Anda di halaman 1dari 24

REFERENSI ARTIKEL

PATOFISIOLOGI DAN TATALAKSANA KANKER CACHEXIA

Oleh:
Wildan Satrio Wemindra G99181065
Adrianus Setyawan A G99172025
Lucia Anindya G99172008
Siti Nur Na’imah G991903055
Savira Widha A G991905049

Pembimbing

Dr. TY. Pramana, Sp.PD-KGEH,FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

PATOFISIOLOGI DAN TATALAKSANA KANKER CACHEXIA

Oleh:
Wildan Satrio Wemindra G99181065
Adrianus Setyawan A G99172025
Lucia Anindya G99172008
Siti Nur Na’imah G991903055
Savira Widha A G991905049

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal: 18 Juni 2019

Pembimbing

Dr. TY. Pramana, Sp.PD-KGEH,FINASIM

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................4


BAB II KANKER CACHEXIA ..............................................................................5
A. Definisi .........................................................................................................5
B. Patofisiologi .................................................................................................6
C. Manifestasi klinis .......................................................................................11
D. Diagnosis ....................................................................................................13
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik .......................................................13
2. Pemeriksaan laboratorium ...................................................................14
E. Tatalaksana.................................................................................................16
1. Farmakologi ........................................................................................16
2. Non Farmakologi.................................................................................18
F. Prognosis ....................................................................................................19
BAB IV RINGKASAN ..........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................23

3
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker cachexia telah terlibat dalam kematian 30-50% dari semua pasien
kanker, karena banyak yang meninggal karena kekurangan yang terkait dengan kondisi
(Tuca et al, 2013). Sayangnya, penilaian dan manajemen cachexia kanker tetap menjadi
tantangan utama bagi dokter dan bervariasi secara signifikan dalam praktik klinis.
Beberapa pedoman klinis telah dikembangkan oleh organisasi lokal, nasional dan
internasional, yang merekomendasikan berbagai intervensi termasuk farmakoterapi
dan non-farmakoterapi yang telah dibuntuti pada pasien dengan kanker cachexia untuk
merangsang nafsu makan atau menipiskan perubahan metabolisme (Arends, 2017)
Mayoritas pasien dengan kanker yang parah biasanya akan diikuti dengan
penurunan berat badan yang tanpa disadari. Salah satu penyebab utama penurunan
berat badan secara tidak disadari adalah kanker cachexia (Hopkins et al 2006). Secara
historis umumnya mendefinisikan kanker cachexia terbatas pada penurunan berat
badan dan anorexia, namun kanker cachexia sejak lama dikenal sebagai efek samping
kanker, hal ini terkait dengan penurunan fungsi fisik, toleransi berkurang terhadap
terapi antikanker, dan penurunan kelangsungan hidup, Penurunan berat badan pada
pasien dengan kanker jarang dikenali dan dinilai, atau dikelola secara aktif.
SCRINIOWorking Group baru-baru ini mengusulkan klasifikasi kanker
cachexia setelah memeriksa database dari 1307 pasien rawat jalan kanker. Kolaborasi
Penelitian Perawatan Paliatif Eropa, yang didanai oleh kerangka kerja ke-6 Uni Eropa
pada tahun 2006 sedang mengembangkan sistem klasifikasi untuk rasa sakit, depresi
dan cachexia pada pasien dengan kanker stadium lanjut. Kandidat item untuk
klasifikasi cachexia termasuk penilaian subyektif, tes darah, gambar, dan pemeriksaan
lainnya.

BAB II

4
KANKER CHACEXIA

A. Definisi

Kanker cachexia didefinisikan sebagai sindrom multifaktorial yang


ditandai dengan hilangnya massa otot rangka yang berkelanjutan (dengan atau
tanpa kehilangan massa lemak) yang tidak dapat sepenuhnya dikembalikan
dengan dukungan nutrisi konvensional dan mengarah pada penurunan fungsi
progresif.
Definisi umum untuk cachexia / wasting disease yang berhubungan
dengan segala bentuk penyakit kronis baru-baru ini disusun dalam consensus.
Perkembangan kanker cachexia biasanya pada orang-orang dengan tumor padat
seperti kanker pankreas, paru-paru, lambung dan kolorektal. Penurunan berat
badan dan kekurangan gizi diamati sering pada pasien dengan kanker cachexia,
terutama untuk pasien kanker setelah operasi (malabsorpsi), radioterapi (mual,
nyeri, diare, mucositis), dan kemoterapi (mual, muntah, diare, mucositis).
Sebagian besar pasien kanker mengalami penurunan berat badan ketika
penyakit mereka berkembang dan secara umum, penurunan berat badan adalah
indikator prognostik utama dari kelangsungan hidup yang buruk dan gangguan
respons terhadap pengobatan kanker.
Berbagai perubahan metabolik dan endokrin dan aktivasi jalur
katabolik, menyumbang beberapa penurunan berat badan, yang biasanya lebih
besar dari yang diharapkan untuk tingkat asupan yang berlaku.
Defisit fungsional yang terkait dengan cachexia dapat terjadi baik fisik,
imun, metabolik atau psikososial. Definisi cachexia kanker, klasifikasi dan
kriteria diagnostik harus mengintegrasikan semua aspek ini dengan cara yang
relevan, dan ini tetap menjadi tantangan yang cukup besar.

B. Patofisiologi

5
Beberapa mekanisme terlibat dalam terjadinya sindrom kaheksia-
anoreksia pada kanker, termasuk anoreksia itu sendiri, pengurangan aktivitas
fisik, pengurangan sekresi hormon anabolik host, dan respon metabolik host
yang berkurang dengan abnormalitas pada metabolisme protein, lipid, dan
karbohidrat (Aoyagi et al., 2015).
Satu mekanisme yang dianggap mampu menjelaskan patofisiologi
sindrom kaheksia pada kanker adalah mekanisme respon fisiologis dari
mobilisasi substrat yang dipicu oleh inflamasi. Terdapat peningkatan aktivitas
sitokin proinflamasi saat progresi pembentukan kanker dan inflamasi sistemik.
Inflamasi sistemik adalah hallmark dari sindrom kaheksia pada kanker, yang
diindikasikan dengan produksi protein respon fase akut (APR, acute-phase
response) seperti protein C-reaktif dan fibrinogen. CRP dianggap sebagai
penentu aktivitas sitokin proinflamasi yang akurat yang berhubungan erat
dengan muscle wasting. APR berhubungan erat dengan inflamasi dan
penurunan berat badan yang terjadi pada kaheksia dan penurunan kualitas hidup
pada pasien kaheksia. Fenomena ini meningkatkan katabolisme otot dan
transfer asam amino dari anabolisme otot menuju pool asam amino yang
dibutuhkan untuk anabolisme protein APR. (Aoyagi et al., 2015).
Beberapa faktor telah diketahui meningkatkan respon katabolik,
memicu mobilisasi lemak dan otot yang tidak dapat dikontrol dan peningkatan
deplesi otot yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Perubahan metabolik yang terjadi pada kaheksia lebih mirip dengan yang
terjadi pada infeksi dibandingkan dengan kelaparan, dan bersifat multifaktorial
dan kompleks. Walaupun penurunan berat badan yang dipicu oleh kelaparan
berasal dari cadangan sediaan adiposa, penurunan berat badan pada kaheksia
disebabkan oleh hilangnya massa otot skeletal dan jaringan adiposa. Pada
pasien dengan kaheksia, terdapat peningkatan katabolisme protein otot yang
berujung pada net loss massa otot. Ketidakseimbangan sintesis dan degradasi
protein adalah salah satu aspek paling penting pada gangguan metabolisme

6
pada sindrom kaheksia-anoreksia. Telah dibuktikan oleh banyak penelitian
bahwa katabolisme protein otot meningkat dan anabolisme protein baru
berkurang pada kaheksia, berujung pada penurunan jumlah protein yang
signifikan (Aoyagi et al., 2015).
Peningkatan ekspenditur energi juga mungkin berkontribusi pada proses
wasting. Resting energy expenditure (REE) meningkat pada kondisi kaheksia,
dengan siklus metabolik futile yang berperan banyak dalam peningkatan ini.
Sekitar 70% dari ekspenditur energi total pada pasien sedenter meningkat dari
REE. REE pada pasien kanker berikatan erat dengan tipe kanker yang diderita.
Contohnya, pasien dengan kanker pankreas dan paru memiliki peningkatan
REE yang lebih tinggi dibandingkan orang yang sehat. Pasien dengan kanker
lambung dan kolorektal dilaporkan tidak mengalami peningkatan REE,
walaupun hasil ini lebih menunjukkan betapa pasien-pasien ini sangat dekat
dengan kematian pada saat pengukuran (Aoyagi et al., 2015).
Terdapat bukti bahwa persinyalan melalui pathway myostatin/activin
dan sitokin memiliki peran dalam sindrom kaheksia-anoreksia. Berbagai jenis
sitokin, termasuk tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin-1 (IL-1),
IL-6, dan interferon-gamma (IFN-γ) telah dianggap memiliki peran dalam
etiologi kaheksia pada kanker. Sitokin-sitokin ini ditranspor melewati sawar
darah-otak dimana sitokin tersebut berinteraksi dengan permukaan luminal dari
sel-sel endothelial otak, menyebabkan pelepasan substansi yang mempengaruhi
nafsu makan. Reseptor TNF-α dan IL-1 ditemukan pada area-area hipotalamik
otak yang mengatur masuknya makanan. Anoreksia yang dipicu oleh TNF-α
dan IL-6 dapat diblok dengan inhibitor cyclooxygenase. (Ohnuma dan Adigun,
2018)

7
Gambar 1. Metabolisme Energi pada Kakeksia (Maria et al., 2019)

Ada beberapa penyebab terjadinya anoreksia yang terjadi pada sindrom


kaheksia-anoreksia. Penyebab-penyebab ini dapat dikategorikan menjadi dua;
yaitu mekanisme sentral dan perifer. Penyebab perifer yaitu karena (i) tumor
yang menyebabkan disfagia atau mengganggu fungsi gastrointestinal secara
langsung; (ii) tumor memproduksi substansi yang mengganggu intake
makanan, contohnya laktat, triptofan, atau peptida yang berhubungan dengan
parathormon; (iii) tumor yang merusak nutrisi yang berujung pada anoreksia
contohnya zinc; (iv) tumor yang membentuk inflamasi yang memicu pelepasan
sitokin. Gangguan pada fungsi gastrointestinal dapat menganggu fungsi
reseptor visceral, berujung pada gangguan sekresi peptida gastrointestinal
contohnya peptida tirosin tirosin (PYY), dan gangguan pada pengosongan
lambung dapat menganggu umpan balik hormon satiasi. Di perifer, kemoterapi
dapat menganggu persepsi rasa dan menyebabkan mual, muntah, mukositis,

8
kram perut, perdarahan, dan ileus. Disgeusia dapat ditemukan pada 39% pasien
yang menerima kemoterapi. (Ezeoke dan Morley, 2015).

Gambar 2. Penyebab anoreksia pada sindrom kaheksia-anoreksia kanker


(Ezeoke dan Morley, 2015)

Penyebab sentral dari anoreksia adalah depresi, nyeri, atau berbagai


gangguan pada neurotransmiter sentral. Perubahan neurotransmiter pada
depresi yang berujung pada anoreksia adalah gangguan pada produksi serotonin

9
dan corticotrophin-releasing factor (CRF). Saat pasien kanker diberikan
interferon melalui jalur intravena, terdapat peningkatan asam
keurinic/kireunine, yang diasosiasikan dengan depresi dan anoreksia. (Suzuki
et al., 2013). Perilaku 'sakit' diakibatkan oleh berbagai jenis sitokin
proinflamasi. Perilaku ini termasuk kelelahan, rasa lemah, penarikan diri secara
sosial, rasa ngantuk, kesedihan, hilangnya motivasi, hiperalgesia, kesulitan
berkonsentrasi, dan anoreksia. Hipoksia telah dianggap menjadi penyebab
anoreksia pada pasien dengan kanker kepala dan leher (Fraga et al., 2012).

Beberapa penelitian membuktikan bahwa efek anoreksik dari


kemoterapi melibatkan ghrelin. Pemberian methotrexate memicu penurunan
proopiomelanocortin (POMC) messenger RNA (mRNA) (potensial dalam
mengurangi pemberian makanan yang termediasi opioid) dan aktivasi jalur otak
yang berhubungan dengan dehidrasi. Tamoxifen, yang memicu anoreksia saat
digunakan sebagai regimen terapi kanker payudara, menginhibisi sintase asam
lemak di hipotalamus, berujung pada akumulasi malonyl coenzyme A (CoA).
Peningkatan malonyl CoA diasosiasikan dengan anoreksia pada kanker. Agen-
agen kemoterapi yang sering digunakan bekerja pada zona trigger
kemoreseptor, yang berisi reseptor serotonin 5-HT3. Reseptor-reseptor ini
mengaktivasi reseptor neurokinin-1, yang memicu emesis. (Ezeoke dan
Morley, 2015).

C. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penderita Kaheksia kanker meliputi Anoreksia,


penurunan berat badan, penurunan progresif dari lemak subkutan, protein dan

10
kompartmen tubuh lainnya serta tampak pucat. Perubahan komposisi tubuh
yang tampak sebagai penurunan lemak subkutan dan masa tubuh bebas lemak
menyebabkan terjadinya kelelahan, kelemahan, atrofi otot, gangguan fungsi
dan saluran cerna.
1. Anoreksia
Anoreksia sering dijumpai pada pasien kanker, dengan insiden
15%-40% pada saat diagnosis. Anoreksia merupakan penyebab utama
terjadinya kaheksia pada pasien kanker. Penyebab dan mekanisme
anoreksia pada pasien kanker sampai sekarang belum diketahui secara
jelas. Produk metabolit kanker juga dapat menyebabkan anoreksia.
Metabolit kanker juga dapat menyebabkan perubahan rasa kecap. Stress
psikologis yang terjadi pada pasien kanker memegang peran penting
dalam terjadinya anoreksia. Obstruksi mekanik pada traktus
gastrointestinal, nyeri, depresi, kontipasi, malabsorbsi, efek samping
pengobatan seperti opiate, radioterapi dan kemoterapi dapat
menurunkan asupan makanan.
Pengobatan dengan anti kanker juga penyebab tersering
terjadinya malnutrisi. Kemoterapi dapat menyebabkan mual, muntah,
kram perut dan kembung, mucositis dan ileus paralitik. Beberapa
antineoplastik seperti luorourasil, adriamysin, methotrexate dan
cisplatin menginduksi komplikasi gastrointestinal yang berat.
2. Perubahan metabolisme
Metabolism energi berkaitan erat dengan metabolism
karbohidrat, protein dan lemak. Pada pasien kanker metabolisme zat
tersebut mengalami perubahan dan berpengaruh terhadap terjadinya
penurunan berat badan. Hipermetabolisme, didefinisikan dengan
meningkatnya pengeluaran energi pada saat istirahat. Peningkatan
metabolisme ini sampai 50% lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
bukan kanker. Tetapi peningkatan metabolisme tersebut tidak terjadi

11
pada semua pasien kanker. Beberapa penelitian melaporkan
peningkatan metabolism ini berhubungan dengan penurunan status
nutrisi dan jenis serta tumor.
Perubahan metabolisme karbohidrat yang sering terjadi adalah
intoleransi glukosa, diduga akibat dari peningkatan resistensi insulin
dan pelepasan insulinyang tidak adekuat
Metabolisme protein pada pasien kanker terjadi peningkatan
turn over, peningkatan sintesis protein di hati, penurunan sintesis
protein di otot skelet dan peningkatan pemecahan protein otot yang
berakibat terjadinya wasting. Peningkatan gluconeogenesis dari asam
amino dan penggunaan asam amino oleh sel kanker untuk sintesis
protein juga merupakan keadaan yang menyebabkan penurunan massa
otot.
Perubahan metabolisme lemak yang paling utama adalah
metabolism asam lemak bebas dari jaringan adipose dan deplesi lemak
tubuh total. Benerapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan berat
badan pada pasien kanker sebagian besar disebabkan deplesi lemak
tubuh.
3. Sitokin
Beberapa sitokin diketahui mempunyai peran dalam terjadinya
kaheksia pada pasien kanker. Sitokin merupakan polipeptida yang
diproduksi limfosit dan makroag sebagai respon imun endogen terhadap
tumor. Beberapa sitokin yang berperan antara lain IL-1, IL-2, TN dan
interferon gamma. Sitokin dapat mempengaruhi status nutrisi dan
metabolism pasien kanker dengan menyebabkan penurunan nafsu
makan, stimulasi laju metabolism basal, stimulasi ambilan glukosa,
mobilisasi lemak serta cadangan protein.

D. Diagnosis

12
Penegakan diagnosis sindrom kakeksia anoreksia kanker dapat
dilakukan dengan melihat aspek berikut :
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, penegakan diagnosis
adanya sindrom kakeksia anoreksia kanker dapat melalui beberapa hal
dibawah ini, yaitu :
a) Penurunan berat badan
Adanya riwayat penurunan berat badan sebanyak lebih
dari 5% dalam waktu 6 bulan perlu dievaluasi sebagai
assesmen awal penegakan diagnosis (Couch et al., 2007)
b) Penurunan massa otot rangka
Penurunan massa otot dapat digunakan untuk menilai
status nutrisi selain dengan menilai adanya penurunan berat
badan. Assesmen pada massa otot untuk menegakkan
sindrom ini terutama terjadi pada otot gastrocnemius, vastus
lateralis, rectus abdominis, quadrisep dan bisep karena
merupakan otot tipe fast-twitch II yang merupakan tipe otot
yang sering berdampak pada sindrom kakeksia anoreksia
kanker. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan lipatan
kulit untuk menilai status nutrisi (Patrizia et al., 2014)
c) Riwayat nutrisi
Assesmen riwayat nutrisi dilakukan untuk menilai
adanya anoreksia dan penurunan asupan makanan pada
pasien kanker (Patrizia et al., 2014). Anoreksia dapat dinilai
melalui adanya intake makanan yang kurang dari 20
kcal/KgBB atau kurang dari 70% intake makanan sehari-hari
atau adanya penurunan nafsu makan (Evans et al., 2008).
d) Kelelahan

13
Pada pasien dengan sindrom kakeksia anoreksia kanker
terdapat kelelahan yang meningkat lebih dari biasanya. Hal
ini dapat ditegakkan melalui anamnesis kepada pasien kanker
(Patrizia et al., 2014). Pasien akan mengalami kelelahan fisik
maupun mental pada intensitas aktivitas yang sama dan
performa yang menurun (Evans et al., 2008).
e) Range of motion
Adanya penurunan atau gangguan pada kemampuan
gerak biasanya terjadi pada pasien kanker dengan sindrom ini
(Patrizia et al., 2014).
f) Penurunan nilai kualitas hidup
Perlu dilakukan assesmen untuk menilai kualitas hidup
pada pasien kanker dengan kecurigaan sindrom ini. Pada
pasien kanker dengan sindrom ini akan terjadi penurunan
kualitas hidup yang signifikan (Patrizia et al., 2014).
g) Gangguan fungsional
Gangguan fungsional yang semakin buruk pada pasien
kanker dengan sindrom kakeksia anoreksia sindrom dapat
dinilai dengan menggunakan Karnofsky Performance Scale
(Patrizia et al., 2014).
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan serum fibrinogen, hematocrit, dan albumin
Adanya kadar serum albumin yang rendah (<3.2 g/dl),
kadar hematocrit yang rendah (Anemia), dan kadar fibrinogen
yang meningkat pada fase akut bukan pemeriksaan spesifik
untuk kakeksia, namun pemeriksaan ini penting dilakukan
untuk menilai status nutrisi pasien (Patrizia et al., 2014).
Untuk anemia dapat pula dinilai dari kadar hemoglobin yang
kurang dari 12 g/dl (Evans et al., 2008).

14
b. Pemeriksaan serum C-reactive protein (CRP)
1) Adanya peningkatan kadar CRP (>5 mg/L)
berhubungan dengan dengan turunnya berat badan
dan sindrom kakeksia anoreksia kanker. Meskipun
tidak spesifik, pemeriksaan CRP dapat menjadi
marker untuk inflamasi yang terjangkau dan rutin
dilakukan di fasilitas layanan kesehatan sehingga
bermanfaat untuk penegakan sindrom kakesia
anoreksia kanker (Patrizia et al., 2014).
2) Pemeriksaan lain untuk menilai inflamasi sistemik
seperti Glasglow prognostic score, Neutrophil
lymphocyte ratio, dan Platelet lymphocyte ratio dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi pasien yang
mungkin mengalami kakeksia. Selain itu pemeriksaan
ini juga dapat menilai prognosis dan faktor prediksi
dari respon pengobatan (Patrizia et al., 2014).
Sementara untuk pemeriksaan protein seperti transferrin dan
prealbumin, serta metabolisme protein dalam urin seperti kreatinin
kurang bermakna untuk menilai sindrom kakeksia karena pada pasien
kanker dengan malnutrisi kronis tanpa adanya kakeksia dapat bernilai
normal (Patrizia et al., 2014).

E. Tatalaksana
1. Terapi Farmakologis
a) Progestin
Megestrol asetat (MEGACE) dan medroksiprogesteron (MPA)
adalah turunan sintetis, aktif secara oral dari hormon progesteron.

15
MEGACE saat ini digunakan untuk meningkatkan nafsu makan dan
untuk meningkatkan berat badan pada anoreksia terkait kanker.
MEGACE telah ditemukan meningkatkan nafsu makan, kalori intake
dan status gizi dibeberapa uji klinis. Mekanisme dari peningkatan berat
badan sebagian besar tidak tidak diketahui, meskipun MEGACE dapat
merangsang sintesis, transportasi, dan pelepasan neuropeptida g, yang
diketahui mempunyai efek merangsang nafsu makan pada tikus (Aoyagi
et al., 2015).
MPA juga terbukti meningkatkan nafsu makan dan asupan
makanan. MPA telah terbukti mengurangi produksi serotonin secara in
vitro dan sitokin (IL-1, IL-6 dan TNF-α) secara perifer sel mononuklear
darah pasien kanker (Aoyagi et al., 2015).
b) Ghrelin
Ghrelin, mampu menstimulasi sekresi G, menekan produksi sitokin
proinflamasi, meningkatkan struktur dan fungsi jantung, dan mengatur
metabolisme energi. Suatu penelitian mengamati terjadinya
peningkatan yang signifikan dalam asupan makanan dan penambahan
berat badan setelah pemberian ghrelin manusia atau ghrelin sintetis
dalam model tikus cancer cachexia syndrome (Mondello et al., 2015).
c) Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah salah satu stimulan nafsu makan yang paling
banyak digunakan. Suatu studi telah membuktikan bahwa
kortikosteroid meningkatkan nafsu makan dan kualitas hidup
dibandingkan dengan plasebo. MEGACE dan kortikosteroid tampak
sama efektifnya, meskipun untuk penggunaan jangka panjang,
kortikosteroid menghasilkan efek samping yang lebih serius seperti
pemecahan protein, resistensi insulin, retensi air, dan adrenal supresi.
Karena itu, kortikosteroid tidak cocok untuk penggunaan jangka

16
panjang dan harus digunakan dalam waktu terbatas, seperti selama fase
pra-terminal dari cachexia (Aoyagi et al., 2015).
d) Cannabinoids
Cannabinoids, yang terdapat pada ganja, merupakan senyawa kimia
yang mengaktifkan cannabinoid reseptor pada sel yang menekan
pelepasan neurotransmitter di otak. Cannabinoids memiliki efek yang
pasti terhadap kenaikan berat badan dan telah digunakan untuk
meningkatkan asupan makanan pada pasien kanker. Mekanisme kerja
cannabinoids yang dalam menghasilkan efek tersebut belum
diklarifikasi secara pasti. Telah diperkirakan bahwa mereka dapat
bertindak melalui reseptor endorphin, melalui penghambatan
prostaglandin sintesis, atau dengan menghambat sekresi IL-1 (Aoyagi
et al., 2015).
e) Thalomide
Thalomide memiliki modulator imun yang kompleks dan properti
anti-inflamasi. Telah terbukti menurunkan regulasi produksi TNF-α dan
sitokin pro-inflamasi lainnya dalam monosit, untuk menghambat
transkripsi NFkB, menurunkan regulasi siklooksigenase 2, dan untuk
menghambat angiogenesis. Satu uji coba pada pasien dengan cancer
cachexia menunjukkan bahwa obat ini ditoleransi dengan baik dan
efektif mengurangi penurunan berat badan dan massa otot murni pada
pasien dengan kanker pankreas (Aoyagi et al., 2015).
f) Agonis β2-adrenergic
Agonis β2-adrenergik adalah promotor pertumbuhan otot yang kuat
dalam banyak spesies hewan yang menghasilkan hipertrofi otot skeletal,
dan pengurangan kadar lemak tubuh. Formoterol adalah long-acting
agonis β2-adrenergik untuk asma dan PPOK. Formoterol juga
memberikan aksi perlindungan yang kuat terhadap otot skeletal dan otot
jantung dengan menghambat peningkatan degradasi protein, yang mana

17
merupakan karakteristik dari cancer cachexia. Agonis β2-adrenergik
juga diperkirakan mempunyai aksi proteksi melawan apoptosis dari otot
skeletal (Aoyagi et al., 2015).
2. Terapi non farmakologis
a) Modifikasi diet
Sindrom kakeksia berbeda dengan kelaparan sehingga terapi
modalitas tunggal dengan pemberian regimen nutrisi tidak efektif untuk
meningkatkan berat badan dan massa otot. Pada kakeksia, rata-rata
pasien kehilangan 240-400 kkal/hari (Kumar et al., 2010). Pemberian
suplemen sebanyak 1 kalori/mL dinilai tidak akan efektif untuk
meningkatkan status gizi pasien yang menjalani kemoterapi (Couch et
al., 2007). Penelitian terbaru dengan memberikan suplemen padat
protein-kalori dapat mempertahankan berat badan meskipn tidak dapat
meningkatkan massa otot (Fearon, 2008). Pada kakeksia, pasien dengan
pemberian terapi diet akan mengalami “re feeding syndrome” pada 2-3
minggu pertama terapi (Palesty dan Dudrick, 2011). Kondisi ini
membuat pasien mengalami perubahan elektrolit dan cairan yang parah
karena adanya metabolisme yang abnormal. Untuk itu, modifikasi diet
pada kakeksia didahului dengan dengan memperbaiki gangguan
elektrolit dan volume sirkulasi terlebih dahulu. Pemenuhan kebutuhan
kalori dimulai dengan dosis inisial kira-kira 20 kkal/kg per hari (atau
1000 kkal per hari). Pemberian terapi kalori ini secara bertahap dan
berhati-hati sampai pasien mencapai kestabilan metabolism (Suzuki et
al., 2013).
Terapi lain seperti hipofosfatemia akan diterapi apabila kadarnya <0,30
mmol/hari atau terdapat tanda secara klinis. Suplementasi fosfat
diberikan secara IV 40-80 mmol/hari bersamaan dengan magnesium (8-
16 mmol/day) dan kalium (80-120 mmol/hari) diikuti dengan
monitoring (Sobotka, 2004)

18
b) Olahraga
Olahraga dapat memaksimalkan terapi kakeksia karena dapat
meningkatkan sensitivitas insulin, sintesis protein, aktivitas enzim
antioksidan (Radbruch et al., 2010). Olahraga juga dapat menurunkan
respon inflamasi dan meningkatkan fungsi imun pada pasien kakeksia
(Ardiens, 2011). Mekanisme-mekanisme tersebut dapat membantu
membatasi perubahan patofisiologi kakeksia.
Latihan endurance (latihan dengan intensitas banyak dalam
waktu yang Panjang dan beban ringan) dapat memperbaiki kelelahan
(fatigue) akibat kanker, sementara latihan resistance (latihan dengan
intensitas sedikit namun beban berat) dapat mengurangi pengecilan otot
pada kondisi katabolic yang berbeda (Radbruch et al., 2010). Terapi
fisik dapat membantu mengurangi kelelahan dan depresi pada pasien
serta memperbaiki kekuatan dan ROM (Radbruch et al., 2010).
c) Konseling nutrisi
Konseling dilakukan untuk memaksimalkan jumlah intake
makanan pasien yang didapat melalui oral. Konseling dilakukan untuk
memaksimalkan jenis, waktu, dan kualitas makanan pasien (Inui, 2012).

F. Prognosis
Adanya cancer cachexia syndrome pada pasien kanker dapat
mempengaruhi hasil pengobatan dan bahkan menimbulkan kematian. Cancer
cachexia syndrome telah dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, dan diperkirakan telah menyebabkan kematian lebih dari 20%
pasien kanker. Walaupun penurunan berat badan, anoreksia, dan anemia, yang
mengarah ke asthenia, mencirikan status mobirditas cancer cachexia, namun
penyebab utama kematian adalah karna kegagalan pernapasan. Manajemen
dari cancer cachexia telah berkembang secara pesat dalam dekade terakhir. Saat
ini semua treatment untuk cancer cachexia bersifat paliatif, tapi agen-agen baru

19
sudah meningkatkan kelangsungan hidup serta kualitas hidup pasoen. Agen
anti-neoplastik reguler mempunyai kemampuan untuk mengobati kanker,
namun dalam banyak kasus memperburuk cachexia (Danaphal et al., 2011;
Aoyagi et al., 2015)

BAB III
RINGKASAN

Kanker cachexia merupakan sindrom multifactorial ditandai dengan hilangnya


massa otot rangka yang berkelanjutan (dengan atau tanpa kehilangan massa lemak)
yang tidak dapat sepenuhnya dikembalikan dengan dukungan nutrisi konvensional dan

20
mengarah pada penurunan fungsi progresif. Perkembangan kanker cachexia biasanya
pada orang-orang dengan tumor padat seperti kanker pankreas, paru-paru, lambung dan
kolorektal
Kakeksia pada kanker dipengaruhi oleh mekanisme respon fisiologis dari
mobilisasi substrat yang dipicu oleh inflamasi. Terdapat peningkatan aktivitas sitokin
proinflamasi saat progresi pembentukan kanker, dan inflamasi sistemik adalah
hallmark dari sindrom kaheksia pada kanker, yang diindikasikan dengan produksi
protein respon fase akut (APR, acute-phase response) seperti protein C-reaktif dan
fibrinogen. CRP dianggap sebagai penentu aktivitas sitokin proinflamasi yang akurat
yang berhubungan erat dengan muscle wasting. APR berhubungan erat dengan
inflamasi dan penurunan berat badan yang terjadi pada kaheksia dan penurunan
kualitas hidup pada pasien kaheksia. Fenomena ini meningkatkan katabolisme otot dan
transfer asam amino dari anabolisme otot menuju pool asam amino yang dibutuhkan
untuk anabolisme protein APR.
Penyebab kakeksia pada kanker dapat dikategorikan menjadi dua; yaitu
mekanisme sentral dan perifer. Penyebab perifer yaitu karena (i) tumor yang
menyebabkan disfagia atau mengganggu fungsi gastrointestinal secara langsung; (ii)
tumor memproduksi substansi yang mengganggu intake makanan, contohnya laktat,
triptofan, atau peptida yang berhubungan dengan parathormon; (iii) tumor yang
merusak nutrisi yang berujung pada anoreksia contohnya zinc; (iv) tumor yang
membentuk inflamasi yang memicu pelepasan sitokin. Sedangkan penyebab sentral
dari anoreksia adalah depresi, nyeri, atau berbagai gangguan pada neurotransmiter
sentral. Perubahan neurotransmiter pada depresi yang berujung pada anoreksia adalah
gangguan pada produksi serotonin dan corticotrophin-releasing factor (CRF).
Manifestasi klinis penderita kaheksia kanker meliputi anoreksia, perubahan
metabolism energi baik karbohidrat, protein, dan lemak yang bermanifestasi pada
penurunan berat badan, penurunan progresif dari lemak subkutan, protein dan
kompartmen tubuh lainnya.

21
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
didapatkan adanya penurunan berat badan dan massa otot, kelelahan, gangguan ROM,
penurunan nilai kualitas hidup, gangguan fungsional serta anoreksia melalui
penggalian riwayat nutrisi. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan serum fibrinogen, hematocrit, dan albumin,
serum C-reactive protein (CRP) dan pemeriksaan lain untuk menilai inflamasi sistemik
seperti Glasglow prognostic score, Neutrophil lymphocyte ratio, dan Platelet
lymphocyte ratio.
Tatalaksana kanker cachexia meliputi tatalaksana farmakologi dan non
farmakologi. Tatalaksana farmakologi meliputi progestin, ghrelin, kortikosteroid,
cannabinoids, thalomide, dan agonis β2-adrenergic. Sementara terapi non farmakologi
berupa modifikasi diet, olahraga dan konseling nutrisi.
Adanya cancer cachexia syndrome pada pasien kanker dapat mempengaruhi
hasil pengobatan dan bahkan menimbulkan kematian. Kancer cachexia syndrome telah
menyebabkan kematian lebih dari 20% pasien kanker. Penyebab utama kematian yang
sering terjadi adalah karena kegagalan pernapasan.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Majid S, McCarthy DO. Cancer-induced fatigue and skeletal
muscle wasting: the role of exercise. Biol Res Nurs. 2001;2(3):
186–97
Aoyagi, T., Terracina, K. P., Raza, A., Matsubara, H., & Takabe, K. (2015). Cancer

22
cachexia, mechanism and treatment. World journal of gastrointestinal oncology,
7(4), 17–29.
Ardies CM. Exercise, cachexia, and cancer therapy: a molecular
rationale. Nutr Cancer. 2001;42(2):143–57
Arends J, Bachmann P, Baracos V, et al. ESPEN guidelines on nutrition in cancer
patients. Clin Nutr 2017;36:11–48.
Couch M, Lai V, Cannon T, Guttridge D, Zanation A, et al. (2007). Cancer Cachexia
syndrome in head and Neck cancer patient Part 1: diagnosis impact on quality of
life and survival, and treatment. Head and Neck 209 : 401-411
Dhanapal, R., Saraswathi, T., & Govind, R. N. (2011). Cancer cachexia. Journal of
oral and maxillofacial pathology : JOMFP, 15(3), 257–260.
Evans, W. J., Morley, J. E., Argilés, J., Bales, C., Baracos, V., Guttridge, D., … Anker,
S. D. (2008). Cachexia: A new definition. Clinical Nutrition, 27(6), 793–799
Ezeoke, C. C., & Morley, J. E. (2015). Pathophysiology of anorexia in the cancer
cachexia syndrome. Journal of cachexia, sarcopenia and muscle, 6(4), 287–302.
Fearon KCH. Cancer cachexia: developing multimodal therapy
for a multidimensional problem. Eur J Cancer. 2008;44(8):
1124–32
Fraga CAC, Sousa AA, Correa GTB, Jorge ASB, Jesus SF, Jones KM, et al (2012).
High hypoxia-inducible factor-1a expression genotype associated with Eastern
Cooperative Oncology Group performance in head and neck squamous cell
carcinoma. Head Neck Oncol. 2012;4:77.
Inui A. Cancer anorexia-cachexia syndrome: current issues in
research and management. CA Cancer J Clin. 2002;52(2):72–9
Kumar NB, Kazi A, Smith T, Crocker T, Yu D, Reich RR, et al.
Cancer cachexia: traditional therapies and novel molecular
mechanism-based approaches to treatment. Curr Treat Options
Oncol. 2010;11(3–4):107–17
Mondello, P., Mian, M., Aloisi, C., Famà, F., Mondello, S., & Mondello, P. (2015).

23
Cancer Cachexia Syndrome : Pathogenesis , Diagnosis , and New Therapeutic
Options Cancer Cachexia Syndrome : Pathogenesis , Diagnosis , and New
Therapeutic Options, (December 2014), 37–41.
https://doi.org/10.1080/01635581.2015.976318
Ohnuma T, Adigun R. (2018). Cancer, Anorexia and Cachexia. [Updated 2018 Dec
2]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430977/
Palesty JA, Dudrick SJ. Cachexia, malnutrition, the refeeding
syndrome, and lessons from Goldilocks. Surg Clin North Am.
2011;91(3):653–73
Patrizia Mondello, Michael Mian, Carmela Aloisi, Fausto Famà, Stefania Mondello &
Vincenzo Pitini (2014): Cancer Cachexia Syndrome: Pathogenesis, Diagnosis,
and New Therapeutic Options, Nutrition and Cancer
Radbruch L, Elsner F, Trottenberg P, Strasser F, Fearon K.
Clinical practice guidelines on cancer cachexia in advanced
cancer patients. Aachen, Department of Palliative Medicinen/
European Palliative Care Research Collaborative. 2010.
Sobotka L. Refeeding syndrome. Basics in clinical nutrition. 3rd
ed. Prague: Galen; 2004. p. 288–91
Suzuki, H., Asakawa, A., Amitani, H., Nakamura, N., & Inui, A. (2013). Cancer
cachexia--pathophysiology and management. Journal of gastroenterology,
48(5), 574–594.
Tuca A, Jimenez-Fonseca P, Gascón P. Clinical evaluation and optimal management
of cancer cachexia. Crit Rev Oncol Hematol 2013;88:625–36.

24

Anda mungkin juga menyukai