Anda di halaman 1dari 11

ASUHAN KEBIDANAN BERBASIS CONTINUITY OF CARE IBU HAMIL,

BERSALIN, NIFAS, NEONATUS, DAN KELUARGA BERENCANA


Dosen Pengampu: Sugeng Mashudi, M.Kes

Oleh:

Dian Sulistiani

14621461

PRODI DIII KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memandikan bayi adalah suatu cara membersihkan tubuh bayi dengan air dengan
cara menyiram, merendam diri dalam air berdasarkan urutan-urutan yang sesuai.
Memandikan bayi baru lahir bukanlah hal yang mudah karena dibutuhkan ekstra hati-hati
serta persiapan yang benar agar mandi si kecil tak hanya berjalan lancer namun juga
menyenangkan bagi mareka. (Naureh, 2009). Mandi mempunyai manfaat sangat bagus
jika dilakukan dengan urutan-urutan yang benar. Usahakan tidak langsung memandikan
bayi setelah menyusu, sedang lapar atau mengantuk untuk menghindarkan bayi muntah,
kedinginan, atau kaget. Karena bayi itu sendiri merupakan makhluk yang sangat peka dan
halus. Memandikan bayi yang benar adalah suatu cara membersihkan tubuh bayi dengan
air dengan cara menyiram, merendam diri dalam air berdasarkan urutan-urutan yang
sesuai. Langkah-langkah memandikan bayi yang benar, yaitu dimulai dari
mempersiapkan alat mandi bayi yang sesuai, bidan mencuci tangan, mempersiapkan
handuk bersih dan pakaian serta buaian bayi yang akan dipakai setelah mandi di meja
terpisah, memakai celemek, merapikan selimut, mengangkat bayi dengan perasat garpu,
membaringkan bayi diatas meja bayi yang telah dialasi baju yang dilepas tadi/handuk,
membersihkan mata bayi dengan kpas air DTT dari ujung mata ke pangkal hidung,
menanggalkan pakaian bayi, membersihkan feses bila ada dengan kapas bersih dan basah
atau popok bayi, mengukur suhu perectal, menimbang BB bayi, membersihkan muka
tanpa sabun, basahi waslap dengan air hangat dan sabun, meyabuni bayi dengan urutan:
kepala, telinga, leher, dada, perut, lengan, ketiak, punggung, pantat, kaki, dan terakhir
kelamin, memasukkan mandi ke dalam bak mandi yang berisi air hangat, mengeringkan
bayi dengan handuk, memperhatikan adanya kelainan, melakukan perawatan tali pusat,
mengenakan baju dan popok, menyisir rambut, merapikan buaian dan meletakkan bayi
dalam buaian, rapikan semua peralatan, cuci tangan, dan terakhir melakukan
dokumentasi.(Parker catharinr, 2008). Pada kenyataannya di lapangan tidak sesuai
dengan teori yang ada. Seperti halnya bayi dimandikan pada saat setelah menyusui dan
mengantuk. Kemudian dalam memandikan bayi tidak sesuai dengan urutan-urutan yang
benar. Seperti contoh bayi langsung di masukkan ke dalam bak mandi tanpa
membersihkan mata bayi dengan kapas air DTT dari ujung mata ke pangkal hidung,
mengukur suhu perectal, menimbang BB bayi, membersihkan muka tanpa sabun, basahi
waslap dengan air hangat dan sabun, meyabuni bayi dengan urutan: kepala, telinga, leher,
dada, perut, lengan, ketiak, punggung, pantat, kaki, dan terakhir kelamin.
Angka kejadian buruk pada kesehatan anak di Indonesia satu dari setiap empat
sampai lima anak mengalami berat badan kurang.secara nasional, enam persen anak-anak
muda bertumbuh sangat kurus (wasted) yang menempatkan mereka pada resiko kematian
yang sangat tinggi. Provinsi jawa timur pada tahun 2012 adalah 28,31 kematian
bayi/1000 kelahiran hidup. Sedangkan di Kabupaten Ponorogo 2.319 balita (5,19%)
dengan status gizi kurang, 239 balita (0,54%) dengan status gizi buruk. Memadikan bayi
jika urutan-urutannya tidak sesuai maka akan merugikan bayi itu sendiri dari saat ini dan
yang akan datang. Karena bayi adalah makhluk yang peka dan halus. Jadi, kesehatan bayi
mudah terganggu. Bayi bisa mengalami hipotermi apabila hal pada kasus diatas
dilakukan. Dan bayi yang di mandikan sebelum atau setelah menyusu akan
mengakibatkan bayi muntah karena perut bayi tertekan. Jika bayi di mandikan dalam
keadaan maengantuk bayi akan kaget. Jika hal-hal tersebut terjadi maka bayi akan rewel
karena merasa tidak nyaman dengan kondisi yang dialaminya. Dan bayi pun akan susah
menuyusu sehingga kesehatan bayi menurun. Kemungkinan akan terjadi kekurangan gizi
(gizi buruk). Hal ini akan menyebabkan anemia. Selain itu akan berdampak pada pola
pikir anak jika sudah memasuki bangku sekolah karena pertumbuhan otak pada anak
terhambat. Dan menyebabkan anak tidak bisa konsentrasi dalam menerima materi,
sehingga prestasi anak menurun dan mempengaruhi masa depan bangsa.
Pada saat di lapangan bidan memandikan bayi tidak sesuai dengan teori yang ada.
Seperti halnya bayi dimandikan pada saat setelah menyusui dan dalam keadaan
mengantuk. Kemudian pada saat bayi di mandikan langkah-langkahnya tidak sesuai
dengan urutan-urutan yang benar. Seperti contoh tidak bayi langsung di masukkan ke
dalam bak mandi tanpa membersihkan mata bayi dengan kpas air DTT dari ujung mata
ke pangkal hidung, mengukur suhu perectal, menimbang BB bayi, membersihkan muka
tanpa sabun, basahi waslap dengan air hangat dan sabun, meyabuni bayi dengan urutan:
kepala, telinga, leher, dada, perut, lengan, ketiak, punggung, pantat, kaki, dan terakhir
kelamin.Dengan alasan, jika bayi di mandikan dengna proses atau prosedur yang sesuai
dengan teori maka bayi akan kedinginan karena terlalu lama.
Penerapan asuhan kebidanan berbasis continue of care. Penerapan perawatan
bidan yang berkesinambungan yaitu bidan diakui sebagai seorang yang professional yang
bertanggung jawab dan akuntabel. Bidan bekerja dalam kemitraan dengan wanita selama
kehamilan, persalinan dan periode postpartum dan ntuk melakukan kelahiran merupakan
tanggung jawaab bidan dan untuk memberikan perawatan pada bayi baru lahir, bidan
harusnya bertanggung jawab dan terampil dalam menerapkan standart untuk
kesinambungan dengan memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Ibu Hamil, Bersalin,
Nifas, Neonatus, dan Keluarga Berencana?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Ibu Hamil, Bersalin,
Nifas, Neonatus, dan Keluarga Berencana.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Ibu Hamil.
b. Mengetahui Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Ibu Nifas.
c. Mengetahui Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Ibu Bersalin.
d. Mengetahui Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Neonatus.
e. Mengetahui Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Ibu KB.

D. Manfaat
Dapat mengetahui Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Ibu Hamil, Bersalin,
Nifas, Neonatus, dan Keluarga Berencana.

BAB II
KAJIAN TEORI

a. Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Ibu Hamil


(Reefat, Bassem, Elizabeth Dalton, William L Ledger. 2015)

EP is estimated to be 1-2% of all natural conceptions and the


incidence increases following ART. The prevalence of EP following ART
ranges between 2.1 to 8.6% of all pregnancies and it can reach up to
11% in female patients with a history of tubal factor infertility. Death
from EP has been reported to represent 5% and 10% of all maternal
deaths in developed and developing countries, respectively.
Spontaneous HP was considered to be very rare with an
incidence of 1 in 30,000 pregnancies. The incidence of HP has also
increased following ART and it has beent it complicates about 0.8% of
pregnancie following infertility treatment. reported that it complicates
about 0.8% of pregnancie following infertility treatment
.
Figure 2. Pathogenic mechanisms. Potential mechanisms involved in the pathogenesis of
tubal pregnancy after natural and IVF conception, inrelation to established risk factors.
(Reefat, Bassem, Elizabeth Dalton, William L Ledger. 2015)

Pathogenic mechanisms

Tubal pregnancies that occurring naturally and following IVF-ET share the same
tubal risk factors, suggesting that tubal damage has a predominant role in the
pathogenesis of both. The proposed pathogenic mechanisms associated with risk factors
for EP either following natural or assisted conception are summarized in Figure 2.

Our understanding of the pathophysiology of EP is limited. The current literature


supports the hypothesis that the major cause of tubal implantation is malfunction of the
tube itself, although embryonic and uterine factors may also be implicated. Tubal
malfunction results from alterations in tubal transport mechanisms and expression of
molecules that normally inhibit blastocyst implantation in the Fallopian tube. However, in
the case of EP post IVF-ET, in which passage of the embryo along the Fallopian tube
does not occur, additional factors that prevent intrauterine implantation must precede
ectopic implantation of the embryo. Differentiating between the mechanisms involved in
natural and post IVF-ET tubal pregnancy is difficult. To our knowledge, only one study
has compared tubal pathology in natural and IVF ectopic pregnancies, using E-cadherin
as a marker of implantation potential [16]. Further biological studies using this
comparative approach are necessary in order to elucidate the mechanisms involved.

Another explanation for EP during IVF-ET would be impairment of tubal function


and endometrial receptivity with ectopic implantation occurring following failure of the
normal biological interactions between endometrium, Fallopian tube and embryo due to
controlled ovarian stimulation (COS) and the subsequent alteration in hormonal milieu.

b. Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Ibu Nifas

Figure 1. Schematic flow diagram of the enrolment process and study follow-up during
pregnancy and post-partum. (Boel, Machteld E., dkk)
From November 2007 until September 2009, 824 women were enrolled during
pregnancy, of whom 744 started the post-partum follow-up. Of these 744 women, 722
(97%) had a matched control (Fig. 1). The groups were comparable except that as
expected postpartum women had a slightly higher median number of previous
pregnancies, and more often reported a history of malaria in the previous 9 months (Table
1). Over 90% of women reported sleeping under an ITN.

Women in the control group were more likely to work away from home, in the
field or forest (Table 2). A higher proportion of post-partum women (.90%) completed
follow-up compared to controls (.80%). Few women reported self-treatment of fever with
antimalarials; 6/1466 (0.4%): in two malaria parasites were detected, the other 4 women
remained malaria negative. Two post-partum women died during the study period. One
died at home 11 days after delivery from dysentery. The other woman died 24 days after
delivery from severe malaria in a hospital in Myanmar

c. Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Neonatus


Figure 1.(A) National Institute of Child Health and Human Development Neonatal
Research Network score=0; (B) score 1A: lesions in frontal and parietal subcortical
areas; (C) score 1B: more extensive cerebral lesions in frontal, parietal and occipital
subcortical areas; (D) score 2A: lesions in the basal ganglia and thalamic area (BGT) and
internal capsule (IC); (E) score 2B: lesions in the BGT, IC and cerebral areas; (F) score 3:
cerebral hemispheric devastation. (Shankaran, Seetha. 2012)

d. Asuhan Kebidanan Berbasis Continuity Of Care Ibu KB

F
igure 1. Spermatogenesis and male hormonal contraception (Amory, John K. 2008)
Solid arrows, promotes spermatogenesis; dashed arrows, inhibits spermatogenesis. FSH,
follicle-stimulating hormone; GnRH, gonadotropin-releasing hormone; LH, luteinizing
hormone. Negative feedback of testosterone occurs at the level of the pituitary, the
hypothalamus and the cortex.

F
igure 1. Kaplan Meier survival curve estimating continuation rates for long-acting
reversible contraception (LARC) compared with nonlong-acting reversible
contraception methods. (Peipert, Jeffery F, dkk. 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Amory, John K. 2008. Progress and Prospects in Male Hormonal Contraseption. USA:
Medicine, University of Washington.

Boel, Machteld E., dkk. 2013. Malaria in The Post-Partum Period; a Prospective Cohort Study.
Thailand: Clinical Medicine, University of Oxford.

Peipert, Jeffery F, dkk. 2011. Continuation and Satisfaction of Reversible Contraseption.


Messouri: Obstetric and Ginokology, Washington University in St. Louis School of
Medicine.

Reefat, Bassem, Elizabeth Dalton, William L Ledger. 2015. Ectopic Pregnency Secondary to in
Vitro Fertilisation-embryo Transfer: Pathogenic Mechanisme and Management
Strategies. Makkah: Faculty of Applied Medical Sciences, Umm Al-Qura University, Al
Abdiyah Campus.

Shankaran, Seetha. 2012. Brain Injury Following Trial of Hyportermia for Neonatal
Hypoxicischaemic Encephalopathy. USA: Pediatrics/Neonatologi, Wayne State
University Childrens Hospital of Michigan.

Anda mungkin juga menyukai