Anda di halaman 1dari 25

I.

SEKSI ONKOLOGI
1. Mola Hidatidosa
2. Keganasan Ovarium Jenis Epitel
3. Kehamilan Ektopik
4. Kanker Endometrium
5. Kanker Servik Invasif
6. Lesi Pra Ganas/Pre Invasive Disease Serviks
MOLA HIDATIDOSA
M. Nasrun Abdullah, Suhatno, Heru Santoso, Sunyoto,
Poedjo Hartono, Wita Saraswati, Brahmana Askandar

BATASAN
Adalah suatu neoplasma jinak sel trofoblas, terjadi kegagalan pembentukan plasenta atau
fetus, dengan terjadinya vili yang menggelembung sehingga menyerupai bentukan seperti buah
anggur.

PATOFISIOLOGI
1. Suatu agenesis yang lengkap atau degenerasi dini dari system vaskularisasi buah kehamilan
minggu ke III-V.
2. Sirkulasi yang terus menerus tanpa adanya fetus menyebabkan sel trofoblas memproduksi
cairan.
3. Kelainan pada kromatin seks.
Gambaran patologi yang dijumpai:
1. Degenerasi hidropik vili
2. Berkurang/hilang pembuluh darah pada vili
3. Proliferasi sel-sel trofoblas

GEJALA KLINIS
1. Tanda-tanda kehamilan muda disertai dengan perdarahan; perdarahan bisa berulang-ulang
sehingga menimbulkan anemia.
2. Keluhan subyektip maupun obyektip pada kehamila nmuda yang lebih hebat dari biasa
misalnya hiperemesis, sampai tanda-tanda toksemia.
3. Tidak diarasakan tanda-tanda gerakan janin maupun ballottement.
4. Tinggi fundus rahim/besar lebih besar dari usia kehamilan atau lamanya amenore.
5. Kista lutein yang dapat bilateral.
6. Keluar gelembung mola bersama dengan perdarahan.

DIAGNOSIS
1. Klinis
Berdasarkan anamnesis pemeriksaan klinis dan ginekologis.
2. Laboratorium
Pengukuran kadar hormone korionik gonadotropin (HCG)
Di Laboratorium Obstetri dan Ginekologi RSU dr Soetomo, saat ini yang digunakan adalah
pemeriksaan Gali Mainini (GM) test dengan pemeriksaan urine secara titrasi sampai
pengenceran 1/400 didapatkan hasil GM test yang positip. Diusulkan bila fasilitas ada
dengna mengukur kadar beta HCG.
3. Radiologis
Tidak secara rutin dikerjakan (dikerjakan bila alat USG rusak). Pada plain foto abdomen-
pelvis tak ditemukan gambaran tulang janin, melainkan snow storm appearance atau
mouth eaten/honeycomb appearance.
4. Ultrasonografi
Ditemukan gambaran snow storm atau gambaran seperti badai salju.
5. Pungsi
Tidak secara rutin dikerjakan.
6. Sonde
Tidak secara rutin dikerjakan, biasanya dilakukan sebagai tindakan awal pada kuret. Bila
pada sonde rahim tidak ditemukan tahanan, atau tidak teraba bagian-bagian janin, membantu
diagnosis mola hidatidosa.
7. Histopatologis
Gelembung-gelembung yang keluar atau dari hasil evakuasi, bahan dikirim ke Lab. Patologi
Anatomi.

DIAGNOSIS BANDING
1. Kehamilan kembar
2. Abortus iminens
3. Kario karsinoma

KOMPLIKASI
1. Perdarahan: dapat terjadi spontan dengan keluarnya gelembung atau pada waktu evakuasi.
2. Perforasi: spontan atau karena tindakan
3. Emboli sel trofoblas: penderita sesak mendadak, kematian tinggi
4. Keganasan (terjadi kario karsinoma)
5. Tirotoksikosis (jarang)

PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya ada 2 hal:
1. Evakuasi mola hidatidosa
2. Pengawasan lanjut
1. Evakuasi
a. Dilakukan setelah pemeriksaan persiapan selesai. (laboratorium, faal hemostatis, X-foto
toraks dan lain-lain)
b. Bila mola keluar spontan dilakukan kuret atau kuret isap.
Bila kanalis servikalis belum terbuka dipasang laminaria dan 24 jam kemudian dilakukan
kuret. Minimal 1 minggu kemudian dilakukan kuret ke II, melihat, tanda-tanda infeksi
dan lain-lain. Kedua hasil bahan kerokan dikirim ke Lab. Patologi Anatomi.
c. Histerotomi (sangat jarang dikerjakan)
d. Histerektomi dikerjakan pada wanita yang umurnya sudah cukup dan jumlah anak cukup
(umur di atas 35 tahun, anak 3-4)
2. Pengawasan lanjutan
Sesudah evakuasi dilakukan pengawasan lanjutan baik klinis, laboratorium dan radiologis.

Klinis: Keluhan utama, juga ada H, B, E, S.


H: history, penderita pernah mola
B: bleeding, adanya perdarahan
E: enlargement, pembesaran rahim
S: soft. Rahim masih tetap lunak

Laboratorium:
Pemeriksaan lanjutan dari GM titrasi setiap minggu sampai tiga minggu berturut-turut tetap
negatip, penderita dapat dipulangkan dengan pemberian kontrasepsi, oral pil atau IUD, sampai 1
tahun untuk yang belum punya anak dan 2 tahun untuk yang sudah punya anak.
Rasiologis: control X foto torals 6 bulan sekali
Control ke Poliklinik Mola Hidatidosa (Onkologi):
- 3 bulan pertama setiap 2 minggu
- 6 bulan kemudian setiap 1 bulan
- Sampai 2 tahun setiap 3 bulan
Diusulkan untuk pengawasan lanjutan laboratorium dengan mengukur kadar beta sub unit HCG.

Methotrexat (MTX) Profilaksis


Untuk penderita di luar kotamadya Surabaya, berhubung pengawasan lanjut sering tidak teratur,
maka ditentukan kebijakan untuk memberikan Methotrexat (MTX) Profilaksis.
MTX (Methotrexat)
Nama generik: Ametopterin
Dosis: 0,2-0,3 mg/kgBB/hari diberikan selama 5 hari, peroral/injeksi
Efek samping pemberian parenteral (injeksi) biasanya lebih ringan daripada pemberian peroral.
Efek samping pemberian MTX:
1. Gastro Intestinal Tract (GIT)
a. Mual-mual, muntah diare
b. Stomatis
c. Perdarahan mukosa saluran pencernaan sampai kadang-kadang perdarahan dari saluran
pencernaan
2. Kulit:
Kadang-kadang timbul skin-rash hiperpigmentasi
3. Bonemarrow hematoligik:
Penurunan Hb dan pansitopenia
4. Rambut:
Rambut rontok

DAFTAR PUSTAKA
1. Noval E, R. et al. Novaks Textbook of Gynecology, 9 th ed. The William and Wilkins
Company. Baltimore USA 1985, p. 587-618.
2. Jeffcoate N. Principles of Gynecology 4th ed. Butterworth London and Boston. 1975, p. 220-
230.
3. Buku ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka, Jakarta 1984, hal 200-212.
4. Buku ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka, Jakarta 1984, hal 295-303.
KEGANASAN OVARIUM JENIS EPITEL
M. Nasrun Abdullah, Suhatno, Heru Santoso, Sunyoto,
Poedjo Hartono, Wita Saraswati, Brahmana Askandar

BATASAN
Neoplasam ganas ovarium yang berasal dari epitel selomik.

PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI
Belum jelas diketahui.
Terutama terjadi pada daerah industri.
Diduga partikel talk dan abses melalui vagina-uterus masuk rongga peritoneum merupakan
bahan perangsang ovarium untuk menjadi neoplasma. Kehamilan tampaknya mempunyai
pengaruh proteksi untuk terjadinya keganasan ovarium. Gambaran jenis histopatologi (serus,
endometrioid, mucinous, mesophroid dan undifferentiated) tidak banyak mempengaruhi dalam
penentuan pengobatan.

GEJALA KLINIS
Pada stadium awal/masih setempat (stadium I & II) hampir tidak didapatkan gejala klinis
yang berarti, sehingga jarang penyakit ini terdiagnosis dalam stadium ini.
Pada stadium lanjut (stadium III & IV) dapat berupa keluhan-keluhan:
1. Penurunan berat badan, perut rasa tak enak-nyeri
2. Gangguan pencernaan-mual-muntah, sesak nyeri dada, perdarahan pervaginam
Perubahan fisik: anemis, peningkatan lingkar abdomen, benjolan di perut bawah, asites, ileus.

DIAGNOSIS
1. Dicurigai pada wanita berumur antara 40-60, dengan pembesaran ovarium 5 cm atau lebih.
Bila didapatkan daerah-daerah yang solid dari tumor tersebut, tumor bilateral dengan
perlekatan-perlekatan pada organ visera dan omentum, serta adanya asites, memperbesar
kemungkinan keganasan dari tumor tersebut.
Makin lanjut stadium yang terjadi, makin banyak didapatkan gejala-gejala klinis.
2. Laboratorium
Sampai saat ini belum ditemukan pertanda tumor yang spesifik Human Placenta Lactogen
(H.P.L), Carcino Embrio Antigen (C.E.A)
3. Pungsi Abdomen
a. Pre operatif bila perlu dilakukan pungsi abdomen untuk pemeriksaan klinis dan sitologik,
untuk membedakan antara asites maligna dan asites lainnya.
b. Bila didapat sel eksfoliatif yang ganas, maka hal ini tak dapat dipergunakan untuk
menentukan asal keganasan.
c. Dilakukan untuk tujuan simptomatik (dekompresi) atau untuk perbaikan hemodinamik
beberapa saat sebelum pembedahan.
4. Laparoskopi
Dilakukan laparoskopi diagnostik bila perlu untuk membedakan dengan keadaan yang dapat
menjadi diagnosis banding atau pemastian visual dalam rangka persiapan pembedahan.
5. Ultrasonografi/CT-scan
Tindakan ini dilakukan bila dipandang perlu untuk lebih meyakinakna hasil pemeriksaan
klinik.
6. Histopatologi
Pemeriksaan histipatologi dari hasil pembedahan dipergukana untuk penentuan definitive
adanya keganasan, jenis keganasan, derajat diferensial keganasan, luas penyebaran
keganasan, yang berkaitan dengan penetuan stadium keganasan waktu pembedahan. Sediaan
potong beku hanya menentukan ada tidaknya keganasan.

DIAGNOSIS BANDING
1. Tumor rahim
2. Kehamilan ektopik
3. Keradangan adneksa
4. Tumor ovarium jinak

KOMPLIKASI
Umumnya terjadi pada stadium lanjut, berupa:
1. Asites permagna, hipo proteinaemia
2. Ileus, akibat penyebaran tumor ke usus
3. Anemia, kakeksia

PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan
Khususnya pada stadium klinis Ia yang masih memerlukan organ reproduksi, dengan sediaan
potong beku didapatkan keganasan, maka pada saat itu hanya dilakukan pengangkatan
adneks yang mengandung tumor tersebut, sambil melakukan pemeriksaan sitologi
cairan/pembilasan daerah pada colon dan subdiafragma dan biopsy peritoneum/viscera yang
dicurigai.
Penatalaksanaan selanjutnya bergantung pada jenis keganasan dan tindakan diferensiasi yang
ditunjukkan.
Bila didapatkan tumor dengan potensi malignitas yang rendah, maka tidak diperlukan
tindakan pembedahan lanjutan ataupun pengobatan lainnya.
Relaparatomi dilakukan bila pembedahan pertama tidak adekuat dan penderita dapat serta
bersedia dibedah ulang, untuk dilakukan tindakan sebagaimana mestinya.
2. Kemoterapi/Sitostatik
Pada stadium I dan II setelah pembedahan adekuat diberikan Melphalan 0,2 mg/kg/hari p.o
untuk 5 hari setiap 4-6 minggu sebanyak 18 seri.
Kegagalan pengobatan ini dilanjutkan dengan pemberian CAP (Cyclophosphamide-
Adriamycine-Platinum)
Pada stadium III setelah pembedahan dengan sisa tumor yang minimal diberikan metaphalan
dengan dosis dan cara yang sama sebanyak 24 seri.
Kegagalan dengan obat ini dilanjutkan dengan pemberian C.A.P.
Pada stadium III setelah pembedahan dengan sisa tumor yang banyak atau stadium IV
diberikan C.A.P. dengan dosis:
- Siklofosfamid: 500 mg/m2 i.v.
- Adriablastin: 40 mg/m2 i.v.
- Platinium: 50 mg/m2 drip dengan hidrasi dan diuretika
Diberikan tiap 21 hari bila keadaan memungkinan, sampai 8 seri. Pemberian kemoterapi
dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan.
Pada keadaan yang memerlukan pemberian kemoterapi gabungan dengan toksisitas yang
lebih rendah, dipertimbangkan pemberian
- Mephalan 0,2 mg/kg/hari p.o untuk 5 hari setiap 4 minggu sebanyak 24 seri
- Platinum 50 mg/m2/drip dengan hidrasi dan diuretika di antara pemberian Mephalan,
sebanyak 8 seri
Pada tumor dengan potensi keganasan yang rendah, selain stadium IAI setelah pembedahan
adekuat, juga diberikan kemoterapi dengan cara yang sama.
3. Radiasi
Pada kegagalan pengobatan dengan sitostatika, penderita dikonsultasikan ke bagian radio
terapi untuk pertimbangan pemberian radiasi.
4. Pembedahan Secong Look
Pada kasus yang sama secara klinis tidak ditemukan tumor lagi setelah pemberian kemoterapi
berakhir, maka dilakukan pembedahan second look untuk mengetahui ada tidaknya sisa
tumor intra abdominal.
Hasil eksplorasi dan histopatologi biopsy tempat yang dicurigai/diduga masih mengandung
tumor, menentukan rencana penanganan selanjutnya.
5. Obat pemacu kekebalan
Selama masa pengobatan maupun evaluasi pasca pengobatan sampai 5 tahun diberikan obat
pemacu kekebalan secara berkala.
Pengawasan lanjutan
1. Waktu pengobatan
Secara klinis diikuti perubahan berat badan, ada tidaknya asites, perubahan lingkar perut,
perubahan besar tumor yang tertinggal dari angka status fisik penderita.
2. Pasca pengobatan
Dilakukan pengobatan klinis berkala untuk mendeteksi kemungkinan terjadi kekambuhan
tumor atau penyulit lain.

DAFTAR PUSTAKA
1. Coppleson M. et al. Gynaecological oncology protocols of management. King George V
Hospital/Royal Prince Alfred Hospital Sydney. 1983. p. 88-109.
2. Coppleson M. Gynaecological Oncology. Fundamental Principles & Clinical Practice.
Churchill Livingstone. 1981, p633-675.
3. Homesley H. D. Surgical debulking and second look laparotomy Advances in oncology vol.
1: 1, p 15-19.
4. Priver M. S. Ovarian malignancies. The clinical care of adult and adolescents Churchill
Livingstone. 1983, p. 1-121.
5. Thigpen J. T. Management of patient with ovarian carcinoma. Advances in oncology vol. 1:1,
p 9-14.
KEHAMILAN EKTOPIK
Hari Paraton, Widohariadi, Bambang Trijanto, A. Warsanto, Budi Santoso

BATASAN
Kehamilan Ektopik: ialah suatu kehamilan, dimana ovum yang dibuahi, berimplantasi dan
tumbuh tidak di tempat yang normal, yaitu pada endometrium di luar rongga Rahim (termasuk
kehamilan servikal dan kehamilan komual).

PEMBAGIAN
Menurut lokasi,
1. Kehamilan tuba (95%-98% dari seluruh kehamilan ektopik)
a. Pars interstitial
b. Pars ismika
c. Pars ampula
d. Pars infundibula
e. Pars fimbria
2. Kehamilan ektopik pada uterus
a. Kehamilan servik
b. Kehamilan kornu
3. Kehamilan ovarium
4. Kehamilan intra ligamenter
5. Kehamilan abdomen
a. Primer
b. Sekunder
6. Kehamilan kombinasi: kehamilan ektopik dan kehamilan dalam rahim bersamaan

PATOFISIOLOGI
Kehamilan ektopik terutama akibat gangguan transportasi ovum yang telah dibuahi dari
tuba ke rongga rahim, di samping itu juga akibat kelainan ovum yang dibuahi itu sendiri
merupakan predisposisi untuk kehamilan ektopik.
Penyebab kehamilan ektopik, dapat dikelompokkan menjadi:
1. Faktor mekanik
a. Satfingitis
b. Periekatan perituba
c. Kelainan pertumbuhan tuba
d. Tindakan operasi pada tuba (bedah mikro)
e. Penyempitan lumen tuba oleh karena tumor
2. Faktor fungsional
a. Migrasi eksterna ovum
b. Perubahan motilitas tuba
c. Merokok
3. Lain-lain
a. Endometriosis
b. Fertilisasi In Vitro
GEJALA KLINIS
Gejala klinis suatu kehamilan ektopik amat beragam

Kehamilan ektopik yang belum terganggu


1. Terdapat gejala-gejala seperti kehamilan normal yakni amenore, mual, muntah, dan
sebagainya.
2. Pada pemeriksaan fisik rahim membesar, adanya tumor di daerah adneksa.
3. Trias klasik yang sering didapatkan: amenore perdarahan dan rasa sakit.

Kehamilan ektopik yang terganggu


Gejala-gejala akut abdomen akibat pecahnya kehamilan ektopik dan gangguan hemodinamik
berupa hipovolemik akibat perdarahan, selain gejala-gejala di atas.

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


Kecurigaan KE

Faktor risiko Test kehamilan


Gangguan haid
Rasa sakit
Tumor pada Adneksa

Pemeriksaan fisik
Keadaan Hemodinamik
Kadar Hb/Hematokrit

Stabil Tidak Stabil


Observasi: - Takikardia
- Keadaan klinis - Hipotensi
- Kadar Hb/Hematokrit USG - Kadar Hb/Hematokrit

Kehamilan dalam KE PD Syok


kandungan Abdominal Distension
- + (ada cairan bebas)

Laparaskopi Laparatomi
Salpingostomi
Parsial Salpingektomi
Salpingektomi
Salpingo-ooforektomi
Pertimbangan:
- Jumlah anak
- Umur
- Lokasi KE
- Umur kehamilan/
besarnya tumor
KE : Kehamilan Ektopik
PD : Pungsi Douglas
USG : Ultarsonografi
Pada beberapa kasus, menegakkan diagnosis kehamilan ektopik tidak mudah, oleh karena
tampilan klinisnya sangat bervariasi, untuk hal-hal tersebut bisa dilakukan Laparaskopik
Diagnostik, Kadar Kwantitatif Human Chorionic Gronadotropine dan Kadar Progesteron (seperti
skema di bawah ini)

Laparaskopik Diagnostik
LAPARASKOPIK DIAGNOSTIK

FS Fertilitas masih FS Fertilitas sudah


diinginkan tidak diinginkan

INTAK RUPTUR RUPTUR INTAK

6 cm > 6 cm Cornu

Laparaskopi Gagal Laparotomi Istimika Istimika


Salpingektomi Salpingektomi Ampularis Ampularis

> 6 cm 6 cm

Segmental Gagal Laparotomi Gagal Laparaskopi


Resection Salpingektomi Salpingektomi

Kadar Kwantitatif HCG dan Kadar Progesteron


Serum Progesteron, Kadar Kwantitatif HCG

Progesteron 25 ng/ml Progesteron 5 ng/ml


5< Progesteron > 25 ng/ml
atau HCG 100.000 ml U/ml atau kenaikan yang
abnormal HCG

Kehamilan Intra Uterin USG Transvaginal

Kehamilan Ektopik Kehamilan Intra Uterin Dilatasi dan Kuretage

Kantong Kehamilan Kantong Kehamilan Villi (+) Villi (-)


> 4 cm 4 cm
Abortus Completus
Operasi MTX
HCG HCG tetap/

Abortus Completus Kehamilan Ektopik

USG Transvaginal

Kantong Kehamilan Kantong Kehamilan


> 4 cm 4 cm

Operasi MTX
DIAGNOSIS BANDING
1. Keradangan panggul (Pelvic Inflammatory Disease = P.I.D)
2. Appendisitis
3. Abortus
4. Pecahnya korpus luteum atau krista lutein
5. kista terpuntir

KOMPLIKASI
Komplikasi kehamilan ektopik pada umumnya akibat pecahnya kehamilan ektopik,
sehingga terjadi perdarahan yang dapat mengakibatkan kematian penderita bila tidak segera
mendapat pertolongan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F.G, MD, MacDonald P.C, MD, Garet N.F, MD, Ectopic Pregnancy, Williams
Obstetics 20; 1998: 607-634.
2. stenchever, Droegemueller, Herbst, Mishell: Comprehensive Gynecology 4th edition: Ectopic
Pregnancy; 2001: 443-478.
3. Saifuddin A.B: Ilmu Kebidanan Edisi ke 3; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
Jakarta 1997: 323-361.
KANKER ENDOMETRIUM
M. Nasrun Abdullah, Suhatno, Heru Santoso, Sunyoto, Poedjo Hartono,
Wita Saraswati, Brahmana Askandar

PREVALENSI
Di Indonesia merupakan jenis keganasan ke 3 kanker ginekologi setelah kanker serviks dan
kanker ovarium. Di Amerika dan negara Eropa menempati urutan atas dengan insiden 3-4 kali
lebih sering dibandingkan dengan negara berkembang. Sebagian besar terdiagnosis pada usia
pasca menopause, hanya sekitar 5% yang terdiagnosis pada usia di bawah 40 tahun dan hampir
70% terdiagnosis pada stadium awal.

ETIOLOGI
Kanker endometrium banyak dikaitkan dengan masalah hormonal, terutama disebabkan
rangsangan yang terus menerus estrogen pada endometrium, tanpa hambatan progesteron.

FAKTOR RISIKO
1. Unopposed/inadequate opposed estrogen therapy
2. Obesitas
3. Hipertensi
4. Diabetes Mellitus
5. Nulliparitas
6. Early menarche dan late menopause
7. Chronic anovulation, polikistik ovarium
8. Riwayat keluarga kanker payudara, ovarium, colorectal
9. Penyakit hepar
10. Granulosa cell tumor ovarium

PENCEGAHAN
Menghindari penggunaan estrogen terus menerus tanpa progesteron.
Menjaga berat badan ideal
Penggunaan kontrasepsi oral
Penanganan dini perdarahan abnormal:
1. Simple hiperplasia
2. Hiperplasia atipik

GEJALA
1. Perdarahan per vaginam terutama pasca menopause
2. Fluor albus
3. Nyeri daerah pelvis
4. Gambaran pap smear yang abnormal

DIAGNOSIS
1. Dilatasi dan kuretase
2. Histeroskopi/biopsi
3. Ultrasonography (USG)

GAMBARAN PATOLOGI
1. Endometrioid carcinoma
2. Papillary serous carcinoma
3. Clear cell carcinoma
4. Squamous cell carcinoma
5. Undifferentiated carcinoma
6. Mixed type
7. Miscellanous epithelial tumor

STADIUM KLINIS KANKER ENDOMETRIUM


Stadium 0:
Karsinoma insitu, tidak ada invasi ke stroma atau miometrium
Stadium I:
Karsinoma terbatas pada korpus
Ia: panjang kavum uterus 8 cm atau kurang
Ib: panjang kavum uterus lebih dari 8 cm
Stadium II:
Karsinoma mengenai korpus dan servik
Stadium III:
Karsinoma meluas ke luar uterus tetapi belum ke luar panggul kecil
Stadium IV:
Karsinoma meluas panggul kecil atau sudah mengenai mukosa kandung kencing atau rektum.
Edema bulosa tidak termasuk ke dalam stadium IV

SURGICAL STAGING
Stage I Terbatas pada corpus uteri
IA Terbatas pada endometrium
IB Infiltrasi < 50% endometrium
IC Infiltrasi > 50% endometrium
Stage II Meliputi corpus uteri dan serviks
IIA Terbatas pada endoserviks
IIB Infiltrasi pada stroma serviks
Stage III Sudah ada penyebaran ke pelvis
IIIA Mencapai lapisan serosa dan atau adnexa dan atau Sitologi cairan peritoneum (+)
IIIB Metastase ke vagina
IIIC Metastase ke dinding pelvis clan atau kelenjar paraaorta
Stage IV Metastase jauh
IVA Tumor mencapai buli-buli dan atau rektum
IVB Metastase pada kelenjar supraklavikuler, paru, hepar, tulang, otak

PENATALAKSANAAN
HIPERPLASIA
Hiperplasia Simpel
1. Progestin sekuensial
2. Oral pill
3. Progestin dosis tinggi
4. Induksi ovulasi
5. Histerektomi
Hiperplasi Atipik
Merupakan lesi pra kanker endometrium.
Untuk penderita pasca menopause dianjurkan histerektomi.
Penggunaan progesteron dosis tinggi masih bisa dipertimbangkan.

CARCINOMA ENDOMETRIUM
Penanganan pre operatif meliputi:
1. Penilaian klinis besar tumor dan penyebarannya
2. Risiko operasi pada pasien seperti usia, obesitas, hipertensi, Diabetes Mellitus (DM)

1. Stadium I
a. Histerektomi dengan Bilateral Salpingo Oophorectomy (BSO), bila perlu diberikan
radian pasca operasi
b. Terapi hormon
2. Stadium II
a. Histerektomi radikal
b. Histerektomi dengan sebelumnya diberikan radiasi (brachi terapi)
c. Penilaian kelenjar pelvik
d. Radiasi pasca operasi
e. Kemoterapi
f. Terapi hormon
3. Stadium III-IV
a. Debulking
b. Radiasi pasca operasi
c. Radiasi saja
d. Kemoterapi
e. Terapi hormon

DAFTAR PUSTAKA
1. Berek, Jonathan S, Hacker, Neville F, Practical Gynaecology Oncology 2000.
2. Brandon J. Bankowski, Ami E. Hearne, Cicholas C. Lambrou, Harold E. Fox, Edward E.
Wallach, The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics, 2nd ed. 2002.
3. Stechever, Droegemueller, Herbst, Mishell. Comprehensive Gynaecology. 2001.
KANKER SERVIKS INVASIF
M. Nasrun Abdullah, Suhatno, Heru Santoso, Sunyoto, Poedjo Hartono,
Wita Saraswati, Brahmana Askandar

PREVALENSI
Kanker serviks merupakan jenis keganasan tertinggi di Indonesia dan merupakan penyakit
terbanyak kematian kanker ginekologi di dunia. Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun
ditemukan sekitar 500.000 kasus baru. Kanker servik merupakan hasil akhir dari lesi pra kanker
yang berjalan pelan tetapi progresif, sehingga deteksi dan penanganan lesi pra kanker merupakan
faktor yang paling penting untuk menurunkan angka kejadian kanker serviks.

ETIOLOGI
Seperti pada kebanyakan keganasan lain, penyebab pasti kanker serviks masih sulit
ditemukan secara pasti, akan tetapi sangat erat hubungannya dengan perilaku seksual.
Sampai saat ini infeksi Human Papiloma Virus (HPV) terutama tipe 16 dan 18 dikatakan
paling banyak berperan pada kejadian kanker serviks. Telah banyak dibuktikan bahwa HPV
merupakan salah satu pencetus terjadinya kanker serviks yang penting, karena telah cukup
banyak penelitian yang membuktikan bahwa terdapat 2 jenis protein/gen (E6 dan E7) pada HPV
yang akan menghambat kerja protein pada manusia (Rb dan p53) yang bertugas untuk mengatur
pertumbuhan/ pembelahan sel pada jalur yang normal, sehingga epitel serviks berkembang tidak
terkendali.
Di samping HPV, infeksi Herpes Simplex Virus (HSV) tipe II dan infeksi lain masuk HIV
berpotensi sebagai penyebab kanker serviks.

FAKTOR RISIKO
Meskipun penyebabnya sulit untuk dideteksi, terdapat beberapa faktor risiko yang berperan
penting pada kejadian kanker serviks antara lain:
1. Perilaku seksual wanita maupun pria
a. Aktivitas seksual < 20 tahun
b. Pasangan seksual > 1 orang (multiple)
c. Rentan terhadap PMS (Penyakit Menular Seksual)
2. Riwayat kanker serviks pada ibu/saudara
3. Merokok
4. Daya tahan tubuh yang rendah
a. HIV/AIDS
b. Penyakit menahun
5. Paritas
6. Keadaan sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah
PERJALANAN PENYAKIT
Kanker serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dari perubahan intraepitel, yang pada
akhirnya berkembang menjadi kanker serviks invasive setelah 10 tahun atau lebih. Telah
diketahui bahwa permulaan pertumbuhan penyakit ini dimulai dari perbatasan antara epitel
ektoserviks yang merupakan epitel skuamus dengan epitel endoserviks yang merupakan epitel
columnar. Daerah pertemuan ini kemudian dikenal dengan Daerah Transformasi (Transformation
Zone), atau disebut juga dengan squamocolumnar junction yang sangat rawan dan merupakan
tempat awal perkembangan kanker serviks. Pada perkembangan selanjutnya kanker serviks
menjalar ke arah luar (ektoserviks). Pengamatan yang cermat pada Daerah Transformasi ini
menjadi kunci keberhasilan penemuan awal Kanker Serviks Uteri.

STADIUM KANKER CERVIX


Terdapat dua cara untuk menyatakan Stadium Klinis Kanker Serviks Uteri, yang pertama
ialah yang dianjurkan oleh FIGO (The International Federation of Gynecology and Obstetrics),
dan yang kedua ialah anjuran oleh UICC (Union Internationale Contre le Cancer), yaitu
klasifikasi TNM (tumor, nodes, metastase). Sampai saat ini untuk kanker serviks, penentuan
stadium klinis FIGO lebih banyak digunakan.

Stadium Kanker Serviks menurut FIGO


Karsinoma pra invasif
Stadium O Karsinoma In Situ/karsinoma intra epitel
Karsinoma invasif
Stadium I Karsinoma hanya terbatas pada serviks (perluasan ke uterus diabaikan)
Stadium Ia Karsinoma pre klinis, diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan mikroskopik
Stadium Ia1 Invasi stroma secara mikroskopik minimal
Batas atas invasi tidak melebihi 5 mm basal epitel, permukaan atau kelenjar,
dari tempat asalnya, dan dimensi kedua, dengan penyebaran horizontal tidak
melebihi 7 mm. Lesi yang lebih besar dianggap stadium 1b
Stadium Ib Lesi dengan dimensi lebih besar dari stadium Ia2, secara klinis terlihat atau
tidak
Stadium II Karsinoma meluas melebihi serviks, tetapi belum melebar ke dinding.
Karsinoma meliputi vagina tetapi belum mencapai 1/3 bawah
Stadium IIa Karsinoma belum jelas ke parametrium
Stadium IIb Karsinoma sudah mencapai parametrium
Stadium III Karsinoma sudah meluas ke dinding pelvis
Pada pada pemeriksaan rektal, sudah tidak didapatkan daerah bebas kanker
antara tumor dengan dinding pelvis
Tumor mencapai 1/3 bawah vagina
Semua kasus dengan hidronefrosis atau non fungsi ginjal.
Stadium IIIa Belum meluas ke dinding pelvis
Stadium IIIb Meluas ke dinding pelvis, dan atau hidronefrosis atau non fungsi ginjal
Stadium IV Karsinoma sudah meluas melebihi pelvis atau secara klinis sudah meliputi
mukosa kandung kemih atau rectum
Stadium IVa Meluas ke organ sekitar
Stadium IVb Meluas ke organ yang jauh

DIAGNOSIS
Seperti penyakit ginekologi pada umumnya untuk menegakkan diagnosis perlu suatu
prosedur yang meliputi; anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologis dan
pemeriksaan penunjang lain.

ANAMNESIS
Anamnesis meliputi anamnesis umum tentang identifikasi diri, keluarga, riwayat
perkawinan, persalinan dan program KB, hal-hal yang menjadi faktor risiko terjadi kanker
serviks, serta anamnesis khusus tentang keluhan utama dan gejala-gejala lain yang menyertai.

TANDA DAN GEJALA


Pada lesi pra-kanker sering tidak ditemukan, atau kalau ada berupa perdarahan setelah
bersenggama, lekore atau pengeluaran cairan encer dari vagina.
Pada karsinoma in situ mungkin tidak tampak kelainan makroskopik atau mungkin hanya
berupa tukak superfisial kecil.
Sering gejala kelainan pada serviks muncul sebagai perdarahan sesudah senggama, yang
kemudian bertambah menjadi metroragia dan selanjutnya dapat menjadi menoragia.
Pada lesi invasif keluar cairan kekuning-kuningan terutama bila lesi nekrotik. Cairan ini
berbau dan dapat bercampur dengan darah. Bila terjadi perdarahan kronis, maka dapat timbul
gejala-gejala anemia.
Nyeri pelvis atau hypogastrium dapat disebabkan oleh tumor yang nekrotik atau radang
panggul. Bila muncul nyeri di daerah lumbosacral maka harus diingat kemungkinan
hidronefrosis atau penyebaran ke kelenjar para aorta yang meluas ke akar saraf lumbosacral.
Rasa nyeri di daerah panggul dan tungkai bawah akibat infiltrasi tumor ke saraf. Hal ini biasanya
berasal dari proses kanker di kelenjar getah bening dan dinding panggul yang kemudian meluas
mengenai plexus yang lebih tinggi. Gejala hematuria atau perdarahan perrektal timbul bila tumor
sudah menginvasi vesika urinaria atau rectum. Bengkak pada tungkai dan daerah inguinal
diakibatkan oleh obstruksi saluran getah bening di daearh lumbal.
Pada stadium lanjut dapat menimbulkan gejala kaheksia, iritasi vesica urinaria dan rectum,
fistel vesikovaginal atau rektovaginal. Gejala lain, dapat timbul akibat anak sebar di organ-organ
dalam rongga abdomen, paru-paru, tulang dan hati.
Nyeri dengan lokasi dan derajat sesuai dengan luas tumor dapat disebabkan oleh tumor
yang nekrotik, radang panggul, atau penekanan oleh tumor ke saluran kencing/hidronefrosis.

CARA PEMERIKSAAN
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaa antara lain:
1. Pemeriksaan sederhana dengan inspekulo, pemeriksaan dalam vagina (Vaginal Touch)
2. Pemeriksaan rektal (Rektal Touch)
3. Hapusan mulut rahim/Pap smear/Pap test
4. Kolposkopi
5. Biopsy
6. Dilatasi dan kuretase
7. Konisasi
8. Pemeriksaan penunjang lain (laboratorium, radiologi, USG, endoskopi)

PENATALAKSANAAN
Sampai dengan stadium IIa Histerektomi radikal disertai dengan pengambilan kelenjar
getah bening pelvis (operasi Radikal Wertheim) merupakan pilihan pertama, kadang perlu
tambahan/ajuvan sitostatika atau radiasi, bergantung pada temuan saat operasi dan hasil
pemeriksaan patologi.
Untuk stadium IIb sampai III, pengobatan dengan penyinaran/radio terapi dan atau
sitostatika merupakan pilihan terbaik, sedangkan untuk stadium akhir pengobatan paliatif lebih
dianjurkan.

KRITERIA PENILAIAN
Berbeda dengan penyakit lainnya, pada penyakit ganas/kanker umumnya tidak dikenal istilah
sembuh, karena belum ada satu cara apapun yang dapat memastikan sudah tidak ada lagi sel
ganas di dalam tubuh setelah dilakukan pengobatan.
Oleh karena ini pengawasan lanjutan pada kanker sangat penting dan keberhasilan pengoabtan
dinyatakan dengan daya tahan hidup selama 3 atau 5 tahun. (3-5 Years Survival Rates).
1. Untuk respons pengobatan baik operasi, radiasi maupun kemoterapi digunakan beberapa
istilah: Complete Response, bila secara klinis sudat tidak didapatkan tumor.
2. Partial Response, bila terdapat pengurangan tumor minimal 50%.
3. No Response, bila pengurangan tumor kurang dari 50%.
4. Progression, bila setelah pengobatan justru bertambah besar.
5. Residif, bila setelah respons komplit penyakit muncul kembali.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah MN, Soedoko R. Peran Sitologi pada Pemeriksaan Pap Test dalam Deteksi Dini
Kanker Serviks Uteri. 1990.
2. Aziz MF, Kampono N, Sjamsudin S, Djakaria M. Manual Prekanker dan Kanker Serviks
Uterus. 1985.
3. Berek, Jonathan S, Hacker, Neville F, Practical Gynaecology Oncology 2000.
4. Blumenthal P.D, Gaffikin L, Maier N.M, Riseborough P. Issues ini Cervical Cancer Seeking
Alternatives to Cytology 1994.
5. Brandon J. Bankowski, Ami E. Haerne, Cicholas C. Lambrou, Harold E. Fox, Edward E.
Wallach, The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics, 2nd ed. 2002.
6. Gaffikin L, Blumenthal PD, Brechin SJG. Alternatives for Cervical Cancer Screening and
Treatment in Low-Resources Setting. 1997.
7. Mcintosh N. Human Papillomavirus and Cervical Cancer. 2000.
8. Stenchever, Droegemueller, Herbst, Mishell. Comprehensive Gynecology. 2001.
LESI PRA GANAS/PRE INVASIVE DISEASE CERVIX
M. Nasrun Abdullah, Suhatno, Heru Santoso, Sunyoto, Poedjo Hartono,
Wita Saraswati, Brahmana Askandar

BATASAN
Lesi pra ganas/pre invasive disease cervix merupakan perubahan epitel serviks akibat suatu
proses penyakit yang ditandai dengan perubahan mikroskopik meliputi maturasi, hiperkromasi
intisel, perubahan rasio inti dan sitoplasma, pleimorpisme, mitosis dan diskeratosis, dalam
berbagai derajat (ringan, sedang, dan berat) yang mempunyai potensi untuk menjadi ganas.

KLASIFIKASI
Sistem Papaniculao membagi pemeriksaan sitology serviks menjadi:
Class I, Class II, Class III, Class IV, dan Class V.

Richard pada tahun 1966 membagi menjadi:


1. Normal
2. Inflammation
3. CIN I (displasia ringan) lesi meliputi sepertiga bawah epitel
4. CIN II (displasia sedang) lesi meliputi dua sepertiga bagian epitel
5. CIN III (dysplasia berat) lesi meliputi sepertiga atas lapisan epitel
6. Cancer

Sistem Bethesda (1988) membagi menjadi:


1. Normal
2. Benign Cellular Changes
3. ASCUS (Atypical Squamous Cell of Undetermined Significance)
4. LSIL (Low-grade Squamous Intraepithel Lesion)
5. HSIL (High-grade Squamous Intraepithel Lesion)
6. Carcinoma

PATOFISIOLOGI
Lesi pra ganas serviks dimulai dari daerah transformasi (transformation zone) yaitu batas
epitel kolumnar ke epitel skuamus yang menjalani suatu proses metaplasia skuamus. Aktivitas
metaplasia maksimal terjadi selama perkembangan fetal, usia muda dan pada kehamilan. Sel
yang secara aktif mengalami proses metaplasia sangat rentan pada zat karsinogen. Karsinogen
potensial yang berada di lingkungan vagina seperti Human Papilloma Virus (HPV) pada saat
proses metaplasia berlangsung dapat menyebabkan mutasi atau perubahan sel epitel normal
menajdi abnormal. Keganasan serviks telah dibuktikan merupakan suatu hasil akhir dari lesi pra
ganas yang progressive yang terjadi selama proses metaplasia epitel di daerah zona transformasi
serviks.

ETIOLOGI
Sampai saat ini infeksi HPV yang ditularkan melalui hubungan seksual diduga sebagai
faktor penyebab lesi pra ganas dan kanker serviks. Tidak semua HPV mempunyai potensi untuk
menyebabkan kanker. HPV yang termasuk kelompok risiko rendah hanya menyebabkan
Condiloma acuminata yang tidak berpotensi untuk menjadi ganas. HPV tipe 16, 18, 31, 33, dan
51 termasuk sebagai kelompok risiko tinggi yang berpotensi untuk merubah sel epitel servik
menjadi ganas. Diperkirakan protein E6 dan E7 yang berasal dari DNA Virus akan menghambat
aktivitas P53 dan retinoblastoma yangm merupakan regulator siklus sel, sehingga pertumbuhan
sel menjadi tidak terkendali.

DIAGNOSIS
1. Hapusan serviks
2. Kolposkopi
3. Biopsi
4. Kuretase endoserviks
5. Konisasi diagnostik
6. Pemeriksaan HPV/HPV typing

Pemeriksaan hapusan serviks/papsmear merupakan cara efektif untuk mendeteksi adanya CIN.
1. Gambaran infeksi, abnormal atipia atau displasia ringan maka infeksi diobati dulu dan
papsmear diulangi 2 minggu kemudian.
2. Hasil papsmear abnormal maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan kolposkopi.
3. Gambaran kolposkopi abnormal maka dilakukan biopsi dan kuretase endoservik.
4. Gambaran kolposkopi normal atau abnormal, dengan sitologi abnormal/mencurigakan maka
dilakukan konisasi diagnostik.

PENATALAKSANAAN
Prinsip pengobatan lesi pra ganas adalah menghilangkan epitel serviks yang abnormal,
bergantung pada derajat kerusakan yang ada, usia, paritas, serta fungsi organ reproduksi.
Dikenal beberapa pilihan/metode pengobatan antara lain:
Ablasi/Perusakan jaringan
1. Electrocoagulation diathermy
2. Cryosurgery
3. CO2 Laser
Excisional/pengambilan jaringan
1. Cold knife conization (konisasi)
2. CO2 Laser Excision
3. LEEP (Loop Electrosurgical Excision Procedures)
4. Histerektomi

DAFTAR PUSTAKA
1. Berek, Jonathan S, Hacker, Neville F, Practical Gynaecology Oncology 2000.
2. Blumenthal P.D, Gaffikin L, Maier N.M, Riseborough P. Issues ini Cervical Cancer Seeking
Alternatives to Cytology 1994.
3. Brandon J. Bankowski, Ami E. Hearne, Cicholas C. Lambrou, Harold E. Fox, Edward E.
Wallach, The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics, 2nd ed. 2002.
4. Graffikin L, Blumenthal PD, Brechin SJG. Alternatives for Cervical Cancer Screening and
Treatment in Low-Resources Setting. 1997.
5. Mcintosh N, Human Papilloma Virus and Cervical Cancer. 2000.
6. Stenchever, Droegemueller, Herbst, Mishell. Comprehensive Gynecology. 2001.

Anda mungkin juga menyukai