Abstrak
Karsinoma laring adalah keganasan pada regio kepala dan leher yang menduduki
peringkat ketiga setelah karsinoma nasofaring dan keganasan hidung serta sinus
paranasaal. Jenis karsinoma ini tertinggi pada dekade ke-6 dan ke-7 kehidupan,
perbandingan laki-laki dan perempuan 5 : 1. Penyebab pasti tidak diketahui tetapi
lebih dari 90% karsinoma laring adalah perokok. Lokasi karsinoma laring
meliputi supraglotik, glotik dan subglotik. Suara serak adalah gejala yang sering
timbul. Diagnosis pasti karsinoma ini dengan pemeriksaan histopatologi dari
biopsi dan jenis karsinoma sel skuamosa merupakan jenis yang terbanyak.
Penatalaksanaannya yaitu operatif, radioterapi dan kemoterapi maupun kombinasi
dari ketiganya.
Abstract
Laryngeal carcinoma is a common malignancy in head and neck region, it is the
third most common after carcinoma nasofaring and nasal and paranasal sinuses
carcinoma. The incidens of this malignancy is highest at the 6 th and 7th decade of
life, within man and women ratio 5 : 1. The causes of this desease is still
undefined but morethan 90% people with laryngeal carcinoma are smokers.
Laryngeal carcinoma can be located in supraglotic, glotic, and subglotic. Most
common symptom found in people with laryngeal carcinoma is hoarseness. The
diagnosis is define histopathologically from laryngeal biopsy and the squamous
cell carcinoma is the most common type. Management of this desease includes
operation, radiotherapy, or combination approaches.
BAB I
PENDAHULUAN
2
Karsinoma laring adalah keganasan yang terjadi pada kepala dan leher di
daerah laring yang menduduki peringkat ketiga setelah karsinoma nasofaring dan
keganasan hidung serta sinus paranasal. Perkembangan kejadian karsinoma sel
skuamosa laring berasal dari perubahan epitel sel skuamus yang potensial
berkembang kearah keganasan. Sebagian besar terjadi pada lanjut usia dengan
puncak insidensi pada dekade keenam dan ketujuh. Jika diagnosis dini terlambat
ditegakkan ataupun penderita tidak mendapat terapi yang tepat maka dapat
mengancam nyawa karena dapat terjadi sumbatan jalan nafas. Biasanya pasien
datang pada stadium lanjut sehingga pengobatan yang diberika kurang
memuaskan. Prognosis dipengaruhi faktor umur, jenis kelamin, ukuran tumor,
keterlibatan kelenjar limfe, dan banyak pula yang menghubungkannya dengan
faktor molekuler diantaranya gen supresor tumor P 53, Epidermal Growth Factor
Receptor (EGFR), Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA).1-5
Karsinoma laring dapat dijumpai di berbagai belahan dunia dengan insiden
yang bervariasi. Di Amerika karsinoma laring menempati tempat pertama dalam
urutan keganasan di regio kepala dan leher. Menurut laporan The American
Cancer Society tahun 2006 di Amerika tercatat 12.000 kasus baru dan 4740 kasus
meninggal karena karsinoma laring. Tahun 2007 juga dilaporkan sekitar 11.300
kasus yang didiagnosis sebagai karsinoma laring dan 3660 kematian akibat
karsinoma laring di Amerika, sedangkan di Inggris sekitar 3 per 100.000, di
skotlandia sekitar 8,2 per 100.000 orang lelaki pertahun, di Jerman sekitar 4000
kasus baru karsinoma laring dan menyebabkan kematian lebih dari 1500 kasus
kematian. Di bagian THT FKUI RSCM selama periode 1982 sampai 1987
dilaporkan proporsi karsinoma laring sebesar 13,8 persen dari 1030 yakni sekitar
40 kasus, sedangkan di Bandung 20 kasus, Denpasar 6 kasus, Malang 12 kasus
dan Surabaya 25 kasus. Untuk jenis kelamin, perbandingan penderita laki-laki dan
perempuan berkisar antara 5:1 di mana terbanyak pada usia 60-70 tahun. Di
bagian THT-KL RSMH Palembang dilaporkan periode Agustus 2010 sampai
Agustus 2012 dilaporkan 16 kasus karsinoma laring, 10 kasus laki-laki (usia
antara 50-92 tahun) dan 6 orang perempuan (usia mulai 27 tahun sampai 79
tahun), dimana 9 kasus karsinoma laring supraglotik, 4 kasus karsinoma laring
3
glotik dan 3 kasus karsinoma subglotik. Hasil histopatologi terdapat 8 kasus jenis
karsinoma sel skuamosa dan 5 jenis karsinoma tidak berdifferensiasi.6-10
Merokok merupakan faktor resiko utama dan lebih dari 98% pasien
dengan karsinoma laring adalah perokok. Merokok dan konsumsi alkohol yang
tinggi merupakan suatu kombinasi yang meningkatkan resiko terjadinya
karsinoma laring. Faktor-faktor etiologi lainnya termasuk terpaparnya debu
pekerjaan dan campuran gas ataupun polusi di tempat kerja serta di lingkungan.
Pekerjaan dengan paparan asbestosis, debu kayu, debu semen, dan tar terlihat
memiliki peningkatan faktor resiko. Inflamasi pada daerah laring baik akut
ataupun kronik yang disebabkan oleh refluk dapat menjadi suatu kofaktor
karsinogenik dan infeksi dengan human papilloma virus (HPV) dapat terlibat
dalam beberapa kasus.8-10
Dilaporkan lebih dari 90% karsinoma laring adalah karsinoma sel
skuamosa. Untuk regio laring dibagi ke dalam 3 regio yaitu supraglotik, glotik dan
subglotik. Regio supraglotik terdiri dari permukaan laring, epiglotik, plika
ariepiglotika, aritenoid, plika ventrikularis dan ventrikel. Karsinoma pada daerah
supraglotik jumlahnya sekitar 40% dari semua karsinoma laring. Untuk regio
glotik terdiri dari plika vokalis dan komisura anterior dan posterior. Tumor-tumor
pada regio ini jumlahnya sekitar 59% dari seluruh karsinoma laring. Regio
subglotik meluas dari batas bawah krikoid sampai dibawah permukaan plika
vokalis dan paling sedikit jumlahnya (1%) untuk karsinoma laring yang timbul.
Secara umum penatalaksanaan karsinoma laring adalah dengan pembedahan,
radiasi, kemoterapi atupun kombinasi dari ketiganya, tergantung stadium penyakit
dan keadaan umum penderita. 5,8,11
BAB II
KARSINOMA LARING
2.1. Anatomi
4
2.2. ETIOPATOGENESIS
Penyebab karsinoma laring sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, namun terdapat berbagai macam faktor risiko yang terkait
dengan perkembangan karsinoma laring. Merokok adalah faktor risiko yang
memiliki kaitan paling kuat dengan keganasan laring maupun keganasan di
saluran aerodigestif lain seperti esofagus dan paru. Studi yang dilakukan
6
Maier dan De Stefani secara terpisah ditemukan 96,5 persen dan 97,2
persen pasien dengan keganasan laring adalah perokok atau mantan
perokok. Penelitian Wynder menyebutkan, terdapat peningkatan risiko
sebesar 30 kali pada pria yang merokok sedikitnya satu setengah bungkus
sehari selama lebih dari sepuluh tahun sedangkan penelitian yang dilakukan
di RSCM pada tahun 1988 didapatkan 89 persen penderita karsinoma laring
adalah perokok berat.1,19,21
Alkohol juga merupakan faktor risiko dari keganasan laring.
Menurut American Cancer Society tahun 2000, risiko relatif peminum
alkohol meningkat lima kali dibandingkan dengan yang tidak minum
alkohol sedangkan perokok jika digabung dengan peminum alkohol
mempunyai risiko 100 kali dibandingkan dengan yang tidak merokok dan
tidak peminum. Hubungan antara pekerjaan dengan perkembangan
keganasan laring jarang ditemukan dan tidak terdokumentasi dengan baik.
Tetapi dilaporkan pajanan yang lama dengan debu kayu, asbes, produk tar
dan beberapa debu industri kimia juga merupakan faktor risiko terjadinya
keganasan laring. Di samping faktor-faktor di atas, diet dan defisiensi
vitamin A dan C ditengarai juga menjadi faktor risiko.. Selain itu,
gastroesophageal refluk disease (GERD) dan human papilloma virus (HPV)
juga dilaporkan sebagai salah satu faktor risiko.1,8,19,20
Tahapan perkembangan karsinoma sel skuamosa laring melalui
perubahan displasia epitel karena dianggap sebagai lesi prekanker.
Perkembangan kejadian karsinoma sel skuamosa laring oleh karena
perubahan epitel skuamosa yang berpotensial displasia. Berbagai penelitian
telah menemukan peningkatan kadar Epidermal Growth Factor Reseptor
(EGFR) sebesar tiga kali lipat pada penderita karsinoma laring. Terdapat
juga hubungan antara peningkatan ekspresi protein P53 mutan dengan
transformasi keganasan. Mekanisme karsinogenesis bersifat multi faktor
dimana kejadiannya juga memerlukan waktu yang lama. HPV juga diduga
akan menyebabkan terjadinya disregulasi siklus sel dan meningkatkan
proliferasi sel epitel dengan cara regenerasi dan atau degradasi produk dari
gen supresor tumor sehingga mencegah gen supresor tumor (P53)
7
Stadium :
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0 atau T1, T2, T3, N1 M0
Stadium IV : T4 N0 M0 atau setiap T N2 M0 atau setiap T, setiap N, M1
Kontralateral19-21
2.4. DIAGNOSIS
Diagnosis karsinoma laring ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Suara serak adalah gejala dini
yang utama pada keganasan laring, terutama bila tumor berasal dari pita suara
atau glotis. Ini disebabkan adanya gangguan fungsi fonasi laring akibat
ketidakteraturan pita suara, gangguan pergerakan atau getaran pita suara dan
10
penyempitan celah pita suara. Seseorang dengan suara serak yang menetap
selama dua minggu atau lebih, apalagi mempunyai faktor risiko yang sesuai,
harus diwaspadai adanya keganasan laring (glotik). Sementara untuk tumor
supraglotik dan subglotik, suara serak bukan merupakan keluhan pertama
namun biasanya akan timbul jika tumor sudah menyebar ke pita suara. Sesak
napas atau dispnea dan napas berbunyi (stridor), adalah gejala akibat
gangguan jalan napas oleh massa tumor serta sudah terjadinya fiksasi gerak
pita suara. Adanya gejala-gejala tersebut menjadi tanda tumor sudah masuk
ke stadium yang lebih lanjut. Nyeri menelan, batuk dan hemoptisis serta
disfagia dapat timbul tergantung dari perluasan tumor. Adanya pembesaran
kelenjar getah bening leher dipertimbangkan sebagai penyebaran tumor dan
ini menunjukkan tumor sudah stadium lanjut. 17,19,20
Pemeriksaan lengkap harus dilakukan untuk pasien-pasien yang
dicurigai sebagai karsinoma laring. Pemeriksaan laring secara langsung
dengan menggunakan nasoendoskopi fleksibel, pemeriksaan panendoskopi
juga perlu untuk dilakukan yang terdiri dari laringoskopi, esofagoskopi dan
bronkoskopi. Laringoskopi dapat juga mengidentifikasi lesi jinak laring
seperti polip atau Reinkes edema yang mungkin menyebabkan gejala-gejala
pada pasien. Bagian yang penting lainnya pemeriksaan termasuk palpasi
seluruh bagian leher untuk mengidentifikasi beberapa limpadenopati
servikal. Laringoskop direk dan pemeriksaan biopsi dilakukan dibawah
anastesi umum. Suatu laringoskop kaku digunakan untuk visualisasi secara
rinci dari laring dan hipofaring dan memberi beberapa informasi penting
untuk stadium dari penyakit. Selama melakukan prosedur ini juga dilakukan
biopsi untuk pemeriksaan histopatologi yang biasanya memberikan suatu
diagnosis defenitif.13,19-21
Pemeriksaan radiologi yang dianjurkan adalah tomografi
komputer dari dasar kepala sampai diafragma juga Magnetic Resonance
Imaging (MRI) yang memiliki sensitivitas 60-80% dan spesificitas 70-90%.
Possitron Emission Tomography (PET) scan dapat menunjukkan sensitivitas,
specificitas dan akurasi yang lebih baik daripada tomografi komputer maupun
11
magnetic resonance imaging. PET scan juga dapat mendeteksi kelenjar limfe
yang tersembunyi. Penyebaran karsinoma laring pertama kali ke kelenjar
limfe regional dan penyebaran selanjutnya ke paru-paru. Stadium suatu lesi
keganasan laring adalah penting sekali untuk merencanakan penatalaksanaan
lebih lanjut dan untuk menentukan prognosis.1,20,21
dengan angka insiden 1%. Jenis tumor ini berasal dari kelenjar mukus
supraglotis dan subglotis dan tidak pernah dari glotis. Sering bermetastasis
ke paru-paru dan hepar. Angka harapan hidup dua tahunnya sangat rendah.
Terapi yang dianjurkan adalah reseksi radikal dengan diseksi kelenjar limfe
regional dan radiasi paska operasi. Kondrosarkoma adalah tumor ganas yang
berasal dari tulang rawan krikoid 70%, tiroid 20% dan aritenoid 10%. Jenis
tumor ini sering pada laki-laki 40 60 tahun. Terapi yang dianjurkan adalah
laringektomi total.19-21
2.6. PENATALAKSANAAN
Stadium penyakit pada waktu pertama kali didiagnosis akan
mempengaruhi metode pengobatan, morbiditas dan harapan hidup penderita.
Secara umum terdapat tiga jenis penatalaksanaan keganasan laring yaitu
operasi, radiasi dan kemoterapi atau kombinasi dua atau tiga modalitas
tersebut. Pengobatan yang dipilih tergantung pada stadium perluasan invasi
tumor menurut klasifikasi TNM. Pasien dengan stadium awal diterapi dengan
suatu modalitas tunggal dimana kombinasi modalitas digunakan untuk
penyakit yang sudah lanjut. Untuk massa supraglotis diterapi dengan operasi
atau radioterapi karena mudahnya resiko metastasis dari tumor ini.1-5
memiliki efek pada sebagian sistem respirasi dan traktus gastrointestinal. Suatu
hemitiroidektomi biasanya dilakukan pada waktu bersamaan tergantung pada sisi
tumor primer. Suatu diseksi leher selektif dapat juga dilakukan jika ada beberapa
metastase ke kelenjar limfe servikal.1,2,20
Pada kanker supraglotik stadium dini dimana tidak melibatkan kelenjar
limfe leher diterapi dengan elektif radioterapi atau dengan laringektomi
supraglotis horizontal terbuka yang biasanya dikombinasi selektif diseksi leher.
Sejak tahun 1900an, terapi kanker supraglotik menggunakan bedah laser transoral
telah berkembang pesat. Kanker glotik stadium dini diterapi dengan radioterapi,
eksisi transoral, atau laringektomi parsial terbuka, terapi dengan fotodinamic serta
kemoterapi merupakan perkembangan baru. Pada kanker subglotik radioterapi
sangat sesuai untuk kanker stadium dini namun kebanyakan pasien datang dalam
kondisi yang terlambat dengan gejala stridor yang kemudian di terapi dengan
laringektomi total dilanjutkan dengan radioterapi. Radioterapi yang dikombinasi
dengan operasi biasanya dimulai 6 minggu setelah operasi. Seluruh terapi
biasanya berakhir 5-6 minggu dengan pemberian harian. Radioterapi digunakan
untuk mengobati tumor ganas glotik dan supraglotik stadium T1 dan T2 dengan
hasil yang baik (angka kesembuhan hampir 90%). Keuntungan dengan cara ini
adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan.1,5,20,21
Kemoterapi diberikan biasanya pada tumor stadium lanjut. Kemoterapi
yang digunakan bervariasi sesuai keadaan dapat sebagai terapi neoajuvan,
concurrent, ajuvan, ataupun paliatif, maupun kombinasi dari pendekatan ini.
Cisplatin dan 5-fluorourasil adalah dua preparat yang sering digunakan dan lebih
efektif untuk karsinoma laring. Selain itu paclitaxel dan docetaxel juga
menunjukkan aktivitas yang efektif dengan efek samping yang tidak terjadi seperti
pada cisplatin seperti neurotoksik, ototoksik dan renal toksik. Kemoterapi juga
sering digunakan sebagai terapi paliatif pada karsinoma stadium lanjut, namun
tidak diberikan sebagai terapi lini pertama untuk karsinoma stadium awal (T1 dan
T2). Secara umum rehabilitasi pascaoperasi bertujuan agar pasien dapat
bersosialisasi dan berkomunikasi kembali dan bisa hidup mandiri. Unsur
terpenting dalam rehabilitasi adalah rehabilitasi suara, di samping rehabilitasi
secara psikologis. Rehabilitasi suara dapat dilakukan melalui teknik esophageal
14
Gb. 9 Tumor pada pita suara yang diterapi dengan bedah mikrolaring21
Keterangan gambar.
Gb 10 Hemilaringektomi21
Diseksi leher adalah pengangkatan kelenjar limfe di daerah leher, hal ini
dilakukan untuk menghilangkan kelenjar getah bening servikal dan diperlukan
untuk terapi ketika kelenjar limfe secara klinis dapat diidentifikasi. Indikasi
diseksi leher antara lain adanya resiko tinggi metastasis servikal, teraba kelenjar
getah bening leher secara klinis, kelenjar getah bening residu paska radiasi,
kelenjar getah bening muncul setelah mendapat radiasi, tumor primer dapat
diangkat radikal. Kontra indikasi diseksi leher yakni bila tumor tidak dapat
diangkat secara en blok, bila terdapat metastasis kelenjar getah bening di bawah
klavikula, terdapat infiltrasi ke dasar otak, sudah ada penetrasi ke fasia
prevertebral, sudah ada infiltrasi ke kulit leher yang luas, terdapat massa tumor
yang luas yang terfiksir di bawah angulus mandibula, terdapat infiltrasi ke arteri
karotis komunis atau arteri karotis interna. Komplikasi yang terjadi saat operasi
yakni perdarahan akibat cedera pembuluh dara atau hemostasis yang terganggu,
emboli udara, cedera duktus torasikus, cedera persarapan dengan segala
akibatnya, perangsangan pada carotid body. Komplikasi segera setelah operasi
hematom, infeksi, trakeomalasia, flap yang nekrosis, rupture arteri karotis.
Komplikasi lama yaitu drop shoulder, gangguan sensoris leher, kosmetik, odema
yang menebal di daerah muka, submental, submandibula. Komplikasi diseksi
20
leher intra operatif berhubungan dengan tehnik operasi yang buruk, status gizi
yang jelek, alkohol, serta adanya penyakit yang mendasari seperti diabetes.19-21
Klasifikasi zona leher yaitu zona 1 segitiga submandibula dan submental,
zona 2 daerah diatas regio jugularis, zona 3 regio pertengahan jugularis, zona 4
regio bawah jugularis, zona 5 segitiga posterior leher, zona 6 kompartemen
anterior. Klasifikasi diseksi leher terdiri dari diseksi leher radikal dimana terjadi
pengangkatan seluruh kelenjar limfe diantara submandibula dan klavikula
termasuk otot sternokleidomastoideus, vena jugularis interna dan syaraf asesorius
yang termasuk zona 1 dan 5, diseksi leher modifikasi mempertahankan salah satu
struktur otot sternokleidomastoideus, vena jugularis interna dan syaraf asesorius
spinalis disertai diseksi zona 1 dan 5 yang kadang-kadang dipertahankan seluruh
struktur bila tidak terlibat secara langsung dengan nodul patologis, diseksi leher
selektif akan mempertahankan satu atau lebih zona yang akan diangkat dimana
prosedur ini dilakukan bila terdapat lesi primer dan resiko metastasis ke kelenjar
limfe servikal lebih dari 20% dimana diseksi jenis ini dibagi menjadi beberapa
tipe yakni diseksi leher suprahioid, diseksi leher kompartemen lateral, diseksi
leher posterolateral, diseksi leher kompartemen anterior, dan yang terakhir adalah
diseksi leher radikal yang diperluas dimana dilakukan pengangkatan otot,
syaraf, pembuluh darah serta kelenjar getah bening yang dideteksi sebagai
penyakit primer ataupun metastase dari tempat lain sedangkan pasien dengan
metastase ke arteri carotis dievaluasi terlebih dahulu untuk dipertimbangkan
rekonstruksinya.19-21
.
21
2.7. KOMPLIKASI
Komplikasi awal selama terapi radioterapi biasanya termasuk
eritema kulit, mukositis, disfagia dan odinofagia. Efek samping jangka
panjang dari radioterapi termasuk xerostomia (dry mouth), edema, indurasi,
timbulnya jaringan fibrosis jaringan leher, disfagia, dan perubahan
malignansi pada jaringan yang mengalami radiasi. Selain itu dapat juga
terjadi osteoradionekrosis pada gigi akibat radioterapi. Komplikasi akibat
tindakan operatif yang biasa terjadi adalah gangguan menelan yang dapat
mempengaruhi asupan nutrisi pascaoperasi. Gangguan penghidu dapat terjadi
akibat radioterapi maupun operasi akibat perubahan aliran udara melalui
hidung maupun kerusakan papil pengecapan. Hipotiroid dapat terjadi akibat
hemilaringektomi.19-21
2.7. PROGNOSIS
BAB III
KESIMPULAN
penyakit setelah 5 tahun tidak ditemukan kekambuhan tumor. Gejala dan tanda
kekambuhan sama seperti gejala awal yang didapat dari hasil pemeriksaan fisik
dan evaluasi metastasis melalui pemeriksaan penunjang seperti semula.
DAFTAR PUSTAKA
4. Dikslit RP, Risk factors for the development of second primary tumors
among men after laryngeal and hypopharyngeal carcinoma. American
Cancer Society 2005: 2326-33.v
5. Back G, Sood S. The management of early laryngeal cancer: option for
patient and therapist. Head and Neck Oncology 2005:85-91.
6. Li Xy. Relationship between a family history of malignancy and the
incident of laryngeal carcinoma in the Liaoning province of China. Journal
compilation 2009: 127-31.
7. Ji L, Guan C, Pan Z. Analysis of curative effect on laryngeal carcinoma
patient in the northeast region on China. Acta Otolaryngology 2008: 574-
77.
8. Vicchia L, Zang Z, Altien A. Alcohol and laryngeal cancer: un apdate.
Upper aerodigestive tract neoplasma 2008: 116-24.
9. Ramroth H. Occupational asbestos exposure as a risk factor for laryngeal
carcinoma in a population. Based case control study from Germany.
American Journal of industrial Medicine 2011: 1-5
10. Olszewska E. Case report: Hexosaminidase as a new potential marker for
larynx cancer. Clinical biochemistry. 2009. Available on line at www.
Sciencedirect. Com: 1187-89.
11. Xu J, Wang K, Zhang X , Qiu Y, Huang D. HSP70: promosing target for
laryngeal carcinoma radiotherapy by inhibiting cleavage and degradation
of nucleolin. Journal of experimental and clinical cancer research 2010;
29: 3-7.
12. Yang B, Chen J, Zihang X, Cao J. Expression of epidermal Growth Factor
Receptor variant III in laryngeal carcinoma tissues. Auris nasus larynx 36
2009: 682-87.
13. Marioni Gl. Nuclear Maspine expression relate to a better prognosis in
elderly patients with laryngeal carcinoma. Acta otolaryngologica 2011:
1220-25.
14. Bianchini C. Protein expression of Epidermal Growth Factor Receptor in
laryngeal squamous cell carcinoma are not predictive marker for the effect
of adjuvant radiotherapy. Acta otolaryngologica 2009: 101-7.
15. Farhadieh D. Protein Expression of Epidermal Growth Factor Receptor in
laryngeal squamous cell carcinoma index tumor correlates with diagnosis
26