Anda di halaman 1dari 20

NAMA : FIRA AISYAH MEILANI

KELAS : XII AKL 3


NO. ABSEN : 9

Contoh Kasus Beda Tetap, Beda Waktu, Koreksi Positif dan Negatif Dalam
Rekonsiliasi Fiskal

A. BEDA TETAP
Secara definisi, beda tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun
biaya antara akuntansi komersial dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
sifatnya permanen.
Apabila dalam suatu tahun atau periode saat ini suatu penghasilan/biaya tidak dapat
diakui sebagai penghasilan/biaya menurut undang-undang, maka pada tahun atau periode
yang akan datang juga tidak dapat diakui sebagai penghasilan/biaya di dalam laporan
laba/rugi.
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan penghasilan/biaya yang tidak boleh diakui
di dalam laporan laba/rugi.

1. Adanya objek penghasilan yang bersifat final.


Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (UU PPh), beberapa penghasilan yang tergolong final di antaranya adalah
sebagai berikut:
 Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi.
 Penghasilan berupa hadiah undian.
 Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
 Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
 Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Apabila dalam laporan laba/rugi wajib pajak terdapat penghasilan yang disebutkan di
atas maka harus dilakukan koreksi atau penyesuaian. Koreksi ini bersifat permanen. Selain
itu, dalam pengenaan PPh Pasal 4 (2) ini, segala biaya untuk mendapat penghasilan
bersangkutan tidak boleh mengurangi penghasilan bruto (non deductible).

Ada beberapa kondisi yang menyebabkan penghasilan/biaya yang tidak boleh diakui
di dalam laporan laba/rugi.

2. Penghasilan Yang Bukan Objek PPh.


Dalam hal ini, menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan
menurut UU PPh bukan merupakan pe nghasilan. Menurut Pasal 4 ayat 3 UU PPh beberapa
penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak di antaranya adalah sebagai berikut:
 Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuan nya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah;
 Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK),
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
 Warisan;
 Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal;
 Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang
dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-
Undang PPh;
 Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa
 Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat: dividen berasal dari cadangan laba yang
ditahan; dan bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada bada n yang memberikan
dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;
 Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
 Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada nomor 8, dalam bidangbidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan;
 Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham -saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: merupakan perusahaan
mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha
yang diatur dengan atau berdasarkan PMK; dan sahamnya tidak diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia;
 Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan PMK;
 Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan PMK; dan
 Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan PMK.

Ada beberapa kondisi yang menyebabkan penghasilan/biaya yang tidak boleh diakui
di dalam la poran laba/rugi.

3. Perbedaan Pengakuan Biaya Menurut Komersial dan Fiskal.


Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut
akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut UU PPh bukan merupakan biaya
yang dapat mengurangi penghasilan bruto. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU PPh, tentang
biaya atau beban yang tidak dapat mengurangi penghasilan bruto adalah sebagai berikut:
 Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
 Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
 Pembentukan atau pemupukan dana cadangan;
 Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar
oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak
yang bersangkutan;
 Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi
seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan
di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur
dengan atau berdasarkan PMK;
 Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan
 Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;
 Pajak Penghasilan;
 Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau
orang yang menjadi tanggungan nya;
 Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham; dan
 Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang perpajakan.

 Contoh Kasus Beda Tetap Dalam Rekonsiliasi Fiskal


Untuk lebih memahami koreksi fiskal yang bersifat beda tetap, dapat dipelajari contoh
kasus berikut ini. PT ABC adalah perusahaan di bidang perdagangan (trading company).
Pada tahun 2020, laporan laba/rugi komersial sederhana dari PT ABC adalah sebagai berikut:

PT ABC Laporan Laba/Rugi Komersial Tahun 2020 (dalam rupiah)

Laporan L/R Jumlah


Penjualan Bruto Rp 4.000.000.000,00
Harga Pokok Penjualan -Rp 800.000.000,00
Laba Kotor Rp 3.200.000.000,00
Biaya sanksi Pajak (PPh) -Rp 100.000.000,00
Penghasilan Bunga Deposito Rp 200.000.000,00
Penghasilan Sumbangan/Donasi Rp 300.000.000,00
Laba Bersih Rp 3.600.000.000,00

Berdasarkan data dalam laporan laba /rugi di atas dapat dilihat bahwa ada komponen
penghasilan bunga deposito sebesar Rp200.000.000. Menurut Pasal 4 ayat (2), penghasilan
bunga deposito ini merupakan salah satu penghasilan yang tergolong final maka penghasilan
bunga deposito ini harus dilakukan koreksi/penyesuaian fiskal.
Hal yang sama juga berlaku atas penghasilan berupa sumbangan atau donasi yang
diterima PT ABC sebesar Rp300.000.000. Menurut Pasal 4 ayat (3) UU PPh, penghasilan
sumbangan di atas jelas termasuk dalam penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak
maka harus dilakukan koreksi fiskal.
Selain itu, pada laporan laba rugi PT. ABC di atas terdapat biaya sanksi pajak sebesar
Rp100.000.000. Sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) UU PPh, sanksi administrasi PPh tidak boleh
menjadi pengurang penghasilan bruto. Ketiga koreksi di atas merupakan bentuk koreksi fiskal
beda tetap.
Dengan demikian, setelah dilakukan rekonsiliasi fiskal, laporan laba/rugi PT ABC
pada Tahun 2020 menurut komersial dan fiskal adalah sebagai berikut:

PT ABC Rekonsiliasi Fiskal (dalam rupiah)

Laporan L/R Komersial Kore ksi Fiskal


Penjualan Bruto Rp 4.000.000.000,00 Rp 4.000.000.000,00
Harga Pokok Penjualan -Rp 800.000.000,00 -Rp 800.000.000,00
Laba Kotor Rp 3.200.000.000,00 Rp 3.200.000.000,00
Biaya Sanksi Pajak (PPh) -Rp 100.000.000,00 Rp 100.000.000,00 Rp -
Peghasilan Bunga Deposito Rp 200.000.000,00 -Rp 200.000.000,00 Rp -
Penghasilan Sumbangan/Donasi Rp 300.000.000,00 -Rp 300.000.000,00 Rp -
Laba Bersih Rp 3.600.000.000,00 Rp 3.200.000.000,00

B. Beda Waktu
Selain Beda Tetap(Permanent Different),ada satu koreksi fiskal yang disebut dengan
beda waktu (time different). Beda waktu adalah perbedaan pengakuan baik penghasilan
maupun biaya antara akuntansi komersial dengan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang sifatnya sementara.
Artinya, koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak
tahun-tahun pajak berikutnya. Dalam hal ini, apabila suatu penghasilan atau biaya pada
periode tahun/periode saat ini tidak dapat diakui di dalam laporan laba/rugi, kemungkinan
akan dapat diakui pada periode tahun/periode yang akan datang.

 Penyebab Terjadi nya Kondisi Beda Waktu


Ada beberapa sebab atau kondisi terjadinya beda waktu. Beda waktu ini sebagian
besar disebabkan karena metode/asumsi yang digunakan di dalam akuntansi komersial.
Metode/asumsi ini akan berdampak pada penilaian akun-akun di dalam laporan keuangan.
Pada umumnya terjadi pada akun-akun persediaan,piutang dagang,aktiva tetap, investasi, dan
lain-lain.
Koreksi beda waktu juga dapat terjadi karena perbedaan metode penyusutan, di mana
menurut UU PPh, metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus (straight
line method) dan saldo menurun (double declined method).
Dalam hal perbedaan metode penilaian persediaan, UU PPh hanya memperbolehkan
metode penilaian persediaan berdasarkan nilai rata-rata (average method) dan first-in first-out
(FIFO). Untuk penyisihan piutang tak tertagih, menurut UU PPh, piutang tak tertagih tidak
diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu dan sebagainya. Apabila terdapat
perbedaan metode/asumsi antara komersial dan fiskal atas akun-akun diatas, maka koreksi
beda waktu akan terjadi.
Selain itu, pengakuan penghasilan berdasarkan cash basis dan accrual basis juga dapat
menjadi penyebab terjad inya koreksi beda waktu. Misalnya dalam akuntansi komersial,
pengakuan penghasilan/biaya untuk periode lebih dari satu tahun harus dialokasikan sesuai
dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sementara,
menurut UU PPh, penghasilan/biaya tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima atau
dikeluarkan.
Di dalam akuntansi konvensional, ada dua metode pencatatan persediaan yaitu
metode fisik dan metode perpetual. Sementara, metode penilaian yang biasa digunakan oleh
perusahaan dan sering dipelajari ada 3 metode, yaitu:
a) Metode First In First Out (FIFO): barang yang masuk terlebih dahulu dianggap
yang pertama kali dijual/keluar sehingga persediaan akhir akan berasal dari pembelian
yang termuda/terakhir .
b) Metode Last In First Out (FIFO): barang yang terakhir masuk dianggap yang
pertama kali keluar, sehingga persediaan akhir terdiri dari pembelian yang paling
awal.
c) Metode Average (Rata-Rata): pengeluaran barang secara acak dan harga pokok
barang yang sudah digunakan maupun yang masih ada ditentukan dengan cara dicari
rata-ratanya.

 Contoh Kasus
Di dalam perhitungan laba rugi, ketiga metode di atas akan menghasilkan laba yang
berbeda, sehingga konskuensinya terhadap pajak yang berbeda. Sebagai ilustrasi dapat dilihat
pada contoh berikut ini:

Data persediaan PT ABC pada Januari 2020

Tanggal Keterangan Unit Harga/Unit Total


1/1 Persediaan Awal 10 Rp 1.000,00 Rp 10.000,00
2/1 Pembelian 20 Rp 1.100,00 Rp 22.000,00
5/1 Pembelian 10 Rp 1.150,00 Rp 11.500,00
20/1 Penjualan 15 Rp 2.000,00 Rp 30.000,00
25/1 Pembelian 5 Rp 1.200,00 Rp 6.000,00
30/1 Penjualan 25 Rp 2.000,00 Rp 50.000,00

Berdasarkan data di atas, berikut perhitungan nilai persediaan, harga pokok penjualan,
dan laba PT ABC dengan menggunakan ketiga metode.

Metode FIFO LIFO AVERAGE


Penjualan Rp 80.000,00 Rp 80.000,00 Rp 80.000,00
Harga Pokok Penjualan(HPP)
Persediaan Awal Rp 10.000,00 Rp 10.000,00
Pembelian Rp 39.500,00 Rp 39.500,00
Barang Siap Dijual Rp 49.500,00 Rp 49.500,00
Pe rsediaan Akhir Rp 6.000,00 Rp 6.000,00 Rp 5.500,00
HPP Rp 43.500,00 Rp 44.500,00 Rp 44.000,00
Laba Rp 36.500,00 Rp 35.500,00 Rp 36.000,00
 METODE FIFO
Sebelum menghitung laba, perlu dihitung terlebih dahulu persediaan akhir:
Persediaan akhir = Persediaan awal + Pembelian – Pe njualan
= 10 unit + 35 Unit – 40 Unit = 5 Unit
Permasalahannya harga pokok yang mana yang digunakan untuk menilai persediaan
akhir tersebut. Karena metode yang digunakan FIFO maka harga yang digunakan adalah
harga yang terakhir dibeli. Jadi nilai persediaan akhir menjadi
= 5 Unit X Rp1.200 = Rp6.000.
Untuk itu, jika menggunakan metode FIFO diperoleh laba sebesar Rp36.500

 METODE LIFO
Dengan metode yang digunakan LIFO maka harga yang digunakan adalah harga yang
pertama dibeli. Jadi nilai persediaan akhir menjadi
= 5 Unit X Rp1.000 = Rp5.000.
Jadi jika menggunakan metode LIFO diperoleh laba Rp35.500.

 METODE AVERAGE
Masih menggunakan hasil persediaan pada metode FIFO sebesar 5 Unit Karena
Metode yang digunakan Average maka harga yang digunakan adalah harga rata-rata.

Harga rata-rata = Nilai barang siap jual/unit


= Rp49.500/45 unit = Rp1.100.
Jadi nilai persediaan akhir menjadi
= 5 Unit X Rp1.100
= Rp5.500.
Oleh sebab itu, jika menggunakan metode LIFO diperoleh laba Rp36.000.

C. Kesimpulan Dari Ke -3 Metode


Dari ketiga metode di atas, diketahui bahwa laba yang tertinggi diperoleh jika
menggunakan metode FIFO dan yang terendah adalah jika menggunakan metode LIFO. Oleh
karena itu, menurut UU PPh metode LIFO ini tidak diperkenankan digunakan oleh
perusahaan dalam menghitung nilai persediaan.Apabila pada awalnya perusahaan dalam
menghitung nilai persediaan menggunakan metode LIFO, maka dalam laporan keuangan
fiskal perlu dilakukan koreksi fiskal karena harus menggunakan metode yang diperbolehkan
berdasarkan UU PPh (FIFO atau average).
Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan di atas, harga pokok yang diperoleh jika
menggunakan LIFO adalah sebesar Rp44.500, namun harga pokok yang diperoleh dengan
menggunakan FIFO adalah sebesar Rp43.500. Dengan demikian, selisih sebesar Rp1.000
(Rp44.500 – Rp43.500) ini akan dilakukan koreksi fiskal.
KOREKSI POSITIF DAN NEGATIF REKONSILIASI FISKAL

A. Pengertian Koreksi Positif


Koreksi positif adalah suatu koreksi dimana koreksi ini akan menyebabkan laba fscal
akan menjadi meningkat atau bertambah. Intinya, tujuan dari koreksi fiskal positif adalah
menambah laba komersial atau laba Penghasilan Kena Pajak (PhKP). Jadi, koreksi positif
akan menambahkan pendapatan dan mengurangi atau mengeluarkan biaya-biaya yang
sekiranya harus diakui secara fiskal.

 Penyebab Koreksi Positif


1. Berhubungan dengan imbalan dalam hal jasa atau pekerjaan berbentuk kenikmatan
atau natura.
2. Adanya jumlah lebih dari yang kewajaran yang diberikan oleh pihak pajak yang
berhubungan dengan pekerjaan atau jasa.
3. Biaya yang tidak berhubungan dengan biaya dalam rangka mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan.
4. Biaya dari menagih, memelihara, dan mendapatkan penghasilan yang bersifat Pajak
Final maupun penghasilan di luar objek pajak.
5. Adanya selisih antara penyusutan komersial yang ada di atas penyusutan fiskal.
6. Bantuan, hibah, dan sumbangan.
7. Biaya kepentingan pribadi bagi Wajib Pajak.
8. Premi asuransi beasiswa dan asuransi kesehatan dwiguna.
9. Sanksi administrasi.
10. Pajak penghasilan

B. Koreksi Positif
Koreksi Positif dilakukan untuk menambah laba secara fiscal akan bertambah , antara
lain koreksi tersebut adalah :
1. Beban-beban atau pengeluaran yang tidak diakui oleh fiskal.
2. Penyusutan komersial yang berbeda dengan penyusutan fiskal.
3. Amortisasi komersil yang berbeda dengan penyusutan fiskal.
4. Biaya yang ditangguhkan pengakuannya.
5. Penyesuaian fiskal positif lainnya.

C. Koreksi Negatif
Koreksi negatif adalah suatu koreksi dimana koreksi ini akan menyebabkan laba fiscal
akan menjadi menurun atau berkurang. Sebaliknya, tujuan dari koreksi fiskal negatif adalah
mengurangi laba komersial atau laba PhKP. Hal ini disebabkan oleh pendapatan komersial
yang lebih tinggi daripada pendapatan fiskal dan biaya-biaya komersial yang lebih kecil
daripada biaya-biaya fiskal.
Koreksi Negatif yaitu koreksi-koreksi untuk mengurangi Laba komersial sehingga
laba fiscal akan lebih kecil, koreksi tersebut antara lain :
1. Penghasilan yang dikenakan PPh final.
2. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
3. Penyesuaian fiskal negatif lainnya.
4. Untuk akun perkiraan yang telah dan sesuai dengan ketentuan Perpajakan tidak perlu
lagi dilakukan koreksi.

 Penyebab Koreksi Negatif Rekonsiliasi Fiskal


Penyebab dari adanya koreksi negatif sendiri adalah :
1. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang tidak
2. termasuk objek pajak tetapi termasuk dalam peredaran usaha.
3. Selisih penyusutan/amortisasi komersial komersial di bawah penyusutan/amortisasi
fiskal.
4. Penyesuaian fiskal negatif lain yang tidak berasal dari halhal yang telah disebutkan di
atas.

D. Tahapan Koreksi dalam Rekonsiliasi Fiskal


1. Ketahui jenis koreksi fiskal yang diperlukan oleh perusahaan.
2. Kemudian, analisis juga elemen untuk penyesuaiannya agar bisa diketahui apa saja
pengaruh bagi laba usaha yang kena pajak.
3. Lakukan monitoring (Pengecekan) pada angka yang tertera pada koreksi fiskal negatif
maupun koreksi fiskal positif.
4. Susunlah laporan keuangan dengan fiskal sebagai landasan utamanya. Lalu,
lampirkan di dalam SPT Tahunan pajak penghasilan saat membayar di kantor pajak.
NAMA : FIRA AISYAH MEILANI
KELAS : XII AKL 3
NO. ABSEN : 9

REKONSILIASI FISKAL

A. PENGERTIAN KOREKSI FISKAL (Rekonsiliasi Fiskal)


Rekonsiliasi Fiskal (Koreksi Fiskal) adalah sebuah lampiran Spt tahunan PPh berupa
kertas kerja yang berisi peyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut
komersial/pembukuan dengan laba/rugi menurut SPT Tahunan.

B. PENYEBAB TERJADINYA REKONSILIASI FISKAL


1. Adanya perbedaan antara SAK degan peraturan perpajakn (beda konsep, beda
pengukuran, dan beda metode pegalokasian/saat pengakuan biaya)
2. Adanya penghasilan tertentu yang bukan merupakan objek pajak, atau telah
dikenakan PPh bersifat final.
3. Adanya kompensasi kerugian fiskal.
4. Adanta harga yang tidak wajar karna hubungan istimewa

C. JENIS-JENIS KOREKSI FISKAL


1. Koreksi Karena Perbedaan Waktu
Beda Waktu merupakan perbedaan metode perhitungan pendapatan
dan/atau biaya tiap tahun atau tahun buku yang digunakan antara komersial
dengan fiskal.
Dengan demikian total biaya atau pendapatan menurut komerisal dan
fiskal adalah sama besar, yang berbeda adalah lamanya waktu pengalokasian
pendapatan dan atau biaya tersebut.

2. Koreksi Karena Perbedaan Tetap


Koreksi beda tetap terdiri dari:
a. Beda tetap atas peghasilan yang bukan objek PPh, seperti bantuan,
sumbangan, harta hibahan yang diterima sepanjang tidak ada hubunga
usaha degan pekerjaan, kepemilikan ats peguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan dan dari pemerintah.
b. Beda tetap murni, yaitu/; Biaya yang dipergunakan untuk
mendapatkan, meagih, memelihara peghasilan yang bukan objek pajak.
Penggantian atau imbalan sehubungan degan pekerjaan/jasa yang
diberikan dalam betuk natura/kenikmatan.
c. Beda tetap yang disebabkan tidak dipenuhinya syarat-syarat khusus,
yaitu: berhubungan degan kegiatan langsung perusahaan. Adanya bukti
pendukung yang kuat, karena lokasi, penggunaan praktek-praktek
akuntansi yang tidak sehat.
3. Koreksi Karena Pengenaan Pajak Final
Koreksi ini terdiri dari:
a. Pendapatan yang telah dipotong pajak final oleeh pihak yang
membayarkan peghasilan seperti pendapatan bunga deposito,
pendapatan jasa giro, peghasilan sewa tanah dan/atau bangunan
(khusus untuk WP Badan real state dan OP)
b. Biaya untuk medapatkan, meemelihara, menagih peghasilan yang telah
dikeakan PPh final seperti biaya yang berhubungan degan penghasilan
dari sewa tanah dan atau banguan, biaya yang berhubungan dengan
peghasilan dari sewa tanah dan dari pegalihan hak atas tanah dan atau
bangunan.

D. BENTUK KERTAS KERJA KOREKSI FISKAL

Format I

Laba menurut Akuntansi (komersial) xxx


Koreki Positif:
- ..... xxx
- ..... xxx
Total Koreksi Positiff xxx
Koreksi Negatif:
- ..... xxx
- ..... xxx
Total Koreksi Negatif xxx
Laba Menurut Fiskal xxx

Format II
Rekonsiliasi Fiskal
Menurut Menurut
Uraian
Akuntansi Beda Semetara Beda Tetap Fiskal

Penjualan
HPP
Laba Bruto
Biaya Operational
Biaya -Biaya
Total Biaya Operational
Laba Bersih
L/K KOMERSIAL & FISKAL

KETERANGAN L/K KOMERSIAL L/K FISKAL


Tujuan - Menghitung laba bersih - Menghitung besarnya pajak
- Mengukur kinerja terutang
- Megukur keadaan posisi - Laporannya untuk pihak
- Megukur keadaan kekayaan fiskus
- Laporannya untuk pihak ketiga dan
manajemen
Akibat - Pengambilan keputusan yang tidak Sanksi dibidang
Peyimpangan tepat oleh manajemen perpajakan:
- Opini yang buruk terhadap laoran - Sanksi administrasi berupa
keuangan yang berhubungan denda, bunga atau kenaikan
langsung dengan kreditur, investor, - Sanksi Pidana berupa
pemilik perusahaan kurungan atau penjara

Dasar Penyusunan Standar Akuntansi Keuangan SAK disesuaikan dengan


(SAK) UU Pajak berlaku
1. Dasar Akrual 1. Dasar Akrual Stelse
2. Mempertemukan beban dengan 2. Mempertemukan antara
pendapatan yang paling tepat Biaya untuk mendapat,
3. Konsertivative, yaitu konsep hati- meagih dan memelihara
hati: mungkin rugi yang dapat peghasilan degan
ditaksir sudah diakui sebagai penghasilan yang merupakan
kerugian, degan membetuk objek PPh
penyisihan (cadangan) pada akhir 3. Konservative tidak
tahun atau dengan membuat digunakan
adjustment 4. Materialitas digunakan
4. Materialitas digunakan oleh oleh Auditor untuk
Auditor untuk meyatakan wajar/ tidak meyatakan wajar/ tidak wajar
wajar dalam penilaian LK Komersial dalam penilaian LK
komersial tidak digunakan
NAMA : FIRA AISYAH MEILANI
KELAS : XII AKL 3
NO. ABSEN : 9
PPN
(PAJAK PERTAMBAHAN NILAI)

A. PENGERTIAN PPN
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas barang kena pajak (BKP) atau jasa kena
pajak (JKP) di dalam daerah PABEAN.

 UNSUR-UNSUR PPN
1. Subjek yang melakukan penyerahan BKP atau JKP adalah pengusaha kena pajak
(PKP).
2. Objek pengenaan PPN adalah kegiatan penyerahan (konsumsi) BKP/JKP.
3. Wilayah pengenaan PPN adalah di dalam daerah PABEAN.
4. Dasar pengenaan pajak adalah dasar bagi penghitungan tarif pajak pertambahan nilai.

 SAAT – SAAT PENTING DALAM PENGENAAN PPN


Saat Terutangnya PPN
 Nilai PPN terutang pada saat terjadinya konsumsi (penyerahan) terhadap BKP atau
JKP
Saat Penerbitan Faktur Pajak.
 Penerbitan faktur pajak tergantung kepada mekanisme, apakah mekanisme umum atau
mekanisme khusus.
Saat Pembayaran PPN
 Pembayaran PPN dapat dilakukan dengan cara dibayar secara langsung kepada
Negara atau dengan cra dititipkan pembayaran kepada pihak penjual.

B. Karakteristik PPN

1) Pajak objektif
2) Mekanisme pengkreditan
Setiap akhir masa pajak, pengusaha kena pajak akan melaporkan SPT masa PPN
yang merupakan tempat untuk membandingkan pajak keluaran dengan pajak masukan. Pajak
masukan menimbulkan aliran uang keluar (cash out flow) sedangkan pajak keluaran
menimbulkan aliran uang masuk (cash in flow), pajak masukan merupakan uang muka pajak,
sedangkan pajak keluaran merupakan utang pajak. Saldo keduanya akan saling
diseimbangkan (offset) didalam SPT masa PPN setelah masa pajak berakhir perbandingan
antara pajak masukan dan pajak keluaran akan menghasilkan tiga kemungkinan, yaitu:

 Menghasilkan kekurangan pembayaran pajak


Keadaan ini terjadi jika jumlah pajak keluaran (cash out flow) melebihi jumlah pajak
masukan (cash in flow) PK>PM
 Menghasilkan kelebihan pembayaran pajak
Keadaan ini terjadi jika jumlah pajak masukan (cash out flow) melebihi jumlah pajak
keluaran. PM>PK .
 Menghasilkan jumlah nihil
Keadaan ini terjadi jika jumlah pajak keluaran sama dengan pajak masukan. PM =
PK.

C. Objek PPN.

1) Penyerahan barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak di dalam daerah
pabean menjadi terutang apabila:
a. Barang kena pajak tersebut merupakan barang dagangan termasuk
turunannya, baik berupa produk sampingan maupun barang sisa yang laku dijual.
Contoh: pabrik busana memiliki produk laku dijual yang terdiri dari:
1) Produk utama berupa busana
2) Produk sampingan berupa sapu tangan
3) Barang sisa berupa kain perca (potongan-potongan kain)
4) Barang sisa kemasan bekas pembungkus kain

b. Penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi menurut ketentuan akuntansi


komersial
1) Transaksi penyerahan barang kena pajak secara (titipan) konsinyasi ini belum
diperlukan sebagai penjualan tetapi menurut fikal transaksi ini merupakan objek PPN.
2) Ekspor barang kena pajak baik yang berwujud maupun tidak berwujud
3) Membangun bangunan sendiri
4) Penyetoran aktiva oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang awalnya tidak untuk
diperjualbelikan
5) Ekspor jasa kena pajak
6) Impor BKP/JKP

D. Barang yang Tidak Dikenakan PPN

PPN adalah pajak objektif dimana kondisi objeknya merupakan pertimbangan utama
untuk menggunakan jenis pajak ini, yakni apakah barang yang diserahkan adalah barang yang
dikenakan pajak atau barang yang tidak kena pajak.
Penentuan jenis barang yang tidak kena pph ini diatur dalam UU PPN Pasal 4A Ayat
1 dan Ayat 2. UU ini mengatur kelompok jenis barangnya sendiri diatur dalam peraturan
pemerintah. Jenis barangnya sendiri diatur dalam peraturan pemerintahan diataranya, yaitu:
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya.
b. Barang kebutuhan yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di trmpat maupun
tidak, temasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
ketring.
d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.

UU No.42 Tahun 2009 Pasal 4A mengatur mengenai kelompok dan jenis barang
yang tidak dikenakan PPN diantaranya, yaitu:
Huruf a
Barang hasil pertambangan atau hasil pegeboran yang diambil langsung dari
sumbernya meliputi:
1) Minyak mentah (crude oil).
2) Gas bumi, tidak temasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat.
3) Asbes, batu tulis, batu setegah permata, batu kapur, batu apung, batu permata,
betonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit, endesit, gips,
kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oke, pasir, dan kerikil,
pasir kuarsa, pelrit, fosfat, (phosfat), talk, tanah serap, (fullers earth), tanah diatome,
tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit.
4) Panas Bumi.
5) Batubara sebelum diproses mejadi briket batubara dan
6) Biji besi, biji timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel, biji perak, serta biji bauksit.
Huruf b
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyakmeliputi:
1) Beras
2) Gabah
3) Jagung
4) Sagu
5) Kedelai
6) Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.
7) Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah tetapi telah melalui proses disembelih,
dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami,
dikapuri, diasamkan., diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus.
8) Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau
dikemas.
9) Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui prses didinginkan maupun dipanaskan,
tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak
dikemas.
10) Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melaui proses
dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris di-grading, dan/atau dikemas.
11) Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci,ditiriska, dan/atau disimpan
pada suhu redah, temasuk sayuran segar yang dicacah.
Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pegenaan pajak berganda karena
sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.
E. TARIF PAJAK

1. Tariff PPN adalah 10%


2. Tariff PPN sebesar 0% ditetapkan atas:
 Ekspor barang kena pajak berwujud
 Ekspor barang kena pajak tidak berwujud
 Ekspor jasa kena pajak
Sedangkan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat diubah menjadi
paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Perubahan tarif ini diatur dengan peraturan
pemerintah.

F. FAKTUR PAJAK

Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
Artinya, ketika PKP menjual suatu barang atau jasa kena pajak, ia harus menerbitkan faktur
pajak sebagai tanda bukti dirinya telah memungut pajak dari orang yang telah membeli
barang/jasa kena pajak tersebut. Perlu diingat bahwa barang/jasa kena pajak yang
diperjualbelikan, telah dikenai biaya pajak selain harga pokoknya.

Fungsi Faktur Pajak adalah sebagai berikut:


 Sebagai bukti pungutan bea cukai atas impor BKP atau JKP dan bagi Dirjen Bea
Cukai sebagai bukti atas impor BKP
 Sebagai bukti pembayaran PPN dan PPnBM bagi PKP pembeli BKP atau JKP
 Sebagai sarana pengkreditan pajak masukan
 Sebagai dasar pembuatan nota retur

G. Perhitungan Pajak

1. Pak Agus seorang PKP menjual tunai BKP dengan harga jual Rp. 50.000.000
2. Pak Umar seorang PKP menjual BKP dengan harga Rp. 30.000.000 (termasuk PPN
10%). Hitunglah berapa PPN yang terutang.
3. Sepanjang bulan Agustus 2016 PT. Utama mempunyai data sebagai berikut:
a. Membeli bahan baku Rp. 150.000.000
b. Membeli bahan penolong Rp. 120.000.000
c. Menjual produknya Rp. 200.000.000
Hitunglah berapa PPN yang kurang / lebih bayar?

Jawaban :
1. Harga jual Rp. 50.000.00
PPN Terutang = Rp. 50.000.000 x 10%
= Rp. 5.000.000
2. Harga jual BKP Rp. 30.000.000
PPh Terutang = Rp. 30.000.000 x 10% = Rp. 3.000.000
Harga barang = Rp. 30.000.000 x 100 110 = Rp. 27.272.727
PPN Terutang = 10% x Rp. 27.272.727 = Rp.27.272.727
30.000.000
3. Membeli bahan baku Rp. 150.000.000
PPN Masukan = Rp. 150.000.000 x 10% = Rp. 15.000.000
Membeli bahan penolong = Rp. 120.000.000
PPN Masukan = Rp. 120.000.000 x 10% = Rp. 12.000.00

Jumlah PPN Masukan


= Rp. 15.000.000 + Rp. 12.000.000
= Rp. 27.000.000
Harga jual = Rp. 200.000.000

PPN Keluaran
= Rp. 200.000.000 x 10%
= Rp. 20.000.000
PPN Masukan > PPN Keluaran
Rp. 27.000.000 – Rp 20.000.000 = Rp. 7.000.000 (lebih bayar)

H. AKUNTANSI PPN

Yaitu akuntansi yang kegiatannya dapat memberikan informasi yang diperlukan dan
rangka pemenuhan kewajiban penyelenggaraan pembukuan dan memberikan informasi bagi
perusahaan untuk dapat menghitung dan melaporkan PPN yang terutang.

1. PEMBELIAN
Berikut ini adalah contoh transaksi-transaksi PPN-nya.

a. Pembelian barang yang dapat dikreditkan PPN-nya

Contoh Transaksi:
1) PT. Dinamika membeli barang dagang untuk persediaan pada tanggal 7 Agustus 2010
seharga Rp. 60.000.000 dari PT. Kita Maju secara kredit. Jurnal untuk mencatat
transaksi tersebut adalah:

 Sistem Periodik

Pembelian Rp 60.000.000,00
PPN Masukan Rp 6.000.000,00
Utang Usaha Rp 66.000.000,00

 Sistem Perpetual
Persediaan Rp 60.000.000,00
PPN Masukan Rp 6.000.000,00
Utang Usaha Rp 66.000.000,00

Contoh Transaksi:
2) Pada Tanggal 1 Agustus 2010 PT. Dinamika membeli aktiva berupa mesin photocopy
dari PT. Selaras utama dengan harga sebesar Rp. 30.000.000. Jurnal untuk mencatat
transaksi tersebut adalah:
Aktiva Tetap (mesin Photocopy) Rp 30.000.000,00
PPN Masukan Rp 3.000.000,00
Kas Rp 33.000.000,00

b. Pembelian barang yang tidak dapat dikreditkan PPN-nya.


Pembelian barang yang PPN-nya tidak dapat dikreditkan tergantung dari jenis barang dan
masa manfaat.
1) Pada tanggal 25 Agustus 2010 PT. Dinamika membeli barang keperluan kantor (alat
tulis kantor) sebagai persediaan kantor seharga Rp. 2.000.000 dari PT. Sinar Terang
secara tunai Jurnal untuk mencatat transaksi diatas adalah:

Alat Tulis Kantor Rp 2.000.000,00


Beban PPN Rp 200.000,00
Kas Rp 2.200.000,00

(PPN tersebut tidak dapat dikreditkan sehingga harus dibebankan pada pendapatan
pada periode yang bersangkutan).

c. Pembelian barang yang tidak dapat dikreditkan PPN-nya.


Pembelian barang yang PPN-nya tidak dapat dikreditkan tergantung dari jenis barang
dan masa manfaat.
2) Pada tanggal 05 Agustus 2010 PT. Dinamika membeli perlengkapan kantor seharga
Rp. 800.000 dari PT. Sinar Terang secara tunai dengan PPN sebesar Rp. 800.000.
Jurnal untuk mencatat transaksi diatas adalah:

Perlengkapan Kantor Rp 880.000,00


Kas Rp 880.000,00

Masa manfaat dari barang tersebut lebih dari 1 tahun maka PPN-nya merupakan biaya
(cost) dari barang tersebut dan PPN-nya tidak dapat dikreditkan.

2. PENJUALAN

a. Penjualan Biasa
Selama bulan Mei 2010 PT. Dinamika menjual barang dagangan sebanyak Rp.
100.000.000 dengan HPP 80% dari harga jual. Semua penjualan dilakukan secara kredit.
Jurnal untuk mencatat transaksi diatas adalah:

 Sistem Periodik

Piutang Dagang Rp 110.000.000,00


Pejualan Rp 200.000,00 Rp 100.000.000,00
PPN Keluaran Rp 10.000.000,00

 Sistem Perpetual

Piutang Dagang Rp 110.000.000,00


Penjualan Rp 100.000.000,00
PPN Keluaran Rp 10.000.000,00
Harga Pokok Penjualan Rp 80.000.000,00
Persediaan Barang Dagang Rp 80.000.000,00

b. Retur Penjualan
Pada tanggal 10 Mei 2010 PT. Dinamika menerima retur barang dagang dari pembeli
yaitu senilai Rp. 10.000.000. Jumlah ini belum termasuk PPN. HPP sebesar 80% dari
penjualan retur tersebut tidak diganti dengan barang dagangan yang lain Jurnal untuk
mencatat transaksi diatas adalah:

 Sistem Periodik

Retur Penjualan Rp 10.000.000,00


PPN Keluaran Rp 1.000.000,00
Piutang Dagang Rp 11.000.000,00

 Sistem Perpetual

Retur Penjualan Rp 100.000.000,00


PPN Keluaran Rp 1.000.000,00
Piutang Dagang Rp 11.000.000,00
Persediaan Barang Dagang Rp 8.000.000,00
Harga Pokok Penjualan Rp 8.000.000,00

c. Penjualan Dengan Uang Muka


PT. Dinamika menerima pesanan barang dagang senilai Rp. 30.000.000 dari PT. Setia
Kawan. Pada tanggal 15 Mei 2010 PT. Dinamika menerima uang muka sebesar 50% dari
jumlah pesanan sisanya akan dilunasi pada saat barang diterima oleh PT. Setia Kawan pada
tanggal 25 Mei 2010. Jumlah ini Jurnal untuk mencatat transaksi diatas adalah:
 Tanggal 25 Mei 2010

Kas Rp 16.500.000,00
Uang Muka Penjualan Rp 15.000.000,00
PPN Keluaran Rp 1.500.000,00

 Tanggal 25 Mei 2010

Kas Rp 16.500.000,00
Uang Muka Penjualan Rp 15.000.000,00
Penjualan Rp 30.000.000,00
PPN Keluaran Rp 1.500.000,00

d. Penjualan Cicilan
Pada tanggal 20 Mei 2010 PT. Dinamika menjual barang dagangan sebesar Rp.
100.000.000 kepada PT. Bulan Bintang. PT. Bulan Bintang membayar dengan cicilan sebesar
20% perbulan selama 5 tahun dan dibayar setiap tanggal 20. Jurnal untuk mencatat transaksi
diatas adalah:

 Tanggal 20 Mei 2010

Piutang Dagang Rp 110.000.000,00


Penjualan Rp 100.000.000,00
PPN Keluaran Rp 10.000.000,00

 Tanggal 20 Juni 2010

Kas Rp 22.000.000,00
Piutang Dagang Rp 22.000.000,00
Catatan:
Setiap penerimaan cicilan, PPN terutang sudah sudah tidak dicatat karena PPN
terutang sudah terjadi dan dicatat pada saat penyerahan barang.

Anda mungkin juga menyukai