Anda di halaman 1dari 28

TATALAKSANA ATRESIA LIANG TELINGA KONGENITAL

DENGAN KOMPLIKASI FISTULA RETROAURIKULA


Ahmad Hifni, Yuli Doris Memy, Abla Ghanie
BAGIAN IKTHT-KL FK UNIVERSITAS SRIWIJAYA /
DEPARTEMEN IKTHT-KL RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2016

Abstrak
Atresia liang telinga kongenital merupakan salah satu kelainan kongenital
pada telinga yang sering ditemukan. Kelainan atresia liang telinga kongenital
dapat terjadi bersamaan dengan mikrotia ataupun gangguan pembentukan
kraniofasial lainnya serta sering disertai dengan anomali pada telinga tengah.
Atresia telinga didefinisikan sebagai gangguan pembentukan pada liang telinga
luar yang memiliki diameter kurang dari 4 mm. Faktor utama penyebab terjadinya
kelainan ini adalah adanya gangguan pada proses perkembangan telinga dan
adanya mutasi genetik karena pengaruh lingkungan. Angka kejadian atresia
telinga kongenital dilaporkan mencapai 1 di antara 10.000 hingga 20.000
kelahiran dimana 70% diantaranya unilateral. Tidak adanya liang telinga yang
terbentuk merupakan predisposisi terbentuknya kolesteatom liang telinga. Salah
satu komplikasi adalah abses subperiosteal yang bila tidak ditatalaksana akan
menjadi fistula retroaurikula. Evaluasi dan tatalaksana atresia telinga merupakan
tantangan bagi ahli otologi.
Dilaporkan satu kasus atresia liang telinga kanan dengan komplikasi
fistula retroaurikula pada anak laki-laki berusia 15 tahun yang ditatalaksana
dengan mastoidektomi, kanaloplasti dan meatoplasti.

Kata Kunci: Atresia liang telinga, kolesteatom, fistula retroaurikula

Abstract
Congenital aural atresia is a congenital abnormality that are often found in the
ear. Congenital aural atresia may occur in conjunction with microtia or other
craniofacial disorders establishment and is often accompanied by anomalies in
the middle ear. Aural atresia is defined as a disorder in the formation of the outer
ear canal that has a diameter less than 4 mm. The main factor of this disorder is a
disturbance in the process of development of the ear (embryogenesis) and genetic
mutations due to environmental influences. Prevalence of congenital aural atresia
reportedly reached 1 in every 10,000 to 20,000 births in which of 70% unilateral.
The absence of the ear canal that formed predispose to the formation kolesteatom
ear canal. One complication is the subperiosteal abscess which if not
administered will became retroauriculer fistule. Evaluation and management of
aural atresia is a challenge for experts in otology.
Reported a case of the right ear canal atresia congenital with fistula
complications retroaurikula on a boy aged 15 years were treated by
mastoidektomy, canaloplasty and meatoplasty.

Keywords: aural atresia congenital, kolesteatom, fistula retroaurikula


PENDAHULUAN
Atresia liang telinga kongenital merupakan salah satu kelainan kongenital
pada telinga yang sering ditemukan. Kelainan ini tidak hanya terjadi pada bentuk
telinga tetapi juga sering terjadi bersamaan dengan kelainan fungsi telinga. Atresia
liang telinga kongenital dapat terjadi bersamaan dengan mikrotia ataupun
gangguan pembentukan kraniofasial lainnya serta sering disertai dengan anomali
pada telinga tengah. Kelainan ini terjadi akibat adanya gangguan pada proses
embiogenesis saat kehamilan ataupun akibat adanya mutasi genetik karena
pengaruh lingkungan. Jahrsdoerdoer dkk dikutip dari Bailey mendefinisikan
atresia liang telinga sebagai kelainan pada liang telinga luar dengan diameter
liang kurang dari 4 mm. Atresia liang telinga kongenital melibatkan beberapa
derajat kelainan perkembangan liang telinga luar dan merupakan kelainan telinga
yang didapatkan sejak lahir. 1,2,3
Angka kejadian atresia telinga kongenital dilaporkan mencapai 1 diantara
10.000 sampai 20.000 kelahiran. Meyer dkk dikutip dari Kosling melaporkan
angka kejadian atresia telinga kongenital mencapai 1:3000 sampai 1:10.000
kelahiran dengan malformasi kongenital berat ditemukan pada 1:10.000 sampai
1:20.000 kelahiran. Brent dikutip dari Kosling juga melaporkan insiden
malformasi kongenital telinga mencapai 1:6000 sampai 1:6830. Salah satu
penyebab utama terjadinya atresia telinga kongenital adalah adanya mutasi
genetik, dimana mutasi ini juga dapat ditemukan dalam berbagai sindrom yang
melibatkan atresia telinga, misalnya sindrom Treacher Collins, Goldenhar dan
Klippel-Feil. Beberapa penelitian melaporkan bahwa mikrotia diturunkan secara
dominan ataupun resesif yang melibatkan beberapa gen yang berperan pada
perkembangan sistem pendengaran. Atresia telinga kongenital tidak hanya terjadi
pada struktur liang telinga luar tetapi juga dapat terjadi kelainan pada telinga
tengah. Kelainan kongenital ini paling sering ditemukan pada telinga kanan
sebanyak 61% dan 70-90% terjadi unilateral. Bila mengenai kedua telinga
(bilateral) maka letak kelainan dan derajatnya bervariasi antara kedua telinga.1,2,3
Atresia liang telinga kongenital terutama pada derajat ringan dan unilateral
yang tanpa disertai kelainan pada bentuk telinga luar sering tidak dikeluhkan oleh
penderita ataupun orang tua sehingga seringkali terlambat diagnosis. Kelainan
telinga luar dan tengah kongenitalyang sering terdiagnosis pada awal masa kanak-
kanak biasanya merupakan kasus dengan kelainan bentuk daun telinga yang
disertai dengan atau tanpa gangguan pendengaran bilateral Atresia liang telinga

2
kongenital kadang disertai dengan komplikasi lain seperti abses subperiosteal dan
fistula retroaurikula dimana hal ini dapat terjadi karena adanya kolesteatom
kongenital. Penatalaksanaan kelainan kongenital telinga membutuhkan kerjasama
yang baik antara ahli otologi dan radiologi. Evaluasi dan tatalaksana atresia liang
telinga merupakan tantangan bagi ahli otologi. Tatalaksana dari atresia liang
telinga kongenital terdiri dari pemasangan BAHA sampai penatalaksanaan operasi
dan rekonstruksi. Terdapat beberapa pendekatan operasi pada atresia liang telinga
kongenital yang tergantung dari beberapa faktor seperti derajat atresia, struktur
telinga tengah dan komplikasi yang menyertai. Salah satu komplikasi yang sering
ditemui setelah operasi adalah kembali terjadinya stenosis pada liang telinga
sehingga kontrol berkala dan edukasi yang baik harus dilakukan kepada pasien.1,2,3

EMBRIOLOGI TELINGA
Telinga luar berasal dari kantong dan celah brankial pertama dan
perkembangannya mulai pada minggu ke - 4 kehamilan. Sewaktu telinga dalam
telah berkembang, telinga tengah dan telinga luar mulai berkembang. Pada bagian
luar kepala embrio, diantara lengkung brankial pertama dan kedua, suatu celah
brankial berkembang kearah yang berlawanan dari kantong faring. Pertumbuhan
daun telinga dimulai pada minggu ke- 4 dari kehidupan fetus, dimana bagian
mesoderm dari cabang pertama dan kedua brankial membentuk 6 tonjolan
(Hillock of His) yang mengelilingi perkembangan liang telinga luar dan kemudian
bersatu untuk membentuk daun telinga dengan telinga dengan pembagian sebagai
berikut : cabang brankial pertama terdiri dari tiga tonjolan dimana tonjolan
pertama membentuk tragus, tonjolan kedua membentuk krus heliks dan tonjolan
ketiga membentuk heliks sedangkan cabang brankial kedua juga terdiri dari tiga
tonjolan dimana tonjolan keempat membentuk antiheliks, tonjolan kelima
membentuk anti tragus dan tonjolan keenam membentuk lobules dan heliks
bagian bawah. Pada minggu ketujuh pembentukan, kartilago masih dalam proses
perkembangan dan pada minggu ke-12 daun telinga dibentuk oleh penggabungan
dari tonjolan- tonjolan diatas. Pada minggu ke 20 daun telinga sudah seperti
bentuk telinga dewasa, tetapi ukurannya belum seperti ukuran dewasa sampai
umur 9 tahun. Posisi daun telinga berubah selama perkembangan, pada awal

3
pertumbuhan terletak vetro medial dan pada bulan kedua kehamilan tumbuh
menjadi dorso lateral yang merupakan lanjutan dari pertumbuhan mandibula
sehingga bila proses ini terhenti, dapat mengakibatkan terjadinya telinga letak
rendah yang mungkin diikuti oleh anomali kongenital lainnya seperti mikrotia dan
anotia. Fistula aurikularis kongenital terjadi diduga oleh karena kegagalan dari
pada penggabungan tonjolan- tonjolan pada cabang brankial. Kelainan kongenital
daun telinga dapat terjadi mulai dari minor malformasi seperti lipatan kulit
didepan tragus sampai aplasia total.1,2,4,5
Liang telinga luar berkembang dari lapisan ektoderm celah faringeal
(branchial) pertama. Epitel dari ujung medial dari celah brankial untuk beberapa
saat kontak dengan lapisan entoderm kantong faring pertama. Kemudian sewaktu
pembesaran kepala, mesoderm berkembang diantaranya dan memisahkan kedua
lapisan epitel ini. Pada bulan kedua kehidupan fetus, celah brankial pertama
ectoderm tumbuh makin kedalam membentuk suatu tabung yang berbentuk
corong. Tabung ini selanjutnya akan disokong oleh tulang rawan telinga luar,
membentuk 1/3 luar meatus akustikus eksternus. Pada bulan ke 7 kehidupan fetus,
sel- sel epitel yang solid akan terpisah, bagian yang paling dalam akan
membentuk telinga luar dari membran timpani yang kemudian meluas dan
membuka daerah luar untuk bergabung dengan lumen primitif. Dengan adanya
jaringan ikat disekelilingnya, tabung ini akan meluas kearah analus timpanikus,
membentuk 2/3 bagian dalam meatus akustikus eksterna bagian tulang.
Pada saat lahir hanya liang telinga bagian tulang rawan saja yang terbentuk
sedangkan bagian tulang dari laing telinga terbentuk setelah lahir dari
pertumbuhan anulus timpani. Liang telinga terbentuk oleh karena penebalan dari
bagian ectoderm pada ujung atas dari celah faringeal ekterna pertama. Lantai dari
celah tersebut masuk kedal am lapisan bawah mesoderm membentuk cylindric
meatal plug yang kemudian menjadi dinding lateral dan lantai dari ujung resesus
tubo timpanikus hubungan dengan resesus tubo timpanikus sedemikian rupa
sehingga ketika membran timpani terbentuk diantara permukaan ekstoderm dan
endoderm, membran timpani tersebut akan terletak secara oblik. Pada saat lahir
hanya liang telinga bagian tulang rawan saja yang berbentuk sedangkan bagian
tulang dari liang teliga terbentuk setelah lahir yang berasal dari pertumbuhan

4
cincin timpani. Dalam perkembangan dari liang teliga luar ini bisa saja terjadi
meatal plug yang tidak terbuka sehingga kejadian ini bisa menjadi penyebab
terjadinya atresia dan stenosis dari liang telinga. Diduga bahwa atresia liang
telinga dapat terjadi dengan dua cara yaitu pada awal pertumbuhan dimana terjadi
malfomasi dari lengkung pertama dan kedua brankial yang dapat menimbulkan
deformitas dari daun telinga, telinga tengah dan mastoid dan pada minggu ke 21
kehamilan terjadi kegagalan resorbsi dari sumbatan epitel yang menimbulkan
atresia liang telinga dengan daun telinga, telinga tengah dan mastoid normal.1,2,4,5
Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal pertama
dan bersama-sama dengan telinga luar, telinga tengah juga mempunyai komponen
mesodermal dari lengkung faringeal pertama dan kedua. Kavum timpani dibentuk
dari kantong faringeal pertama. Kantong faringeal ini telah nyata terlihat pada
minggu ke-3 perkembangan dan pada minggu ke-6 telah memanjang dan menjadi
pipih pada ujung distalnya dan bersandar pada lekuk brankial pertama. Jaringan
ikat segera tumbuh diantara kedua permukaan yang saling berdekatan tersebut dan
akan membentuk tunika propria membran timpani dan manubrium maleus.
Menjelang minggu ke-8, fundus kantong faringeal yang telah mendatar akan
meluas membentuk awal ruang telinga tengah. Ruang ini hanya terdapat pada
setengah bagian bawah telinga tengah sedang sisanya berisi jaringan ikat. Pada
akhir bulan ke-2, bagian proksimal kantong tersebut mengecil dan memanjang
disebabkan oleh karena pertumbuhan kepala dan membentuk tuba Eustachius
sejati. Tuba Eustachius mempunyai panjang 17-18 mm dan terletak mendatar pada
saat lahir dan menjadi dua kali lebih panjang yaitu 35 mm serta terletak dengan
posisi 450 pada usia dewasa. 1,2,4,5
Stapes, maleus dan inkus berasal dari mesodermal dari dua buah lengkung
faringeal pertama. Tulang-tulang pendengaran tersebut berkembang secara ekstra
mukosa walaupun tetap berada didalam kavum timpani. Tulang rawan lengkung
faringeal terletak sebelah anterior dari resessus tubo timpanikus dan tulang rawan
lengkung faringeal II terletak sebelah posterior dari resessus tubo timpanikus.
Bagian superior dari tulang rawan Meckels membentuk maleus, inkus,
ligamentum maleus anterior dan inkus berupa massa yang tunggal kemudian pada
minggu ke-8 dari kehidupan fetus terpisah dengan terbentuknya sendi diantara

5
maleus dan inkus tersebut. Tulang rawan lengkung ke II membentuk manubrium
maleus dan prosesus longus dari inkus. Prosesus anterior meleus terbentuk secara
terpisah dari tulang membran, manubrium maleus meluas ke bawah dan terjepit
diantara ektoderm celah faringeal pertama dengan resesus tubo timpanikus
sepanjang saraf korda timpani, akhirnya tertanam di dalam setengah atas dari
membran timpani. Muskulus tensor timpani juga berasal dari mesodermal
lengkung faringeal pertama sehingga mempunyai hubungan dengan maleus
Ujung atas dari tulang rawan Reichertsmembentuk sebagian besar stapes,
prosesus stiloideus, ligamentum stilohioid dan bagian atas dari badan hioid.
Fiksasi kongenital dari stapes terjadi oleh karena kegagalan pemisahan telapak
kaki stapes (segretion of the foot plate) dari otik kapsul dan harus dibedakan dari
otosklerosis.1,2,4,5
Selama minggu ke4 embriologi, lengkung kedua mesodermal
membentuk blastema yang oleh saraf ketujuh dibagi menjadi stapes, interhiale dan
laterohiale. Pada minggu ke5 dan ke6 arteri stapedius yang merupakan arteri
dari lengkung brankial ke2 menembus stapes primitif dan berubah bentuk
menjadi lingkaran, kemudian arteri ini mengalami regresi tapi sering juga
persisten, inilah yang sering mengakibatkan perdarahan pada saat operasi telinga
tengah. Dalam minggu ke8 sendi inkudostapedial terbentuk dan pada minggu
ke10 stapes digambarkan berbentuk seperti sanggurdi. Tulang interhiale akhirnya
menjadi muskulus stapedius beserta tendonnya sedangkan hubungan antara
laterohiale dengan kapsul otik mebentuk dinding anterior kanalis fasialisdari
prosesus piramidalis Proses terbentuknya inkus dimulai pada usia 16 minggu,
leher maleus terbentuk usia 17 minggu dan stapes usia19 minggu. Bentuk dan
ukuran maleus, inkus dan stapes sama pada saat lahir dan dewasa. Manubrium
maleus tidak pernah menjadi tulang dan tetap sebagai tulang rawan. Perubahan
bentuk dari maleus dan inkus berlanjut setelah lahir dengan pembentukan tulang
sekunder dan tersier sedangkan stapes tetap.1,2,4,5

6
Gambar 1. Embriologi perkembangan telinga5

Perbedaan asal dan waktu perkembangan menimbulkan kombinasi yang


berbeda-beda dalam setiap kasus kelainan kongenital. Kelainan tersering adalah
kombinasi kelainan telinga tengah dan telinga luar. Diduga ada hubungan antara
derajat kelainan aurikula dengan kelainan di telinga tengah. Lampert menyatakan
bahwa jumlah kasus kelainan telinga tengah tanpa disertai kelainan telinga luar
adalah kurang dari 10%. Ishimoto menyatakan bahwa kasus kombinasi kelainan
telinga luar yang disertai kelainan telinga tengah dan dalam mencapai 10-47%.
Helms seperti dikutip oleh Kosling menyatakan bahwa kelainan telinga luar dan
atau tengah tidak berarti terdapat kelainan telinga dalam, demikian juga
sebaliknya dikarenakan perbedaan embriogenesis telinga luar, tengah dan
dalam.1,2,4,5

KLASIFIKASI
Atresia atau stenosis liang telinga kongenital diklasifikasikan berdasarkan
atas perkembangan daun telinga, liang telinga dan telinga tengah. Cole dan
Jahrsdoerfer mendefinisikan stenosis liang telinga luar kongenital sebagai
penyempitan kanal liang telinga luar dengan diameter kurang atau sama dengan 4
mm. Schuknecht membagi atresia liang telinga luar kongenital menjadi 4 tipe
yaitu tipe A, tipe B tipe C dan tipe D, di mana pada tipe A terjadi atresia pada
liang telinga yang terbatas pada bagian fibrokartilago dari liang, pada tipe B

7
terjadi atresia sebagian dengan penyempitan pada bagian tulang dan kartilago dari
liang, pada tipe C terjadi atresia total dengan tidak terbentuknya bagian tulang
liang, terjadi malformasi tulang pendengaran dan hilangnya membran timpani dan
pneumatisasi mastoid dan pada tipe D terjadi sama seperti tipe C tetapi dengan
ada sedikit pneumatisasi mastoid. Stenosis liang telinga luar kongenital seringkali
disertai dengan microtia derajat 1 atau 2.6,7,8
Deformitas daun telinga menurut Bailey dibagi menjadi 3 derajat. Derajat
I adalah mikrotia dengan malformasi minor di mana daun telinga lebih kecil dari
pada ukuran normal, tetapi semua bagian masih normal. Derajat II mikrotia adalah
daun telinga tampak seperti lengkungan atau jaringan dengan tepi vertikal. Derajat
III adalah mikrotia dimana semua bagian daun telinga menghilang dan hanya
terdapat sedikit bagian tersisa. Klasifikasi kelainan liang telinga dan telinga
tengah sangat bervariasi dikarenakan klasifikasi tersebut berdasarkan pada
parameter yang berbeda-beda. Parameter yang digunakan meliputi pemeriksaan
klinis, gambaran radiologis, penemuan intraoperatif dan gambaran histopatologis.
Ombredanne membuat klasifikasi atresia telinga kongenital menjadi dua
kelompok, yaitu malformasi mayor dan malformasi minor. Pada malformasi
mayor tidak terdapat liang telinga dan membran timpani. Stenosis liang telinga
juga dimasukkan ke dalam klasifikasi ini. Pada stenosis liang telinga kadang
masih dijumpai membran timpani kecil yang rudimenter menempel pada septum
tulang. Ukuran telinga tengah lebih kecil. Maleus dan inkus mengalami
deformitas, bergabung atau terfiksasi pada tulang yang atresia. Pada kasus yang
lebih berat, daerah telinga tengah mengalami hipoplastik dan osikel rudimenter
atau tidak ada sama sekali. Pada malformasi mayor nervus fasialis menyebar atau
mengalami malposisi. Mikrotia derajat II dan III masuk ke dalam kategori
malformasi ini dan biasanya fungsi telinga dalam masih normal.1,4,6,8

8
Tipe A Tipe B

Tipe C Tipe D

Gambar 2. Klasifikasi atresia CAE menurut Schuknecht 1

Pada malformasi minor defek terutama terjadi pada telinga tengah.


Deformitas atau tidak adanya satu atau lebih osikel atau terfiksasinya osikel
menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran konduktif. Abnormalitas stapes
juga biasanya didapati pada malformasi minor dibandingkan malformasi mayor.
Daerah telinga tengah dan membran timpani biasanya normal tetapi ukurannya
sedikit lebih kecil. Liang telinga masih tampak namun biasanya mengalami
stenosis ringan. Malposisi nervus fasialis masih bisa terjadi. Daun telinga
biasanya berkembang normal atau hanya mengalami deformitas minimal.1,6,9
Sering terjadi bersamaan dengan atresia liang telinga kongenital. Dibutuhkan
rekonstruksi total menggunakan kulit dan tulang rawan dalam jumlah yang cukup
banyak. Kegagalan kanalisasi menimbulkan kelainan liang telinga luar termasuk
atresia membranosa ataupun penulangan. Bila kanalisasi tidak sempurna, proses
ini dapat menghasilkan liang telinga di bagian lateral (tulang rawan) yang stenosis
dengan liang telinga bagian medial (tulang) dengan diameter normal. Kondisi ini
merupakan predisposisi untuk terbentuknya kolesteatom di dalam liang telinga.
1,2,4,8,9

9
Dikenal berbagai klasifikasi kelainan liang telinga luar yang didasarkan
pada berbagai parameter di antaranya pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
radiologis, temuan intraoperatif dan gambaran histopatologi. Salah satu klasifikasi
adalah yang dikemukakan oleh Weerda dimana kelainan liang telinga luar dibagi
menjadi tiga tipe. Stenosis liang telinga luar tipe A ditandai dengan penyempitan
liang telinga luar dengan lapisan kulit yang intak. Stenosis liang telinga tipe B
ditandai dengan perkembangan parsial liang telinga luar dengan atresia pada
bagian medial. Tipe C adalah atresia komplit liang telinga luar.1,10
De la Cruz juga membagi klasifikasi atresia telinga menjadi 2 yaitu
klasifikasi mayor dimana didapatkan pneumatisasi mastoid menghilang, tidak
adanya foramen ovale, abnormalitas pada bagian horizontal n. fasialis dan
anomali telinga dalam, sedangkan pada klasifikasi minor didapatkan pneumatisasi
mastoid normal, foramen ovale normal, tidak terjadi kelainan pada bagian
horizontal n. fasialis dan telinga dalam yang normal. Weerda mengkombinasikan
klasifikasi utama menjadi lebih ringkas, dan dipakai secara luas di Eropa.
Klasifikasi ini menyertakan alur tindakan bedah pada tiap klasifikasinya.
Displasia derajat I (kelainan ringan) dengan definisi hampir seluruh struktur daun
telinga dapat dikenali. Untuk rekonstruksi tidak dibutuhkan penambahan jaringan
kulit atau tulang rawan. Displasia derajat II (kelainan sedang) juga disebut
mikrotia derajat II adalah keadaan dimana sebagian dari struktur daun telinga
normal dapat dilihat. Rekonstruksi parsial membutuhkan penggunaan tambahan
jaringan kulit dan tulang rawan. Displasia derajat III (kelainan berat) digambarkan
sebagai mikrotia derajat III dengan anotia. Kelainan telinga tengah dapat meliputi
rongga timpani maupun tulang-tulang pendengaran dalam berbagai derajat
kelainan. Dapat berupa perubahan bentuk atau ukuran telinga tengah. Dapat juga
ditemukan kelainan jumlah, ukuran dan bentuk tulang-tulang pendengaran.
Mungkin juga ditemukan kelainan pada tingkap lonjong dan tingkap bulat
(jarang). Terdapat beberapa klasifikasi. Altman mengelompokkan tiga derajat
kombinasi kelainan telinga luar dan tengah yang disebut dengan istilah atresia
auris congenita. Malformasi derajat pertama didefinisikan sebagai kelainan
bentuk ringan pada liang telinga luar, kavum timpani normal atau sedikit
hipoplastik, kelainan bentuk tulang-tulang pendengaran dan pneumatisasi mastoid

10
baik. Malformasi derajat kedua adalah malformasi sedang, buntu atau tidak
adanya liang telinga luar, kavum timpani menyempit, deformitas dan fiksasi
tulang-tulang pendengaran serta berkurangnya pneumatisasi mastoid. Malformasi
derajat ketiga adalah kelainan bentuk yang berat, tidak adanya liang telinga luar,
telinga tengah hipoplastik, kelainan bentuk berat tulang-tulang pendengaran dan
tidak adanya pneumatisasi mastoid. Berbagai kelainan lain juga disebut sebagai
malformasi telinga tengah. yaitu fistula telinga tengah, kolesteatom kongenital
(epidermoid kongenital) dan malformasi otot-otot telinga tengah.1,10

KOLESTEATOM KONGENITAL DAN FISTULA RETROAURIKULA


Kolesteatom merupakan suatu kantong retraksi atau kista yang dilapisi
oleh sel epitel skuamosa dan berisikan debris keratin di dalam rongga
pneumatisasi pada tulang temporal. Kolesteatom dibedakan menjadi kongenital
dan didapat. Pada stenosis liang telinga, kolesteatom yang terbentuk dapat
diklasifikasikan ke dalam kolesteatom didapat primer. Secara histopatologi,
kolesteatom kongenital dan didapat identik berupa kista berlapis epitel yang
berisikan keratin. Adanya riwayat otitis media merupakan salah satu tanda khas
yang dapat membedakan kolesteatom didapat dan kongenital. 11,12
Kolesteatom kongenital didefinisikan sebagai kista epitel berkeratin yang
terdapat di balik membran timpani yang utuh tanpa riwayat infeksi maupun
trauma. Penyebab kolesteatom kongenital ini masih menjadi perdebatan. Beberapa
teori menjelaskan mengenai pembentukan kolesteatom kongenital, yaitu
perubahan epitel berkeratin pada mukosa telinga tengah akibat inflamasi,
metaplasi skuamosa dan migrasi debris epitel ke telinga tengah melalui tuba
Eustachius. Sade dkk.. mengemukakan teori bahwa mukosa telinga tengah
memiliki kemampuan pluripoten dan di saat mengalami infeksi dapat berubah
menjadi epitel berkeratin dan membentuk kolesteatom. Aimi menyatakan bahwa
kolesteatom kongenital yang biasanya terdapat dekat daerah ismus membran
timpani merupakan hasil migrasi epitel embrionik ektodermis liang telinga ke
telinga tengah.11,12
Kolesteatom merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman.
Kuman yang paling sering adalah proteus dan pseudomonas aeruginosa. Infeksi

11
dapat memicu respons imun lokal yang mengakibatkan berbagai respons imun
mediator inflamasi dan berbagai sitokin. Zat-zat ini akan menstimulasi sel-sel
keratinosit matriks kolesteatom sehingga bersifat hiperproliferatif, destruktif dan
mampu berangiogenesis. Kolesteatom bersifat mengerosi dan mendestruksi tulang
secara lokal. Beberapa mekanisme yang diajukan mengenai proses destruksi dan
erosi tulang oleh kolesteatom disebabkan proses multifaktor antara lain oleh
sekresi enzim yang bersifat osteolitik, nekrosis yang diakibatkan oleh penekanan
dan osteolitik dengan jaringan granulasi kronis pada daerah sekitarnya. Destruksi
tulang pendengaran pada kasus OMK dengan adanya kolesteatom terjadi karena
pressure necrosis dan adanya enzim-enzim yang dihasilkan oleh kolesteatom yang
merusak tulang pendengaran. Gangguan konduksi pendengaran terjadi karena
lepasnya tulang pendengaran inkus dan suprastruktur stapes, tidak adanya inkus
dan stapes termasuk basis stapes.11,12
Pada kolesteatom kongenital, sisa-sisa epitel skuamosa yang terperangkap
pada masa embrionik mengalami deskuamasi sehingga terbentuklah kolesteatom.
Kolesteatom akan menyebabkan timbulnya destruksi tulang dan pada akhirnya
menyebabkan komplikasi. Komplikasi akibat kolesteatom dan otitis media kronik
ini menimbulkan komplikasi baik ekstrakranial (ekstratemporal) maupun
intrakranial. Komplikasi ektratemporal (ekstrakranial) yang paling banyak
ditemukan adalah abses subperiosteal. Abses ini terjadi akibat proses infeksi yang
terjadi pada sel-sel mastoid yang keluar dan memasuki ruang subperiosteal.
Penyebaran infeksi ini paling banyak terjadi akibat erosi korteks mastoid yang
merupakan proses sekunder dari mastoiditis akut atau kronik. Selain itu,
penyebaran ini dapat terjadi secara vaskular yang merupakan proses sekunder
akibat phlebitis pada vena mastoid. Abses subperiosteal lebih banyak ditemukan
pada anak dengan otitis media akut dan dapat juga ditemukan pada otitis media
kronik dengan atau tanpa kolesteatom. Kolesteatom dapat memenuhi aditus ad
antrum, sehingga bagian mastoid yang infeksius tidak masuk ke dalam ruang
telinga tengah dan tuba eustachius. Sumbatan akibat kolesteatom ini akan
menyebabkan penyebaran infeksi ke luar korteks mastoid, yang tampak sebagai
abses subperiosteal ataupun abses bezold. Abses subperiosteal ini bila tidak

12
ditangani segera akan menimbulkan fistula retroaurikula (mastoid-cutaneus
fistula).4,11,12,13
Diagnosis abses subperiosteal ditegakkan berdasarkan gambaran klinis.
Biasanya akan ditemukan gejala gangguan sistemik antara lain demam dan
malaise. Telinga akan tampak bergeser ke arah lateral dan pada bagian belakang
telinga akan tampak pembengkakan berfluktuasi, tegang, dan eritem. Pemeriksaan
penunjang yang diperlukan adalah Tomografi komputer/ CT scan (TK) dan kultur
mikrobiologi kuman dari abses untuk mengefektifkan pemberian antibiotik.
Penatalaksanaan abses subperiosteal tanpa kolesteatom adalah dengan melakukan
insisi dan drainase dan disertai dengan pemberian antibiotik intravena. Pada
pasien dengan abses subperiosteal disertai dengan kolesteatom, maka terapi
mutlak memerlukan pembedahan untuk membuang kolesteatom. Insisi kulit pada
abses dapat diperlebar sehingga menghasilkan drainase yang adekuat.4,13,14
Kolesteatom pada atresia telinga juga dapat mengalami infeksi.
Kolesteatom kongenital ini terjadi biasanya pada liang telinga yang mengalami
stenosis dan dianggap sebagai kolesteatom pada liang telinga. Kolesteatom
tersebut dapat menyebar ke telinga tengah dan mastoid. Hoenk dkk melaporkan
sebuah kasus kolesteatom kongenital pada lempeng atresia. Tomografi komputer
merupakan pemeriksaan mutlak yang harus dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan dilakukan rekonstruksi dan mengevaluasi adanya kolesteatom
kongenital. Tomografi komputer dapat dilakukan pada fase awal (tahun pertama
kehidupan) ataupun fase lambat (usia 4-5 tahun). Nishimura dkk.. melaporkan 5
kasus abses yang terletak di retroaurikula yang disertai dengan kolesteatom
kongenital pada pasien mikrotia disertai dengan atresia liang telinga. Pada saat
abses sudah didrainase, maka mastoidektomi dapat segera dilakukan dan matriks
kolesteatom dibersihkan semaksimal mungkin. 11,14
Pada pasien dengan kolesteatom harus dilakukan pembedahan untuk
eradikasi penyakit dan bila memungkinkan menaikkan fungsi pendengaran. Cole
dan Jahrsdoefer melaporkan pada 50 pasien (54 telinga) dengan diameter liang
telinga rata-rata 4 mm ditemukan 50% mengalami kolesteatom. Usia pasien dan
ukuran liang telinga penting untuk menentukan prognosis. Tidak ditemukan
kolesteatom pada pasien usia kurang atau sama dengan 3 tahun dan tidak

13
ditemukan erosi tulang dan keterlibatan kavum timpani akibat kolesteatom pada
pasien yang berusia kurang dari 12 tahun. Risiko timbulnya kolesteatom
meningkat bila diameter kanal kurang atau sama dengan 2 mm. Perkembangan
kolesteatom biasanya dimulai saat dewasa. Tanda adanya kolesteatom adalah
keluarnya cairan dari liang telinga atau timbulnya fistula di retroaurikula.11,14
Pada pasien dengan stenosis berat harus dilakukan tindakan preventif,
yaitu tomografi komputer dan pemeriksaan membran timpani mulai usia 4 atau 5
tahun, meskipun tidak ada discharge dari telinga. Bila hasil TK memungkinkan
perbaikan pendengaran maka bisa dilakukan rekonstruksi. Bila orang tua tidak
menyetujui operasi maka TK sebaiknya dilakukan berkala setiap beberapa tahun
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kolesteatom. Tomografi komputer
berkala tidak dibutuhkan pada atresia total liang telinga.2,15

DIAGNOSIS
Diagnosis dari atresia telinga kongenital dapat ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Sebagian besar kasus
atresia/stenosis liang telinga tidak berhubungan dengan penyakit lain, namun
anamnesis dan pemeriksaan lengkap tetap harus dilakukan. Data prenatal dan
perinatal, infeksi, trauma, penggunaan obat, riwayat kehamilan ibu (alkoholisme
dan penyalahgunaan obat-obatan), riwayat kejadian pada keluarga, pendengaran,
kesulitan bicara dan psikologis harus ditanyakan. Pemeriksaan harus dilakukan
secara menyeluruh untuk memastikan tidak ada kelainan kongenital lainnya.
Fokus utama orang tua, pada saat melihat kelainan pada telinga adalah masalah
pendengarannya. Pemeriksaan pendengaran dengan brainstem evoked response
audiometric test (BERA) dapat dilakukan segera setelah lahir, dan lebih baik
dilakukan dalam keadaan tidur alami tanpa sedasi. Pada kelainan telinga
kongenital unilateral seringkali telinga yang berbentuk normal tidak memiliki
gangguan pendengaran, tetapi hal ini tetap harus dibuktikan. Telinga yang
mengalami kelainan biasanya mengalami tuli konduktif maksimum 60 dB dan
kadang-kadang gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural yang ditemukan
pada 10-15% kasus. Pada mikrotia bilateral dengan tuli konduktif , penggunaan

14
alat bantu dengar hantaran tulang dapat membantu perkembangan bicara dan
bahasa.2,15,16
Pemeriksaan telinga harus dilakukan, karena komplikasi seperti
mastoiditis pernah dilaporkan pada anak dengan mikrotia dan atresia, begitu juga
dengan komplikasi otitis media akut ataupun otitis media efusi. Jika
memungkinkan, uji saring timpanometri dapat dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya otitis media efusi dan gangguan fungsi tuba. Pemeriksaan radiologi perlu
dilakukan pada anak-anak dengan atresia dengan gangguan pendengaran.
Pemeriksaan TK bermanfaat untuk mengetahui penyebab tuli konduktif, keadaan
saraf fasialis dan dapat juga digunakan untuk menentukan pendekatan operasi
rekonstruksi liang telinga dan mengidentifikasi adanya displasia koklea dan risiko
ketulian. Tomografi komputer yang diperlukan adalah TK mastoid dengan
resolusi tinggi yang merupakan modalitas utama untuk mengevaluasi
perkembangan dan anatomi tulang temporal. Teknik TK harus resolusi tinggi
dengan potongan 0,5-1 mm aksial dan koronal dengan teknik bone window untuk
gambaran terbaik. Anatomi terpenting yang harus didapatkan adalah letak nervus
fasialis, lokasi tegmen, adanya tulang stapes, pneumatisasi mastoid, kavum
timpani dan letak oval window.1,2,16

Gambar 3. Tomografi komputer potongan axial dengan displasia telinga dalam.


Tampak tidak terbentuknya liang telinga luar dan struktur telinga dalam yang
tidak lengkap (tanda panah)1

15
PENATALAKSANAAN
Pada anak-anak dengan atresia liang telinga unilateral dengan pendengaran
normal pada telinga kontralateral tidak diperlukan intervensi medis segera, karena
tidak memiliki manfaat yang cukup besar. Pada pasien atresia liang telinga
digunakan alat bantu dengar hantaran tulang (BAHA). Bila liang telinga hanya
mengalami stenosis, maka lebih dipilih alat bantu dengar hantaran udara karena
lebih baik secara kosmetik, stimulasi hanya pada satu koklea, respons frekuensi
luas, distorsi bunyi lebih sedikit dan lebih nyaman. Pemakaian alat bantu dengar
lebih awal dibutuhkan pada atresia liang telinga bilateral.1,4,14,17
Sebagian besar ahli otologi menyarankan untuk menunda operasi
rekonstruksi atresia unilateral sampai mencapai usia dewasa, sehingga pasien
dapat mengambil keputusan sendiri dengan mempertimbangkan semua resiko dan
manfaat. Operasi rekonstruksi atresia harus mempertimbangkan derajat ketulian,
prediksi kenaikan pendengaran setelah rekonstruksi dan resiko cedera nervus
fasialis. Peningkatan ambang dengar 25 dB atau lebih akan meningkatkan
kualitas hidup penyandang atresia liang telinga, namun diperkirakan hanya 50%
pasien yang dapat mencapai kenaikan seperti ini. Rekonstruksi atresia telinga
bilateral tidak banyak menimbulkan dilema. Tujuan dari tindakan ini adalah
memperbaiki fungsi pendengaran. Telinga yang lebih dulu dioperasi adalah telinga
yang lebih baik berdasarkan gambaran tomografi komputer. Rekonstruksi atresia
liang telinga bilateral dianjurkan saat anak memasuki usia sekolah.1,4,18
Terdapat beberapa kriteria untuk menentukan kandidat apakah atresia
telinga kongenital dapat dioperasi atau tidak, diantaranya telinga dalam yang
normal, fungsi koklea yang normal, skor Jahrsdoerfer > 6, atresia telinga bilateral
dan tidak terdapat sindrom lain (Goldenhar, Treacher-Collins,Crouzon) yang
menyertai. Sebagian besar pasien yang sudah menjalani rekonstruksi masih
memiliki sisa tuli konduktif minimal 10 dB. Fungsi pendengaran sensorineural
harus normal untuk mencapai pendengaran binaural pada kasus atresia unilateral,
dan menghindari penggunaan alat bantu dengar pada kasus atresia bilateral.
Meskipun pemeriksaan audiometri dapat memberikan penilaian secara kuantitatif
namun seleksi yang paling tepat untuk menentukan kandidat operasi adalah
dengan evaluasi telinga tengah melalui gambaran TK. Risiko komplikasi operasi

16
dapat diminimalisasi dan kemungkinan kenaikan fungsi pendengaran lebih tinggi
bila telinga tengah dan ukuran mastoid minimal dua pertiga ukuran normal dan
semua tulang-tulang pendengaran dapat diidentifikasi meskipun bentuknya tidak
normal. Gambaran TK yang menunjukkan adanya tingkap lonjong dan bulat serta
gambaran nervus fasialis mendekati normal merupakan kandidat calon operasi
yang baik. Hubungan antara nervus fasialis dan tingkap lonjong serta posisi
segmen vertikal harus diperhatikan secara teliti. Dalam keadaan normal, posisi
nervus fasialis adalah di atas tingkap lonjong. Perubahan letak segmen vertikal
nervus fasialis lebih ke anterior akan mengurangi kemungkinan keberhasilan
perbaikan fungsi pendengaran dan meningkatkan risiko trauma nervus
fasialis.1,4,14,17
Terdapat sistem penghitungan status perkembangan telinga dari
Jahrsdoefer untuk memprediksi hasil rekonstruksi, di mana nilai total 7 atau lebih
diartikan prognosis yang baik sedangkan nilai 5 atau kurang berarti prognosis
yang kurang baik. Skala tersebut tidak hanya mengevaluasi kandidat operasi
namun juga prediksi pascaoperasi. Pneumatisasi abnormal pada telinga tengah dan
mastoid merupakan prediktor terbaik untuk outcome yang kurang baik
pascaoperasi.

Parameter Points
Stapes present 2
Oval window patent 1
Middle ear space 1
Facial nerve 1
Malleus/incus complex 1
Mastoid pneumatization 1
Incus-stapes connection 1
Round window 1
External ear appearance 1

Tabel 1. Sistem penilaian menurut Jahrsdoerfer untuk atresia telinga 1

17
Pada kasus atresia unilateral, kriteria minimal untuk kavum timpani adalah
setengah dari ukuran normal dan didapatkan tulang-tulang pendengaran. Secara
keseluruhan hanya 50% pasien yang layak menjadi kandidat rekonstruksi atresia
liang telinga. Operasi dapat dilakukan mulai usia 6 atau 7 tahun, namun harus ada
hasil audiometri yang akurat, tulang temporal telah mengalami pneumatisasi
sempurna dan anak sudah kooperatif untuk perawatan pascaoperasi.2,14
Terdapat beberapa pendekatan jenis operasi yang dilakukan pada atresia
liang telinga kongenital diantaranya pendekatan transkanal, transmastoid dan
pendekatan anterior. Pada kasus atresia liang telinga kongenital dengan
kolesteatom kongenital, pendekatan yang dipilih adalah pendekatan transmastoid
dan anterior dikarenakan pendekatan transkanal mempunyai keterbatasan dalam
mengevaluasi daerah mastoid dan tidak dapat mengeradikasi jaringan patologis
yang terdapat di rongga mastoid sehingga pendekatan ini hanya dilakukan pada
kasus atresia liang telinga kongenital yang tanpa disertai kolesteatom. Pada
pendekatan transmastoid, dimulai dengan melakukan pengeboran pada mastoid,
identifikasi sudut sinodura (sinodural angle) dan antrum kemudian pengeboran
dilanjutkan sampai kanalis semisirkularis lateral teridentifikasi. Kemudian
dilakukan atikotomi. Dilakukan pengeboran pada liang telinga yang atresia
sehingga terbentuk kanal sampai ke rongga telinga tengah. Pengeboran pada liang
dilakukan dengan menggunakan mata bor diamond sehingga dapat mencapai
telinga tengah tanpa merusak tulang-tulang pendengaran. 1,15,19
Pendekatan anterior pada dasarnya adalah melakukan pengeboran untuk
membentuk liang telinga dari bagian lateral menuju epitimpanum sebagai jalan
masuk menuju rongga telinga tengah. Pengeboran dimulai pada area yang ditandai
dengan fosa glenoid (sendi temporomandibula) di sebelah anterior dan linea
temporalis (fosa kranii medial) di bagian superior. Dengan mengikuti batas fosa
kranii medial ke arah medial maka akan sampai ke epitimpanum, kemudian
diidentifikasi tulang maleus dan inkus yang terbenam. Dinding posterior fosa
glenoid harus ditipiskan untuk memaksimalkan paparan di bagian anterior dan
meminimalkan paparan ke sel mastoid. Konsentrasi daerah pengeboran di daerah
superior mengikuti batas fosa kranii medial relatif lebih aman karena dapat
menghindari cedera nervus fasialis, karena struktur nervus yang lebih medial dari

18
tulang pendengaran di epitimpanum. Pelebaran kanal ke arah posteroinferior harus
sangat hati-hati karena dapat mencederai nervus fasialis bagian vertikal yang
biasanya terletak lebih anterior dari posisi normal dan lebih lateral dari rongga
kavum timpani.1,14,19
Keuntungan dari pendekatan anterior adalah bisa menghindari
pembentukan rongga mastoid yang akan menyebabkan akumulasi debris sehingga
dapat menghindari infeksi. Pendekatan anterior ini juga meminimalkan
manipulasi bedah pada area mastoid yang dilalui nervus fasialis. Rongga kanal
yang terbentuk lebih silindris akan memudahkan split-thickness skin graft. Karena
itulah pendekatan anterior lebih banyak dipilih dari pada pendekatan transmastoid.
Pada kasus atresia liang telinga dengan kolesteatom maka tujuan pembedahan
adalah eradikasi proses penyakit dan bila memungkinkan memperbaiki fungsi
pendengaran.1,14,17
Meatoplasti sangatlah penting. Teknik yang digunakan tergantung
keadaan, yang penting liang telinga yang terbentuk harus cukup besar sehingga
pinggir bawahnya tidak lebih tinggi dari lantai kavitas pascaoperasi. Kavitas
operasi ditampon dengan tampon yang lebarnya kira-kira 1 cm dengan panjang
secukupnya yang telah diberi antibiotik, dipasang tidak terlalu padat pada kavitas
tersebut. Tampon telinga dipertahankan hingga 10 hari. Pengangkatan tampon
harus dilakukan dengan hati-hati. Bila didapatkan jaringan granulasi maka
dipasang gelfoam yang dilapisi antibiotik di dalam kanal dan dipertahankan
selama 7 sampai 10 hari. Komplikasi dari rekonstruksi atresia telinga kongenital
yang dapat terjadi diantaranya lateralisasi graft membran timpani (22-28%),
stenosis liang telinga (8-20%), trauma dan nyeri pada sendi temporomandibular
(2%), kerusakan saraf wajah (1%) dan tuli sensorineural (2-5%). 1, 17,20,21

19
Abnormal Auricle
(microtia, anotia)

Physical exam

Aural stenosis
Aural atresia Patent External Auditory Canal

High resolution CT

Follow clinically if middle ear isat


Operate normal
6 years old if there is stenosis < 2mm

ABR
ABR

Abnormal bilaterally
Normal Ipsilateral hearing loss
bilatreally Ipsilateral hearing loss Normal

Fit with BCHA if atresia is bilateral Parental counseling Hearing aid in patients canal Reconfirm with behavioral testing
Confirm hearing at 6-12 months Reconfirm with behavioral testing

Elective rapair of auricle


Confirm hearing at 6-12 months HRCT (4-6 years old)
Begin special education

HRCT (4-6 years old)


HRCT
Explore ear for ossicular abnormality (6 years old) if hearing loss is conductive
HRCT (4-6 years old)

Inner ear normal Inner ear dysplasia

Recheck with behavioral


Consider
test BCHA if hearing level is <60 dB
HRCT

Jahrsdoerfer Grade < 6 Jahrsdoerfer Grade > 6

Auricle repair
HA if ABR reveals bilateral conductive loss
Age 4-6

Atresia repair + Ossicle repair

Repair auricle (if desired by patient)


Yearly audiogram after first year

Gambar 4. Alur diagnosis dan tatalaksana pada atresia telinga kongenital12

20
LAPORAN KASUS
Seorang anak laki-laki, berusia 15 tahun datang ke klinik THT-KL RSUP
Dr. Moh. Hoesin pada tanggal 05 Mei 2016 dengan keluhan utama keluar cairan
dari lubang di belakang telinga kanan sejak lebih kurang 6 bulan yang lalu, hilang
timbul, berwarna putih kekuningan. Pasien juga mengeluh keluar cairan yang
hilang timbul dari lubang kecil pada liang telinga kanan sejak 1 tahun yang lalu.
Liang telinga kanan pasien tidak berkembang sejak lahir. Riwayat sakit dan
makan obat-obatan selama hamil disangkal oleh ibu. Riwayat kelainan telinga
pada keluarga disangkal. Riwayat trauma dan operasi pada telinga disangkal.
Telinga kiri pasien mempunyai bentuk dan fungsi pendengarannya yang baik..
Keluhan telinga berdenging dan riwayat pusing berputar disangkal. Keluhan sakit
kepala disangkal. Hidung dan tenggorok tidak ada keluhan.
Pada pemeriksaan ditemukan telinga kiri dalam batas normal. Pada telinga
kanan ditemukan adanya kelainan ukuran
pada daun telinga kanan, dimana
bentuknya sedikit lebih lebar dari telinga
kiri. Semua struktur daun telinga (heliks,
antiheliks, tragus, lobulus, skapa dan fosa
triangularis) lengkap. Liang telinga kanan
tampak stenosis dengan diameter kurang
dari 4 mm.
Pada belakang telinga terdapat lubang
fistula yang mengeluarkan cairan
berwarna kekuningan. Pemeriksaan
hidung dan tenggorok dalam batas
normal.

21
(a) (b)

Gambar 5. (a). Tampak stenosis pada liang telinga kanan. (b) Fistula pada bagian
retroaurikula

Pada pemeriksaan fungsi pendengaran dengan audiometri nada murni


didapatkan hasil ambang dengar 17,5 dB pada telinga kiri dan tuli konduktif
derajat sedang berat (63,75 dB) pada telinga kanan. Pada pemeriksaan tomografi
komputer telinga potongan axial koronal didapatkan kesan atresia telinga kanan
dengan tidak terbentuknya kanalis akustikus eksternus, tampak lesi hipodens yang
mengisi telinga tengah dan mastoid cell, tulang tulang pendengaran masih intak,
koklea dan kanalis semisirkularis dalam batas normal, kanalis N. Facialis,
akustikus internus, dan tuba eustachius baik dan daerah cerebellopontin tidak
tampak lesi hiperdens maupun hipodens. Telinga kiri dalam batas normal.
Pemeriksaan laboratorium untuk persiapan operasi dalam batas normal. Pasien
didiagnosis dengan atresia liang telinga kanan dengan mikrotia derajat I dan
fistula retroaurikula yang direncanakan mastoidektomi dengan kanaloplasti dan
meatoplasti.

Gambar 6. Tomografi komputer telinga potongan axial koronal

22
Operasi dilaksanakan pada tanggal 07 Juni 2016. Pada saat operasi
didapatkan bahwa struktur liang telinga tidak terbentuk dan terjadi proses
penulangan yang menutupi liang telinga. Spina henle dan linea temporalis tidak
berada pada letak yang normal sehingga menyulitkan dalam proses identifikasi
landmark untuk pengeboran. Dilakukan pengeboran pada korteks mastoid secara
hati-hati, didapatkan kavitas pada korteks mastoid yang dipenuhi oleh
kolesteatom. Dilakukan evakuasi kolesteatom sampai bersih. Pengeboran
dilanjutkan dan teridentifikasi tidak terdapatnya dinding posterior liang telinga,
kanalis semisirkularis tidak berkembang dengan baik, dan tulang-tulang
pendengaran yang tidak berkembang sempurna sehingga sulit untuk menilai dan
membedakan tulang pendengaran yang terlihat. Mobilitas tulang pendengaran
masih baik dan terlihat struktur yang diperkirakan sebagai maleus yang masih
menempel pada membran timpani. Tampak gambaran membran timpani yang
masih cukup baik, hanya terdapat perforasi pada daerah atik. Pengeboran
dilanjutkan untuk membentuk dan melebarkan liang telinga. Kavitas operasi
dicuci dengan larutan NaCl untuk membersihan sisa jaringan patologik yang
masih tersisa. Dilakukan pengambilan flap fascia otot temporalis profunda untuk
menutupi dan menghubungkan antara bagian atik membran timpani dengan tulang
pendengaran serta diberi gelfoam yang dicampur dengan antibiotik. Kemudian
dilakukan meatoplasti untuk membentuk lubang pada liang telinga. Fistula yang
terdapat pada bagian retroaurikula dibuang kemudian dipasang tampon yang
dilapisi salep antibiotik untuk menutup kavitas operasi dan liang telinga. Luka
dijahit lapis demi lapis dan luka jahitan ditutup dengan elastomolle.
Observasi pasca operasi adalah mengawasi tanda-tanda perdarahan dan
kelumpuhan nervus fasialis. Pasien diberi seftriakson 2x1 g intravena dan
ketorolak 2x30mg intravena. Penggantian perban luka dilakukan setiap hari
dengan mengevaluasi luka dan bekas jahitan. Tanggal 15 Juni 2016 dilakukan
pelepasan jahitan diangkat dan tampon dalam. Tampak luka kanaloplasti baik dan
masih mengeluarkan sedikit cairan serous. Pasien diperbolehkan pulang pada hari
ke sembilan pascaoperasi. Pasien pulang dengan terapi siprofloksasin tab 2x500
mg dan ofloksasin tetes telinga 2x5 tetes.

23
.

Gambar 7. Follow up pasca operasi


DISKUSI
Telah dilaporkan satu kasus anak laki-laki usia 15 tahun dengan diagnosis
atresia liang telinga kanan kongenital dengan komplikasi fistula retroaurikula.
Keluhan yang dialami pasien adalah keluar cairan kekuningan dari lubang di
belakang telinga. Liang telinga kanan pasien tidak terbentuk sejak lahir.
Jahrsdoerder dkk melaporkan bahwa insiden atresia liang telinga kongenital
sebanyak 1/10.000-20.000 kelahiran dan lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Peggy dkk menemukan bahwa kasus atresia liang
telinga kongenital lebih sering terjadi unilateral dibandingkan bilateral dengan
perbandingan 3:1 dan lebih sering ditemukan pada telinga kanan dibandingkan
telinga kiri. Pada kasus ini ditemukan diameter liang telinga kurang dari 4 mm
dan disertai adanya fistula pada daerah retroaurikula. Hal ini sesuai dengan
penelitian Cole dan Jahrsdoefer yang menyatakan 50% pasien atresia liang telinga
kongenital dengan diameter kurang dari 4 mm mengalami kolesteatom.
Kolesteatom yang timbul akibat atresia liang telinga dapat menunjukkan berbagai
gejala klinis seperti nyeri telinga, gangguan pendengaran, nyeri di bagian leher,
otore, pembengkakan dan fistula di retroaurikula.1,21,22
Pada pemeriksaan tomografi komputer, didapatkan kesan atresia telinga
kanan dengan tidak terbentuknya kanalis akustikus eksternus, tampak lesi
hipodens yang mengisi telinga tengah dan mastoid cell, tulang tulang pendengaran
masih intak, koklea dan kanalis semisirkularis dalam batas normal, kanalis N.
Facialis, akustikus internus, dan tuba Eustachius baik dan daerah cerebellopontin
tidak tampak lesi hiperdens maupun hipodens. Dibutuhkan TK dengan resolusi
tinggi untuk dapat memberikan gambaran morfologi telinga sehingga dapat

24
memberikan gambaran informatif untuk menentukan rencana tatalaksana
selanjutnya. Tasar dkk melaporkan pemeriksaan tomografi komputer pada pasien
atresia telinga kongenital sering ditemukan gambaran pneumatisasi mastoid yang
menghilang dan gangguan pembentukan tulang pendengaran. Hasil audiometri
pada pasien ini didapatkan gangguan pendengaran tuli konduktif derajat sedang
berat (63,75 dB) pada telinga kanan. Penelitian yang dilakukan oleh Peggy dkk
didapatkan 80-90% pasien dengan atresia tulang kongenital mengalami tuli
konduktif dengan rata-rata derajat gangguan pendengaran sebesar 40-60 dB.
Evaluasi fungsi pendengaran harus dilakukan baik sebagai tes penyaring maupun
untuk diagnosis, karena atresia seringkali disertai kelainan anatomi telinga
tengah.21,23
Penatalaksanaan atresia telinga kongenital membutuhkan pengetahuan
yang baik mengenai anatomi telinga dan struktur-struktur di dalamnya karena
sangat penting untuk melakukan pengeboran yang tepat pada saat operasi.
Evaluasi secara menyeluruh diperlukan untuk memastikan apakah atresia
merupakan masalah tunggal atau disertai dengan masalah lainnya, seperti
gangguan pendengaran, adanya kolesteatom, kelainan bentuk anatomi lainnya
ataupun sindroma lain, karena hal ini sangat menentukan teknik operasi yang akan
dipilih dan penatalaksanaan lainnya. Usia pasien saat dilakukan operasi adalah 15
tahun dan pasien sangat kooperatif. Perry dkk merekomendasikan operasi pada
pasien atresia kongenital dilakukan pada usia > 6 tahun dan pada kasus atresia
telinga unilateral. Skor Jahrsdoefer pada pasien didapatkan skor 8, sehingga
pasien ini merupakan kandidat yang bagus untuk dilakukan operasi. Pada pasien
ini dilakukan operasi mastoidektomi radikal untuk eradikasi penyakit, kanaloplasti
dan meatoplasti dengan pendekatan anterior. Beberapa literatur menyarankan
pendekatan anterior pada tatalaksana atresia telinga kongenital karena mempunyai
beberapa keuntungan diantaranya bisa menghindari pembentukan rongga mastoid
yang akan menyebabkan akumulasi debris sehingga dapat menghindari infeksi,
meminimalkan manipulasi bedah pada area mastoid yang dilalui nervus fasialis
dan rongga kanal yang terbentuk lebih silindris. Follow up pasca operasi
didapatkan luka kanaloplasti baik dan masih sedikit mengeluarkan cairan serous.
Pasien akan direncanakan audiometri ulang 2 bulan setelah operasi dan dijelaskan

25
jika ada kemungkinan untuk dilakukan operasi kedua. Digoy dkk melaporkan
bahwa follow up pasien pasca kanaloplasti dapat berlangsung antara 6 bulan
sampai 1 tahun. Digoy dkk juga melaporkan terdapat kegagalan operasi
kanaloplasti pada 50% pasien dan pada audiometri terdapat perbaikan
pendengaran rata-rata 20 dB. 1,19,24,25

26
DAFTAR PUSTAKA

1 Lambert PR. Congenital aural atresia. Dalam: Bailey BJ, Johnson JT ed.
Head and neck surgery otolaryngology. Edisi keempat. Lippincott
Williams and Wikins. Philadelphia. 2001: 2027-39.
2 Kosling S, Omenzetter M, Bartel-Friedrich S. Congenital malformation of
external and middle ear. European J of rad. 2009; 69: 269-79.
3 Nagato T, Otaka R, Wada T, Kanai N, Harabuchi Y. Congenital
cholesteatoma isolated to the mastoid presenting as stricture of the external
auditory canal. Int J of Ped Otol. 2012; 76: 754-6
4 Kesser BW. Repair of congenital aural atresia. Operative techniques in
otol. 2010; 21: 278-86
5 Sadler TW. Telinga. Dalam: Embriologi kedokteran Langman. Edisi
ketujuh. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1996: 346-57
6 Ishimoto S, Ito K, Yamasoba T. Correlation between microtia and temporal
bone malformation evaluated using grading system. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg. 2005; 131:326-9.
7 Sabbagh W. Early experience in microtia reconstruction: the first 100
cases. J of plastic recon and aesth surg. 2011; 64: 452-8
8 Yellon RF. Congenital external auditory canal stenosis and partial atretic
plate. Int J of Ped Otol. 2009; 73: 1545-9
9 Elaloui AC, Jaouad IC, Rifai L, Sefiani A. Autosomal dominant microtia.
Eur J of Med Gen. 2010; 53: 100-3
10 De la Cruz A. Teufert KB. Congenital aural atresia surgery: long-term
results. Journal Article Otolaryngology - Head & Neck Surgery. 2003 ;
129(1):121-7
11 Pasanisi E, Bacciu A, Vincenti V, Bacciu S. Congenital cholesteatoma of
tympanic membrane. Int J of Ped Otol. 2011; 61: 167-71
12 Mahajan SB, Kochar LK, Gupta AK. Management of congenital atresia
ear. MJAFI. 2011; 57: 277-80
13 Paput L, Czeizel AE, Banhidy F. Possible multifactorial etiology of
isolated microtia/anotia- a population-based study. Int J of Ped Otol. 2012;
76: 374-8
14 Jain S, Kumar S, deskmukh PT, Yohannan D, Sudarshan K. Congenital
aural stenosis with first branchial cleft fistula, presenting with recurrent
facial nerve palsy, in an elderly patient. J of clin gerontology and
geriatrics. 2012; 3: 42-4

27
15 El-hoshy Z, Abdel-Aziz M, Shabana M. Congenital aural atresia:
transmastoid approach; an old technique with good results. Int J of ped
otol. 2008; 72: 1047-52.
16 Suutarla S dkk. Microtia in Finland: comparison of characteristic in
different populations. Int J of ped otol. 2007; 71: 1211-7.
17 El-Bitar MA, Choi SS, Emamian SA, Vezina LG. Congenital middle ear
choleteatoma: need for early recognition-role of computed tomografi scan.
Int J of ped otol. 2013; 67: 231-5.
18 Helmi. Bedah telinga tengah untuk otitis media supuratif kronis. Dalam:
Helmi. Otitis media supuratif kronis. Balai Penerbit Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia. 2005: 135-63.
19 Digoy G, Cueva A. Congenital aural atresia : review of short and long
term surgical results. Journal of otology and neurotology. 2006 ; 28 : 54-60
20 Dostal A. Nemeckova J. Gaillyova R. Vranova V. Zezulkova D. Lejska M.
Slapak I. Dostalova Z. Kuglik P. Identification of 2.3-Mb gene locus for
congenital aural atresia in 18q22.3 deletion: a case report analyzed by
comparative genomic hybridization. Journal Article Otology &
Neurotology. 2006 ; 27(3):427-32
21 Peggy E, Melissa A. Microtia and Congenital Aural Atresia, Otolaryngol
Clin N Am. 2007 ; 40: 6180
22 Myrthe K, Cor W, Wilma C. The BAHA Softband A new treatment for
young children with bilateral congenital aural atresia, International Journal
of Pediatric Otorhinolaryngology. 2005; 69: 973980
23 Tasar M , Yetiser S , Yildirim D , Bozlar U , Tasar MA , Saglam M.
Preoperative evaluation of the congenital aural atresia on computed
tomography; an analysis of the severity of the deformity of the middle ear
and mastoid, European Journal of Radiology. 2007; 62 : 97105
24 Lambert, PR, De la Cruz, A, Choo, DI. Management of the Unilateral
Atretic Ear. In : Controversies in Otolaryngology, M.L.Pensak, Ed.
Thieme, New York; 2001.
25 Buton LK, Driscoll CLW. Canaloplasty Atresia. In Haberman RS. Middle
ear and mastoid surgery. Thieme. New York. 2004 ; p. 177-87

28

Anda mungkin juga menyukai