CONTOH Makalah Character Building
CONTOH Makalah Character Building
Kata Pengantar
Ibu Eneng Iviq Hairo Rahayu, S.Psi selaku dosen mata kuliah
Character Building
Rekan-rekan kelas 12.2A.04
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar : .. I
Daftar Isi : .. II
Bab I. Pendahuluan : ..
I.1 Latar Belakang Masalah : .. 1
I.2 Batasan Masalah : .. 2
I.3.Tujuan Penelitian : .. 2
I.4. Manfaat Penelitian : .. 3
I.5.Metode penelitian :.......................................
I.6.Landasan Teori : ..
I.5.1 Konsep Anak : .. 3
I.5.2 Konsep Anak Jalanan : .. 4
I.5.3 Konsep Keluarga : .. 4
Bab II. Pembahasan : .. 5
Bab III. Penutup : .. III
Daftar Pustaka : .. IV
Bab I
Pendahuluan
2. Metode wawancara
Metode ini mengedepankan pengumpulan data dengan cara
melakukan kuisioner ataupun interview kepada object yang di
survei.
Data ke-2
Nama : Sandi
Umur : 14 tahun
Anak ke : 4 dari 6 bersaudara
Asal : Karawang
Pernah bersekolah di : SD Harapan Jaya (tidak tamat)
Pekerjaan orang tua : Pemulung
Pekerjaan : Pengamen
Ketika kami tanya perihal kenapa kalian mengamen, jawaban
mereka cukup sederhana, cari uang untuk makan.
Penyebab utama anak berada di jalan untuk mencari nafkah
tidak lepas dari masalah kemiskinan. "Saya mencari uang sendiri
untuk cari makan dan menyekolahkan adik-adik saya. Adik saya ingin
sekolah semua, ya sudah, kami mencari biaya" kata Bani, pengamen
anak di Bekasi yang berhenti sekolah ketika masih kelas 2 SD.
Anak jalanan ini pada umumnya bekerja pada sektor informal.
Fenomena munculnya anak jalanan ini bukanlah karena adanya
transformasi sistem sosial ekonomi dan masyarakat pertanian ke
masyarakat pra-industri atau karena proses industrialisasi.
Fenomena ini muncul dalam bentuk yang sangat eksploratif bersama
dengan adanya transformasi sosial ekonomi masyarakat
industrialisasi menuju masyarakat yang kapitalistik.
Kaum marjinal ini selanjutnya mengalami distorsi nilai,
diantaranya nilai tentang anak. Anak, dengan demikian bukan hanya
dipandang sebagai beban, tetapi sekaligus dipandang sebagai faktor
ekonomi yang bisa dipakai untuk mengatasi masalah ekonomi
keluarga. Dengan demikian, nilai anak dalam pandangan orang tua
atau keluarga tidak lagi dilihat dalam kacamata pendidikan, tetapi
dalam kepentingan ekonomi. Sementara itu, nilai pendidikan dan
kasih sayang semakin menurun. Anak dimotivasi untuk bekerja dan
menghasilkan uang.
Dalam konteks permasalahan anak jalanan, masalah
kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama timbulnya anak
jalanan ini. Hal ini dapat ditemukan dari latar belakang geografis,
sosial ekonomi anak yang memang datang dari daerah-daerah dan
keluarga miskin di pedesaan maupun kantong kumuh perkotaan.
Namun, mengapa mereka tetap bertahan, dan terus saja
berdatangan sejalan dengan pesatnya laju pembangunan?
Tidak cukup sampai disitu. Lingkungan juga sangat
berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan. Betapa tidak, Bani dan
Sandi yang seharusnya menikmati masa kecilnya dengan bermain
dan bersekolah, kini mereka harus mengais rejeki dengan menjadi
pengamen di jalanan.
Lingkungan juga mempengaruhi mereka dalam hal pendidikan.
Ketika kami Tanya kenapa kalian tidak bersekolah? jawaban
mereka cukup memprihatinkan, gak ada biaya. Kemudian kami
bertanya lagi, sekarang kan ada program sekolah gratis dek, kenapa
gak sekolah? mereka hanya menjawab, boro-boro untuk sekolah
kak, untuk makan aja susah kak.. Padahal Pasal 9 ayat (1) UU no 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan: Setiap anak
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakatnya. Pemenuhan pendidikan itu haruslah
memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental mereka.
Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak
mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa.
Kita tak cukup memberinya makan dan minum saja, atau hanya
melindunginya di sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih
sayang. Kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih,
pendidikan ideal tak mungkin dijalankan. Pendidikan tanpa cinta
seperti nasi tanpa lauk, menjadi kering hambar, tak menarik.
Pendidikan pada hakekatnya bertujuan membentuk karakter anak
menjadi anak yang baik.
Selain itu, mereka juga menuturkan pengalaman mereka ketika
mengarungi hidup menjadi pengamen jalanan. Mereka pernah
digrebeg Satpol PP, bermalam di lapas untuk dikarantinakan.
Kemudian dikirim ke Panti Asuhan untuk dididik. Panti Asuhan yang
seharusnya menjadi tempat berlindung dan belajar bagi mereka,
malah menjadi sebuah tempat yang menakutkan karena di sana
mereka dididik dengan kekerasan. Hal tersebut kami dapat
berdasarkan pengakuan dari mereka sendiri. Jangankan ingin
membela diri, untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib saja
mereka harus berfikir ulang, karena untuk mengurus dan mengusut
kasus tersebut setidaknya mereka harus mengeluarkan dana, dan itu
mustahil bagi mereka. Bisa jadi itu menjadi bumerang untuk mereka
sendiri. Tidak ada jalan lain selain kabur dari tempat yang membuat
jiwa mereka tidak tenang. Bagaimana tidak, untuk keluar dari tempat
tersebut keluarga mereka harus membayar sejumlah uang kepada
pihak Panti Asuhan. Bukan hanya itu, mereka pun harus
menghadapi preman-preman yang setiap saat siap mengancam
keselamatan mereka, ketika mereka kembali ke jalanan.
Mereka anak jalanan adalah anak yang butuh perhatian dan
kasih sayang. Mereka pun berhak mendapatkan perlindungan
selayaknya anak-anak pada umumnya. Tidak seharusnya mereka
dikucilkan, direndahkan, dan tidak dipenuhi akan semua hak-haknya.
Seharusnya mereka itu dirangkul, dididik dan diberikan hak-haknya
untuk dilindungi.
Sebagai manusia yang tengah tumbuh-kembang, anak memiliki
keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan, seperti
kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial. Menurut Maslow, kebutuhan
manusia mencakup:
A. Kebutuhan fisik seperti udara, air, makan, dan lain-lain
B. Kebutuhan rasa aman
C. Kebutuhan untuk saling menyayangi
D. Kebutuhan untuk penghargaan
E. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan tumbuh-kembang.
Padahal menurut UUD 1945, anak terlantar itu dipelihara oleh
negara. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap
pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak
jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada
hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya,
seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi
tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya
secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan
kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan
pilihan pemeliharaan (family environment and alternative care),
kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare),
pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture
activites), dan perlindungan khusus (special protection).
SUSENAS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa salah satu
faktor ketidakberhasilan pembangunan nasional dalam berbagai
bidang itu, antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian
pemerintah dan semua pihak terhadap eksistensi keluarga. Perhatian
dan treatment yang terfokus pada keluarga sebagai basis dan
sistem pemberdayaan yang menjadi pilar utama kehidupan
berbangsa dan bernegara relatif belum menjadi komitmen bersama
dan usaha yang serius dari banyak pihak.
Padahal, masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan
berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan
dalam lingkungan keluarga yang sehat, kuat, cerdas dan berkualitas.
Dengan demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu
adanya penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah
penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak
mereka.
Sebagai contoh, anak jalanan di DKI Jakarta, adalah salah satu
kasus. Berjumlah 31.304 anak, sedangkan Panti Pemerintah yang
memberikan pelayanan sosial terhadap mereka hanya berjumlah 9
panti, yaitu : 4 Panti Balita Terlantar, 4 Panti Anak Jalanan dan 1
Panti Remaja Putus Sekolah. Daya tampung keseluruhannya adalah
2.370 anak. Sementara itu, Panti Sosial Asuhan Anak yang
diselenggarakan masyarakat berjumlah 58 Panti dengan daya
tampung 3.338 anak dan pelayanan sosial kepada anak di luar panti
sebanyak 3.200 anak. Secara akumulatif jumlah yang mendapat
pelayanan Panti dan non-Panti adalah 8.908 anak dan yang belum
tersentuh pelayanan pemerintah maupun organisasi sosial atau LSM
adalah 22.396 anak (Profil Dinas Bina Mental Spiritual dan
Kesejahteraan Sosial Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, 2002).
Persebaran anak jalanan di DKI Jakarta juga cukup merata.
Data yang diterbitkan oleh Dinas Bina Mental Spiritual dan
Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta menyebutkan bahwa setidaknya
ada 18.777 orang anak jalanan di DKI pada tahun 2003 ini.
Data tersebut cukup memperihatinkan kita semua, karena
idealnya sebagai kota percontohan DKI dapat bebas dari masalah
anak jalanan, atau setidak-tidaknya jumlah anak jalanan tergolong
rendah di seluruh propinsi di Indonesia. Selama ini, penanganan
anak jalanan melalui panti-panti asuhan dan rumah singgah dinilai
tidak efektif. Hal ini antara lain terlihat dari pola asuh yang
cenderung konsumtif, tidak produktif karena yang ditangani adalah
anak-anak, sementara keluarga mereka tidak diberdayakan.
Bani dan Sandi hanyalah beberapa anak jalanan yang kita
ketahui latar belakang dan permasalahannya. Mereka hanyalah
segelintir anak-anak yang kurang beruntung jika dibandingkan
dengan kita. Namun demikian, mereka juga punya cita-cita. Bani
yang sangat mengidolakan tokoh pesepak bola terkenal Elloco
Gonzales, dan Sandi yang menggemari pesepak bola terkenal
Bambang Pamungkas, mempunyai cita-cita yang sama, yaitu ingin
menjadi pemain bola sehebat tokoh idola mereka.
Sejauh ini sudah ada lembaga-lembaga yang peduli dengan
anak jalanan. Di antaranya adalah :
1. Rumah Singgah
2. KOPAJA (Komutitas peduli Anak Jalanan)
3. Griya Baca Kota Malang, sebuah Lembaga Pemberdayaan
Anak Jalanan yang inspiratif
4. Komunitas peduli anak yatim dan jalanan, dll
Masalah anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks
yang menjadi masalah kita bersama. Masalah ini tidak dapat
ditangani hanya oleh satu pihak saja melainkan harus ditangani
bersama-sama oleh berbagai pihak yang perduli permasalahan ini
juga dapat diatasi dengan suatu program yang komprehensi dan
tidak akan dapat tertangani secara efektif bila dilaksanakan secara
persial. Dengan demikian kerja sama antara berbagai pihak,
pemerintah, LSM, masa media mutlak diperlu Ketika mereka dewasa,
besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku
kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan
serta menjadikan anak-anak sebagai korban tak berkesudahan.
Menghapus stigmatisasi di atas menjadi sangat penting.
Sebenarnya anak-anak jalanan hanyalah korban dari konflik
keluarga, komunitas jalanan, dan korban kebijakan ekonomi
permerintah yang kurang pandai mengurus rakyat. Untuk itu
kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan
secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di
luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap
anak jalanan.
Sebenarnya anak jalanan tidak berbeda dengan anak yang
lainnya, mereka juga mempunyai potensi dan bakat. Pada masa
anak-anak seperti itu otak yang memuat 100-200 milyar sel otak siap
dikembangkan serta diaktualisasikan untuk mencapai tingkat
perkembangan potensi tertinggi. Pada perkembangan otak manusia
mencapai kapasitas 50 % pada masa anak usia dini. Kita telah
benar-benar mellupakan hak anak-anak untuk bermain, bersekolah,
dan hidup sebagaimana lazimnya anak-anak lainnya. Mereka
dipaksa orang tua untuk merasakan getirnya kehidupan.
Mereka tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan
jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya
kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya
berperilaku negatif. Mengkaitkan kandungan hak-hak anak
sebagaimana yang tercantum dalam KHA dengan realitas yang ada,
maka akan terlihat suatu kesenjangan yang cukup tinggi.
Penghormatan negara atas hak-hak anak jalanan dinilai masih
sangat minim, bahkan pada kebijakan-kebijakan tertentu seperti
razia-razia yang sarat dengan nuansa kekerasan, negara kerapkali
dinilai melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak (jalanan).
Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka memenuhi hak-
hak anak jalanan harus senantiasa ditingkatkan. Hal ini mengingat
anak sebagai aset dan generasi penerus bangsa. Salahsatunya
adalah dengan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak-anak
jalanan. Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan
formal sebagaimana yang dicanangkan pemerintah dalam Gerakan
Wajib Belajar 9 tahun dan tentu saja dengan biaya pendidikan gratis
atau murah bagi anak-anak jalanan yang memiliki keluarga miskin.
Pasal 9 ayat (1) UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak menyebutkan; Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Pemenuhan
pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik
dan mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang
berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda
dengan orang dewasa. Kita tak cukup memberinya makan dan
minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah, karena
anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah fundamen
pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan.
Pendidikan tanpa cinta seperti nasi tanpa lauk,menjadi kering
hambar, tak menarik.
Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan
anak jalanan sangat penting. Secara ringkas fungsi rumah singgah
antara lain :
Sebagai tempat perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan
yang kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan prilaku
penyimpangan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan
lainnya.
Rehabilitasi, yaitu mengembalikan dan menanamkan fungsi
sosial anak.
Sebagai akses terhadap pelayanan, yaitu sebagai
persinggahan sementara anak jalanan dan sekaligus akses
kepada berbagai pelayanan sosial seperti pendidikan,
kesehatan dll. Lokasi rumah singgah harus berada ditengah-
tengah masyarakat agar memudahkan proses pendidikan dini,
penanaman norma dan resosialisasi bagi anak jalanan.
Rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang
bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh
informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses
pembinaan lebih lanjut .rumah singgah didefinisikan sebagai
perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu
mereka. Rumah singgah merupakan proses non formal yang
memberikan suasana pusat resosialisasi anak jalanan terhadap
sistem nilai dan norma di masyarakat. Tujuan dibentuknya rumah
singgah adalah resosialisasi yaitu membentuk kembali sikap dan
prilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku
di masyarakat dan memberikan pendidikan dini untuk pemenuhan
kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi
masyarakat yang produktif.
Penutup
Kesimpulan
Masalah anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks
yang menjadi masalah kita bersama. Masalah ini tidak dapat
ditangani hanya oleh satu pihak saja melainkan harus ditangani
bersama-sama oleh berbagai pihak yang perduli permasalahan ini
juga dapat diatasi dengan suatu program yang komprehensi dan
tidak akan dapat tertangani secara efektif bila dilaksanakan secara
persial. Dengan demikian kerja sama antara berbagai pihak,
pemerintah, LSM, masa media mutlak diperlukan.
Khusus mengenai aspek hukum yang melindungi anak jalanan
yang terpaksa bekerja juga merupakan komponen yang perlu
diperhatikan karena masih lemahnya peraturan dan perundang-
undangan yang mengatur masalah ini.
Saran
Penanggulangan dari masalah di atas dapat dilakukan dengan
pertama: melalui proram aksi langsung. Program ini biasanya
ditujukan kepada kelompok sasarannya yaitu para anak jalanan,
misalnya saja ruamh singgah sebagai tempat pemusatan pendidikan
non-formal, peningkatan pendapatan keluarga, pelayanan kesehata.
Tipe pekerjaan ini biasanya yang dilakukan oleh LSM-LSM. Kedua
adalah program peningkatan kesadaran masyarakat. Aktivitas
program ini untuk menggugah masyarakat untuk mulai tergerak dan
peduli terhadap masalah anak jalanan. Kegiatan ini dapat berupa
penerbitan bulletin, poster, buku-buku, iklan layanan masyarakat di
TV, program pekerja anak di radio dan sebagainya.