Anda di halaman 1dari 16

Referat

PEMILIHAN ANTIBIOTIK PADA ACUTE KIDNEY INJURY

Oleh:

Anugerah Indah Mareta, S.Ked 04084821921030


Nanda Syauqiwijaya, S.Ked 04084821921149

Pembimbing:
dr. Agustina Br Haloho, SpAn (K).M.Kes
dr. Sia Dafit

BAGIAN/DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat

PEMILIHAN ANTIBIOTIK PADA ACUTE KIDNEY INJURY

Oleh:

Anugerah Indah Mareta, S.Ked 04084821921030


Nanda Syauqiwijaya, S.Ked 04084821921149

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

Palembang, Februari 2020

dr. Agustina Br Haloho, SpAn (K).M.Kes


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “PEMILIHAN ANTIBIOTIK PADA ACUTE KIDNEY INJURY”.
Laporan ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH Palembang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr dr. Agustina Br Haloho,


SpAn (K).M.Kes dan dr. Sia Dafit selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah
membantu hingga selesainya referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi yang
membacanya.

Palembang, Februari 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Acute kidney injury (AKI) atau Cidera ginjal akut (sebelumnya dikenal sebagai gagal
ginjal akut) adalah masalah kesehatan masyarakat global yang menyebabkan tingginya angka
kesakitan, kematian, dan perawatan. AKI merupakan sindrom yang ditandai dengan hilangnya
fungsi ekskresi ginjal dengan cepat dan biasanya didiagnosis dengan akumulasi produk akhir
metabolisme nitrogen (urea dan kreatinin) atau penurunan produksi urin, atau bisa keduanya.
Selain itu, AKI juga merupakan komplikasi yang sering dari penyakit kritis dan membawa
risiko signifikan kematian jangka pendek dan jangka panjang. 1,2,3

Dalam sumber lainnya, AKI didefinisikan sebagai penurunan mendadak (dalam


beberapa jam) pada fungsi ginjal, yang meliputi cedera (kerusakan struktural) dan gangguan
(kehilangan fungsi). Ditambahkan juga bahwa ini adalah kelompok kondisi heterogen yang
ditandai oleh penurunan tiba-tiba dalam laju filtrasi glomerulus (GFR) diikuti oleh
peningkatan konsentrasi serum kreatinin (SCC) atau oliguria serum. 3,4,5

Tabel 1. Definisi dan staging AKI.3

AKI umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit akut atau kronis. Kondisi ini
diketahui telah mempengaruhi sekitar 20% dari pasien rawat inap, dan 10% di antaranya
membutuhkan terapi penggantian ginjal (KRT). Pedoman klinis terbaru dari Kidney Disease
Improving Global Outcomes (KDIGO) mendefinisikan AKI sebagai subkelompok penyakit
dan gangguan ginjal akut (AKD), dan mengklasifikasikan AKI berdasarkan tingkat keparahan
(tahapan) dan penyebab, yang mempengaruhi prognosis dan manajemen. 4

Dampak dan prognosis AKI sangat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan,
pengaturan klinis, faktor penyerta, dan juga lokasi geografis. Diagnosis cepat dan
pemeriksaan diagnostik yang tepat sangat penting untuk mengidentifikasi jenis-jenis AKI di
mana terapi khusus dan intervensi tersedia untuk membalikkan proses cedera dalam ginjal.
Penyebab umum cedera ginjal akut yang merupakan sepsis, akhirnya membuat pemberian
antibiotik yang tepat pada pasien menjadi hal yang sangat penting. Dosis obat pada pasien
sakit kritis dengan AKI, bagaimanapun keadaannya, merupakan hal yang cukup kompleks,
sehingga perlu untuk dibahas lebih lanjut.5

Dijelaskan juga bahwa proses perawatan memiliki pengaruh pada penyebab dan hasil
AKI. Diagnosis dan pengobatan sepsis yang tertunda, disebutkan dapat mengarah pada
kematian yang lebih tinggi. Selain itu, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa dosis
antibiotik pada pasien sakit kritis dengan cedera ginjal akut (AKI) sering tidak mencapai
tujuan farmakodinamik, dan tingkat kematian yang tinggi karena penyebab infeksi. 6,7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Gagal ginjal akut adalah suatu sindroma yang ditandai oleh
meningkatnya secara cepat hasil- hasil metabolik yang seharusnya
diekskresikan oleh ginjal.

ETIOPATOFISIOLOGI

AKI adalah sindrom yang jarang memiliki patofisiologi tunggal dan berbeda.
Mikrovaskatur ginjal memainkan peran penting dalam patofisiologi AKI. Ginjal memiliki
kebutuhan energi yang tinggi dengan ekstraksi oksigen bersih (O2) yang relatif rendah,
namun oksigenasi dari medula luar cukup marjinal dan arsitektur vaskular di wilayah ini
sangat rentan terhadap kompromi perfusi vaskular dan oksigenasi lebih lanjut. Dalam kondisi
steady-state, pasokan O2 ke ginjal diatur dengan baik. Pengiriman O2 yang adekuat
diperlukan untuk produksi mitokondria adenosin trifosfat (ATP) serta nitrat oksida (NO) dan
spesies oksigen reaktif (ROS) yang diperlukan untuk kontrol fungsi ginjal homeostatis.
Dengan cedera, sirkulasi mikro terganggu, menyebabkan ketidakseimbangan dalam pasokan
dan penggunaan NO, ROS, dan O2. Efek patogenik berikutnya termasuk hipoksia dan stres
oksidatif. Cedera pada endotel mikrovaskuler dan perubahan glikokaliks menyebabkan
aktivasi sel endotel dengan ekspresi baru penanda permukaan sel yang mempromosikan
rekrutmen dan adhesi leukosit dan platelet, yang mengarah pada perubahan lebih lanjut dalam
perfusi dan pengiriman O2 dan untuk tambahan cedera sel dan peradangan sel endotel.
Dengan kerusakan, ada peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edema interstitial, dan
kompromi lebih lanjut dalam aliran darah. Selain itu, stres oksidatif dan produksi
prostaglandin vasokonstriktif oleh tubulus yang rusak lebih lanjut mengganggu pengiriman
O2, yang mengarah ke fenomena "no-reflow" lokal di mana mikrovaskulatur yang tersumbat
memperburuk cedera awal. Konsekuensi utama jangka panjang dari cedera mikrovaskuler
adalah pengurangan kepadatan kapiler peritubular, yang sebagian merupakan respons
terhadap penurunan VEGF (faktor pertumbuhan endotel pembuluh darah) dan peningkatan
pensinyalan TGF-β (mentransformasikan faktor pertumbuhan beta), yang berkontribusi pada
hipoksia yang sedang berlangsung dan perkembangan fibrosis ginjal. 1,3

Gambar 1. Mekanisme terjadinya AKI.1

Secara umum, etiologi AKI dibagi menjadi 3 yaitu prerenal, intrinsik, dan postrenal.
Prerenal dapat disebabkan karena hipovolemi, impaired cardiac function, vasodilatasi
sistemik, dan peningkatan resistensi vascular. Kategori intrinsic dapat terjadi karena adanya
abnormalitas pada tubular (renal iskemik, obat nefrotoksik, toksin endogen), glomerular (post
infeksi glomerulonephritis, lupus, Wegener syndrome, dsb), interstitium (infeksi dan obat-
obatan), dan faktor vascular (vasculitis, malignant hypertension, emboli, dsb). Sedangkan
untuk postrenal dapat terjadi karena obstruksi ekstrarenal dan intrarenal. 3

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN


Pasien yang sakit kritis sering diobati dengan terapi antibiotik empiris, termasuk
vankomisin dan b-laktam. Bukti terbaru menunjukkan peningkatan risiko cedera ginjal akut
(AKI) pada pasien yang menerima kombinasi vancomycin dan piperacillin-tazobactam (VPT)
dibandingkan dengan pasien yang menerima vankomisin saja atau vankomisin dalam
kombinasi dengan cefepime (VC) atau meropenem (VM). Namun, seperti diketahui bahwa
sepsis adalah penyebab umum dari cedera ginjal akut. Sehingga berakibat pada pemberian
dosis antibiotik yang tepat pada pasien AKI yang merupakan hal mutlak dan sangat penting.
Disebutkan bahwa untuk setiap jam terapi antibiotik yang ditunda, risiko AKI akan meningkat
sekitar 40%.4,8,9

Terapi cairan IV dan antibiotik dini penting untuk mengobati infeksi pada pasien
AKI. Pada pasien yang sakit kritis dengan AKI, dosis yang lebih tinggi mungkin diperlukan.
Terapi antibiotik yang tepat membutuhkan keseimbangan antara kebutuhan dosis yang cukup
tinggi untuk memperhitungkan perubahan farmakokinetik pada pasien, resistensi patogen
yang umum di ICU, dan pembersihan obat ekstrakorporeal versus kekhawatiran toksisitas
antibiotik pada pasien rentan dengan gangguan pembersihan obat. 4,7

Gambar 2. Ilustrasi kemungkinan jalur cedera yang mungkin terkait dengan resusitasi cairan yang
berlebihan pada pasien yang berisiko atau mengalami sepsis AKI.8
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa dosis pada pasien sakit kritis dengan
cedera ginjal akut sering tidak mencapai tujuan farmakodinamik, dan tingkat kematian yang
tinggi dikarenakan penyebab infeksinya. Meskipun ada alasan kuat mengapa dokter harus
menggunakan dosis yang lebih agresif, terutama pada pasien yang menerima terapi
penggantian ginjal yang agresif, kekhawatiran terhadap toksisitas terkait dengan dosis yang
lebih tinggi adalah nyata. Adanya kegagalan organ dan polifarmasi mempengaruhi pasien ini
terhadap keracunan obat. Sehingga, para dokter menggunakan antibiotik dengan sistem
“cukup, tetapi tidak terlalu banyak”.7

Gambar 3. Penggunaan antibiotik adalah cukup tapi tidak terlalu banyak. Keputusan dokter untuk
memilih dosis yang lebih tinggi atau yang lebih rendah pada pasien sakit kritis dengan penyakit
ginjal akut membutuhkan keseimbangan yang sering bertentangan.7

Selanjutnya, untuk mengetahui dosis antibiotic yang diperlukan pada pasien AKI,
seorang dokter harus mempertimbangkan farmakodinamik dan farmakokinetik pada pasien.
Farmakokinetik dan farmakodinamik adalah alat yang menentukan berapa banyak dan
seberapa sering obat harus dikeluarkan. Farmakokinetik menggambarkan penyerapan,
distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat, sedangkan farmakodinamik menggambarkan
dampak kadar serum dan respons obat.10
PERUBAHAN FARMAKOKINETIK PASIEN AKI

Pasien sakit kritis dengan AKI sering menunjukkan profil farmakokinetik yang
berbeda dalam menanggapi pengobatan obat dibandingkan dengan orang sehat atau pasien
dengan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Secara umum, perubahan farmakokinetik dapat
dikategorikan sebagai perubahan dalam absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi. 7,10

 Absorpsi
Umumnya pasien yang sakit kritis dengan AKI tidak menerima antibiotik oral,
kecuali fluoroquinolon dan linezolid. Meskipun tidak sepenuhnya dipahami, penyebab yang
mendasari disabilitas gastrointestinal mungkin termasuk ileus pasca operasi, penggunaan
opioid, ventilasi mekanis, trauma, cedera kepala, dan sepsis. Dalam sebuah penelitian
retrospektif, dismotilitas gastrointestinal diamati pada 60% pasien ICU, yang dapat memiliki
efek mendalam pada penyerapan obat dari saluran pencernaan. Antibiotik dapat melekat pada
tabung makanan atau berinteraksi dengan produk nutrisi yang diberikan bersama dan obat-
obatan lainnya, sehingga mengurangi bioavabilitas. Dan selanjutnya, penyerapan dari obat
intravena biasanya tidak berubah.7

 Distribusi
Patogenesis sepsis melibatkan kelainan endotel, peningkatan permeabilitas kapiler,
dan akumulasi cairan dalam ruang interstitial, yang mengakibatkan peningkatan volume
antibiotik distribusi. Banyak peneliti telah menunjukkan penurunan kadar serum antibiotik
pada pasien yang sakit kritis sekunder akibat peningkatan volume distribusi, menunjukkan
perlunya dosis yang lebih tinggi daripada rekomendasi dosis standar untuk mempertahankan
konsentrasi serum yang sesuai.7,10

Peningkatan volume distribusi lebih jelas pada sepsis berat dan pada tahap awal
sepsis. Pasien dengan sepsis hyperdynamic memiliki volume distribusi gentamisin yang
secara signifikan lebih besar (0,48 L / kg), dibandingkan dengan mereka yang memiliki sepsis
hipodinamik (0,32 L / kg) dan pasien nonseptik yang menerima dosis gentamisin profilaksis
pasca bedah (0,29 L / kg). Taccone et al mencatat bahwa dosis konvensional konvensional b-
laktam spektrum luas yang diberikan pada tahap awal sepsis berat dan syok septik gagal
mencapai konsentrasi yang memadai karena adanya peningkatan volume distribusi. Volume
peningkatan yang signifikan dari distribusi juga diamati pada pasien sakit kritis dengan AKI
yang menerima RRT terus menerus (CRRT) setelah pemberian dosis pertama daptomycin
yang memiliki sifat hidrofilik dan lipofilik (0,23 L / kg42,45 vs 0,08-0,15 L / kg dalam
kondisi pasien non AKI).7

 Metabolisme
Metabolisme hati tergantung terutama pada aliran darah hati, aktivitas enzimatik, dan
pengikatan protein. Perubahan dalam satu atau lebih proses fisiologis ini akan menyebabkan
perubahan metabolisme obat di hati. Cedera ginjal akut juga dapat memengaruhi aktivitas
enzim Cytochrome P450 (CYP). Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa efek AKI pada
metabolisme hati adalah spesifik obat, tetapi satu studi pada manusia menunjukkan AKI
mengurangi aktivitas enzim CYP 3A, yang memainkan peran metabolisme yang signifikan
untuk lebih dari 50% dari semua obat. Mekanisme metabolisme hepatik yang berubah pada
AKI adalah proses yang rumit dan kurang dipahami. 7

 Eliminasi
Pembersihan obat di ginjal merupakan proses dinamis yang melibatkan filtrasi
glomerulus, sekresi tubular, dan reabsorpsi. Dalam AKI, terjadi berkurangnya filtrasi
glomerulus dan gangguan sekresi tubular sekunder akibat penurunan aktivitas transporter obat
yang dapat menyebabkan akumulasi antibiotik di renal. 7

PERUBAHAN FARMAKODINAMIK

Farmakodinamik bertujuan untuk menggambarkan dampak kadar serum dan respons


obat. Untuk mengoptimalkan terapi antibiotik, parameter farmakokinetik harus
7,10
diperhitungkan jika target farmakodinamik harus dipenuhi.
Gambar 4. Farmakodinamik antibiotik.10

Hubungan farmakokinetik / farmakodinamik yang kompleks ini dijelaskan dengan


mengkarakterisasi antibiotik menjadi 2 kategori berbeda, yaitu aktivitas yang bergantung pada
konsentrasi atau aktivitas yang tergantung waktu. Untuk antibiotik yang bergantung pada
konsentrasi (aminoglikosida, daptomisin, dan fluoroquinolon), hasil terapeutik akan
dimaksimalkan ketika konsentrasi serum puncak tinggi (Cmax) relatif terhadap konsentrasi
minimum penghambatan organisme (MIC) tercapai. Dengan antibiotik yang bergantung pada
waktu (b-laktam, karbapenem), waktu konsentrasi serum di atas MIC (T> MIC) adalah
penentu paling penting dari keefektifannya. Untuk beberapa antibiotik (vankomisin, linezolid)
menampilkan kedua karakteristik, rasio tinggi area di bawah kurva konsentrasi-waktu serum
(AUC) dengan MIC bakteri telah dikaitkan dengan keberhasilan antibakteri. Selain
karakteristik membunuh bakteri, efek postantibiotik, penekanan pertumbuhan bakteri yang
persisten setelah konsentrasi turun di bawah MIC untuk organisme tertentu, dapat
mempengaruhi efek antibakteri dan membantu menentukan dosis antibiotik yang optimal dan
frekuensi pemberian.7
Tabel 2. Strategi Dosis Antibiotik pada Pasien Sakit Kritis dengan AKI untuk Meningkatkan
Tingkat Pencapaian Target Farmakodinamik.7

DOSIS PENGGUNAAN

Sepsis adalah penyebab paling umum kematian pada pasien yang sakit kritis dan
dikaitkan dengan kegagalan multiorgan, termasuk pada kasus AKI. Situasi ini dapat
memerlukan dukungan ginjal akut dan meningkatkan mortalitas. Oleh karena itu, penting
untuk memberikan antibiotik dalam dosis yang mencapai tingkat serum yang memadai,
menghindari overdosis dan toksisitas obat serta kekurangan dosis dan risiko resistensi
antibiotik dan mortalitas yang lebih tinggi. Namun hingga kini tidak ada pedoman validasi
tentang penyesuaian dosis antibiotik pada pasien septik dengan AKI. 10

Pada pasien yang memiliki perbedaan khusus (berat badan dan status volume),
spesifik RRT (laju efluen, fluks dialyzer, dan cara penggantian cairan), dan karakteristik obat
(farmakokinetik dan farmakodinamik) harus menjadi pedoman dalam memberikan keputusan
dosis awal, serta dosis harus disesuaikan terus-menerus seiring perubahan status klinis pasien.
Sehingga, dosis obat pada pasien dengan AKI cukup kompleks.

Strategi pemberian dosis ‘fit satu ukuran untuk semua pasien’ (mis. 500 mg terlepas
dari massa tubuh) akan mengabaikan variabilitas ukuran tubuh dan komposisi cairan tubuh
pasien yang sakit kritis, yang dimana hal ini kemungkinan akan mengarah pada konsentrasi
serum rendah yang tidak tepat. Kebanyakan antibiotik penicillin, sefalosporin, dan
carbapenem merekomendasikan dosis pada orang dewasa yang sama dengan interval dosis
disesuaikan untuk AKI. Penggunaan dosis karbapenem / sefalosporin 500 mg pada pasien
dengan volume distribusi yang kemungkinan 50% hingga 100% lebih besar daripada pasien
non AKI, di mana dosis ini bila diturunkan akan memiliki peluang yang jauh lebih rendah
untuk mencapai target farmakodinamik.7

Tabel 3. Penggunaan antibiotik yang sering di ICU.10


TOKSISITAS

Meskipun ada banyak alasan kuat untuk mempertimbangkan dosis antibiotik yang
lebih agresif pada pasien yang sakit kritis dengan AKI, namun tetap saja bahwa toksisitas dari
dosis antibiotik yang terlalu tinggi adalah hal yang perlu untuk diperhatikan. Pasien yang
dinamis namun rentan sering mengalami disfungsi banyak organ tetapi sering menerima
banyak obat yang sifatnya toksik. Diketahui sebanyak 22% pasien dewasa ICU menerima
obat-obatan nefrotoksik. Dengan adanya banyak faktor risiko, pasien ini akan lebih rentan
terhadap akumulasi dan toksisitas obat karena AKI. Serta diketahui bahwa antibiotik adalah
kelas obat yang paling umum menyebabkan toksisitas pada ICU. 7

Terlepas dari kekhawatiran akan nefrotoksisitasnya yang terkenal, aminoglikosida


dan vankomisin tetap sebagai andalan terapi antibiotik di ICU. Nephrotoxin terkenal lainnya,
colistin, telah diperkenalkan kembali sebagai pilihan pengobatan terakhir untuk infeksi
bakteri gram negatif resisten multidrug, walaupun nefrotoksisitasnya sangat tinggi (50%).
Sebuah studi dengan 201 pasien sakit kritis yang diobati dengan aminoglikosida melaporkan
hingga 30% kejadian nefrotoksisitas. Selain itu, demam, endotoksemia, dan hipoperfusi ginjal
yang terkait dengan sepsis dan AKI dapat memperburuk kerusakan ginjal yang sudah ada
sebelumnya dengan penggunaan aminoglikosida.7
DAFTAR PUSTAKA

1. Zuk A dan Bonventre JV. Acute Kidney Injury. Annu Rev Med. 2016; 67:
293-307.
2. Forni LG, Darmon M, Ostermann M, Straaten HM, et al. Renal recovery after
acute kidney injury. Intensive care med. 2017; 43: 855-866.
3. Makris K dan Spanou L. Acute Kidney Injury: Definition, Pathophysiology
and Clinical Phenotypes. Clin Biochem Rev. 2016; 37 (2): 85-98.
4. Levey AS, dan James MT. Acute Kidney Injury. Annals of internal medicine.
2017; 1-20.
5. Ostermann M dan Joannidis M. Acute kidney injury 2016: diagnosis and
diagnostic workup. Critical care. 2016; 20 (299): 1-13.
6. Kashani K, Macedo E, Burdmann EA, Hooi LS, et al. Acute kidney injury risk
assessment: differences and similarities between resource-limited and resource
rich countries. Kidney international reports. 2017; 1-11.
7. Lewis SJ dan Mueller BA. Antibiotic dosing in patients with acute kidney
injury: “enough but not too much”. Journal of intensive care medicine. 2016;
31 (3): 164-176.
8. Bellomo R, Kellum JA, Ronco C, Wald R, et al. Acute Kidney Injury in
Sepsis. Intensive care med. 2017; 1-13.
9. Blevins AM, Lashinsky JN, McCammon C, Kollef M, et al. Incidence of acute
kidney injury in critically ill patients receiving vancomycin with concomitant
piperacillin-tazobactam, cefepime, or meropenem. Antimicrobial agents and
chemotherapy. 2019; 63 (5): 1-10.
10. Zamoner W, Freitas FM, Garms DSS, Oliveira MG, et al. Pharmacokinetics
and pharmacodynamics of antibiotics in critically ill acute kidney injury
patients. Pharma res per. 2016; 4 (6): 1-7.

Anda mungkin juga menyukai