Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

DEMAM THYPOID

Pembimbing :
dr. Argo Pribadi, Sp.A

Disusun oleh :
Ahmad Naji Karsanaputra
1102012011

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


RS Umum dr. Dradjat Prawiranegara Serang
Periode Februari April 2017
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas
rahmat dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul Demam
Thypoid. Penulisan laporan kasus ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam
menempuh kepanitraan klinik di bagian departemen ilmu kesehatan anak di RSUD dr. Drajat
Prawiranegara.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dorongan banyak pihak. Maka dari itu, perkenankanlah penulis menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama
kepada dr. Argo Pribadi, Sp.A yang telah memberikan arahan serta bimbingan ditengah
kesibukan dan padatnya aktivitas beliau.
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna mengingat
keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan presentasi kasus ini. Akhir kata penulis
berharap penulisan presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

Serang, April 2017

Penulis

2
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Umur : 7 tahun 7 bulan 9 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir :
Agama : Islam
Alamat : Dahu Tengah Cikande, Serang
Tanggal Masuk RS : 20 Maret 2017
Ruang Rawat : Flamboyan 2

IDENTITAS ORANG TUA


Data orang tua Ibu Ayah
Nama Ny. N Tn. D
Umur 39 tahun 39 tahun
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Security
Pendidikan Tamat SMA Tamat SMA
Agama Islam
Islam

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada tanggal 21/3/2015 pukul
10.00 WIB
a. Keluhan Utama :
Demam
b. Keluhan Tambahan :
Nyeri ulu hati, mual, lemas, nyeri punggung
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSDP Serang di antar oleh orang tuanya, pada tanggal 20/03/17
pukul 01.00 WIB. dengan keluhan demam sejak 9 hari SMRS. Pasien mengatakan panas
badan yang awalnya tidak begitu tinggi, semakin lama semakin tinggi, terutama pada

3
malam hari dan menurun menjelang pagi hari. Keluhan ini disertai nyeri kepala, nyeri ulu
hati, mual dan muntah selama 2 hari SMRS. Setiap diisi makanan pasien muntah. Muntah
sebanyak 4x/hari berisi sisa makanan dan air sebanyak segelas aqua. Pasien juga belum
BAB sejak 4 hari SMRS. Nafsu makan pasien menurun. Tidak ada keluhan nyeri saat
BAK. Keluhan tidak disertai dengan batuk pilek, nyeri menelan, sesak, kejang, bintik-
bintik merah, perdarahan gusi, mimisan, dan penurunan kesadaran.
Karena keluhannya pasien dibawa oleh ayahnya ke klinik, namun belum ada
perbaikan sehingga dibawa ke RSDP Serang.
Riwayat kontak dengan penderita batuk lama disangkal. Riwayat berat badan sulit
naik disangkal. Riwayat adanya penderita demam berdarah di lungkungan tempat tinggal
penderita disangkal. Riwayat berpergian kedaerah endemis disangkal.

d. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama dan dirawat sebelumnya.
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa seperti pasien.
f. Riwayat Sosial dan Lingkungan :
Pasien tinggal di lingkungan yang jarang penduduk, jarak dari 1 rumah ke rumah yang
lainya sekitar 50meter, rumah pasien terbuat dari dinding yang terbuat dari semen, dan
terdiri dari 3 ruang, yakni ruang tamu bersamaan dengan dapur, Kamari tidur dan kamar
mandi. Terdapat 3 ventilasi diruang tamu dan 2 ventilasi diruang kamar. Sumber air
berasal dari air tanah dan kebiasaan menutup tempat penampungan air, mengubur barang
barang bekas dan menguras bak mandi rutin dilakukan oleh keluarga pasien.
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Pasien adalah anak ke 2, Lahir secara spontan normal di tolong oleh bidan dengan usia
kehamilan 9 bulan, BBL : 2,2 Kg, dan langsung menangis
h. Riwayat Imunisasi

Hep BO : (+)
BCG, Polio 1 : (+)
DPT, HIB1, Polio2 : (+)
DPT, HIB2, Polio3 : (+)
DPT, HIB3, Polio4 : (+)

4
Campak : (+)

i. Riwayat Tumbuh Kembang


Tumbuh kembang pasien sesuai dengan sebayanya
Motorik kasar: Pertama kali berjalan usia 9 bulan
Bahasa: Pasien dapat menoleh saat dipanggil namanya saat usia 7 bulan
Motorik halus: Pasien dapat menggenggam objek saat sekitar usia 4 bulan
Kemandirian sosial: Pasien telah bersekolah kelas 2 SD

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital : Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Heart Rate : 104 x/menit, reguler, teraba kuat.
Respiration Rate : 26x/menit
Suhu : 38,9 c (axilla)
Berat Badan : 23 kg
Lingkar Kepala : 51cm
Panjang Badan : 125 cm
Status gizi : BMI for age : -1 < SD < 0 (Gizi baik)

STATUS GENERALIS
- Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak mudah dicabut
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-), Mata cekung (-/-)
- Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), secret (-/-)
- Mulut : Lidah dan bibir kering (-) perioral sianosis (-) coated tongue (-)
- Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
- Thorak : Simetris, retraksi ()
- Cor : Bunyi jantung I & II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
- Pulmo : Suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
- Abdomen : BU (+), Supel, Nyeri tekan abdomen (+), tidak teraba adanya massa
atau pembesaran organ
- Kulit : Turgor kembali cepat
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2, Sianosis (-)

IV. DIAGNOSIS
Suspek Demam Thypoid
V. DIAGNOSIS TAMBAHAN

5
Tidak ada
VI. DIAGNOSIS BANDING
Gastroenteritis akut e.c bakteri
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah pada tanggal 20/03/2017 pukul 18;58

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Hemoglobin 13,80 g/dL 10,80 15,60
Leukosit 6.760 /L 4.400 11.000
Hematokrit 41,40 % 33,00 45,00
Trombosit 105.000 /L 150.000 440.000
GDS 109 mg/dL 60-100

Pemeriksaan darah pada tanggal 21/03/2017 pukul 12:35

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Hemoglobin 13,30 g/dL 10,80 15,60
Leukosit 7.600 /L 4.400 11.000
Hematokrit 39,60 % 33,00 45,00
Trombosit 106.000 /L 150.000 440.000

Pemeriksaan Feses pada tanggal 21/03/17 pukul 10:34

MAKROSKOPIS HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Warna Coklat Coklat
Bau Khas Khas
Darah -/neg Negative
Konsistensi Lembek Padat / lunak
Lendir -/neg Negative
MIKROSKOPIS
Leukosit 0-1 /LPB 02
Eritrosit -/neg /LPB Negative
Makrofag -/neg
Sisa Makanan +/pos /LPB Positif
Telur Cacing -/neg /LPB Negative
Amuba -/neg /LPB Negative
Amilum +/pos Negative
Lemak +/pos /LPB Negative

6
Pemeriksaan Urine pada tanggal 21/03/17 pukul 10:34

MAKROSKOPIS HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Jernih Jernih
Berat jenis 1.020 1.015-1.035
Ph 6 4.50 8.00
Albumin -/neg Negative
Glukosa -/neg Negative
Keton -/neg Negative
Bilirubin -/neg Negative
Darah samar -/neg Negative
Nitrit -/neg Negative
Urobilinogen Normal Normal
SEDIMEN
Leukosit 1-2 /LPB 1.00 - 4.00
Eritrosit 0-1 /LPB 01
Epitel +/pos Sel +
Silinder -/neg /LPK Negative
Kristal -/neg Negative
Bakteri +/pos Negative
Jamur -/neg Negative

Hasil pemeriksaan Serologi 21/03/17 11.15

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Salmonella Ag O/Tubex + scala 6 <4

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN

Pemeriksaan kultur dan resistensi

7
IX. PENATALAKSANAAN
IVFD RL 1560 cc/24 jam 20 tpm
Inj Ceftriaxon 1x1.5 gr iv drip Nacl 0.9 %
Inj Ranitidine 2x20 mg iv
Inj. Ondansentron 3x2mg iv
Paracetamol 3x 250 tab (po)
Non Medikamentosa
Tirah Baring
Diet Lunak, Rendah Serat (TD II)
Observasi tanda vital

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad Bonam
Quo ad funtionam : ad Bonam
Quo ad sanationam : ad Bonam

XI. FOLLOW UP

Tanggal Jam Follow Up Terapi/Tindakan Medik


20-03-17 18.45 S/ Demam (+), lemas +, BAB + P/ Periksa H2TL, GDS
O/ KU: Sedang
Kesadaran: Composmentis IVFD RL 1200 cc/24 jam
HR: 80 x/menit 15 tpm
TD: 100/60 mmHg Inj Ceftriaxon 1x1.5 gr iv
RR: 30 x/menit
T: 37,90C drip Nacl 0.9 %
BB: 23 kg Inj Ranitidine 2x20 mg iv
Inj. Ondansetron 3x2mg

8
Kepala: Normocephale iv
Mata: CA -/-, SI -/- Paracetamol 3x 250 tab
Leher: Pembesaran KGB (-)
Thorax: SSD, retraksi -
Pulmo: Ves +/+, wh -/-, rh +/
+
Cor: S1S2 reg, m (-), g (-) Hematologi (18.58)
Abdomen: BU (+), nyeri ulu Hemoglobin : 13,80 g/dl
hati (+)
Eks: Akral hangat, CRT < Leukosit : 6.760/l
2, edema -/- Hematokrit : 41,4%
A/ suspek demam thypoid
Trombosit : 105.000/l
GDS : 109 g/dl

21/03/17 12.00 S/ Demam(+), muntah- P/Periksa H2TL, Feses rutin dan


O/ KU: Sedang
Urine rutin
Kesadaran: Composmentis
HR: 112 x/menit IVFD RL 1200 cc/24 jam
TD: 100/60 mmHg
RR: 22 x/menit 15 tpm
T: 38.10C Inj Ceftriaxon 1x1.5 gr iv
BB: 23 kg drip Nacl 0.9 %
Kepala: Normocephale Inj Ranitidine 2x20 mg iv
Mata: CA -/-, SI -/-
Paracetamol 3x 250 tab
Leher: Pembesaran KGB (-)
Thorax: SSD, retraksi - Hematologi (12.35)
Pulmo: Ves +/+, wh -/-, rh +/
Hemoglobin : 13,30 g/dl
+
Cor: S1S2 reg, m (-), g (-) Leukosit : 7.600/l
Abdomen: BU (+), nyeri ulu Hematokrit : 39.6%
hati(-) Trombosit : 106.000/l
Eks: Akral hangat, CRT <
2, edema -/-
A/ Demam thypoid Feses rutin : pada mikroskopis
ditemukan hasil + amilum dan
lemak

9
Urine rutin : ditemukan bakteri +
Uji tubex: >6
Diit:
Makan lunak 3x sehari

22/03/17
09.45 S/ Demam (-),perut kembung(-)
O/ KU: Sedang P/
Kesadaran: Composmentis
Terapi: IVFD RL 1200
HR: 112 x/menit
TD: 90/60 mmHg cc/24 jam 15 tpm
RR: 24 x/menit Inj Ceftriaxon 1x1.5 gr iv
T: 37,10C
BB: 23 kg drip Nacl 0.9 %
Kepala: Normocephale Inj Ranitidine 2x20 mg iv
Mata: CA -/-, SI -/- Syr Paracetamol 3x2 cth
Leher: Pembesaran KGB (-)
Thorax: SSD, retraksi - Diit:
Pulmo: Ves +/+, wh -/-, rh +/ Makan lunak 3x sehari
+
Cor: S1S2 reg, m (-), g (-)
Abdomen: BU (+),nyeri
abdomen(-)
Eks: Akral hangat, CRT <
2, edema -/-
A/ Demam thypoid

23/03/17 10.30 S/ Demam (-), perut kembung-, P/ Boleh pulang


BAB +, muntah - Cefixime 2x1 cth
O/ KU: Sedang
Kesadaran: Composmentis
HR: 82 x/menit
TD: 100/70 mmHg
RR: 26 x/menit
T: 36,80C
BB: 23 kg
Kepala: Normocephale
Mata: CA -/-, SI -/-
Leher: Pembesaran KGB (-)

10
Thorax: SSD, retraksi -
Pulmo: Ves +/+, wh -/-, rh +/
+
Cor: S1S2 reg, m (-), g (-)
Abdomen: BU (+),nyeri
abdomen(-)
Eks: Akral hangat, CRT < 2
A/ Demam Typhoid

RESUME

Anamnesis

Pasien datang ke IGD RSDP Serang di antar oleh orang tuanya dengan keluhan
demam sejak 9 hari SMRS. Pasien mengatakan panas badan yang awalnya tidak begitu
tinggi, semakin lama semakin tinggi, terutama pada malam hari dan menurun menjelang
pagi hari. Keluhan ini disertai nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah selama 2 hari
SMRS. Setiap diisi makanan pasien muntah. Muntah sebanyak 4x/hari berisi sisa
makanan dan air sebanyak segelas aqua. Pasien juga belum BAB sejak 4 hari SMRS.
Nafsu makan pasien menurun. Tidak ada keluhan nyeri saat BAK. Keluhan tidak disertai
dengan batuk pilek, nyeri menelan, sesak, kejang, bintik-bintik merah, perdarahan gusi,
mimisan, dan penurunan kesadaran.

Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang


Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital : Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Heart Rate : 104 x/menit, reguler, teraba kuat.
Respiration Rate : 26x/menit
Suhu : 38,9 c (axilla)
Berat Badan : 23 kg
Lingkar Kepala : 51cm
Panjang Badan : 125 cm
Status gizi : BMI for age : -1 < SD < 0 (Gizi baik)

11
STATUS GENERALIS
o Kepala : Normocephal
o Wajah : SI -/-, CA -/-, Edema Palpebra -/-
o Mata : Konjungtiva anemis (-/-)
o Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), secret (-/-) Mulut kering (-)
o Mulut : Bibir kering (-) perioral sianosis (-)
o Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
o Thorak : Simetris, retraksi
o Cor : Bunyi jantung I & II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
o Pulmo : Suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
o Abdomen : BU (+), Datar, turgor kembali cepat , nyeri ulu hati(+)
o Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2, edema -/-

Pemeriksaan Penunjang
Terlampir

ANALISA KASUS
1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?
Anamnesis :
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 9 hari SMRS. Pasien mengatakan
panas badan yang awalnya tidak begitu tinggi, semakin lama semakin tinggi,
terutama pada malam hari dan menurun menjelang pagi hari.
Keluhan disertai nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah selama 2 hari
SMRS.
Pasien juga belum BAB sejak 4 hari SMRS.
Ibu pasien mengatakan pasien jarang makan dan ibu pasien dirumah jarang
memasak. Pasien sering jajan sembarang dan jarang mencuci tangan seblum
makan.
Pemeriksaan Fisik :

KU : Tampak sakit sedang

KS : Composmentis
Tanda-tanda vital : Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Heart Rate : 104 x/menit, reguler, teraba kuat.
Respiration Rate : 26x/menit

12
Suhu : 38,9 c (axilla)
Abdomen : datar, soepel, BU (+), NT (+), hepar-lien tidak teraba

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan


2. A
Salmonella Ag O/Tubex + scala 6 <4
p
akah penatalaksanaannya sudah tepat?
Medikamentosa

IVFD RL 1560 cc/24 jam 21 tpm


Inj Ceftriaxon 1x1.5 gr iv drip Nacl 0.9 %
Inj Ranitidine 2x0 mg iv
Inj. Ondansentron 3x1.5 mg iv
Paracetamol 3x 250 tab (po)
Non Medikamentosa
Tirah Baring
Diet Lunak, Rendah Serat (TD II)
Obs. Tanda Vital

Kebutuhan cairan pada anak ini adalah :


BB = 29 kg
10 kg pertama = 100cc x 10 kg = 1000 cc/24 jam
10 kg kedua = 50cc x 10 kg = 500 cc/24 jam
10 kg ketiga = 20cc x 3 kg = 60 cc/24 jam
Total kebutuhan cairan = 1560cc/24jam 24 gtt/menit (makro)
Dosis paracetamol 10-15mg/kgBB, maka dosis untuk anak ini 230-345mg/kali..

Ceftriaxon pada anak 50-75 mg/kgBB/hari yang di drip dalam nacl 0.9%
Ranitidine pada anak 1 mg/kg (2-3x) maka dosis untuk anak ini 2 x 20mg/kg.

Ondancetron 0.2mg/kg maka diberi 3 x 1.5 mg


3. Apa komplikasi yang dapat timbul dari kasus ini?

Komplikasi :

1. Perforasi Intestinal
2. Perdarahan Intestinal
3. Sepsis
4. Ensefalopati
Bagaimana prognosis dari pasien ini?

13
Prognosis pada pasien ini bonam karena gejala gejala klinis tertangani dengan

baik,tidak adanya penurunan kesadaran dan tidak ada gejala yang mengarah kearah

komplikasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

14
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam
tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus
halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

2.2 Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World
Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara
berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih
besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di
seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella
typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada
didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi
hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
klorinasi dan pasteurisasi (temp 63C).
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar
bersama sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).

Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu

15
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal
dari laboratorium penelitian.

2.3 etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh
plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

2.4 Patofisiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti


organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan
organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam

16
aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit
dan air ke dalam lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui,
jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan
jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti
aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan
Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel-
sel epitel (sel-M merupakan selepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan
port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup
dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum
distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik)
dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ-
organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang
mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai

17
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini
biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel
mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar,
lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-
zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti
nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan
pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.

18
2.5 Manifestasti Klinis

19
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, mulai dari gejala yang ringan sekali
sehingga tidak terdiagnosis, dengan gejala yang khas (sindrom demam tifoid), sampai dengan
gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gejala klinis demam tifoid pada anak cenderung
tidak khas. Makin muda umur anak, gejala klinis demam tifoid makin tidak khas. Umumnya
perjalanan penyakit berlangsung dalam jangka waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2
minggu.
Beberapa gejala klinis yang sering terjadi pada demam tifoid adalah sebagai berikut:
- Demam
Demam atau panas merupakan gejala utama demam tifoid. Awalnya, demam hanya
samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh turun naik yakni pada pagi hari lebih rendah
atau normal, sementara sore dan malam hari lebih tinggi. Demam dapat mencapai 39-40
C.
Intensitas demam akan makin tinggi disertai gejala lain seperti sakit kepala, diare,
nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual, dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas
demam makin tinggi, kadang terus-menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu ke-
3 suhu tubuh berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3.
Perlu diperhatikan bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas pada demam tifoid.
Tipe demam menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi pengobatan atau
komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi
dapat menimbulkan kejang.
- Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering
dan terkadang pecah-pecah. Lidah terlihat kotor dan ditutupi selaput kecoklatan dengan
ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor, pada penderita anak jarang ditemukan.
Umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama nyeri ulu hati, disertai mual
dan muntah. Penderita anak lebih sering mengalami diare, sementara dewasa cenderung
mengalami konstipasi.
- Gangguan kesadaraan
Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran ringan. Sering
ditemui kesadaran apatis. Bila gejala klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen
dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis. Pada penderita dengan toksik, gejala
delirium (mengigau) lebih menonjol.
- Hepatosplenomegali

20
Pada penderita demam tifoid, hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati
terasa kenyal dan nyeri bila ditekan.
- Bradikardia relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan
frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1 C
tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Bradikardi relatif tidak
sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan.
Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot (bintik
kemerahan pada kulit) yang biasanya ditemukan di perut bagian atas, serta gejala klinis
yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangat jarang
ditemukan.

2.6 Diagnosis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan
penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi
melalui makanan,sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis
yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten
dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-
angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi
pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan
normal kembali pada kahir minggu ketiga
b. Gangguan saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati

21
dan limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi,
akan tetapi mungkin pula normal, bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.
Pemeriksaan Fisik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 540 hari dengan rata-rata antara
1040 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat terjadi disebabkan
oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik penjamu, serta lama sakit di
rumahnya. Penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu
step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik
secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama. Setelah
itu demam akan bertahan tinggi. Pada minggu ke-4, demam turun perlahan secara lisis.
Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis.Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa demam, bradikardia
relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit),
lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia
dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap
darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai perkiraan yang
cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau

22
bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid.
b. Identifikasi kuman mekakui isolasi / biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari
rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine danfeses. Hasil biakan yang positif memastikan
demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
biakan meliputi
(1) jumlah darah yang diambil
(2) perbandingan volume darah dari media empedu
(3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan. 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1mL.Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall)
dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80%
atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada
akhir minggu ketiga.4,9 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang
telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan
rasio darah dengan media kultur yang dipakai.6 Bakteri dalam feses ditemukan
meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun

23
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum
tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang
cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi
terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal
dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan
spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu
yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita
c. Identifikasi kuman melalui uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis
ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan..
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting
dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,
teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan

24
dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium
dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)
Berikut adalah macam-macam uji serologis yang dapat membantu menegakan
diagnosis demam tifoid :
1) Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin
dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap
antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama
sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat
dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test).
Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedurpenapisan
sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan
untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990)
mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O
atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif
sebesar 99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil
biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan
spesifisitas sebesar 76-83%. Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan
beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor
penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi
pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah
endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yangdigunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saat ini
walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya

25
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan
H pada anak-anak sehat.
a. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur
kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100C
selama 25 jam, alkohol dan asam yang ence1.
b. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan
berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga
dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas
suhu 60C dan pada pemberian alkohol atau asam.
c. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. Typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari
fagositosisn dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak biladipanaskan selama 1
jam pada suhu 60C, denganpemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakanuntuk
mengetahui adanya karier.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai
uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45
menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif,
96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan
bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif
palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.

26
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling
sering di negara kita, demam > kasih antibiotika > nggak sembuh dalam
5 hari > tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)
memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang
dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu
(false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b. OuterMembrane Protein (OMP)


Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan
sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin.
Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP
F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM <
6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C.
Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat

27
sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu
antigen protein 50 kDa/52 kDa.
2) Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.4
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas
100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas
sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.
3) Metode Enzim Immuniassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna

28
tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat
menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
4) Metode Enzime-Linked Immunirbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada
sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji
ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan
dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel
dkk (2004) terhadap sampel. urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen. Vi serta masing-masing 44% pada deteksi
antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
5) DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita

29
pendeteksi dan antibodi IgM antihuman immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan
alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap. Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9%
dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002)
terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90%
dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti
mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar
manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia
perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
d. Identifikasi kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction
(PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Penelitian oleh
Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas
yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5
bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas
sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis
tidak 10 dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis
yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum

30
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian.

2.7 diagnosis banding


Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler
seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga
perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit
hodgkin dapat sebagai dignosis banding.

2.8 Penatalaksanaaan
I.1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5

b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus.Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.

c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal.Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.

d) Kompres air hangat

31
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal
ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka
terhadap panas dihipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang
memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah
pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya
vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit
meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga
mencapai keadaan normal kembali.Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
(thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, makapusat
pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.7

I.2. Medika Mentosa


a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.

32
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan


sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi
2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini
adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.

Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah


dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan


pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 50-75 mg/kg/hari
IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat
diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu
untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

33
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang


diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

2.9 komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda
tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat
dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.

2. Komplikasi diluar usus halus


a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul
pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses
paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.

34
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam
batas normal. Bila disertai kejang kejang maka biasanya prognosisnya jelek
dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.

e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara
lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok
tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat
juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada
10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3
minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik
karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti

35
schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang
lama.
2.10 Pencegahan

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2

Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.

Hindari minum air yang tidak dimasak.

Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.
Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol
atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di
dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak
menelan air di pancuran kamar mandi.

Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.

Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang
telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan
sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran
tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar
sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci,
pilihlah buah yang dapat dikupas.

36
Pilih makanan yang masih panas.

Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang
terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57C beberapa
menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun
tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli
makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut
beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

Sering cuci tangan.


Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran
infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian
gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.

Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.

Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.

Hindari memegang makanan.

Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda
tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas
kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda
tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.

Gunakan barang pribadi yang terpisah.

Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan
menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi

37
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan
mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan
perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa
ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik
untuk mengendalikan demam tifoid.1,2

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)


Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita
hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum
antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas
2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)

Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung
kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-
12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval
4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan
adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.
Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam
pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping
yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

Vaksin polisakarida

Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya


proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi
dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan

38
pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

2.11 prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak anak
rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien
demam tifoid

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika,
2002:1-43.
3. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
4. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.

39
5. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diketa
hui.html. 22 Januari 2012.
6. Prasetyo,Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.

40

Anda mungkin juga menyukai