Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU BEDAH Journal Reading

RSU ANUTAPURA 15 April 2022


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

Pembaharuan Terkini dalam Patogenesis dan Pengobatan


Kemoterapi serta Anemia yang Diinduksi Kanker

Disusun Oleh:
Muh Yaqub Basri
16 20 777 14 397

Pembimbing Klinik :
dr. Muhamad Ikhlas, Sp.B., M.Kes

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Muh Yaqub Basri, S.Ked


NIM : 16 20 777 14 397
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Alkhairaat Palu
Judul Journal : Pembaharuan Terkini dalam Patogenesis dan Pengobatan
Kemoterapi serta Anemia yang Diinduksi Kanker
Bagian : Ilmu Bedah

Bagian Ilmu Bedah


RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, 15 April 2022


Pembimbing Mahasiswa

dr. Muhamad Ikhlas, Sp.B., M.Kes Muh Yaqub Basri,


S.Ked

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
ABSTRAK 1
I PENDAHULUAN 2
1.1 Anemia dan kualitas hidup 2
1.2 Anemia sebagai faktor prognostik yang merugikan 3
II PILIHAN TERAPI 5
2.1 Transfusi darah 6
2.2 Erythropoietin-stimulating Agents (ESAs) 7
III PERAN HEPCIDIN DAN PENGATURAN ZAT BESI 10
IV TERAPI BESI INTRAVENA 12
4.1 Perspektif sejarah 13
4.2 Besi intravena lebih efektif dari pada pemberian zat besi oral 13
4.3 Formulasi/preparat besi intravena 14
4.4 Keamanan zat besi intravena 15
4.5 Dosis besi intravena 16
4.6 Studi klinis dalam mengevaluasi 16
4.7 Akankah besi intravena berbahaya 17
V KESIMPULAN 18
REFERENSI 19

iii
Pembaharuan Terkini dalam Patogenesis dan Pengobatan
Kemoterapi serta Anemia yang Diinduksi Kanker
beranda jurnal:www.elsevier.com/locate/critrevonc

Hikmat Abdel-Razeqaa, Hasan Hashemb


a Departments of Internal Medicine, King Hussein Cancer Center, Amman, Jordan
b Department of Pediatrics, King Hussein Cancer Center, Amman, Jordan

ABSTRAK

Kemoterapi dan anemia yang diinduksi kanker/ Cancer-Induced Anemia (CIA)


umumnya ditemui di antara pasien yang secara aktif menjalani kemoterapi dengan
atau tanpa terapi radiasi. Kompleksnya patogenesis dan seringkali sulit untuk
diidentifikasi. Gejala yang berkaitan dengan CIA dapat memiliki dampak negatif
pada kualitas hidup dan mempengaruhi kemanjuran pengobatan, perkembangan
penyakit, bahkan kelangsungan hidup. Baru-baru ini, pesatnya kemunduran dari agen
perangsang erythropoietin/ Erythropoietin-Stimulating Agents (ESAs) serta
ketidakpatuhan pasien kanker dengan anemia ringan, bahkan sedang untuk menjalani
transfusi, telah mengakibatkan perawatan CIA menjadi kurang signifikan. Penemuan
hepcidin dan perannya dalam homeostasis besi telah merevolusi pemahaman kita
tentang patogenesis keadaan kekurangan dan kelebihan zat besi. Dalam tinjauan ini,
penulis memeriksa patogenesis multifaktorial yang terkait dengan CIA, membahas
mekanisme utama mengenai tumor dan sistem kekebalan yang berdampak terhadap
timbulnya anemia. Selain itu, penulis membahas pilihan pengobatan yang lebih
difokuskan pada pemanfaatan terbaru dari formulasi besi intravena sebagai indikasi
CIA.

1
I. PENDAHULUAN

Anemia sering dijumpai pada pasien kanker terutama di antara mereka yang
menjalani kemoterapi aktif dengan atau tanpa terapi radiasi. Dalam salah satu studi
survei terbesar, European Cancer Anemia Survey (ECAS), 39% dari 15.367 pasien
yang menjalani kemoterapi dan diikuti selama 6 bulan ditemukan anemia dengan Hb
<10,0 g/dL. Secara keseluruhan, hanya 39% dari pasien ini yang dirawat, kebanyakan
dengan erythropoietin-stimulating agents (ESA) atau transfusi darah (Ludwig et al.,
2004).
Patogenesis anemia yang diinduksi kanker (CIA) adalah kompleksibilitas yang
seringkali sulit diidentifikasi, serta kebanyakan bersifat multifaktorial, Tabel 1
(Schwartz, 2007). Kehilangan darah akibat penyakit, terlihat pada kanker
gastrointestinal, genitourinari, dan ginekologi. Baik radioterapi maupun kemoterapi
dapat bersifat imunosupresif dan menghambat eritropoiesis; sehingga, hal-hal tersebut
dapat menyebabkan anemia yang lebih berat dibandingkan yang lainnya. Tidak ada
penyebab signifikan secara proporsif pada pasien kanker dengan anemia, anemia
dalam situasi ini diklasifikasikan sebagai anemia penyakit kronis (Cullis, 2013).
Mekanisme dasar yang bertanggung jawab untuk jenis anemia ini tidaklah jelas,
tetapi diduga adanya keterlibatan dalam aktivasi sitokin seperti Interferon-γ,
Interleukin-1 dan Tumor Necrosis Factor (TNF) (Nemeth et al., 2004). Sitokin-
sitokin tersebut dapat menekan produksi eritropoietin (EPO) endogen, merusak
penggunaan zat besi, dan menurunkan proliferasi prekursor eritroid.
1.1 Anemia dan Kualitas Hidup
Anemia, pada pasien kanker, dapat menyebabkan berbagai gejala yang
melibatkan hampir setiap organ. Tingkat keparahan gejala tersebut tergantung
pada derajat anemia, kecepatan onset dan komorbiditas yang ada. Gejalanya bisa
sesederhana seperti pusing, palpitasi, dispnea, anoreksia, dan kesulitan
berkonsentrasi hingga yang parah, menyebabkan kelesuhan dan gagal jantung
(Ludwig dan Strasser, 2001). Kelelahan, merupakan salah satu gejala yang paling

2
umum ditemui pada pasien kanker, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
pasien (QOL) (Cella, 1998; Crawford et al., 2002). Dalam satu survei, 78% dari
419 pasien kanker yang dipilih secara acak, dilaporkan mengalami kelelahan
selama perjalanan penyakit mereka atau terapinya. Selain itu, 61% dari pasien
menunjukkan bahwa kelelahan mempengaruhi kualitas kehidupan pasien
melebihi keluhan nyeri yang berhubungan dengan kanker (Curt, 2000).
Sementara kelelahan akibat kanker memiliki mekanisme patogenetik yang
berbeda, diyakini bahwa anemia merupakan faktor yang berkontribusi secara
signifikan (Curt, 2000). Sayangnya, masalah ini tidak cukup ditangani oleh
sebagian besar ahli onkologi yang berpraktik.
1.2 Anemia sebagai faktor prognostik yang merugikan
Tabel 1. Etiologi Anemia pada pasien kanker
1 Hubunganya dengan kanker
 Kehilangan darah (GI,GU,GYN)
 Hemolisis (Lymphoma, CLL)
 Infiltrat Tumor dan destruksi Bone marrow
 Anemia penyakit kronik (sitokin; TNF, Interferon, Interleukin)
2 Hubungannya dengan Terapi:
 Kehilangan darah (Pembedahan)
 Supresi bone marrow akibat induksi radioterapi
 Supresi bone marrow akibat Induksi Kemoterapi
 Nefrotoksis akibat agen kemoterapi (menurunnya EPO, Platinum)
3 Hubunganya dengan Pasien:
 Napsu makan buruk
 Defisiensi nutrisi (reseksi usus, dan lambung)

GI - gastrointestinal, GU - genitourinary, GYN - obstetrics-gynecology, CLL -


chronic lymphocytic leukemia, TNF - tumor necrosis factor, EPO – erythropoietin.

3
Selain peranya terkait dengan masalah kualitas hidup, banyak penelitian
menunjukkan bahwa anemia merupakan faktor independen yang dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup pasien kanker, terutama di antara mereka
yang diobati dengan kemoterapi dan radioterapi (Shrivastava et al., 2018),
(Groganet al., 1999), (Dubray et al., 1996). Namun, data mengenai peningkatan
kelangsungan hidup dengan koreksi anemia bertentangan. Dalam sebuah
penelitian yang relatif sudah lama, Caro dan kawan-kawan, meninjau 60 jurnal
yang dilaporkan tentang kelangsungan hidup pasien dengan kanker menurut
tingkat hemoglobin mereka. Pada kelompok pasien kanker yang beragam ini,
anemia meningkatkan risiko relatif kematian secara keseluruhan sebesar 19%
pada pasien dengan kanker paru-paru, 47% pada pasien dengan kanker prostat,
67% pada pasien dengan limfoma, dan 75% pada pasien dengan kanker kepala
dan leher. (Caro et al., 2001).
Sebuah meta-analisis yang diterbitkan baru-baru ini mencoba untuk
mempelajari hubungan antara anemia pra-operasi dan kelangsungan hidup secara
keseluruhan (OS) serta kelangsungan hidup bebas penyakit (DFS) pada 3588
pasien dengan kanker usus besar atau rektum. Dalam meta-analisis ini, anemia
pra-operasi ditemukan secara signifikan terkait dengan DFS yang buruk (HR
1,34; 95% CI 1,11-1,61; p = 0,002) dan OS yang buruk (HR 1,56; 95% CI 1,30-
1,88; p <0,001) . Namun, ketika penulis merestriksi analisis pada kanker kolon
dan kanker rektal, hasilnya berbeda; HR untuk OS adalah 1,25 (95% CI 1,00-
1,55; p = 0,05) pada kanker kolon dan 2,59 (95% CI 1,68-4,01; p <0,001) pada
kanker rektal. Demikian pula, HR untuk DFS adalah 1,21 (95% CI 0,96-1,52; p =
0,11) untuk kanker kolon dan 1,61 (95% CI 1,18-2,21; p = 0,003) untuk kanker
rektal (Wilson et al., 2017).

4
Dampak anemia pada kelangsungan hidup dapat dikaitkan dengan adanya
keterlambatan dalam memulai atau kegagalan untuk menyelesaikan rejimen
kemoterapi pada waktu yang tepat. Selain itu, sitotoksisitas yang disebabkan oleh
radioterapi dan beberapa rejimen kemoterapi memerlukan kadar oksigen yang
memadai. Hipoksia tumor dapat menjadi faktor penyebab kegagalan respon tumor
karena tumor menjadi resisten terhadap radiasi dan kemoterapi (Harrison dan
Blackwell, 2004; Cosse dan Michiels, 2008; Wu et al., 2015). Hipoksia jaringan
terjadi akibat ketidakseimbangan antara suplai dan konsumsi oksigen. Pada tumor
solid, tingkat konsumsi oksigen dari sel-sel neoplastik mungkin lebih besar daripada
suplai oksigen dan mengakibatkan hipoksia tumor (Höckel dan Vaupel, 2001). Suplai
oksigen terhambat oleh perfusi yang tidak memadai akibat kelainan struktural dan
fungsional mikrosirkulasi tumor, juga dapat disebabkan oleh peningkatan jarak difusi.
Anemia, yang disebabkan oleh tumor atau terapinya, dapat menyebabkan penurunan
kapasitas pembawa oksigen darah, yang selanjutnya berkontribusi pada hipoksia
tumor (Vaupel et al., 2006). Hipoksia dapat mempengaruhi kinetika proliferasi dan
posisi siklus sel; keduanya dapat memodulasi jumlah sel yang dihancurkan setelah
radiasi atau kemoterapi. Studi juga menunjukkan bahwa hipoksia tumor yang
berkelanjutan juga dapat meningkatkan perkembangan keganasan dan dapat
meningkatkan agresivitas melalui seleksi klon dan perubahan genom (Vaupel dan
Mayer, 2007; Vaupel et al., 2001)

II. PILIHAN TERAPI

Upaya dalam mengidentifikasi etiologi anemia dan pengobatannya harus


diarahkan pada penyebab yang mendasarinya. Namun, mengidentifikasi faktor
penyebab tertentu terkadang sulit dan intervensi terapeutik yang diarahkan mungkin
tidak efektif. Pada bagian berikut, akan dibahas beberapa modalitas pengobatan
termasuk transfusi darah, agen perangsang eritropoietin dan terapi besi intravena
(IV).

5
2.1 Transfusi darah
Sebelum pengenalan ESA (Erithropietin-stimulating Agent), transfusi sel
darah merah (RBC) telah menjadi satu-satunya metode pengobatan anemia.
Manfaatnya dapat dilihat pada pasien yang datang dengan gejala anemia berat
atau perdarahan, terutama pada pasien kanker yang menjalani operasi. Tidak ada
data yang tersedia untuk membandingkan efikasi dan keamanan transfusi darah
dengan penggunaan ESA. Selain pembedahan kanker, pasien dengan anemia
berat, degan kadar Hb sekitar 8,0 g/dL biasanya memerlukan transfusi. Namun,
keputusan untuk transfusi tidak boleh dibuat berdasarkan kadar Hb saja.
Komorbiditas yang ada, kecepatan penurunan Hb dan sifat serta intensitas
kemoterapi dan/atau radioterapi yang sedang berlangsung ataupun direncanakan
merupakan faktor penting (Prescott dkk., 2016).
Keamanan transfusi darah telah meningkat secara signifikan selama
beberapa tahun terakhir. Namun, risiko penularan patogen yang diketahui atau
yang muncul tidak dapat dihindari (Murphy et al., 2007). Lebih lanjut, darah
alogenik dapat menginduksi respon trombotik dan inflamasi; keduanya dapat
mengakibatkan efek samping yang serius (Isbister et al., 2011; Baek dkk., 2012;
Upile et al., 2009). Dalam studi kohort retrospektif menggunakan database debit,
Khorana dkk. mempelajari hubungan antara transfusi dan tromboemboli vena
dan arteri pada pasien rawat inap dengan kanker. Di antara 70.542 (14,0%)
pasien yang menerima setidaknya sekali transfusi sel darah merah (RBC), 7,2%
mengembangkan kejadian tromboemboli vena (VTE) dan 5,2% mengembangkan
tromboemboli arteri, hal ini secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan
kisaran 3,8% dan 3,1% untuk masing-masing kasus pada populasi penelitian
yang tidak menerima transfusi (p <0,001). Dimana analisis multivariat, transfusi
sel darah merah (rasio odds [OR], 1,60; 95% CI, 1,53-1,67) secara independen
terkait dengan peningkatan risiko tromboemboli vena (Khorana dkk., 2008).
Efek modulasi imun transfusi darah pada pasien kanker telah diketahui
dengan baik. Studi berbasis populasi besar dengan meta-analisis menggambarkan

6
hubungan independen antara transfusi sel darah merah dan peningkatan risiko
kekambuhan kanker (Al-Refaie dkk., 2012; Amato dan Pescatori, 2006; Halabi et
al., 2013). Sebuah studi retrospektif baru-baru ini memperlihatkan masalah yang
berkaitan antara modulasi imun akibat transfusi sel darah merah selama periode
perioperatif pada pasien dengan kanker epitel ovarium. Ditemukan enam puluh
enam persen wanita (87 pasien) yang mendapat transfusi pada penelitian ini,
lebih beresiko jika dibandingkan dengan 44 pasien lainnya yang tidak mendapat
transfusi. Bahaya pemodelan proporsional Cox telah digunakan untuk menguji
hubungan antara faktor prognostik dan titik akhir dari penelitian. Dalam model
multivariatnya, hanya transfusi sel darah merah dan suboptimal debulking yang
dapat dikaitkan dengan penurunan kelangsungan hidup secara keseluruhan
(Connor dkk., 2018).
2.2 Erythropoietin-stimulating agent (ESA) atau Agen perangsang eritropoietin
Agen perangsang eritropoietin adalah analog biologis dari eritropoietin
manusia. Tujuan utama penggunaan ESA pada anaemia yang diinduksi kanker
adalah pengoreksian anemia yang berkelanjutan, dan peningkatan kualitas hidup,
serta mengurangi kebutuhan akan transfusi sel darah merah. (Aapro, 2008). Saat
ini tersedia formulasi ESA kerja pendek dan panjang yang dalam hal ini berbeda,
termasuk epoetin kerja pendek dan darbepoetin kerja panjang. Setelah
persetujuan Epoetin dan darbepoetin untuk CIA (cancer induced anemia) oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) pada tahun 1993 sampai 2002,
penggunaanya telah berkembang secara pesat. Sejak saat itu, penggunaanya telah
menjadi topik perdebatan secara konstan.
Epoetin memiliki urutan asam amino yang sama dengan RBC stimulating
protein erythropoietin (EPO) endogen. Darbepoetin memiliki oligosakarida
tambahan, menghasilkan waktu paruh yang lebih lama setelah pemberian
subkutan (Bohlius et al., 2006). Banyak uji klinis acak yang telah menunjukkan
bahwa ESA meningkatkan nilai Hb dan mengurangi jumlah kebutuhan transfusi
sel darah merah pada CIA (Gabrilove et al., 2001; Vansteenkiste et al., 2002;

7
Littlewood et al., 2001; Hedenus dkk., 2003). Selain itu, beberapa penelitian
dalam meta-analisis telah menunjukkan bahwa pengobatan dengan ESA
menghasilkan peningkatan yang signifikan secara statistik pada gejala yang
berhubungan dengan kelelahan dan kualitas hidup pasien CIA. (Tonia dkk.,
2012; Bohlius et al., 2014). Uji coba fase II, degan double-blind plasebo dan
kontrol menunjukkan bahwa lebih banyak pasien pada kelompok yang mendapat
darbepoetin mencapai tingkat target Hb, dibandingkan dengan kelompok plasebo
(Gordon et al., 2008). Percobaan double-blind acak fase III lainnya, yang
dilakukan pada pasien kanker paru stadium lanjut, menunjukkan bahwa
pengobatan dengan epoetin dihubungkan dengan transfusi sel darah merah yang
lebih sedikit memiliki peningkatan Hb yang lebih tinggi daripada plasebo.
(Wright et al., 2007). Hal Ini didukung oleh meta-analisis besar Cochrane, yang
menganalisa 20.102 pasien dari 91 uji klinis secara acak, telah mengevaluasi
penggunaan ESA untuk terapi CIA (Tonia dkk., 2012). Uji coba label terbuka
multisenter secara prospektif teracak, fase II lainnya pada 118 pasien dengan
kanker esofagus stadium lanjut menunjukkan bahwa epoetin lebih efektif dalam
meningkatkan kadar Hb dan memiliki respons yang meningkat secara signifikan
terhadap kemoterapi dan kecenderungan yang jelas untuk meningkatkan
kelangsungan hidup (Thomaidis et al., 2014).
Terlepas dari manfaat klinis ESA untuk CIA, baik studi klinis secara acak
maupun tinjauan sistematis menujukkan risiko kejadian tromboemboli yang lebih
tinggi secara signifikan terjadi pada pasien yang menerima ESA untuk CIA
daripada kelompok plasebo (Tonia dkk., 2012;Wright et al., 2007). Hal tersebut
lebih signifikan pada pasien dengan nilai Hb awal yang lebih tinggi (yaitu Hb >
10,0 g/dL). Selain itu, telah dihipotesiskan bahwa ESA dapat merangsang
pertumbuhan tumor meskipun hal ini masih harus dikonfirmasi. (Henke et al.,
2006). Oleh karena itu, pada tahun 2007, FDA menerbitkan pernyataan
peringatan yang membatasi penggunaan ESA hanya ketika terapi antineoplastik
diberikan untuk tujuan paliatif (Hagerty, 2008). Peringatan tersebut didasarkan

8
pada hasil beberapa uji klinis yang menemukan bahwa pengobatan ESA pada
pasien kanker dikaitkan dengan kelangsungan hidup yang lebih rendah dan
prognostik kanker yang lebih buruk. (Wright et al., 2007; Leyland-Jones dkk.,
2005; Henke et al., 2003). Menyusul kekhawatiran di atas, American Society of
Clinical Oncology (ASCO), (Rizzo et al., 2008) American Society Hematology
(ASH), (Rizzo et al., 2008), dan pedoman National Comprehensive Cancer
Network (NCCN) merekomendasikan pertimbangkan ESA hanya jika tujuan
pengobatan adalah paliatif, bukan penyembuhan dan ketika kadar Hb < 10,0
g/dL. Dokter harus memulai pengobatan setelah berdiskusi dengan pasien
tentang potensi bahaya seperti tromboemboli dan kemungkinan keberlangsungan
hidup yang lebih pendek (Rizzo et al., 2010; Rizzo et al., 2010).
Namun demikian, sekitar sepertiga pasien kanker dengan CIA tidak hanya
didasarkan pada penggunaan ESA saja (Ludwig dkk., 2009), dan bahkan pada
pasien dapat memiliki respons ESA seringkali terlambat (kurang dari 4-6 minggu
setelah inisiasi ESA) (Littlewood et al., 2001). Menyusul keberhasilan
penambahan zat besi IV ke ESA pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
(CKD), Auerbach dan rekan melakukan uji coba acak pertama yang menguji
penambahan zat besi IV dengan ESA pada pasien CIA. Zat besi intravena dengan
ESA lebih unggul daripada ESA saja dalam meningkatkan Hb dan QOL
(Auerbach et al., 2004). Sampai saat ini, lebih dari selusin studi prospektif yang
meneliti peran zat besi IV yang dikombinasi dengan ESA untuk pasien CIA telah
menunjukkan respons hematologis yang signifikan (Mhaskar et al., 2016),
peningkatan kualitas hidup (Auerbach et al., 2004), pengurangan kebutuhan
transfusi (Bastit dkk., 2008), dan berkonstribusi menurunkan dosis ESA. Sebuah
meta-analisis dari 11 studi termasuk di dalamnya 1681 pasien kanker yang diacak
untuk mendapatkan terapi dengan zat besi IV mengkonfirmasi adanya
kemanjurannya baik sendiri atau dalam kombinasi dengan ESA (Gafter-Gvili et
al., 2013).

9
Keterbatasan penting dari ESA, dan obat-obatan biologis secara umum, tetap
berupa pembiayaan tinggi yang dapat membatasi akses di beberapa negara. Obat-
obatan biosimilar yang disetujui dapat menjadi penawaran pilihan oleh dokter
yang tergolong bagus dengan pembiayaan rendah. Studi multicenter longitudinal
observasional pertama dan terbesar, (ORHEO), mengevaluasi efikasi dan
keamanan biosimilar epoetin zeta pada 2333 pasien dengan CIA (Hb <11,0
g/dL). Studi ini menunjukkan tingkat respons Hb yang tinggi (86,5% pada 6
bulan) dengan tingkat kejadian tromboemboli yang lebih rendah dari yang
diharapkan (2,4%) dan tidak ada efek samping terkait pengobatan yang tidak
terduga (Michallet et al., 2014).

III. PERAN HEPCIDIN DAN PENGATURAN ZAT BESI


Besi adalah mikronutrien penting untuk berbagai sistem enzim manusia, yang
dapat diklasifikasikan menjadi protein heme dan non-heme. Hal ini sangat penting
untuk produksi sel darah merah yang memadai, yang memberikan oksigen ke semua
jaringan tubuh. Besi ferrous (bivalent) dari sel darah merah yang bersirkulasi melalui
kapiler paru untuk mengikat oksigen secara reversibel. Kadar besi plasma diatur oleh
glikoprotein transferin, yang memiliki dua situs pengikatan afinitas tinggi untuk besi
trivalen. Penyerapan besi ke dalam sel dipengaruhi oleh reseptor transferin. Zat besi
berjalan menuju ke sirkulasi melalui dua jalur: enterosit duodenum dapat menyerap 1-
2 mg besi per hari dari nutrisi harian, sementara makrofag melepaskan 20-25 mg besi
per hari dari sel darah merah tua yang terinternalisasi. Hepatosit juga memainkan
peran penting dalam metabolisme zat besi; hepatosit dapat menyimpan sejumlah
besar besi melalui feritin, mensistesis, dan mensekresikan pengatur protein hepcidin
(Madeddu et al., 2018).
Hepcidin adalah peptida kationik kaya sistein kecil yang hanya terbuat dari 25
asam amino. Zat ini disintesis terutama oleh hepatosit, sesuai penamaan awalnya
("hep"). Sementara “cidin" sesuai pada fakta bahwa awalnya ditemukan, sebagian
secara kebetulan, selama penelitian yang berfokus pada defensin, yaitu peptida alami

10
dengan aktivitas antimikroba. Pertama kali hubungan hepcidin dengan besi
dilaporkan pada tahun 2001 (Pigeon et al., 2001) dan sejak itu Hepcidin menjadi
kandidat utama sebagai peptida pengatur besi (Goodnough dkk., 2010). Hepcidin
secara kritikal mengatur homeostasis besi sistemik dengan mengikat reseptor
ferroportin, ekspor protein besi yang utama. Sumbu hepcidinferroportin disetel
dengan baik untuk memastikan keseimbangan antara kebutuhan eritropoiesis dan
penyerapan zat besi. Tiga determinan utama produksi hepsidin adalah simpanan besi
tubuh, aktivitas eritropoietik, dan inflamasi. Sintesis hepcidin dirangsang ketika
simpanan besi tubuh penuh, terutama melalui pelepasan parakrin dari Bone
Morphogenetic Protein-6 (BMP-6). Hepcidin menginduksi degradasi ferroportin;
sehingga, menghambat ekspor besi dari makrofag (keterlibatan daur ulang besi dari
eritrosit tua), dari hepatosit (terlibat dalam penyimpanan besi) dan enterosit (penyerap
besi dari makanan). Singkatnya, ketika konsentrasi hepcidin rendah, besi memasuki
plasma dengan kecepatan tinggi; dan ketika konsentrasi hepcidin tinggi, besi
terperangkap dalam enterosit, hepatosit, dan makrofag. Akhirnya, peradangan dapat
merangsang sintesis hepsidin melalui beberapa interleukin (IL), terutama interleukin-
6 (IL-6), dan IL-1b. Hipoferemia yang dihasilkan merupakan faktor protektif pada
beberapa infeksi akut (Arezes dkk., 2015)
Status besi adalah pengontrol utama ekspresi hepsidin dalam kondisi basal.
Hepsidin diatur oleh umpan balik baik oleh konsentrasi besi maupun oleh kebutuhan
eritropoietik untuk besi. Di sisi lain, kondisi inflamasi menghasilkan sitokin seperti
IL-6, yang pada gilirannya meningkatkan ekspresi hepsidin melalui sinyal Janus
kinase-2. (Wrighting dan Andrews, 2006). Singkatnya, Hepcidin menurun pada
defisiensi besi, dan meningkat baik pada kelebihan besi serta peradangan. Gambar 1
merangkum peran hepcidin dalam etiologi CIA. Kanker, infeksi kronis dan
peradangan menyebabkan produksi hepcidin yang lebih tinggi yang dapat
menghambat penyerapan zat besi sehingga meningkatkan penipisan zat besi,
menciptakan keadaan anemia defisiensi besi absolut (AIDA). Selain itu, hepcidin
bertentangan dengan pemanfaatan zat besi, meskipun penyimpanannya memadai,

11
melalui jaringan retikuloendotelial tercipta suatu keadaan anemia yang disebut
anemia defisiensi besi fungsional (FIDA).
Setelah pemberian besi IV, kompleks besi-karbohidrat yang bersirkulasi akan
difagosit oleh makrofag. Secara intraseluler, besi akan dilepaskan dalam bentuk berat
molekul rendah (LMW) dan berasimilasi baik menjadi feritin atau dilepaskan ke
transferin ekstraseluler. Transferin menghantarkan besi ke dalam reseptor
sitoplasmiknya pada prekursor eritroid yang menyebabkan internalisasi kompleks
besi-transferin, dan pelepasan intraseluler untuk mensintesis hemoglobin. (Madeddu
et al., 2018).

Gambar 1. Peran Hepcidin dalam Homeostasis Besi

IV. TERAPI BESI INTRAVENA


Anemia defisiensi besi (ADB) sejauh ini merupakan gangguan gizi yang paling
luas di seluruh dunia. ADB sangat umum pada balita, remaja perempuan, pasien
dengan penyakit radang usus (IBD), pasien dengan gagal ginjal kronis, dan fokus

12
yang lebih penting dalam ulasan ini adalah pada pasien kanker yang menerima
kemoterapi.
4.1 Perspektif sejarah
Terapi penggantian zat besi dimulai pada abad ketujuh belas, dan telah
berkembang relatif lambat sampai awal abad ini, ketika penemuan sumbu
hepcidin-ferroportin telah menunjukkan titik balik. Sementara itu, kemajuan
dalam teknologi farmasi dan produksi formulasi besi yang lebih baru bertujuan
untuk meminimalkan masalah yang melekat dengan pendekatan tradisional.
4.2 Besi intravena lebih efektif dari pada pemberian zat besi oral
Secara tradisional, terapi besi oral dalam bentuk garam besi (sulfat, glukonat,
fumarat) telah direkomendasikan untuk pasien ADB. Meskipun perdebatan
tentang formulasi oral terbaik, terapi zat besi oral telah menjadi tantangan
tersendiri, karena diperlukan kepatuhan selama beberapa bulan agar dapat
menjadi efektif. Besi oral sering dikaitkan dengan toleransi dan efek samping
yang buruk, terutama efek samping gastrointestinal berupa rasa seperti logam,
serta efek lainnya (sakit perut, mulas, mual, muntah, dan konstipasi). (Cancelo-
Hidalgo dkk., 2013;Tolkien dkk., 2015).
Dalam situasi terdapatnya penyerta pada perdarahan gastrointestinal atau
inflamasi, pemberiaan dosis tinggi besi oral menyebabkan toleransinya menjadi
kurang baik. Dua meta-analisis baru-baru ini, menyertakan ribuan pasien yang
mendapatkan terapi garam besi oral (ferrous) telah melaporkan adanya efek
samping gastrointestinal pada 30-70% kasus (Ancelo-Hidalgo dkk., 2013;
Tolkien dkk., 2015).
Besi intravena adalah alternatif terapi yang jarang digunakan sebagai
pengganti besi oral pada anak-anak dan orang dewasa, terutama karena
ditakutkannya reaksi anafilaksis. Selain dikaitkan dengan masalah kepatuhan
pengobatan dan toleransi gastrointestinal, besi IV juga memiliki keuntungan
karena melewati jalur hepcidinferroportin usus yang berperan mengontrol
penyerapan besi. Zat besi IV akan mengurangi beban penyakit pasien (pasien

13
kanker) yang seringkali mendapatkan pengobatan oral tambahan, yang hanya
akan menambah beban penyakit mereka. Zat besi intravena menyebabkan
peningkatan Hb lebih cepat dan pengisian penyimpanan zat besi dalam tubuh
yang lebih efisien. Hal ini sangatlah penting ketika diperlukannya kebutuhan zat
besi yang tinggi seperti pada pasien CIA.
4.3 Formulasi/preparat besi intravena
Terdapat banyak produk besi IV yang tersedia secara komersial. Semua itu
memiliki struktur yang sama, menjadi larutan koloid dari senyawa yang terbuat
dari inti polinuklir yang mengandung Fe+3 partikel hidroksida dikelilingi oleh
cangkang karbohidrat (Girelli et al., 2018). Nanopartikel besi-karbohidrat bulat
(sukrosa, dekstran, dan dekstrin) ini berbeda pada bagian rantai karbohidrat yang
membentuk cangkangnya, serta jenis dan kekuatan ikatannya dengan inti besi.
Secara global, beberapa preparat besi untuk pemberian IV sedang digunakan;
High Molecule Weight Iron-Dextran (HMWID), Low Molecule Weight Iron-
Dextran (LMWID), Iron Gluconate (IG), Iron Sucrosa (IS), Iron ferrumoxytol
(FO), ferriccarboxymaltose (FCM), dan ferric isomaltosida (FI) (Girelli et al.,
2018; Grzywacz dkk., 2017). Ketiga yang terakhir semakin banyak digunakan
baru-baru ini dan secara kolektif dikelompokkan sebagai senyawa besi IV
“generasi ketiga” dengan parameter farmakokinetik yang memungkinkan untuk
pemberian besi dosis tinggi tunggal dan pemberiaannya tidak memerlukan
pengujian dosis. HMWID tidak lagi digunakan karena reaksi anafilaksis yang
sering ditimbulkan. LMWID memiliki profil keamanan yang lebih baik, tetapi
dosis uji dan pemberian infus membutuhkan waktu beberapa jam. Formulasi IV
lainnya seperti IG dan IS yang juga memerlukan pemberian yang sesering
mungkin . (Table 2)
Tabel 2. Preparat besi intravena yang saat ini digunakan
Obat Iron Ferric Ferrous Ferrous Ferrumoxytole
Sucrosa Gluconate Isomaltisida Carboximaltose

14
Generasi Kedua Kedua Ketiga Ketiga Ketiga
Stabilitas Sedang Rendah Tinggi Tinggi Tinggi
Kebutuhan uji Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
dosis harian /iya
Dosis harian 200 mg 125 mg 20 mg/kg 1 gr 510 mg
tunggal
maksimum
Waktu 30 30-60 15 menit 15 menit 15 menit
pemberian menit menit
minimum
Dosis total Tidak Tidak Ya Ya Ya
penggantian
dalam infus
tunggal

4.4 Kemanan zat besi intravena


Toksisitas besi IV dikaitkan dengan pelepasan cepat besi bebas labil.
Toksisitas secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan dan stabilitas kompleks
besi-karbohidrat. Semakin kuat dan stabil kompleks tersebut, semakin lambat
pelepasan besi, semakin rendah risiko saturasi transferin berlebih, sehingga risiko
toksisitas besi bebas menjadi minimal. Oleh karena itu, dosis besi IV yang lebih
rendah, serta frekuensi dosis yang lebih jarang akan mempertahankan konsentrasi
besi serum di bawah kapasitas pengikatan besi total (TIBC) menjadi kurang
beracun. Patut dicatat bahwa meskipun mekanisme kerja yang sama dari
formulasi IV yang berbeda, obat-obat ini dapat memiliki efek imunologis yang
berbeda pula, meskipun relevansi klinisnya tidak diketahui. Reaksi transfusi
minor terjadi kira-kira pada pemberian 1:200, dan pemulihannya hanya dengan
penghentian infus tanpa memerlukan pengobatan lain (Fishbane et al., 1999).

15
Reaksi anafilaksis yang lebih serius tampaknya sangat jarang (<1 dalam 200.000
ketika pemberiaan HMWID dihindari) (Avni dkk., 2015). Tidak ada peningkatan
risiko infeksi atau morbiditas kardiovaskular yang diamati, namun besi IV tidak
boleh diberikan pada pasien dengan infeksi aktif. (Fishbane et al., 1999) Dosis uji
tidak lagi dianjurkan untuk pencegahan/memprediksi reaksi alergi (terutama
diamati pada penggunaan dekstrans besi); namun, fasilitas resusitasi dan staf
terlatih harus tersedia jika terjadi reaksi anafilaksis.
4.5 Dosis besi intravena
Dosis besi intravena didasarkan pada defisit besi total tubuh. Ini dihitung
menggunakan rumus Ganzoni:
Defisit besi total tubuh/dosis besi kumulatif (mg) = berat badan*
(kg) x [target Hb – Hb aktual dalam g/L] x 0,24 + depot besi (mg)**
Note:
* Gunakan berat badan ideal pada pasien kelebihan berat badan.
* * Depot besi:
Pasien < 35 kg berat badan: 15 mg/kg
Pasien > 35 kg: 500 mg.
4.6 Studi klinis dalam mengevaluasi besi intravena pada pasien CIA
Bukti terbaru menunjukkan bahwa formulasi besi IV efektif dan aman dalam
koreksi dan pencegahan anemia pada pasien kanker. Sampai saat ini, lebih dari
satu lusin studi prospektif yang meneliti peran besi IV dalam kombinasi dengan
ESA untuk CIA telah menunjukkan banyak manfaat dalam hal respons
hematologis (peningkatan Hb), peningkatan kualitas hidup, pengurangan
kebutuhan transfusi, dan penurunan dosis ESA. (Auerbach et al., 2004; Mhaskar
et al., 2016; Bastit dkk., 2008). Sebuah meta-analisis dari 11 studi termasuk 1681
pasien kanker secara acak dalam pengobatan preparat besi IV mengkonfirmasi
kemanjuran preparat besi IV baik sendiri atau dalam kombinasi dengan ESA
(Gafter-Gvili et al., 2013). Bukti yang berkembang tampaknya telah
mengkonfirmasi manfaat besi IV tunggal, terutama penggunaan senyawa

16
generasi ketiga. Awalnya tiga penelitian kecil pada pasien kanker ginekologis
menerima kemoterapi-radioterapi diikuti oleh studi observasional dari Jerman
menggunakan Ferric Carboxymaltose (FCM) pada 639 pasien menunjukkan
respon hematologi yang signifikan dan penurunan kebutuhan transfusi darah
(Kim et al., 2007; Dangsuwan dan Manchana, 2010; Steinmetz dkk., 2013;
Gemici et al., 2016). Kemajuan tersebut tidak tergantung pada parameter dasar
zat besi dan status awal zat besi yang menunjukkan bahwa besi IV bermanfaat
pada pasien CIA bahkan jika kadar zat besi terpenuhi pada permulaan terapi.
Besi intravena tunggal dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pada pasien
dengan defisiensi besi fungsional ataupun keperluan operasi elektif. Hal paling
penting, tidak ada efek samping yang signifikan secara klinis (Gafter-Gvili et al.,
2013; Auerbach dan Muñoz, 2012).
Namun, terlepas dari rasio risiko atau/ manfaat yang terlihat menguntungkan
dalam penggunaan zat besi IV dan bukti yang dipublikasikan dapat mendukung
keamanan, kemanjuran, serta kemudahan pemberiannya, penggunaan besi IV
masih tertinggal. Kekhawatiran di balik keengganan penggunaan zat besi IV
dapat dikaitkan dengan kesalah pahaman tentang informasi mengenai sifat dan
frekuensi penggantian dari infus minor. Dengan data yang meyakinkan mengenai
manfaat besi IV baik tunggal atau dengan ESA, cukup menjadi alasan dalam
penggunaan paradigma pengobatan CIA.
4.7 Akankah besi intravena berbahaya ?
Banyak penelitian yang menghasilkan hipotesis telah mengangkat beberapa
kekhawatiran tentang efek negatif dari terapi besi IV terutama pada pasien
dengan kanker kolorektal (Wilson et al., 2018; Ng, 2016). Namun, sebagian
besar penelitian ini menggunakan zat besi pada model hewan dalam format dan
jadwal pemberian dosis yang sangat berbeda dari apa yang peneliti gunakan
dalam praktik klinis (Beguin et al., 2014; Torti dan Torti, 2013). Sebuah studi
kohort retrospektif baru-baru ini yang dilakukan secara berturut-turut pada pasien
yang menjalani operasi untuk kanker kolon atau rektum antara 2010 sampai 2016

17
membandingkan 83 pasien anemia yang diobati dengan zat besi IV dengan 83
pasien anemia lainnya yang tidak diterapi zat besi IV. Mengestimasikan 1-, 3-,
dan 5 tahun OS (masing-masing 91,6%, 73,1%, 64,3%) dan DFS (masing-
masing 94,5%, 86,7%, 83,4%) pada kelompok yang mendapat zat besi IV
sebanding dengan kelompok tanpa zat besi intravena (masing-masing p = 0,456
dan p = 0,240). Selain itu, bila dibandingkan antara kelompok pasien dengan zat
besi IV yang memiliki kejadian kematian atau kekambuhan, dengan mereka yang
tidak mengalami kejadian tersebut, penulis menemukan tren yang berbeda untuk
penurunan level transferin pada kelompok kejadian (median 2,53 g/L vs 2,83
g/L, p = 0,052) (Wilson et al., 2018). Studi prospektif acak lainnya dengan tindak
lanjut yang lebih lama juga menunjukkan tidak ada dampak negatif dari besi IV
ketika diberikan kepada pasien dengan keganasan limfoid dan transplantasi sel
induk hematopoietik autologus (Jaspers et al., 2015).

V. KESIMPULAN
Anemia sering dijumpai pada pasien kanker. Namun, mengingat kekhawatiran
yang muncul tentang toksisitas terkait ESA dan kemungkinan perkembangan tumor,
banyak dari pasien tersebut tidak diobati. Studi yang melibatkan ribuan pasien yang
dirawat karena CIA menunjukkan bahwa zat besi IV dapat bersinergi dengan ESA
yang mengarah pada peningkatan respons Hb, penurunan transfusi sel darah merah,
dan peningkatan kualitas hidup, yang paling penting, monoterapi besi IV telah
terbukti efektif dan aman tanpa efek samping yang signifikan secara klinis terutama
dengan preparat "generasi ketiga" yang baru. Selain itu, dibandingkan dengan ESA,
pembiayaan zat besi IV dapat diabaikan. Diperlukan studi acak secara besar untuk
mengevaluasi keamanan jangka panjang pada pasien kanker.

18
REFERENSI
1. Aapro, M.S., 2008. Editorial: anemia management with erythropoiesis-
stimulating agents: a risk-benefit update. Oncologist 13 (Supplement 3), 1–3.
https://doi.org/10.1634/theoncologist.13-S3-1.
2. Al-Refaie, W.B., Parsons, H.M., Markin, A., Abrams, J., Habermann, E.B.,
2012. Blood transfusion and cancer surgery outcomes: a continued reason for
concern. Surgery 152 (3), 344–354.
https://doi.org/10.1016/j.surg.2012.06.008.
3. Amato, A., Pescatori, M., 2006. Perioperative blood transfusions and
recurrence of colorectal cancer. Cochrane Database Syst. Rev. (1),
CD005033. https://doi.org/10.1002/14651858.CD005033.pub2.
4. Arezes, J., Jung, G., Gabayan, V., et al., 2015. Hepcidin-induced
hypoferremia is a critical host defense mechanism against the siderophilic
bacterium Vibrio vulnificus. Cell Host Microbe 17 (1), 47–57.
https://doi.org/10.1016/j.chom.2014.12.001.
5. Auerbach, M., Muñoz, M., 2012. Intravenous iron for treating cancer-induced
anemia: meeting an unmet need? Chinese Clin Oncol 1 (2), 21.
https://doi.org/10.3978/j.issn.2304-3865.2012.11.11.
6. Auerbach, M., Ballard, H., Trout, J.R., et al., 2004. Intravenous Iron
Optimizes the response to recombinant human erythropoietin in cancer
patients with chemotherapyrelated Anemia: a multicenter, open-label,
randomized trial. J. Clin. Oncol. 22 (7), 1301–1307.
https://doi.org/10.1200/JCO.2004.08.119.
7. Avni, T., Bieber, A., Grossman, A., Green, H., Leibovici, L., Gafter-Gvili, A.,
2015. The safety of intravenous iron preparations. Mayo Clin. Proc. 90 (1),
12–23. https://doi.org/10.1016/j.mayocp.2014.10.007.
8. Baek, J.H., D’Agnillo, F., Vallelian, F., et al., 2012. Hemoglobin-driven
pathophysiology is an in vivo consequence of the red blood cell storage lesion

19
that can be attenuated in guinea pigs by haptoglobin therapy. J. Clin. Invest.
122 (4), 1444–1458. https://doi.org/10.1172/JCI59770.
9. Bastit, L., Vandebroek, A., Altintas, S., et al., 2008. Randomized, multicenter,
controlled trial comparing the efficacy and safety of darbepoetin alfa
administered every 3 weeks with or without intravenous iron in patients with
chemotherapy-induced anemia. J. Clin. Oncol. 26 (10), 1611–1618.
https://doi.org/10.1200/JCO.2006.10.4620.
10. Beguin, Y., Aapro, M., Ludwig, H., Mizzen, L., Österborg, A., 2014.
Epidemiological and nonclinical studies investigating effects of iron in
carcinogenesis—a critical review. Crit. Rev. Oncol. Hematol. 89 (1), 1–15.
https://doi.org/10.1016/j.critrevonc.2013.10.008.
11. Bohlius, J., Wilson, J., Seidenfeld, J., et al., 2006. Recombinant human
erythropoietins and cancer patients: updated meta-analysis of 57 studies
including 9353 patients. JNCI J Natl Cancer Inst 98 (10), 708–714.
https://doi.org/10.1093/jnci/djj189.
12. Bohlius, J., Tonia, T., Nüesch, E., et al., 2014. Effects of erythropoiesis-
stimulating agents on fatigue- and anaemia-related symptoms in cancer
patients: systematic review and meta-analyses of published and unpublished
data. Br. J. Cancer 111 (1), 33–45. https://doi.org/10.1038/bjc.2014.171.
13. Cancelo-Hidalgo, M.J., Castelo-Branco, C., Palacios, S., et al., 2013.
Tolerability of different oral iron supplements: a systematic review. Curr.
Med. Res. Opin. 29 (4), 291–303.
https://doi.org/10.1185/03007995.2012.761599.
14. Caro, J.J., Salas, M., Ward, A., Goss, G., 2001. Anemia as an independent
prognostic factor for survival in patients with cancer: a systemic, quantitative
review. Cancer 91 (12), 2214–2221.
15. Cella, D., 1998. Factors influencing quality of life in cancer patients: anemia
and fatigue. Semin. Oncol. 25 (3 Suppl 7), 43–46.

20
16. Connor, J.P., O’Shea, A., McCool, K., Sampene, E., Barroilhet, L.M., 2018.
Peri-operative allogeneic blood transfusion is associated with poor overall
survival in advanced epithelial ovarian cancer; potential impact of patient
blood management on cancer outcomes. Gynecol. Oncol. 151 (2), 294–298.
https://doi.org/10.1016/j.ygyno.2018.08.040.
17. Cosse, J.-P., Michiels, C., 2008. Tumour hypoxia affects the responsiveness
of cancer cells to chemotherapy and promotes cancer progression. Anticancer
Agents Med. Chem. 8 (7), 790–797.
18. Crawford, J., Cella, D., Cleeland, C.S., et al., 2002. Relationship between
changes in hemoglobin level and quality of life during chemotherapy in
anemic cancer patients receiving epoetin alfa therapy. Cancer 95 (4), 888–
895. https://doi.org/10.1002/cncr.10763.
19. Cullis, J., 2013. Anaemia of chronic disease. Clin Med (Northfield Il) 13 (2),
193–196. https://doi.org/10.7861/clinmedicine.13-2-193.
20. Curt, G.A., 2000. The impact of fatigue on patients with cancer: overview of
FATIGUE 1 and 2. Oncologist 5 (Suppl 2), 9–12.
21. Dangsuwan, P., Manchana, T., 2010. Blood transfusion reduction with
intravenous iron in gynecologic cancer patients receiving chemotherapy.
Gynecol. Oncol. 116 (3), 522–525.
https://doi.org/10.1016/j.ygyno.2009.12.004.
22. Dubray, B., Mosseri, V., Brunin, F., et al., 1996. Anemia is associated with
lower localregional control and survival after radiation therapy for head and
neck cancer: a prospective study. Radiology 201 (2), 553–558.
https://doi.org/10.1148/radiology.201.2.8888257.
23. Fishbane, S., Maesaka, J.K., Mittal, S.K., 1999. Is there material hazard to
treatment with intravenous iron? Nephrol. Dial. Transplant. 14 (11), 2595–
2598.
24. Gabrilove, J.L., Cleeland, C.S., Livingston, R.B., Sarokhan, B., Winer, E.,
Einhorn, L.H., 2001. Clinical evaluation of once-weekly dosing of Epoetin

21
alfa in chemotherapy patients: improvements in hemoglobin and quality of
life are similar to three-timesweekly dosing. J. Clin. Oncol. 19 (11), 2875–
2882. https://doi.org/10.1200/JCO.2001.19.11.2875.
25. Gafter-Gvili, A., Rozen-Zvi, B., Vidal, L., et al., 2013. Intravenous iron
supplementation for the treatment of chemotherapy-induced anaemia –
systematic review and metaanalysis of randomised controlled trials. Acta
Oncol (Madr) 52 (1), 18-29. https://doi.org/10.3109/0284186X.2012.702921.
26. Gemici, C., Yetmen, O., Yaprak, G., et al., 2016. Is there any role of
intravenous iron for the treatment of anemia in cancer? BMC Cancer 16 (1),
661. https://doi.org/10.1186/s12885-016-2686-2.
27. Girelli, D., Ugolini, S., Busti, F., Marchi, G., Castagna, A., 2018. Modern iron
replacement therapy: clinical and pathophysiological insights. Int. J. Hematol.
107 (1), 16–30. https://doi.org/10.1007/s12185-017-2373-3.
28. Goodnough, L.T., Nemeth, E., Ganz, T., 2010. Detection, evaluation, and
management of iron-restricted erythropoiesis. Blood 116 (23), 4754–4761.
https://doi.org/10.1182/blood-2010-05-286260.
29. Gordon, D., Nichols, G., Ben-Jacob, A., Tomita, D., Lillie, T., Miller, C.,
2008. Treating Anemia of cancer with Every-4-Week darbepoetin alfa: final
efficacy and safety results from a phase II, randomized, double-blind,
placebo-controlled study. Oncologist 13 (6), 715–724.
https://doi.org/10.1634/theoncologist.2007-0241.
30. Grogan, M., Thomas, G.M., Melamed, I., et al., 1999. The importance of
hemoglobin levels during radiotherapy for carcinoma of the cervix. Cancer 86
(8), 1528–1536.
31. Grzywacz, A., Lubas, A., Fiedor, P., Fiedor, M., Niemczyk, S., 2017. Safety
and efficacy of intravenous administration of iron preparations. Acta Pol.
Pharm. 74 (1), 13–24.

22
32. Hagerty, K., 2008. Continued regulatory actions affecting the use of
erythropoiesis-stimulating agents. J. Oncol. Pract. 4 (6), 267–270.
https://doi.org/10.1200/JOP.0863501.
33. Halabi, W.J., Jafari, M.D., Nguyen, V.Q., et al., 2013. Blood transfusions in
colorectal cancer surgery: incidence, outcomes, and predictive factors: an
American College of Surgeons National Surgical Quality Improvement
Program analysis. Am. J. Surg. 206 (6), 1024–1033.
https://doi.org/10.1016/j.amjsurg.2013.10.001.
34. Harrison, L., Blackwell, K., 2004. Hypoxia and anemia: factors in decreased
sensitivity to radiation therapy and chemotherapy? Oncologist 9 (Suppl
5(suppl_5)), 31–40. https://doi.org/10.1634/theoncologist.9-90005-31.
35. Hedenus, M., Adriansson, M., San Miguel, J., et al., 2003. Efficacy and safety
of darbepoetin alfa in anaemic patients with lymphoproliferative
malignancies: a randomized, double-blind, placebo-controlled study. Br. J.
Haematol. 122 (3), 394–403.
36. Henke, M., Mattern, D., Pepe, M., et al., 2006. Do erythropoietin receptors on
cancer cells explain unexpected clinical findings? J. Clin. Oncol. 24 (29),
4708–4713. https://doi.org/10.1200/JCO.2006.06.2737.
37. Henke, M., Laszig, R., Rübe, C., et al., 2003. Erythropoietin to treat head and
neck cancer patients with anaemia undergoing radiotherapy: randomised,
double-blind, placebocontrolled trial. Lancet 362 (9392), 1255–1260.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(03)14567-9.
38. Höckel, M., Vaupel, P., 2001. Tumor hypoxia: definitions and current clinical,
biologic, and molecular aspects. J. Natl. Cancer Inst. 93 (4), 266–276.
39. Isbister, J.P., Shander, A., Spahn, D.R., Erhard, J., Farmer, S.L., Hofmann, A.,
2011. Adverse blood transfusion outcomes: establishing causation. Transfus.
Med. Rev. 25 (2), 89–101. https://doi.org/10.1016/j.tmrv.2010.11.001.
40. Jaspers, A., Baron, F., Maertens, J., et al., 2015. Long-term safety follow-up
of a randomized trial of darbepoetin alpha and intravenous iron following

23
autologous hematopoietic cell transplantation. Am. J. Hematol. 90 (7), E133–
E134. https://doi.org/10.1002/ajh.24013.
41. Khorana, A.A., Francis, C.W., Blumberg, N., Culakova, E., Refaai, M.A.,
Lyman, G.H., 2008. Blood transfusions, thrombosis, and mortality in
hospitalized patients with cancer. Arch. Intern. Med. 168 (21), 2377.
https://doi.org/10.1001/archinte.168.21.2377.
42. Kim, Y., Kim, S., Yoon, B., et al., 2007. Effect of intravenously administered
iron sucrose on the prevention of anemia in the cervical cancer patients treated
with concurrent chemoradiotherapy. Gynecol. Oncol. 105 (1), 199–204.
https://doi.org/10.1016/j.ygyno.2006.11.014.
43. Leyland-Jones, B., Semiglazov, V., Pawlicki, M., et al., 2005. Maintaining
normal hemoglobin levels with epoetin alfa in mainly nonanemic patients
with metastatic breast Cancer Receiving first-line chemotherapy: a survival
study. J. Clin. Oncol. 23 (25), 5960–5972.
https://doi.org/10.1200/JCO.2005.06.150.
44. Littlewood, T.J., Bajetta, E., Nortier, J.W.R., Vercammen, E., Rapoport, B.,
Epoetin Alfa Study Group, 2001. Effects of epoetin alfa on hematologic
parameters and quality of life in cancer patients receiving nonplatinum
chemotherapy: results of a randomized, double-blind, placebo-controlled trial.
J. Clin. Oncol. 19 (11), 2865–2874.
https://doi.org/10.1200/JCO.2001.19.11.2865.
45. Ludwig, H., Strasser, K., 2001. Symptomatology of anemia. Semin. Oncol. 28
(2 Suppl 8), 7–14.
46. Ludwig, H., Van Belle, S., Barrett-Lee, P., et al., 2004. The European Cancer
Anaemia Survey (ECAS): a large, multinational, prospective survey defining
the prevalence, incidence, and treatment of anaemia in cancer patients. Eur. J.
Cancer 40 (15), 2293–2306. https://doi.org/10.1016/j.ejca.2004.06.019.
47. Ludwig, H., Aapro, M., Bokemeyer, C., et al., 2009. Treatment patterns and
outcomes in the management of anaemia in cancer patients in Europe:

24
findings from the Anaemia Cancer treatment (ACT) study. Eur. J. Cancer 45
(9), 1603–1615. https://doi.org/10.1016/j.ejca.2009.02.003.
48. Madeddu, C., Gramignano, G., Astara, G., et al., 2018. Pathogenesis and
treatment options of cancer related anemia: perspective for a targeted
mechanism-based approach. Front. Physiol. 9, 1294.
https://doi.org/10.3389/fphys.2018.01294.
49. Mhaskar, R., Wao, H., Miladinovic, B., Kumar, A., Djulbegovic, B., 2016.
The role of iron in the management of chemotherapy-induced anemia in
cancer patients receiving erythropoiesis-stimulating agents. Cochrane
Database Syst. Rev. 2, CD009624.
https://doi.org/10.1002/14651858.CD009624.pub2.
50. Michallet, M., Luporsi, E., Soubeyran, P., et al., 2014. BiOsimilaRs in the
management of anaemia secondary to chemotherapy in HaEmatology and
Oncology: results of the ORHEO observational study. BMC Cancer 14 (1),
503. https://doi.org/10.1186/1471-2407-14-503.
51. Murphy, G.J., Reeves, B.C., Rogers, C.A., Rizvi, S.I.A., Culliford, L.,
Angelini, G.D., 2007 Increased mortality, postoperative morbidity, and cost
after red blood cell transfusion in patients having cardiac surgery. Circulation
116 (22), 2544–2552.
https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.107.698977.
52. Nemeth, E., Rivera, S., Gabayan, V., et al., 2004. IL-6 mediates hypoferremia
of inflammation by inducing the synthesis of the iron regulatory hormone
hepcidin. J. Clin. Invest. 113 (9), 1271–1276.
https://doi.org/10.1172/JCI20945.
53. Ng, O., 2016. Iron, microbiota and colorectal cancer. Wiener Med.
Wochenschr. 166 (13–14), 431–436. https://doi.org/10.1007/s10354-016-
0508-4.
54. Pigeon, C., Ilyin, G., Courselaud, B., et al., 2001. A new mouse liver-specific
gene, encoding a protein homologous to human antimicrobial peptide

25
hepcidin, is overexpressed during Iron overload. J. Biol. Chem. 276 (11),
7811–7819. https://doi.org/10.1074/jbc.M008923200.
55. Prescott, L.S., Taylor, J.S., Lopez-Olivo, M.A., et al., 2016. How low should
we go: a systematic review and meta-analysis of the impact of restrictive red
blood cell transfusion strategies in oncology. Cancer Treat. Rev. 46, 1–8.
https://doi.org/10.1016/j.ctrv.2016.03.010.
56. Rizzo, J.D., Somerfield, M.R., Hagerty, K.L., et al., 2008a. Use of epoetin and
darbepoetin in patients with cancer: 2007 American Society of
Hematology/American Society of Clinical Oncology clinical practice
guideline update. Blood 111 (1), 25–41. https://doi.org/10.1182/blood-2007-
08-109488.
57. Rizzo, J.D., Brouwers, M., Hurley, P., et al., 2010a. American society of
hematology/American society of clinical oncology clinical practice guideline
update on the use of epoetin and darbepoetin in adult patients with cancer.
Blood 116 (20), 4045–4059. https://doi.org/10.1182/blood-2010-08-300541.
58. Rizzo, J.D., Somerfield, M.R., Hagerty, K.L., et al., 2008b. Use of epoetin
and Darbepoetin in patients with cancer: 2007 american society of clinical
Oncology/American society of hematology clinical practice guideline update.
J. Clin. Oncol. 26 (1), 132–149. https://doi.org/10.1200/JCO.2007.14.3396.
59. Rizzo, J.D., Brouwers, M., Hurley, P., et al., 2010b. American society of
clinical oncology/American society of hematology clinical practice guideline
update on the use of epoetin and darbepoetin in adult patients with cancer. J.
Clin. Oncol. 28 (33), 4996–5010. https://doi.org/10.1200/JCO.2010.29.2201.
60. Schwartz, R.N., 2007. Anemia in patients with cancer: incidence, causes,
impact, management, and use of treatment guidelines and protocols. Am. J.
Health. Syst. Pharm. 64 (3_Supplement_2), S5–S13.
https://doi.org/10.2146/ajhp060601.
61. Shrivastava, S., Mahantshetty, U., Engineer, R., et al., 2018. Cisplatin
chemoradiotherapy vs radiotherapy in FIGO stage IIIB squamous cell

26
carcinoma of the uterine cervix: a randomized clinical trial. JAMA Oncol. 4
(4), 506–513. https://doi.org/10.1001/jamaoncol.2017.5179.
62. Steinmetz, T., Tschechne, B., Harlin, O., et al., 2013. Clinical experience with
ferric carboxymaltose in the treatment of cancer- and chemotherapy-
associated anaemia. Ann. Oncol. 24 (2), 475–482.
https://doi.org/10.1093/annonc/mds338.
63. Thomaidis, T., Weinmann, A., Sprinzl, M., et al., 2014. Erythropoietin
treatment in chemotherapy-induced anemia in previously untreated advanced
esophagogastric cancer patients. Int. J. Clin. Oncol. 19 (2), 288–296.
https://doi.org/10.1007/s10147-013-0544-7.
64. Tolkien, Z., Stecher, L., Mander, A.P., Pereira, D.I.A., Powell, J.J., 2015.
Ferrous sulfate supplementation causes significant gastrointestinal side-effects
in adults: a systematic review and meta-analysis. Strnad P, ed. PLoS One 10
(2), e0117383. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0117383.
65. Tonia, T., Mettler, A., Robert, N., et al., 2012. Erythropoietin or darbepoetin
for patients with cancer. Cochrane Database Syst. Rev. 12, CD003407.
https://doi.org/10.1002/14651858.CD003407.pub5.
66. Torti, S.V., Torti, F.M., 2013. Iron and cancer: more ore to be mined. Nat.
Rev. Cancer 13 (5), 342–355. https://doi.org/10.1038/nrc3495.
67. Upile, T., Jerjes, W., Mahil, J., Sudhoff, H., Hopper, C., Wright, A., 2009.
Blood product transfusion and cancer prognosis. Clin. Adv. Hematol. Oncol.
7 (10), 656–661.
68. Vansteenkiste, J., Pirker, R., Massuti, B., et al., 2002. Double-blind, placebo-
controlled, randomized phase III trial of darbepoetin alfa in lung cancer
patients receiving chemotherapy. J. Natl. Cancer Inst. 94 (16), 1211–1220.
69. Vaupel, P., Mayer, A., 2007. Hypoxia in cancer: significance and impact on
clinical outcome. Cancer Metastasis Rev. 26 (2), 225–239.
https://doi.org/10.1007/s10555-007-9055-1.

27
70. Vaupel, P., Mayer, A., Höckel, M., 2006. Impact of Hemoglobin Levels on
Tumor Oxygenation: the Higher, the Better? Strahlenther. Onkol. 182 (2), 63–
71. https://doi.org/10.1007/s00066-006-1543-7.
71. Vaupel, P., Kelleher, D.K., Höckel, M., 2001. Oxygen status of malignant
tumors: pathogenesis of hypoxia and significance for tumor therapy. Semin.
Oncol. 28 (2 Suppl 8), 29–35.
72. Wilson, M.J., van Haaren, M., Harlaar, J.J., et al., 2017. Long-term prognostic
value of preoperative anemia in patients with colorectal cancer: a systematic
review and meta-analysis. Surg. Oncol. 26 (1), 96–104.
https://doi.org/10.1016/j.suronc.2017.01.005.
73. Wilson, M.J., Harlaar, J.J., Jeekel, J., Schipperus, M., Zwaginga, J.J., 2018.
Iron therapy as treatment of anemia: a potentially detrimental and hazardous
strategy in colorectal cancer patients. Med. Hypotheses 110, 110–113.
https://doi.org/10.1016/j.mehy.2017.12.011.
74. Wright, J.R., Ung, Y.C., Julian, J.A., et al., 2007. Randomized, double-blind,
placebocontrolled trial of erythropoietin in non-small-cell lung cancer with
disease-related anemia. J. Clin. Oncol. 25 (9), 1027–1032.
https://doi.org/10.1200/JCO.2006.07.1514.
75. Wrighting, D.M., Andrews, N.C., 2006. Interleukin-6 induces hepcidin
expression through STAT3. Blood 108 (9), 3204–3209.
https://doi.org/10.1182/blood-2006-06-027631.
76. Wu, H.-M., Jiang, Z.-F., Ding, P.-S., Shao, L.-J., Liu, R.-Y., 2015. Hypoxia-
induced autophagy mediates cisplatin resistance in lung cancer cells. Sci. Rep.
5 (1), 12291. https://doi.org/10.1038/srep12291

28

Anda mungkin juga menyukai