sinistra et causa penggunaan lensa
kontak, menurut teori keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima
lapisan kornea.7 Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman,
stroma, membran Descemet, ataupun endotel. Dari penyebabnya terdapat
beberapa kondisi yang dapat sebagai predisposisi terjadinya inflamasi pada kornea
seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes), penggunaan
lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan preparat
imunosupresif topical maupun sistemik.
Dari anamnesa didapatkan pasien datang ke poliklinik Mata RSUDZA
Banda Aceh dengan keluhan mata merah dan nyeri pada kedua mata lalu disertai
dengan pandangan menjadi kabur sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan tersebut
dengan silau jika melihat cahaya dan kedua mata pasien sering berair.. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan dimana gejala pada keratitis berupa mata merah yang
sakit dikarenakan adanya injeksi siliar, fotofobia, penglihatan menurun karena
kornea keruh akibat infiltrasi sel radang dan mengganggu penglihatan apabila
terletak di sentral, mengganjal/terasa ada benda asing karena di kornea banyak
saraf sensibel, nyrocos karena rangsang nyeri sehingga reflek air mata meningkat.

31
Dari riwayat kebiasaan sosial didapatkan pasien menggunakan lensa
kontak rutin selama 6 bulan terakhir, Keluhan yang dialami pasien muncul setelah
melepaskan lensa kontak. Berdasarkan literatur pada penggunaan lensa kontak
ialah faktor risiko terjadinya keratitis bakteri yang mana menciptakan kerusakan
pada epitel kornea.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tampak infiltrat pada kornea pada kedua
mata. Sesuai teori pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan
lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang
bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Sreptokokus pneumonia adalah
merupakan pathogen kornea bacterial, pathogen-patogen yang lain membutuhkan
inokulasi yang berat atau pada host yang immunocompromised untuk dapat
menghasilkan sebuah infeksi di kornea.4
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan Vigamox 6 x gtt ODS, Hyaloph
6 x gtt ODS, Paracetamol 3x 500 mg dan pasien juga menggunakn kacamata.
Berdasarkan literatur Pengobatan diberikan tergantung organisme penyebab,
misalnya antibiotik, antijamur, dan anti virus. Antibiotik spektrum luas dapat
digunakan secepatnya, tapi bila hasil laboratorium sudah menentukan organisme
penyebab, pengobatan dapat diganti. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine,
trifluridin atau acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah
cafazolin, vancomisin, moxifloxacin dan bakteri gram negatif dapat diberikan
tobramisin, gentamisin atau polimixin .Pemberian antibiotik juga diindikasikan
jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan
bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu : natamisin, amfoterisin atau fluconazol.
Selain itu obat yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan. Terkadang,
diperlukan lebih dari satu macam pengobatan. Terapi bedah laser terkadang
dilakukan untuk menghancurkan sel yang tidak sehat, dan infeksi berat
membutuhkan transplantasi kornea. Obat tetes mata atau salep mata antibiotik,
anti jamur dan antivirus biasanya diberikan untuk menyembuhkan keratitis.
Medikamentosa lain diberikan dengan tujuan mengatasi gejala yang ditimbulkan
oleh penyulit misalnya, untuk melindungi mata dari cahaya terang, benda asing
dan bahan iritatif lainnya, maka pasien dapat menggunakan kacamata. Untuk
mengurangi rasa nyeri dapat diberikan obat oral seperti analgesik.

32
BAB III
KESIMPULAN

Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea.
Berdasarkan distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau
multifokal. Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial,
subepitelial stromal, atau endotelial. Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis
bakteri ini adalah penipisan kornea, dan akhirnya perforasi kornea yang dapat
mengakibatkan endophthalmitis dan hilangnya penglihatan. Prognosis visual
tergantung pada beberapa faktor dan dapat mengakibatkan penurunan visus
derajat ringan sampai berat. Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas
keratitis, luas dan lokasi ulkus kornea, hasil vaskularisasi dan / atau deposisi
kolagen merupakan faktor yang menentukan prognosis.

33
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA
1. K.Weng Sehu et all. Opthalmologic Pathology. Blackwell Publishing. UK.
2005. p.62.
2. Ilyas, Sidarta : Anatomi dan Fisiologi mata dalam Ilmu Penyakit Mata.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI, Edisi 3, 2008. Hal 1-12.
3. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. ABC of Eye Foutrth Edition. BMJ Books.
p. 17-19.
4. Tasman W, Jaeger EA. Duanes Ophtalmology. Lippincott Williams &
Wilkins Publishers. 2007
5. Chern KC. Emergency Ophtalmology a Rapid Treatment Guide. Mc Graw-
Hill. 2002.
6. Raymond L. M. Wong, R. A. Gangwani, LesterW. H. Yu, and Jimmy S. M.
Lai. New Treatments for Bacterial Keratitis. Department of Ophthalmology,
Queen Mary Hospital, Hong Kong. 2012
7. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hal: 56
8. Thygeson P. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the American
Medical Association.1997. 144:1544-1549. Available at : Error! Hyperlink
reference not valid.

34
9. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea.
San Fransisco 2008-2009. p. 179-190

10. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta : EGC. 2009. p. 125-149.
11. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002.
p.147178

12. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook Atlas.
2nd edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 462-466.

35

Anda mungkin juga menyukai