Anda di halaman 1dari 45

[Type the document title]

II.3 Pembahasan Learning Objective


II.3.1 Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Kulit
1. Anatomi dan Histologi Kulit
Integumen atau kulit merupakan jaringan yang menutupi permukaan tubuh, yang terdiri atas 2 lapisan: (1)
Epitel yang disebut epidermis; dan (2) Jaringan pengikat yang disebut dermis atau corium.
Epidermis berasal dari ectoderm dan dermis berasal dari mesoderm. Dibawah kulit terdapat lapisan jaringan
pengikat yang lebih longgar disebut hypodermis yang pada beberapa tempat banyak mengandung jaringan
lemak. Pada beberapa tempat kulit melanjutkan menjadi tunica mucosa dengan suatu perbatasan kulit-mukosa
(mucocutaneus junction). Perbatasan tersebut dapat ditemukan pada bibir, lubang hidung, vulva, preputium, dan
anus.Kulit merupakan bagian dari tubuh yang meliputi daerah luas dengan berat sekitar 16% dari berat tubuh.
Fungsi kulit selain menutupi tubuh, juga mempunyai beberapa fungsi lain; maka selain struktur epitel dan
jaringan pengikat tersebut masih dilengkapi bangunan tambahan yang disebut appendix kulit, dimana meliputi :
glandula sudorifera (kelenjar keringat), glandula sebacea (kelenjar minyak), folikel rambut, dan kuku.
Permukaan bebas kulit tidaklah halus, tetapi ditandai adanya alur alur halus yang membentuk pola tertentu
yang berbeda pada berbagai tempat. Demikian pula permukaan antara epidermis dan dermis tidak rata karena
adanya tonjolan-tonjolan jaringan pengikat ke arah epidermis.
Ketebalan kulit tidaklah sama pada berbagai bagian tubuh. Tebalnya kulit tersebut dapat disebabkan karena
ketebalan dua bagian kulit atau salah satu bagian kulit. Misalnya pada daerah intraskapuler kulitnya sangat tebal
sampai lebih dari 0,5 cm, sedangkan di kelopak mata hanya setebal. Berdasarkan gambaran morfologis dan
ketebalan epidermis, kulit dibagi menjadi: (A) Kulit Tipis; dan (B) Kulit Tebal.

A. Kulit Tipis
Menutupi seluruh bagian tubuh kecuali vola manus dan planta pedis yang merupakan kulit tebal.
Epidermisnya tipis, sedangkan ketebalan kulitnya tergantung dari daerah di tubuh.

Pada dasarnya memiliki susunan yang sama dengan kulit tebal,hanya terdapat beberapa perbedaan :

1. Epidermis sangat tipis,terutama stratum spinosum menipis.


2. Stratum granulosum tidak merupakan lapisan yang kontinyu.
3. Tidak terdapat stratum lucidium.
4. Stratum corneum sangat tipis.
5. Papila corii tidak teratur susunannya.
6. Lebih sedikit adanya glandula sudorifera.
7. Terdapat folikel rambut dan glandula sebacea.

B. Kulit Tebal

1
[Type the document title]

Kulit tebal ini terdapat pada vola manus dan planta pedis yang tidak memiliki folikel rambut. Pada
permukaan kulit tampak garis yang menonjol dinamakan crista cutis yang dipisahkan oleh alur-alur dinamakan
sulkus cutis. Pada mulanya cutis tadi mengikuti tonjolan corium di bawahnya tetapi kemudian dari epidermis
sendiri terjadi tonjolan ke bawah sehingga terbentuklah papilla corii yang dipisahkan oleh tonjolan epidermis.
Pada tonjolan epidermis antara dua papilla corii akan berjalan ductus excretorius glandula sudorifera untuk
menembus epidermis.
1. Epidermis
Dalam epidermis terdapat dua sistem :
Sistem malpighi, bagian epidermis yang sel selnya akan mengalami keratinisasi.
Sistem pigmentasi, yang berasal dari crista neuralis dan akan memberikan melanosit untuk sintesa
melanin.
Disamping sel-sel yang termasuk dua sistem tersebut terdapat sel lain, yaitu sel Langerhans dan sel
markel yang masih belum jelas fungsinya.
Berdasarkan strukstur histologisnya, epidermis dapat dibedakan menjadi 5 stratum. Adapun penjelasan dari
masing-masing stratum itu adalah sebagai berikut

Stratum Basale
Lapisan ini disebut pula sebagai stratum pigmentosum atau strarum germinativum karena paling banyak
tampak adanya mitosis selsel. Selsel lapisan ini berbatasan dengan jaringan pengikat corium dan
berbentuk silindris atau kuboid. Di dalam sitoplasmanya terdapat butir butir pigmen.
a. Stratum Spinosum
Lapisan ini bersama dengan stratum basale disebut pula stratum malpighi atau stratum germinativum
karena selselnya menunjukkan adanya mitosis sel. Selsel dari stratum basale akan mendorong selsel di
atasnya dan berubah menjadi polihedral.
Sratum spinosum ini terdiri atas beberapa lapisan sel sel yang berbentuk polihedral dan pada pemeriksaan
dengan mikroskop cahaya pada tepi sel menunjukkan tonjolan-tonjolan seperti duri-duri. Semula tonjolan-
tonjolan tersebut disangka sebagai jembatan interseluler dengan di dalamnya terdapat tonofibril yang
menghubungkan dari sel yang satu ke sel yang lain.
b. Stratum Granulosum
Lapisan ini terdiri atas 2-4 sel yang tebalnya di atas stratum spinosum. Bentuk sel seperti belah ketupat
yang memanjang sejajar permukaan. Sel yang terdalam berbentuk seperti sel pada strarum spinosum hanya
didalamnya mengandung butir - butir. Butir-butir yang terdapat sitoplasma lebih terwarna dengan
hematoxylin (butir- butir keratohialin) yang dapat dikelirukan dengan pigmen. Adanya butir- butir
keratohyalin semula diduga berhubungan dengan proses keratinisasi, tetapi tidak selalu dijumpai dalam
2
[Type the document title]

proses tersebut, misalnya pada kuku. Makin ke arah permukaan butir butir keratin makin bertambah
disertai inti sel pecah atau larut sama sekali, sehingga sel sel pada stratum granulosum sudah dalam
keadaan mati.
c. Stratum Lucidum
Tampak sebagai garis bergelombang yang jernih antara stratum granulosum dan stratum corneum.
Terdiri atas beberapa lapisan sel yang telah gepeng tersusun sangat padat. Bagian yang jernih ini
mengandung zat eleidin yang diduga merupakan hasil dari keratohialin.
d. Stratum Corneum
Pada vola manus dan planta pedis, lapisan ini sangat tebal yang terdiri atas banyak sekali lapisan sel
sel gepeng yang telah mengalami kornifikasi atau keratinisasi. Hubungan antara sel sebagai duri duri pada
stratum spinosum sudah tidak tampak lagi.
2. Dermis
Terdiri atas 2 lapisan yang tidak begitu jelas batasnya, yaitu :
a. Stratum Papilare
Merupakan lapisan tipis jaringan pengikat di bawah epidermis yang membentuk papilla corii. Jaringan
tersebut terdiri atas sel sel yang terdapat pada jaringan pengikat longgar dengan serabut kolagen halus.
b. Stratum reticulare
Lapisan ini terdiri atas jaringan pengikat yang mengandung serabut serabut kolagen kasar yang
jalannya simpang siur tetapi selalu sejajar dengan permukaan. Di dalamnya selain terdapat sel sel jaringan
pengikat terdapat pula sel khromatofor yang di dalamnya mangandung butir butir pigmen. Di bawah
stratum reticulare terdapat subcutis yang mengandung glandula sudorifera yang akan bermuara pada
epidermis.

3. Subcutis atau Hypodermis


Merupakan jaringan pengikat longgar sebagai lanjutan dari dermis. Demikian pula serabut serabut kolagen
dan elastisnya melanjutkan ke dalam dermis. Pada daerah-daerah tertentu terdapat jaringan lemak yang tebal
sampai mencapai 3cm atau lebih,misalnya pada perut. Didalam subkutis terdapat anyaman saraf dan pembuluh
darah.

4. Nutrisi Kulit
Epidermis tidak mengandung pembuluh darah,hingga nutrisinya diduga berasal dari jaringat pengikat di
bawahnya dengan jalan difusi melui cairan jaringan yang terdapat dalam celah-celah di antara sel-sel stratum
Malphigi. Struktur halus sel-sel epidermis dan proses keratinisasi sel-sel dalam stratum Malphigi banyak
mengandung ribosom bebas dan sedikit granular endoplasmic reticulum. Mitokhondria dan kompleks Golgi
sangat jarang.Tonofilamen yang terhimpun dalam berkas sebagai tonofibril didalam sel daerah basal masih tidak

3
[Type the document title]

begitu pada susunannya. Di dalam stratum spinosum lapisan teratas, terdapat butir-butir yang di sekresikan dan
nembentuk lapisan yang menyelubungi membran sel yang dikenal sebagai butir-butir selubung membran atau
keratinosum dan mengandung enzim fosfatase asam di duga terlibat dalam pengelupasan stratum corneum. Sel-
sel yang menyusun stratum granulosum berbeda dalam selain dalam bentuknya juga karena didalam
sitoplasmanya terdapat butir-butir sebesar 15 mikron di antara berkas tonofilamen,yang sesuai dengan butir-
butir keratohialin dalam sediaan dasar. Sel-sel dalam stratum lucidium tampak lebih panjang,inti dan
organelanya sudah hilang, dan keratohialin sudah tidak tampak lagi. Sel-sel epidermis yang terdorong ke atas
akan kehilangan bentuk tonjolan tetapi tetap memiliki desmosom. Sistem pigmentasi atau melanosit. Warna
kulit sebagai hasil dari 3 komponen: (a) Kuning disebabkan karena karote; (b) Biru kemerah-merahan karena
oksihemoglobin; dan (c) Coklat sampai hitam karena melanin.
Hanya melanin yang dibentuk di kulit. Melanin mempunyai tonjolan-tonjolan yang terdapat di stratum
Malphigi yang dinamakan melanosit.Melanosit terdapat pada perbatasan epidermis epidermis dengan tonjolan-
tonjolan sitoplasmatis yang berisi butir-butir ,melanin menjalar di antara sel Malphigi.melanosit tidak mamiliki
desmosom dengan sel-sel Malphigi. Jumlah melanosit pada beberapa tempat berlipat seperti misalnya di dapat
pada genital,mulut,dan sebagainya.
Warna kulit manusia tergantung dari jumlah pigmen yang dihasilkan oleh melanosit dan jumlah yang di
pindahkan ke keratinosit. Butir-butir melanin dibentuk dalam bangunan khusus dalam sel yang dinamakan
melanosom.Melanosom berbentuk ovoid dengan ukuran sekitar 0,2-0,6 mikron. Apabila dalam epidermis tidak
ditemukan melanin akan menyebabkan albino. Melanin di duga berfungsi untuk melindungi tubuh terhadap
pengaruh sinar ultraviolet. Melanin juga dapat ditemukan pada retina dan dalam melanosit dan melanofor pada
dermis.
Sel Langerhans berbentuk bintang terutama ditemukan dalam stratum spinosum dari epidermis. Sel
langerhans merupakan makrofag turunan sumsum tulang yang mampu mengikat, mengolah, dan menyajikan
antigen kepada limfosit T, yang berperan dalam perangsangan sel limfosit T.
Sel Merkel bentuknya mirip dengan keratinosit yang juga memiliki desmosom biasanya terdapat dalam kulit
tebal telapak tangan dan kaki.juga terdapat di daerah dekat anyaman pembuluh darah dan serabut syaraf.
Berfungsi sebagai penerima rangsang sensoris.

5. Apendiks Kulit
a. Glandula Sudorifera
Bentuk kelenjar keringat ini tubuler simpleks. Banyak terdapat pada kulit tebal terutama pada telapak
tangan dan kaki tiap kelenjar terdiri atas pars sekretoria dan ductus ekskretorius. Pars secretoria terdapat
pada subcutis dibawah dermis. Bentuk tubuler dengan bergelung-gelung ujungnya. Tersusun oleh epitel

4
[Type the document title]

kuboid atau silindris selapis. Kadang-kadang dalam sitoplasma selnya tampak vakuola dan butir-butir
pigmen. Di luar sel epitel tampak sel-sel fusiform seperti otot-otot polos yang bercabang-cabang dinamakan:
sel mio-epitilial yang diduga dapat berkontraksi untuk membantu pengeluaran keringat kedalam duktus
ekskretorius. Ductus ekskretorius lumennya sempit dan dibentuk oleh epitel kuboid berlapis dua. Kelenjar
keringat ini bersifat merokrin sebagai derivat kelenjar keringat yang bersifat apokrin ialah: glandula
axillaris, glandula circumanale, glandula mammae dan glandula areolaris Montogomery.
b. Glandula Sebacea
Kelenjar ini bermuara pada leher folikel rambut dan sekret yang dihasilkan berlemak (sebum), yang
berguna untuk meminyaki rambut dan permukaan kulit. Glandula ini bersifat holokrin. Glandula sebacea
biasanya disertai dengan folikel rambut kecuali pada palpebra, papilla mammae, labia minora hanya
terdapat glandula sebacea tanpa folikel rambut.
c. Rambut
Merupakan struktur berkeratin panjang yang berasal dari invaginasi epitel epidermis.Rambut ditemukan
diseluruh tubuh kecuali pada telapak tangan, telapak kaki, bibir, glans penis, klitoris dan labia
minora.pertumbuhan rambut pada daerah-daerah tubuh seperti kulit kepala, muka, dan pubis sangat
dipengaruhi tidak saja oleh hormon kelamin-terutama androgen-tetapi juga oleh hormon adrenal dan
hormon tiroid. Setiap rambut berkembang dari sebuah invaginasi epidermal, yaitu folikel rambut yang
selama masa pertumbuhannya mempunyai pelebaran pada ujung disebut bulbus rambut. Pada dasar bulbus
rambut dapat dilihat papila dermis. Papila dermis mengandung jalinan kapiler yang vital bagi kelangsungan
hidup folikel rambut.
Pada jenis rambut kasar tertentu, sel-sel bagian pusat akar rambut pada puncak papila dermis
menghasilkan sel-sel besar, bervakuola, cukup berkeratin yang akan membentuk medula rambut. Sel-sel
yang terletak sekitar bagian pusat dari akar rambut membelah dan berkembang menjadi sel-sel fusiform
berkelompok padat yang berkeratin banyak, yang akan membentuk korteks rambut. Lebih ke tepi terdapat
sel-sel yang menghasilkan kutikula rambut, sel-sel paling luar menghasilkan sarung akar rambut dalam.
Yang memisahkan folikel rambut dari dermis ialah lapisan hialin nonseluler, yaitu membran seperti kaca
(glassy membrane), yang merupakan lamina basalis yang menebal. Sarung akar rambut dalam ini memiliki
3 lapisan, pertama cuticula ranbut yang terdiri atas lapisan tipis bangunan sebagai sisik dari bahan keratin
yang tersusun dengan bagian yang bebas kearah papilla rambut. Lapisan kedua yaitu lapisan Huxley yang
terdiri atas sel-sel yang saling beruhubungan erat. Dibagian dekat papila terlihat butir-butir trikhohialin di
dalamnya yang makin keatas makin berubah menjadi keratin seperti corneum epidermis. Lapisan ketiga
adalah lapisan Henle yang terdiri atas satu lapisan sel yang memanjang yang telah mengalami keratinisasi

5
[Type the document title]

dan erat hubungannya satu sama lain dan berhubungan erat dengan selubung akar luar.selubung akar luar
berhubungan langsung dengan sel epidermis dan dekat permukaan sarung akar rambut luar memiliki semua
lapisan epidermis.
Muskulus arektor pili tersusun miring, dan kontraksinya akan menegakan batang rambut. kontraksi otot
ini dapat disebabkan oleh suhu udara yang dingin, ketakutan ataupun kemarahan.
Kontraksi muskulus arektor pili juga menimbulkan lekukan pada kulit tempat otot ini melekat pada
dermis, sehingga menimbulkan apa yang disebut tegaknya bulu roma. Sedangkan warna rambut disebabkan
oleh aktivitas melanosit yang menghasilkan pigmen dalam sel-sel medula dan korteks batang rambut.
Melanosit ini menghasilkan dan memindahkan melanin ke sel-sel epitel melalui mekanisme yang serupa
dengan yang dibahas bagi epidermis.

6. Macammacam Keratin
Di dalam kulit serta apendiksnya terdapat dua macam keratin, yaitu keratin lunak dan keratin keras. Keratin
lunak selain terdapat pada folikel rambut juga terdapat di permukaan kulit. Keratin lunak dapat diikuti
terjadinya pada epidermis yang dimulai dari stratum granulosum dengan butir-butir keratohyalinnya, kemudian
sel-sel menjadi jernih pada stratum lucidum dan selanjutnya menjadi stratum korneum yang dapat dilepaskan.
Sedangkan keratin keras terdapat pada cuticula, cortex rambut dan kuku. Keratin keras dapat diikuti terjadinya
mulai dari sel-sel epidermis yang mengalami perubahan sedikit demi sedikit dan akhirnya berubah menjadi
keratin keras yang lebih homogen. Keratin keras juga lebih padat dan tidak dilepaskan, serta tidak begitu reaktif
dan mengandung lebih banyak sulfur.

7. Regenerasi Kulit
Dalam regenerasi ini ada 3 lapisan yang diperhitungkan, yaitu epidermis, dermis dan subcutis. Regenerasi
kulit dipengaruhi juga oleh faktor usia, dimana semakin muda, semakin bagus regenerasinya.

2. Fisiologi Kulit
Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi tersebut
dapat dibedakan menjadi fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi),
dan pembentukan vitamin D.
A. Fungsi Proteksi
Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan zat kimia. Keratin merupakan struktur
yang keras, kaku, dan tersusun rapi dan erat seperti batu bata di permukaan kulit. Lipid yang dilepaskan
mencegah evaporasi air dari permukaan kulit dan dehidrasi; selain itu juga mencegah masuknya air dari
lingkungan luar tubuh melalui kulit. Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan rambut
6
[Type the document title]

dari kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang berfungsi membunuh bakteri di permukaan kulit. Adanya
sebum ini, bersamaan dengan ekskresi keringat, akan menghasilkan mantel asam dengan kadar pH 5-6.5 yang
mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang
berbahaya. Pada stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan pigmen melanin ke sel-sel di sekitarnya. Pigmen
ini bertugas melindungi materi genetik dari sinar matahari, sehingga materi genetik dapat tersimpan dengan
baik. Apabila terjadi gangguan pada proteksi oleh melanin, maka dapat timbul keganasan. Selain itu ada sel-sel
yang berperan sebagai sel imun yang protektif. Yang pertama adalah sel Langerhans, yang merepresentasikan
antigen terhadap mikroba. Kemudian ada sel fagosit yang bertugas memfagositosis mikroba yang masuk
melewati keratin dan sel Langerhans.
B. Fungsi Absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-lipid seperti vitamin A, D, E, dan K, obat-
obatan tertentu, oksigen dan karbon dioksida. Permeabilitas kulit terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air
memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Selain itu beberapa material toksik dapat
diserap seperti aseton, CCl4, dan merkuri. Beberapa obat juga dirancang untuk larut lemak, seperti kortison,
sehingga mampu berpenetrasi ke kulit dan melepaskan antihistamin di tempat peradangan. Kemampuan
absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum.
Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antarsel atau melalui muara saluran kelenjar; tetapi lebih banyak
yang melalui sel-sel epidermis daripada yang melalui muara kelenjar.

C. Fungsi Ekskresi
Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea
dan kelenjar keringat. Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel rambut dan melepaskan
lipid yang dikenal sebagai sebum menuju lumen. Sebum dikeluarkan ketika muskulus arektor pili berkontraksi
menekan kelenjar sebasea sehingga sebum dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan kulit. Sebum
tersebut merupakan campuran dari trigliserida, kolesterol, protein, dan elektrolig. Sebum berfungsi menghambat
pertumbuhan bakteri, melumasi dan memproteksi keratin.
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air dapat keluar dengan cara menguap melalui
kelenjar keringat tiap hari. Seorang yang bekerja dalam ruangan mengekskresikan 200 mL keringat tambahan,
dan bagi orang yang aktif jumlahnya lebih banyak lagi. Selain mengeluarkan air dan panas, keringat juga
merupakan sarana untuk mengekskresikan garam, karbondioksida, dan dua molekul organik hasil pemecahan
protein yaitu amoniak dan urea.
Terdapat dua jenis kelenjar keringat, yaitu kelenjar keringat apokrin dan kelenjar keringat merokrin.
Kelenjar keringat apokrin terdapat di daerah aksila, payudara dan pubis, serta aktif pada usia pubertas dan
menghasilkan sekret yang kental dan bau yang khas. Kelenjar keringat apokrin bekerja ketika ada sinyal dari
7
[Type the document title]

sistem saraf dan hormon sehingga sel-sel mioepitel yang ada di sekeliling kelenjar berkontraksi dan menekan
kelenjar keringat apokrin. Akibatnya kelenjar keringat apokrin melepaskan sekretnya ke folikel rambut lalu ke
permukaan luar. Kelenjar keringat merokrin (ekrin) terdapat di daerah telapak tangan dan kaki. Sekretnya
mengandung air, elektrolit, nutrien organik, dan sampah metabolisme. Kadar pH-nya berkisar 4.0 6.8. Fungsi
dari kelenjar keringat merokrin adalah mengatur temperatur permukaan, mengekskresikan air dan elektrolit
serta melindungi dari agen asing dengan cara mempersulit perlekatan agen asing dan menghasilkan dermicidin,
sebuah peptida kecil dengan sifat antibiotik.
D. Fungsi Persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Terhadap rangsangan panas
diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan
Krause yang terletak di dermis, badan taktil Meissner terletak di papila dermis berperan terhadap rabaan,
demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh
badan Paccini di epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik.
E. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Termoregulasi)
Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui dua cara: pengeluaran keringat
dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh kapiler. Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat
dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas akan terbawa keluar
dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan
mempersempit pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh.
F. Fungsi Pembentukan Vitamin D
Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7 dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar
ultraviolet. Enzim di hati dan ginjal lalu memodifikasi prekursor dan menghasilkan calcitriol, bentuk vitamin D
yang aktif. Calcitriol adalah hormon yang berperan dalam mengabsorpsi kalsium makanan dari traktus
gastrointestinal ke dalam pembuluh darah. Walaupun tubuh mampu memproduksi vitamin D sendiri, namun
belum memenuhi kebutuhan tubuh secara keseluruhan sehingga pemberian vitamin D sistemik masih tetap
diperlukan.
Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar keringat,
dan otot-otot di bawah kulit.
G. Keratinisasi Kulit
Keratinisasi merupakan suatu proses pembentukan lapisan keratin dari sel-sel yang membelah. Keratinosit
dimulai dari sel basal mengadakan pembelahan, lalu sel basal akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya
menjadi sel spinosum, makin ke atas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin
lama inti menghilang, mengalami apoptosis dan menjadi sel tanduk yang amorf. Sel-sel yang sudah mengalami
keratinisasi akan meluruh dan digantikan dengan sel di bawahnya yang baru saja mengalami keratinisasi untuk
8
[Type the document title]

kemudian meluruh kembali, begitu seterusnya. Proses ini memakan waktu sekitar empat minggu untuk
epidermis dengan ketebalan 0.1 mm. Apabila kulit di lapisan terluar tergerus, seperti pada abrasi atau terbakar,
maka sel-sel basal akan membelah lebih cepat. Mekanisme pertumbuhan ini terutama dipengaruhi oleh hormon
epidermal growth factor (EPF).
H. Pembentukan Warna Pada Kulit
Warna pada kulit dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pigmentasi epidermis dan sirkulasi kapiler yang ada di
lapisan dermis. Pigmentasi epidermis dipengaruhi oleh dua pigmen, yaitu karoten dan melanin. Karoten
merupakan pigmen merah-jingga yang berakumulasi di epidermis. Paling banyak terdapat di stratum korneum
pada orang berkulit terang, juga di jaringan lemak pada lapisan dermis dan subkutis. Perubahan warna yang
diakibatkan oleh karoten paling terlihat pada orang berkulit pucat, sedangkan pada orang berkulit gelap sulit
terlihat. Karoten dapat dikonversi menjadi vitamin A yang diperlukan untuk pemeliharaan epitel dan sintesis
fotoreseptor di mata. Melanin merupakan pigmen kuning-coklat, atau hitam yang diproduksi oleh melanosit.
Melanosit sendiri berada di antara sel-sel basal dan memiliki juluran ke sel-sel di atasnya. Perbandingan jumlah
melanosit dan sel basal bervariasi, mulai dari 1:20 sampai 1:4. Badan Golgi melanosit membentuk melanin dari
tyrosin dengan bantuan Cu dan oksigen, lalu mengemasnya menjadi vesikel-vesikel melanosom. Melanosom ini
akan dihantarkan melalui juluran melanosit dan mewarnai sel-sel keratin di atasnya sampai didegradasi oleh
lisosom. Jumlah melanosit baik pada orang kulit hitam maupun kulit putih adalah sama, yang berbeda adalah
aktivitas dan produksi pigmennya (melanosit). Pada orang kulit pucat transfer melanosom hanya sebatas stratum
spinosum, sedangkan pada orang berkulit gelap melanosom dapat dihantarkan hingga ke stratum granulosum.
Sirkulasi darah yang ada di dalam pembuluh kapiler pada dermis juga berperan dalam menentukan warna
kulit. Hemoglobin yang fungsinya untuk mengangkut oksigen adalah bersifat pigmen. Ketika berikatan dengan
oksigen, hemoglobin akan berwarna merah terang sehingga memberikan pewarnaan merah pada pembuluh
kapiler. Ketika pembuluh-pembuluh tersebut mengalami dilatasi, maka warna merah pada kulit akan semakin
jelas. Contohnya jika saat suhu tubuh sedang tinggi, maka pembuluh darah akan melebar untuk melepaskan
panas dan pada saat yang sama akan menimbulkan citra merah pada kulit tersebut. Sebaliknya ketika suplai
darah berkurang (misalnya pada gagal jantung) maka kulit akan berubah relatif pucat akibat penyempitan
pembuluh kapiler.
I. Efek Penuaan Pada Kulit
Usia yang menginjak 40 tahun akan memberi gambaran penuaan berupa perubahan-perubahan tertentu pada
kulit. Kebanyakan perubahan tersebut terjadi di lapisan dermis.
a. Fibroblas, yang memproduksi serat kolagen dan elastin, akan mengalami penurunan jumlah dalam
proses penuaan. Serat kolagen menjadi berkurang, mengeras, dan terurai ke dalam bentuk yang tidak
9
[Type the document title]

beraturan. Sedangkan serat elastin menjadi kehilangan elastisitasnya, menebal dan robek. Sehingga kulit
pada penuaan akan menghasilkan gambaran celah yang disebut sebagai kerut.
b. Sel-sel Langerhans akan berkurang jumlahnya dan makrofag menjadi kurang aktif sehingga menurunkan
aktifitas imun pada kulit.
c. Produksi keringat berkurang dan kelenjar sebasea akan mengecil sehingga produksi sebum akan
berkurang menyebabkan kulit menjadi kering dan lebih rentan terhadap infeksi (karena mantel asam
tidak efektif).
d. Melanosit fungsional akan berkurang sehingga menyebabkan rambut berwarna putih (uban) dan
pigmentasi yang atipikal. Sedangkan beberapa melanosit lain akan mengalami pembesaran dan
menghasilkan ruam-ruam pigmen.
e. Dinding pembuluh darah dermis menjadi lebih tebal dan kurang permeabel.
f. Jaringan lemak adiposa menjadi longgar.
g. Proses migrasi sel basal menjadi sel permukaan berjalan lebih lambat, sehingga penyembuhan apabila
ada cedera juga menjadi lama.
J. Proses Perbaikan Pada Kulit Yang Cedera
Kerusakan (cedera) pada kulit akan memicu suatu sekuens yang akan memperbaiki jaringan yang rusak.
Terdapat dua jenis penyembuhan: (1) penyembuhan epidermis untuk cedera yang tidak terlalu dalam dan (2)
penyembuhan mendalam, yaitu apabila cedera tidak hanya merusak jaringan epidermis saja, tapi juga ikut
merusak jaringan dermis dan subkutan.
a. Penyembuhan Epidermis
Penyembuhan epidermis terjadi apabila cedera terdapat hanya sebatas epidermis. Sel-sel basal yang
dipisahkan oleh daerah cedera akan menyatu, dan berkembang mengisi daerah yang mengalami cedera.
Mekanisme pengisian daerah cedera ini diperantarai oleh EGF (epidermal growth factor) yang akan
menyebabkan sel basal berproliferasi dan menyebabkan penebalan epidermis yang rusak.
b. Penyembuhan Mendalam
Penyembuhan mendalam terjadi apabila cedera meliputi hingga ke daerah dermis dan subkutis. Karena
cederanya lebih luas dibandingkan dengan cedera epidermis saja, maka proses penyembuhannya lebih
kompleks dibanding penyembuhan epidermis. Selain itu, terbentuknya jaringan parut dapat membuat daerah
penyembuhan kehilangan fungsi fisiologisnya. Penyembuhan mendalam ini meliputi empat fase:
Fase Inflamatorik
Pada fase inflamatorik, terjadi peristiwa inflamasi (respons selular dan vaskular) yang meliputi antara
lain vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, serta rekrutmen sel-sel fagosit untuk
mengeliminasi agen penyebab cedera/jejas. Selain itu pada fase inflamatorik juga terjadi penggumpalan
darah untuk menyatukan daerah yang terpisah akibat cedera.
10
[Type the document title]

Fase Migratorik
Pada fase migratorik, terjadi perpindahan fibroblas untuk membentuk jaringan parut. Juga akan
terbentuk keropeng di daerah cedera.
Fase Proliferatif
Pada fase proliferatif, terjadi pertumbuhan sel-sel epitel di bawah keropeng, deposisi fibroblas yang
semakin banyak dan pembentukan kapiler-kapiler baru.
Fase Maturasi
Pada fase maturasi, keropeng yang terbentuk akan meluruh dan digantikan dengan jaringan sehat dan
kulit kembali ke ketebalannya semula. Kolagen menjadi lebih tersusun, fibroblas berkurang, dan kapiler
darah telah normal kembali.
K. Hubungan Fisiologi Kulit Dengan Organ-Organ Lain
Sistem kulit membentuk permukaan eksternal tubuh dan melindungi dari dehidrasi, kimia lingkungan, dan
pajanan terhadap agen asing. Sistem kulit dipisahkan dari sistem tubuh yang lain oleh jaringan subkutan namun
tetap terhubung dengan sistem tubuh yang lain dengan sistem sirkulasi, limfatik serta sistem saraf. Hasilnya,
aktifitas fisiologis kulit selalu terintegrasi dengan sistem-sistem tubuh yang lain.
a. Sistem Skeletal
Kulit mengaktifkan vitamin D3 (calcitriol) yang akan membantu penyerapan kalsium dan fosfor di
saluran cerna. Kalsium dan fosfor berfungsi unuk membangun dan memelihara tulang.
Sistem skeletal menyediakan dukungan struktural untuk kulit.
b. Sistem Muskular
Kulit, melalui produksi vitamin D (calcitriol) membantu menyediakan ion kalsium yang berguna untuk
kontraksi otot.
Kontraksi otot di daerah kulit muka menghasilkan ekspresi wajah.
c. Sistem Saraf
Ujung saraf pada kulit akan menghantarkan sinyal terkait sentuhan, tekanan, suhu, dan nyeri.
Sistem saraf pusat mengatur aliran darah dan pengeluaran keringat untuk termoregulasi.
Sistem saraf menstimulasi kontraksi muskulus arektor pili untuk menegakkan rambut.
d. Sistem Endokrin
Keratinosit pada kulit membantu mengaktivasi vitamin D menjadi calcitriol, sebuah hormon yang
mempermudah penyerapan kalsium dan fosfor di saluran cerna.
Hormon seks menstimulasi aktivitas kelenjar sebasea, mempengaruhi pertumbuhan, distribusi lemak
subkutan, dan aktifitas kelenjar keringat.
Hormon adrenal mengatur aliran darah di dermis dan membantu memobilisasi lemak di adiposit.
e. Sistem Kardiovaskular
Perubahan kimia setempat di kulit (dermis) akan menyebabkan perubahan vaskular (melebar atau
menyempit) yang mempengaruhi aliran darah setempat.
Sistem kardiovaskular menyediakan oksigen dan nutrien, menghantarkan hormon dan sel-sel imun.
11
[Type the document title]

Pembuluh darah menghantarkan karbondioksida, sampah metabolisme, dan toksin.


Sistem kardiovaskular menyediakan panas untuk mengatur suhu kulit.
f. Sistem Limfatik dan Imunologi
Kulit adalah pertahanan pertama dalam imunitas, menyediakan sawar mekanik dan sekret kimia untuk
menghalau penetrasi mikroba.
Sel-sel Langerhans pada epidermis berperan dalam imunologi dengan cara pengenalan antigen terhadap
agen asing.
Makrofag memfagosit mikroba yang berhasil mempenetrasi permukaan kulit.
Sistem limfatik melindungi integumen dengan menyediakan makrofag tambahan dan memobilisasi
limfosit.
g. Sistem Pernapasan
Rambut hidung berfungsi menyaring partikel debu dari udara yang dihirup.
Stimulasi pada ujung saraf nyeri dapat mengubah laju pernapasan.
Sistem pernapasan menyediakan oksigen untuk jaringan dan mengeliminasi karbondioksida.
h. Sistem Pencernaan
Kulit mengaktifkan vitamin D3 (calcitriol) yang akan membantu penyerapan kalsium dan fosfor di
saluran cerna.
Sistem pencernaan menyediakan nutrien untuk sel dan simpanan lipid di adiposit.
i. Sistem Saluran Kemih
Ginjal menerima sebagian hormon vitamin D dari kulit dan mengubahnya menjadi calcitriol
Ekskresi sampah metabolisme melalui kelenjar keringat turut berperan dalam menentukan jumlah
ekskresi melalui tubulus ginjal.
j. Sistem Reproduksi
Ujung saraf di kulit dan subkutan berespon terhadap stimulus erotik dan berkontribusi terhadap
kepuasan seksual.
Gerakan menghisap bayi pada puting susu ibu menstimulasi ujung saraf di kulit dan menyebabkan
keluarnya ASI.
Kelenjar susu (modifikasi dari kelenjar keringat) memproduksi ASI.
Kulit mengalami pelebaran (hiperplasia) selama kehamilan terkait pertumbuhan fetus.
Hormon-hormon seks mempengaruhi distribusi rambut, sel adiposa dan perkembangan kelenjar
payudara.

II.3.2 Jenis-Jenis Ruam Kulit


Dermatologi dapat dipelajari secara sistematis setelah PLENCK (1776) menulis bukunya yang berjudul
System der Hautkrankheiten. Berdasarkan efloresensi (ruam), penyakit kulit mulai dipelajari secara sistematis.
Sampai kini pemikiran PLENCK masih dipakai sebagai dasar membuat diagnosis penyakit kulit secara klinis,
walaupun ditambah dengan segala kemajuan teknologi di bidang bakteriologi, mikologi, histopatologi, dan
imunologi. Jadi untuk mempelajari ilmu penyakit kulit mutlak diperlukan pengetahuan tentang ruam kulit atau
morfologi atau ilmu yang mempelajari lesi kulit.

12
[Type the document title]

Efloresensi kulit dapat berubah pada waktu berlangsungya penyakit. Proses tersebut dapat merupakan akibat
biasa dalam proses patologik. Kadang-kadang perubahan ini dapat dipengaruhi keadaan dari luar, misalnya
trauma garukan, dan pengobatan yang diberikan, sehingga perubahan tersebut tidak biasa lagi. Dalam hal ini
gambaran klinis morfologik penyakit menyimpang dari biasanya dan sulit dikenali. Demi kepentingan diagnosis
penting sekali untuk mencari kelainan yang pertama (efloresensi primer), yang biasanya khas untuk penyakit
tersebut.
Menurut PRAKKEN (1966) yang disebut efloresensi (ruam) primer adalah: makula, papula, plak, urtika,
nodus, nodulus, vesikel, bula, pustul, dan kista. Sedangkan yang dianggap sebagai efloresensi (ruam)
sekunder adalah: skuama (sangat jarang sekali timbul sebagai efloresensi primer), krusta, erosi, ulkus, dan
sikatriks.
Di bawah ini akan diberikan definisi berbagai kelaiann kulit dan istilah-istilah yang berhubungan dengan
kelainan tersebut.
Makula : Perubahan warna kulit ysng tegas dg ukuran & bentuk bervariasi tanpa disertai peninggian
( elevation) atau cekungan (depresion)
Eritema : kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh darah yang reversibel.
Urtikaria : Peninggian kulit yang datar oleh karena edema pada dermis bagian atas, bersifat gatal,
hilang timbul dengan cepat
Vesikel : Peninggian kulit berbatas tegas berisi cairan dengan ukuran 1-10 mm. Sifatnya unilokuler atau
multilokuler. Dapat pecah atau bergabung menjadi bula.
Pustul : vesikula tetapi isinya pus dan berada diatas kulit yang meradang.
Bula : Dibedakan dengan vesikula atas dasar ukurannya yang lebih besar dengan diameter > 1cm.
Lokasi bula adadi subkorneal, intraepidermal, subepidermal.
Kista : Kantong yang berisi cairan atau material semisolid (cairan, sel, & produk sel). Bentuknya bisa
spheris atau oval atau papula.
Abses : kumpulan nanah dalam jaringan, bila mengenai kulit berada dalam kutis atau subkutis. Batas
antara ruangan yang berisi nanah dan jaringan disekitarnya tidak jelas.
Papul : Peninggian kulit yang solid dengan diameter dengan diameter < 0,5 cm & bagian terbesarnya
berada diatas permukaan kulit.
Nodus : massa padat sirkumskrip,terletak di kutan atau subkutan dan dapat menonjol. Jika diameternya
lebih kecil dari 1 cm disebut nodulus.
Plak : peninggian di atas permukaan kulit, permukaannya rata dan berisi zat padat, berdiameter 2 cm
atau lebih.
Sikatriks : Pembentukan jaringan baru yang sifatnya lebih banyak mengandung jaringan ikat untuk
mengganti jaringan yang rusak akibat penyakit atau trauma pada dermis yang lebih dalam.
Erosi : Hilangnya lapisan kulit sebatas epidermis dan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut.

13
[Type the document title]

Ekskoriasi : kelainan kulit yang disebabkan oleh hilangnya jaringan sampai stratum papilare
Ulkus : Hilangnya kontinuitas jaringan pada dermis atau lebih dalam. Ukuran bisa kecil maupun besar.
Sembuh dengan meninggalkan jaringan parut.
Skuama : lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama bisa halus seperti taburan tepung,
atau lapisan yang tebal dan luas seperti lembaran kertas.
Krusta : cairan tubuh yang mengering. Dapat bercampur dengan jaringan nekrotik maupun benda asing.
Likenifikasi : penebalan kulit disertai relief kulit yang makin jelas
Monomorf : kelainan kulit pada satu waktu hanya satu macam ruam kulit.
Polimorf : kelainan kulit yang sedang berkembang, terdiri atas bermacam-macam efloresensi

II.3.3 Dasar Penegakan Diagnosis Penyakit Kulit


Berbeda dengan penyakit lain, penyakit kulit dapat dilihat langsung dengan mata pemeriksa. Dari jenis ruam
penyakit kulit tersebut kita sudah dapat mengarahkan anamnesis dan pemeriksaan lanjutan
1. Anamnesis
Anamnesis yang baik merupakan tiang utama diagnosis. Anamnesis dimulai dengan mecari keterangan
mengenai nama, alamat, umur, jenis kelamin, pekerjaan dan status perkawinan. Keterangan yang didapat ini
terkadang sudah member petunjuk permulaan kepada kita.
Pertanyaan yang diajukan biasanya:
A. Mengenai Keluhan Pokok
- Di mana mulai terdapat keluhan?
- Menjalarkah?
- Apakah hilang timbul?
- Berapa lama?
- Apakah kering atau basah?
- Apakah gatal atau sakit?
B. Mengenai penderita dengan keluarganya:
- Apa penyakit-penyakit yang pernah diderita?
- Obat-obatan apa yang digunakan?
- Adakah makanan yang membuat penyakit bertambah parah?
- Apa pekerjaan penderita dan bagaimana lingkungannya?
- Kegiatan apa yang dilakukan setelah selesai bekerja?
- Penyakit apa saja yang diderita oleh keluarga pasien?

2. Pemeriksaan Penderita
Pemeriksaan dilakukan ditempat yang terang. Ruam pada kulit dapat primer atau sekunder.
A. Ruam Primer
Makula : Kelainan kulit yang sama tinggi dengan permukaan kulit, warnanya berubah dan berbatas
jelas

14
[Type the document title]

Eritema : Makula yang berwarna merah seperti pada dermatitis, lupus eritomtosus
Papula : Kelainan kulit yang lebih tinggi dari permukaan kulit, padat, berbatas jelas dan ukurannya
tidak lebih dari 1 cm

Nodula : Sama dengan papula tetapi ukurannya lebih dari 1 cm

Plak : Peninggian kulit yang datar, >1 cm

Vasikula : Kelainan kulit yang lebih tinggi dari


permukaan kulit, berisi cairan dan
ukurannya tidak lebih dari 1 cm
Bula : Sama dengan vasikula tetapi ukurannya lebih dari 1 cm
Pustula : Sama dengan vasikula tetapi berisi nanah

Urtika : Kelainan kulit yang lebih tinggi dari permukaan


kulit, edematreus, berwarna merah jambu, dan
bentuknya bermacam-macam

Tumor : Kelainan kulit yang menonjol dan ukurannya lebih


besar dari 2,5 cm
Kista : Ruangan berdinding; berisi cairan, sel, atau sisa sel; terbentuk bukan akibat peradangan

15
B. Ruam Sekunder
Skuama : Jaringan mati dari lapisan tanduk yang terlepas, sebagai kulit menyerupai
sisik

Erosio : kulit dan yang epidermis bagian atas terkelupas.

Abses : Berupa kantong berisi nanah


di dalam jaringan

Krusta : Kumpulan eksudat atau


secret diatas kulit
Fisura : Epidermis yang retak hingga dermis terlihat. Biasanya nyeri
Ekskorasio : Kulit yang epidermisnya terkelupas. Lebih dalam dari erosion
Ulkus : Kulit (epidermis dan dermis) terlepas karena destruksi penyakit. Perlepasan
ini dapat sampai jaringan subkutan atau lebih dalam

Parut : jaringan ikat yang kemudian


terbentuk menggantikan jaringan
dermis atau jaringan lebih dalam yang telah hilang
Likenifikasi : Penebalan
kulit sehingga garis-garis
lipatan relief kulit tampak lebih jelas, seperti pada prurigo, neurodermatitis

3. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk memastaikan diagnosis, ada kalanya
diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pemereiksaan yang sering diperlukan :
a. Pemeriksaan rutin urin, darah tepi, dan kimia darah
b. Pemeriksaaan mikologik
c. Percobaan tempel (pactch test) untuk alergi
d. Pemeriksaan bakteriologi
e. Tes serologi (untuk sifilis, frambusia, dan sebagainya)
f. Pemeriksaan dengan sinar Wood
g. Biopsi untuk pemeriksaan histopatologi

II.3.4 Analisis Skenario


Berdasarkan skenario pertama yang berjudul Aduh Gatal Ih penulis mendapatkan
beberapa daftar masalah yang menjadi acuan untuk melakukan pendekatan diagnosis. Berikut ini
adalah penjelasan dari beberapa daftar masalah yang ditemukan dalam skenario.
1. Bintil berisi air di seluruh badan sejak 2 hari, awalnya di daerah dada kemudian
menyebar ke seluruh badan. Pemeriksaan fisik : vesikula dengan macula hiperemi
diameter 0,5 1 mm, beberapa tampak erosi.
Vesikel merupakan lesi yang berisi cairan. Ketika diameter vesikel melebihi 0,5 cm, maka
disebut dengan bulla. Vesikel terbentuk akibat gangguan kohesi dari sel epidermal atau
komponen membrane basalis yang berkaitan dengan influx cairan ke atau kedalam lesi. Lesi
vesicular biasanya dapat disebabkan oleh : (Department for Evaluations, Standards and Training
Centre for Infections, 2009)
Gangguan imunitas
Infeksi : virus, bakteri, parasit
Gigitan serangga
Acne
Eskema ektopik
Reaksi obat
Lesi vesicular biasanya sering ditemukan pada infeksi virus, terutama varisela zoster dan
herpes simpleks. Poxvirus dan enterovirus juga sering menyebabkan lesi vesicular. Infeksi
bakteri dan jamur juga perlu dievaluasi dalam menginvestigasi pasien dengan lesi vesicular.
Vesikel dapat terjadi pada keadaan seperti impetigo, candidiasis, ektima gangrenosum yang
berkaitan dengan infeksi pseudomonas dan antraks kutaneus (Department for Evaluations,
Standards and Training Centre for Infections, 2009).
Beberapa penyakit dapat menyebabkan lesi vesicular dan menunjukkan beberapa
karakteristik lainnya. Adapun penyakit tersebut adalah sebagai berikut:
A. Infeksi Varisela Zoster
Masa inkubasi virus ini adalah 10 hari sampai 3 minggu. Lesi dari infeksi varisela zoster
memiliki tipikal dalam beberapa stadium perkembangan. Berikut ini merupakan perjalanan
penyakit cacar air : (Department for Evaluations, Standards and Training Centre for Infections,
2009)
a. Gejala prodromal : demam, malaise
b. Terbentuk lesi papul kemerahan yang semakin lama akan menjadi semakin meninggi dan
terasa gatal
c. Terbentuk vesikel dengan dasar kemerahan
d. Vesikel kemudian berisi pus dan pecah
Karakteristik dari cacar air yaitu (Department for Evaluations, Standards and Training
Centre for Infections, 2009)
Distribusi lesi biasanya pada awalnya pada trunkus kemudian ke wajah, lengan, dan kaki.
Lesi jarang terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki.
Terdapat lesi multiform (lesi terdapat dalam berbagai stadium perkembangan)

B. Infeksi Herpes Zoster (Shingles)


Infeksi herpes zoster (shingles) merupakan akibat dari reaktisasi virus variscela zoster yang
laten pada ganglia sensoris. Virus bergerak kebawah ke neuron sensoris mengakibatkan nyeri
awal pada distribusi nermatoma pada system saraf. Eritema muncul beberapa hari atau beberapa
minggu diikuti dengan munculnya lesi vasikuler sepanjang distribusi saraf dermatum. Wajah
(nervus trigeminus) dan trunkus merupakan lokasi utama lesi shingles pada pasien dewasa.
Sedangkan pada pasien anak, lokasi lesi biasanya terdapat pada dermatom servikal sacral
(Department for Evaluations, Standards and Training Centre for Infections, 2009).

C. Infeksi Herpes Simpleks


Infeksi herpes simpleks sering terjadi dan biasanya infeksi asimptomatik. Lesi vasikular
merupakan tanda utama infeksi herpes simpleks tipe 1 dan 2. Lesi yang diakibatkan oleh kedua
virus ini biasanya sulit untuk dibedakan. Gejala infeksi HSV-1 primer biasanya disertai dengan
gingivostomatitis dan faringitis. Seringkali disertaii pula dengan demam. Lesi pada mulut
biasanya berupa ulkus. Herpes genital primer memiliki karakteristik sebagai berikut (Department
for Evaluations, Standards and Training Centre for Infections, 2009) :

Demam
Nyeri kepala
Malaise
Myalgia
Nyeri local
Gatal
Dysuria
Vesikal, pustule, atau ulsrasi pada bagian genital.
Lesi pada HSV-2 lebih sering terjadi reaktivasi pada area genital dibandingkan dengan
HSV-1 yang biasanya terjadi pada daerah oral-labial.

D. Impetigo
Impetigo merupakan infeksi bakteri yang sering terjadi pada anak. Impetigo disebabkan oleh
infeksi Streptococcus pyogenes dan / atau staphylococcus aureus. Infeksi ini sering terjadi pada
lokasi kulit yang telah terluka. Impetigo biasanya timbul dengan lesi macula eritematosa tunggal
berukuran 2-3 mm yang secara cepat progresif menjadi vesikel atau pustule. Ketika vesikel
rupture, dapat dijumpai eksudat berwarna seperti madu (honey colored exudate). Impetigo
biasanya dapat menyebar ke lokasi sekitarnya dengan auto inokulasi. Impetigo bulosa memiliki
gejala klinis yaitu bula yang mudah pecah dan biasanya terjadi akibat infeksi stafilokokus.
Impetigo bulosa biasanya terjadi pada anak kurang dari 2 tahun (Department for Evaluations,
Standards and Training Centre for Infections, 2009).

E. Monkeypox
Monkeypox biasanya terjadi pada daerah Afrika Barat dan kini telah menyebar ke daerah
Amerika akibat import binatang peliharaan. Pada 35 kasus pasien yang menderita monkeypox,
semuanya memiliki riwayat kontak dengan anjing ataupun pasien monkeypox. Anjing tersebut
memiliki riwayat kontak dengan binatang kelompok rodensia Afrika yang diimpor ke amerika
dari Ghana. Pada manusia, periode inkubasi sekitar 12 hari dengan gejala prodroma meliputi
demam, nyeri kepala, myalgia, berkeringat, dan batuk non-produktif. Tipikal lesi pada pasien di
Amerika biasanya dimulai dari daerah wajah, kemudian menyebar ke kepala, trunkus, dan
ekstremitas. Pasien seringkali memiliki lesi satelit pada regio tangan dan kaki. Evolusi lesi
dimulai dari papula menjadi vesikula menjadi pustule mengalami umbilikasi dan menjadi krusta.
Sama dengan infeksi varisela zostar, pasien ini juga memiliki lesi yang biasanya dapat dijumpai
dalam berbagai stadium perkembangan (multiform). Pasien biasanya memiliki riwayat kontak
dengan tupai. Diferensial diagnosis utama dari monkeypox adalah chickenpox (Department for
Evaluations, Standards and Training Centre for Infections, 2009).

F. Variola
Sejak tahun 1994 WHO telah menyatakan bahwa variola sudah dieradikasi dari seluruh
dunia. Masa inkubasi virus ini sekitar 7-17 hari. Gejala prodromal biasanya meliputi nyeri
kepala, nyeri punggung, dan demam. Demam pasien dapat mencapi 40 derajat celcius dan
menurun dalam waktu 2-3 hari. Karakteristik lesi variola yaitu lesi dimulai dari macula
kemerahan yang berukuran kecil yang setelah 1-2 hari menjadi papula berukuran 2-3 mm. papula
ini menjadi vesikula berukuran 2-5 mm setelah 1-2 hari. Lesi ini terjadi pertama kali dan paling
prominen pada daerah wajah dan ekstremitas dan secara perlahan-lahan berkembang ke seluruh
tubuh. Pustule berukuran 4-6 mm timbul setelah 4-7 hari dan tetap selama 5-8 hari, diikuti
dengan umbilikasi dan krusta. Bila terdapat infeksi bakteri sekunder, maka suhuh tubuh akan
kembali meningkat pada hari ke 5-8 setelah timbul lesi. Krusta akan mengelupas pada minggu ke
2. Diagnose diferensial utama dari variola adalah chickenpox. Yang membedakannya dengan
cacar air adalah, pada variola dijumpai demam dengan suhu yang sangat tinggi, lesi dengan
distribusi peripheral atau sentrifugal (bertahan lebih lama pada daerah tangan dan kaki), dalam
stadium perkembangan yang sama (monoformik/uniformik) (Department for Evaluations,
Standards and Training Centre for Infections, 2009).

G. Infeksi Virus Herpes B (Cercopithecine Herpes Virus 1)


Infeksi pada manusia biasanya terjadi sebagai akibat dari kontaminasi virus herpes B dari
monyet yang terinfeksi. Lesi vasikuler biasanya disertai dengan nyeri, merasa kesemutan pada
lokasi inokulasi (Department for Evaluations, Standards and Training Centre for Infections,
2009).

H. Infeksi Enterovirus
Infeksi enterovirus terjadi di seluruh dunia dan dapat mengakibatkan lesi vasikuler pada
tangan, kaki, dan mulut. Sering disebabkan oleh Coxsackie B5. Gejala prodromal biasanya
meliputi demam, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, anorexia, diikuti dengan munculnya vesikel
pada pipi, gusi, lidah dalam waktu 2 hari dan seringkali terjadi ulstrasi. Setelah 1-2 hari, timbul
lesi yang tidak gatal dimulai dari lesi papulo vesicular kecil kemerahan terutama pada telapak
tangan dan pantat. Penyakit ini biasanya membaik dalam waktu 7 hari (Department for
Evaluations, Standards and Training Centre for Infections, 2009).

I. Cowpox
Cowpox pada manusia jarang terjadi dan biasanya dijumpai riwayat kontak dengan kucing
yang terinfeksi. Reservoir infeksi biasanya merupakan kelompok dari rodensia liar. Lesi yang
timbul biasanya merupakan lesi tunggal yang sering terjadi pada ekstremitas bawah, dimulai dari
lesi papula yang berkembang menjadi vesikula yang kemudian berdarah dan terjadi ulstrasi.
Vesikel tersebut seringkali mengalami umbilikasi dan dikeliilingi oleh eritema dan edema.
Limfangitis dan limfadenopati seringkali terjadi demikian pula demam dan myalgia (Department
for Evaluations, Standards and Training Centre for Infections, 2009).

J. Infeksi Parapoxvirus
Lesi parapoxvirus biasanya disebut dengan contagious ecthyma, contagious pustular
dermatitis, atau scabby mouth. Dapat menginfeksi kambing dan manusia. Lesi yang timbul dapat
berupa lesi soliter pada tangan dan lengan. Lesi papulovesikular pada tangan dan wajah dapat
terjadi. Biasanya terdapat riwayat kontak dengan kambing. Stadium lesi yang terjadi yaitu
stadium makulopapular, stadium vesikulasi, stadium bulosa, stadium nodulosa biasanya
berukuran besar sekitar 2-3 cm (Department for Evaluations, Standards and Training Centre for
Infections, 2009).

K. Penyakit Rikettsial
Vesikel terlihat pada rikettsialpox (sebab Rickettsia akari). Vesikel kecil pada bagian sentral
tumbuh dalam macula eritematosa. Area geografis tempat dimana infeksi terdeteksi (Amerika
Timur, Ukraina) dan adanya gigitan dari tikus (Department for Evaluations, Standards and
Training Centre for Infections, 2009).

L. Anthraks
Lesi primer pada anthraks biasanya tidak nyeri. Papula yang terasa gatal timbul setelah 3-5
hari dari inokulasi endospora. Dalam 24-36 jam, terbentuk vesikel yang akan mengalami
nekrosis pada bagian sentral dan mongering sehingga memiliki karakteristik black eschar yang
dikelilingi beberapa vesikel dan edema yang berwarna keunguan. Biasanya terdapat riwayat
kontak dengan hewan atau produk hewani. Lokasi yang paling sering terkena adalah kepala,
leher dan ekstremitas (Department for Evaluations, Standards and Training Centre for Infections,
2009).

M. Candidiasis
Lesi pada infeksi Candida albikans pada bayi berupa vesicular atau bula. Diagnose
diferensial meliputi varisela dan infeksi herpes simpleks. Candidiasis sistemik biasanya sering
dijumpai pada bayi dengan berat badan lahir rendah (Department for Evaluations, Standards and
Training Centre for Infections, 2009).

2. Demam 1 Hari yang Lalu.


Demam yang dirasakan pasien merupakan bukti terjadinya suatu proses peradangan pada
pasien, sehingga pada pasien ini kemungkinan terjadi infeksi oleh virus, bakteri, jamur atau pun
parasite, atau gangguan respon imun. Namun, lesi vesicular lebih sering ditemui pada pasien
dengan infeksi virus (Department for Evaluations, Standards and Training Centre for Infections,
2009).

3. Dokter Memberi Obat Ke Ibu Pasien


Diagnosis pada beberapa lesi vesicular biasanya didasarkan atas temuan klinis. Misalnya
pada cacar air (chicken pox), pasien biasanya didiagnosis secara klinis tanpa memerlukan
pemeriksaan laboratorium. Pada pasien di scenario, pasien mengalami demam, yang
menunjukkan tanda infeksi. Selain demam pasien juga memiliki lesi vesikel yang terdapat dalam
berbagai stadium serta distribusi lesi yang tipikal pada daerah trunkus, sehingga diagnose pasien
yang paling mendekati adalah infeksi varisela zoster (cacar air), dengan differesial diagnose
impetigo. Karena pasien masih anak-anak dan tidak ada keterangan mengenai distribusi lesi pada
daerah dermatom, maka diagnosis herpes zoster kurang meyakinkan dan kelompok kami
mengambil diagnose kerja varisela. Pada varisela pasien diberikan terapi simptomatik dan terapi
antiviral. Pada terapi simptomatik, pasien diberikan obat anti gatal, yang berupa bedak pada saat
lesi masih berbentuk vesikel dan diganti menjadi salep antibiotic pada saat lesi telah erosi untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pemberian antipiretik diperlukan, namun dihindari
pemberian aspirin karena dapat menyebabkan Reye syndrome. Berdasarkan penelitian, dengan
diberikan terapi antivirus awal (24 jam setelah timbul lesi) dapat mengurangi durasi penyakit
dan menurunkan jumlah lesi. Sehingga pada kasus tertentu terapi antibiotic diperlukan
(Department for Evaluations, Standards and Training Centre for Infections, 2009).

II.3.5 Varicella Zoster


1. Epidemiologi
Varicella terdapat di seluruh dunia dan tidak ada perbedaan ras maupun jenis kelamin.
Varicella terutama mengenai anak-anak yang berusia di bawah 20 tahun terutama usia 3-6 tahun
dan hanya sekitar 2% terjadi pada orang dewasa. Di Amerika, varicella sering terjadi pada anak-
anak di bawah usia 10 tahun dan 5% kasus terjadi pada usia di atas 15 tahun dan di Jepang,
umumnya terjadi pada anak-anak di bawah usia 6 tahun sebanyak 51,4%.

2. Etiologi
Etiologi penyakit ini adalah varicella zoster virus (VZV).

3. Pathogenesis
Masa inkubasi varicella 10-21 hari pada anakimunokompeten (rata-rata 14-17 hari) dan pada
anak yang imunokompromais biasanya lebih singkat yaitu kurang dari 14 hari. VZV masuk ke
dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dari sekresi pernapasan (droplet infection) ataupun
kontak langsung dengan lesi kulit. Droplet infection dapat terjadi 2 hari sebelum hingga 5 hari
sesudah timbul lesi di kulit.
VZV masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran pernapasan bagian atas,
orofaring, maupun konjungtiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang
berlokasi pada lymph nodes regional kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah sedikit
melalui darah dan kelenjar limfe, yang mengakibatkan terjadinya viremia primer (biasanya
terjadi pada hari ke 4-6 setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi,
replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang
sehingga akan berlanjut dengan siklus replikasi virus kedua yang terjadi di hepar dan limpa, yang
mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke
seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-15, yang mengakibatkan timbulnya lesi
kuli yang khas.
Seorang anak yang menderita varicella akan dapat menularkan kepada yang lain yaitu 2 hari
sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya lesi kulit.

4. Manifestasi Klinis
Varicella pada anak yang lebih besar (pubertas) dan orang dewasa biasanya didahului dengan
gejala prodromal yaitu demam, malaise, nyeri kepala, mual, dan anoreksia, yang terjadi 1-2 hari
sebelum timbulnya lesi di kulit. Sedangkan, pada anak kecil (usia lebih muda) yang
imunokompeten, gejala prodromal jarang dijumpai, hanya demam dan malaise ringan yang
timbul bersamaan dengan munculnya lesi di kulit.
Lesi pada varicella, diawali pada daerah wajah dan scalp, kemudian meluas ke dada
(penyebaran secara centripetal) dan kemudian dapat meluas ke ekstremitas. Lesi juga dapat
dijumpai pada mukosa mulut dan genital. Lesi pada varicella biasanya sangat gatal dan
mempunyai gambaran yang khas yaitu terdapatnya semua stadium lesi secara bersamaan pada
satu saat.
Pada awalnya timbul macula kecil yang eritematosa pada daerah wajah dan dada, dan
kemudian berubah dengan cepat dalam waktu 12-14 jam menjadi papul dan kemudian
berkembang menjadi vesikel yang mengandung cairan yang jernih dengan dasar eritematosa.
Vesikel yang terbentuk dengan dasar yang eritematous mempunyai gambaran klasik yaitu
letaknya superficial dan mempunyai dinding yang tipis sehingga terlihat seperti kumpulan
tetesan air di atas kulit (tear drop), berdiameter 2-3 mm, berbentuk elips, dengan aksis
panjangnya sejajar dengan lipatan kulit atau tampak vesikel seperti titik-titik embun di atas daun
bunga mawar (dew drop on a rose petal). Cairan vesikel yang menjadi keruh disebabkan
masuknya sel radang sehingga pada hari kedua akan berubah menjadi pustule. Lesi kemudian
akan mongering yang diawali pada baggian tengah sehingga terbentuk umbilikasi dan akhirnya
akan menjadi krusta dalamm waktu yang bervariasi antara 2-12 hari, kemudian krusta ini akan
lepas dalam waktu 1-3 minggu. Pada fase penyembuhan, varicella jarang terbentuk jaringan
parut (scar) apabila tidak disertai dengan infeksi sekunder bacterial.
Varicella yang terjadi pada masa kehamilan dapat menyebabkan terjadinya varicella
inttrauterine ataupun varicella neonatal. Varicella intrauterine terjadi pada 20 minggu pertama
kehamilan yang dapat menimbulkan kelainan congenital seperti kedua lengan dan tungkai
mengalami atrofi, kelainan neurologic maupun ocular dan retardasi mental. Sedangkan varicella
neonatal terjadi apabila seorang ibu mendapat varicella (varicella maternal) kurang dari 5 hari
sebelum atau 2 hari sesudah melahirkan. Bayi akan terpapar dengan viremia sekunder dari
ibunya yang didapat dengan cara transplasental, tetapi bayi tersebut belum mendapat
perlindungan antibody disebabkan oleh tidak cukupnya waktu untuk terbentuknya antibody pada
tubuh si ibu yang disebut transplasental antibody. Sebelum penggunaan varicella zoster
immunoglobulin (VZIG), angka kematian varicella neonatal sekitar 30%, hal ini disebabkan
terjadinya pneumonia yang berat dan hepatitis yang fulminan. Tetapi jika si ibu mendapat
varicella dalam waktu 5 hari atau ebih sebelum melahirkan, maka si ibu mempunyai waktu yang
cukup untuk membentuk dan mengedarkan antibody yang terbentu (transplasental antibody)
sehingga neonates jarang menderita varicella yang berat.

5. Pemeriksaan Penunjang
Untuk pemeriksaan virus varicella zoster dapat dilakukan beberapa tes yaitu :
A. Tzank Smear
Preparat diambil dari scaping dasar vesikel yang masih baru, kemudian diwarnai.
Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai sel datia berinti banyak
(multinucleated giant cells).
Sensitifitas sekitar 84%.
B. Direct Flurorescent Assay (DFA)
Preparat diambil dari scaping dasar vesikel tetapi apabila sudah terbentuk krusta,
pemeriksaan dengan DFA kurang sensitif.
Hasil pemeriksaan cepat.
Membutuhkan mikroskop fluorescent.
Tes ini dapat menemukan antigen virus varicella zoster.
C. PCR
Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitive.
Dengan metode ini, dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti scaping dasar
vesikel dan apabila sudah terbentuk krusta dapat juga digunakan sebagai preparat,
serta CSF.
Sensitifitasnya 97-100%.
Tes ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster.
D. Biopsy Kulit.
Dari hasil pemeriksaan histopatologis akan tampak vesikel intraepidermal dengan
degenerasi sel epidermal dan achantolysis. Pada dermis bagian atas ditemukan
lymphocytic infiltrate.

6. Tatalaksana
Pada anak yang imunokompeten, biasanya tidak diperlukan pengobatan yang spesifik.
Pengobatan yang diberikan biasanya bersifat simptomatik yaitu :
a. Bila lesi masih berbentuk vesikel, dapat diberikan bedak agar tidak mudah pecah.
b. Bila vesikel sudah pecah atau sudah berbentuk krusta, dapat diberikan salep antibiotic
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
c. Dapat diberikan antipiretik dan analgetik, tetapi hindari golongan salisilat (aspirin) untuk
menghindari terjadinya sindroma reye.
d. Kuku jari tangan harus dipotong untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat
garukan.
e. Pemberian antivirus sebaiknya diberikan dalam jangka waktu kurang dari 46-72 jam
setelah munculnya erupsi di kulit. Golongan antivirus yang dapat diberikan yaitu
asiklovir, valasiklovir, atau famasiklovir.
f. Dosis antivirus :
Neonates : asiklovir 500 mg/m2 IV setiap 8 jam selama 10 hari.
Anak 2-12 tahun : asiklovir 4x20 mg/kgBB/hari/oral selama 5 hari.

Pubertas dan dewasa : asiklovir 5x800 mg/hari/oral selama 7 hari.

7. Komplikasi
Pada anak yang imunokompeten, biasanya dijumpai varicella yang ringan sehingga jarang
dijumpai komplikasi. Komplikasi yang dapat dijumpai ada varicela yaitu :
A. Infeksi Sekunder Pada Kulit Yang Disebabkan Oleh Bakteri.
Sering dijumpai infeksi pada kulit pada anak yang berkisar 5-10%. Lesi pada kulit
tersebut menjadi tempat masuk organisme yang virulen dan apabila infeksi meluas
dapat menimbulkan impetigo, furunkel, selulitis, dan erysipelas.
Organisme infeksius yang sering menjadi penyebbnya adalah streptococcus grup A
dan staphylococcus aureus.
B. Scar.
Timbulnya scar atau jaringan parut berhubungan dengan infeksi streptococcus grup A
atau staphylococcus aureus yang berasal dari garukan.
C. Pneumonia.
Dapat timbul pada anak-anak yang lebih tua dan pada orang dewasa yang dapat
menimbulkan keadaan fatal. Pada orang dewasa, insiden pneumonia karena varicella
sekitar 1 : 400 kasus.
D. Neurologic.
a. Acute postinfectious cerebellar ataxia.
Ataxia sering muncul tiba-tiba, selalu terjadi 2-3 miinggu setelah timbulnya
varicella. Keadaan ini dapat menetap selama 2 bulan.
Manifestasinya berupa tidak dapat mempertahankan posisi berdiri hingga tidak
mampu untuk berdiri dan tidak adanya koordinasi serta disartri.
Insidennya berkisar antara 1 : 4000 kasus varicella.
b. Encephalitis.
Gejala ini sering muncul selama terjadinya akut varicella yaitu beberapa hari
setelah timbulnya ruam. Letargi, drowsiness, dan confusion adalah gejala yang
sering dijumpai.
Beberapa anak mengalami seizure dan perkembangan encephalitis yang cepat
dapat menimbulkan koma yang dalam.
Merupakan kompplikasi yang serius dimana angka kematian berkisar 5-20%.
Insiden berkisar 1,7/100.000 penderita.
E. Herpes Zoster.
Komplikasi yang lambat dari varicella yaitu timbulnya herpes zoster. Dapat timbul
beberapa bulan hingga tahun setelah terjadinya infeksi primer.
Komplikasi ini disebabkan karena varicella zoster virus menetap di ganglion sensoris.
F. Reye Syndrome.
Ditandai oleh fatty liver dengan encephalophaty.

Keadaan ini berhubungan dengan penggunaan aspirin, tetapi setelah digunakan


acetaminophen (antipiretik) secara luas, kasus ini mulai jarang ditemukan.

8. Prognosis
Varicella pada anak yang imunokompeten tanpa disertai komplikasi biasanya memiliki
prognosis yang sangat baik. Sedangkan pada anak yang imunokompromais, angka morbiditas
dan mortalitasnya signifikan.

II.3.6 Impetigo
Impetigo merupakan salah satu bentuk pioderma yang terbatas pada supefisialis. Klasifikasi
impetigo dibagi menjadi 2 yaitu impetigo krustosa, dan bulosa. Terdapat juga jenis impetigo lain
yaitu impetigo neonatorum
1. Impetigo Krustosa
Impetigo krustosa dikenal juga dengan impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, dan
impetigo tillbury fox
Penyebab impetigo ini yaitu kuman streptococcus B hemolyticus, s. aureus
Gejala klinis sering terjadi pada anak-anak dengan tempat predileksi dibagian wajah
terutama sekitar hidung dan mulut karena daerah terseut merupakan tempat kolonisasi
dari bakteri terseut.
Gambaran impetigonya berupa eritema dengan vesikel yang mudah pecah. Vesikel yang
pecaha akan menghasilkan krusta yang tebal dan terlihat seperti lapisan mau dan
merupakan tampakan khas dari impetigo krustosa.
Diagnosis banding impetigo krustosa yaitu ektima
Komplikasi yang bisa terjadi yaitu glomerulonefritis
Terapi dapat dilakukan dengan memberikan salap antibiotic jika krusta sedikit, jika krusta
banyak maka dapat diberikanantibiotik sistemik.

2. Impetigo Bulosa
Disebut juga impetigo vesko-bulosa, cacar monyet/monkey pox
Penyabab 80% yaitu S. aureus
Tempat predileksi yaitu ketiak, dada, punggung.
Gambaran klinis berupa eritema, ula, dan bula hipopion. Seringkali pasien datang dengan
kondisi bula telah pecah dan menimbulkan tampakan koleret dengan ritematosa
Terapi yang bisa deberikan hampir sama dengan impetigo krustosa yaitu jika terdapay
bula dengan jumlah yang sedikit maka bula dapat dipeahkan dan diberikan salap
antibiotik, bila jumlah bula cukup banyak maka dapat diberikan atibiotik sistemik.

3. Impetigo Neonatorum
Merupakan bentuk varian dari impetigo , hanya saja lokasinyanya lebih luas dan kadang
disertai dengan demam
Untuk terpainya dapat diberikan terpai antibiotic secara sistemik dan secara topical dapat
diberikan bedak salisil
II.3.7 Pioderma
Pioderma merupakan suatu penyakit kulit yang purulen. Infeksi kulit ini disebabkan oleh
bakteri. Adapun etiologi dari penyakit ini adalah: (a) Pyogenes-cocci; (b) Staphylococcus aureus;
atau (c) Streptococcus b. Hemolyticus.
Staphylococcus Streptococcus
Impetigo bulosa Impetigo crustosa
(= Impetigo vesico-bulosa) (= I.contagiosa; Tillbury Fox Disease
)
Impetigo neonatorum Ecthyma
Staph. Scalded Skin Syndr. (=Ulcerative Impetigo)
Folliculitis Erysipelas
( I. Bochart & Sycosis barbae) Cellulitis
Phlegmon
Furuncle & carbuncle
Scarlet Fever
Paronychia
Multiple Absceses of sweats glands
Hidra-adenitis suppurativa

1. Folikulitis
Merupakan suatu radang folikel rambut. Biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Folikulitis dibedakan menjadi dua yaitu: (a) Folikulitis superfisialis: terbatas di dalam
epidermis; dan (b) Folikulitis profunda: sampai ke subkutan. Adapun penjelasannya adalah
sebagai berikut:
A. Folikulitis Superfisialis (Impetigo Bockhart)
Gejala klinis dari folikulitis superfisialis adalah tempat predileksi di tungkai bawah.
Kelainan berupa paul atau pustule yang eritomatosa da di tengahnya terdapat rambut,
biasanya multiple.
B. Folikulitis Profunda
Gambaran klinisnya seperti di atas, hanya teraba infiltrate di subkutan. Contohnya sikosis
barbe yang berlokasi di bibir atas dan dagu, bilateral. Diagnosa banding dari penyakit ini
adalah Tinea barbe, lokasinya di mandibula/ submandibula, unilateral. Pada tenia barbe
sediaan dengan KOH positif. Adapun pengobatan untuk pasien dengan folikulitis profunda
adalah dengan diberikan antibiotic sistemik/ topical.

2. Furunkel/Karbunkel

A. Definisi
Furunkel (boll = bisul) adalah peradangan pada folikel rambut pada kulit dan jaringan
sekitarnya yang sering terjadi pada daerah bokong,kuduk,aksila,badan dan tungkai. Fuwnkel
dapat terbentuk pada Iebih dan satu tempat. Jika lebih dan satu disebut furunkulosis.
Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain akibat iritasi, kebersihan yang
kurang,daya tahan tubuh kurang dan infeksi oleh staphylococcus Aureus. Infeksi dimulal dan
peradangan pada folikel rambut pada kulit (folikulitis ) yang menyebar kejaringan sekitarnya.

B. Gejala Klinis

Gejala yang timbul pada furunkel bervariasi tergantung kepada beratnya penyakit. Gejala
yang sering ditemukan pada furunkel antara lain adalah: nyeri pada daerah ruam, ruam pada
daerah kulit berupa nodus eritematosa yang berbentuk kerucut dan memiliki pustule, nodul dapat
melunak menjadi abses yang berisi pus dan jaringan nekrotik yang dapat pecah membentuk fistel
dan keluar melalui lobus minoris resistensiae, dan setelah seminggu kebanyakan pecah sendiri
dan sebagian dapat hilang dengan sendirinya.

C. Pengobatan

Kebanyakan furunkel tidak membutuhkan pengobatan. Pelihara kebersihan daerah yang


sakit dan daerah sekitarnya, Pengobatannya meliputi : kompres hangat untuk mengurangi nyeri
dan melunakkan nodul, jangan memijit furunkel, Kolaborasi dengan dokter untuk melakukan
insisi dan terapi antibiotika dan antiseptik diberikan tergantung kepada luas dan beratnya
penyakit.

3. Ektima
Ektima adalah ulkus superfisialis dengan krusta di atasnya disebabkan infeksi oleh
streptococcus. Etiologi ektima adalah Streptococcus B. hemolyticus.
A. Gejala Klinis
Tampak sebagai kruta tebal berwarna kuning biasanya berlokalsi di tungkai bawah yaitu
temat yang relatif banyak mendapat trauma. Jika krusta dia ngkat ternyata lengket dan tampak
ulkus yang dangkal.
B. Diagnosa banding
Impetigo krustosa. Persamaannya kedua keduanya berkrusta berwarna kuning.
Perbedaannya, impetigo krustosa terdapat pada anak, berlokalisasi di muka dan dasarnya erosi.
Sebaliknya ektima terdapat baik pada anak mauun dewasa, tempat predileksi di tungkai dan
dasarnya adalah ulkus.
C. Pengobatan
Jika terdapat sedikit, krusta diangkat lalu diolesi dengan salep antibiotik. Kalau banyak
diobati dengan anibiotik sistemik.

4. Pionika

Pionika merupakan suatu Radang di sekitar kuku oleh piokokus. Penyakit ini disebabkan oleh
infeksi dari bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus B hemolyticus. Penyakit ini
biasanya didahului trauma. Mulainya infeksi pada lipatan kulit kuku, terlihat tanda-tanda radang
kemudian menjalar ke matriks dan lempeng kuku, dan terbentuk abses sublingual. Penyakit ini
biasanya diterapi dengan kompres larutan antiseptik dan berikan antibiotik sistemik. Jika terjadi
abses subungual pada kuku diekstraksi.

5. Erisipelas

Erisipelas adalah penyakit infeksi akut, biasanya disebabkan streptococcus, gejala utamanya
ialah eritema berwarna merah cerah dan berbatas tegas serta disertartai gejala konstitusi. Etiologi
dari penyakit ini biasanya adalah Streptococcus B hemolyticus. Erisipelas memiliki gejala
konstitusi berupa : demam, malaise. Lapisan kulit yang diserang adalah epidermis dan dermis.
Penyakit ini didahului oleh trauma, karena itu biasanya tempat predileksinya di tungkai bawah.
Kelainan kulit yang utama ialah eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas, dan
pinggirannya meninggi dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai edema, vesikel dan bula .
Terdapat leukolisotosis. Jika tidak diobati akan menjalar ke sekitarnya terutama ke proksimal.
Kalau sering residif di tempat yang sama dapat terjadi elefantiasis. Diagnosa banding dari
penyakit ini adalah selulitiasis, pada panyakit subkutan. Terapi untuk pasien dengan erysipelas
adalah istrahat, tungkai bawah dan kaki yang diserang di elevasikan, tingginya sedkit lebih tinggi
pada letak kor. Pengobatan sistemik ialah antibiotik topikal diberikan kompres terbuka degan
larutan antiseptik. Jika terdapat edema diberikan diuretika.
6. Selulitis
Selulitis merupakan peradangan akut jaringan subkutis dapat disebabkan oleh Streptokokus
betahemolitikus, Stapilokokus aureus dan pada anak oleh Hemophilus influenza.
A. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi untuk terjadi selulitis ini merupakan keadaan yang dapat menurunkan
daya tahan tubuh terutama bila disertai higiene yang jelek; diabetes mellitus, alkoholisme, dan
malnutrisi. Selain itu umumnya terjadi akibat komplikasi suatu luka/ulkus atau lesi kulit yang
lain, namun dapat terjadi secara mendadak pada kulit yang normal.
B. Gejala Klinis
Gambaran kliniknya tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya pada semua bentuk
ditandai dengan kemerahan dengan batas tidak jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran
perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka/ulkus. Disertai dengan demam dan
lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula. Dapat dijumpai limfadenopati limfangitis.
Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren).
C. Pengobatan
Pada selulitis karena H. influenza diberikan untuk anak (3bln-12thn) 100-200 mg/kg/d (150-
300mg), >12 tahun seperti dosis dewasa. Selulitis karena streptokokus diberi penisilin prokain G
600.000-2.000.000 IU IM selama 6 hari atau dengan pengobatan secara oral dengan penisilin V
500mg setiap 6 jam, selama 10-14 hari
Pada selulitis yang ternyata penyebabnya bukan S.aureus penghasil penisilinase (non SAPP)
dapat diberi penisilin. Pada yang alergi terhadap penisilin, sebagai alternatif digunakan
eritromisin (dewasa 250-500 gram peroral; anak-anak: 30-50 mg/kgbb/ hari tiap 6 jam) selama
10 hari. Dapat juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450 mg/hr PO; anak-anak 16-20
mg/kgbb/hari setiap 6-8jam). Pada yang penyebabnya SAPP selain eritnomisin dan klindamisin,
juga dapat diberikan dikloksasilin 500mg/hari secara oral selama 7-10 hari. Pada pasien ini
dilakukan insisi atau drainase, jika pasien selulitis ini telah terjadi supurasi.

7. Flegmon

Merupakan selulitis yang mengalami supurasi. Terapinya sama dengan selulitis hanya
ditambah insisi.
8. Ulkus Piogenik

Berbentuk ulkus yang gambaran klinisnya tidak khas disertai pus di atasnya. Dibedakan
dengan ulkus lain yang disebabkan oleh kuman negative-Gram, oleh karena itu perlu dilakukan
kultur.

9. Abses Multipel Kelenjar Keringat


Abses multipel kelenjar keringat ialah infeksi yang biasanya disebabkan oleh Staphylococcus
pada kelenjar keringat, berupa abses multipel tak nyeri berbentuk kuba. Kelainan ini merupakan
infeksi kuman Stafilokokus di kelenjar keringat ekrin, terutama dijumpai pada anak. Gambaran
klinisnya berupa nodus seperti kubah tanpa mata yang tidak nyeri, lama memecah, terletak di
daerah yang banyak berkeringat seperti dada, punggung atas, kepala bagian belakang dan
bokong. Didapatka pada anak dengan faktor predeposisi daya tahan tubuh menurun, banyak
keringat, dan sering terjadi bersamaan dengan malaria. Pasien akan diterapi dengan antibiotik
topikal dan sistemik

10. Hidraadenitis
Kelainan ini merupakan infeksi kuman Stafilokokus di kelenjar keringat apokrin. Gambaran
klinisnya berupa nodus dengan tanda radang akut yang dapat melunak menjadi abses, memecah
dan membentuk fistel, bersifat menahun.Biasanya terdapat pada usia setelah akil balik sampai
dewasa muda. Kelainan ini sering didahului oleh trauma. Pengobatan untuk hidraadenitis adalah
dengan antibiotik sistemik dan topikal. Jika telah terbentuk abses dapat diinsisi. Pada kasus yang
kronis residif, kelenjar apokrin harus dieksisi.

11. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome


A. Definisi & Gambaran Klinis
SSSS (Staphylococcal Scalded Skin Syndrome) ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus
aureus grup II dengan lesi khas terdapat epidermolisis. SSSS didahului oleh infeksi pada mata,
hidung, tenggorokan dan telinga. Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik. Keluhan
berupa demam tinggi dengan manifestasi klinis berupa eritema mendadak pada leher, ketiak, dan
lipat paha, kemudian menyeluruh dalam 24 jam. Dalam waktu 24-48 jam, timbul bula berdinding
kendur, kemudian terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan kulit dan meninggalkan
daerah erosif dalam waktu 2-3 hari.Daerah tersebut akan mongering dan terjadi deskuamasi.
Penyem-buhan terjadi setelah 10-14 hari, dapat spontan, atau bisa mengalami komplikasi seperti
selulitis, pneumonia dan septikemia.
B. Pengobatan
Perlu diperhatikan keadaan umum bayi/anak berupa keseimbangan cairan/ elektrolit dan
adanya sepsis. Pengobatan sistemik berupa antibiotik antara lain kloksasilin 50mg/kg BB/hari;
flukloksasilin 50 mg/kg BB/hari; sefalosporin 25- 50 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 4 dosis.
Topikal diberikan antibiotik, seperti: salap/krim asam fusidat 2%, salap mupirosin 2%, salap
basitrasin dan neomisin.
II.3.8 Herpes Zoster
1. Definisi
Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat, terutama terjadi pada orang tua yang
khas ditandai adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada
dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari
nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela-zoster dari infeksi endogen yang
telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer.

2. Epidemiologi
Herpes zoster mengenai kira-kira 30% orang sepanjang hidupnya. Kejadian herpes zoster
setiap tahun meningkat dengan bertambahnya usia. Kira-kira 1,5-4 kasus per 1000 orang setahun
di US. Herpes zoster lebih sering mengenai orang dengan penurunan imunitas seluler seperti
pada usia lanjut, pasien dengan keganasan, pasien yang mendapat kemoterapi atau terapi steroid
jangka panjang dan orang dengan HIV. Namun, herpes zoster dapat terjadi pada semua usia.

3. Etiologi
Herpes zoster adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi virus varisela zoster
laten yang berdiam dalam ganglion radiks dorsalis dan ganglion sensorik saraf kranial; menyebar
ke dermatom atau jaringan saraf yang sesuai dengan segmen yang dipersarafinya.

4. Patogenesis
Selama terjadinya infeksi varisela, VZV meninggalkan lesi di kulit dan permukaan mukosa
ke ujung serabut saraf sensorik. Kemudian seara sentripetal virus ini dibawa melalui serabut
saraf sensorik tersebut menuju ke ganglion saraf sensorik. Dalam ganglion ini, virus memasuki
masa laten dan di sini tidak mengadakan multiplikasi lagi, namun tidak berarti ia kehilangan
daya infeksinya.
Bila daya tahan tubuh penderita mengalami penurunana, akan terjadi reaktivasi virus. Virus
mengalami multiplikasi dan menyebar di dalam ganglion. Ini menyebabkan nekrosis pada saraf
serta terjadi inflamasi yang berat, dan biasanya diserati neuralgia yang hebat.
VZV yang infeksius ini mengikuti serabut saraf sensorik, sehingga terjadi neuritis. Neuritis
ini berakhir pada ujung serabut saraf sensorik di kulit dengan gambaran erupsi yang khas untuk
erupsi herpes zoster.

5. Diagnosis Klinik & Laboratorium


Herpes zoster merupakan suatu penyakit yang menyebabkan rasa nyeri. Penyakit ini diawali
dengan rasa nyeri pada kulit (pre-herpetic neuralgia), kemudian akan timbul ruam berupa lepuh
di atas dasar eritematosa yang nyeri. Nyeri dan ruam timbul di salah satu sisi tubuh atau wajah.
Penderita secara umum merasa tidak enak badan.
Daerah yang paling sering terkena adalah daerah torakal, walaupun daerah-daerah lain tidak
jarang. Sebelum timbul gejala kulit, terdapat gejala prodromal baik sistemik (demam, pusing,
malaise), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot-tualang, gatal, pegal dan sebagainya).
Setelah itu timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan
dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi
keruh (berwarna abu-abu), dapat menjadi pustule dan krusta. Kadang-kadang vesikel
mengandung darah dan disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Dapat pula timbul infeksi
sekunder sehingga menimbulkan ulkus dengan penyembuhan berupa sikatriks.
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul
berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Di
samping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lokalisasi
penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan tempat persarafan.
Pola distribusi dermatomal dan penampakan ruam herpes zoster sangat jelas sehingga
diagnosis biasanya mudah. Sangat penting untuk mengenali gejala sedini mungkin. Ruam herpes
zoster bersifat khas yaitu ruam vesikular yang nyeri, sepanjang satu dermatom, berlangsung
selama 3-5 hari sebelum lesi menjadi pustul dan keropeng. Ruam sering terasa gatal. Pada
beberapa kasus dapat didahului dengan gejala prodromal yang meliputi demam, malaise, nyeri
kepala, nyeri dan sensasi kulit lokal. Ruam dan nyeri paling sering timbul di dada dan di wajah;
biasanya akan sembuh dalam 2-3 minggu.
Pada individu dengan imunitas yang buruk (imunokompromais), herpes zoster dapat
mengenai lebih dari satu dermatom, penyebaran ruamnya generalisata atau ruam menetap lebih
lama. Komplikasi neuralgia pasca herpes, superinfeksi bakterial dan terjadinya jaringan parut di
kulit juga meningkat.
Secara laboratorik, pemeriksaan sediaan apus secara Tzanck membantu menegakkan
diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak; demikian pula pemeriksaan cairan
vesikula atau material biopsy dengan mikroskop elektron, serta tes serologic.

6. Tatalaksana
Tujuan utama terapi herpes zoster pada orang dewasa usia lanjut adalah selain mempercepat
proses penyembuhan juga untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri akut dan mencegah
terjadinya neuralgia pasca herpes. Pemberian obat antivirus merupakan salah satu dari beberapa
intervensi untuk mempercepat proses penyembuhan dan mempersingkat lamanya nyeri.
Beberapa panduan menyarankan untuk meresepkan obat antivirus berdasarkan usia ( 50 tahun)
dan penemuan klinis (beratnya nyeri akut, beratnya ruam) sehingga aturan 50-50-50 dapat
digunakan sebagai panduan terapi:
Terapi diberikan 50 jam atau kurang sejak onset ruam
Usia pasien 50 tahun atau lebih
Jumlah lesi 50 atau lebih
Terapi Sistemik
Umumnya bersifat simtomatik, untuk nyerinya diberi analgetik. Jika disertai infeksi
sekunder diberikan antibiotik.
Indikasi obat antiviral:
1. Herpes zoster oftalmikus
2. Pasien dengan defisiensi imunitas
Tiga antivirus oral yang tersedia untuk terapi herpes zoster:
Catatan: terapi lebih efektif bila diberikan sedini mungkin
Menurut FDA, obat pertama yang dapat digunakan untuk nyeri neuropatik pada neuralgia
pasca herpetik ialah pregabalin.
Obat lain yang digunakan ialah antidepresi trisiklik (misalnya nortriptilin dan
amitriptilin) yang akan menghilangkan rasa nyeri.
Terapi Lokal
Bergantung pada stadium
Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah
pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder.
Bila erosif diberikan kompres terbuka.
Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salep antibiotic
encegahan

Telah dilaporkan suatu uji klinik besar mengenai vaksin herpes zoster untuk orang dewasa
berusia di atas 60 tahun untuk meningkatkan imunitas yang sudah menurun. Dikatakan vaksin
tersebut sangat efektif menurunkan jumlah kasus herpes zoster dan kejadian NPH.

7. Komplikasi
A. Neuralgia pascaherpetika adalah rasa nyeri yang timbul pada dareah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung berbulan-bulan sampai beberapa tahun.
Keadaan ini cenderung terjadi pada penderita di atas usia 40 tahun dengan gradasi nyeri
yang bervariasi. Sepertiga kasus di atas usia 60 tahun diakatakan akan mengalami
komplikasi ini, sedangkan pada usia muda hanya terjadi pada 10% kasus.

Nyeri merupakan komplikasi tersering herpes zoster yang paling membuat pasien
menderita. Pada fase akut, nyeri biasanya berkurang dalam beberapa minggu. Jika
nyerinya masih menetap lebih dari 3 bulan setelah hilangnya ruam zoster, maka diduga
pasien mengalami komplikasi neuralgia pasca herpes (post herpetic neuralgia/NPH).
Neuralgia pasca herpes dapat berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan,
atau bahkan tahunan; dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan mengurangi kualitas
hidup. Sekitar 10-20% orang dengan herpes zoster akan mengalami NPH. Usia lanjut,
ruam yang meluas, dan intensitas nyeri akut yang lebih berat merupakan indikator
meningkatnya risiko terjadinya NPH.

B. Infeksi sekunder oleh bakteri akan menyebabkan terhambatnya penyembuhan dan akan
meninggalkan bekas sebagai sikatriks.

C. Pada sebagian kecill penderita dapat terjadi paralisis motorik, terutama bila virus juga
menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis. Terjadinya biasanya 2 minggu
setelah timbulnya erupsi.
D. Zoster oftalmikus atau infeksi herpes pada mata merupakan komplikasi herpes zoster
yang relatif sering; mengenai 10-20% pasien. Harus segera dipantau untuk mencegah
terjadinya kerusakan lebih lanjut.

E. Komplikasi lain yang lebih jarang yaitu ensefalitis.


8. Prognosis
Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada tindakan
perawatan secara dini.

II.3.9 Variolla (Cacar, Small pox)


1. Definisi

Variola adalah penyakit infeksi virus akut yang disertai keadaan umum yang buruk, sangat
menular, dan dapat menyebabkan kematian, dengan ruam kulit yang monomorf, terutama
tersebar di bagian perifer tubuh (Harahap, 2000).

2. Epidemiologi

Penyebaran penyakit ini kosmopolit, tetapi pada daerah tertentu member insidens yang
tinggi, misalnya di Amerika Tengah dan Selatan. Hindia Barat dan Timur Jauh. Dengan vaksinasi
yang teratur dan terorganisasi baik, maka insidensi akan jauh lebih menurun, sehingga di daerah
yang sebelumnya terdapat endemic tidak lagi dijumpai kasus variola dan daerah ini dapat disebut
sebagai bebas variola seperti di Indonesia. Sejak tahun 1984 oleh WHO seluruh dunia telah
dinyatakan bebas dari penyakit ini. Meskipun demikian kita harus waspada terhadap munculnya
kembali penyakit ini (Djuanda, 2010).

3. Etiologi
Penyebab variola adalah Pox virus variolae. Ada 2 tipe virus yang identik, tetapi
menimbulkan 2 tipe variola, yaitu Variola mayor dan Variola minor (alastrim).

Perbedaan dari kedua virus itu adalah bahwa penyebab variola mayor bila diinokulasikan
pada membrane korioalantoik tumbuh pada suhu 380 C, sedangkan yang menyebabkan variola
minor tumbuh di bawah suhu itu. Virus ini sangat stabil pada suhu ruangan, sehingga dapat hidup
di luar tubuh selama berbulan-bulan (Harahap, 2000);(Djuanda, 2010).

4. Pathogenesis

Setelah kontak dengan individu yang terinfeksi variola, terjadi periode asimtomatik selama 2-
13 hari. Walaupun dalam periode ini tidak ada gejala, replikasi virus secara massif tetap terjadi.
Multiplikasi local terjadi di dalam mukosa traktus respiratorius dan jaringan limfe regional.
Terjadi viremia primer, kemudian virus menyebar masuk ke dalam sistem retikulo endothelial. Di
sini terjadi multiplikasi massif juga, yang kemudian akan diikuti viremia sekunder yang
menyebabkan gejala prodromal dengan manifestasi primer pada kulit (Harahap, 2000);(Djuanda,
2010).

5. Gambaran Klinik
Setelah melewati masa tunas 10-14 hari, perjalanan penyakit ini melalui 4 stadium, yaitu
(Harahap, 2000);(Djuanda, 2010):
A. Stadium Prodromal
Mendadak suhu badan naik (sampai 400 C), timbul nyeri kepala, nyeri tulang dan sendi,
gelisah, lemas dan muntah-muntah. Stadium ini berlangsung selama 2-3 hari.
B. Stadium Makulo-Papular/Erupsi
Suhu tubuh kembali normal, tetapi timbul macula-makula eritematosa yang dengan cepat
(dalam 24 jam saja) akan berubah menjadi papula-papula, terutama di muka dan ekstremitas
(termasuk telapak tangan dan telapak kaki). Stadium ini, tidak tumbuh lesi-lesi baru, sehingga
gambaran ruam kulit yang ditemukan adalah monomorf.
C. Stadium Vesikulo-Pustulosa/Supurasi
Dalam waktu 5-10 hari timbul vesikula-vesikula yang cepat berubah menjadi pustule. Pada
saat ini, suhu tubuh akan meningkat lagi (berlangsung 4-5 hari), karena ada proses degenerasi.
Lesi-lesinya akan mengalami umbilikasi (dele).
D. Stadium Resolusi
Berlangsung dalam 2 minggu. Stadium ini dapat dibagi lagi menjadi:
a. Stadium Krustasi
Suhu tubuh mulai menurun. Pustule-pustula mongering menjadi krusta. Keadaan ini
berlangsung satu minggu.
b. Stadium Dekrustasi
Krusta-krusta mengelupas, meninggalkan bekas sebagai sikatrik atrofi (bopeng,
burik). Kadang-kadang ada rasa gatal. Stadium ini masih menular.
c. Stadium Rekonvalesensi

Lesi-lesi menyembuh. Semua krusta rontok. Suhu tubuh kembali normal. Penderita
betul-betul sembuh dan tidak menularkan penyakit lagi.

Bentuk-Bentuk Klinik Variola


Dalam periode erupsi, perjalanan penyakitnya bermacam-macam. Bentuk yang hebat
menimbulkan erupsi yang konfluen dan/ atau hemoragi pada kulit. Terdapat 2 bentuk hemoragik
variola (Harahap, 2000):
A. Hemoragi terjadi bersamaan dengan gejala prodromal dan penderita meninggal sebelum
munculnya lesi-lesi yang khas (dalam 1 minggu).
B. Hemoragi terjadi pada saat timbulnya lesi kulit (Black variola). Bentuk ini pun bersifat
fatal. Penderita biasanya meninggal setelah 8-12 hari.

Bentuk variola lain adalah (Harahap, 2000):


A. Varioloid

Terjadi pada individu yang sudah mendapat vaksinasi sehingga didapati imunitas parsial.
Walaupun mendapat serangan virus yang virulen, gejala prodromalnya ringan atau tidak ada
sama sekali. Lesi kulit pun sedikit, hanya di dahi, lengan, dan tangan. Demam kedua, seperti
pada stadium vesikulo pustulosa, tidak dijumpai. Prognosisnya baik.

B. Variola Minor (Alastrim)

Masa tunasnya lebih singkat, gejala prodromalnya lebih ringan, dan lesi yang timbul sedikit.
Mortalitasnya kurang dari 1%.

6. Diagnosis Banding (Harahap, 2000):


- Pada stadium praerupsi, dapat didiagnosis banding dengan Dengue, infeksi enterovirus,
dan infeksi lain yang disertai panas.
- Pada awal stadium erupsi, dapat didiagnosis banding dengan Morbili.
- Variola hemoragik didiagnosis banding dengan septikemi meningokokus, tifus, dan
eksantema hemoragik akut lain.

- Stadium erupsi, didiagnosis banding dengan Varisella.

7. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis Variola ditegakkan dengan (Harahap, 2000);(Djuanda, 2010):
A. Anamnesis : ada kontak dengan penderita variola. Bepergian keluar negeri.
B. Melihat gambaran klinik
C. Pemeriksaan pembantu diagnosis
Identifikasi badan inklusi dengan pemeriksaan mikroskop
Identifikasi virus dengan mikroskop electron
Inokulasi virus pada korioalantoik
Deteksi antigen virus di difusa agar sel
Tes serologic (tes ikatan komplemen)
D. Histopatologi
Pada stadium popular, terlihat dilatasi kapiler dan edema stratum papilare dermis. Terjadi
sebukan perivaskuler oleh sel-sel limfosit dan histiosit. Pada stadium vesikuler, terdapat
penebalan dan vakuolisasi dalam epitel serta ditemukan badan inklusi Guarnieri.
8. Penatalaksanaan (Harahap, 2000):
Penderita harus dikarantinakan. Istirahat total/tirah baring. Diberi diet bergizi.
Obat spesifik tidak ada. Hanya diberikan terapi simtomatik : analgetik/antipiretik
Pencegahan infeksi sekunder : antibiotic
Terapi local bedak dan salep antibiotic.
Dijaga kemungkinan infeksi nosokomial. Perhatikan keadaan cairan tubuh dan elektrolit.

Pemberian isoprinosin, asiklovir, dan interferon dapat dipertimbangkan.

9. Pencegahan
Membuat kekebalan aktif dengan melakukan vaksinasi dengan vaksin variola. Dilakukan
pencacaran pada lengan atas (Musculus deltoid) atau paha. Metode multiple puncture merupakan
teknik yang dianggap terbaik (Harahap, 2000).
Reaksi vaksinasi (Harahap, 2000):
A. Primary Reaction : timbul pada anak-anak/bayi atau orang yang pertama kali mendapat
vaksinasi. Pada tempat vaksinasi akan terjadi gambaran sebagai berikut : macula eritema
(hari 1) vesikula (hari ke 3) pustule (hari ke 5-6) krusta (hari ke 7-9) sikatrik
atrofi. Vaksinasi yang berhasil akan dapat melindungi orang selama 3-7 tahun.

B. Accelerated Reaction : orang yang sering kontak dengan penderita hendaknya


divaksinasi setiap tahun.

10. Komplikasi (Harahap, 2000):


- Bronkopneumonia
- Keratitis. Panoftalmia
- Parotitis. Orkitis
- Osteomielitis
- Abses. Flegmon
- Meningitis, Ensefalitis

- Telogen effluvium (3-4 bulan)

11. Prognosis
Sangat tergantung pada penatalaksanaan pertama dan fasilitas perawatan yang tersedia.
Mortalitas tergantung pada beratnya penyakit. Kematian pada umumnya disebabkan oleh
komplikasi atau kelemahan umum (Harahap, 2000).
- Kasus ringan : mortalitas 1-5%
- Kasus berat : mortalitas 1-30%

- Variola hemoragika : 60-75%.

II.3.10 Farmakodinamik dan Farmakokinetik Obat Antivirus


Asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir adalah agen antiviral yang telah diakui untuk
penanganan terhadap infeksi varicella (Dumasari 2006).
1. Asiklovir
Asiklovir merupakan Suatu analog guanine sintetik dengan aktivitas penghambatan terhadap
anggota famili virus herpes, termasuk herpes simpleks tipe 1 dan 2 (Brunton, 2006).

A. Mekanisme kerja
Asiklovir bekerja pada DNA polimerase virus, seperti DNA polimerase virus herpes.
Sebelum dapat meghambat sintesis DNA virus, asiklovir harus mengalami fosfolirasi
intraseluler, dalam tiga tahap unutk menjadi bentuk tifosfat. Fosfolirasi intraseluler, dalam tiga
tahap untuk menjadi bentuk trifosfat. Fosfolirasi pertama dikatalisis oleh timidin kinase virus,
proses selanjutnya berlangsung dalam sel yang terinfeksi virus (Brunton, 2006).
B. Absorpsi, Distribusi Dan Eliminasi
Bioavabilitas asiklovir dengan pemberian lewat oral berkisar antara 10% sampai 30% dan
bekurang dengan peningkatan dosis. Konsentrasi plasma rata-rata 0.4 sampai 0.8 mg/ml setelah
pemberian dosis 200 mg dan 1.6 mg/ml setelah pemberian 800 mg.
Asiklovir didistribusikan secara luas melalui cairan tubuh, termasuk cairan vesicular,
aqueous humor dan cairan serebrospinal. Jika dibandingkan dengan plasma, konsentrasi pada
saliva sangat rendah dan pada lendir vagina sangat bervariasi. Asiklovir dapat terkonsentrasi
pada ASI, cairan amnion dan plasenta.

Absorpsi perkutaneus setelah pemberian secara topical rendak, sehingga pemberian secara
oral dan intravenal lebih diutamakan. Rata-rata waktu paruh untuk eliminasi asiklovir adalah 2.5
jam, dengan kisaran antara 1.5 sampai 6 jam pada orang dewasa dengan fungsi ginjal baik.
Kurang dari 15% dieksresikan dalam bentuk 9-carboxymethoxymethylguanine dan metabolit
minor (Brunton, 2006).

C. Resistensi

Resistensi terhadap asilovir disebabkan oleh mutasi pada gen timidin kinase virus atau pada
gen timidin kinase virus atau pada gen DNA polimerase (Katzung, 2006).

D. Indikasi

Infeksi HSV 1 dan HSV 2 baik lokal maupun sitemik (termasuk keratitis herpetik,
herpetik ensefalitis, herpes genitalis, herpes neonatal dan herpes labialis).
Infeksi VZV (varisela dan herpes zooster)

E. Efek Samping
Asiklovir pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Asiklovir topikal dalam pembawa
polietilen glikol dapat menyebabkan iritasi mukosan dan rasa bakar yang sifatnya sementara jika
dipakai pada luka genitalia. Asiklovir oral, walaupun jarang, dapat menyebabkan insufisiensi
renal dan neurotoksitas (Katzung, 2006).
F. Dosis (Katzung 2006)
Rute pemberian Indikasi Dosis Untuk Dewasa
Oral Infeksi pertama genital herpes 400 mg tid or 200 mg 5 times
daily x 710 days
Rekuren genital herpes 400 mg tid or 200 mg 5 times
daily or 800 mg bid x 35 days
Herpes proctitis 400 mg 5 times daily until
healed
Genital herpes suppression 400 mg bid
Herpes orolabial 400 mg 5 times daily x 5 days
Herpes mukokutaneus pada pasien 400 mg 5 times daily x 710
dengan status imun buruk days
Varisella 20 mg/kg (maximum 800 mg)
qid x 5 days
Zoster 800 mg 5 times daily x 710
days
Intravena Infeksi HSV berat 5 mg/kg q8h x 710 hari
Herpes mukokutaneus pada pasien 5 mg/kg q8h x 710 days
dengan status imun buruk.
Herpes ensefalitis 1015 mg/kg q8h x 1421 days
Infeksi HSV neonatal 1020 mg/kg q8h x 1421 days
Varisella atau zoster pada pasien 10 mg/kg q8h x 7 days
dengan imunitas buruk
Topikal Herpes labialis Thin film covering leasion 5
times daily x 4 days

2. Famsiklovir
A. Mekanisme Kerja
Famsiklovir diubah melalui proses hirolisis pada 2 gugus asetilnya dan oksidasi pada posisi
6-, kemudian bekerja seperti pada asiklovir (Brunton, 2006).
B. Absorpsi Distribusi Dan Eliminasi
Famsiklovir diabsopsi dengan baik pada pemberian oral dan diubah menjadi pensiklovir
melalui deasetilasi pada rantai pinggir dan oksidasi pada cincin purin sejak dan selama absorpsi
pada saluran pencernaan (Brunton, 2006).
Setelah pemberian secara oral, eliminasi secara primer melaui urin dan sekitar 10% dari
proses eliminasi dilakukan melalui eksresi fekal (Brunton, 2006).

C. Resistensi

Resistensi dapat disebabkan oleh mutasi pada timidin kinase atau dengan DNA polimearase
virus. Kejadian resistensi selama pemakaian klinis sangat jarang (Brunton, 2006).

D. Indikasi

Digunakan pada kasus infeksi akibat HSV-1, HSV-2, dan VZV (Brunton, 2006).

E. Efek samping

Umumnya dapat ditolerasi degan baik, namun dapat juga menyebabkan nyeri kepala, diare
dan mual. Urtikaria, ruam sering terjadi pada pasien lansia. Pernah juga terdapat laporan
halusiansi dan konfusional state atau kebingungan (Brunton, 2006).

F. Dosis (Katzung, 2006)

Rute pemberian Indikasi Dosis untuk dewasa


Oral Infeksi pertama herpes 250 mg tid x 710 days
genital
Rekuren genital herpes 125 mg bid x 35 days or
1000 mg bid x 2 doses
Genital herpes suppression 250 mg bid
Orolabial atau genital herpes 500 mg bid x 710 days
pada pasien dengan imunitas
buruk
Orolabial herpes 500 mg bid x 7 days
Zoster 500 mg tid x 7 days
3. Valasiklovir
A. Mekanisme kerja

Merupakan ester L-valil dari asiklovir dan hanya terdapat dalam formulasi oral. Setelah
ditelan, valasiklovir dengan cepat diubah menjadi asiklovir melalui enzim valasiklovir hidrolase
di saluran cerna dan di hati. Mekanisme kerja sama dengan asiklovir (Katzung, 2006)

B. Farmakokinetik
Bioavailabilitas oralnya 3 hingga 5 kali asiklovir (54%) dan waktu paruh eliminasinya 2-3
jam. Waktu paruh intraselnya, 1-2 jam. Kurang dari 1% dari dosis varasiklovir ditemukan diurin,
selebihnya dieliminasi sebagai asiklovir (Brunton, 2006)..

C. Indikasi
Valasiklovir terbukti efektif dalam terapi infeksi yang disebabkan oleh virus herpes simplex,
virus varisela-zoster dan sebagai profilaksis terhadap penyakit yang disebabkan cytomegalo virus
(Brunton, 2006).

D. Efek samping
Sama dengan asiklovir. Pernah terdapat laporan varasiklovir menyebabkan mikroangiopati
trombotik pada pasien imunosupresi yang menerima berbagai macam obat (Brunton, 2006)..

E. Dosis (Katzung, 2006)


Rute pemberian Indikasi Dosis untu dewasa
Oral Infeksi pertama herpes 1 g bid x 710 days
genital
Rekuren herpes genital 500 mg bid x 3 days
Genital herpes suppression 5001000 mg daily
Herpes orolabial 2 g bid x 2 doses
Orolabial atau genital 1 g bid x 710 days
herpes pada pasien dengan
imunitas buruk
Zoster 1 g tid x 7 days

Anda mungkin juga menyukai