Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN

DENGAN AKI (ACUTE KIDNEY INJURY)

Disusun untuk Memenuhi Seminar Kelompok 2


Pada Mata Kuliah Keperawatan Gawat Daruratan Sistem 2 Semester Tujuh
Yang diampu oleh Ns. Yunie Armiati, M.Kep, Sp.KMB

OLEH:

SITI MUHARROMAH MARIA (G2A016059)


DINDA SETYANINGSIH (G2A016060)
DENI PURNASARI (G2A016061)
BENNY KAESHA ADDAMAGHANY (G2A016062)
AZKIYA FALIHAH (G2A016063)
NISA ANI SAPUTRI (G2A016064)
FRISCA AYUDYA (G2A016065)
AULIA FIRODATUL JANAH (G2A016066)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2019
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-Nya maka penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan
Kegawatdaruratan Pada Pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury)”

Makalah ini, merupakan persyaratan untuk menyelesaikan tugas seminar


kelompok 2 pada mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat Sistem 2 Semester
Tujuh program studi S1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Semarang.

Dengan segala bantuan, dukungan, bimbingan serta pengarahan dalam proses


penulisan makalah ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada :

1. Ns. Yunie Armiati, M.Kep, Sp.KMB. Selaku dosen pengampu pada mata
kuliah Keperawatan Gawat Darurat Sistem2 Semester tujuh
2. Anggota klompok 2 yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk
penyusunan makalah ini.
3. Seluruh rekan-rekan yang mengikuti mata kuliah Keperawatan Gawat
Darurat Sistem2 Semester tujuh ini
4. Kedua orang tua yang selalu memberikan nasihat, dukungan kepada
penulis.
5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menghaturkan


permohonan maaf bila masih terdapatnya kekurangan dalam penulisan makalah
ini. Penulis menyambut baik segala upaya untuk memperkuat makalah ini melalui
saran yang membangun.
Semarang, 19 November 2019
Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

AKI (Acute Kidney Injury) sebelumnya dikenal sebagai gagal


ginjal akut (GGA), dengan definisi keadaan penurunan cepat fungsi ginjal
dalam waktu 48 jam, dan ditandai dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR) , peningkatan kadar kreatinin serum dan nitrogen urea
darah serum (BUN), dan penurunan output urin (UOP) . (Farrar, 2018)
Definisi AKI telah mengalami beberapa kali revisi selama
beberapa dekade terakhir. Kriteria RIFLE (risk, injury, failure, loss, end-
stage renal disease) awalnya diusulkan pada tahun 2004, dan kemudian
dimodifikasi pada tahun 2007 untuk memasukkan peningkatan kadar
kreatinin serum (SCR) absolut. Selain itu, pada tahun 2012, kedua definisi
tersebut digabungkan menjadi apa yang saat ini digunakan oleh KDIGO
(Kidney Disease; Improving Global Outcomes), yaitu adanya peningkatan
kadar kreatinin serum dan penurunan output urin merupakan indikasi AKI
(Co & Gunnerson, 2019)
AKI (Acute Kidney Injury) dapat mengakibatkan hilangnya fungsi
ginjal secara tiba-tiba, menyebabkan retensi produk limbah, gangguan
elektrolit, dan perubahan status volume. Perubahan fungsi ginjal dideteksi
oleh perubahan biomarker, biomarker yang paling umum adalah serum
kreatinin (SCr). Kreatinin serum adalah biomarker yang tidak sempurna
untuk mengenali AKI, mengingat bahwa peningkatan SCr sering tertinggal
(48-72 jam) di belakang timbulnya cedera. Selain itu, SCr tidak dalam
kondisi tunak pada pasien yang sakit kritis, yang menyebabkan perkiraan
tingkat filtrasi glomerulus (eGFR) yang tidak akurat. (Awdishu & Wu,
2017)
AKI (Acute Kidney Injury) dapat menyebabkan komplikasi yang
mengancam jiwa karena cairan dan limbah menumpuk di dalam tubuh.
Jika tidak diobati, AKI dapat menyebabkan kematian. Oleh karenanya
diperlukan suatu asuhan kegawatdaruratan pada pasien AKI (Acute
Kidney Injury)

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum:
Mahasiswa mampu memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada
pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury)
2. TujuanKhusus
a. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian AKI (Acute Kidney
Injury).
b. Mahasiswa dapat menjelaskan etiologi AKI (Acute Kidney
Injury).
c. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi AKI (Acute Kidney
Injury).
d. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinik AKI (Acute
Kidney Injury)
e. Mahasiswa dapat menyebutkan penatalaksanaan
kegawatdaruratan AKI (Acute Kidney Injury).
f. Mahasiswa dapat mnyebutkan pengkajian kegawatdaruratan AKI
(Acute Kidney Injury).
g. Mahasiswa dapat menjelaskan pathways keperawatan
kegawatdaruratan AKI (Acute Kidney Injury)
h. Mahasiswa dapat menyebutkan diagnosa keperawatan
kegawatdaruratan AKI (Acute Kidney Injury)
i. Mahasiswa dapat menjelaskan intervensi dan rasional
kegawatdaruratan AKI (Acute Kidney Injury) menurut NADNA ,
NIC, NOC
C. Metode Penulisan
Pada penulisan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien
dengan AKI (Acute Kidney Injury)” ini, penulis hanya menggunakan
metode penulisan dengan literatur saja. Dengan metode literatur ini penulis
mencari berbagai sumber pada buku dan jurnal yang bersangkutan dengan
judul makalah.

D. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Metode
Penulisan, Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKApengertian AKI (Acute Kidney Injury),
etiologi AKI (Acute Kidney Injury),
patofisiologi AKI (Acute Kidney Injury),
manifestasi klinik AKI (Acute Kidney
Injury), penatalaksanaan kegawatdaruratan
AKI (Acute Kidney Injury), pengkajian
focus kegawatdaruratan AKI (Acute Kidney
Injury), pathways keperawatan AKI (Acute
Kidney Injury), diagnose keperawatan AKI
(Acute Kidney Injury), intervensi dan
rasional AKI (Acute Kidney Injury).
BAB III PENUTUP Kesimpulan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Menurut pedoman KDIGO (Kidney Disease Improving Global
Outcomes), AKI (Acute Kidney Injury) dapat terjadi karena adanya
peningkatan kadar kreatinin serum lebih dari 0,3 mg / dL dalam waktu 48
jam atau peningkatan kadar kreatinin serum melebihi 1,5 mg/dL dalam
waktu beberapa hari, dan penurunan output urin kurang dari 0,5 mL / kg /
jam selama 6 jam. (Farrar, 2018)

B. Etiologi
Menurut (Awdishu & Wu, 2017) penyebab AKI dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok besar yaitu :
1. Pre-renal atau hemodinamik (mis., Hipoperfusi ke ginjal),
2. Intra-renal (mis., Kerusakan struktural pada ginjal),
3. Post-renal (mis., Obstruksi aliran keluaran urin).

Penting untuk menentukan penyebab dan menilai reversibilitas untuk


mengidentifikasi strategi yang tepat untuk meminimalkan keparahan AKI
(Acute Kidney Injury).

Sedangkan menurut (Moore, Hsu, & Liu, 2018), penyebab terjadinya Akut
Kidney Injuri dapat dikelompokan ke dalam tabel berikut :
C. Patofisiologi
Terjadinya AKI (Acute Kidney Injury) dapat dijelaskan berdasarakan 3
kategori yaitu Pre-renal, Intra-renal, dan Post-renal sebagai berikut :
1. Pre - Renal
Pada AKI pra renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal.
Pada keadaan hipovolemi, akan terjadi penurunan tekanan darah yang
mengaktivasi baroreseptor kardiovaskularyang selanjutnya
mengaktivasi sistim saraf simpatis, sistim renin-angiotensin serta
merangsang pelepasan vasopresin dan endothelin-1 (ET-1), yang
merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah
dan curah jantung serta perfusi ginjal. Pada keadaan ini mekanisme
otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen yang
dipengaruhi oleh refleks miogenik, prostaglandin, dan nitrit oxide
(NO), serta vasokontriksi arteriol afferen yang terutama dipengaruhi
oleh angiotendin-II dan ET-1. Pada hipoperfusi ginjal yang berat
(tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka
waktu yang lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan
terganggu dimana arteriol afferen mengalami vasokontriksi, terjadi
kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorbsi natrium dan air.
Keadaan ini disebut pre renal atau acute kidney injury fungsional
belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. ( Nainggolan, 2010)
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostatis
intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi
oleh berbagai macam obat seperti ACE inhibitor, NSAID terutama
pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum
kreatinin 2mg/dL sehingga dapat terjadi acute kidney injury pre renal.
Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi,
penggunaan diuretik, sirosis hati, dan gagal jantung. Perlu diingat
bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang
merupakan resiko AKI pra rena; seperti penyempitan pembuluh darah
ginjal (penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik, dan
nefrosklerosis intrarenal. (Nainggolan, 2010)
2. AKI Renal
Pada AKI renal, terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan
nekrosis tubular akut (NTA), dimana pada NTA terjadi kelainan
vaskular dan tubular
a. Kelainan vascular
Pada kelainan vaskular terjadi:
1) Peningkatan Ca2+ sitosolik dan arteriol afferen glomerulus
yang menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi
vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
2) Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan
kerusakan sel endotel vaskular ginjal yang mengakibatkan
peningkatan angiotensin II dan ET-1 serta penurunan
prostaglandin dan ketersediaan nitrit oxide yang berasal
dari endotelial NO-sintase.
3) Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis
faktor (TNF) dan interleukin-18 (IL-18), yang selanjutnya
meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-
1 dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan
perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini
akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.
Keseluruhan proses di atas secara bersama-sama
menyebabkan vasokontriksi intrarenal yang akan
menyebabkan penurunan GFR. (Sudoyo dkk, 2013)
b. Kelainan Tubular
Pada kelainan tubular terjadi:
1) Peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain
sostolik phospholipase A2 serta kerusakan actin, yang akan
menyebabkan kerusakan sitoskeleton. Keadaan ini akan
mengakibatkan penurunan basolateral Na+/K+-ATPase yang
selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi natrium di
tubulus proksimalis serta terjadi pelepasan NaCl ke makula
densa. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan umpan
tubuloglomerular.
2) Peningkatan NO yang berasal dari inducable NO sintase,
caspases, dan metalloproteinase serta defisiensi heat shock
protein akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel.
3) Obstruksi tubulus, mikrovili tubulus proksimalis yang
terlepas bersama debris seluler akan membentuk substrat
yang menyumbat tubulus, dalm hal ini pada thick assending
limb diproduksi Tamm-Horsfall protein (THP) yang
disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk monomer yang
kemudian berubah menjadi polimer yang akan membentuk
materi berupa gel dengan adanya natrium yang
konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel
polimerik THP bersama sel epitel tubulus yang terlepas,
baik sel yang sehat, nekrotik, maupun yang apoptopik,
mikrovili dan matriks ekstraseluler seperti fibronektin akan
membentuk silinder-silinder yang akan menyebabkan
obstruksi tubulus ginjal.
4) Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali
(backleak) dari cairan intratubuler masuk ke dalam sirkulasi
peritubuler. Keseluruhan proses tersebut di atas secara
bersama-sama yang akan menyebabkan penurunan LFG.
(Sudoyo dkk, 2013)

3. AKI Post Renal


Merupakan 10% dari kejadian keseluruhan AKI. AKI post renal
disebabkan oleh obstruksi intrarenal dan ekstra renal.
a. Obstruksi intrarenal
Terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan
protein (mioglobin dan hemoglobin).
b. Obstruksi ekstrarenal
Dapat terjadi pada pelvus ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor,
batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan
retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor,
hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra (striktura). AKI post-renal
terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter
bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal
satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obstruksi total ureter
yang akut terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan
tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh
prostaglandin-E2. Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi
penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh
tromboxane-A2 dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat
tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ke-3 atau fase
kronik,ditandai oleh aliran ginjal yang makin menurun dan
penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa
minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50%dari normal
dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai
terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor- faktor
pertumbuhan yang menyebabkan fibrosis interstisial ginjal.
(wilson, 2012)

D. Manifestasi Klinik
Menurut (Rehatta, dkk, 2019) Tanda dan gejala kegawatdaruratan yang
bisa dijumpai pada pasien yang menderita AKI antara lain sebagai berikut:
1. Pada pasien yang menderita AKI dapat dijumpai kegawatdaruratan
pada kelainan metabolik seperti, hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, dan hiperuresemia.
2. Asidosis progresif, peningkatan konsentrasi fosfat serum dan kadar
kalsium serum rendah.
3. Manifestasi pada sistem saraf pusat mengantuk, sakit kepala dan
kejang.
4. Secara klinis berdasarkan data fisiologis AKI yang disebabkan oleh
sepsis ditandai oleh cedera tubular sel yang heterogen dengan
vakuolisasi apikal, tetapi dengan tidak adanya nekrosis pada
tubular atau bahkan apoptosis yang meluas. Ini menggambarkan
fenotipe klinis yang ditandai dengan penurunan tingkat filtrasi
glomerulu (GFR), kreatinin clearance, dan didapatkan uremia.
5.

E. Penatalaksanaan
Menurut (Nainngolan, 2010) Menurut definisi, AKI dibedakan
menjadi 3 yaitu Pra-renal, Intra-renal, Paska-renal. AKI pra-renal
reversibel pada koreksi kelainan utama hemodinamik, dan AKI post-renal
dilakukan penatalaksanaan dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat
ini, tidak ada terapi khusus untuk mendirikan Intra-renal renal karena
iskemia atau nefrotoksisitas. Manajemen gangguan ini harus fokus pada
penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau toksin, menghindari
gejala tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi. Pengobatan
khusus dari penyebab lain dari AKI renal tergantung pada patologi yang
mendasari.
1. Pra- renal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat
hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang
hilang. Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi dengan
packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang
sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss
(misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal
dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun biasanya hipotonik.
Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya direkomendasikan
sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat
meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun
salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi
berikutnya harus didasarkan pada pengukuran volume dan isotonik
cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus
dimonitor dengan hatihati. Gagal jantung mungkin memerlukan
manajemen yang agresif dengan inotropik positif, preload dan
afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis
seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif
mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi pada
pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular
sulit (Nainngolan, 2010).
2. Intrinsik – renal
Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam
membatasi cedera ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis,
toxemia kehamilan, dan penyakit pembuluh darah lainnya. Hipertensi
dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif terhadap pengobatan
dengan inhibitor ACE (Nainngolan, 2010).
3. postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerja sama erat antara
nephrologis, urologi dan radiologi. Gangguan pada leher uretra
biasanya dikelola oleh penempatan transurethral atau suprapubik dari
kateter kandung kemih, yang memberikan bantuan sementara
sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara
definitif. Demikian pula obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh
kateterisasi perkutan dari pelvis ginjal.

Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan
inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata
laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap
AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah
prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi,
obstruksi pascarenal, dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik.
Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.
Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa
pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga
pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit
harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat
dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit
urin dan serum (Nainngolan, 2010).

F. Pengkajian Fokus
Menurut (Musisca, 2014) Seperti halnya kondisi kegawat darurat lainnya,
pengkajian awal pasien dimulai dari Primary survey A, B, C yaitu jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi. Tanda-tanda vital juga harus dikaji,
termasuk tekanan darah. Pasien dengan kondisi yang buruk harus
dimonitor terus menerus dengan pemberian akses IV. Jika dicurigai AKI,
evaluasi harus difokuskan pada komplikasi AKI yang dapat menyebabkan
gagal ginjal sampai mengancam jiwa kearah kematian seperti pada
(tabel 3). kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium awal termasuk
jumlah darah lengkap, elektrolit, BUN, SCr (Serum Creatinin), urinalisis,
dan studi urin lebih lanjut (biasanya Na, urea, protein, dan kreatinin).
Menueurut (Musisca, 2014) Pengkajian Kegawatan pada AKI meliputi
1. Hipervolemia
adalah komplikasi parah AKI oliguria / anurik. Dapat bermanifestasi
dengan edema perifer atau wajah, edema paru, gangguan / kegagalan
pernapasan, dan gagal jantung. Cairan berlebih dapat dikelola dengan
obat diuretik, pembatasan cairan, atau terapi penggantian ginjal (RRT)
dalam kasus yang parah. Diuretik dapat meningkatkan kelebihan
cairan dan mengurangi penggunaan RRT, tetapi belum terbukti
meningkatkan hasil AKI. Inisiasi dialisis segera harus dipertimbangkan
dalam konsultasi dengan nefrologis jika kelebihan cairan adalah
refrakter terhadap obat-obatan atau pasien mengalami anuria. Pasien
dengan AKI karena penyebab pra ginjal dapat hipovolemik dan
resusitasi cairan dapat meningkatkan cedera ginjal. Cairan kristaloid
atau koloid intravena (IV) dapat digunakan, tetapi penelitian pada
orang dewasa telah menunjukkan bahwa tidak ada manfaat albumin
atau cairan yang mengandung pati lebih dari saline dan beberapa pati
yang mengandung cairan IV dapat memperburuk AKI.5,7 Karena
alasan ini, dianjurkan untuk menggunakan cairan saline normal (NS)
dengan mengingat bahwa pemberian cairan agresif dapat menyebabkan
kelebihan cairan akut pada pasien dengan AKI atau penyakit jantung.
Seseorang harus memantau keluaran urin dan memperhatikan gejala
edema paru atau gagal jantung, terutama jika meresepkan banyak
bolus. Satu peringatan tentang preferensi untuk cairan NS adalah
bahwa beberapa pasien dapat mengambil manfaat dari 25% infus
albumin diikuti dengan diuretik IV, terutama jika mereka memiliki
resusitasi volume salin yang signifikan dan memiliki sindrom nefrotik
dengan hipoalbuminemia. Vasopresor harus digunakan jika pasien
terus-menerus mengalami hipovolemik meskipun resusitasi adekuat.
2. Hipertensi
Hipertensi akut atau berat dapat mengancam jiwa karena dapat
menyebabkan kerusakan organ akhir, terutama di jantung, otak, dan
ginjal. Etiologi hipertensi pada pasien cedera ginjal akut mungkin
disebabkan oleh kelebihan cairan atau peningkatan aktivitas jalur
renin-angiotensin yang menyebabkan vasokonstriksi sistemik.
Kedaruratan hipertensi umumnya didefinisikan sebagai SBP> = 180
mmHg dan / atau DBP> = 110 atau lebih besar dari 5 mmHg di atas
ubin 99% untuk usia pada pasien anak. Darurat hipertensi didefinisikan
sebagai urgensi hipertensi dengan gejala klinis terkait disfungsi end-
organ seperti sakit kepala, kebingungan, perubahan penglihatan,
kelemahan, nyeri dada, sesak napas, dll. Dalam keadaan darurat
hipertensi dan darurat, tekanan darah harus diturunkan dengan hati-hati
selama beberapa menit. sampai berjam-jam. Tujuan pengobatan adalah
untuk mengurangi keparahan hipertensi dan mengurangi tanda-tanda
disfungsi organ akhir, bukan untuk sepenuhnya menormalkan tekanan
darah. Obat-obatan yang biasa digunakan dalam perawatan akut atau
keadaan darurat termasuk labetolol, nicardipine, hydralazine, esmolol,
atau nifedipine.8 Inhibitor ACE dapat memperburuk keadaan pra-
ginjal sehingga harus digunakan dengan hati-hati dalam pengaturan
darurat.
3. Hiperkalemia
Hiperkalemia atau peningkatan kadar kalium serum adalah kelainan
elektrolit yang mengancam jiwa yang dapat berkembang menjadi
aritmia jantung yang fatal. Hiperkalemia simptomatik mungkin tidak
ada kecuali kadar ≥ 7 mEq / L. Indikasi untuk pengobatan segera
hiperkalemia termasuk temuan EKG gelombang T yang sempit dan
memuncak, interval QT yang lebih pendek diikuti oleh pelebaran QRS,
perpanjangan interval PR, dan gelombang P amplitudo rendah. Strategi
untuk mengobati hiperkalemia dimulai dengan menstabilkan membran
seluler jantung dengan IV. terapi kalsium kemudian mengurangi kadar
potasium yang bersirkulasi dengan menggeser potasium ke dalam sel
dan setelah itu menurunkan total potasium tubuh. Kalsium glukonat IV
atau kalsium klorida dapat digunakan untuk terapi kalsium, tetapi
keduanya menyebabkan nekrosis jaringan dan akses sentral lebih
disukai. Mengalihkan kalium ke dalam sel dengan obat-obatan yang
merangsang pompa Na-K-ATPase dalam otot rangka mengurangi
tingkat sirkulasi K +, tetapi tidak mengurangi kalium total tubuh.
Pergeseran sementara dapat dilakukan dengan inhalasi albuterol,
insulin IV (selalu diberikan dengan glukosa untuk menghindari
komplikasi hipoglikemia), atau IV bikarbonat. Menghapus total
potasium tubuh dapat dilakukan dengan dua modalitas utama: ekskresi
urin atau feses. Terapi loop diuretik menyebabkan ekskresi ginjal dari
K +, tetapi ini tidak berguna pada pasien dengan ginjal yang tidak
fungsional, pasien dialisis, atau pasien anurik. Ekskresi tinja sering
dicapai dengan resin pengikat kalium oral atau dubur seperti natrium
polistirena sulfonat-Kaexylate®. Ini adalah rute yang lebih lambat
untuk dihapus dan mungkin memerlukan dosis berulang. Jika
hiperkalemia refrakter terhadap manajemen medis, dialisis harus
dipertimbangkan dengan berkonsultasi dengan ahli nefrologi
4. Asidosis
Retensi ion hidrogen atau hilangnya bikarbonat melalui pembuangan
ginjal pada AKI dapat menyebabkan asidosis. Asidosis juga dapat
terjadi pada AKI karena penyebab mendasar seperti sepsis, syok, atau
konsumsi racun. Asidosis berat adalah gangguan metabolisme yang
dapat menyebabkan kompromi kardiopulmoner jika tidak diobati.
Disarankan untuk memperbaiki asidosis dengan mengobati penyebab
yang mendasarinya dan dengan bikarbonat intravena jika perlu. Jarang,
dialisis darurat diperlukan untuk memperbaiki asidosis saja.
5. Uremia
Karena ginjal menyaring urea, kadar urea serum meningkat (kadar
BUN serum meningkat) dapat terjadi dalam pengaturan AKI.
Azotemia didefinisikan sebagai peningkatan BUN serum. Uremia
adalah manifestasi klinis azotemia dalam pengaturan gagal ginjal akut.
Gambaran penting uremia adalah ensefalopati, mual / muntah, asidosis
metabolik, dan disfungsi trombosit uremik. Jika tidak diobati, itu
mengarah ke ensefalopati parah, koma, dan kematian. Uremia dapat
membaik dengan koreksi cedera ginjal, tetapi kehadiran uremia
merupakan indikasi untuk dialisis yang muncul.
6. Obstruksi urin
Obstruksi urin menyebabkan AKI pasca ginjal dan merupakan kondisi
yang harus dikenali dan diobati dengan cepat. AKI obstruktif harus
dicurigai pada pasien dengan kesulitan berkemih, obstruksi outlet
kandung kemih, oliguria atau anuria. Penempatan kateter urin dapat
meredakan obstruksi, meningkatkan AKI, dan membantu mengukur
keluaran urin. Pemeriksaan fisik dapat mengungkapkan massa
suprapubik atau abdominal dan USG di samping tempat tidur dapat
memastikan adanya kandung kemih yang buncit. Penting untuk diingat
bahwa uropati obstruktif yang mengarah ke AKI juga dapat terjadi di
atas level uretra dan kateterisasi mungkin tidak meningkatkan
obstruksi. Pencitraan lebih lanjut seperti USG dan konsultasi dengan
nefrologi atau urologi harus dipertimbangkan.
G. Pathways

Intra Renal Post Renal


Pra Renal
1. Nekrosis Tubular Akut 1. Obsturksi ureter bilateral atau
1. Kehilangan volume cairan tubuh
2. ↓an volume cairan efektif pembuluh darah 2. Nefritis interstitial akut unilateral ekstrinsik
3. Redistribusi cairan 3. Glomerulonefritis akut 2. obsturksi kandung kemih atau
4. Obstruksi renovaskuler 4. Oklusi mikrokapiler/glomerular uretra
5. Nekrosis kortikal akut

Iskemia Nefrotoksin

Renal : Kerusakan Post Renal:Kerusakan


sel tubulus glomerulus
Pra renal : Penurunan
aliran darah ginjal
Peningkatan pelepasan Kebocoran Penurunan ultrafiltrasi
Obstruksi
Nacl ke makula densa filtrat glomerulus
tubulus

Penurunan GFR

Acute Kidney Injury

↑ Konsentrasi serum yang Penurunan perfusi


diekstraksikan ginjal ginjal
Fase emergency
terlampaui
↓ urine output (UO)
Peningkatan
Urea,Kreatinin ↑
kadar kalium
Ginjal beradaptasi
Ph ↓
Mengalir bersama
aliran darah hiperkalemi
↑ pengeluaran jumlah
urine secara berlebihan
Gx Asam Basa
Aliran darah sampai ke otak,
sehingga dapat menembus ASIDOSIS
RESIKO PENURUNAN
sawar otak METABOLIK RESIKO DEFISIT
CURAH JANTUNG
VOLUME CAIRAN

Perubahan perfusi Blood overload


jaringan cerebral

KELEBIHAN VOLUME
CAIRAN (Overload)
H. Diagnosa
1. Resiko penurunan curah jantung b.d hiperkalemi.
2. Kelebihan volume cairan (Overload) b.d penurunan perfusi ginjal.
3. Resiko defisit volume cairan b.d kehilangan volume cairan.
4. Ketidakseimbangan perfusi jaringan serebral b.d gangguan aliran arteri
dan vena.
5. Gangguan asam basa (Asidosis metabolik) b.d perubahan perfusi
ginjal.

I. Intervensi dan Rasional


1. Resiko penurunan curah jantung b.d hiperkalemi.

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
Resiko penurunan NOC NIC
curah jantung b.d  Cardiac Pump Cardiac Care
hiperkalemi. effectiveness. - Evaluasi adanya nyeri
 Circulation status. dada (intensitas,
 Vital sign status. lokasi, durasi).
- Catat adanya
Kriteria Hasil disritmia jantung.
 Tekanan systole dan - Catat adanya tanda
diastole dalam rentang dan gejala penurunan
yang diharapkan. cardiac output.
 CVP dalam batas - Monitor status
normal. kardiovaskuler.
 Nadi perifer kuat dan - Monitor status
simetris. pernafasan yang
 Tidak ada odem perifer menandakan gagal
dan asites. jantung.
 Denyut jantung, AGD, - Monitor abdomen
ejeksi fraksi dalam batas sebagai indicator
normal. penurunan perfusi.
 Bunyi jantung abnormal - Monitor balance
tidak ada. cairan.
 Nyeri dada tidak ada. - Monitor adanya
 Kelelahan yang ekstrim perubahan TD.
tidak ada. - Monitor respon
pasien terhadap efek
pengobatan
antiaritmia.
- Atur periode latihan
dan istirahat untuk
menghindari
kelelahan.
- Monitor toleransi
aktivitas pasien.
- Monitor adanya
dyspneu, fatigue,
takipneu, dan
ortopneu.
- Anjurkan untuk
menurunkan stress.

Fluid management
- Timbang
popok/pembalut jika
diperlukan.
- Pertahankan catatan
intake dan output
yang akurat.
- Pasang urin kateter
jika diperlukan.
- Monitor hasil Hb
yang sesuai dengan
retensi cairan (BUN,
Hmt, osmolalitas
urin).
- Monitor status
hemodinamik
termasuk CVP, MAP,
PAP, dan PCWP.
- Monitor vital sign.
- Monitor indikasi
retensi/kelebihan
cairan (cracles, CVP,
edema, distensi vena
leher, asites).
- Kaji lokasi dan luas
edema.
- Monitor masukan
makanan/cairan dan
hitung intake kalori.
- Monitor status
nutrisi.
- Kolaborasi
pemberian diuretik
sesuai intruksi.
- Batasi masukan
cairanpada keadaan
hiponatremi dilusi
dengan serum Na <
130 mEq/.
- Kolaborasi dokter
jika tanda cairan
berlebih muncul
memburuk

2. Kelebihan volume cairan b.d penurunan perfusi ginjal.

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil
Kelebihan volume NOC NIC
cairan b.d penurunan  Electrolit and acid base Fluid management
perfusi ginjal. balance - Timbang
 Fluid balance popok/pembalut jika
Definisi : Peningkatan  Hydration diperlukan.
retensi cairan isotonic. - Pertahankan catatan
Kriteria Hasil : intake dan output
Faktor-faktor yang  Terbebas dari edema, yang akurat.
berhubungan : efusi, anaskara. - Pasang urin kateter
 Gangguan  Bunyi nafas bersih, jika diperlukan.
mekanisme tidak ada - Monitor hasil Hb
regulasi dyspneu/ortopneu. yang sesuai dengan
 Kelebihan  Terbebas dari distensi retensi cairan (BUN,
asupan cairan vena jugularis, reflek. Hmt, osmolalitas
 Kelebihan hepatojugular (+). urin).
asupan Natrium.  Memelihara tekanan - Monitor status
vena sentral, tekanan hemodinamik
kapiler paru, output termasuk CVP, MAP,
jantung dan vital sign PAP, dan PCWP.
dalam batas normal. - Monitor vital sign.
 Terbebas dari - Monitor indikasi
kelelahan, kecemasan retensi/kelebihan
atau kebingungan. cairan (cracles, CVP,
 Menjelaskan indicator edema, distensi vena
kelebihan cairan. leher, asites).
- Kaji lokasi dan luas
edema.
- Monitor masukan
makanan/cairan dan
hitung intake kalori.
- Monitor status
nutrisi.
- Kolaborasi
pemberian diuretik
sesuai intruksi.
- Batasi masukan
cairanpada keadaan
hiponatremi dilusi
dengan serum Na <
130 mEq/.
- Kolaborasi dokter
jika tanda cairan
berlebih muncul
memburuk
Fluid Monitoring
- Temtukan riwayat
jumlah dan tipe
intake cairan dan
eliminasi.
- Tentukan
kemungkinan faktor
resiko dari
ketidakseimbangan
cairan (Hipertermia,
terapi diuretik,
kelainan renal, gagal
jantung, diaphoresis,
disfungsi hati, dll).
- Monitor BB, BP, HR,
dan RR.
- Monitor serum dan
elektrolit urin.
- Monitor serum dan
osmolalitas urin.
- Monitor tekanan
darah orthostatik dan
perubahan irama
jantung.
- Monitor parameter
hemodinamik infasif.
- Catat secara akurat
intake dan output
- Monitor adanya
distensi leher, rinchi,
edema perifer dan
penambahan BB.
- Monitor tanda dan
gejala dari edema
3. Resiko defisit volume cairan b.d kehilangan volume cairan.

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
Resiko defisit volume NOC NIC
cairan b.d kehilangan  Fluid balance Manajemen
volume cairan.  Hydration Hipovolemi
 Nutritional Status : Food - Perlindungan
Faktor risiko and Fluid Intake. infeksi
 Kehilangan volume - Pemasangan infuse
cairan aktif. Kriteria Hasil : - Terapi intravena
 Penyimpangan yang  Mempertahankan urine (IV)
mempengaruhi output sesuai dengan - Monitor tingkat Hb
absorbs cairan. usia dan BB, BJ urine dan hematokrit.
 Kegagalan fungsi normal, HT normal.
regulator.  TD, nadi, suhu tubuh Fluid management
 Faktor yang dalam batas normal. - Pertahankan catatan
mempengaruhi  Tidak ada tanda-tanda intake dan output
kebutuhan cairan dehidrasi, elastisitas yang akurat.
(misalnya status turgor kulit baik, - Monitor status
hipermetabolik). membrane mukosa hidrasi (kelembaban
lembab, tidak ada rasa membrane mukosa,
haus yang berlebihan nadi adekuat,
tekanan darah
ortostatik), jika
diperlukan
4. Ketidakseimbangan perfusi jaringan serebral b.d gangguan aliran
arteri dan vena.

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
Ketidakseimbangan NOC NIC
perfusi jaringan  Circulation status Monitor Tekanan
serebral b.d gangguan  Neurologic status Intra Kranial (TIK)
aliran arteri dan vena.  Tissue Prefusion : - Monitor TTV
cerebral - Monitor AGD,
ukuran pupil,
Kriteria Hasil : ketajaman,
 Tekanan systole dan kesimetrisan dan
diastole dalam rentang reaksi.
yang diharapkan - Monitor adanya
 Tidak ada diplopia,
orthostatikhipertensi. pandangan kabur,
 Menunjukkan nyeri kepala.
konsentrasi dan - Monitor level
orientasi. kebingungan dan
orientasi.
- Monitor tonus otot
pergerakan.
- Monitor tekanan
intracranial dan
respon nerologis.
- Catat perubahan
pasien dalam
merespon stimulus.
- Monitor status
cairan.
- Pertahankan
parameter
hemodinamk.
- Tinggikan kepala 0-
450 tergantung pada
kondisi pasien dan
order medis.

5. Gangguan asam basa (Asidosis metabolik) b.d perubahan perfusi


ginjal.

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
Gangguan asam basa Indikator gangguan : NIC
(Asidosis metabolik)  Frekuensi nadi dan - Monitor untuk
b.d perubahan perfusi irama jantung apikal. ketidakseimbangan
ginjal.  Frekuensi dan irama elektrolit
nafas. berhubungan
 Kewaspadaan mental dengan asidosis
orientasi kognitif. metabolic (misalnya
 Elektrolit serum hiponatremia, hiper
(Natrium, Kalium, atau hipokalemia,
Kalsium, dan hipokalsemia) yang
Magnesium). sesuai.
- Mendapatkan
spesiemen untuk
analisis
laboratorium
keseimbangan asam
basa (misalnya
ABG, tingkat urin,
dan serum).
- Monitor ABG untuk
mengurangi tingkat
pH.
- Memantau
pengiriman jaringan
oksigen (misalnya
PaO2, SaO2, dan
kadar hemoglobin
dan cardiac output.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut pedoman KDIGO (Kidney Disease Improving Global
Outcomes), AKI (Acute Kidney Injury) dapat terjadi karena adanya
peningkatan kadar kreatinin serum lebih dari 0,3 mg / dL dalam waktu 48
jam atau peningkatan kadar kreatinin serum melebihi 1,5 mg/dL dalam
waktu beberapa hari, dan penurunan output urin kurang dari 0,5 mL / kg /
jam selama 6 jam.
Penyebab terjadinya AKI (Acute Kidney Injury) dapat
diklasifikasikan menjadi 3 : Pre-renal atau hemodinamik (mis.,
Hipoperfusi ke ginjal), Intra-renal (mis., Kerusakan struktural pada ginjal),
dan Post-renal (mis., Obstruksi aliran keluaran urin).
AKI (Acute Kidney Injury) merupakan kondisi Emergency yang
dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa karena cairan dan
limbah menumpuk di dalam tubuh. Jika tidak diobati, AKI dapat
menyebabkan kematian. Pengkajian kegawat daruratan AKI meliputi
primary surver yaitu Aiway, Breathing, dan Cirkulation kemudian lanjut
unutk secondaru survey evaluasi pengkajian harus difokuskan pada
komplikasi AKI yang dapat menyebabkan gagal ginjal sampai mengancam
kearah kematian seperti pada yaitu Hipovolemi, Hipervolemi, Hipertensi,
Hiperkalemi, Asidosis, dan Uremia pasien yang nantinya dapat menegakan
diagnosa dan tindakan intervensi kegawatan yang bisa diberikan ke pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Awdishu, L., & Wu, S. E. (2017). Acute Kidney Injury. In Critical Care Self-
Assessment Program CCSAP 2017 Book 2 Renal/Pulmonary Critical Care
(pp. 7–26).
Co, I., & Gunnerson, K. (2019). Emergency Department Management of Acute
Kidney Injury, Electrolyte Abnormalities, and Renal Replacement Therapy
in the Critically Ill. Emergency Medicine Clinics of North America, 37(3),
459–471. https://doi.org/10.1016/j.emc.2019.04.006
Farrar, A. (2018). Acute Kidney Injury. Nursing Clinics of North America, 53(4),
499–510. https://doi.org/10.1016/j.cnur.2018.07.001
Moore, P. K., Hsu, R. K., & Liu, K. D. (2018). Management of Acute Kidney
Injury: Core Curriculum 2018. American Journal of Kidney Diseases, 72(1),
136–148. https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2017.11.021
Musisca, M. (2014). Evaluation and management of acute kidney injury
emergencies. Washington University School of Medicine in St. Louis.
Nurarif. Huda, Amin dan Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta :
MediAction Publishing
Price & Wilson. 2012. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Rehatta, dkk. 2019. Anestesiologi dan terapi intensif. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
Sinto R, Nainggolan. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sudoyo AW dkk. 2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Ed 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan IPD FKUI

Anda mungkin juga menyukai