%tasi ISBD
%tasi ISBD
2. Sejarah Peradaban
PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana pula asal-usulnya,
sebenarnya masih ada hubungannya dengan zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian
sudah lama menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam ribu tahun yang
lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh
karena itu sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah. Sarjana-sarjana ahli
purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan
Antara Barat dan Timur. Antara tahun 1935-1936, dan kemudian 1939, di Indonesia (Hindia
Belanda ketika itu) terjadilah apa yang kemudian disebut sebagai polemik kebudayaan.
Polemik ini bermaksud untuk mencari bentuk atau wajah bagi konsep tentang Indonesia.
Bermula dari tulisan Sutan Takdir Alisjahbana mengenai menuju masyarakat dan budaya baru
yang membagi periodisasi kebudayaan Indonesia menjadi dua kategori besar, masa pra-
indonesia dan masa indonesia. Masa pra-indonesia adalah masa jahiliyah indonesia. Sedang
masa Indonesia, yang bermula di awal abad ke-20, bagi Sutan Takdir haruslah bentuk atau
konsep baru yang memiliki dinamika, yang berbeda total dari masa sebelumnya. Masyarakat
baru Indonesia itu adalah masyarakat dinamis, yang mengadopsi model dinamika yang
berkembang pada masyarakat barat. Intelektualisme, materialisme (dalam arti hasrat besar
untuk membangun dunia ini), dan egoisme (dalam arti tumbuhnya spirit individual, kebebasan
individu); yang merupakan karakter dinamika masyarakat barat, haruslah menjadi bagian dari
masyarakat baru Indonesia. Bagi Takdir, penilaian negatif atas semangat barat dengan
mengemukakan sisi-sisi semisal barat tidak spiritual, adalah tidak tepat karena pada barat
nilai-nilai spiritual itu dimilikinya. Sedangkan alasan yang menolak kiblat ke barat karena krisis
yang dialami oleh barat (krisis intelektual), bagi Takdir itu adalah problem barat bukan problem
kita, problem kita adalah bagaimana menggapai intelektualisme itu.
Di sisi lain, bertentangan dengan pendapat Sutan Takdir, sebagian kalangan menginginkan
wujud yang menghargai warisan Timur menjadi corak yang membangun Indonesia. Sanusi
Pane, Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara bisa disebut mewakili pandangan ini. Dalam konsep ini
bukan berarti tidak ada nilai-nilai barat yang tidak kita adopsi, nilai intelektualisme misalnya.
Tetapi yang diinginkan oleh pandangan yang berorientasi ke Timur ini adalah warisan budaya
kita menjadi basis utama dalam membina kepribadian manusia Indonesia dan menghindari
efek negatif dari kebudayaan barat. Model pendidikan, sebagai medium transmisi kebudayaan,
yang berakar dalam warisan budaya kita seperti model pesantren, bisa diberdayakan untuk
membina kepribadian ini. Dalam konteks ini perlu dicatat adanya pembedaan antara
pendidikan dengan pengajaran. Bagi Dr. Sutomo, pendidikan terkait dengan membentuk
kepribadiaan sedangkan pengajaran terkait dengan pencapaian intelektual. Dari sudut
pandangan ini mustahillah membangun konsep keindonesiaan baru yang tercerabut total dari
akar kesejarahannya, sebagaimana diinginkan oleh Sutan Takdir. Sedangkan bagi Sutan Takdir
sendiri pendapat sintesis ini masih memiliki tendensi anti-intelektualisme, anti-materialisme dan
anti-individualisme (untuk dua terminologi terakhir hendaknya dipahami dalam konteks
praktisnya bukan dalam pengertian metafisis).
Elaborasi yang cukup luas diberikan oleh Dr. M. Amir untuk membahas hal ini. Jauh
sebelum kata civilization dipakai atau ditemukan, kata kerja civilize telah dipakai. Tetapi kata
civilization sendiri baru pada abad ke-18 digunakan untuk membedakan derajat tinggi suatu
bangsa dengan derajat lain yaitu savages(buas, liar) dan barbares(biadab). Tingkat atau
derajat tinggi masyarakat itu berakar pada civilis (kota). Sedangkan istilah kultur pada awalnya
berarti jumlah segala kemajuan; kemajuan bendawi ataupun kemajuan pikiran yang dicapai
oleh manusia. Dari elaborasi pengertian ini pembedaan antara peradaban dan kebudayaan
berasal dari pembedaan yang dilakukan dalam tradisi pemikiran Jerman. Sedangkan pada
tradisi eropa lainnya (Perancis dan Inggris) dipakai terma civilization saja.
Pembedaan tingkatan masyarakat seperti ini (dari yang primitif hingga yang berperadaban
tinggi) tidak sekedar perbedaan kemajuan masyarakat saja (yang tampak dalam kemajuan
materialnya) tetapi juga terkait dengan pembedaan konstitusi jiwa manusianya. Di sini terdapat
dua pendapat, yang menafsirkan kemajuan peradaban karena perbedaan genetik dan yang
menafsirkan kemajuan peradaban karena faktor lingkuangan. Nature vs Nurture.
Bagi Dr. Amir persoalan peradaban ini tidak semata-mata soal sosiologi tetapi juga
psikologi. Berapa lama waktu yang dibutuhkan barat untuk membentuk konstitusi kejiwaan
manusia barat seperti sekarang ini, ribuan tahun. Secara historis tidaklah mungkin kita
memutus mata rantai kesejarahan manusiawi kita untuk membangun peradaban baru.
Siapa Pemenangnya ?
Secara sekilas pemenang polemik itu adalah Sutan Takdir. Tetapi, bagi Ajip Rosidi,
masalahnya tidak sesederhana itu. Banyak masalah, seperti dualisme pendidikan dan
dualisme antara kebudayaan nasional dan daerah, belum terselesaikan secara memuaskan.
Dapat pula kita nyatakan bahwa pasca kemerdekaan model pembangunan yang digesa
oleh pemerintah kita sebenarnya tidak jauh berbeda dengan model yang diinginkan oleh Sutan
Humanisme
Kita juga bisa menambahkan posisi lain yang diambil oleh kalangan intelektual dalam
polemik ini yaitu posisi Sjahrir. Tetap dalam orbit intelektual Barat modern, Sjahrir menegaskan
tidak perlu pilih antara Barat dan Timur, karena keduanya harus silam dan memang sedang
tenggelam ke masa silam (Barat kapitalis dan Timur feodalis). Pilihan pandangan ini kemudian
menjelma menjadi pilihan humanisme.
Islam
Satu hal lagi yang juga menjadi catatan adalah tidak dimasukkannya pandangan kalangan
Islam dalam polemik ini. Menurut Ajip Rosidi, hal ini bisa karena memang tidak ada tokoh Islam
yang terlibat atau penyunting buku Polemik Kebudayaan tidak menganggap perlu meniliti
majalah atau surat kabar yang membawa suara Islam. Ajip Rosidi menyebutkan adanya
pendapat yang disampaikan oleh M. Natsir pada tahun 1934, sebelum Polemik Kebudayaan itu
dimulai.
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara
dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan
baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan
iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang
intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat;
sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan
Pengelompokkan teori perubahan sosial telah dilakukan oleh Strasser dan Randall.
Perubahan sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan diktator dan demokrasi,
teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem
sosial.
Teori yang disampaikan oleh Barrington Moore berusaha menjelaskan pentingnya faktor
struktural dibalik sejarah perubahan yang terjadi pada negara-negara maju. Negara-negara
maju yang dianalisis oleh Moore adalah negara yang telah berhasil melakukan transformasi
dari negara berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses
transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi, fasisme dan
komunisme.
Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum
borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya
dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan kaum tuan tanah. Masyarakat
petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung saja, bahkan
seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang dilakukan
Ilmu Sosial Budaya Dasar 9
oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui
revolusi atau perang sipil. Negara yang mengambil jalan demokrasi dalam proses
transformasinya adalah Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.
Berbeda halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang
dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang
memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan. Negara yang
memilih jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai
gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan Jerman merupakan contoh dari
negara yang mengambil jalan fasisme.
Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha
eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan
oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan
kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan
masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan
moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian
berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus
dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx
menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai
tahap kesempurnaan perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini
akan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum
borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan
komunisme dalam proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.
Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial
merupakan sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam
jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam
sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari
diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara yang
menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran dan struktur organisasi dengan
perubahan sosial.
Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang
dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau
konflik inilah yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama untuk
merubah norma dan nilai.
Stratifikasi sosial pada masyarakat pra-industrial belum terlalu terlihat dengan jelas
dibandingkan pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya derajat
perbedaan yang timbul oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status
sosial masih terbatas pada bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk status yang diperoleh
sejak dia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Krisis status mulai
muncul seiring perubahan moda produksi agraris menuju moda produksi kapitalis yang
ditandai dengan pembagian kerja dan kemunculan organisasi kompleks.
Perubahan moda produksi menimbulkan maslaah yang pelik berupa kemunculan status-
status sosial yang baru dengan segala keterbukaan dalam stratifikasinya. Pembangunan
ekonomi seiring perkembangan kapitalis membuat adanya pembagian status berdasarkan
pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan
inkonsistensi status pada individu.
Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola
perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya
perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan
lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu
status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran
adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan
peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang
Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang
kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang
diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak
diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha
pribadi
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial
menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran
bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya.
Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi,
yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan
pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai
bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial
baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan
pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks.
Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju
masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan
perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat
tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau
penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian
kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan,
pendapatan hingga pendidikan.
Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam
individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran
bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga
Ilmu Sosial Budaya Dasar 13
menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang
telah ada
Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya
kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya
melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat
dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial
dalam masyarakat.
C. MODERNISASI
a) Widjojo Nitisastro, modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan bersama
yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-
pola ekonomis dan politis.
b) Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah
yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning.
(dalam buku Sosiologi: suatu pengantar)
Dengan dasar pengertian di atas maka secara garis besar istilah modern mencakup
pengertian sebagai berikut.
a) Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya tarat
penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.
b) Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam pergaulan hidup
dalam masyarakat.
a) Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
b) Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
c) Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga
atau badan tertentu.
d) Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara
penggunaan alat-alat komunikasi massa.
Ilmu Sosial Budaya Dasar 14
e) Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak
berarti pengurangan kemerdekaan.
Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terncana melalui
berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Bangsa Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah
mencantumkan tujuan pembangunan nasionalnya. Kesejahteraan masyarakat adalah suatu
keadaan yang selalu menjadi cita-cita seluruh bangsa di dunia ini. Berbagai teori tentang
pembangunan telah banyak dikeluarkan oleh ahli-ahli sosial barat, salah satunya yang juga
dianut oleh Bangsa Indonesia dalam program pembangunannya adalah teori modernisasi.
Modernisasi merupakan tanggapan ilmuan sosial barat terhadap tantangan yang dihadapi oleh
negara dunia kedua setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Pemikiran Herbert Spencer (1820-1903), sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide
evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan
sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada
proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan
masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat
termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula
berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks
menuju tahap akhir yang sempurna.
Pemikiran Spencer dapat dikatakan sebagai dasar dalam teori modernisasi, walaupun
Webster (1984) tidak memasukkan nama Spencer sebagai dasar pemikiran teori modernisasi.
Teorinya tentang evolusi masyarakat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat industri
yang harus dilalui melalui perubahan struktur dan fungsi serta kompleksitas organisasi senada
dengan asumsi dasar konsep modernisasi yang disampaikan oleh Schoorl (1980) dan Dube
(1988). Asumsi modernisasi yang disampaikan oleh Schoorl melihat modernisasi sebagai
suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya.
Dibidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri dengan pertumbuhan
ekonomi sebagai akses utama. Berhubung dengan perkembangan ekonomi, sebagian
penduduk tempat tinggalnya tergeser ke lingkungan kota-kota. Masyarakat modern telah
tumbuh tipe kepribadian tertentu yang dominan. Tipe kepribadian seperti itu menyebabkan
orang dapat hidup di dalam dan memelihara masyarakat modern.
Sedangkan Dube berpendapat bahwa terdapat tiga asumsi dasar konsep modernisasi yaitu
ketiadaan semangat pembangunan harus dilakukan melalui pemecahan masalah
kemanusiaan dan pemenuhan standart kehidupan yang layak, modernisasi membutuhkan
usaha keras dari individu dan kerjasama dalam kelompok, kemampuan kerjasama dalam
kelompok sangat dibutuhkan untuk menjalankan organisasi modern yang sangat kompleks dan
organisasi kompleks membutuhkan perubahan kepribadian (sikap mental) serta perubahan
pada struktur sosial dan tata nilai. Kedua asumsi tersebut apabila disandingkan dengan
pemikiran Spencer tentang proses evolusi sosial pada kelompok masyarakat, terdapat
kesamaan. Tujuan akhir dari modernisasi menurut Schoorl dan Dube adalah terwujudnya
masyarakat modern yang dicirikan oleh kompleksitas organisasi serta perubahan fungsi dan
struktur masyarakat. Secara lebih jelas Schoorl menyajikan proses petumbuhan struktur sosial
yang dimulai dari proses perbesaran skala melalui integrasi. Proses ini kemudian dilanjutkan
dengan diferensiasi hingga pembentukan stratifikasi dan hirarki.
Ciri manusia modern menurut Dube ditentukan oleh struktur, institusi, sikap dan perubahan
nilai pada pribadi, sosial dan budaya. Masyarakat modern mampu menerima dan
menghasilkan inovasi baru, membangun kekuatan bersama serta meningkatkan
kemampuannya dalam memecahkan masalah. Oleh karenanya modernisasi sangat
Lerner dalam Dube (1988) menyatakan bahwa kepribadian modern dicirikan oleh :
1. Empati : kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
2. Mobilitas : kemampuan untuk melakukan gerak sosial atau dengan kata lain kemampuan
beradaptasi. Pada masyarakat modern sangat memungkinkan terdapat perubahan status
dan peran atau peran ganda. Sistem stratifikasi yang terbuka sangat memungkinkan
individu untuk berpindah status.
3. Partisipasi : Masyarakat modern sangat berbeda dengan masyarakat tradisional yang
kurang memperhatikan partisipasi individunya. Pada masyarakat tradisional individu
cenderung pasif pada keseluruhan proses sosial, sebaliknya pada masyarakat modern
keaktifan individu sangat diperlukan sehingga dapat memunculkan gagasan baru dalam
pengambilan keputusan.
Konsep yang disampaikan oleh Lerner tersebut semakin memperkokoh ciri masyarakat
modern Schoorl, yaitu pluralitas dan demokrasi. Perkembangan masyarakat tradisional menuju
masyarakat modern baik yang diajukan oleh Schoorl maupun Dube tak ubahnya analogi
pertumbuhan biologis mahkluk hidup, suatu analogi yang disampaikan oleh Spencer.
Modernisasi yang lahir di Barat akan cenderung ke arah Westernisasi, memiliki tekanan
yang kuat meskipun unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan asli negara ketiga dapat selalu
eksis, namun setidaknya akan muncul ciri kebudayaan barat dalam kebudayaannya (Schoorl,
Ilmu Sosial Budaya Dasar 17
1988). Schoorl membela modernisasi karena dengan gamblang menyatakan modernisasi lebih
baik dari sekedar westernisasi. Dube memberikan pernyataan yang tegas bahkan cenderung
memojokkan modernisasi dengan mengungkapkan berbagai kelemahan modernisasi, antara
lain keterlibatan negara berkembang diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial
tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Lebih lanjut Dube menjelaskan
kelemahan modernisasi antara lain :
1. Modernisasi yang mendasarkan pada penggunaan ilumu pengetahuan dan teknologi pada
organisasi modern tidak dapat diikuti oleh semua negara.
2. Tidak adanya indikator sosial pada modernisasi.
3. Keterlibatan negara berkembang diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial
antara negara maju dan berkembang tidak menjadi sesuatu yang penting untuk
dibicarakan.
4. Modernisasi yang mendasarkan pada penggunaan iptek pada organisasi modern tidak
dapat diikuti oleh semua negara.
5. Tidak adanya indikator sosial pada modernisasi.
6. Keberhasilan negara barat dalam melakukan modernisasi disebabkan oleh kekuasaan
kolonial yang mereka miliki sehingga mampu mengeruk SDA dengan mudah dari negara
berkembang dengan murah dan mudah.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas
dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam
pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah
krusial Bangsa Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh
Sajogyo (1982) dan Dove (1988). Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di
beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif
modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai
akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan
kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan
modernisasi.
Berbagai ulasan tentang modernisasi yang telah disajikan di depan membawa kita pada
pertanyaan akhir yang layak untuk didiskusikan. Modernisasi masih bisakah dipertahankan
sebagai perspektif pembangunan bangsa kita. Modernisasi tentu harus kita oleh lebih jauh lagi
dan tidak menerimanya sebagai teori Tuhan yang berharga mati. Perbaikan-perbaikan konsep
modernisasi yang diselaraskan dengan budaya serta pengetahuan lokal masyarakat akan
menjadi sebuah konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan dan kemanusiaan.