Anda di halaman 1dari 36

CASE REPORT SESSION

Tiphoid Fever

Oleh :
Sebastian

Pembimbing:
Nurvita Susanto, dr., Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG

1
2017

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. PRW


Tempat, tanggal lahir : 18 Oktober 2004
Umur : 12 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Ciraden , Desa Jelegong RT4RW17
Pendidikan terakhir : SD
Agama : Islam
Suku bangsa : Sunda
Status perkawinan : Belum menikah
Nama Orangtua : Tn. / Ny. Lilis
Pekerjaan Orangtua : Ibu rumah tangga
Tanggal masuk RS : 06 03 2017
Tanggal Pemeriksaan : 08 03 2017

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Demam


Penderita mengalami panas badan 2 hari sebelum masuk
rumah sakit yang tidak begitu tinggi, terutama pada malam hari.
Keluhan disertai dengan pusing dan mual. Keluhan tidak disertai
batuk pilek, nyeri menelan, sesak napas, napas berbunyi
mengorok maupun mengi. Keluhan juga tidak disertai dengan
nyeri telinga dan keluar cairan dari telinga. Keluhan tidak disertai
dengan mata berair. Keluhan demam tidak disertai bintik bintik
merah, tidak ada keluhan berdarah dari hidung dan gusi. Keluhan
tidak disertai dengan kejang ataupun penurunan kesadaran.
Keluhan tidak disertai dengan rasa panas ketika berkemih. Pasien
juga tidak buang air besar sejak 2 hari SMRS. Ayah pasien
mengatakan untuk mengatasi demam diberikan paracetamol.
Sempat turun, namun suhu kembali naik lagi.
Riwayat kontak dengan penderita batuk lama atau
berdarah tidak ada. Riwayat berat badan sulit naik tidak ada.
Riwayat adanya penderita demam berdarah di lingkungan
tempat tinggal penderita disangkal. Riwayat kelahiran anak lahir
di paraji dengan berat lahir 3 kg serta cukup bulan. Riwayat
imunisasi dikatakan lengkap oleh ayah pasien. Riwayat alergi
tidak ada. Riwayat penyakit terdahulu baru pulang perawatan
dengan diagnosis Tipoid 12 hari yang lalu.
Karena keluhannya pasien dibawa ke IGD RSUD Soreang. (6
Maret 2017)

2
III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, perdarahan (-)


Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital
Tekanan darah: 90/70 mmHg
Nadi : 112 x/menit (Reguler, equal, isi cukup)
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 38o C
Antropometri
Berat badan : 24 kg
Tinggi badan :
BMI :
Status Gizi
TB/U
BMI/U

Kepala
Wajah : Tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva tidak anemis (-/-)
Sklera tidak ikterik (-/-)
Hidung: PCH (-), sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Telinga: tidak ada kelainan, sekret (-/-)
Mulut : lidah kotor, perdarahan gusi (-)
Tonsil : T1 T1 tenang
Faring : tidak hiperemis

Leher
Kelenjar getah bening: tidak teraba membesar
JVP: tidak meningkat
Lain-lain: reaksi suprasternal (-)

Thoraks
Bentuk dan gerak simetris, retraksi tidak ada
JANTUNG :
Inspkesi Iktus Kordis tidak tampak
Palpasi Iktus Kordis teraba di ICS IV linea midklavikularis
sinistra
Auskultasi Bunyi Jantung S1 S2 Murni Reguler, Murmur (-)

PULMO :

3
Inspkesi Bentuk dan Gerak Simetris
Palpasi Vocal Fremitus kanan=kiri
Perkusi dull mulai ICS IV kanan
Auskultasi VBS RH-/- wheezing (-/-)

Abdomen
Datar lembut, Bising usus (+) normal , nyeri tekan di
daerah epigastrium
Pekak samping (-)
Pekak pindah (-)
Hepar : ttm
Lien : ttm

Ekstrimitas
Akral dingin(+/+)
CRT < 2 detik
Akrosianosis (-/-)
Edema pretibial dan dorsum pedis (-/-)
Ptechiae (-/-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah rutin (6-3-2017)

4
Darah rutin (8-3-2017)

Imunoserologi (6-3-2017)

V. DIAGNOSA BANDING
Susp. DBD dengan Syok + Susp Tifoid Relaps
Susp Tifoid Relaps dengan komplikasi

VI. DIAGNOSA KERJA


Susp. DBD dengan syok + Susp. Tifoid Relaps

VII. USULAN PEMERIKSAAN


- IgM dan IgG anti dengue

VIII. TATALAKSANA
Umum:
- Istirahat
- Edukasi orangtua pasien mengenai penyakit pasien
- Edukasi mengenai pencegahan penyakit pasien :
melakukan 3M, abatisasi

Khusus:

5
-Infus RL 10cc/kgBB 240cc/jam
-Periksa Hb, Ht, L, Tr
-Kebutuhan kalori REE x SF ~ 727,16 kkal/hari terdiri dari RL
130cc/jam IV, berikutnya diturunkan bertahap
-Observasi keadaan umum dan tanda vital
-Pct 3x250 mg IV
-Cefotaxim 3x800 mg IV
-Omeprazole 1x24 mg IV
IX. PROGNOSIS

Quo Ad Vitam = Dubia Ad Bonam


Quo Ad Functionam = Dubia Ad Bonam
Quo Ad Sanationam = Dubia Ad Malam

6
I. Pendahuluan
Demam tifoid hingga kini masih menjadi salah satu masalah
kesehatan global dan merupakan problem epidemiologik yang belum
terpecahkan terutama di negara-negara beriklim tropis. Angka kejadian
demam tifoid di seluruh dunia mencapai 13 sampai dengan 17 juta
kasus/tahun, dan mengakibatkan kematian pada sekitar 600 ribu
kasus/tahun. Sebagian besar kasus ini terjadi di negara-negara
berkembang seperti di beberapa negara Asia, Amerika Selatan,
Amerika Tengah, dan Eropa Timur. Kejadian yang tinggi pada negara-
negara tersebut terutama dihubungkan dengan pertumbuhan populasi
penduduk yang sangat cepat, meningkatnya urbanisasi, sanitasi
lingkungan yang buruk terutama berhubungan dengan pembuangan
kotoran manusia, suplai air bersih yang terbatas, dan sistem pelayanan
kesehatan yang kurang memadai.

Di Indonesia, angka kesakitan demam tifoid masih cukup tinggi


dan kasusnya dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyakit ini dapat
menular serta menyebar dengan cepat dan dapat menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Menurut undang-undang
mengenai wabah, demam tifoid termasuk ke dalam kasus yang wajib
dilaporkan namun hingga kini data yang lengkap mengenai demam
tifoid di Indonesia masih belum ada sehingga gambaran
epidemiologinya belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor yang
memegang peranan penting di dalam penyebaran penyakit ini di
Indonesia antara lain faktor higiene dan sanitasi lingkungan yang
belum baik, serta kurangnya pemahaman masyarakat.

Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit


maupun orang sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Infeksi
umumnya disebarkan melalui jalur fekal-oral yang berhubungan
dengan higienis dan sanitasi yang buruk yaitu melalui makanan yang
terkontaminasi kuman yang berasal dari tinja, kemih atau pus yang

7
positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat
berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi
melalui air atau kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus
diusahakan melalui perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan,
proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dan pendidikan kesehatan di
puskesmas dan posyandu.

Oleh karena penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu


Salmonella yang beradaptasi pada manusia maka sebagian besar
kasus dapat ditelusuri pada karier manusia. Penyebab yang terdekat
kemungkinan adalah air (jalur yang paling sering) atau makanan yang
terkontaminasi oleh karier manusia.

Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih
terus mengekskresi Salmonella typhi dalam feses dan urine selama >
1 tahun. Karier menahun umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih
sering pada perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi
sering berdiam di batu empedu, bahkan di bagian dalam batu, dan
secara intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke feses,
sehingga mengkontaminasi air atau makanan.

II. Definisi dan Etiologi


Demam tifoid merupakan infeksi demam sistemik akut yang
disebabkan oleh bakteri patogen enterik Salmonellae typhi. Walaupun
patogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik, namun bersifat
menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinofil.

Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae.


Salmonella berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak
berkapsul dan hampir selalu motil dengan menggunakan flagela
peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih bentuk antigen H. S.
typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica,
subspesies enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen
permukaan yang membantu mengkarakteristikan S. enterica. Antigen

8
yang pertama yaitu antigen O somatik yang terlibat dalam
serogrouping (S. typhi termasuk serogrouping D) dan antigen yang
satu lagi adalah antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan
dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan
resistensi terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain. /
melindungi O antigen terhadap fagositosis.

III. Patogenesis
Manifestasi klinis dari infeksi yang disebabkan oleh S. typhi
bergantung kepada dosis infektif bakteri yang masuk ke dalam tubuh
serta kondisi dari pejamu sendiri seperti keasaman lambung, flora
normal usus, dan daya tahan usus setempat. Bakteri ini biasanya
masuk bersama makanan dan minuman yang terkontaminasi. Dosis
infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinik atau subklinik
adalah 10 3-105 bakteri dengan variasi masa inkubasi antara 3 sampai
60 hari telah dilaporkan ( dengan rata-rata 10-14 hari ). Faktor yang
mempengaruhi patogenitas S. typhi antara lain adalah daya invasinya,
antigen permukaan, endotoksin serta enterotoksin.

Sebagian S. typhi yang tertelan akan dimusnahkan dalam


lambung oleh asam lambung dan sebagian lainnya akan mencapai
usus halus. S. typhi kemudian melakukan penetrasi ke dalam lapisan

9
epitel mukosa, dimana dari sana bakteri ini akan memasuki sistem
limfatik dan kemudian ke dalam aliran darah. Bakteri kemudian akan
sampai di hati, limpa, juga sumsum tulang dan ginjal. S. typhi segera
difagosit oleh sel-sel fagosit mononukleus yang ada di organ tersebut,
di sini bakteri berkembang biak memperbanyak diri.

Gambar : Proses Entry Salmonella spp

Setelah periode multiplikasi intraseluler, bakteri akan dilepaskan


lagi ke dalam aliran darah, terjadilah bakteriemia kedua, pada saat ini
penderita akan mengalami panas tinggi. Bakteriemia ini menyebabkan
dua kejadian kritis yaitu masuknya bakteri ke dalam kandung empedu
dan plaque Peyeri. Bila terjadi reaksi radang yang hebat maka akan
terjadi nekrosis jaringan yang secara klinik ditandai dengan
kholesistitis nekrotikans, dan perdarahan serta perforasi usus.
Masuknya bakteri di kandung empedu dan plaque Peyeri menyebabkan
kultur tinja positif, dan invasi ke dalam kandung empedu dapat
menyebabkan terjadinya karier kronik.

KUMAN

tertelan

10
LAMBUNG

USUS HALUS

SUBMUKOSA USUS

DUKTUS THORAKIKUS/PEREDARAN DARAH

BAKTERIEMIA I

HATI, LIMPA, RES (MULTIPLIKASI)

BAKTERIEMIA II

GEJALA DEMAM TIFOID

Skema Patogenesis Demam Tifoid

Bakteremia yang menetap menjadi penyebab demam yang


menetap pada tifoid klinis, sementara reaksi radang terhadap invasi
jaringan menentukan pola pengungkapan klinis (kolesistitis,
perdarahan usus atau perforasi). Dengan invasi kelenjar empedu dan
Plaque Peyeri, kuman kembali masuk ke dalam lumen usus, dan dapat
ditemukan pada biakan feses pada awal minggu kedua penyakit klinis.

Bakteriemi I (1-7 hari)

Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (10 6-
109) masuk ke dalam tubuh manusia melalui esofagus, kuman

11
masuk ke dalam lambung dan sebagian lagi kuman masuk ke dalam
usus halus Di usus halus, kuman mencapai jaringan limfoid plaque
peyeri di ileum terminalis yang sudah mengalami hipertrofi (ditempat
ini sering terjadi perdarahan dan perforasi) Kuman menembus
lamina propia, kemudian masuk ke dalam aliran limfe dan mencapai
kelenjar mesenterial yang mengalami hipertrofi melalui ductus
thoracicus, sebagian kuman masuk ke dalam aliran darah yang
menimbulkan bakteriemi I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus,
dan masuk kembali ke dalam hati.

Bakteriemi II (6 hari 6 minggu)

Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian lagi masuk ke


dalam hati kuman ditangkap dan bersarang di bagian RES : plaque
peyeri di ileum terminalis, hati, lien, bagian lain sistem RES
kemudian masuk kembali ke aliran darah menimbulkan bakteriemia
II dan menyebar ke seluruh tubuh.

Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam


tifoid adalah disebabkan oleh endotoksin Salmonella typhi yang
berperan pada patogenesis demam tifoid karena Salmonella typhi
membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat
Salmonella typhi berkembang biak dan endotoksin Salmonella typhi
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang.

Pertumbuhan dalam ginjal menyebabkan biakan urin positif, tetapi


dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada biakan darah yang positif.
Endotoksin liposakarida pada S. typhi dapat menyebabkan demam,
leukopenia dan gejala sistemik lain, tetapi kejadian gejala ini pada
individu yang dibuat toleran terhadap endotoksin menunjang peranan
untuk faktor lain, seperti sitokin yang dilepaskan dari fagosit
mononuklear yang terinfeksi, yang dapat memperantarai peradangan.

12
Demam Tifoid

Masa inkubasi 7 20 hari

Penularan penyakit Perlahan lahan

Demam Lambat, kemudian tetap tinggi,


dengan stadium tifoid

Gejala gejala gastrointestinal Permulaan sering konstipasi,


kemudian diare berdarah

Biakan darah 90 % positif dalam minggu 1 -2


sakit

Turun menjadi 50 % pada minggu


ke-3

Biakan tinja Positif mulai akhir minggu ke-2,


negatif pada minggu ke-1 (60-
70% kasus)

IV. Patofisiologi
Pada dasarnya tifus abdominalis merupakan penyakit sistem
retikuloendotelial yang menunjukkan diri terutama pada jaringan
limfoid usus, limpa, hati, dan sumsum tulang. Di usus, jaringan limfoid
terletak di antemesenterial pada dindingnya, dan dinamai Plaque
Payeri.

13
14
Usus yang terserang tifus umumnya
ileum terminal / distal, tetapi terkadang bagian lain usus halus dan kolon
proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I). Pada permulaaan Plaque Payeri
penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrat
atau hiperplasia di mukosa usus. Pada akhir minggu pertama infeksi
terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini lebih besar di ileum daripada di kolon
sesuai dengan ukuran Plaque Payeri yang ada disana. Kebanyakan
tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan
perdarahan. Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa. Setelah
penderita sembuh biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan jaringan
parut dan fibrosis.
Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar
limfe mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan
melunak. Limpa biasanya juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan
proliferasi sel polimorfonuklear dan mengalami nekrosis fokal. Jaringan
sistem lain hampir selalu terlibat. Kandung empedu selalu terinfeksi dan
bakteri hidup dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita dapat
tetap mengandung bakteri dan

Penderita menjadi pembawa kuman.

Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni


bakteri. Itu sebabnya pada minggu pertama ditemukan kumannya dalam
air kemih. Bila sembuh, penderita menjadi pembawa kuman yang
menularkan lewat kemihnya. Parotitis dan orkitis kadang ditemukan,
sedangkan bronkititis hampir selalu ada dan kadang terjadi pneumonia.
Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus abdominalis lebih
sering terjadi sekunder oleh infeksi pneumokokus.

Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan


gambaran miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat
(bradikardia relatif) akibat miokarditis tersebut. Vena sering mengalami
trombosis terutama v. femoralis, v. safena dan sinus di otak. Otot lurik
dapat mengalami degenerasi Zenker berupa hilangnya striae
transversales disertai pembengkakan otot.

Otot yang sering terserang adalah otot diafragma, m.rektus abdomis


dan otot paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot pada penderita.
Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptura spontan disertai
perdarahan lokal. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan abses di otot
bersangkutan.

Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis


itu dapat berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena
adalah tibia, sternum, iga dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid
sering didapat gambaran piogenik disertai adanya basil tifus yang dapat
hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang ditunjukkan dengan gambaran
leukopenia disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan eosinofil dan
bertambahnya sel mononuklear.

V. Manifestasi Klinis
VI. Pemeriksaan Penunjang
VII. Diagnosis
VIII. Diagnosis Banding
IX. Penatalaksanaan
Pengobatan demam Tifoid terdiri atas 3 bagian, yaitu :
1. Perawatan
2. Diet
3. Obat
1. Perawatan

Pasien demam Tifoid perlu dirawat dii rumah sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Tirah baring
bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau
perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien.

Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah


ubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia
hipostatik dan dekubitus.

2. Diet

Telah terbukti bahwa tidak ada gangguan absorbsi dan digesti saluran
cerna, walaupun kelainan terletak di saluran cerna tetapi fungsi digesti
dan absorbsi masih normal. Dengan demikian dianjurkan pemberian
makanan kaya energi dan protein, vitamin, mineral, dengan rendah serat,
dan mudah dicerna. Sejak saat itu, sekarang digunakan diet demam
tifoid/tipes diet (TD) sebagai berikut:

Mula-mula pada saat demam diberikan makanan cair (TD I), kemudian
setelah panas turun, secara bertahap diberi diet yang lebih padat yaitu
bubur saring (TD II) selama 6-10 hari panas turun, kemudian diberi bubur
kasar (TD III) selama 2-5 hari, makanan lunak (TD IV) selama 2-5 hari dan
akhirnya diberi nasi. Tipes diet ini sama dengan diet lambung I, II, III, IV
yang diberikan untuk penyakit saluran cerna, secara berangsur-angsur
akan memenuhi gizi normal. Diet ini disebut diet klasik.

Bila akan menyusun makanan seorang anak, biasanya yang kita


hitung adalah jumlah kalori dan protein yang akan diberikan. Bila hal ini
telah tercapai, dengan sendirinya kebutuhan akan lemak dan karbohidrat
juga sudah memenuhi syarat yang dikehendaki. Menurut beberapa hasil
penyelidikan, dengan pemberian diet cair dan padat pada penderita
demam tifoid secara statistik penyulit yang terjadi tidak berarti.

Makanan yang masuk ke dalam rongga mulut sampai ke usus halus


akan mengalami proses pencernaan dengan maksud memecah makanan
menjadi bagian-bagian kecil yang lebih sederhana supaya proses
selanjutnya dapat berlangsung. Proses pencernaan tersebut berupa
pengunyahan dan penelanan, gerakan peristaltik dinding usus akan
mendorong makanan dan mencampurkannya dengan getah pencernaan.
Sedangkan kerja kimiawi adalah kerja enzim yang dihasilkan dari kelenjar
pada didnding dan sekitar alat pencernaan. Dari hasil kerja tersebut, maka
makanan setelah berada dalam usus hlus sudah menjadi bagian yang
lebih sederhana yang siap diserap oleh dinding usus ke dalam pembuluh
darah dan pembuluh limfe dengan perantara proses fisikokimia.

Diet tinggi kalori dan tinggi protein sangat diperlukan dalam diet
untuk demam tifoid, untuk mengganti kehilangan kalori dan mengganti
protein jaringan yang rusak. Diet cair dan bubur sering sukar ditambah
kalorinya tanpa menambah jumlahnya. Sedangkan jumlah yang banyak
sering mengakibatkan penderita tidak dapat menghabiskan makanan
yang disediakan. Diet padat/nasi lebih mudah menambah kalorinya tanpa
menambah jumlahnya. Penderita tidak merasa bosan karena mudah
membuat variasinya. Pemberian makanan padat pada penderita demam
tifoid pada kenyataannya tanpa memberikan efek penyulit yang berarti.
Tetapi harus tetap diingat bahwa memberikan ketenangan pada usus yang
menderita sakit sangat diperlukan. Memberikan makanan yang berlebihan
serta makanan yang banyak mengandung serat yang sukar dicerna tidak
dianjurkan.

Dalam tatalaksana diet penderita demam tifoid, pemberian makanan


tergantung dari keadaan penderita, ada yang lebih menyukai pemberian
dini makanan padat dan ada yang tidak.

Diet Cair/Klasik
Pada waktu masih dalam keadaan akut/panas tinggi diberikan TD I
sampai 1-2 hari panas hilang. Kemudian diberikan TD II sampai dengan
6-10 hari panas hilang. Setelah itu diberikan TD III 2-5 hari kemudian,
sebelum pulang diberikan TD IV selama 2-5 hari.

Keuntungan pemberian TD I ini mudah dicerna dan dapat diberikan


pada demam tifoid berat (keadaan toksis). Bila penderita mau makan,
diberikan peroral dan bila tidak, dapat melalui sonde. Diet diberikan
berupa susu atau bubur susu dalam porsi kecil dan sering (6 kali).

Kerugian pada TD I:

Rasanya tidak sesuai dengan selera makan dan sangat


membosankan

Mengandung kalori, besi, tiamin, vitamin C yang kurang


Diet ini sukar ditambah kalorinya tanpa menambah
jumlahnya, sedangkan jumlah yang banyak sering mengakibatkan
penderita tidak dapat menghabiskan makanan yang disediakan
terutama pada anak
Diet ini sering menambah obstipasi pada penderita oleh
karena
sangat sedikit mengandung serat.

TD II diberikan setelah bebas panas 2 hari, mengandung protein


dan kalori lebih tinggi, diberikan juga setiap 3 jam dalam bentuk saring
dan cincang. Makanan TD II: bubur saring, bubur tepung, susu, telur
setengah matang, sayur saring, sari pepaya, puding. Diet ini juga
kurang memenuhi selera.

TD III diberikan bila demam tifoid sudah tenang (6-10 hari bebas
panas). Makanan berbentuk lunak. Diberikan juga dalam porsi kecil 6
kali/hari. Makanan berupa tim dan bubur beras, cukup mengandung
kalori dan protein.

TD IV diberikan pada demam tifoid hampir sembuh. Makanan


diberikan dalam bentuk nasi lembek dengan rendah selulosa. Makanan
ini mengandung cukup kalori dan semua zat-zat gizi.

Diet Halus
Diet ini diberikan pada penderita demam tifoid dengan panas tinggi
yang tidak toksis. Pada waktu fase akut langsung diberikan TD II
sampai dengan 1-2 hari panas hilang, kemudian secara bertahap diet
berubah menjadi normal sesuai dengan diet klasik.

Keuntungannya:

Nilai gizi yang diberikan mengandung kadar gizi yang lebih


tinggi daripada TD I dan juga rasanya lebih enak.
Kerugiannya:

Tidak dapat diberikan pada penderita yang toksis


Kurang memenuhi selera

Diet Lunak
Pada waktu masuk rumah sakit, penderita langsung diberikan TD III
sampai dengan 8-12 hari panas turun, kemudian diberikan TD IV

Keuntungannya:

Selain mengandung kadar gizi yang lebih tinggi, rasanya pun


lebih memadai, diharapkan nafsu makan penerita lebih baik
sehingga penyembuhan lebih cepat.
Kerugiannya:

Tidak dapat diberikan pada penderita yang toksis


Makanan yang disajikan berupa roti kering, telur ayam, teh manis,
bubur susu, bubur beras, daging cincang, sayur dan pepaya.

Diet Nasi Rendah Selulosa


Pada waktu masuk rumah sakit, penderita langsung diberi diet ini (TD
IV) sampai penderita pulang. Hanya dapat diberikan pada pasien yang
tidak toksis.

Keuntungannya:

Diet ini lebih memenuhi selera makan dan mengandung semua


zat yang diperlukan, dan mudah membuatnya.
Beberapa peneliti memberikan diet ini dengan hasil penyulit yang
terjadi secara statistik tidak berbeda dengan diet cair.

3. Obat

Obat yang Digunakan

Kloramfenikol dan penisilin masih tetap merupakan pilihan pertama untuk


penderita demam tifoid, yang mana pasien biasanya menjadi tidak panas
dalam 3-5 hari.

Kloramfenikol
Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat sintesis protein
bakteri dan mempunyai efek yang kecil terhadap fungsi metabolisme
lainnya, bersifat bakteriostatik dan kadang-kadang bakterisid pada
konsentrasi obat yang tinggi. Pada umumnya bakteri Gram-negatif
dihambat oleh konsentrasi 2-5 g/ml. Penderita yang mendapat
pengobatan dengan kloramfenikol memperlihatkan efek terapinya
setelah beberapa jam pemberian, berupa hilangnya kuman Salmonella
dari darah. Perbaikan klinis sering merupakan bukti dalam 48 jam dan
panas serta tanda-tanda lainnya penyakit akan hilang dalam 3-5 hari
pengobatan. Kepustakaan lain menyatakan 7 hari, tetapi pengobatan
tetap dilanjutkan minimal 10-14 hari, atau dilanjutkan 5-7 hari setelah
ada perbaikan.

Dosis kloramfenikol yang digunakan pada penderita demam tifoid


sangat bervariasi, dosis mulai dari 30-50 mg/kgBB/hari sampai 50-100
mg/kgBB/hari (maksimum 2 gr/hari) dibagi 4 dosis selama 14-21 hari.
Di Bagian Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung digunakan
100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10-14 hari. Untuk neonatus (<
2 minggu) dapat diberikan 25 mg/kgBB/hari. Pengobatan umumnya
secara oral, pada kasus yang berat diberikan secara intravena. Untuk
anak malnutrisi, pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Pengobatan
dengan kloramfenikol, kemungkinan relaps lebih tinggi dan tidak
mencegah berkembangnya karier kronik. Sampai saat ini kloramfenikol
masih merupakan pilihan pertama karena murah dan mudah didapat.

Anemia aplastik sebagai akibat kloramfenikol jarang terjadi,


kejadiannya satu di antara 24000-40000 penderita yang memakai
kloramfenikol. Dari hasil penelitian di Cina tahun 1957, didapatkan
lebih dari 30 kasus yang tercatat dengan ANLL dihubungkam dengan
penggunaan kloramfenikol. Periode dari sejak pertama kali obat
diminum sampai terjadinya anemia berkisar dari 2 bulan sampai 8
tahun.

Pemberian kloramfenikol pada neonatus dapat menyebabkan sindrom


Grey disertai muntah, flatulensi, hipotermia, syok, serta adanya kolaps.
Adapun larangan pemberian kloramfenikol ditujukan pada anak dengan
kolelitiasis dan atau disfungsi kandung empedu.

Tiamfenikol
Tiamfenikol merupakan bentuk penyempurnaan dari kloramfenikol
dengan struktur yang sama, sejak 10 tahun terakhir ini mulai banyak
digunakan terutama di negara Eropa tetapi tidak beredar di Amerika.
Tiamfenikol mempunyai daya penetrasi yang lebih baik sehingga
mencapai kadar bakterisid yang lebih baik pula. Untuk pengobatan
demam tifoid dapat digunakan dosis 50 mg/kgBB/hari pada minggu
pertama lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis separuhnya.
Dibandingkan dengan kloramfenikol, tiamfenikol mempunyai risiko
lebih rendah untuk terjadinya anemia aplastik.

Ampisilin dan Amoksisilin


Ampisilin dan amoksisilin merupakan antibiotik yang berspektrum luas
dan termasuk golongan antibiotik penisilin. Antibiotik ini mempunyai
mekanisme kerja antibakteri berupa kerusakan dinding sel bakteri
dengan menghambat sintesis peptidoglikan yang terdapat pada
dinding sel. Ampisilin stabil dalam asam dan lebih aktif terhadap
bakteri Gram-negatif, sedangkan amoksisilin serupa dengan ampisilin
tetapi absorbsinya lebih baik dan memberikan kadar darah yang lebih
tinggi.
Ampisilin memberikan respons klinis yang lebih lambat dengan
kegagalan pengobatan dan kejadian relaps masih lebih banyak bila
dibandingkan degnan kloramfenikol. Panas akan turun dan gejala klinis
membaik dalam waktu 3-5 hari pengobatan. Pemberian per oral 100-
200 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis, selama 2 minggu (maksimum 8
gr/hari). Amoksisilin digunakan sebagai alternatif pengobatan bila
ditemukan resistensi terhadap kloramfenikol. Sama baiknya dengan
kloramfenikol, merupakan alternatif terpilih untuk demam tifoid, tanpa
karier dan angka relaps 2%. Dosis amoksisilin adalah 40-100
mg/kgBB/hari, diberikan 3 kali selama 20-24 hari, untuk penderita yang
resisten terhadap kloramfenikol, untuk karier kronik dapat diberikan
dosis tinggi secara intravena. Ampisilin dan amoksisilin merupakan
obat yang kurang mempunyai toksisitas langsung, kebanyakan efek
samping berat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas. Reaksi alergi
dapat berupa syok anafilaksis, urtikaria, panas, pembengkakan sendi,
pruritus hebat, dan gangguan pernapasan, serta berbagai ruam kulit
lainnya. Sedangkan reaksi toksisitas disebabkan oleh iritasi langsung
karena suntikan i.m. atau i.v. dalam konsentrasi yang sangat tinggi
berupa nyeri setempat, indurasi, tromboplebitis, atau degenerasi saraf
yang disuntik secara tidak sengaja. Pemberian dosis besar per oral
dapat menyebabkan gangguan saluran pencernaan terutama mual,
muntah dan diare.

Trimetoprim dan Sulfametoksazol


Trimetoprim adalah sebuah antimetabolit yang mempengaruhi sintesis
asam folat, sebuah penghambat dihidrofolat reduktase yang sangat
selektif pada organisme rendah menghambat asam dihidrofolat
reduktase pada bakteri. Sulfametoksazol dapat diberikan baik secara
oral ataupun intravena. Trimetoprim terabsorbsi baik dari usus serta
terdistribusi luas dalam cairan tubuh dan jaringan. Trimetoprim dan
sulfametoksazol masing-masing mempunyai sifat sebagai
bakteriostatik, tetapi apabila dikombinasi akan bersifat bakterisida.
Dalam tahun 1986, kombinasi trimetoprim sulfametoksazol tampil
sebagai obat terpilih untuk demam tifoid, terutama digunakan pada
penderita yang alergi atau adanya dugaan kuat kuman S. typhi resisten
terhadap kedua obat tersebut (ampisilin dan kloramfenikol).

Respon penggunaan obat trimetoprim dan sulfametoksazol tidak


sebaik respons terhadap ampisilin dan kloramfenikol, tetapi dapat
menghasilkan banyak perbaikan klinis yang cepat walaupun tetap lebih
lambat bila dibandingkan dengan kloramfenikol.

Dosis peroral yang digunakan untuk TMP 10-12 mg/kgBB/hari dan SMZ
50-60 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis atau TMP 185 mg/m 2/hari dan SMZ
925 mg/m2/hari, dibagi 2 dosis dua kali sehari selama 14 hari.

Pemberian TMP-SMZ secara intravena, memerlukan 125 ml cairan


pelarut untuk 80 TMP. Anak yang menerima antibiotik ini secara
intravena harus hati-hati dengan memonitor pemasukan cairan.

Pengobatan kurang dari 14 hari akan meninggalkan risiko relaps.


Relaps tampaknya jarang terjadi pada pengobatan TMP-SMZ
dibandingkan dengan kloramfenikol. Trimetoprim-sulfametoksazol
dapat memberikan efek samping berupa efek obat anti folat, terutama
anemia megaloblastik, leukopenia, dan granulositopenia. Hal ini dapat
dicegah dengan pemberian asam folinat secara bersamaan 6-8
mg/hari. Di samping itu kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol dapat
menyebabkan semua reaksi yang tidak diharapkan dan berhubungan
dengan sulfonamid. Kadang-kadang juga timbul mual dan muntah,
panas, vaskulitis, kerusakan ginjal atau gangguan susunan saraf.

Golongan Sefalosporin
Multi drug resistant Salmonella typhi (MDRST) adalah istilah yang
diberikan pada kuman Salmonella typhi yang resisten terhadap tiga
antibiotik oral pilihan pertama, yaitu kloramfenikol, ampisilin, dan
trimetoprim-sulfametoksazol. Dari laporan resistensi terhadap
kloramfenikol, wabah besar pertama demam tifoid yang disebabkan
oleh kuman MDRST telah terjadi di Meksiko tahun 1972. sejak itu
terdapat banyak kejadian wabah di seluhur belahan dunia, MDRST
telah muncul sebagai masalah yang utama di Asia Selatan. Masalah ini
juga didukung oleh sejumlah kasus MDRST yang terjadi pada anak
dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi dibandingkan
kuman yang sensitif terhadap obat. Baru-baru ini generasi ke-3
sefalosporin telah dipertimbangkan sebagai obat utama pada MDRST
pada anak dengan hasil memuaskan (>90%).

Di bawah ini akan dibahas beberapa obat-obatan dari golongan


sefalosporin yang digunakan dalam pengobatan MDRST. Sefalosporin
merupakan antibiotik yang menyerupai penisilin, tetapi resisten
terhadap beta-laktamase serta aktif terhadap bakteri Gram-positif
maupun Gram-negatif.

Mekanisme kerja sefalosporin analog dengan yang diterangkan untuk


penisilin, yaitu menghambat sintesis peptidoglikan pada dinding sel
bakteri. Penggunaan sefalosporin pada demam tifoid dimulai pada
generasi ke-3 sehubungan dengan sifatnya yang lebih aktif untuk
melawan bakteri Gram-negatif. Seftriakson, sefotaksim, sefiksim, dan
sefoperason adalah yang sering digunakan sebagai alternatif
pengobatan pada MDRST, yang mana keberhasilannya mencapai lebih
dari 90% serta angka relaps 0-48.

Lama pengobatan dengan sefalosporin generasi ke-3 masih


kontroversial, banyak yang menganjurkan 7-10 hari atau minimal 3 hari
setelah ada tanda-tanda perbaikan. Hasil suatu penelitian mengatakan
bahwa penggunaan sefiksim peroral sama efektifnya dengan
penggunaan seftriakson intravena. Efek samping penggunaan
sefalosporin berupa nyeri hebat setelah suntikan intramuskular dan
tromboflebitis setelah suntikan intravena berulang. Reaksi toksik
lainnya meliputi anafilaksis, urtikaria, ruam kulit, panas, eosinofilia,
granulositopenia, dan anemia hemolitik. Pemberian peroral dapat
menimbulkan diare, mual, muntah, dan peningkatan SGOT. Sedangkan
reaksi alergi dapat berupa anakfilasis. Sefalosporin terutama diekskresi
oleh filtrasi glomerulus dan diekskresi tubulus ke dalam urin yang
mana kadarnya dapat mencapai 200-2000 ug/ml. Obat penghambat
tubulus (misalnya probenesid) dapat sangat meningkatkan kadar
serum. Pada gagal ginjal, dosis harus diturunkan karena ekskresi
sefalosporin mungkin jelas akan terganggu serta kadar jaringan dan
cairan yang tinggi dapat menimbulkan efek toksik.
Aztreonam
Aztreonam merupakan antibiotik beta-laktam selain golongan penisilin
ataupun sefalosporin yang mempunyai efek terhadap Salmonella typhi.
Aztreonam mempunyai aktivitas antimikroba seperti antibiotik beta-
laktam, mengikat protein pengikat penisilin, merusak sintesis dinding
sel bakteri, dan menyebabkan kematian kuman, sangat resisten
terhadap hidrolisis oleh kebanyakan beta-laktamase. Antibiotik ini
mempunyai aktivitas yang luar biasa secara invitro terhadap kuman
aerob dan anaerob Gram-negatif. Dari hasil penelitian, aztreonam
tampaknya memuaskan sebagai obat alternatif pada penderita demam
tifoid atau kasus resisten terhadap kloramfenikol atau bila penggunaan
kloramfenikol merupakan kontraindikasi. Aztreonam juga digunakan
bila ditemukan penderita dengan riwayat alergi terhadap penggunaan
obat penisilin atau sefalosporin.

Hasil penelitian didapatkan lama perawatan dan penurunan tanda-


tanda klinis terjadi secara bersama-sama, tidak ditemukan adanya
relaps. Leukopenia yang berat dan neutropenia yang berat telah
diobservasi pada satu pasien yang diobati dengan aztreonam. Dari
hasil penelitian dengan dosis 150 mg/kgBB/hari pada anak demam
tifoid, aztreonam memperlihatkan lama pengobatan yang sama
dengan kloramfenikol. Perbaikan klinis terjadi dalam waktu yang sama
pula. Kultur darah didapatkan hasil steril dalam waktu yang sama
setelah pengobatan.

Quionolon
Quinolon adalah antimikroba sintesis yang merupakan derivat dari
asam piridonkarboksilat. Efek bakterisidal diperoleh dengan cara
menghambat aktivitas enzim DNA girase. Spektrum antibiotiknya
sangat besar, meliputi kuman Gram-positif dan negatif, termasuk
kuman yang telah resisten terhadap antibiotik golongan beta-laktam
dan aminoglikosida. Quinolon dapat diberikan peroral dan
didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan kecuali otak.
Mekanisme resistensi obat quinolon pada suatu populasi kuman masih
sulit untuk diterangkan. Quinolon telah digunakan pada penderita
dengan keadaan karier Salmonella typhi. Efek samping yang terjadi
akibat penggunaan obat ini adalah rendah berupa mual, muntah,
anoreksia, rasa tidak enak, nyeri gastrointestinal, dan diare; efek pada
sistem saraf dapat berupa nyeri kepala, mabuk, gangguan tidur; efek
pada sistem sirkulasi bisa berupa hipotensi, reaksi hipersensitivitas.
Sedangkan kontraindikasi pemberian quinolon adalah untuk penderita
yang hipersensitif terhadap quinolon, lesi pada sistem saraf,
anak/remaja yang sedang tubuh, dan wanita hamil.

Dari hasil penelitian terhadap penderita demam tifoid, didapatkan data


bahwa quinolon memiliki daya hambat yang luar biasa terhadap kuman
Salmonella typhi. Pengobatan selama 7 hari didapatkan penurunan
demam dalam 2-7 hari (kloramfenikol 2-6 hari), serta terbukti efektif
dalam mengobati penderita yang kambuh setelah pengobatan
kloramfenikol. Dosis pada dewasa diberikan antara 2x200 mg sampai
3x300 mg yang mana tidak seorang pun mengalami relaps atau
kekambuhan, sehingga obat ini merupakan salah satu obat alternatif
yang baik pada pengobatan demam tifoid dan sekaligus dapat
mencegah penularan lebih lanjut dari penyakit ini di kalangan
masyarakat.

X. Komplikasi dan Penyulit


1. Komplikasi Intestinal

- Perdarahan usus (bila gawat harus dilakukan pembedahan

- Perforasi usus (harus dilakukan pembedahan)

- Ileus paralitik

2. Komplikasi Ekstra-Intestinal

1. Darah : Anemia hemolitik, trombositopenia, DIC, Sindroma


uremia

hemolitik
2. Kadiovaskular : Syok septik, miokarditis, trombosis,
tromboflebitis

3. Paru-paru : Empiema, pneumonia, pleuritis, bronkhitis

4. Hati dan kandung empedu : Hepatitis, kholesistitis

5. Ginjal : Glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis

6. Tulang : Osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis

7. Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis


perifer,

encephalopaty, Sindrome Guillian Barre,


psikosis,

impairment of coordination, sindroma katatonia.

Komplikasi pada tifoid dapat dikelompokkan dalam komplikasi yang


langsung akibat gangguan pada sistem retikuloendotelial dan komplikasi
tak langsung karena adanya bakteremia.

Komplikasi yang langsung berupa perdarahan dan perforasi tukak di


ileum, kolesistitis akut dan kronik, hepatitis tifosa, osteomielitis dan
perdarahan pada otot yang rusak karena toksin kuman tifoid. Kerusakan
otot dapat menyebabkan abses terutama di otot paha dan otot perut.
Peradangan di jaringan limfe usus halus sering menyebabkan ileus
paralitik. Osteomielitis biasanya menyerang tibia, sternum, iga dan tulang
belakang.

Sekitar 1-5% pasien demam tifoid akan karier yang kronis dan
asimptomatik. Pada orang-orang ini, S. typhi dapat keluar baik melalui urin
ataupun tinja selama lebih dari 1 tahun. Kejadian karier kronis lebih tinggi
pada wanita dan pada orang-orang dengan kelainan bilier (seperti batu
empedu, karsinoma kandung empedu) dan keganasan gastrointestinal.

Komplikasi lanjut, yang terjadi pada minggu ke-3 dan ke-4, paling
sering terjadi pada orang dewasa yang tidak diobati. Komplikasi ini dapat
berupa perforasi intestinal dan/atau perdarahan gastrointestinal. Kedua
komplikasi tersebut dapat mengancam keselamatan jiwa penderita dan
membutuhkan intervensi medis dan bedah secepatnya.

Perdarahan tukak tifus ditemukan pada kira-kira 5 % penderita,


sedangkan perforasi pada 3% dengan mortalitas tinggi. Komplikasi ini
biasanya terjadi pada minggu kedua atau ketiga. Beberapa keadaan
ternyata disertai dengan resiko tinggi terjadinya perdarahan dan perforasi,
yaitu kadar albumin serum yang rendah (< 2,5 gr%) yang menunjukkan
gizi kurang, kadar obat yang tidak memadai, banyak gerak, diet padat
yang diberikan lebih dini, dan keadaan penyakit berat, misalnya demam
lebih dari tiga minggu. Pada keadaan toksik kesadaran menurun dan
bradikardia relatif yang berubah menjadi takikardia merupakan tanda
buruk yang mengarah ke syok toksik disertai miokarditis.

Untuk mengurangi kemungkinan komplikasi perdarahan dan/atau


perforasi usus, penderita dianjurkan mendapatkan diet cukup dan lunak
sampai demam hilang sama sekali. Penderita pun harus membatasi
geraknya. Obat antitifus perlu diberikan secara tepat dengan dosis yang
memadai dan diminum secara teratur.

Gejala yang harus dicurigai sebagai tanda awal perforasi adalah


tekanan sistolik yang menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik,
nyeri perut dan defens muskuler akibat rangsangan peritoneum. Diagnosis
perforasi acap sukar ditegakkan karena penderita sudah letargik dan
somnolen. Perut yang kembung dan tegang menyebabkan adanya
rangsangan peritoneum tak jelas. Perdarahan usus sering tampil sebagai
anemia. Pada perdarahan hebat mungkin terjadi syok hipovolemik.
Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar. Indikasi laparotomi
didasarkan atas jumlah perdarahan. Pada perforasi akut, sebaliknya
keadaan pasien tampak baik, tanda klasik dari perforasi muncul bila
ditekan, tetapi keadaan umum pasien akan menurun dengan cepat. Pasien
biasanya respon terhadap pengobatan konservatif dibandingkan dengan
operasi. Pengobatan yang konservatif yaitu dengan kloramfenikol, aspirasi
gastrik yang bersamaan dengan cairan dan elektrolit. Jika perforasi
intestin dioperasi, angka kematiannya akan lebih tinggi.

Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak
distensi, bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati
menjadi timpani. Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah
dan ampulanya kosong. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah
dan kurva suhu-denyut nadi menunjukkan tanda salib maut. Pemeriksaan
radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, sering
disertai gambaran ileus paralitik.

Penyulit tak langsung berupa infeksi fokal yang dapat terjadi pada
setiap organ. Infeksi fokal ini antara lain berupa tromboflebitis di
v.femoralis, v.safena maupun sinus otak, juga berupa nefritis, orkitis,
parotitis dan bronkitis yang mudah berlanjut menjadi pneumonia yang
mungkin disusul empiem. Meningitis biasanya merupakan lanjutan
tromboflebitis di sinus otak.

Penyulit lain dari demam tifoid adalah terjadinya relaps. Umumnya


relaps ditandai dengan timbulnya kembali keluhan serta gejala dari
demam tifoid disertai bakteriemia dan kelainan patologik di traktus
intestinal. Suhu meninggi kembali dan mencapai puncak lebih cepat yaitu
pada hari ke-2 atau ke-3. Relaps biasanya terjadi pada hari ke 7-10 setelah
afebril, ada juga yang terjadi 3 minggu setelah afebril dan ada pula yang
relaps setelah 3 bulan obat kloramfenikol dihentikan. Limpa yang tetap
teraba adalah gejala penting dari kecenderungan terjadinya relaps.
Perjalanan relaps pada umumnya lebih ringan tapi kadangkala dapat
menjadi fatal.

Komplikasi lain seperti pankreatitis, abses hepatik dan lien,


endokarditis, perikarditis, orchitis, hepatitis typhosa, meningitis, nefritis,
miokarditis, pneumonia, arthritis, osteomielitis, dan parotitis, jarang terjadi
dan terjadi dan insidensinya dapat dikurangi dengan pengobatan
antibiotik yang tepat
XI. Pencegahan

Secara umum untuk memperkecil kemungkinan tercemar


Salmonella typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas
makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam
air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C beberapa menit atau dengan
proses iodinisasi/klorinisasi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan


secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan
endemisitas suatu negara atau daerah bergantung pada baik buruknya
pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat
kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat
membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
Vaksin Demam Tifoid

Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam


tifoid yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan
komponen Vi dari Salmonella Typhi.

1) Vaksin demam tifoid oral


Vaksin ini dibuat dari kuman Salmonella typhi jalur non patogen
yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin ini hanya mengalami
sedikit siklus pembelahan dalam usus dan dieliminasi dalam waktu
3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral,
respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum
efektivitasnya sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi
dengan pemanasan, tetapi vaksin oral ini reaksi sampingnya lebih
rendah. Vaksin ini dalam perdagangan dikenal sebagai Ty-21a.
Penyimpanan pada suhu 2C-8C.
Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih.
Cara pemberian tiap hari ke 1, 3, dan 5 ditelan 1 kapsul vaksin 1
jam sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37C.
Kapsul ke-4 pada hari ke-7 terutama bagi turis.
Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dipecahkan karena
kuman dapat dimatikan oleh asam lambung.
Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik,
sulfonamid, atau antimalaria yang aktif terhadap salmonella
Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari
interferon mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda
dua minggu setelah pemberian terakhir dari vaksin tifus ini.
Imunisasi ulangan : tiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus
terekspos dengan infeksi tifus sebaiknya diberikan 3-4 kapsul tiap
beberapa tahun. Jika vaksin tifus oral ini digunakan untuk booster
dari vaksin parenteral yang kumannya dimatikan dengan
pemanasan, maka dianjurkan pemberian lengkap dengan
pemanasan.
2) Vaksin polisakarida parenteral
Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman
Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer
yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium
fosfat dan pelarut untuk suntikan.
Penyimpanan pada suhu 2C-8C, jangan dibekukan.
Kadaluwarsa dalam 3 tahun.
Pemberian secara suntikan intramuskular atau subkutan pada
daerah deltoid atau paha.
Imunisasi ulangan tiap 3 tahun.
Reaksi samping lokal berupa bengkak, nyeri, kemerahan ditempat
suntikan. Reaksi sistemik berupa demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut jarang dijumpai. Sangat
jarang bisa terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit dan
urtikaria
Kontrandikasi : alergi terhadap bahan dalam vaksin, juga pada saat
demam, penyakit akut maupun penyakit kronik progresif.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, RE; Vaughan, VC: Nelson Textbook of Pediatrics. WB Saunders


Philadelphia 2002, Hal. 540

Braunwald, Eugene, MD., et al. 2004. Harrisons Principles of Internal


Medicine 16th Edition. New York : McGraw Hill Medical Publishing
Division.Shils,

Darmowandoyo W. Demam Tifoid. Dalam: Soedarmo SS, Garna H,


Hadinegoro SR, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan
Penyakit Tropis edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002. Hal 367-
75.

Jawetz, Melnick&Adelberg. Salmonella. Mikrobiologi Kedokteran Edisi


20.Jakarta: EGC, 1996. Hal 237, 243-247.

Juwono R. Demam Tifoid. Dalam: Soeparman, ed.. Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 1998. hal 32-8.

Rampengan TH. Demam Tifoid. Dalam: I.G.N. Ranuh, Hariyono Suyitno, Sri
Rezeki S Hadinegoro, Cissy B.Kartasasmita. Pedoman Imunisasi Di
Indonesia edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2005. Hal 136-139.

Rampengan TH, Laurentz IR. 1993. Penyakit infeksi tropik pada anak.
Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sjamsuhidayat, R. de Jong, Wim. 1997. Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 35-39

Anda mungkin juga menyukai