Anda di halaman 1dari 7

KOREKSI FISKAL

Koreksi Fiskal, Laporan Keuangan Komersial, Dan Laporan Fiskal

1. Koreksi Fiskal
Koreksi fiskal adalah Koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajak
sebelum menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib pajak orang
pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam menghitung penghasilan kena pajak).

Penyebab Terjadinya Koreksi Fiskal


Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan maupun biaya
antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
Beda Tetap
Yaitu menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangkan menurut ketentuan PPh
bukan penghasilan.
Misalnya dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri dari
penyertaan modal sebesar 25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia.

Beda Waktu
Yaitu penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat ini oleh akuntansi komersial atau sebaliknya,
tetapi tidak dapat diakui sekaligus oleh akuntansi pajak, biasanya karena perbedaan metode
pengakuan dan perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan
fiskal, misalnya:
Metode penyusutan
Metode penilaian persediaan
Penyisihan piutang tak tertagih
Rugi-laba selisih kurs

Jenis koreksi fiskal adalah sebagai berikut :


A. Koreksi Fiskal Positif
Pengertian Koreksi Fiskal Positif Yaitu: koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan
penghasilan kena pajak dan Pajak Penghasilan (PPh) terutang.
Jenis Koreksi Fiskal Positif antara lain :
1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali :
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit,
sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak
piutang.
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha
pengolahan limbah industry.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
8. Pajak Penghasilan.
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan
12. Persediaan yang jumlahnya melebihi jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh.
13. Penyusutan yang jumlahnya melebihi jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh.
14. Biaya yang ditangguhkan pengakuannya.

Contoh:
Komers
Uraian ial Fiskal Keterangan
Tidak Harus
Pemberian sembako untuk pegawai Diakui diakui dikoreksi
Pemberian fasilitas rekreasi u/ Tidak Harus
pegawai Diakui diakui dikoreksi
Pemberian fasilitas tempat tinggal Diakui Tidak Harus
u/pegawai diakui dikoreksi

Akibat dari adanya koreksi ini maka biaya yang dihitung secara fiskal menjadi lebih kecil dari
pada biaya yang dihitung secara komersial. Akibat selanjutnya laba yang dihitung secara fiskal
menjadi lebih besar dari pada laba yang dihitung secara komersial. Karena laba yang dihitung
secara fiskal menjadi lebih besar maka disebut koreksi fiskal positif.

B. Koreksi Fiskal Negatif


Pengertian Koreksi Fiskal Negatif Yaitu: koreksi yang menyebabkan pengurangan penghasilan
kena pajak dan PPh terutang.
Jenis Koreksi Fiskal Negatif antara lain :
1. Penghasilan yang telah dikenakan PPh Final antara lain :
2. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi.
3. Penghasilan berupa hadiah undian.
4. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan
di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
5. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
6. Penghasilan dari Wajib Pajak Tertentu yang termasuk dalam kriteria PP Nomor 46 Tahun 2013.
7. Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak antara lain :
8. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat
yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
9. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
10. Warisan.
11. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal.
12. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib
Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit).
13. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
14. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
15. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf
h, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
16. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
17. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
18. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi
yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
19. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib
Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
20. Persediaan yang jumlahnya kurang dari jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
(PPh).
21. Penyusutan yang jumlahnya kurang jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh.
22. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan
syarat badan pasangan usaha tersebut : Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau
yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
23. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat :
24. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
25. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima
dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.

Contoh:
Penyusutan dalam perhitungan Laba Rugi menggunakan Metode Garis Lurus untuk jangka
waktu lima tahun untuk aset senilai Rp100.000.000. Perhitungan penyusutan Komersial-nya
adalah sbb:
Harga perolehan Rp100.000.000
Penyusutan tahun pertama
Rp20.000.000
20%
Penyusutan dalam perhitungan Laba Rugi Fiskal menggunakan Metode Sado Menurun dengan
tarif 25% dari Nilai Sisa Buku. Perhitungan penyusutan Fiskalnya adalah sbb:
Harga perolehan Rp100.000.000
Penyusutan tahun pertama
25% Rp25.000.000

Penyusutan tahun pertama adalah 25% dari nilai perolehan, karena pada tahun pertama nilai
bukunya sama dengan nilai perolehan.
Jika diperbandingkan antara penyusutan komersial dengan penyusutan komersial akan tampak
sebagai berikut:
Uraian Komersial Fiskal Keterangan
Harus dikoreksi sebesar
Penyusutan Rp20.000.000 Rp25.000.000
Rp5.000.000

Penyusutan fiskal pada contoh tersebut diatas lebih besar Rp5.000.000 dari pada penyusutan
komer-sial. Karena penyusutan sebagai beban secara fiskal dihitung lebih besar maka akibatnya
penghasilan secara fiskal menjadi lebih kecil. Karena laba secara fiskal menjadi lebih kecil (atau
rugi secara fiskal menjadi lebih besar), maka disebut koreksi fiskal negatif.
Selanjutnya dari dari bagan perhitungan Laba Rugi dengan hasil akhir Jumlah penghasilan Neto
Komersial tersebut dimuka, dapat diteruskan sebagai berikut:

Penghasilan Neto Komersial . Rp.


Koreksi Positif Rp..
Koreksi Negatif . (Rp.)
Saldo Koreksi Rp.. + (-)
Laba/Rugi Fiskal . Rp..

2. Laporan Keuangan Komersial


Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan
berdasarkan kebijakan yang telah disepakati oleh perusahaan. Laporan komersial (laba menurut
akuntansi) ditujukan untuk menilai hasil usaha ( income statement) dan keadaan keuangan
(balance sheet) dari satu entitas.
Akuntansi komersial atau disebut juga akuntansi keuangan merupakan aktivitas jasa yang
menyediakan informasi keuangan untuk pengambilan keputusan. Informasi ini diperoleh melalui
suatu proses akuntansi. Lebih lanjut informasi tersebut diperlukan oleh setiap entitas usaha untuk
mengetahui posisi dan hasil usahanya. Sehingga tujuan utamanya antara lain untuk menyediakan
laporan keuangan kepada manajemen dan pihak-pihak pemangku kepentingan.
Akuntansi komersial, dalam penyusunan dan penyajiannya, berpedoman kepada standar yang
berlaku umum, yaitu PSAK/IFRS.

3. Laporan Keuangan Fiskal


Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan
perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan
oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi
(komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan fiskal disusun
berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Perpajakan lain.
Penyebab Perbedaan Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal
Penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal adalah karena
terdapat perbedaan prinsip akuntansi. Perbedaan metode dan prosedur akuntansi, perbedaan
pengakuan penghasilan dan biaya, dan perbedaan perlakuan penghasilan dan biaya.
a. Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak
badan menurut ketentuan komersial diubah menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal.
Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang
berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan laba/rugi menurut
SPT Tahunan (perpajakan).

Rekonsiliasi fiskal dapat dilakukan terhadap :


Wajib pajak yang memiliki penghasilan final.
Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan objek pajak.
Wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan (pasal
9 UU PPh).
Wajib pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal) tetapi metode
pengakuan biaya tersebut diatur oleh ketentuan fiscal.
Wajib pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan pendapatan
yang telah dikenakan PPh final.

b. Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal


Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai solusi antara ketentuan akuntansi
dan pajak yaitu :
1. Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan ini laporan
keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian dalam melakukan
pembukuan perusahaan menyusun laporan harus menurut ketentuan perpajakan dan menurut
praktik pembukuan.
2. Ketentuan pajak untuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar indepensi dari
prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk menyelenggarakan pembukuan
berdasarkan prinsif dan metode akuntansi.
3. Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini laporan
keuangan atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada ketentuan pajak
apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi.

c. Susunan laporan keuangan fiskal :


1. Input berupa dokumen dasar.
2. Dicatat dalam buku harian jurnal.
3. Diklasifikasikan dengan pencatatan posting pada buku besar.
4. Untuk pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku tambahan, seperti piutang,
hutang dll.
5. Akhir periode akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan terhadap fakta pada akhir
tahun dan catatan penutup.
6. Dari neraca percobaan tersebut dibuat laporan keuangan komersial.
7. Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam ketentuan perpajakan.
8. Setelah laporan keuangan diatur dalam ketentuan perpajakan akan menghasilkan laporan
keuangan fiskal.

Anda mungkin juga menyukai