Anda di halaman 1dari 18

Bagaimana mekanisme keluhan pasien sering lupa?

Pada beberapa orang usia lanjut akan terjadi penurunan daya ingat dan gangguan
psikomotor yang masih wajar sehingga disebut sifat pelupa benigna akibat penuaan (benign
senescent forget fullness). Keadaan ini tidak menyebabkan gangguan pada aktivitas hidup sehari-
hari dan juga tidak bersifat progresif. Kondisi ini biasanya ditandai dengan sering mengulang
pertanyaan yang sama atau lupa pada kejadian yang baru terjadi. Sehingga dalam hal ini perlu
diobservasi beberapa bulan untuk membedakannya dengan dementia yang sebenarnya. Apabila
gangguan daya ingat bertambah progresif disertai dengan gangguan intelek lain misalnya
gangguan pembicaraan, maka kemungkinan besar diagnosis dementia dapat ditegakkan sehingga
perlu penatalaksanaan lebih lanjut.

Bagaimana mekanisme keluhan mata kabur dan berkunang pada pasien?


Seiring dengan penuaan, struktur bola mata juga berubah. Kornea menjadi kurang sensitif,
sehingga apabila terdapat luka menjadi tidak terlalu diperhatikan. Pupil akan bereaksi lebih
lambat ketika berada dalam keadaan gelap maupun terang, lensa menguning, dan tidak fleksibel.
Ketajaman visual mata secara bertahap menurun. Masalah yang paling umum terjadi adalah
gangguan melihat pada objek jarak dekat, yang disebut dengan presbiopia. Selain itu, seiring
dengan penuaan vitreus humor mata akan menyusut, yang akan mengakibatkan adanya floaters
atau semacam partikel-partikel kecil dalam medan penglihatan. Pada kebanyakan kasus, adanya
floaters ini tidak mengurangi daya penglihatan. Selain itu pada lansia, biasanya penglihatan
perifer mulai terganggu, mereka akan kesulitan untuk melihat orang di samping mereka.
Kelemahan otot bola mata juga merupakan perubahan pada orang yang sudah lanjut usia
sehingga lapang pandang orang usia lanjut lebih sempit (Dugdale, 2012). Lima penyebab utama
gangguan penglihatan pada usia lanjut adalah presbiopia, katarak, glaukoma, degenerasi macular,
dan retinopati diabetik (Lohdan Ogle, 2004)
Ada dua teori penyebab presbyopia yaitu (1) pengerasan atau sklerosis dari substansi
lensa, atau (2) penurunan elastisitas otot siliar dan koroid. Lensa secara bertahap menjadi lebih
tebal dan kehilangan fleksibilitas dari waktu ke waktu mengakibatkan kegagalan untuk
akomodasi cahaya pada objek dari berbagai jarak. Presbiopia merupakan gangguan penglihatan
yang biasa terjadi pada lansia tetapi biasanya tidak menyebabkan kebutaan. Katarak berkaitan
dengan kekeruhan lensa yang menyebabkan gangguan penglihatan, merupakan gangguan
penglihatan yang sering terjadi pada lansia dan biasanya menyebabkan kebutaan. Normalnya
lensa mata manusia itu jernih dan lentur, namun seriring bertambahnya usia, lensa bias menjadi
keruh dan kehilangan kelenturannya. Faktor risiko katarak antara lain yaitu diabetes mellitus,
merokok, konsumsialkohol, trauma, riwayat penyakit keluarga, paparan sinar matahari/radiasi
UVB, terapi steroid, dan uveitis (Lohdan Ogle, 2004).

Dugdale David C. 2013. Foot, leg, and ankle


swelling.http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003104.htm - diakses
April 2013.
Loh KY dan Ogle J. 2004.Age Related Visual Impairment in the Elderly. Med J Malaysia, 59(4) :
562-569.

Bagaimana mekanisme keluhan jatuh ?


Faktor resiko jatuh yaitu :
1. Sistem sensorik
Yang berperan didalamnya adalah visus, pendengaran, fungsi vestibuler dan
propioseptif.
2. Sistem Saraf Pusat (SSP)
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik.
Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson dapat menyebabkan gangguan fungsi SSP
sehingga tidak berespon baik terhadapa input sensorik
3. Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatnya resiko
jatuh
4. Muskuloskeletal
Gangguan musculoskeletal menyebabkan gangguan jalan (gait). Gangguan jalan
akibat proses menua disebabkan oleh :
o Kekakuan jaringan penghubung
o Berkurangnya massa otot
o Perlambatan konduksi saraf
o Penurunan visus/ lapang pandang
o Kerusakan propioseptif
Yang menyebabkan :
o Penurunan range of motion (ROM) sendi
o Penurunan kekuatan otot
o Perpanjangan waktu reaksi, sehingga terjadi perlambatan dalam
mengantisipasi gangguan seperti terpeleset
o Kerusakan persepsi dalam
o Peningkatan postural sway
Faktor ekstrinsik :
1. Obat-obatan yang diminum
2. Alat-alat bantu berjalan
3. Lingkungan yang tidak mendukung
Bagaimana mekanisme keluhan pusing?
Pusing pada kasus dapat disebeabkan oleh :
1.Vertigo dimana dijumpai sensasi lingkungan yang berputar atau perasaan diri sendiri
yang berputar biasanya ini menunjukkan kelainan di sistem vestibular walaupun pada
beberapa keadaan kelainan di batang otak atau otak kecil.jenis ini sering berupa vertigo
paroksismal posisional jinak (BPPV),penyakit pembuluh darah otak/TIA atau gangguan
vertebrobasiler.
2 Presnycope yaitu perasaan ringan atau seolah olah pingsan (pitam) hal ini biasanya
diakibatkan iskemia otak sementara.Penyebabnya terbanyak gangguan jantung dan
pembuluh darah antar lain aritmia jantung,dekompensasi jantung atau anemia berat.
3.Disequilibrium yaitu ketidakseimbangan dan perasaan goyang saat berdiri atau berjalan
yang melibatkan ekstremitas bawah dan tubuh tanpa ada sensasi dari kepala.Kondisi ini
dikaitkan dengan masalah di neuromuskular dan ketidakseimbangan yang menyertai jenis
ini diakibatkan faktor sekunder yaitu gangguan penglihatan,perubahan kontour tanah dan
lingkungan asing.
4.Lightheadeness yang digambarkan seperti kondisi melayang atau mengambang dan
pasien biasanya kesulitan menggambarkan sensasi ini.Pusing yang diakibatkan gangguan
psikologis akan dijumpai gangguan somatik lainnya seperti nyeri perut dan nyeri
kepala.Juga terdapat pada pasien dengan gangguan refraksi mata atau pada pasien post
operasi katarak dijumpai pusing.Gangguan di daerah pendengaran,anemia,hipoglikemia.

Bagaimana mekanisme keluhan lutut bengkak, nyeri sendi dan tidak dapat berjalan?
Kemungkinan pada kasus tersebut dapat disebabkan oleh :
1. Osteoarthritis
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif kronik non inflamasi yang
berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Penyakit ini bersifat progresif lambat,
ditandai dengan adanya degenerasi tulang rawan sendi, hipertrofi tulang pada tepinya,
sklerosis tulang subkondral, perubahan pada membran sinovial, disertai nyeri, biasanya
setelah aktivitas berkepanjangan, dan kekakuan, khususnya pada pagi hari atau setelah
inaktivitas.
Patofisiologi
OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago
dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum diketahui.
Jejas mekanis dan kimiawi diduga merupakan faktor penting yang merangsang
terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago di dalam cairan sinovial
sendi yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan kondrosit, dan nyeri. Jejas
mekanik dan kimiawi pada sinovial sendi yang terjadi multifaktorial antara lain karena
faktor umur, humoral, genetik, obesitas, stress mekanik atau penggunaan sendi yang
berlebihan, dan defek anatomik. Kartilago sendi merupakan target utama perubahan
degeneratif pada OA. Kartilago sendi ini secara umum berfungsi untuk membuat gerakan
sendi bebas gesekan karena terendam dalam cairan sinovial dan sebagai absorb shock,
penahan beban dari tulang. Pada OA, terjadi gangguan homeostasis dari metabolisme
kartilago sehingga terjadi kerusakan struktur proteoglikan kartilago, erosi tulang rawan,
dan penurunan cairan sendi.

Sumber :
http://eprints.undip.ac.id/44826/3/Maya_Yanuarty_22010110110125_Bab2KTI.pdf

Bagaimana mekanisme keluhan kesemutan ?


Pada skenario penyebab kesemutan adalah neuropati akibat komplikasi dari diabetes
mellitus. Neuropati adalah penyakit yang mengenai saraf-saraf tepi (lengan,tungkai dsb).
Kesemutan ini biasanya mulai dari kedua telapak kaki disertai rasa terbakar di tempat
tersebut. Bila penyakit bertambah parah kesemutan juga dapat terjadi di kedua telapak
tangan. Rasa baal yang dirasakan menyerupai pola kaus kaki atau sarung tangan.
Neuropati dapat disebabkan penyakit autoimun, diabetes, penyakit ginjal, kekurangan
vitamin, keracunan, dsb.

Bagaimana mekanisme keluhan leher cengeng?

Apa saja kemungkinan penyakit yang ada pada kasus? Bagaimana tatalaksanannya?
1. Diabetes mellitus
Patogenesis
Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko terhadap terjadinya DM,
sehingga sekarang dikenal istilah prediabetes. Prediabetes merupakan kondisi tingginya gula
darah puasa (gula darah puasa 100-125mg/dL) atau gangguan toleransi glukosa (kadar gula darah
140199mg/dL, 2 jam setelah pembebanan 75 g glukosa). Modifikasi gaya hidup mencakup
menjaga pola makan yang baik, olah raga dan penurunan berat badan dapat memperlambat
perkembangan prediabetes menjadi DM. Bila kadar gula darah mencapai >200 mg/dL maka
pasien ini masuk dalam kelas Diabetes Melitus (DM).1 Gangguan metabolisme karbohidrat pada
lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi insulin, hilangnya pelepasan insulin fase pertama
sehingga lonjakan awal insulin postprandial tidak terjadi pada lansia dengan DM, peningkatan
kadar glukosa postprandial dengan kadar gula glukosa puasa normal. Di antara ketiga gangguan
tersebut, yang paling berperanan adalah resistensi insulin. Hal ini ditunjukkan dengan kadar
insulin plasma yang cukup tinggi pada 2 jam setelah pembebanan glukosa 75 gram dengan kadar
glukosa yang tinggi pula. Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4
faktor1 perubahan komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih banyak,
menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor insulin yang siap
berikatan dengan insulin, perubahan pola makan lebih banyak makan karbohidrat akibat
berkurangnya jumlah gigi sehingga, perubahan neurohormonal (terutama insulin-like growth
factor-1 (IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi penurunan
ambilan glukosa akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin. Selain
gangguan metabolisme glukosa, pada DM juga terjadi gangguan metabolisme lipid sehingga
dapat terjadi peningkatan berat badan sampai obesitas, dan bahkan dapat pula terjadi hipertensi.
Bila ketiganya terjadi pada seorang pasien, maka pasien tersebut dikatakan sebagai mengalami
sindrom metabolik.
Manifestasi Klinik
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tidak selalu
tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan
ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa
darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan penuaan,
maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah mengalami dehidrasi
hiperosmolar akibat hiperglikemia berat. DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik,
kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan
tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium,
demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan
diagnosis DM pada lansia seringkali agak terlambat. Bahkan, DM pada lansia seringkali baru
terdiagnosis setelah timbul penyakit lain. Berikut ini adalah data M.V. Shestakova (1999)
mengenai manifestasi klinis pasien lansia sebelum diagnosis DM ditegakkan.
Kriteria Diagnosis DM
1. HbA1C >6,5 %; atau
2. Kadar gula darah puasa >126 mg/dL; atau
3. Kadar gula darah 2 jam pp >200 mg/dL pada tes toleransi glukosa oral yang dilakukan
dengan 75 g glukosa standar WHO)
4. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia dengan kadar gula
sewaktu >200 mg/dL.

*Diambil dari panduan American Diabetes Association (2010)

Tatalaksana
Metformin Dalam konsensus ADA-EASD (2008), metformin dianjurkan sebagai terapi obat lini
pertama untuk semua pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut

DM tipe 2 kecuali pada mereka yang punya kon-traindikasi terhadap metformin misalnya
antara lain gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >133 mmol/L atau 1,5 mg/dL pada
pria dan >124 mmol/L atau 1,4 mg/dL pada wanita), gangguan fungsi hati, gagal jantung
kongestif, asidosis metabolik, dehidrasi, hipoksia dan pengguna alkohol. Namun, karena
kreatinin serum tidak menggambarkan keadaan fungsi ginjal yang sebenarnya pada usia
sangat lanjut, maka metformin sama sekali tidak dianjurkan pada lansia >80 tahun.
Metformin bermanfaat terhadap sistem kardiovaskular dan mempunyai risiko yang kecil
terhadap kejadian hipoglikemia. Meskipun demikian, penggunaan metformin pada lansia
dibatasi oleh adanya efek samping gastrointestinal berupa anoreksia, mual, dan perasaan
tidak nyaman pada perut (terjadi pada 30% pasien). Untuk mengurangi kejadian efek
samping ini, dapat diberikan dosis awal 500 mg, kemudian ditingkatkan 500 mg/minggu
untuk dapat mencapai kadar gula darah yang diinginkan. Walaupun terapi awal dengan
modifikasi gaya hidup dan metformin pada mulanya efektif, hal yang terjadi secara alami
pada sebagian besar pasien DM tipe 2 adalah kecenderungan naiknya gula darah seiring
dengan berjalannya waktu dengan prevalensi 5-10% per tahun. Sebuah studi UKPDS
menyatakan bahwa 50% pasien yang terkontrol dengan obat-obatan tunggal memerlukan
penambahan obat kedua setelah 3 tahun; dan setelah 9 tahun, 75% pasien memerlukan
terapi multipel untuk mencapai target HbA1C <7%.

2. Osteoartrithis
Klasifikasi OA
o Osteoartritis primer
Osteoartritis primer atau OA idiopatik belum diketahui penyebabnya dan tidak
berhubungan dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada
sendi. OA primer banyak dihubungkan dengan penuaan. Pada orangtua, volume
air dari tulang muda meningkat dan susunan protein tulang mengalami degenerasi.
Akhirnya, kartilago mulai degenerasi dengan mengelupas atau membentuk tulang
muda yang kecil. Pada kasus-kasus lanjut, ada kehilangan total dari bantal
kartilago antara tulang-tulang dan sendi-sendi. Penggunaan berulang dari sendi-
sendi yang terpakai dari tahun ke tahun dapat membuat bantalan tulang
mengalami iritasi dan meradang, menyebabkan nyeri dan pembengkakan sendi.
Kehilangan bantalan tulang ini menyebabkan gesekan antar tulang, menjurus pada
nyeri dan keterbatasan mobilitas sendi. Peradangan dari kartilago dapat juga
menstimulasi pertumbuhan-pertumbuhan tulang baru yang terbentuk di sekitar
sendi-sendi.
o Osteoartritis sekunder
Osteoartritis sekunder adalah OA yang disebabkan oleh penyakit atau kondisi lainnya,
seperti pada post-traumatik, kelainan kongenital dan pertumbuhan (baik lokal maupun
generalisata), kelainan tulang dan sendi, penyakit akibat deposit kalsium, kelainan
endokrin, metabolik, inflamasi, imobilitas yang terlalu lama, serta faktor risiko lainnya
seperti obesitas, operasi yang berulangkali pada struktur-struktur sendi, dan sebagainya.

Tatalaksana Osteoarthritis
Tujuan pengobatan pada pasien OA adalah untuk mengurangi gejala dan mencegah
terjadinya kontraktur atau atrofi otot. Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalnya
dengan pengendalian faktor-faktor resiko, latihan intervensi fisioterapi dan terapi
farmakologis. Pada fase lanjut sering diperlukan pembedahan.
Terapi non obat terdiri dari edukasi, penurunan berat badan,terapi fisik dan terapi kerja.
Pada edukasi, yang penting adalah meyakinkan pasien untuk dapat mandiri, tidak selalu
tergantung pada orang lain. Walaupun OA tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup
pasien dapat ditingkatkan. Penurunan berat badan merupakan tindakan yang penting,
terutama pada pasien-pasien obesitas, untuk mengurangi beban pada sendi yang terserang
OA dan meningkatkan kelincahan pasien waktu bergerak.
Terapi fisik dan terapi kerja bertujuan agar penderita dapat melakukan aktivitas optimal
dan tidak tergantung pada orang lain. Terapi ini terdiri dari pendinginan, pemanasan dan
latihan penggunaan alat bantu. Dalam terapi fisik dan terapi kerja dianjurkan latihan yang
bersifat penguatan otot, memperluas lingkup gerak sendidan latihan aerobik. Latihan
tidak hanya dilakukan pada pasien yangtidak menjalani tindakan bedah, tetapi juga
dilakukan pada pasien yang akan dan sudah menjalani tindakan bedah, sehingga pasien
dapat segera mandiri setelah pembedahan dan mengurangi komplikasi akibat
pembedahan.
Penghilang rasa sakit bisa membantu. Kebanyakan dokter merekomendasikan
acetaminophen (Tylenol), karena memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
obat lain. Jika rasa sakit berlanjut, dokter mungkin merekomendasikan obat anti-
inflammatory (OAINS). Obat ini membantu meredakannyeri dan bengkak. Jenis OAINS
termasuka spirin, ibuprofen dan naproxen.
Bagi penderita dengan OA yang sudah parah, maka operasi merupakan tindakan yang
efektif. Operasi yang dapat dilakukan antara lain arthroscopic debridement, joint
debridement, dekompresi tulang, osteotomi dan artroplasti. Walaupun tindakan operatif
dapat menghilangkan nyeri pada sendi OA, tetapi kadang-kadang fungsisendi tersebut
tidak dapat diperbaiki secara adekuat, sehingga terapifisik pre dan pasca operatif harus
dipersiapkan dengan baik.

Sumber :
Imayati K. Laporan Kasus Osteoartritis. Bagian Ilmu Penyakit Dalam.Denpasar:
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar ;2011
Maharani EP. Faktor-Faktor Risiko Osteoartritis. Semarang: Lutut. Universitas
Diponogoro; 2007.

3. Hipertensi
1. Epidemiologi
Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan peningkatan
kematian pada usia dewasa. Salah satu penyebab utama tren penyakit kardiovaskuler
adalah perubahan pola tekanan darah dan meningkatnya prevalensi hipertensi karena usia.
Menurut Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7), hipertensi terjadi pada lebih
dari 2/3 individu
yang berumur lebih dari 65 tahun. Sedngkan data dari Framingham Heart Study, laki-laki
dan perempuan yang tidak menderita hipertensi pada umur 55 tahun diprediksi beresiko
menjadi hipertensi 93% dan 91% menjadi hipertensi pada umur 80 tahun.

2. Patofisiologi
a. Kekakuan arteri
Arteri yang elastis akan berubah seiring bertambahnya usia, yaitu dilatasi atau mengeras
(kaku). Fraktur dari elastic lamellae terlihar di aorta yang menua dan dapat terjadi baik
pada dilatasi atau pada pengerasan arteri. Kekakuan arteri kebanyakan disebabkan karena
hiperplasia dari tunika intima. Arteri yang kaku akan menurunkan kapasintasi dan
keterbatasan recoil dan menyebabkan arteri tidak mampu menampung selama siklus
jantung. Selain itu, selama sistole pembuluh darah arteriosklerotik gagal untuk
mengembang dan gagal untuk mengimbangi tekanan yang ditimbulkan jantung, sehingga
tekanan darah sistolik naik. Di sisi lain, kehilangan recoil selama diastole menyebabkan
penurunan diastole. Kekakuan pada arteri tidak hanya disebabkan karena penebalan
dinding arteri tapi juga dikarenakan endothelium-derived vasoactive mediators seperti
endothelin 1 dan penurunan bioaviability dari NO (Nitric Oxide), yang berperan dalam
disfungsi endotel).
b. Neurohormonal dan disregulasi autonomik
Mekanisme neurohormonal seperti sistem renin-angiotensin- aldosteron akan menurun
seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini berhubungan dengan efek umur dan efek
nefrosklerosis pada apparatus jugstaglomular. Selain itu kadar aldosteron plasma juga
menurun jika umur bertambah. Akibatnya pasien geriatri dengan hipertensi akan lebih
beresiko hiperkalemi karena obat. Konsentrasi norepinefrin plasma akan meningkat 2x
pada geriatri, yang dikarenakan adanya mekanisme kompensasi dari penurunan
-adrenergic karena reaksi penuaan.
c. Penuaan ginjal
Penuaan ginjal ditandai dengan berkembangnya glomerulosklerosis dan fibrosis
interstitial, yang mana berhubungan dengan penurunan GFR dan penurunan mekanisme
hemostatik lain. Umur berkaitan dengan menurunnya aktivitas pompa sodium/potasium
dan pompa kalsium ADP yang menyebabkan kelebihan kalsium dan sodium intraseluler,
sehingga meningkatkan vasokonstriksi dan retensi vaskular. Peningkatan sensitivitas
garam ditandai dengan peningkatan tekanan darah yang mana merupakan respon dari
overload sodium pada lansia dan obesitas sebagai akibat dari keterbatasan fungsi ginjal
untuk mngeluarkan overload sodium.

Klasifikasi tekanan darah menurut WHO

Penatalaksanaan
hipertensi pada
lansia
a. Sasaran tekanan
darah
Pada hipertensi lanjut usia, penurunan TDD hendaknya mempertimbangkan aliran darah ke otak,
jantung dan ginjal. Sasaran yang diajukan pada JNCVI dimana pengendalian tekanan darah
(TDS<140 mmHg dan TDD<90mmHg) tampaknya terlalu ketat untuk penderita lanjut usia. Sys-
Eur trial merekomendasikan penurunan TDS < 160 mmHg sebagai sasaran intermediet tekanan
darah, atau penurunan sebanyak 20 mmHg dari tekanan darah awal.

b. Modifikasi pola hidup


Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada penderita hipertensi lanjut usia, seperti
halnya pada semua penderita, sangat menguntungkan untuk menurunkan tekanan darah.
Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah : menurunkan berat badan jika ada
kegemukan, mengurangi minum alcohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi
asupan garam, mempertahankan asupan kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium
dan magnesium yang adekuat, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan
kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi nonfarmakologis ini harus
dimulai sebelum menggunakan obat-obatan.

c. Terapi farmakologis
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi metabolisme dan
distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam memberikan obat antihipertensi.
Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis kecil dan kemudian ditingkatkan secara
perlahan. Menurut JNC VI pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut
usia adalah diuretic atau penyekat beta. Pada HST, direkomendasikan penggunaan diuretic dan
antagonis kalsium. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretic tiazid sama dalam menurunkan
angka kejadian kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan
dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit jantung
koroner, penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun demikian terbatas penggunaannya
pada keadaan keadaan seperti penyakit arteri tepi, gagal jantung/ kelainan bronkus obstruktif.
Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung kongestif, diuretik,
penghambat ACE (angiotensin convening enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan ptlihan
terbaik.

Sumber :
The Sixth Report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and
treatment of high blood pressure. NIH publication No. 98-4080 November 1997

Bulpitt CJ, Fletcher AE, Thjis L, Staessen AJ, Antikainen R, Davidson C, Fagard R, Gil-
Extremera B, Jaaskivi M, O'Brien E, Palatini P, Tuomilehto J. Symptom reported by elderly
patients with isolated systolic hypertension: baseline data from the SYST-EUR Trial. Age Ageing
1999;28:15-22

Rigaud AS, Forette B. Hypertension in older adults. J Gerontol 2001;56A:M217-5

Kotchen TA, McCarron Da. Dietary electrolytes and blood pressure a statement for healthcare
professionals from the American Heart Association Nutrition Committee. Circulation
1998;98:613-7.

4. Demensia
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah mencapai
pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak organik, diikuti
keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi kognitif
seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini
tidak reversibel, sebaliknya progresif. Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi
kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran. Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan
otak bersifat kronik / progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple)
yaitu ; daya ingat , daya fikir , daya orientasi , daya pemahaman , berhitung , kemampuan belajar,
berbahasa , kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai hendaya fungsi
kognitif , dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi,
perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit
kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder mengenai otak.
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi demensia sedang
hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi
demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun
prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen. Penyebab demensia yang paling sering pada
individu yang berusia diatas 65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan
(3) campuran antara keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 % diantaranya adalah
demensia jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal,
hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human
immunodeficiency virus (HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang
melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab yang reversible
seperti kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi
vitamin B12 atau defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat depresi.
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada usia 50
atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan
kematian. Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang samar
yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat
dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering
dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan
gangguan metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung
dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala
pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan
keluarga pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi berobat. Individu dengan demensia
dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan
zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik.
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan bagian-
bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat untuk 25
beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia
yang reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan
tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi
yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan
perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti
terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala. Dokter dapat meresepkan
benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk depresi, dan obat-obat
antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus mewaspadai efek
idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan
paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obatobatan dengan
aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan. Donezepil, rivastigmin, galantamin,
dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif
ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari
neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang
pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk
seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik
basal yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan karena
potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin
dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping
neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut
dapat mencegah degenerasi neuron progresif.
Sumber :
Tombon DA (2003). Buku saku psikiatri (psychiatry). Alih Bahasa : Martina W. Ed: Tiara M.
Jakarta: EGC

Nugroho,Wahjudi (2003). Keperawatan Gerontik. Edisi ke-2. Buku Kedokteran. Jakarta:


EGC, pp: 54-65
Maramis WF (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya: Airlangga
University Press. p: 193

Apa itu polifarmasi ?


Polifarmasi bisa didefinisikan sebagai: 1). Meresepkan obat melebihi indikasi klinis; 2).
Pengobatan yang mencakup paling tidak satu obat yang tidak perlu; 3). Penggunaan empirik lima
obat atau lebih.
Polifarmasi sering terjadi pada pasien usia lanjut karena:
- Penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis
- Obat diresepkan oleh beberapa dokter
- Kurang koordinasi dalam pengelolaan
- Gejala yang dirasakan pasien tidak jelas
- Pasien meminta resep
- Untuk menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat baru
Untuk mencegah polifarmasi, terdapat beberapa prinsip pemberian obat yang benar untuk pasien
usia lanjut, yaitu antara lain:
- Anamnesis riwayat pengobatan lengkap, termasuk obat tanpa resep yang dibeli pasien
sendiri
- Jangan memberikan obat sebelum waktunya (sebelum diagnosis pasti ditentukan)
- Jangan menggunakan obat terlalu lama, hentikan obat yang tidak perlu lagi
- Kenali obat yang digunakan, termasuk farmakokinetik, farmakodinamik, interaksi, dan efek
sampingnya
- Mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan
- Obati sesuai patokan, gunakan dosis cukup, yang sesuai toleransi
- Beri dorongan supaya patuh berobat
- Hati-hati menggunakan obat baru

5. Anemia
Anemia bukanlah sebuah diagnosis akhir dari suatu penyakit tetapi merupakan hasil dari
berbagai gangguan dan hampir selalu membutuhkan evaluasi lanjutan. Seseorang dikatakan
anemia bila kadar hemoglobin lebih rendah dari normal yang sesuai dengan jenis kelamin
dan umur. Menurut WHO, batasan anemia untuk wanita bila kadar Hb <12 gr/dl dan untuk
pria <13 gr/dl.
Klasifikasi anemia berdasarkan berat-ringan
Anemia ringan : >10-20 gr/dl
Anemia sedang : 8-10 gr/dl
Anemia berat : <8 gr/ dl
Nilai normal Hb
Penyebab anemia yang paling sering pada lansia yaitu penyakit kronik. Manifestasi penyakit
kronik pada lansia seringkali berbeda dengan penyakit kronik pada usia muda.Prevalensi dan
akumulasi penyakit kronik yang meningkat pada lansia, sering memberikan gejalayang
mengaburkan atau menutupi gejala penyakit atau masalah akut yang baru dialami
karenaadanya tumpang tindih antara tanda dan gejala penyakit kronik dan akut. Dengan
besarnya prevalensi anemia penyakit kronik pada lansia, dapat dikatakan bahwa anemia
menjadi gejalayang paling sering timbul pada lansia dengan penyakit kronik. Namun, karena
frekuensinya yangdemikian sering, anemia seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati
oleh para dokter di praktek klinik.3 Oleh sebab itu, dalam diagnosis anemia pada lansia
tidaklah cukup hanyasampai kepada label anemia saja, tetapi harus dipikirkan mengenai
penyakit yang mendasarinya.Sehingga, perlu dilakukan evaluasi lanjutan walaupun gejala
klinis yang lain tidak ada.

Patofisiologi anemia
1. Lansia secara progresif kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menyebabkan
distorsi metabolic dan structural yang disebut penyakit degenerative. Banyaknya distorsi
dan cadangan sistem fisiologis akan menyebabkan gangguan sistem hematopoiesis.
2. Menurunnya kinerja sumsum tulang sehingga daya replikasi sumsum tulang berkurang.
Akan menyebabkan stroma oleh pertumbuhan dan perkembangan sel-sl induk
(pluripoten) maupun kecepatan diferensiasi sel-sel progenitor untuk mencapai maturitas
berkurang sehingga mengakibatkan sintesis sel darah merah berkurang.
3. Penyakit kronis
Manifestasi dari penyakit kronis adalah pendarahan. Karena imunitas berkurang sehingga
penyembuhan akan semakin lama mengakibatkan pendarahan menjadi semakin lama dan
terjadilah anemia.
4. Berkurangnya sintesi eritropoietin
Lansia mengalami penurunan fungsi ginjal termasuk fungsinya eritropoietin sehingga akan
menyebabkan progenitor eritroid tidak mengalami mengalami diferensiasi jadi sel darah
merah, dan pada akhirnya jumlah sel darah merah akan berkurang
5. Proses autoimun
Sel-sel parietal lambung akibat autoimun akan menjadi atrofi dan mengakibatkan lambung
menjadi tipis dengan infiltrasi sel plasma dan limfosit sehingga mengakibatkan menurunnya
cadangan factor intrinsic di parietal lambung. Ileum akan menyerap sedikit vitamin B12 dan
terjadi anemia megaloblastik atau pernisiosa.
6. Berkurangnya intake makanan.

Tatalaksana anemia
1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasienpasien anemia penyakit
kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Acquired Immuno Deficiency
Syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya dapat dimulai dari 50100
Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya secara intra venous (IV) atau subcutan (SC). Bila
dalam 23 minggu konsentrasi hemoglobin meningkat dan/atau feritin serum menurun,
maka kita boleh menduga bahwa eritroit respons. Bila dengan dosis rendah responsnya
belum adekuat, maka dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu.
Bila juga tidak ada respons, maka pemberian eritropoetin dihentikan dan dicari
kemungkinan penyebab yang lain, seperti anemia defisiensi besi. Namun ada pula yang
menganjurkan dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.00020.000 Unit, 3x
seminggu.
2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila anemianya telah
memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh karena anemianya
jarang sampai berat.
3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang. Diberikan pada pasien
anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya artritis temporal, reumatik dan
polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga dengan gejala
gejala polimialgia akan segera hilang dengan cepat. Tetapi bila dalam beberapa hari tidak
ada perbaikan, maka pemberian kortikosteroid tersebut segera dihentikan.
Sumber :
BitShawish H, Mosley JE. Anemia of Chronic Disease. In: Anemia in The Elderly. Available
from: Anemia in The Elderly, www. cyberounds . com

Goodnough, Skikne B, Brugnara C. Erythropoetin, Iron and Erythropoiesis. Blood 2000 August
1; 96 (3): 82333

Koury MJ. The Anemia of Chronic Disease: TNF involvement in erythroid apoptosis. Blood
2002 July 15; 100 (2): 12

Kumar P, Clark M. Anaemia of Chronic Disease. In: Clinical Medicine. third ed. ELBS. 1994. p .
303

Leonardo Sa, Papelbaum M. Anemia of Chronic Disease. Available from : Hematology http : //
www . medstudents . com . br / hemat / hemat 5 . htm

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Anemia Pada Penyakit Kronik.
Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. ed 3. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 2001. p.
5489

S Kar A. Diagnosis dan Manajemen Anemia. Dalam: Zain LH, Siregar GA, Isnanta R, Zulkhairi,
Anam I, Lardo S, editor. Buku Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IV Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUSU. Medan: 2003. p. 45-54

Saba HI. Anemia in Cancer Patients: Introduction and Overview. Available from: File : // C : \
My Documents \ CRA 1. Htm

Soejono CH, Setiati S, Hakim L, Bahar A. Kekhususan Manifestasi Penyakit Pada Geriatri.
Dalam: Suyono HS, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H et al, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. ed 3. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2001. p . 27085

Suharti CP, Soenarto. Kelainan Hematologi Pada Usia Lanjut. Dalam: BoedhiDarmojo R,
Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1999. p. 22941
Ersley AJ. Anemia of Chronic Disease. In: Beutler E, Lichtman AM, Coller SB, Kipps JT,
Seligsohn U, editors. Williams Hematology. 6 th ed. vol 1. New York: Mc Graw Hill. 2001. p.
4817

Bagaimana prinsip penatalaksanaan pada geriatri?

Anda mungkin juga menyukai