Anda di halaman 1dari 11

MK: SISTEM PERKEMIHAN

INKONTINENSIA URIN PADA LANSIA

KELOMPOK 4 :

Albert Pangemanan (14061079)


Eka Rhesvlyanti (14061035)
Frischilla Tika Salawoba (14061026)
I Wayan Septian (14061044)
Mario Baemamenteng (14061037)
Nadya Durado (14061032)
Nancy Monica Madjid (14061003)
Oviatri Adipati (14061019)
Ria Ch. Tampilang (14061008)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE MANADO
TAHUN 2017
LAPORAN PENDAHULUAN
INKONTINENSIA URIN

A. DEFINISI
Inkontinensia didefinisikan sebagai berkemih ( defekasi ) di luar kesadaran, pada waktu
dan tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau social ( Watson,
1991 ). Terdapat dua aspek social yang sangat penting dalam definisi inkontinensia ini.
Inkontinensia yang diderita oleh klien mungkin tidak menimbulkan sejumlah masalah yang
nyata bagi teman atau keluarganya. Aspek social yang lain yaitu adanya konsekuensi yang
ditimbulkan inkontinensia terhadap individu yang mengalminya, antara lain klien akan
kehilangan harga diri, juga merasa terisolasi dan depresi.
Faktor yang berkonstribusi terhadap perkembangan inkontinensia adalah factor fisiologis
dan psikologis. Faktor psikologis dapat mencakup depresi dan apatis, yang dapat meperberat
kondisi sehingga sulit untuk mengatasi masalah kearah normal. Beberapa kondisi psikiatrik
dan kerusakan otak organic seperti demensia, dapat juga menyebabkan inkontinensia. Faktor
anatomis dan fisiologis dapat mencakup kerusakan saraf spinal, yang menghancurkan
mekanisme normal untuk berkemih dan rasa ingin menghentikannya. Penglihatan yang
kurang jelas, infeksi saluran perkemihan, dan medikasi tertentu seperti diuretic juga
berhubungan dengan inkontinensia. Selain itu, wnaita yang melahirkan dan laki laki dengan
protatism, cenderung mengalami kerusakan kandung kemih yang dapat menyebabkan
inkotinansia, akibat trauma atau pembedahan.

B. KLASIFIKASI INKONTENENSIA URINE


Meskipun berbagai penyebab inkontinensia menghasilkan proses yang sederhana,
tetapi inkontinensia perlu dikategorisasikan, seperti yang telah ditetapkan oleh Perhimpunan
Kontinensia Internasional.
1. Inkontinensia stress
Terjadi akibat adanya tekanan di dalam obdomen ( peningkatan intra badomen secar tiba
tiba yang menambah tekanan yang emmang telah ada pada kandung kemih ). Oleh Karen itu,
bersin batuk, tertawa, latihan / olahraga, atau perubahan posisi dengan bangun dari kursi atay
berbalik dapat menyebabkan kehilangan sejumlah kecil urine tanpa disadari atau kebocoran
urine dari kandung kemih. Hal tersebut lebih sering terjadi pada wanita karena kehilangan
tonus otot dasar panggul yang dihubungkan dengan melahirkan anak, prolaps pelvis seperti
sistokel, uretra yang lebih pendek secra natomis, dan kelemahan sfingter. Pada pria,
prostatektomi adalah salah satu penyebabnya.

2. Inkontinensia mendesak ( urgensi )


Inkontinensia ini dihubungkan dengan keinginan yang kuat dan mendesak untuk berkemih
dengan kemampuan yang kecil untuk menunda berkemih. Berkemih dapat dilakukan, tetapi
orang biasanya berkemih sebelum sampai ke toilet. Mereka tidak merasakan adanya tanda
untuk berkemih. Pada inkontinensia urgensi, kandung kemih hampir penuh sebelum
kebutuhan utnuk berkemih dirasakan dan sebagai akibatnya, sejumlah kecil sampai sedang
urine keluar sebelum dapat mencapai toilet. Sensasi urgensi tersebut disertai dengan
frekuensi. Penyebabnya dihubungkan dengan ketidakstabilan otot trusor ( aktivitas yang
berlebihan ) oleh otot itu sendiri atau yang dihubungkan dengan kondisi seperti sistitis,
obstruksi aliran keluar, cedera spinal pada bagian suprasakral, dan stroke. Antara 40 70%
inkontinensia pada lansia adalah jenis inkontinensia urgensi.

3. Inkontinensia Overflow
Inkontinensia karena aliran yang berlebihan ( overflow ) adalah hilangnya urine yang terjadi
dengan distensi kandung kemih secara berlebihan yang terjadi pada 7 sampai 11% pasien
inkontinensia. Kapasitas berlebihan, yang menyebabkan tekanan kandung kemih lebih besar
daripada tekanan resistensi sfingter uretra. Karena otot detrusor tidak berkontraksi, terjadi
urine yang menetes dan penurunan pancaran urine saat berkemih.
Inkontinensia karena aliran yang berlebihan disebabkan oleh gangguan transmisi saraf
dan oleh adanya obstruksi pada saluran keluarnya urine seperti yang terjadi pada pembesaran
prostat atau impaksi fekal. Hal ini juga disebut hipnotik atau atonik kandung kemih. Residu
urine setelah berkemih lebih dari 150 sampai 200 ml.
Kondisi ini juga terjadi saat aktivitas kandung kemih tidak ada dan muncul karena
adanya beberapa obstruksi yang menahan urine untuk keluar. MIksi normal tidak mungkin
terjadi. Akhirnya, tekanan dari urine di dalam kandung kemih mengatasi obstruksi dan terjadi
episode inkontinensia. Hal ini biasanya terjadi pada prostatism dan konstipasi fekal.
4. Inkontinensia reflex
Akibat dari kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti demensia. Dalam hal
ini, pengosongan kandung kemih dipengaruhi reflex yang dirangsang oleh pengisian.
Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.
5. Inkontinensia fungsional
Inkontinensia fungsional disebabkan oleh factor factor selain dari disfungsi system
urinaria. Struktur system urinaria utuh dan fungsinya normal, tetapi factor eksternal
mengganggu kontinensia. Demensia, gangguan psikologis lain, kelemahan fisik atau
imobilitas, dan hambatan lingkungan seperti jarak kamar mandi yang jauh adalah salah satu
factor factor ini. Hal ini terjadi saat terdapat factor yang membatasi individu untuk
kontinensia, bias berupa spinal, psikiatrik, atau musculoskeletal.
6. Inkontinensia Fekal
Meskipun biasanya bukan merupakan tanda penyakit mayor, inkontinensia dapat
menyebabkan gangguan yang serius pada kesejahteraan fisik dan psikologis lansia.
Inkontinensia fekal dapat terjadi secara bertahap ( seperti demensia ) atau tiba tiba ( seperti
cedera medulla spinalis ). Inkontinensia fekal biasanya akibat dari statis fekal dan impaksi
yang disertai penurunan aktivitas, diet yang tidak tepat, penyakit anal yang nyeri yang tidak
diobati, atau konstipasi kronis. Inkontinensia fekal juga dapat disebabkan oleh penggunaan
laksatifyang kronis, penurunan asupan cairan, deficit neurologis dan pembedahan pelvic,
prostat, atau rectum serta obat obatan seperti antihistamin, psikotropik, dan preparat besi.
Lansia yang mengalami inkontinensia fekal mungkin tidak menyadari kebutuhan
untuk defekasi. Jika ia tidak dapat pergi ke kamar mandi atau menggunakan commode atau
pispot sendiri, pasien dapat kehilangan sensitifitas rectum akibat harus menahan desakan
defekasi sementara menunggu bantuan. Perubahan musculoskeletal dapat juga emmepngaruhi
kemampuan lansia untuk mengambil posisi yang nyaman, yang mempengaruhi frekuensi dan
keefektifan defekasi.
7. Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine bukan merupakan tanda tanda normal penuaan. Inkontinensia
urine selalu merupakan suatu gejala dari masalah yang mendasari. Jutaan lansia mengalami
beberapa kehilangan kendali volunteer. Masalah kontinensia urinarius dibagi menjadi akut
atau persisten dan dapat berkisar dari kehilangan control kandung kemih ringan sampai
inkontinensia total. Inkotinensia akut terjadi secara tiba tiba biasanya akibat dari penyakit
akut. Sering terjadi pada individu yang dirawat di rumah sakit, inkontinensia akut biasanya
hilang setelah penyakit sembuh. Inkontinensia akut juga dapat akibat dari obat, terapi, dan
factor lingkungan . Inkontinensia persisten diklasifikasikan menjadi inkontinensia urgensi,
inkontinensia stress, inkontinensia overflow, dan inkontinensia fungsional. Inkontinensia
urine dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan endokrin, seperti hiperklasemia dan
hiperglikemia. Keterbatasan mobilitas atau penyakit yang menyebabkan retensi urine dapat
mencetuskan inkontinensia urine ata dapat akibat depresi pada lansia

C. ETIOLOGI
Terdapat sejumlah alasan terjadinya inkontinensia, baik yang disebabkan oleh semua
factor diatas maupun masalah klinis yang berhubungan. Alasan utama pada lansia adalah
adanya ketidakstabilan kandung kemih. Beberapa kerusakan persyarafan mengakibatkan
sesorang tidak mampu mencegah kontraksi otot kandung kemih secara efektif (otot detrusor)
dan mungkin juga dipersulit oleh masalah lain, seperti keterbatasan gerak atau konfusi.
Keinginan untuk miksi datang sangat cepat dan sangat mendesak pada seseorang sehingga
penderita tidak sempat pergi ke toilet, akibatnya terjadi inkontinensia, kejadian yang sama
mungkin dialami pada saat tidur.
Pada wanita, kelemahan otot spingter pada outlet sampai kandung kemih seringkali
disebabkan oleh kelahiran multiple sehingga pengeluaran urine dari kandung kemih tidak
mampu dicegah selama masa peningkatan tekanan pada kandung kemih. Adanya tekanan di
dalam abdomen, seperti bersin, batuk, atau saat latihan juga merupakan factor konstribusi.
Pembesaran kelenjar prostat pada pria adalah penyabab yang paling umum terjadinya
obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini menyebabkan inkontinensia karena
adanya mekanisme overflow. Namun, inkontinensia ini dapat juga disebabkan oleh adanya
obstruksi yang berakibat konstipasi dan juga adanya massa maligna ( cancer ) dalam pelvis
yang dialami oleh pria dan wanita. Akibat dari obstruksi, tonus kandung kemih akan
menghilang sehingga disebut kandung kemih atonik. Kandung kemih yang kondisinya penuh
gagal berkontraksi, akan tetapi kemudian menyebabkan overflow, sehingga terjadi
inkontinensia.
Apapun penyebabnya, inkontinensia dapat terjadi saat tekanan urine di dalam kandung
kemih menguasai kemampuan otot spingter internal dan eksternal ( yang berturut turut baik
secara sadar maupun tidak sadar ) untuk menahan urine, tetap berada dalam kandung kemih.

D. MANIFESTASI KLINIS

1) Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi


karena telah mulai berkemih.
2) Desakan, frekuensi, dan nokturia.
3) Inkontinensia stress dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa,
bersin, melompat, batuk atau membungkuk.
4) Inkontinensia overflow, dicirikan dengan volume dan aliran urine buruk atau lambat dan

merasa menunda atau mengejan.


5) Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang adekuat.
6) Hiegiene buruk atau tanda tanda infeksi.
7) Kandung kemih terletak di atas sifisis pubis.

E. PATOFISIOLOGI
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi
saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen
secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau
bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat
berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada
pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian
koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada
keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung
kemih penuh atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat
atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan
normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase
pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat
mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa
dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase
pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih
meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang
merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka
uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena
kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam
uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot
kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran.
Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter
uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control volunter dan disuplai oleh
saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di
bawah kontrol sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung
kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa
dan lapisanmukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan
bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih
berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung
kemih.
Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf
yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin,
rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal
dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung
kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan
untuk berkemih.
Ketika pengisian kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari,
dan pusat kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan
pada pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan
menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan
urethra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan
agulasi yang tepat antara urethra dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga
tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-
abdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak
akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula
spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung
kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan
leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas
parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar panggul. Pada fase
pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat
sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek
ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan
serebelum.
Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia
urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow. Inkontinensia
urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam
kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring dengan bertambahnya usia, ada
beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya otot
dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk
kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung
kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia
Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-
obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa
terjadi karena produksi urine berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik,
seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan
otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause,
usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama
sembilan bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot
dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko
terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di
usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko
yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga
berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan
mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot
dasar panggul.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Urinallisis, digunakan untuk melihat apakan ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.
2) Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
3) Cysometri digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi reflex otot detrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal dan reaksi
kandung kemih terhadap rangsangan panas.
4) Urografi ekskretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi

struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.


5) Volding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan kandung

kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, striktur uretra, dan tahap
gangguan uretra prostatic stenosis ( pada pria ).
6) Uretrografi
retrograde, digunakan hampir secara ekslusif pada pria, membantu
diagnosis striktur dan obstruksi orifisium uretra.
7) Elektromiografi sfingter pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran prostat atau
nyeri, kemungkinan menanndakan hipertrofi prostat jinak atau infeksi. Pemeriksaan
tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin menyebabkan inkontinensia.
8) Pemeriksaan vagina dapat memperlihatkan kekeringan vagina atau vaginitis atrofi,

yang menandakan kekuranagn estrogen.


9) Katerisasi
residu pescakemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan
kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien
berkemih.

G. PENANGANAN
Terapi obat disesuaikan dengan penyebab inkontinensia. Antibiotik diresepkan jika
inkontinensia akibat dari inflamasi yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Obat antikolinergik
digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih dan mengobati spasme kandung kemih
jika dicurigai ada ketidakpstabilan pada otot detrusor. Obat antipasmodik diresepkan untuk
hiperrefleksia detrusor untuk menekan aktivitas otot polos kandung kemih. Estrogen, baik
dalam bentuk oral, topical, maupun supositoria, digunakan jika ada vaginitis atrofik.
Inkontinensia stree kadang dapat diterapi dengan antidepresan.
Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu kemih,
penyegeraan berkemih, dan latihan otot panggul ( latihan kegel ). Pendekatan yang dipilih
disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasari. Latihan kebiasaan dan latihan berkemih
sangat sesuai untuk pasien yang mengalami inkontinensia urgensi. Latihan otot panggul
sangat baik digunakan oleh pasien dengan fungsi tidak dipilih untuk pasien yang mengalami
inkontinensia sekunder akibat overflow. Teknik tambahan, seperti umpan balik biologis dan
rangsangan listrik, berfungsi sebagai tambahan pada terapi perilaku.
Latihan kebiasaan, bermanfaat bagi pasien yang mengalami demensia atau kerusakan
kognitif, mencakup menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap 2 sampai 4 jam.
Tujuannya adalah pasien dapat berkemih sebelum secara tidak sengaja berkemih. Latihan
kembali berkemih dapat bermanfaat bagi pasien dengan fungsi kognitif yang utuh. Latihan ini
mengajarkan pasien utnuk menahan desakan berkemih, secara bertahap meningkatkan
kapasitas kandung kemih dan interval anatara berkemih. Ketika kapasitas meningkat, urgensi
dan frekuensi akan berkurang.
Spiral dapat direspkan untuk pasien wanita yang mengalami kelainan anatomis seperti
prolaps uterus berat atau relaksasi pelvic. Spiral tersebut dipakai secara internal, seperti
diafregma kontrasepsi, dan menstabilkan dasar kandung kemih serta uretra, yang mencegah
inkontinensia selama ketegangan fisik.
Penggunaan kateter kondom jangka panjang pendek dapat diresepkan bagi pasien pria
utnuk membantunya mencegah berkemih secara tidak sengaja dengan efektif. Penggunaan
kondom yang terus menerus harus dihindari, karena dapat menyebabkan ISK dan iritasi kulit.
Sfingter buatan yang terdiri atas sfingter bermanset silicon dengan balon yang mengatur
tekanan dan pompa karet dapat dipasang pada pasien pria setelah prostatektomi radikal atau
pada pasien wanita yang mengalami inkontinensia stress yang tidak berespon terhadap terapi
lain. Manset tersebut diletakkan disekitar leher kandung kemih. Balon menahan cairan yang
biasanya menegmbangkan manset. Pompa karet diimplan ke skrotum atau labia. Ketika
kandung kemih penuh dengan urine, manset yang sensitive terhadap tekanan mencegah urine
bocor disekitar leher kandung kemih. Pasien menekan pompa untuk memindahkan cairan dari
manset kedalam balon yang diberi tekanan yang memungkinkan berkemih.
Perbaikan dinding vagina anterior atau suspense retropubik kandung kemih dan uretra
dengan pembedahan dapat terjadi pilihan terapi bagi wanita yang emngalami inkontinensia
stress. Suspensi retropubik memperbaiki kandung kemih dan uretra ke posisi intra-abdomen
yang tepat.
Pada pria yang megalami inkontinensia akibat hipertrofi prostat, penanganan dapat
mencakup reseksi transurethral prostat atau protatektomi terbuka. Pembedahan dapat
digunakan untuk menghilangkan lesi yang menyumbat yang menyebabkan inkontinensia
urgensi atau overflow.
Pasien inkontinensia overflow akibat retensi urine dapat memanfaatkan kateterisasi
intermiten. Menghilangkan hambatan, memberikan lingkungan dengan pencahayaan yang
baik, dan memberikan orientasi yang sering ke kamar mandi akan membantu pasien yang
emngalami inkontinensia fungsional

Anda mungkin juga menyukai