3. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan
vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II
yang menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap bahan-bahan vasoaktif (vasopresor), sehingga
pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang
menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan normal kadar
angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi
penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya
thromboxane yang mengakibatkan menurunnya sintesis
angiotensin II sehingga peka terhadap rangsangan bahan
vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.
b. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma
hingga mencapai 45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi
penyusutan volume plasma hingga mencapai 30-40%
kehamilan normal. Menurunnya volume plasma menimbulkan
hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya
perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun
(hipoperfusi) sehingga terjadi
Faktor Predisposisi Preeklampsia (
imun, genetik, dll )
Perubahan
plasentasi
Mediator
PGE2/PGI2lain Renin/angiotensin II Tromboksan Disfungsi endotel
endotelin, NO
4. Prevalensi
Untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang
mempengaruhinya; jumlah primigravida, kedaan sosial ekonomi,
perbedaan dalam penentuan diagnosa. Dalam kepustakaan
prevalensi di lapangan berkisar antara 3-10%.
Faktor predisposisi terjadinya preeklamsi adalah sebagai
berikut:
a. Primigravida, primipaternitas
b. Hiperplasentosis, misalnya mola hidatidosa, kehamilan
multipel, DM, hidrops fetalis, bayi besar
c. Umur yang ekstrim (<20 tahun atau >35 tahun)
d. Riwayat keluarga preeklamsi-eklamsi
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang didapatkan
sebalum hamil
f. Obesitas
5. Klasifikasi
Preeklampsia termasuk kelainan hipertensi dalam
kehamilan. Penggolongan kelainan hipertensi dalam kehamilan
antara lain : hipertensi kronis, Preeklampsia, superimposed
eklampsia pada hipertensi kronis dan hipertensi gestasional.
Hipertensi kronik adalah peningkatan tekanan darah yang
timbul sebelum kehamilan, terjadi sebelum usia kehamilan 20
minggu, atau menetap setelah 12 minggu post partum.
Sebaliknya, Preeklampsia didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan darah dan proteinuria yang muncul setelah usia
kehamilan 20 minggu. Eklampsia, komplikasi berat preeklampsia
adalah munculnya kejang pada wanita dengan preeklampsia.
Kejang eklampsia relatif jarang dan muncul <1% wanita dengan
eklampsia.
Superimposed preeclampsia pada hipertensi kronik
ditandai dengan proteinuria (atau dengan peningkatan tiba-tiba
level protein jika sebelumnya sudah ada proteinuria),
peningkatan mendadak hipertensi ( dengan asumsi telah ada
proteinuria) atau terjadi HELLP Syndroma.
7. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah
mencegah timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna
mencegah perdarahan intrakranial serta kerusakan dari organ-
organ vital, pengelolaan cairan dan saat yang tepat untuk
melahirkan bayi dengan selamat (Sarwono, 2008).
Pada preeklampsia, penyembuhan dilakukan dengan
ekspulsi yaitu pengeluaran trofoblast. Pada preeklampsia berat,
penundaan merupakan tindakan yang salah. Karena preeklampsia
sendiri bisa membunuh janin (Cunningham, et al., 1995).
PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan
Neurologi, dan kemudian ditentukan jenis perawatan /
tindakannya. Perawatannya dapat meliputi :
a. Sikap terhadap penyakit berupa pemberian terapi
medikamentosa
b. Sikap terhadap kehamilan yaitu:
- Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi
ibu. Indikasinya adalah bila didapatkan satu atau lebih dari
keadaan berikut ini
Ibu :
o Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan
medikamentosa, terjadi kenaikan tekanan darah
yang persisten
Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan
medikamentosa, terjadi kenaikan desakan darah
yang persisten
o Adanya tanda-tanda terjadinya impending eclampsia
o Gangguan fungsi hepar
o Gangguan fungsi ginjal
o Dicurigai terjadi solutio plasenta
o Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini,
perdarahan
Janin :
o Umur kehamilan lebih dari 37 minggu
o Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari
NST nonreaktif dan profil biofisik abnormal)
o Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat
berat (IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG
o Timbulnya oligohidramnion
Laboratorium :
o Tanda-tanda yang menjurus ke HELLP syndrome (POGI,
2005).
Pengobatan Medisinal :
Segera masuk rumah sakit
Tirah baring ke kiri secara intermiten
Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL
500 cc (60-125 cc/jam)
Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan
dan terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal)
dan dosis lanjutan.
Anti hipertensi diberikan bila tensi ≥ 180/110
Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah
jantung kongestif, edema anasarka
Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
(POGI, 2005).
- Pengelolaan konservatif, yang berarti kehamilan tetap
dipertahankan sehingga memenuhi syarat janin dapat
dilahirkan, meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir
tanpa mempengaruhi keselamatan ibu. Indikasi dari
pengelolaan ini adalah kehamilan kurang bulan (< 37
minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia
dengan keadaan janin baik.
Pengobatan Medikamentosa :
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan
secara aktif. Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v.
cukup i.m. saja (MgSO4 40% 8 gr i.m.) (Hidayat W., dkk.,
1998).
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya
kejang-kejang dapat diberikan:
Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM
pada bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan,
dan dapat diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan.
Tambahan sulfas magnesikus hanya diberikan bila
diuresis baik, reflek patella positif, dan kecepatan
pernapasan lebih dari 16 kali per menit
Klorpromazin 50 mg IM
Diazepam 20 mg IM
Penggunaan obat hipotensif pada preeklampsia berat
diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah
kemungkinan kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih
kecil. Apabila terdapat oligouria, sebaiknya penderita diberi
glukosa 20 % secara intravena. Obat diuretika tidak
diberikan secara rutin.
Untuk penderita preeklampsia diperlukan anestesi dan
sedativa lebih banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada
penderita dengan hipertensi, bahaya perdarahan dalam
otak lebih besar, sehingga apabila syarat-syarat telah
terpenuhi, hendaknya persalinan diakhiri dengan cunam
atau vakum. Pada gawat janin, dalam kala I, dilakukan
segera seksio sesarea; pada kala II dilakukan ekstraksi
dengan cunam atau ekstraktor vakum (Budiono, 1999).
2. Sectio Caesarea
berat, gawat janin, panggul sempit, dan plasenta previa (Rasjidi, 2009).
menimbulkan pendarahan.
5
3) Melintang (secara kerr).
3) Bounding attachment.
(Green, 2012)
selesai dan pasien mulai sadar, pasien akan merasakan nyeri pada
bagian tubuh yang telah diinsisi (Potter dan Perry, 2009). Nyeri paling
hebat terjadi pada 12-36 jam setelah tindakan operatif (Barbara, 2010).