PENDAHULUAN
Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel
histopatologi karsinoma sel skuamosa dengan varian yang terdiri dari verrucous
buruk.1 Insiden tertinggi karsinoma laring ini lebih banyak terjadi pada laki- laki
Tanda dan gejala klinis yang dialami penderita karsinoma laring diantaranya
suara serak, disfagia, hemoptisis, adanya massa di leher, nyeri tenggorok, nyeri
Sekitar 60% dari karsinoma laring berasal dari glotis, sementara sekitar 35%
tindih lebih dari satu area (transglotis) sehingga sulit untuk mengatakan berasal
dari bagian yang mana. Karsinoma laring yang terbentuk pada glotis sering
menyebabkan suara serak atau perubahan suara yang dapat ditemukan pada
stadium dini. Sedangkan untuk karsinoma laring yang terbentuk pada supraglotis
dan subglotis biasanya tidak menyebabkan perubahan pada suara, dan karena itu
lebih sering ditemukan pada stadium lanjut saat telah menyebar ke glotis dan
didapatkan angka 5 tahun harapan hidup yang bervariasi berdasarkan letak dan
1
stadiumnya. Untuk karsinoma pada supraglotis stadium I dan II adalah 59%,
stadium III (53%), dan stadium IV (34%). Untuk karsinoma pada glotis stadium I
(90%), stadium II (74%), stadium III (56%), dan stasdium IV (44%). Sementara
untuk karsinoma pada subglotis stadium I (65%), stadium II (56%), stadium III
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi
vertebra cervicalis IV VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif
lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja
tertutup bila sedang menelan makanan.5
Gambar 2.1 Laring tampak dari potongan Gambar 2.2 Laring dilihat dari atas
coronal
3
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago
tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid
dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat
melekatnya otot-otot dan ligamentum serta akan mengalami osifikasi sempurna
pada usia 2 tahun.5
4
Beberapa bagian penting dari dalam laring : (5)
a. Aditus Laringeus
Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral
oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi
atas m. aritenoideus.
b. Rima Vestibuli
Merupakan celah antara pita suara palsu.
c. Rima glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara prosesus
vokalis dan basis kartilago aritenoidea.
d. Vallecula
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah, dibentuk
oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.
e. Plika Ariepiglotika
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago
epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata. Sinus Pyriformis
(Hipofaring) terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago
tiroidea.
f. Incisura Interaritenoidea
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.
g. Vestibulum Laring
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago
aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan
m.interaritenoidea.
h. Plika Ventrikularis (pita suara palsu)
Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago
aritenoidea untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua
lipatan tebal dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.
5
Gambar 2.4 Anatomi Laring
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut : (6,7)
1. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan
udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi
seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada
dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk
6
dan massa ujung - ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang
mengemukakan bagaimana suara terbentuk:
- Teori Myoelastik Aerodinamik.
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak
langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring
akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan
menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan
tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang
subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga
celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke
anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali
membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran.
Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan
plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika
vokalis melebihi kekuatan aerodinamik).
Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah
sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika
vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang
subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.
- Teori Neuromuskular.
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari
getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N.
Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang
dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya atau frekuensi getaran plika
vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini
tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika
vokalis bilateral).
2. Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-
otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada
pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid
7
melalui serabut aferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan
epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah
proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke
lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar
rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga
kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh
tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan
menghambat pembukaan rima glottis, sedangkan jika pCO2 tinggi akan
merangsang pembukaan rima glottis. Hiperkapnia dan obstruksi laring
mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2
arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial
CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
4. Fungsi Sirkulasi
5. Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap
tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu:
Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M.
Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago
8
krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah,
kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh
epiglottis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup
aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi
aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
7. Fungsi Batuk
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi
benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada
mukosa laring.
8. Fungsi Ekspektorasi
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
9. Fungsi Emosi
Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya
pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.
2.2 Definisi
Karsinoma merupakan massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya
berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal
meskipun rangsangan yang memicu pertumbuhan tersebut telah berhenti.
Karsinoma laring adalah suatu keganasan yang ditandai dengan sebuah tumor
yang berasal dari epitel struktur laring.8
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan RISKESDAS 2013, kanker menduduki peringkat ketiga
sebagai penyakit tidak menular terbanyak di Indonesia pada pria dan wanita diatas
30 tahun. Kanker kepala dan leher adalah salah satu jenis kanker yang umum
9
terjadi di dunia. Laring merupakan daerah tersering kedua untuk kasus karsinoma sel
skuamosa kepala-leher, biasanya berhubungan dengan tembakau dan alkohol. Kanker
laring menempati urutan ketiga (16%) setelah karsinoma nasofaring (60%) dan tumor
ganas hidung dan sinus paranasal (18%).
Tumor ganas laring merupakan 1-2% dari seluruh kejadian tumor ganas di
seluruh dunia. Berdasarkan National Cancer Institute, pada tahun 2016
diperkirkan terdapat 13.430 kasus baru dan diperkirakan 3620 orang meninggal di
Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan peningkatan dimana pada tahun 2011
didapatkan 12.740 kasus baru tumor ganas laring dan 3560 orang meninggal.(9)
Kasus tumor ganas laring pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Angka
kejadian di Negara Eropa lebih tinggi dari pada di Asia, rata-rata insiden pada
laki-laki 2,5-17,1/100.000 penduduk. Di Kanada 6:1, Italia 32:1 dan Selandia
Baru 6-7:1. Sedangkan di Surabaya dari 1996-2000 angka kejadiannya menempati
urutan ke 3-4 dari keganasan di bidang THT-KL dengan persentase 10,2%-
13,01%. Angka insiden meningkat 3 kali pada kelompok umur 65 tahun keatas.(9)
Sebuah studi epidemiologi yang dilakukan oleh Markou K, mengatakan
bahwa menurut data internasional kanker laring menyumbang sekitar 1 sampai 2,5
% dari jumlah neoplasma, dan merupakan keganasan pada kepala dan leher
dengan insiden sekitar 30 40 %. Rata-rata umur pasien yang mengalami kanker
laring berada di atas 60,2 tahun dengan range umur antara 30-90 tahun. Sementara
itu, gender juga sangat berpengaruh terhadap kejadian kanker laring dimana
perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 30 : 1 pada tahun 1994,
namun meningkat menjadi 15 : 1 pada tahun 2010. Factor lain yang berpengaruh
terhadap insiden kanker laring adalah merokok dan alcohol. Dari seluruh total
pasien yang menderita kanker laring, sekitar 86,9 % merupakan perokok aktif, 7,6
% pernah merokok dan telah berhenti, hanya sekitar 5,6 % pasien dengan kanker
laring yang tidak merokok. Kemudian berepa faktor lain yang berpengaruh
terhdap kejadian kanker laring seperti riwayat penyakit kanker pada keluarga
(28,7 %) dan pekerjaan.(9)
Lebih dari 95% kasus tumor ganas laring adalah karsinoma sel skuamosa.
Sisanya tumor yang berasal dari kelenjar ludah minor, neuroepithelial, tumor
jaringan lunak dan jarang timbul dari tulang kartilaginosa laring.
10
Berdasarkan lokasi dan stadium, didapatkan karsinoma pada supraglotis
stadium I dan II adalah 59%, stadium III (53%), dan stadium IV (34%). Untuk
karsinoma pada glotis stadium I (90%), stadium II (74%), stadium III (56%), dan
stasdium IV (44%). Sedangkan untuk karsinoma pada subglotis stadium I (65%),
stadium II (56%), stadium III (47%), dan stadium IV (32%).(9)
2.4 Etiologi
Penyebab karsinoma laring belum sepenuhnya diketahui secara pasti, namun
diperkirakan berkaitan dengan kebiasaan merokok, konsumsi alkohol berlebihan,
paparan radiasi serta infeksi HPV (Human Papiloma Virus) pada sebagian kecil
kasus.10 Menurut Ramroth et al (2011), terdapat beberapa etiologi lain terjadinya
karsinoma laring diantaranya karena terpapar bahan atau substansi berbahaya
misalnya asbes dan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons. Peningkatan risiko
terjadinya karsinoma laring adalah terdapatnya keluarga yang memiliki riwayat
menderita kanker kepala dan leher.11
2.5 Patogenesis
Tumor atau sering dikenal dengan neoplasma adalah massa abnormal
jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan
pertumbuhan jaringan normal dan terus demikian walaupun rangsangan yang
memicu perubahan tersebut telah berhenti. Hal mendasar tentang asal neoplasma
adalah hilangnya responsivitas terhadap faktor pengendali pertumbuhan yang
normal. Tumor ganas atau neoplasma ganas ditandai dengan differensiasi yang
beragam dari sel parenkim, dari yang berdiferensiasi baik (well differentiated)
sampai yang sama sekali tidak berdiferensiasi. Neoplasma ganas yang terdiri atas
sel tidak berdiferensiasi disebut anaplastik. Tidak adanya diferensiasi, atau
anaplasia dianggap sebagai tanda utama keganasan. Neoplasma ganas (kanker)
tumbuh dengan cara infiltrasi, invasi, destruksi dan penetrasi progresif ke jaringan
sekitar. Kanker tidak membentuk kapsul yang jelas. Cara pertumbuhannya yang
infiltratif menyebabkan perlu dilakukannya pengangkatan jaringan normal
disekitar secara luas apabila suatu tumor ganas akan diangkat secara bedah.10
11
Kanker berhubungan dengan dua hal yaitu genetik dan perubahan
epigenetik yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang memicu aktivasi atau
inaktivasi yang tidak semestinya dari gen spesifik sehingga menyebabkan
transformasi neoplastik (IARC/International agency for Research on Cancer,
2007). Perkembangan kanker ini dikendalikan karena adanya perubahan dari
struktur dan fungsi genom. Pada awalnya kerusakan genetik nonletal merupakan
hal sentral dalam karsinogenesis. Kerusakan genetik ini mungkin dapat
dipengaruhi oleh llingkungan seperti zat kimia, radiasi, virus atau diwariskan
dalam sel germinativum. Terdapat suatu hipotesis genetik pada kanker bahwa
massa tumor terjadi akibat adanya ekspansi klonal satu sel progenitor yang telah
mengalami kerusakan genetik. Sasaran utama kerusakan genetik tersebut adalah
tiga kelas gen regulatorik yang normal yaitu protoonkogen yang mendorong
pertumbuhan, gen penekan kanker (tumor supresor gen) yang menghambat
pertumbuhan (antionkogen), dan gen yang mengatur kematian sel yang terencana
(programmed cell death), atau apoptosis. Selain gen-gen tersebut terdapat juga
gen yang mengatur perbaikan DNA yang rusak, berkaitan dengan karsinogenesis.
Gen yang memperbaiki DNA mempengaruhi proliferasi atau kelangsungan hidup
sel secara tidak langsung dengan mempengaruhi kemampuan organisme
memperbaiki kerusakan nonletal di gen lain, termasuk protoonkogen, gen penekan
tumor dan gen yang mengendalikan apoptosis. Kerusakan pada gen yang
memperbaiki DNA dapat memudahkan terjadinya mutasi luas digenom dan
transformasi neoplastik.10
Karsinogenesis memiliki beberapa proses baik pada tingkat fenotipe
maupun genotipe. Suatu neoplasma ganas memiliki beberapa sifat fenotipik,
misalnya pertumbuhan berlebihan, sifat invasif lokal dan kemampuan metastasis
jauh. Sifat ini diperoleh secara bertahap yang disebut sebagai tumor progression.
Pada tingkat molekular, progresi ini terjadi akibat akumulasi kelainan genetik
yang pada sebagian kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan
DNA.(10)
Perubahan genetik tersebut melibatkan terjadinya angiogenesis, invasi dan
metastasis. Sel kanker juga akan melewatkan proses penuaan normal yang
membatasi pembelahan sel. Tiap gen kanker memiliki fungsi spesifik, yang
12
disregulasinya ikut berperan dalam asal muasal atau perkembangan keganasan.
Gen yang terkait dengan kanker perlu dipertimbangkan dalam konteks enam
perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang menentukan fenotipe ganas,
diantaranya:
a. Self-sufficiency (menghasilkan sendiri) sinyal pertumbuhan. Gen yang
meningkatkan pertumbuhan otonom pada sel kanker adalah onkogen. Gen ini
berasal dari mutasi protoonkogen dan ditandai dengan kemampuan mendorong
pertumbuhan sel walaupun tidak terdapat sinyal pendorong pertumbuhan yang
normal. Produk gen ini disebut onkoprotein. Pada keadaan fisiologik, proliferasi
sel awalnya terjadi karena terikatnya suatu faktor pertumbuhan ke reseptor
spesifiknya di membran sel. Aktivasi reseptor pertumbuhan secara transien dan
terbatas, yang kemudian mengaktifkan beberapa protein transduksi sinyal di
lembar dalam plasma. Transmisi sinyal ditransduksi melintasi sitosol menuju inti
sel melalui perantara kedua . Induksi dan aktivasi faktor regulatorik inti sel yang
memicu transkrip DNA. Selanjutnya sel masuk kedalam dan mengikuti siklus sel
yang akkhirnya menyebabkan sel membelah. Dengan latar belakang ini, kita dapat
mengidentifikasi berbagai strategi yang digunakan sel kanker untuk memperoleh
self-sufficiency dalam sinyal pertumbuhan.10
13
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup suatu sel dipengaruhi oleh gen yang
mendorong dan menghambat apoptosis. Rangka ian kejadian yang menyebabkan
apoptosis yaitu melalui reseptor kematian CD95 dan kerusakan DNA. Saat
berikatan dengan ligannya, CD95L, CD95 mengalami trimerisasi, dan domain
kematian sitoplasmanya menarik protein adaptor intrasel FADD. Protein ini
merekrut prokaspase (prokaspase) 8 untuk membentuk kompleks sinya
penginduksi kematian. Kaspase 8 mengaktifkan kaspase di hilir sepersi kaspase 3,
suatu kaspase eksekutor tipikan yang memecah DNA dan substrat lain yang
menyebabkan kematian. Jalur lain dipicu oleh kerusakan DNA akibat paparan
radiasi, bahan kimia dan stres . Mitokondria berperan penting dijalur ini dengan
membebaskan sitokrom c. Pembebasan sitokrom c ini diperkirakan merupakan
kejadian kunci dalam apoptosis, dan hal ini dikendalikan oleh gen famili BCL2.
Dengan kata lain bahwa peran BCL2 dapat melindungi sel tumor dari apoptosis.10
14
yang diinduksi oleh adanya gen TP53 wild-type, angiostatin, endostatin dan
vaskulostatin. Mutasi gen TP53 wild-type ini menyebabkan penurunan kadar
trombospondin-1 sehingga keseimbangan condong ke faktor angiogenik.10
2.6 Diagnosis
Tumor glotik
T1 : Tumor terbatas di korda vokalis, gerakan normal
T2 : Tumor ber eksternsi ke supraglotik/subglotik dengan gerakan normal, atau
sedikit terganggu
T3 : Tumor terbatas di laring dengan fiksasi korda vokalis
T4 : Tumor masif dengan kerusakan tulang rawan atau ekstensi keluar laring
Tumor subglotik
T1 : Tumor terbatas di daerah subglotik
T2 : Mengenai korda vokalis dengan gerakan normal atau sedikit terganggu
T3 : Tumor terbatas pada laring, dengan fiksasi korda vokalis
T4 : Tumor masif dengan kerusakan pada tulang rawan atau ekstensi keluar
laring
15
M0: Belum ada metastasis jauh
M1: Metastasis jauh
Gejala dini : Suara parau. Suara parau pada orang tua lebih dari
2 minggu perlu pemeriksaan laring secara seksama.
Gejala lanjut : sesak nafas dan stridor inspirasi, sedikit demi
sedikit, progresif. Kesulitan menelan terjadi pada tumor
supraglotik, atau apabila tumor sudah meluas ke faring atau
esophagus.
2) Pemeriksaan fisik :
16
Pemeriksaan THT : pada laringoskop indirekta (LI) atau
laringoskopi serat optik (LSO) dapat diketahui tumor di laring.
Pemeriksaan leher :
o Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar
leher, laring dan tiroid.
o Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membrane
krikotiroid atau tirohioid, yang merupakan tanda ekstensi
tumor ke ekstra laryngeal. Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid
menyebabkan tiroid membesar dank eras. Memeriksa
pembesaran kelenjar getah bening leher.
3) Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan meliputi :
1. Pemeriksaan laboratorium darah
2. Pemeriksaan radiologi
17
dan metastasis servikal. Kedua modalitas pencitraan ini sangat
berguna untuk menilai karakteristik kelainan oleh kanker
laring. MRI lebih sensitif untuk menilai abnormalitas jaringan
lunak sedangkan CT scan lebih baik untuk menilai defek tulang
ataupun kartilago
3. Pemeriksaan histopatologi.
Biopsi merupakan gold standar dari penegakan diagnosis
karsinoma laring dan biopsi jarum halus pada pembesaran
kelenjar getah bening di leher. Pemeriksaan histopatologi
dilakukan dengan biopsi pada lesi laring dengan laringoskop
langsung. Hal ini perlu dilakukan untuk menilai keganasan dan
membedakannya dengan lesi jinak atau lesi lain misalnya oleh
karena infeksi bakteri, virus dan jamur. Selain itu pemeriksaan
biopsi ini juga dapat mengidentifikasi tipe tumor dan
diferensiasinya. Biopsi dilakukan diruang operasi dan pasien
diberikan anestesi umum serta diberi neuromuskular paralisis
sebelum dilakukan operasi. Hasil patologi anatomi terbanyak
adalah karsinoma sel skuamosa.
18
memiliki insidensi 1-2 % dari seluruh kasus keganasan pada
laring.2
Salivary Gland Cancers
Keganasan ini dapat muncul dari kelenjar saliva minor pada
mukosa laring. Karsinoma kistik adenoid dan karsinoma
mukoepidermoid paling sering terjadi. Laki-laki dan perempuan
memiliki rasio yang sama untuk terjadinya karsinoma kistik
adenoid laring. Pembedahan dapat dipilih sebagai terapi untuk
dua jenis karsinoma ini, serta terapi adjuvan radiasi seperti pada
keganasan kelenjar saliva mayor.1
Sarkoma
Keganasan yang berasal dari pertumbuhan sel mesenkim ini
sangat jarang terlihat. Sarkoma yang paling sering terjadi adalah
kondrosarkoma. Kondrosarkoma laring ini muncul paling sering
dari kartilago krikoid dan massa submukosa glottis posterior.
Diagnosis keduanya sangat sulit.
Kondrosarkoma memiliki sifat yang non-agresif sehingga
terapinya dapat dilakukan pembedahan parsial laring. Radiasi
secara umum tidak efektif untuk kondrosarkoma.1
Neoplasma lain
Tumor lain yang dapat terjadi pada laring diantaranya adalah
tumor neuroendokrin seperti tumor karsinoid, limfoma dan
metastasis dari tumor primer lain. Tumor ganas tiroid dapat
menginvasi laring dengan atau tanpa paralisis pita suara.1
19
Gejala dapat berupa suara parau, sesak napas, dan nyeri menelan.
d. Karsinoma Nasofaring
Gejala dapat berupa gejala hidung, telinga, gejala lanjut, serta gejala mata
dan saraf.
2.8 Penatalaksanaan
a. Pengobatan Kanker Laring Stadium Awal
Kanker laring stadium awal (stadium I dan II) dapat diterapi
dengan pembedahan atau radiasi sebagai terapi single modaliti.
Pada stadium ini kanker masih memberikan respon baik terhadap
radiasi, reseksi laser transoral atau operasi laring parsial. Angka
kesembuhan primer diperkirakan sekitar 80-85% dan jika
ditambahkan pengobatan lini kedua angka kesembuhan >90%. 1,2
Terapi radiasi diberikan pada penderita kanker laring glottis dan
supraglottis stadium awal. Terapi ini dilakukan lebih dari 5
sampai 8 minggu. Dengan terapi radiasi tentu saja akan
menurunkan angka kesakitan akibat operasi dan kualitas suara
yang lebih baik setelah terapi meskipun suara tidak akan kembali
seutuhnya seperti semula. Terapi radiasi ini dapat menyebabkan
terjadinya kondronekrosis, edem laring dan kadang-kadang akan
menginduksi tumor yang baru.2 Reseksi laser transoral
menggunakan cairan mikrolaringoskop dimana tumor direseksi
dari dari laring dibawah kontrol frozen section.2 Operasi laring
parsial merupakan modalitas primer untuk kanker laring stadium
awal
untuk beberapa tahun dengan hasil yang memuaskan, namun
operasi ini memiliki angka kegagalan yang masih tinggi
tergantung dari kondisi pasien dan keahlian dokter yang
menangani.2
20
Kanker laring stadium lanjut ( stadium III dan IV) dapat
diterapi dengan dual-modality yaitu terapi pembedahan dan
radiasi.
b. Hemilaringektomi
Pembedahan ini dapat dilakukan jika (1) tumor subglottis tidak
lebih dari 1 cm dibawah pita suara asli, (2) pita suara yang
terlibat masih mobil, (3) Keterlibatan unilateral atau keterlibatan
komisura anterior dan kontralateral anterior pita suara asli dapat
diterapi dengan hemilaringektomi vertikal secara luas, (4) tumor
belum menginvasi kartilago, dan (5) tidak ada keterlibatan
jaringan lunak ekstralaring.1
c. Laringektomi Supraglottis
Pembedahan ini dilakukan untuk membuang jaringan tumor di
daerah supraglottis atau bagian atas laring. Pembedahan ini
dapat dipertimbangkan jika (1) tumor dengan stadium T1, T2,
atau T3 dengan hanya melibatkan preepiglottis, (2) pita suara
masi mobil, (3) kartilago tidak terlibat, (4) komisura anterior tidak
terlibat, (5) pasiem memiliki status pulmonologi yang baik, (6)
bagian dasar lidah tidak terlibat, (7) sinus piriform pre-apex tidak
terlibat, dan (8) FEV 1 diprediksikan lebih dari 50% .1
21
d. Suprakrikoid Laringektomi
Pembedahan ini masih terbilang baru dan merupakan
pengembangan dari prosedur pembedahan laringektomi
supraglottis. Terapi ini dilakukan jika tumor di lokasi glottis
anterior, komisura, atau keterlibatan ruang pre-epiglottis yang
lebih luas.1
e. Near-Total Laryngectomy
Terapi pembedahan ini merupakan laringektomi parsial yang
lebih luas dimana hanya satu aritenoid yang diselamatkan dan
kanal transesofageal dikonstruksi untuk fungsi bicara.
Pembedahan ini di indikasikan untuk pasien dengan lesi T3 dan
T4 tanpa keterlibatan satu aritenoid, atau dengan tumor
tranglottis unilateral dengan fiksasi pita.1
f. Laringektomi Total
Pembedahan ini di lakukan untuk membuang seluruh jaringan
laring yang terkena, terdiri atas tiroid dan kartilago tiroid,
mungkin juga beberapa cincin trakea bagian atas dan tulang
hyoid. Indikasi laringektomi total adalah (1) lesi T3 dan T4 tidak
dapat dilakuka parsial laringektomi atau terapi penyelatan organ
dengan kemoterapi, (2) keterlibatan tiroid dan kartilago tiroid
secara luas, (3) terdapat invasi langsung pada jaringan lunak
dileher, dan (4) keterlibatan bagian
dasar lidah sampai papila sirkumvalata.1
22
jaringan tumor. Terapi ini efektif untuk pengobatan tumor ganas
laring stadium awal. Efek samping terapi fotodinamik ini adalah
pasien menjadi sangat sensitif terhdap cahaya, hal ini akan
menetap hingga beberapa minggu setelah pemberian
photosensitizing agent. Oleh sebab itu, pasien harus memakai
baju pelindung untuk menghindari sinar matahari selama terapi.1
g. Terapi Radiasi
Radiasi diberikan sebagai terapi primer untuk kanker laring
atau terapi tambahan setelah pembedahan. Terapi ini sering
dilakukan dengan tekhnik penyinaran eksternal dengan dosis
6000-7000 cGy yang diberikan pada lokasi primer tumor. Terapi
radiasi pos-operatif dilakukan pada kanker dengan stadium
lanjut, penyebaran tumor ke ekstrkapsular dalam nodus limfa,
penyebaran ke perineural atau angiolimfatik, keterlibatan nodus
secara multipel ditingkan leher (terutama level IV dan V, atau
mediastinuum). Efek samping terapi radiasi dalam jangka pendek
akan berakhir sampai 6 minggu setelah terapi. Efek samping
tersebut diantaranya adalah terjadinya mukositis, odinofagia,
disfagia, eritema, dan edema. Efek jangka panjang diantaranya
xerostomia, fibrosis dan edema. Kadang-kadang efek samping
dapat berupa hipotiroidisme, kondroradionekrosis dan
osteoradionekrosis.1
h. Kemoterapi
Cisplatin dan 5-fluorouracil merupakan dua agen yang paling
efektif untuk pengobatan kanker laring. Kemoterapi dapat
digunakan sebagai neoadjuvan secara simultan dengan radiasi
dan juga sebagai adjuvan. Penelitian dengan neoadjuvan dan
kemoterapi intra arterial secara simultan menunjukkan respon
lokal tumor yang bagus pada kasus tertentu, namun juga dapat
menyebabkan lokal toksisitas. Kemoterapi juga dapat digunakan
23
sebagai terapi paliatif pada tumor ganas laring stadium lanjut.
Kemoterapi ini bukanlah terapi lini pertama atau terapi standar
untuk kanker laring stadium awal ( stadium I dan II).1
Tabel 2.1 Persentase terapi kemoterapi pasien karsinoma
laring
2.9 Prognosis
Berdasarkan AJCC (American Joint Comitte on Cancer) pada tahun 2010
didapatkan angka 5 tahun harapan hidup yang bervariasi berdasarkan letak dan
stadium III (53%), dan stadium IV (34%). Untuk karsinoma pada glotis stadium I
(90%), stadium II (74%), stadium III (56%), dan stasdium IV (44%). Sementara
untuk karsinoma pada subglotis stadium I (65%), stadium II (56%), stadium III
24
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS
Nama : Jafar
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dusun Kuta Mannye, Kec. Makmur, Kab. Bireuen
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Status : Sudah Menikah
No CM : 1-10-37-85
Tanggal Masuk RS : 27 September 2016
Tanggal Pemeriksaan : 5 Oktober 2016
sesak napas sejak 1 minggu sebelum masuk RS. Sesak napas dirasakan semakin
memberat saat beraktivitas ringan saat duduk. Keluhan suara parau sudah 2 tahun
dirasakan dan memberat dalam 1 minggu sebelum masuk RS. Pasien juga
mengeluhkan sulit dan nyeri saat menelan serta adanya benjolan dileher sejak 2
tahun yang lalu. Benjolan terdapat di leher bagian depan awalnya kecil dan kini
keras dan nyeri. Tidak ada benjolan lain di sekitarnya. Keluhan hidung tersumbat
dan keluar cairan tidak ada. Keluhan telinga berdengung atau kurang pendengaran
25
tidak ada. Keluhan pandangan ganda tidak ada. Penurunan berat badan yang
26
Superior : Edema (-), sianosis (-)
Inferior : Edema (-), sianosis (-)
Hematologi
- Hematokrit 48 %
5,6 106/mm3
- Eritrosit
8,4 103/mm3
- Leukosit
211 103/mm3
- Trombosit
Hitung jenis
6
- Eosinofil %
- Basofil 0
%
- Netrofil segmen
- Netrofil batang 48
%
- Limfosit 0
- Monosit %
37
%
9
%
Elektrolit
27
Diabetes
- Ureum 24 mg/dl
- Kreatinin
1,25 mg/dl
28
- Kesan : Tidak tampak adanya kelainan pada foto vertebrae cervikalis.
3. CT SCAN LARING
29
Gambar 3.6 Foto klinis (1) Gambar 3.7 Foto klinis (2)
3.7 DIAGNOSIS
- Impending upper airway obstruction ec suspek tumor ganas laring
stadium IV T4N0M0
3.8 PENATALAKSANAAN
3.8.1 Terapi Supportif
- Bed rest
- Rehabiitasi suara
30
immobile, ukuran 3x2x2 cm
Paru-paru :
vesikuler (/), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
31
Sabtu, 8 Oktober TD : 120/80 mmHg KU : Sesak semakin
2016 HR : 66 kali/menit berkurang
RR : 20 Kali/menit Regio Colli
Temperatur : 36,7 C Inspeksi : tampak benjolan di
colli anterior, stridor (-),
kanul trakhea terpasang,
Palpasi : nyeri luka operasi,
teraba benjolan di colli
anterior, konsistensi keras,
nyeri tekan, terfiksir,
immobile, ukuran 3x2x2 cm
3.9 PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad malam
32
BAB 4
ANALISIS KASUS
33
jaringan normal dan terus demikian walaupun rangsangan yang memicu
perubahan tersebut telah berhenti.10 Hal mendasar tentang asal neoplasma adalah
hilangnya responsivitas terhadap faktor pengendali pertumbuhan yang normal.
Suatu neoplasma ganas memiliki beberapa sifat fenotipik, misalnya pertumbuhan
berlebihan, sifat invasive lokal dan kemampuan metastasis jauh. Sifat ini
diperoleh secara bertahap yang disebut sebagai tumor progression. Pada tingkat
molekular, progresi ini terjadi akibat akumulasi kelainan genetik yang pada
sebagian kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan DNA. Pada
karsinoma laring, hal tersebut dapat bermanifestasi berupa benjolan atau massa
yang dapat terlihat dan teraba pada daerah leher atau trakea, yang terfiksir,
immobile, dan terasa nyeri bila jaringan sekitar tumor sudah mengalami destruksi.
Tanda dan gejala klinis yang dialami penderita karsinoma laring diantaranya suara
serak, disfagia, hemoptisis, adanya massa di leher, nyeri tenggorok, nyeri telinga,
gangguan saluran nafas dan aspirasi.1
Tumor ganas atau neoplasma ganas ditandai dengan differensiasi yang
beragam dari sel parenkim, dari yang berdiferensiasi baik (well differentiated)
sampai yang sama sekali tidak berdiferensiasi. Neoplasma ganas yang terdiri atas
sel tidak berdiferensiasi disebut anaplastik. Tidak adanya diferensiasi, atau
anaplasia dianggap sebagai tanda utama keganasan. Neoplasma ganas (kanker)
tumbuh dengan cara infiltrasi, invasi, destruksi dan penetrasi progresif ke jaringan
sekitar. Kanker tidak membentuk kapsul yang jelas. Cara pertumbuhannya yang
infiltratif menyebabkan perlu dilakukannya pengangkatan jaringan normal
disekitar secara luas apabila suatu tumor ganas akan diangkat secara bedah.
Berdasarkan kasus ini, pasien dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang
diantaranya, foto thoraks, ct scan, dan pada saat dilakukan trakeostomi juga
dilakukan pemeriksaan patologi anatomi berupa biopsi. Pemeriksaan foto thoraks
dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya metastasis ke paru. Pasien juga
dilakukan pemeriksaan ct-scan laring. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat
dimana letak tumor laring, apakah letaknya di supraglotis, glottis, maupun
subglotis dan untuk melihat penyebaran dari sel tumor. Hal ini sesuai dengan teori
yang menyatakan pemeriksaan ct scan dapat menilai volume tumor, ada atau
tidaknya invasi ke cartilago, invasi ke kompartemen supraglottik, glottik, dan
34
subglottik, untuk mengetahui penyebaran tumor ke preepiglottik, paraglottik, dan
jaringan lunak, serta tingkat nodulnya.13 Selain itu, pasien ini juga dilakukan
biopsi. Biopsi merupakan pemeriksaan gold standar pada pasien ini. Tujuannya
untuk membuktikan tumor pada pasien ini jinak atau ganas. Jenis tersering
karsinoma laring adalah squamosa cell carcinoma.14
35
BAB 5
KESIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus suspek karsinoma laring pada seorang laki-
laki berusia 49 tahun yang ditegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan telah dilakukan tindakan
operasi tracheostomy dan biopsi. Namun sampai saat ini, hasil biopsi belum
keluar.
Sebagai dokter umum, bila menemukan kasus suspek karsinoma laring
adalah merujuk pasien ke Rumah Sakit Tipe A dan melakukan edukasi. Terlebih
dahulu pasien di anamnesis dengan lengkap yang mengarah kepada diagnosis
tersebut serta melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan di Rumah Sakit Rujukan. Edukasi yang diberikan kepada pasien berupa
menghindari faktor risiko penyebab kanker laring seperti berhenti merokok,
makanan yang mengandung karsinogen. Menganjurkan deteksi dini pada keluarga
dimana apabila terdapat gejala yang sama seperti pasien, agar segera
memeriksakan diri ke dokter serta mengutamakan preventif.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Concus, AP, Tran, T.P, Sanfilippo, N.J, and Delacure, S.D, 2008. Current
2. Lee, K.J, 2003. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head
747, 755-760.
3. AJCC, 2010. Cancer Staging of laryngeal cancer. 7th ed. Diunduh dari :
http://web.csh.org.tw/web/cancer/wpcontent/uploads/2014/04/20140412_C
Ear, Head, and Neck, 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger. 1993.
736,747,655-760.
7. Woodson, D.E. Upper Airway Anatomy and Function. In: Byron J. Balley.
8. Soepardi, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
37
9. Markou, K., et al. Laryngeal Cancer:Epidemyological Data From Nothern
10. Kumar V dan Maitra A. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam buku
12. Tobungan N.et all. 2015. Epidemiologi, Stadium, dan Derajat Diferensiasi
13. Yousem, David dan Tufano, Ralph. 2002. Laryngeal Imaging. MRI Clinics
of North America.10:451-465.
38