Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala),


ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang
disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.1 Keadaan ini dapat
disebabkan oleh perubahan kontraktilitas miokardium yang menyebabkan
penurunan curah jantung atau beban abnormal pada miokardium. Beban abnormal
dapat berupa peningkatan afterload atau beban tekanan terjadi pada obstruksi
jalan keluar jantung, misalnya stenosis aorta, stenosis pulmonal, atau koarktasio
aorta, dan preload atau beban volume terjadi pada defek septum ventrikel (DSV),
duktus arteriosus paten (DPA), insufisiensi katup, atau fistula arteriovena.2
Gagal jantung merupakan masalah di seluruh dunia, dengan angka
kejadian lebih dari 20 juta orang penderita. Prevalensi gagal jantung pada orang
dewasa secara keseluruhan pada negara berkembang adalah 2%.2 Sementara di
Indonesia, prevalensi penyakit gagal jantung sebesar 0,13% atau diperkirakan
sekitar 229.696 orang.3
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya gagal
jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi mempunyai
kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar 75% yang termasuk didalamnya
bersamaan dengan penyakit jantung koroner. Gagal jantung dengan sebab yang
tidak diketahui sebanyak 20 30% kasus. Peningkatan insiden penyakit jantung
koroner berkaitan dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang turut berperan
dalam meningkatkan faktor risiko penyakit ini seperti kadar kolesterol lebih dari
200 mg%, HDL kurang dari 35mg%, perokok aktif dan hipertensi.4
Penegakkan diagnosis yang baik sangat penting untuk penatalaksanaan
gagal jantung baik akut maupun kronik. Diagnosis gagal jantung meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik merupakan modal dasar untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan penunjang terdiri dari foto thoraks, elektrokardiografi, laboratorium,
echocardiografi, pemeriksaan radionuklir juga pemeriksaan angiografi koroner.5

1
Penatalaksanaan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara umum/
non farmakologi, farmakologi dan penatalaksanaan intervensi. Penatalaksanaan
ini tergantung penyebab gagal jantung yang terjadi, dan fasilitas yang tersedia.
Dengan penatalaksanaan yang baik diharapkan akan terwujud pengurangan angka
morbiditas dan mortalitas yang disebabkan gagal jantung.5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis kompleks yang disebabkan oleh
adanya kelainan struktural atau fungsional dari pengisian ventrikel atau ejeksi
darah dari jantung. Tanda kardinal dari gagal jantung adalah dispnea dan
kelelahan, yang dapat menyebabkan terjadinya keterbatasan dalam beraktivitas
dan retensi cairan, yang selanjutnya dapat menyebabkan kongesti pada pulmoner,
splanchnik, dan/atau edema perifer. Pada beberapa kasus, dapat terjadi
keterbatasan beraktivitas tetapi tidak disertai retensi cairan, sedangkan pada yang
kasus lainnya dapat ditemui edema, dispnea, atau kelelahan. Karena beberapa
pasien tidak menunjukkan adanya tanda dan gejala dari volume overload,
penggunaan istilah gagal jantung lebih dipilih dibandingkan gagal jantung
kongestif.6
Terdapat beberapa istilah lain berdasarkan pembagian dari gagal jantung.
Berdasarkan onset tejadinya terbagi menjadi gagal jantung akut dan kronis. Gagal
jantung akut adalah suatu kondisi curah jantung yang menurun secara tiba-tiba
menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer, disebabkan
sindrom koroner akut, hipertensi berat, regurgitasi katup akut. Gagal jantung
kronik/kongestif adalah suatu kondisi patofisiologis terdapat kegagalan jantung
memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan, terjadi sejak lama.5
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan keluhan
hipoperfusi. Gagal jantung diastolik yaitu gangguan relaksasi dan gangguan
pengisian ventrikel atau disebut juga gagal jantung dengan fraksi ejeksi >50%.5
Berdasarkan kelainan struktur jantung terbagi menjadi gagal jantung kanan
dan gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri disebabkan kelemahan ventrikel kiri,
sehingga meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru, sedangkan gagal
jantung kanan terjadi akibat kelebihan melemahnya ventrikel kanan seperti pada

3
hipertensi pulmonal primer/sekundeI tromboemboli paru kronik sehingga terjadi
kongesti vena sistemik.5

EPIDEMIOLOGI
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada
usia lanjut, dengan rata-rata usia 74 tahun. Prognosis gagal jantung akan jelek bila
dasar atau penyebabnya tidak diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal
jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada
keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun
pertama.7
Berdasarkan diagnosis dokter prevalensi penyakit gagal jantung di
Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang,
sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan
sekitar 530.068 orang. Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah penderita
penyakit gagal jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak
54.826 orang (0,19%), sedangkan Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah
penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 144 orang (0,02%). Berdasarkan
diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita penyakit gagal jantung terbanyak
terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%), sedangkan jumlah
penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Kep. Bangka Belitung, yaitu
sebanyak 945 orang (0,1%).3

ETIOLOGI
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1, kondisi apapun yang
menyebabkan perubahan pada struktur atau fungsi ventrikel kiri dapat
memengaruhi pasien untuk mengembangkan gagal jantung. Meskipun etiologi
gagal jantung pada pasien dengan fraksi ejeksi (EF) yang tetap berbeda dengan
pasien dengan EF yang menurun, terdapat banyak tumpang tindih di antara
etiologi kedua kondisi ini. Di negara-negara industri, penyakit arteri koroner
(CAD) telah menjadi penyebab predominan pada pria dan wanita dan bertanggung
jawab atas 60-75% kasus gagal jantung. Hipertensi berkontribusi pada

4
perkembangan gagal jantung pada 75% pasien, termasuk kebanyakan pasien
dengan CAD. Baik CAD maupun hipertensi saling berinteraksi untuk menambah
risiko gagal jantung, seperti halnya diabetes mellitus.2
Pada 20-30% kasus gagal jantung dengan EF yang menurun, etiologi dasar
yang tepat tidak diketahui. Pasien-pasien ini dianggap memiliki kardiomiopati
noniskemik, dilatasi, atau idiopatik jika penyebabnya tidak diketahui. Infeksi virus
atau paparan toksin sebelumnya (misalnya, alcohol atau kemoterapi) juga dapat
menyebabkan kardiomiopati dilatasi. Selain itu, semakin jelas bahwa sejumlah
besar kasus kardiomiopati dilatasi sekunder diakibatkan kerusakan genetik
tertentu, terutama yang ada di sitoskeleton. Sebagian besar bentuk kardiomiopati
dilatasi familial diwarisi secara autosomal dominan. Mutasi gen yang
menyandikan protein sitoskeletal (desmin, myosin jantung, vinculin) dan protein
membran nukleat (laminin) telah diidentifikasi sejauh ini. Kardiomiopati dilatasi
juga terkait dengan Duchenne's, Becker's, dan limb-girdle muscular distrofi.
Kondisi yang menyebabkan curah jantung tinggi (misalnya, Fistula arteriovenosa,
Anemia) jarang bertanggung jawab atas perkembangan gagal jantung dalam
jantung yang normal; namun, dengan adanya kelainan jantung struktural yang
mendasarinya,, kondisi ini bisa menyebabkan gagal jantung.2

Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung2

5
KLASIFIKASI
Kemampuan fungsional penderita dengan gagal jantung didapat melalui
anamnesis yang cermat,atau jika memungkinkan melalui test saat aktivitas.
Analisis udara ekspirasi saat beraktivitas adalah pemeriksaan gold-standard untuk
mengukur keterbatasan fisik seseorang. Namun, test ini tidak umum dilakukan
diluar pusat transplantasi jantung. Untuk mempermudah hal klasifikasi fungsional,
NYHA mengklasifikasikan gagal jantung menjadi 4 kelas fungsional yang dapat
ditentukan melalui anamnesis seperti yang tercantum pada Tabel 2.2,6
Berdasarkan klasifikasi NYHA pasien yang dapat berjalan beberapa ratus
meter tanpa gejala namun kesulitan menaiki tangga 2 lantai memiliki gagal
jantung kelas II, sementara pasien yang tidak mampu berjalan jauh atau kesulitan
saat menaiki beberapa anak tangga dapat dimasukan ke dalam kelas III.
Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut NYHA tidak dapat dicampur-
adukkan dengan stadium gagal jantung menurut ACC/AHA. Klasifikasi NYHA
didasarkan pada limitasi fungsional, sementara stadium gagal jantung menurut
ACC/AHA didasarkan pada progresi gagal jantung, terlepas dari status
fungsionalnya.2,6

6
Tabel 2. Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan Kelainan Struktural
(ACC/AHA) atau Berdasarkan Gejala, Berdasarkan Kelas
Fungsionalnya (NYHA)2,6

Tahapan Gagal Jantung berdasarkan Beratnya gagal jantung berdasarkan


struktural dan kerusakan otot jantung. gejala dan aktivitas fisik.

Memiliki risiko tinggi Aktivitas fisik tidak terganggu,


mengembangkan gagal aktivitas yang umum dilakukan
Stage jantung. Tidak ditemukan Kelas tidak menyebabkan kelelahan,
A kelainan struktural atau I palpitasi, atau sesak nafas.
fungsional, tidak terdapat
tanda/gejala.

Secara struktural terdapat Aktivitas fisik sedikit terbatasi.


kelainan jantung yang Saat istirahat tidak ada
Stage dihubungkan dengan gagal Kelas keluhan. Tapi aktivitas fisik
B jantung, tapi tanpa II yang umum dilakukan
tanda/gejala gagal jantung. mengakibatkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas.

Gagal jantung bergejala Aktivitas fisik sangat terbatasi.


dengan kelainan struktural Saat istirahat tidak ada
Stage Kelas
jantung. keluhan. Tapi aktivitas ringan
C III
menimbulkan rasa lelah,
palpitasi, atau sesak nafas.

Secara struktural jantung telah Tidak dapat beraktivitas tanpa


mengalami kelainan berat, menimbulkan keluhan. Saat
Stage Kelas
gejala gagal jantung terasa istirahat bergejala. Jika
D IV
saat istirahat walau telah melakukan aktivitas fisik,
mendapatkan pengobatan. keluhan bertambah berat.

PATOFISIOLOGI
Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai
setelah adanya index event atau kejadian penentu. Hal ini dapat berupa
kerusakan otot jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit
jantung yang berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium untuk

7
menghasilkan daya. yang pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak dapat
berkontraksi secara normal. Kejadian penentu yang dimaksud ini dapat memiliki
onset yang tiba-tiba, seperti misalnya pada kasus infark miokard akut (MI), atau
memiliki onset yang gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan
hemodinamik yang tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal
ginjal), atau bisa pula herediter, seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati
genetik. Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu kesamaan,
yaitu penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai penyebab
gagal jantung. Pada kebanyakan orang gagal jantung bisa asimtomatik atau sedikit
bergejala setelah terjadi penurunan fungsi jantung, atau menjadi bergejala setelah
disfungsi dialami dalam waktu yang lama.2
Meskipun tidak diketahui dengan pasti mengenai pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri yang tetap asimtomatik, hal yang berpotensi mampu memberi
penjelasan mengenai ini adalah banyaknya mekanisme kompensasi yang akan
teraktivasi saat terjadi jejas jantung atau penurunan fungsi jantung yang
tampaknya akan mengatur kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam batas
homeostatik/fisiologis, sehingga kemampuan fungsional pasien dapat terjaga atau
hanya menurun sedikit. Transisi pasien dari gagal jantung asimtomatik ke gagal
jantung yang simtomatik, aktivasi berkelanjutan dari sistem sitokin dan
neurohormonal akan mengakibatkan perubahan terminal pada miokardium, hal ini
dikenal dengan remodelling ventrikel kiri.2
Patogenesis pada gagal jantung dapat diterangkan pada Gambar 1. Gagal
jantung dimulai setelah adanya index event yang menghasilkan penurunan pada
kemampuan pompa jantung. Seiring dengan menurunan pada kapasitas pompa
jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan termasuk sistem syaraf
adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim sitokin. Pada jangka pendek hal
ini dapat mengembalikan fungsi jantung pada batas homoestatik sehingga pasien
tetap asimtomatik. Namun dengan aktivasi berkelanjutan mekanisme kompensasi
ini dapat mengakibatkan kerusakan organ terminal sekunder pada ventrikel,
dengan remodelling ventrikel kiri yang memburuk dan dekompensasi jantung.

8
Sebagai akibatnya secara klinis pasien mengalami transisi dari gagal jantung yang
tidak bergejala ke gagal jantung yang bergejala.2

Gambar 1. Patofisiologi Gagal Jantung dengan Penurunan EF2

Mekanisme Neurohormonal
Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model
neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi berlebihan
suatu molekul yang secara biologis aktif, yang dapat memberikan efek kerusakan
jantung dan sirkulasi.2,8
Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor
arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi meningkat.
Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan aktifitas pada sistem
simpatis, berkurangnya kemampuan sistem parasimpatik dan simpatik dalam
mengontrol denyut jantung, dan terganggunya regulasi reflek simpatis pada
resistensi vaskular. Iskemia dinding anterior juga memiliki efek tambahan pada
eksitasi sistem saraf simpatik efferent. Gambaran sistem saraf simpatik dan
parasimpatik pada gagal jantung dapat dilihat pada Gambar 2.8
Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif ataupun
maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat memelihara tekanan
perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Sistem ini menjadi

9
maladaptif apabila menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas
ambang normal, menimbulkan peningkatan kebutuhan oksigen, serta memicu
timbulnya cedera sel miokard. Adapun pengaturan neurohormonal sebagai
berikut:

A. Sistem Saraf Adrenergik


Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini akan
dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian
dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi sistem
saraf simpatis. Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan kadar
norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut jantung,
meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.8
Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan tekanan
darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang dapat
menimbulkan iskemik jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam jangka
pendek aktivasi sistem adrenergik dapat sangat membantu, tetapi lambat laun akan
terjadi maladaptasi.8
Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan konsentrasi
norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan
dengan exhaustion phenomenon yang berasal dari aktivasi sistem adrenergik
yang berlangsung lama.8

10
Keterangan: Ach=asetilkolin, SSP=Susunan Saraf Pusat, E=epinephrine,
Na+=Natrium, NE=norepinephrine.
Gambar 2. Mekanisme aktivasi sistem saraf simpatik dan parasimpatik pada
gagal jantung.9

B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron


Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal, berkurangnya natrium
terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi
simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan renin dari apparatus
juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino dari angiotensinogen I, dan
angiotensin-converting enzyme akan melepaskan dua asam amino dari angiotensin
I menjadi angiotensin II. Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi
angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses rennin-angiotensin-aldosteron
ini dapat tergambar pada Gambar 3. Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan
vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan katekolamin,
sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel,
natriuresis dan pelepasan bradikinin.8

11
Gambar 3. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron10

Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam mempertahankan


sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika terjadi ekspresi lama dan
berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif yang dapat menyebabkan fibrosis
pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain itu, juga akan mengakibatkan
peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi korteks adrenal zona glomerulosa
untuk memproduksi aldosteron.8
Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi dengan
meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung relatif lama akan
menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan fibrosis vaskuler dan
miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance vaskuler dan
meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron memicu disfungsi
sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake norepinefrin yang akan
memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi aldosteron pada sistem
kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif dengan hasil akhir inflamasi
pada jaringan.8

12
C. Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen
species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari
ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II, aldosteron,
agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis
factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi
fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer
dengan cara menurunkan bioavailabilitas NO.8,11

D. Bradikinin
Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam
pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan reseptor B1
dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat ikatan dengan reseptor
B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan vasodilatasi pembuluh
darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh ACE.8,11

E. Remodeling Ventrikel Kiri


Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal menjelaskan
progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif
berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel kiri di
kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting pada miosit jantung,
perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit pada miokard serta geometri
dan arsitektur ruangan ventrikel kiri.8,11 Proses remodeling jantung ini dapat
dijelaskan pada Gambar 4. Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang
mengakibatkan meningkatkan rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung
yang overload dengan tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis
aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara paralel
menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung, yang
menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung didominasi dengan
peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik,
yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan

13
pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi
eksentrik.8
Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam perkembangan
gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan relaksasi jantung. Jalur
kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada jantung yang paling penting. Jalur
ini akan terbuka saat depolarisasi membran sewaktu fase upstroke potensial aksi.
Akibatnya terjadi influks kalsium ke dalam sel yang menyebabkan fase plateu dan
meningkatnya kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan
adanya penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses fosforilasi
pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas pada influks kalsium
dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum sarkoplasma dimana hal ini
akan menurunkan kecepatan pengambilan kalsium sehingga menyebabkan
kontraksi dan pengisian jantung menurun.8,11
Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung pada
energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses kontraksi-
eksitasi merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi membran plasma
dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga dapat berikatan dengan
troponin C. Saluran ion kalsium dan natrium pada membran plasma berperan
dalam memulai proses kontraksi-eksitasi. Proses membuka dan menutup saluran
kedua ion ini yang akan menjaga potensial membran.8,11
Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan saluran
ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform yang terjadi
akan mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi struktur membran
sehingga mengakibatkan penurunan dalam pompa kalsium ATPase. Selain itu,
adanya kebutuhan energi juga menyebabkan gangguan pada proses kontraksi-
eksitasi pada gagal jantung.8,11
Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada gagal
jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel pada gagal
jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada sel,
peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang berlebih.

14
Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian menjadi fibrosis.
Hal-hal ini memperburuk gagal jantung.8,11

Gambar 4. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap


hemodinamik berlebih12

DIAGNOSIS
Anamnesis
Fatigue, dyspnea, shortness of breath. Keluhan dapat berupa keluhan
saluran pencernaan seperti anoreksia, nausea, dan rasa penuh. jika berat dapat
terjadi konfusi, disorientasi, gangguan pola tidur dan mood.5
Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas,
dan lelah. Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya
kardiak output pada gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan
komorbiditas non-kardiak lainnya seperti anemia dapat pula memberikan
kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien

15
beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak terjadi
pada aktivitas yang semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat.
Penyebab dari sesak ini kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme yang
paling penting adalah kongesti paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan pada
jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan
teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan pendek dan
dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea. Faktor lain yang dapat
memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah kompliance paru,
meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma, dan
anemia. Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya gagal
jantung kanan dan regurgitasi trikuspid.

ORTHOPNU DAN PAROXYSMAL NOCTURNAL DYSPNEA


Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur
mendatar, dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung
dibandingkan sesak saat aktivitas. Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan
dengan duduk atau dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan
oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam
sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan
kapiler paru. Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses
ini, dan seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea
merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula
dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien
paru dengan mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan
batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari
tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi
PND antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya
tekanan pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai
edema pada intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan
nafas. Keluhan orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat

16
tidur dengan kaki menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk
dan mengi yang menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil
posisi tersebut. Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac
Asthma(asma cardiale) berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai
dengan timbulnya wheezing sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus
dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner wheezing lainnya.

EDEMA PULMONER AKUT


Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai
akibat meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat
menurunnya fungsi jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi
edema paru dapat berupa batuk atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal
jantung yang berat dapat bermanifestasi sebagai sesak berat disertai dahak yang
disertai darah. Jika tidak diterapi secara cepat, edema pulmoner akut dapat
mematikan.

RESPIRASI CHEYNE STOKES


Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum
pada gagal jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output
yang rendah. Respirasi cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas
pusat respirasi terhadap kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri
jatuh dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan pada gas darah arteri ini
menstimulasi pusat nafas yang terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi dan
hipokapni, yang diikuti kembali dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-
stokes dapat dicermati oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak nafas berat
atau periode henti nafas sesaat.

GEJALA LAINNYA
Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan gejala
gastrointestinal. Anorexia, nausea, dan rasa cepat kenyang yang dihubungkan
dengan nyeri abdominal dan kembung adalah gejala yang sering ditemukan, dan

17
bisa jadi berhubungan dengan edema dari dinding usus dan/atau kongesti hati.
Kongesti dari hati dan pelebaran kapsula hati dapat mengakibatkan nyeri pada
kuadran kanan atas. Gejela serebral seperti kebingungan, disorientasi, gangguan
tidur dan emosi dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat, terutama
pada pasien lanjut usia dengan arteriosklerosis serebral dan berkurangnya perfusi
serebral. Nocturia juga umum ditemukan dan dapat memperberat keluhan
insomnia.
Manisfestasi tanda dan gejala klinis gagal jantung yang diutarakan diatas
sangatlah bervariasi. Sedikit yang spesifik untuk gagal jantung, sensitivitasnya
rendah dan semakin berkurang dengan pengobatan jantung. Pada tabel 3 di bawah
ini menunjukkan sensitivitas dan spesifitas berbagai tanda dan gejala tersebut.
Walau orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspeu relatif spesifik untuk gagal
jantung, gejala tersebut tidak sensitif untuk diagnosis gagal jantung. Banyak orang
dengan gagal jantung tidak memiliki gejala ini pada anamnesa. Tidak jauh
berbeda, tekanan vena jugular yang meningkat sangat spesifik, tapi tidak sensitif
dan membutuhkan keahlian klinis untuk deteksi tepat.

Tabel 3. Sensitivitas dan Spesifitas Tanda dan Gejala Gagal Jantung pada
pasien yang dianggap memiliki gagal jantung (Ejeksi Fraksi < 40%)
pada 1306 pasien Penyakit Jantung Koroner yang menjalani
Angiography Koroner.
Tanda dan Gejala Gagal Jantung Sensitivita Spesifitas (+) Predictive
s (%) (%) Value (%)
Anamnesa
Mudah sesak 66 52 23
Orthopnea 21 81 2
Nocturnal dyspnea 33 76 26
Riwayat bengkak 23 80 22
Pemeriksaan Fisik
Takikardi 7 99 6
Ronkhi 13 99 6
Edema 10 93 3
Ventricular gallop (S3) 31 95 61
Distensi Vena Jugularis 10 97 2

18
Thorax Foto (Chest X-Ray)
Cardiomegaly 62 67 32
Anamnesa 66 52 23
Mudah sesak 21 81 2
Orthopnea 33 76 26
Nocturnal dyspnea 23 80 22

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung


Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan
secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor
atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima
jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain
seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik. Kriteria
mayor dan minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan
gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi 120x/menit

Pemeriksaan Fisik
Posisi pasien dapat tidur terlentang atau duduk jika sesak. Tekanan darah
dapat normal atau meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena

19
disfungsi ventrikel kiri, Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan
pengisian vena, adanya murmur sistolik, murmur diastolik, dan irama gallop perlu
dideteksi dalam auskultasi jantung. Kongesti paru ditandai dengan ronki basah
pada kedua basal paru. Penilaian vena jugular dapat normal saat istirahat tetapi
dapat meningkat dengan adanya tekanan pada abdomen (abdominojugular reflux
positif). Pada abdomen adanya hepatomegali merupakan tanda penting pada gagal
jantung, asites, ikterus karena fungsi hepar yang terganggu. Edema ekstremitas
yang umumnya simetris dapat ditemukan.5

KEADAAN UMUM DAN TANDA VITAL


Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki
keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari
beberapa menit. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa
memiliki upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan kata-
kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada
umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat
menurun. Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume,
dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik.
Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas
simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer
menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung jari juga diakibatkan oleh
aktivitas simpatis yang berlebihan.

PEMERIKSAAN VENA JUGULARIS DAN LEHER


Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium
kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan
vena jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala diangkat dengan
sudut 45o. Tekanan vena jugularis dihitung dengan satuan sentimeter H 2O
(normalnya kurang dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi kolom darah vena
jugularis diatas angulus sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada
postur apapun). Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa

20
normal saat istirahat, tapi dapat secara abnormal meningkat saat diberikan tekanan
yang cukup lama pada abdomen (refluk hepatojugular positif). Giant V wave
menandakan keberadaan regurgitasi katup trikuspid.

PEMERIKSAAN PARU
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi
cairan dari rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru,
ronki dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing
ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru,
ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan bahwa
ronkhi seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik,
bahkan ketika pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini
karena pasien sudah beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga
alveolar sudah meningkat. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya
tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga
pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena sistemik dan pulmoner,
effusi pleura paling sering terjadi pada kegagalan kedua ventrikel (biventricular
failure). Walau effusi pleura biasanya ditemukan bilateral, angka kejadian pada
rongga pleura kanan lebih sering daripada yang kiri.

PEMERIKSAAN JANTUNG
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan
informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat
kardiomegali, titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser kebawah
intercostal space (ICS) ke V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis.
Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba
lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk
mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi
jantung ketiga dapat didengar dan teraba pada apex.
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami
hipertrofi dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada

21
parasternal kiri (right ventricular heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum
ditemukan pada pasien dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan
tachypnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat.
Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya ada
pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid
umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut.

PEMERIKSAAN ABDOMEN DAN EKSTRIMITAS


Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien
dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba
lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid.
Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena
hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritenium.
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium
lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal
jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti
(bendungan) hepar dan hipoksia hepatoselular.
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau
demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah
mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris,
beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi
sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas.
Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum.
Edema yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan
pigmentasi yang bertambah.

KAKEKSIA KARDIAK
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan
berat badan dan kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya
dimengerti, kemungkinan besar faktor penyebabnya adalah multifaktorial,
termasuk didalamnya adalah meningkatnya basal metabolik rate, anorexia, nausea,

22
dan muntah-muntah yang diakibatkan oleh hematomegali hepatomegali dan rasa
penuh di abdomen, meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang
bersirkulasi, dan terganggunya absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena
intestinal. Jika terdapat kakeksia maka prognosis gagal jantung akan semakin
memburuk.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, elektrolit, urea, kreatinin, gula darah, albumin, enzim
hati
Analisa gas darah
Natriuretic peptide (B type natriuretic peptides/BNP atau NT-pro BNP)
Elektrokardiografi
Foto toraks
Ekokardiografi
Exercise Testing

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara
lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine,
SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan
gagal jantung karena beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2)
untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3)
untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic
peptide (beratnya gangguan hemodinamik).
Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang,
namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat
ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik
kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia.
Derajat hiponatremia juga merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini
dikarenakan kadar natrium secara tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi
sistem renin angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi
garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif dapat mengakibatkan

23
hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya termasuk hipofasfatemia,
hipomagnesemia, dan hiperurisemia.
Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan
meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme
jaringan, hal ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga
telah menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25%
penderita gagal jantung.
Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa pada semua
pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya gangguan
hemodinamik dan untuk menentukan prognosis. Biomarker Atrial Natriuretic
Peptide (ANP) dan BNP disekresikan sebagai respon terhadap meningkatnya
tekanan pada dinding jantung dan/atau neurohormon yang bersirkulasi. Karena
ANP memiliki waktu paruh yang pendek, hanya NT-ANP yang secara klinis
berguna. Untuk BNP, N-Terminal Pro-BNP dan BNP memiliki nilai klinis yang
bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat pada pasien dengan disfungsi sistolik,
sementara disfungsi diastolik peningkatan kadarnya lebih rendah. Pada disfungsi
sistolik, kadar BNP ditunjukan berbanding lurus dengan wall stress, ejeksi fraksi,
dan klasifikasi fungsional. Pemeriksaan BNP berbanding lurus dengan beratnya
gagal jantung berdasarkan kelas fungsionalnya.

24
Gambar 5. Kadar BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung menurut
kelas fungsionalnya.

Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan
gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular filtration
rate (GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat
dibandingkan klasifikasi kelas fungsional.
Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai akibat
hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan
alanine aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT)
dapat memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi hiperbilirubinemia.
Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk
mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan
volume urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan yang mendapat diuretik.

PEMERIKSAAN FOTO TORAKS

Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang


kardiologi, selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari
paru dapat dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic
ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari
setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting pada follow-up
pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari jantung menurut CXR dapat dibagi
menjadi ventrikel yang mengalami pressure-overload atau volume-overload,
dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden.

Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran


hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien dengan
gagal jantung kronik tidak memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai dengan
adanya Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis pada lobus bawah
paru, yang timbul akibat meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular
intersitial akibat adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada

25
dasar paru karena tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan
tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien gagal jantung kronis, hal ini
dikarenakan pada gagal jantung kronis telah terjadi adaptasi sehingga
meningkatkan kemampuan sistem limfatik untuk membuang kelebihan cairan
interstitial dan/atau paru. Hal ini konsisten dengan temuan tidak adanya ronkhi
pada kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau tekanan arteri pulmonal
sudah meningkat. Keberadaan dan beratnya effusi pleura juga merupakan
informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung, dan terbaik dinilai
melalui CXR dan CT-scan. Temuan pada foto toraks dengan penyebab dan
implikasi klinisnya dapat di lihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis

Kelainan Penyebab Implikasi Klinis


Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekhokardiografi, doppler
ventrikel kanan, atria, efusi
perikard
Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, Ekhokardiografi, doppler
kardiomiopati hipertropi
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri
pengisian ventrikel kiri
Edema interstisial Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri
pengisian ventrikel kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan diagnosis non
peningkatan pengisian kardiak
tekanan jika ditemukan
bilateral, infeksi paru,
keganasan
Garis Kerley B Peningkatan tekanan Mitral stenosis atau gagal
limfatik jantung kronis

ELEKTROKARDIOGRAM
Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap pasien
yang dicurigai gagal jantung. Dampak diagnostik elektrokardiogram (ECG) untuk

26
gagal jantung cukup rendah, namun dampaknya terhadap terapi cukup tinggi.
Temuan EKG yang normal hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung.
Gagal jantung dengan perubahan EKG umum ditemukan. Temuan seperti
gelombang Q patologis, hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right bundle
branch block (RBBB), left bundle branch block (LBBB), AV blok, atau perubahan
pada gelombang T dapat ditemukan. Gangguan irama jantung seperti takiaritmia
supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole
ventrikular (VES) dapat sering terjadi dan tidak selalu menggambarkan prognosis
yang buruk, sementara takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat
dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti ini biasanya
tidak terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi pada monitoring holter 24-
atau 48- jam.

PEMERIKSAAN UJI LATIH BEBAN JANTUNG


Pemeriksaan uji latih beban jantung (ULBJ) ini memiliki keterbatasan
dalam diagnosis gagal jantung, walau demikian hasil yang normal pada pasien
yang tidak mendapat terapi hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung.
Nilai pemeriksaan ini adalah dalam penilaian kapasitas fungsional dan stratifikasi
prognosis. Kapasitas fungsional ditentukan melalui aktivitas yang secara progresif
ditingkatkan hingga pasien tidak dapat meneruskan. Pada saat aktivitas maksimal,
uptake maksimal oksigen (Vo2 MAX) dapat dihitung. Parameter ini mencerminkan
kemampuan aerobik pasien dan berkorelasi dengan mortalitas kardiovaskular pada
pasien dengan gagal jantung. Pemeriksaan ini juga memungkinkan untuk
menentukan ambang batas metabolisme anaerob, yaitu titik dimana metabolisme
pasien beralih dari aerob ke anaerob, yang menghasilkan laktat berlebih. Secara
praktis prinsip perhitungannya ULJB dihentikan ketika : (1) Vo2 tidak meningkat
lagi saat intensitas latihan ditingkatkan, (2) pasien menghentikan latihan karena
timbulnya gejala berat seperti sesak atau letih. Hasil dari ULBJ memiliki arti
prognostik yang penting. Puncak Vo2 <10 ml/kg/menit dikategorikan sebagai
pasien berisiko tinggi, >18 ml/kg/menit adalah pasien berisiko ringan. Nilai
diantaranya adalah zona abu-abu dengan risiko sedang. Data prognostik untuk

27
puncak Vo2 pada wanita masih terbatas. Nilai Vo2 max digunakan sebagai batasan
untuk menentukan kapan pasien dengan gagal jantung yang progresif harus
dipertimbangkan untuk menjalani transplantasi jantung. Walau demikian harus
tetap diingat bahwa puncak Vo2 max dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
massa otot, dan status pelatihan aerobik. Hal ini menjelaskan mengapa pada
beberapa pasien dengan Vo2 max yang rendah (<14 ml/kg/menit) masih tetap
memiliki prognosis yang cukup baik. Karena hal tersebut beberapa peneliti telah
mengusulkan angka prediksi persentase Vo2 dibandingkan nilai absolut Vo2 max.

Karena pasien dengan gagal jantung umumnya memiliki kemampuan


latihan yang terbatas dan ULBJ tidak ditoleransi baik oleh banyak pasien, latihan
submaksimal atau symptom-driven exercise test yang dikenal dengan 6-minutes
walking test menjadi popular digunakan untuk evaluasi rutin. Pada test ini diukur
jarak yang dapat ditempuh dalam 6 menit pada koridor yang datar dimana pasien
dapat berjalan sesuai kemampuannya, berjalan lebih pelan, lebih cepat, atau
berhenti. Test ini memperkirakan puncak Vo2 max dan merupakan faktor
independen yang berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular. Karena kemudahan-nya, test ini semakin sering digunakan pada
uji klinis multisenter untuk menilai efektivitas suatu terapi.

ECHOCARDIOGRAPHY
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum
digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium dan
perikadium, dan mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat istirahat dan
saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung. Pemeriksaan ini non-
invasif, dapat dilakukan secara cepat di tempat rawat, dapat dengan mudah
diulang secara serial, dan memungkinkan penilaian fungsi global dan regional
ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung echocardiography adalah metode
diagnostik yang dapat dipercaya, dapat diulang, dan aman dengan banyak fitur
seperti doppler echo, doppler tissue imaging, strain rate imaging, dan cardiac
motion analysis.

28
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left-
ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri, dan
perubahan pada fungsi diastolik. Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai
fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung. Tabel 6
mendeskripsikan temuan ekokardiografi yang sering ditemukan pada gagal
jantung.
Tabel 6. Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung
DISFUNGSI
TEMUAN UMUM DISFUNGSI SISTOLIK
DIASTOLIK
Ukuran dan bentuk Ejeksi fraksi ventrikel Ejeksi fraksi ventrikel
ventrikel kiri berkurang <45% kiri normal > 45-50%
Ejeksi fraksi ventikel kiri Ventrikel kiri membesar Ukuran ventrikel kiri
(LVEF) Dinding ventrikel kiri normal
Gerakan regional dinding tipis Dinding ventrikel kiri
Remodelling eksentrik
jantung, synchronisitas tebal, atrium kiri
kontraksi ventrikular ventrikel kiri berdilatasi
Remodelling LV Regurgitasi ringan- Remodelling eksentrik
(konsentrik vs sedang katup mitral* ventrikel kiri.
Hipertensi pulmonal* Tidak ada mitral
eksentrik) Pengisian mitral
Hipertrofi ventrikel kiri regurgitasi, jika ada
berkurang*
atau kanan (Disfunfsi Tanda-tanda minimal.
Hipertensi pulmonal*
Diastolik : hipertensi, meningkatnya tekanan Pola pengisian mitral
COPD, kelainan katup) pengisian ventrikel*
Morfolofi dan beratnya abnormal.*
Terdapat tanda-tanda
kelainan katup
Mitral inflow dan aortic tekanan pengisian

outflow; gradien meningkat.

tekanan ventrikel kanan


Status cardiac output
(rendah/tinggi)

ALGORITMA DIAGNOSIS

29
30
TATALAKSANA
a. Prinsip Pengobatan
Terdapat tiga aspek yang penting dalam penanggulangan gagal
jantung yaitu pengobatan terhadap gagal jantung (Tabel 7), pengobatan
terhadap penyakit yang mendasari, dan pengobatan terhadap faktor pencetus
(anemia, infeksi, dan disritmia). Termasuk dalam pengobatan medikamentosa
gagal jantung yaitu rnengurangi retensi cairan dan gararn, meningkatkan
kontraktilitas otot jantung dan mengurangi beban jantung.
Tabel 7. Dasar Pengobatan Gagal Jantung

31
b. Pengobatan Umum
a) Istirahat.
Pada gagal jantung akut yang berat pasien perlu dirawat inap. Tirah baring
dengan posisi setengah duduk sangat membantu pasien.
b) Suhu dan kelembaban.
Neonatus sangat rentan terhadap perubahan suhu lingkungan, khususnya suhu
dingin, lebih-lebih bila ia menderita penyakir berat. Oleh karena itu neonatus
dengan gagal jantung perlu ditempatkan di inkubator dengan pengatur suhu
dan kelembaban.
c) Oksigen.
Oksigen dapat menaikkan kadar oksigen darah arteri bayi dan anak
dekompensasi berkisar antara 10-20%. Kadar tenda oksigen atau inkubator

32
harus dijaga 40-50%, suhu dipertahankan 37C, dicegah keadaan panas dan
dijaga pulakelembabannya. Aliran oksigen yang diperlukan adalah 4-
5liter/menit pada inkubator atau 8-10 liter/menit pada tenda.
d) Pernberian cairan dan diet.
Pada pasien dengan gagal jantung berat seringkaii masukan cairan dan
makanan per oral tidak memadai, atau mengandung bahaya terjadinya
aspirasi. Oleh karena itu pada pasien tersebut seringkali diperlukan pemberian
cairan intravena. Mengingat terdapatnya kecenderungan terjadinya retensi
cairan dan natrium pada pasien gagl jantung, dan kehilangan kalium bila
diberikan diuretik, maka diberikan cairan tanpa natrium, dan jumlahnya perlu
dikurangi menjadi kira-kira 75-80% kebutuhan rumat. Namun mi harus terus
dipantau, mengingat kerja pernapasan yang meningkat akan menyebabkan
meningkatnya kebutuhan cairan.
Pemantauan klinis (turgor, pola pernapasan, balans antara masukan
dan keluaran) serta laboratoris (analisis gas darah, elektrolit) menentukan
pemberian jenis dan jumlah cairan selanjutnya. Pada pasien yang dapat
masukan oral atau yang rawat jalan diperlukan diet rendah garam. namun
tidak perlu terlalu ketat mengingat kelebihan natrium dapat dikontrol dengan
diuretik. sedang makanan tawar sering ditolak pasien.
c. Medikamentosa
1. Obat-Obat Inotropik
Obat inotropik yang ideal dapat meningkatkan kontrakti1itas otot jantung
tanpa naenyebabkan peninggian O2, takikardi atau aritmia. Sayangnya obat
yang mempunyai sernua karakteristik tersebut sampai sekarang belum dapat
ditemukan.
a. Digitalis (Digoksin)
Sampai sekarang digoksin masih banyak dipergunakan dalam pengobatan
gagal jantung pada bayi dan anak. Manfaat utamanya adalah akibat efek
inotropiknya, yakni dalam menambah kekuatan dan kecepatan kontraksi
ventrikel. Digoksin juga mengurangi tonus simpatis, menurunkan resistensi
sistemik dengan vasodilatasi perifer, serta menurunkan frekuensi denyut
jantung. Digoksin tidak berrnanfaat, bahkan mungkin berbahaya, bila
diberikan pada pasien dengan lesi obstruktil misalnya koarktasio aorta.
b. Obat Inotropik Parenteral

33
Bayi dan anak dengan gagal jantung akut yang berat seringkali memerlukan
obat inotropik yang lebih poten. Untuk keperluan tersebut pada saat inii telah
tersedia beberapa jenis obat inotropik yang diberikan dengan infus konstan,
yang banyak digunakan pada saat ini adalah dopamin dan dobutarnin.
Dopamin merupakan prekursor katekolamin dan epinefrin. Pada dosis rendah,
yakni 2,5 g/kgBB/menit doparnin terutama berpengaruh meningkatkan
aliran darah ginjal, sehingga menambah ekskresi air dan garam. Pada dosis
10-20 g/kgBB/rnenit dopamin terutama mempunyai efek inotropik, namun
sering menimbuikan gangguan irama jantung. Oleh karena itu sebagian ahli
menyarankan untuk tidak memakai dopamin sebagai inotropik.
2. Vasodilator
Walaupun digitalis dan diuretik masih dipakai sebagai obat standar, akhir-
akhir ini banyak dipakai vasodilator dalam penatalaksanaan gagal jantung
pada bayi dan anak. Cara kerja obat vasodilator tersebut adalah dengan
mempengaruhi preload dan afterload Pengobatan gagal jantung pada anak
dengan vasodilator telah banyak dicoba dengan hasil memuaskan. Agar dapat
dipilih obat yang tepat untuk gagal jantung, perlu dipahami prinsip dasar
fungsi jantung yang normal maupun abnormal seperti dlkemukaan di atas.
Tabel 8. Rekomendasi pemakaian vasodilator pada bayi dan anak

34
Tabel 9 Dasar pemberian vasodilator pada gagal jantung
a. Venodilator

Cara kerja venodilator ialah menurunkan tekanan darah sistemik dan


pulmonal, mengurangi bendungan vena, tetapi tidak meningkatkan curah

35
jantung secara langsung. Nitrat dan nitrogliserin sangat berguna untuk pasien
gagal jantung dengan edema paru akibat regurgitasi katup mitral atau aorta.
Pada pasien pascaoperasi jantung, obat ini dipakai apabila terdapat gejala
bendungan vena sistemik dan paru akibat peninggian tekanan pengisian
(filling pressure). Efek obat berguna apabila terdapat peninggian tekanan atau
volume pengisian ventrikel. Apabila tekanan atau volume pengisian ventrikel
rendah, malahan akan terjadi penurunan curah jantung.
b. Dilator Arteri
Obat dilator arteri berkhasiat menurunkan afterload dengan akibat
bertambahnya curah jantung tanpa meningkatkan konsumsi oksigen. Akan
terjadi penurunan tekanan pengisian ventrikel karena pengosongan ventrikel
lebih baik.
c. Dilator Arteri-Vena
Obat ini berkhasiat menurunkan preload dan afterload sehingga
menurunkan tekanan pengisian ventrikel dan penambahan curah jantung,
karenanya ia berguna pada peninggian tekanan pengisian ventrikel yang
disertai curah jantung yang rendah. Termasuk dalam golongan ini antara lain
adalah penghambat enzim menguhah renin-angiotensin-aldosteron (kaptopril)
yang kini paling banyak dipakai.
3. Diuretik
Golongan diuretik bermanfaat mengurangi gejala bendungan, apahila
pemberian digitalis saja ternyata tidak memadai, namun deuretik sendiri tidak
memperbaiki penampilan miokardium secara lansung. Obat yang tersering
dipakai adalah golongan tiazid, asam etakrinik, furosemid, dan golongan
antagonis aldosteron. Furosemid merupakan diuretik yang paling banyak
digunakan karena efektif, aman, dan murah. Namun diuretik menyebabkan
ekskresi kalium bertambah, sehingga pada dosis besar atau pemberian jangka
lama diperlukan tambahan kalium (berupa KCI). Dengan furosemid rendah
suplemen kalium mungkin tidak diperlukan; sebagian ahli hanya
menganjurkan tambahan makan pisang yang diketahui mengandung banyak
kalium daripada. memberikan preparat kalium. Kombinasi antara furosemid
dengan spironolakton dapat bersifat aditif, yakni rnenambah efek diuresis.

36
dan oleh karena spironolakton bersifat menahan kalium maka pemberian
kalium tidak diperlukan.

Tabel 2.10 Preparat dan dosis diuretik


Obat Cara Pemberian Dosis
Natriuretik
Asam etakrinik IV 1 mg/kg/dosis
PO 2-3 mg/kg/hari
Furosemid IV 1 mg/kg/dosis
PO 2-5 mg/kg/hari
Tiazid
Klorotiazid PO 20-40 mg/kg/hari
Hidroklorotiazid PO 2-5mg/kg/hari
Antagonis aldosteron
Spironolakton PO 1-2 mg/kg/hari

4. Pengobatan Kombinasi
Gagal jantung berat seringkali memerlukan pengobatan kombinasi antara obat
inotropik dan obat yang mengurangi beban jantung. Kombinasi antara
dopamin dosis rendah dengan dobutamin seringkali digunakan untuk gagal
Jantung berat atau syok kardiogenik. Seperti telah diuraikan, dopamin dosis
rendah menambah aliran darah ginjal, sedangkan dobutarnin merupakan obat
inotropik yang kuat dan aman. Kombinasi dopamin atau dobutamin dengan
nitroprusid dipakai pada penderita gagal jantung dengan curah iantung rendah
pascabedah jantung terbuka. Kombinasi antara kaptopril oral dengan digoksin
dapat dipakai untuk pengobatan jangka panjang kardiomiopali kongestif
dengan atau tanpa insufisiensi aorta atau mitral berat.
5. Terapi Bedah
Tindakan bedah menempati peran penting dalam tata laksana gagal
jantung pada bayi dan anak, baik untuk penyakit jantung bawaan maupun
penyakit jantung didapat. Dalam praktek pediatri, penyakit jantung yang
seringkali menyebabkan gagal jantung adalah lesi dengan pirau kiri ke kanan
(defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten), serta penyakit jantung
reumatik terutama. kelainan katup mitral atau aorta. Secara umum dapat
dikatakan bahwa terapi definitif untuk pasien dengan gagal jantung akibat
penyakit jantung bawaan adalah tindakan bedah. Terdapatnya gagal jantung

37
menunjukkan bahwa kelainan struktural yang terjadi adalah berderajat berat.
Untuk tiap lesi tertentu, makin dini gagal jantung terjadi, makin berat
kelainan yang ada.
Pada sebagian kecil pasien, gagal jantung yang berat terjadi dalam
hari-hari atau minggu-minggu pertama pascalahir, misalnya pada sindrom
hipoplasia jantung kiri, atresia aorta, koarktasio aorta berat, atau anomaili
total drainase vena pulmonalis dengan obstruksi. Terhadap mereka ini terapi
medikamentosa saja sulit diharapkan rnemberikan hasil, sehingga tindakan
invasif diperlukan segera setelah keadaan pasien dibuat stabil. Kegagalan
untuk melakukan operasi pada go1ongan pasien ini harnpir selalu akan
berakhir dengan kematian.
Pada gagal jantung akibat penyakit jantung bawaan yang kurang berat,
pendekatan awal yang umum adalah memberikan terapi medis yang adekuat.
Bila terapi medis menolong, yang tampak dengan hilangnya gejala gagal
jantung, meningkatnya toleransi latihan, serta bertambahnya berat badan
dengan cukup memadai, maka terapi medis diteruskan sambil menunggu saat
yang baik untuk koreksi bedah. Namun apabila terapi rnedis tidak
memperbaiki fungsi jantung, rnaa tindakan bedah diperlukan lebih dini, baik
berupa bedah paliatif (banding a. pulmonalis) maupun bedah korektif.
Pada pasien penyakit jantung reumatik yang berat yang disertal gagal
jantung, maka obat-obat gagal jantung terus diberikan sementara pasien
memperoleh profilaksis sekunder (biasanya adalah penisilin benzatin)
Pengobatan yang disertai dengan profilaksis sekunder yang adekuat mungkin
dapat memperbaiki keadaan jantung. Sebaliknya apabila profilaksis sekunder
tidak dilaksanakan dengan haik maka pasien terancam mengalami serangan
ulang demam reumatik yang mempunyai potensi untuk lebih memperburuk
kelainan jantung yang sudah ada. Bila terapi medis tidak menolong, maka
diperlukan evaluasi apakah diperlukan tindakan invasif (valvulotomi mitral
dengan balon pada stenosis mitral, rekonstruksi katup pada insufisiensi mitral
atau insufisiensi aorta, atau operasi penggantian katup) pada pasien remaja
atau dewasa muda. Golongan pasien ini, yakni pasien dengan cacat katup
yang berat akibat penyakit jantung reumatik, meskipun telah dilakukan

38
valvuloplasti balon atau operasi, masih menyisakan kemungkinan terdapatnya
gejala sisa sehingga sebagian besar pasien tidak dapat hidup sama sekali
normal. Pemantauan seumur hidup sangat diperlukan agar setiap perubahan
yang tidak dikehendaki dapat dideteksi secara dini dan diatasi dengan
adekuat.

PROGNOSIS
Angka kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis mencapai 30'40%,
sedangkan angka dalam 5 tahun 60-70%. Kematian disebabkan karena perburukan
klinis mendadak yang kemungkinan disebabkan karena aritmia ventrikel.
Berdasarkan klasifikasi, NYHA kelas IV mempunyai angka kematian 30-70%,
sedangkan NYHA kelas II 5-10%.5

39
BAB III
KESIMPULAN

1. Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis kompleks yang disebabkan oleh
adanya kelainan struktural atau fungsional dari pengisian ventrikel atau ejeksi
darah dari jantung.
2. Kondisi apapun yang menyebabkan perubahan pada struktur atau fungsi
ventrikel kiri dapat memengaruhi pasien untuk mengembangkan gagal
jantung. Etiologi gagal jantung dengan nilai EF menurun dan tetap berbeda
satu sama lain.
3. Patofisiologi terjadinya gagal jantung saat ini berdasarkan terdapatnya
mekanisme neurohumoral.
4. Diagnosis gagal jantung tetap terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang,
5. Prinsip tatalaksana pada gagal jantung terbagi menjadi non farmakologis,
farmakologis, dan pembedahan.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Panggabean, M. M.. Gagal Jantung. Dalam: S. Setiati, I. Alwi, A. W.


Sudoyo, et al. (Editors). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam
Jilid I. Jakarta: Interna Publishing; 2014; hal. 1130-1136.
2. Mann, D. L. dan M. Chakinala. Heart Failure: Pathophysiology and
Diagnosis. Dalam: Kasper, D. L., S. L. Hauser, J. L. Jameson, et al.
Harrisons Principle of Interal Medicine 19th Edition. New York:
McGrawHill; 2015; hal. 1500-1506
3. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI; 2014.
4. Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2007; hal. 2-9.
5. Alwi, I, S. Salim, R. Hidayat, et al. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Interna Publishing; 2015;
594-605,
6. Yenny, C. W., Jessup M., Bozkurt B., Butler J., et al. 2013 ACCF/AHA
guideline for the management of heart failure: a report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines. Circulation. 2013;128:e240e327.
7. Ghanie, A. Gagal Jantung Kronik. Dalam: S. Setiati, I. Alwi, A. W.
Sudoyo, et al. (Editors). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam
Jilid I. Jakarta: Interna Publishing; 2014; hal 1148-1160.
8. Hess O. M. dan Carrol J. D. Clinical Assessment of Heart Failure. Dalam:
Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP (Editors). Braunwalds Heart
Disease. Philadelphia: Saunders; 2007. Hal. 561-80.
9. Floras J. S. Alterations in the Sympathetic and Parasympathetic Nervous
System in Heart Failure. Dalam: Mann DL (Editor). Heart Failure: A
Companion to Braunwald's Heart Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004,
hal. 247-278.

41
10. Weber K. T. Aldosterone in Congestive Heart Failure. N Engl J Med.2001;
345:1689
11. Shah R. V. dan Fifer M. A. Heart Failure. Dalam: Lilly LS (Editor).
Pathophysiology of Heart Disease A Collaborative Project of Medical
Students and Faculty. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2007; hal. 225-251.
12. Hunter J. J. dan Chien K. R. Signaling Pathways for Cardiac Hypertrophy
and Failure. N Engl J Med. 1999; 341:1276

42

Anda mungkin juga menyukai