Tiphoid Fever
Oleh :
Sebastian
Pembimbing:
Nurvita Susanto, dr., Sp.A
1
2017
I. IDENTITAS PASIEN
II. ANAMNESIS
2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
Wajah : Tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva tidak anemis (-/-)
Sklera tidak ikterik (-/-)
Hidung: PCH (-), sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Telinga: tidak ada kelainan, sekret (-/-)
Mulut : lidah kotor, perdarahan gusi (-)
Tonsil : T1 T1 tenang
Faring : tidak hiperemis
Leher
Kelenjar getah bening: tidak teraba membesar
JVP: tidak meningkat
Lain-lain: reaksi suprasternal (-)
Thoraks
Bentuk dan gerak simetris, retraksi tidak ada
JANTUNG :
Inspkesi Iktus Kordis tidak tampak
Palpasi Iktus Kordis teraba di ICS IV linea midklavikularis
sinistra
Auskultasi Bunyi Jantung S1 S2 Murni Reguler, Murmur (-)
PULMO :
3
Inspkesi Bentuk dan Gerak Simetris
Palpasi Vocal Fremitus kanan=kiri
Perkusi dull mulai ICS IV kanan
Auskultasi VBS RH-/- wheezing (-/-)
Abdomen
Datar lembut, Bising usus (+) normal , nyeri tekan di
daerah epigastrium
Pekak samping (-)
Pekak pindah (-)
Hepar : ttm
Lien : ttm
Ekstrimitas
Akral dingin(+/+)
CRT < 2 detik
Akrosianosis (-/-)
Edema pretibial dan dorsum pedis (-/-)
Ptechiae (-/-)
4
Darah rutin (8-3-2017)
Imunoserologi (6-3-2017)
V. DIAGNOSA BANDING
Susp. DBD dengan Syok + Susp Tifoid Relaps
Susp Tifoid Relaps dengan komplikasi
VIII. TATALAKSANA
Umum:
- Istirahat
- Edukasi orangtua pasien mengenai penyakit pasien
- Edukasi mengenai pencegahan penyakit pasien :
melakukan 3M, abatisasi
Khusus:
5
-Infus RL 10cc/kgBB 240cc/jam
-Periksa Hb, Ht, L, Tr
-Kebutuhan kalori REE x SF ~ 727,16 kkal/hari terdiri dari RL
130cc/jam IV, berikutnya diturunkan bertahap
-Observasi keadaan umum dan tanda vital
-Pct 3x250 mg IV
-Cefotaxim 3x800 mg IV
-Omeprazole 1x24 mg IV
IX. PROGNOSIS
6
I. Pendahuluan
Demam tifoid hingga kini masih menjadi salah satu masalah
kesehatan global dan merupakan problem epidemiologik yang belum
terpecahkan terutama di negara-negara beriklim tropis. Angka kejadian
demam tifoid di seluruh dunia mencapai 13 sampai dengan 17 juta
kasus/tahun, dan mengakibatkan kematian pada sekitar 600 ribu
kasus/tahun. Sebagian besar kasus ini terjadi di negara-negara
berkembang seperti di beberapa negara Asia, Amerika Selatan,
Amerika Tengah, dan Eropa Timur. Kejadian yang tinggi pada negara-
negara tersebut terutama dihubungkan dengan pertumbuhan populasi
penduduk yang sangat cepat, meningkatnya urbanisasi, sanitasi
lingkungan yang buruk terutama berhubungan dengan pembuangan
kotoran manusia, suplai air bersih yang terbatas, dan sistem pelayanan
kesehatan yang kurang memadai.
7
positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat
berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi
melalui air atau kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus
diusahakan melalui perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan,
proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dan pendidikan kesehatan di
puskesmas dan posyandu.
Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih
terus mengekskresi Salmonella typhi dalam feses dan urine selama >
1 tahun. Karier menahun umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih
sering pada perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi
sering berdiam di batu empedu, bahkan di bagian dalam batu, dan
secara intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke feses,
sehingga mengkontaminasi air atau makanan.
8
yang pertama yaitu antigen O somatik yang terlibat dalam
serogrouping (S. typhi termasuk serogrouping D) dan antigen yang
satu lagi adalah antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan
dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan
resistensi terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain. /
melindungi O antigen terhadap fagositosis.
III. Patogenesis
Manifestasi klinis dari infeksi yang disebabkan oleh S. typhi
bergantung kepada dosis infektif bakteri yang masuk ke dalam tubuh
serta kondisi dari pejamu sendiri seperti keasaman lambung, flora
normal usus, dan daya tahan usus setempat. Bakteri ini biasanya
masuk bersama makanan dan minuman yang terkontaminasi. Dosis
infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinik atau subklinik
adalah 10 3-105 bakteri dengan variasi masa inkubasi antara 3 sampai
60 hari telah dilaporkan ( dengan rata-rata 10-14 hari ). Faktor yang
mempengaruhi patogenitas S. typhi antara lain adalah daya invasinya,
antigen permukaan, endotoksin serta enterotoksin.
9
epitel mukosa, dimana dari sana bakteri ini akan memasuki sistem
limfatik dan kemudian ke dalam aliran darah. Bakteri kemudian akan
sampai di hati, limpa, juga sumsum tulang dan ginjal. S. typhi segera
difagosit oleh sel-sel fagosit mononukleus yang ada di organ tersebut,
di sini bakteri berkembang biak memperbanyak diri.
KUMAN
tertelan
10
LAMBUNG
USUS HALUS
SUBMUKOSA USUS
BAKTERIEMIA I
BAKTERIEMIA II
Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (10 6-
109) masuk ke dalam tubuh manusia melalui esofagus, kuman
11
masuk ke dalam lambung dan sebagian lagi kuman masuk ke dalam
usus halus Di usus halus, kuman mencapai jaringan limfoid plaque
peyeri di ileum terminalis yang sudah mengalami hipertrofi (ditempat
ini sering terjadi perdarahan dan perforasi) Kuman menembus
lamina propia, kemudian masuk ke dalam aliran limfe dan mencapai
kelenjar mesenterial yang mengalami hipertrofi melalui ductus
thoracicus, sebagian kuman masuk ke dalam aliran darah yang
menimbulkan bakteriemi I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus,
dan masuk kembali ke dalam hati.
12
Demam Tifoid
IV. Patofisiologi
Pada dasarnya tifus abdominalis merupakan penyakit sistem
retikuloendotelial yang menunjukkan diri terutama pada jaringan
limfoid usus, limpa, hati, dan sumsum tulang. Di usus, jaringan limfoid
terletak di antemesenterial pada dindingnya, dan dinamai Plaque
Payeri.
13
14
Usus yang terserang tifus umumnya
ileum terminal / distal, tetapi terkadang bagian lain usus halus dan kolon
proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I). Pada permulaaan Plaque Payeri
penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrat
atau hiperplasia di mukosa usus. Pada akhir minggu pertama infeksi
terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini lebih besar di ileum daripada di kolon
sesuai dengan ukuran Plaque Payeri yang ada disana. Kebanyakan
tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan
perdarahan. Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa. Setelah
penderita sembuh biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan jaringan
parut dan fibrosis.
Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar
limfe mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan
melunak. Limpa biasanya juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan
proliferasi sel polimorfonuklear dan mengalami nekrosis fokal. Jaringan
sistem lain hampir selalu terlibat. Kandung empedu selalu terinfeksi dan
bakteri hidup dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita dapat
tetap mengandung bakteri dan
V. Manifestasi Klinis
VI. Pemeriksaan Penunjang
VII. Diagnosis
VIII. Diagnosis Banding
IX. Penatalaksanaan
Pengobatan demam Tifoid terdiri atas 3 bagian, yaitu :
1. Perawatan
2. Diet
3. Obat
1. Perawatan
Pasien demam Tifoid perlu dirawat dii rumah sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Tirah baring
bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau
perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien.
2. Diet
Telah terbukti bahwa tidak ada gangguan absorbsi dan digesti saluran
cerna, walaupun kelainan terletak di saluran cerna tetapi fungsi digesti
dan absorbsi masih normal. Dengan demikian dianjurkan pemberian
makanan kaya energi dan protein, vitamin, mineral, dengan rendah serat,
dan mudah dicerna. Sejak saat itu, sekarang digunakan diet demam
tifoid/tipes diet (TD) sebagai berikut:
Mula-mula pada saat demam diberikan makanan cair (TD I), kemudian
setelah panas turun, secara bertahap diberi diet yang lebih padat yaitu
bubur saring (TD II) selama 6-10 hari panas turun, kemudian diberi bubur
kasar (TD III) selama 2-5 hari, makanan lunak (TD IV) selama 2-5 hari dan
akhirnya diberi nasi. Tipes diet ini sama dengan diet lambung I, II, III, IV
yang diberikan untuk penyakit saluran cerna, secara berangsur-angsur
akan memenuhi gizi normal. Diet ini disebut diet klasik.
Diet tinggi kalori dan tinggi protein sangat diperlukan dalam diet
untuk demam tifoid, untuk mengganti kehilangan kalori dan mengganti
protein jaringan yang rusak. Diet cair dan bubur sering sukar ditambah
kalorinya tanpa menambah jumlahnya. Sedangkan jumlah yang banyak
sering mengakibatkan penderita tidak dapat menghabiskan makanan
yang disediakan. Diet padat/nasi lebih mudah menambah kalorinya tanpa
menambah jumlahnya. Penderita tidak merasa bosan karena mudah
membuat variasinya. Pemberian makanan padat pada penderita demam
tifoid pada kenyataannya tanpa memberikan efek penyulit yang berarti.
Tetapi harus tetap diingat bahwa memberikan ketenangan pada usus yang
menderita sakit sangat diperlukan. Memberikan makanan yang berlebihan
serta makanan yang banyak mengandung serat yang sukar dicerna tidak
dianjurkan.
Diet Cair/Klasik
Pada waktu masih dalam keadaan akut/panas tinggi diberikan TD I
sampai 1-2 hari panas hilang. Kemudian diberikan TD II sampai dengan
6-10 hari panas hilang. Setelah itu diberikan TD III 2-5 hari kemudian,
sebelum pulang diberikan TD IV selama 2-5 hari.
Kerugian pada TD I:
TD III diberikan bila demam tifoid sudah tenang (6-10 hari bebas
panas). Makanan berbentuk lunak. Diberikan juga dalam porsi kecil 6
kali/hari. Makanan berupa tim dan bubur beras, cukup mengandung
kalori dan protein.
Diet Halus
Diet ini diberikan pada penderita demam tifoid dengan panas tinggi
yang tidak toksis. Pada waktu fase akut langsung diberikan TD II
sampai dengan 1-2 hari panas hilang, kemudian secara bertahap diet
berubah menjadi normal sesuai dengan diet klasik.
Keuntungannya:
Diet Lunak
Pada waktu masuk rumah sakit, penderita langsung diberikan TD III
sampai dengan 8-12 hari panas turun, kemudian diberikan TD IV
Keuntungannya:
Keuntungannya:
3. Obat
Kloramfenikol
Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat sintesis protein
bakteri dan mempunyai efek yang kecil terhadap fungsi metabolisme
lainnya, bersifat bakteriostatik dan kadang-kadang bakterisid pada
konsentrasi obat yang tinggi. Pada umumnya bakteri Gram-negatif
dihambat oleh konsentrasi 2-5 g/ml. Penderita yang mendapat
pengobatan dengan kloramfenikol memperlihatkan efek terapinya
setelah beberapa jam pemberian, berupa hilangnya kuman Salmonella
dari darah. Perbaikan klinis sering merupakan bukti dalam 48 jam dan
panas serta tanda-tanda lainnya penyakit akan hilang dalam 3-5 hari
pengobatan. Kepustakaan lain menyatakan 7 hari, tetapi pengobatan
tetap dilanjutkan minimal 10-14 hari, atau dilanjutkan 5-7 hari setelah
ada perbaikan.
Tiamfenikol
Tiamfenikol merupakan bentuk penyempurnaan dari kloramfenikol
dengan struktur yang sama, sejak 10 tahun terakhir ini mulai banyak
digunakan terutama di negara Eropa tetapi tidak beredar di Amerika.
Tiamfenikol mempunyai daya penetrasi yang lebih baik sehingga
mencapai kadar bakterisid yang lebih baik pula. Untuk pengobatan
demam tifoid dapat digunakan dosis 50 mg/kgBB/hari pada minggu
pertama lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis separuhnya.
Dibandingkan dengan kloramfenikol, tiamfenikol mempunyai risiko
lebih rendah untuk terjadinya anemia aplastik.
Dosis peroral yang digunakan untuk TMP 10-12 mg/kgBB/hari dan SMZ
50-60 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis atau TMP 185 mg/m 2/hari dan SMZ
925 mg/m2/hari, dibagi 2 dosis dua kali sehari selama 14 hari.
Golongan Sefalosporin
Multi drug resistant Salmonella typhi (MDRST) adalah istilah yang
diberikan pada kuman Salmonella typhi yang resisten terhadap tiga
antibiotik oral pilihan pertama, yaitu kloramfenikol, ampisilin, dan
trimetoprim-sulfametoksazol. Dari laporan resistensi terhadap
kloramfenikol, wabah besar pertama demam tifoid yang disebabkan
oleh kuman MDRST telah terjadi di Meksiko tahun 1972. sejak itu
terdapat banyak kejadian wabah di seluhur belahan dunia, MDRST
telah muncul sebagai masalah yang utama di Asia Selatan. Masalah ini
juga didukung oleh sejumlah kasus MDRST yang terjadi pada anak
dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi dibandingkan
kuman yang sensitif terhadap obat. Baru-baru ini generasi ke-3
sefalosporin telah dipertimbangkan sebagai obat utama pada MDRST
pada anak dengan hasil memuaskan (>90%).
Quionolon
Quinolon adalah antimikroba sintesis yang merupakan derivat dari
asam piridonkarboksilat. Efek bakterisidal diperoleh dengan cara
menghambat aktivitas enzim DNA girase. Spektrum antibiotiknya
sangat besar, meliputi kuman Gram-positif dan negatif, termasuk
kuman yang telah resisten terhadap antibiotik golongan beta-laktam
dan aminoglikosida. Quinolon dapat diberikan peroral dan
didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan kecuali otak.
Mekanisme resistensi obat quinolon pada suatu populasi kuman masih
sulit untuk diterangkan. Quinolon telah digunakan pada penderita
dengan keadaan karier Salmonella typhi. Efek samping yang terjadi
akibat penggunaan obat ini adalah rendah berupa mual, muntah,
anoreksia, rasa tidak enak, nyeri gastrointestinal, dan diare; efek pada
sistem saraf dapat berupa nyeri kepala, mabuk, gangguan tidur; efek
pada sistem sirkulasi bisa berupa hipotensi, reaksi hipersensitivitas.
Sedangkan kontraindikasi pemberian quinolon adalah untuk penderita
yang hipersensitif terhadap quinolon, lesi pada sistem saraf,
anak/remaja yang sedang tubuh, dan wanita hamil.
- Ileus paralitik
2. Komplikasi Ekstra-Intestinal
hemolitik
2. Kadiovaskular : Syok septik, miokarditis, trombosis,
tromboflebitis
Sekitar 1-5% pasien demam tifoid akan karier yang kronis dan
asimptomatik. Pada orang-orang ini, S. typhi dapat keluar baik melalui urin
ataupun tinja selama lebih dari 1 tahun. Kejadian karier kronis lebih tinggi
pada wanita dan pada orang-orang dengan kelainan bilier (seperti batu
empedu, karsinoma kandung empedu) dan keganasan gastrointestinal.
Komplikasi lanjut, yang terjadi pada minggu ke-3 dan ke-4, paling
sering terjadi pada orang dewasa yang tidak diobati. Komplikasi ini dapat
berupa perforasi intestinal dan/atau perdarahan gastrointestinal. Kedua
komplikasi tersebut dapat mengancam keselamatan jiwa penderita dan
membutuhkan intervensi medis dan bedah secepatnya.
Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak
distensi, bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati
menjadi timpani. Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah
dan ampulanya kosong. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah
dan kurva suhu-denyut nadi menunjukkan tanda salib maut. Pemeriksaan
radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, sering
disertai gambaran ileus paralitik.
Penyulit tak langsung berupa infeksi fokal yang dapat terjadi pada
setiap organ. Infeksi fokal ini antara lain berupa tromboflebitis di
v.femoralis, v.safena maupun sinus otak, juga berupa nefritis, orkitis,
parotitis dan bronkitis yang mudah berlanjut menjadi pneumonia yang
mungkin disusul empiem. Meningitis biasanya merupakan lanjutan
tromboflebitis di sinus otak.
DAFTAR PUSTAKA
Juwono R. Demam Tifoid. Dalam: Soeparman, ed.. Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 1998. hal 32-8.
Rampengan TH. Demam Tifoid. Dalam: I.G.N. Ranuh, Hariyono Suyitno, Sri
Rezeki S Hadinegoro, Cissy B.Kartasasmita. Pedoman Imunisasi Di
Indonesia edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2005. Hal 136-139.
Rampengan TH, Laurentz IR. 1993. Penyakit infeksi tropik pada anak.
Jakarta :