OLEH:
2019
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-Nya maka penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan
Kegawatdaruratan Pada Pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury)”
1. Ns. Yunie Armiati, M.Kep, Sp.KMB. Selaku dosen pengampu pada mata
kuliah Keperawatan Gawat Darurat Sistem2 Semester tujuh
2. Anggota klompok 2 yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk
penyusunan makalah ini.
3. Seluruh rekan-rekan yang mengikuti mata kuliah Keperawatan Gawat
Darurat Sistem2 Semester tujuh ini
4. Kedua orang tua yang selalu memberikan nasihat, dukungan kepada
penulis.
5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
PENDAHULUAN
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum:
Mahasiswa mampu memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada
pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury)
2. TujuanKhusus
a. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian AKI (Acute Kidney
Injury).
b. Mahasiswa dapat menjelaskan etiologi AKI (Acute Kidney
Injury).
c. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi AKI (Acute Kidney
Injury).
d. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinik AKI (Acute
Kidney Injury)
e. Mahasiswa dapat menyebutkan penatalaksanaan
kegawatdaruratan AKI (Acute Kidney Injury).
f. Mahasiswa dapat mnyebutkan pengkajian kegawatdaruratan AKI
(Acute Kidney Injury).
g. Mahasiswa dapat menjelaskan pathways keperawatan
kegawatdaruratan AKI (Acute Kidney Injury)
h. Mahasiswa dapat menyebutkan diagnosa keperawatan
kegawatdaruratan AKI (Acute Kidney Injury)
i. Mahasiswa dapat menjelaskan intervensi dan rasional
kegawatdaruratan AKI (Acute Kidney Injury) menurut NADNA ,
NIC, NOC
C. Metode Penulisan
Pada penulisan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien
dengan AKI (Acute Kidney Injury)” ini, penulis hanya menggunakan
metode penulisan dengan literatur saja. Dengan metode literatur ini penulis
mencari berbagai sumber pada buku dan jurnal yang bersangkutan dengan
judul makalah.
D. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Metode
Penulisan, Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKApengertian AKI (Acute Kidney Injury),
etiologi AKI (Acute Kidney Injury),
patofisiologi AKI (Acute Kidney Injury),
manifestasi klinik AKI (Acute Kidney
Injury), penatalaksanaan kegawatdaruratan
AKI (Acute Kidney Injury), pengkajian
focus kegawatdaruratan AKI (Acute Kidney
Injury), pathways keperawatan AKI (Acute
Kidney Injury), diagnose keperawatan AKI
(Acute Kidney Injury), intervensi dan
rasional AKI (Acute Kidney Injury).
BAB III PENUTUP Kesimpulan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Menurut pedoman KDIGO (Kidney Disease Improving Global
Outcomes), AKI (Acute Kidney Injury) dapat terjadi karena adanya
peningkatan kadar kreatinin serum lebih dari 0,3 mg / dL dalam waktu 48
jam atau peningkatan kadar kreatinin serum melebihi 1,5 mg/dL dalam
waktu beberapa hari, dan penurunan output urin kurang dari 0,5 mL / kg /
jam selama 6 jam. (Farrar, 2018)
B. Etiologi
Menurut (Awdishu & Wu, 2017) penyebab AKI dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok besar yaitu :
1. Pre-renal atau hemodinamik (mis., Hipoperfusi ke ginjal),
2. Intra-renal (mis., Kerusakan struktural pada ginjal),
3. Post-renal (mis., Obstruksi aliran keluaran urin).
Sedangkan menurut (Moore, Hsu, & Liu, 2018), penyebab terjadinya Akut
Kidney Injuri dapat dikelompokan ke dalam tabel berikut :
C. Patofisiologi
Terjadinya AKI (Acute Kidney Injury) dapat dijelaskan berdasarakan 3
kategori yaitu Pre-renal, Intra-renal, dan Post-renal sebagai berikut :
1. Pre - Renal
Pada AKI pra renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal.
Pada keadaan hipovolemi, akan terjadi penurunan tekanan darah yang
mengaktivasi baroreseptor kardiovaskularyang selanjutnya
mengaktivasi sistim saraf simpatis, sistim renin-angiotensin serta
merangsang pelepasan vasopresin dan endothelin-1 (ET-1), yang
merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah
dan curah jantung serta perfusi ginjal. Pada keadaan ini mekanisme
otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen yang
dipengaruhi oleh refleks miogenik, prostaglandin, dan nitrit oxide
(NO), serta vasokontriksi arteriol afferen yang terutama dipengaruhi
oleh angiotendin-II dan ET-1. Pada hipoperfusi ginjal yang berat
(tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka
waktu yang lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan
terganggu dimana arteriol afferen mengalami vasokontriksi, terjadi
kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorbsi natrium dan air.
Keadaan ini disebut pre renal atau acute kidney injury fungsional
belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. ( Nainggolan, 2010)
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostatis
intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi
oleh berbagai macam obat seperti ACE inhibitor, NSAID terutama
pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum
kreatinin 2mg/dL sehingga dapat terjadi acute kidney injury pre renal.
Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi,
penggunaan diuretik, sirosis hati, dan gagal jantung. Perlu diingat
bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang
merupakan resiko AKI pra rena; seperti penyempitan pembuluh darah
ginjal (penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik, dan
nefrosklerosis intrarenal. (Nainggolan, 2010)
2. AKI Renal
Pada AKI renal, terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan
nekrosis tubular akut (NTA), dimana pada NTA terjadi kelainan
vaskular dan tubular
a. Kelainan vascular
Pada kelainan vaskular terjadi:
1) Peningkatan Ca2+ sitosolik dan arteriol afferen glomerulus
yang menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi
vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
2) Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan
kerusakan sel endotel vaskular ginjal yang mengakibatkan
peningkatan angiotensin II dan ET-1 serta penurunan
prostaglandin dan ketersediaan nitrit oxide yang berasal
dari endotelial NO-sintase.
3) Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis
faktor (TNF) dan interleukin-18 (IL-18), yang selanjutnya
meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-
1 dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan
perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini
akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.
Keseluruhan proses di atas secara bersama-sama
menyebabkan vasokontriksi intrarenal yang akan
menyebabkan penurunan GFR. (Sudoyo dkk, 2013)
b. Kelainan Tubular
Pada kelainan tubular terjadi:
1) Peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain
sostolik phospholipase A2 serta kerusakan actin, yang akan
menyebabkan kerusakan sitoskeleton. Keadaan ini akan
mengakibatkan penurunan basolateral Na+/K+-ATPase yang
selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi natrium di
tubulus proksimalis serta terjadi pelepasan NaCl ke makula
densa. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan umpan
tubuloglomerular.
2) Peningkatan NO yang berasal dari inducable NO sintase,
caspases, dan metalloproteinase serta defisiensi heat shock
protein akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel.
3) Obstruksi tubulus, mikrovili tubulus proksimalis yang
terlepas bersama debris seluler akan membentuk substrat
yang menyumbat tubulus, dalm hal ini pada thick assending
limb diproduksi Tamm-Horsfall protein (THP) yang
disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk monomer yang
kemudian berubah menjadi polimer yang akan membentuk
materi berupa gel dengan adanya natrium yang
konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel
polimerik THP bersama sel epitel tubulus yang terlepas,
baik sel yang sehat, nekrotik, maupun yang apoptopik,
mikrovili dan matriks ekstraseluler seperti fibronektin akan
membentuk silinder-silinder yang akan menyebabkan
obstruksi tubulus ginjal.
4) Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali
(backleak) dari cairan intratubuler masuk ke dalam sirkulasi
peritubuler. Keseluruhan proses tersebut di atas secara
bersama-sama yang akan menyebabkan penurunan LFG.
(Sudoyo dkk, 2013)
D. Manifestasi Klinik
Menurut (Rehatta, dkk, 2019) Tanda dan gejala kegawatdaruratan yang
bisa dijumpai pada pasien yang menderita AKI antara lain sebagai berikut:
1. Pada pasien yang menderita AKI dapat dijumpai kegawatdaruratan
pada kelainan metabolik seperti, hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, dan hiperuresemia.
2. Asidosis progresif, peningkatan konsentrasi fosfat serum dan kadar
kalsium serum rendah.
3. Manifestasi pada sistem saraf pusat mengantuk, sakit kepala dan
kejang.
4. Secara klinis berdasarkan data fisiologis AKI yang disebabkan oleh
sepsis ditandai oleh cedera tubular sel yang heterogen dengan
vakuolisasi apikal, tetapi dengan tidak adanya nekrosis pada
tubular atau bahkan apoptosis yang meluas. Ini menggambarkan
fenotipe klinis yang ditandai dengan penurunan tingkat filtrasi
glomerulu (GFR), kreatinin clearance, dan didapatkan uremia.
5.
E. Penatalaksanaan
Menurut (Nainngolan, 2010) Menurut definisi, AKI dibedakan
menjadi 3 yaitu Pra-renal, Intra-renal, Paska-renal. AKI pra-renal
reversibel pada koreksi kelainan utama hemodinamik, dan AKI post-renal
dilakukan penatalaksanaan dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat
ini, tidak ada terapi khusus untuk mendirikan Intra-renal renal karena
iskemia atau nefrotoksisitas. Manajemen gangguan ini harus fokus pada
penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau toksin, menghindari
gejala tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi. Pengobatan
khusus dari penyebab lain dari AKI renal tergantung pada patologi yang
mendasari.
1. Pra- renal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat
hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang
hilang. Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi dengan
packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang
sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss
(misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal
dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun biasanya hipotonik.
Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya direkomendasikan
sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat
meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun
salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi
berikutnya harus didasarkan pada pengukuran volume dan isotonik
cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus
dimonitor dengan hatihati. Gagal jantung mungkin memerlukan
manajemen yang agresif dengan inotropik positif, preload dan
afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis
seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif
mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi pada
pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular
sulit (Nainngolan, 2010).
2. Intrinsik – renal
Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam
membatasi cedera ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis,
toxemia kehamilan, dan penyakit pembuluh darah lainnya. Hipertensi
dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif terhadap pengobatan
dengan inhibitor ACE (Nainngolan, 2010).
3. postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerja sama erat antara
nephrologis, urologi dan radiologi. Gangguan pada leher uretra
biasanya dikelola oleh penempatan transurethral atau suprapubik dari
kateter kandung kemih, yang memberikan bantuan sementara
sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara
definitif. Demikian pula obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh
kateterisasi perkutan dari pelvis ginjal.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan
inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata
laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap
AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah
prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi,
obstruksi pascarenal, dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik.
Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.
Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa
pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga
pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit
harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat
dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit
urin dan serum (Nainngolan, 2010).
F. Pengkajian Fokus
Menurut (Musisca, 2014) Seperti halnya kondisi kegawat darurat lainnya,
pengkajian awal pasien dimulai dari Primary survey A, B, C yaitu jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi. Tanda-tanda vital juga harus dikaji,
termasuk tekanan darah. Pasien dengan kondisi yang buruk harus
dimonitor terus menerus dengan pemberian akses IV. Jika dicurigai AKI,
evaluasi harus difokuskan pada komplikasi AKI yang dapat menyebabkan
gagal ginjal sampai mengancam jiwa kearah kematian seperti pada
(tabel 3). kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium awal termasuk
jumlah darah lengkap, elektrolit, BUN, SCr (Serum Creatinin), urinalisis,
dan studi urin lebih lanjut (biasanya Na, urea, protein, dan kreatinin).
Menueurut (Musisca, 2014) Pengkajian Kegawatan pada AKI meliputi
1. Hipervolemia
adalah komplikasi parah AKI oliguria / anurik. Dapat bermanifestasi
dengan edema perifer atau wajah, edema paru, gangguan / kegagalan
pernapasan, dan gagal jantung. Cairan berlebih dapat dikelola dengan
obat diuretik, pembatasan cairan, atau terapi penggantian ginjal (RRT)
dalam kasus yang parah. Diuretik dapat meningkatkan kelebihan
cairan dan mengurangi penggunaan RRT, tetapi belum terbukti
meningkatkan hasil AKI. Inisiasi dialisis segera harus dipertimbangkan
dalam konsultasi dengan nefrologis jika kelebihan cairan adalah
refrakter terhadap obat-obatan atau pasien mengalami anuria. Pasien
dengan AKI karena penyebab pra ginjal dapat hipovolemik dan
resusitasi cairan dapat meningkatkan cedera ginjal. Cairan kristaloid
atau koloid intravena (IV) dapat digunakan, tetapi penelitian pada
orang dewasa telah menunjukkan bahwa tidak ada manfaat albumin
atau cairan yang mengandung pati lebih dari saline dan beberapa pati
yang mengandung cairan IV dapat memperburuk AKI.5,7 Karena
alasan ini, dianjurkan untuk menggunakan cairan saline normal (NS)
dengan mengingat bahwa pemberian cairan agresif dapat menyebabkan
kelebihan cairan akut pada pasien dengan AKI atau penyakit jantung.
Seseorang harus memantau keluaran urin dan memperhatikan gejala
edema paru atau gagal jantung, terutama jika meresepkan banyak
bolus. Satu peringatan tentang preferensi untuk cairan NS adalah
bahwa beberapa pasien dapat mengambil manfaat dari 25% infus
albumin diikuti dengan diuretik IV, terutama jika mereka memiliki
resusitasi volume salin yang signifikan dan memiliki sindrom nefrotik
dengan hipoalbuminemia. Vasopresor harus digunakan jika pasien
terus-menerus mengalami hipovolemik meskipun resusitasi adekuat.
2. Hipertensi
Hipertensi akut atau berat dapat mengancam jiwa karena dapat
menyebabkan kerusakan organ akhir, terutama di jantung, otak, dan
ginjal. Etiologi hipertensi pada pasien cedera ginjal akut mungkin
disebabkan oleh kelebihan cairan atau peningkatan aktivitas jalur
renin-angiotensin yang menyebabkan vasokonstriksi sistemik.
Kedaruratan hipertensi umumnya didefinisikan sebagai SBP> = 180
mmHg dan / atau DBP> = 110 atau lebih besar dari 5 mmHg di atas
ubin 99% untuk usia pada pasien anak. Darurat hipertensi didefinisikan
sebagai urgensi hipertensi dengan gejala klinis terkait disfungsi end-
organ seperti sakit kepala, kebingungan, perubahan penglihatan,
kelemahan, nyeri dada, sesak napas, dll. Dalam keadaan darurat
hipertensi dan darurat, tekanan darah harus diturunkan dengan hati-hati
selama beberapa menit. sampai berjam-jam. Tujuan pengobatan adalah
untuk mengurangi keparahan hipertensi dan mengurangi tanda-tanda
disfungsi organ akhir, bukan untuk sepenuhnya menormalkan tekanan
darah. Obat-obatan yang biasa digunakan dalam perawatan akut atau
keadaan darurat termasuk labetolol, nicardipine, hydralazine, esmolol,
atau nifedipine.8 Inhibitor ACE dapat memperburuk keadaan pra-
ginjal sehingga harus digunakan dengan hati-hati dalam pengaturan
darurat.
3. Hiperkalemia
Hiperkalemia atau peningkatan kadar kalium serum adalah kelainan
elektrolit yang mengancam jiwa yang dapat berkembang menjadi
aritmia jantung yang fatal. Hiperkalemia simptomatik mungkin tidak
ada kecuali kadar ≥ 7 mEq / L. Indikasi untuk pengobatan segera
hiperkalemia termasuk temuan EKG gelombang T yang sempit dan
memuncak, interval QT yang lebih pendek diikuti oleh pelebaran QRS,
perpanjangan interval PR, dan gelombang P amplitudo rendah. Strategi
untuk mengobati hiperkalemia dimulai dengan menstabilkan membran
seluler jantung dengan IV. terapi kalsium kemudian mengurangi kadar
potasium yang bersirkulasi dengan menggeser potasium ke dalam sel
dan setelah itu menurunkan total potasium tubuh. Kalsium glukonat IV
atau kalsium klorida dapat digunakan untuk terapi kalsium, tetapi
keduanya menyebabkan nekrosis jaringan dan akses sentral lebih
disukai. Mengalihkan kalium ke dalam sel dengan obat-obatan yang
merangsang pompa Na-K-ATPase dalam otot rangka mengurangi
tingkat sirkulasi K +, tetapi tidak mengurangi kalium total tubuh.
Pergeseran sementara dapat dilakukan dengan inhalasi albuterol,
insulin IV (selalu diberikan dengan glukosa untuk menghindari
komplikasi hipoglikemia), atau IV bikarbonat. Menghapus total
potasium tubuh dapat dilakukan dengan dua modalitas utama: ekskresi
urin atau feses. Terapi loop diuretik menyebabkan ekskresi ginjal dari
K +, tetapi ini tidak berguna pada pasien dengan ginjal yang tidak
fungsional, pasien dialisis, atau pasien anurik. Ekskresi tinja sering
dicapai dengan resin pengikat kalium oral atau dubur seperti natrium
polistirena sulfonat-Kaexylate®. Ini adalah rute yang lebih lambat
untuk dihapus dan mungkin memerlukan dosis berulang. Jika
hiperkalemia refrakter terhadap manajemen medis, dialisis harus
dipertimbangkan dengan berkonsultasi dengan ahli nefrologi
4. Asidosis
Retensi ion hidrogen atau hilangnya bikarbonat melalui pembuangan
ginjal pada AKI dapat menyebabkan asidosis. Asidosis juga dapat
terjadi pada AKI karena penyebab mendasar seperti sepsis, syok, atau
konsumsi racun. Asidosis berat adalah gangguan metabolisme yang
dapat menyebabkan kompromi kardiopulmoner jika tidak diobati.
Disarankan untuk memperbaiki asidosis dengan mengobati penyebab
yang mendasarinya dan dengan bikarbonat intravena jika perlu. Jarang,
dialisis darurat diperlukan untuk memperbaiki asidosis saja.
5. Uremia
Karena ginjal menyaring urea, kadar urea serum meningkat (kadar
BUN serum meningkat) dapat terjadi dalam pengaturan AKI.
Azotemia didefinisikan sebagai peningkatan BUN serum. Uremia
adalah manifestasi klinis azotemia dalam pengaturan gagal ginjal akut.
Gambaran penting uremia adalah ensefalopati, mual / muntah, asidosis
metabolik, dan disfungsi trombosit uremik. Jika tidak diobati, itu
mengarah ke ensefalopati parah, koma, dan kematian. Uremia dapat
membaik dengan koreksi cedera ginjal, tetapi kehadiran uremia
merupakan indikasi untuk dialisis yang muncul.
6. Obstruksi urin
Obstruksi urin menyebabkan AKI pasca ginjal dan merupakan kondisi
yang harus dikenali dan diobati dengan cepat. AKI obstruktif harus
dicurigai pada pasien dengan kesulitan berkemih, obstruksi outlet
kandung kemih, oliguria atau anuria. Penempatan kateter urin dapat
meredakan obstruksi, meningkatkan AKI, dan membantu mengukur
keluaran urin. Pemeriksaan fisik dapat mengungkapkan massa
suprapubik atau abdominal dan USG di samping tempat tidur dapat
memastikan adanya kandung kemih yang buncit. Penting untuk diingat
bahwa uropati obstruktif yang mengarah ke AKI juga dapat terjadi di
atas level uretra dan kateterisasi mungkin tidak meningkatkan
obstruksi. Pencitraan lebih lanjut seperti USG dan konsultasi dengan
nefrologi atau urologi harus dipertimbangkan.
G. Pathways
Iskemia Nefrotoksin
Penurunan GFR
KELEBIHAN VOLUME
CAIRAN (Overload)
H. Diagnosa
1. Resiko penurunan curah jantung b.d hiperkalemi.
2. Kelebihan volume cairan (Overload) b.d penurunan perfusi ginjal.
3. Resiko defisit volume cairan b.d kehilangan volume cairan.
4. Ketidakseimbangan perfusi jaringan serebral b.d gangguan aliran arteri
dan vena.
5. Gangguan asam basa (Asidosis metabolik) b.d perubahan perfusi
ginjal.
Fluid management
- Timbang
popok/pembalut jika
diperlukan.
- Pertahankan catatan
intake dan output
yang akurat.
- Pasang urin kateter
jika diperlukan.
- Monitor hasil Hb
yang sesuai dengan
retensi cairan (BUN,
Hmt, osmolalitas
urin).
- Monitor status
hemodinamik
termasuk CVP, MAP,
PAP, dan PCWP.
- Monitor vital sign.
- Monitor indikasi
retensi/kelebihan
cairan (cracles, CVP,
edema, distensi vena
leher, asites).
- Kaji lokasi dan luas
edema.
- Monitor masukan
makanan/cairan dan
hitung intake kalori.
- Monitor status
nutrisi.
- Kolaborasi
pemberian diuretik
sesuai intruksi.
- Batasi masukan
cairanpada keadaan
hiponatremi dilusi
dengan serum Na <
130 mEq/.
- Kolaborasi dokter
jika tanda cairan
berlebih muncul
memburuk
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut pedoman KDIGO (Kidney Disease Improving Global
Outcomes), AKI (Acute Kidney Injury) dapat terjadi karena adanya
peningkatan kadar kreatinin serum lebih dari 0,3 mg / dL dalam waktu 48
jam atau peningkatan kadar kreatinin serum melebihi 1,5 mg/dL dalam
waktu beberapa hari, dan penurunan output urin kurang dari 0,5 mL / kg /
jam selama 6 jam.
Penyebab terjadinya AKI (Acute Kidney Injury) dapat
diklasifikasikan menjadi 3 : Pre-renal atau hemodinamik (mis.,
Hipoperfusi ke ginjal), Intra-renal (mis., Kerusakan struktural pada ginjal),
dan Post-renal (mis., Obstruksi aliran keluaran urin).
AKI (Acute Kidney Injury) merupakan kondisi Emergency yang
dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa karena cairan dan
limbah menumpuk di dalam tubuh. Jika tidak diobati, AKI dapat
menyebabkan kematian. Pengkajian kegawat daruratan AKI meliputi
primary surver yaitu Aiway, Breathing, dan Cirkulation kemudian lanjut
unutk secondaru survey evaluasi pengkajian harus difokuskan pada
komplikasi AKI yang dapat menyebabkan gagal ginjal sampai mengancam
kearah kematian seperti pada yaitu Hipovolemi, Hipervolemi, Hipertensi,
Hiperkalemi, Asidosis, dan Uremia pasien yang nantinya dapat menegakan
diagnosa dan tindakan intervensi kegawatan yang bisa diberikan ke pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Awdishu, L., & Wu, S. E. (2017). Acute Kidney Injury. In Critical Care Self-
Assessment Program CCSAP 2017 Book 2 Renal/Pulmonary Critical Care
(pp. 7–26).
Co, I., & Gunnerson, K. (2019). Emergency Department Management of Acute
Kidney Injury, Electrolyte Abnormalities, and Renal Replacement Therapy
in the Critically Ill. Emergency Medicine Clinics of North America, 37(3),
459–471. https://doi.org/10.1016/j.emc.2019.04.006
Farrar, A. (2018). Acute Kidney Injury. Nursing Clinics of North America, 53(4),
499–510. https://doi.org/10.1016/j.cnur.2018.07.001
Moore, P. K., Hsu, R. K., & Liu, K. D. (2018). Management of Acute Kidney
Injury: Core Curriculum 2018. American Journal of Kidney Diseases, 72(1),
136–148. https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2017.11.021
Musisca, M. (2014). Evaluation and management of acute kidney injury
emergencies. Washington University School of Medicine in St. Louis.
Nurarif. Huda, Amin dan Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta :
MediAction Publishing
Price & Wilson. 2012. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Rehatta, dkk. 2019. Anestesiologi dan terapi intensif. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
Sinto R, Nainggolan. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sudoyo AW dkk. 2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Ed 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan IPD FKUI