Anda di halaman 1dari 19

Skrining Kanker Serviks pada Kelompok Wanita di

Tuna Susila
Vifin Rotuahdo Saragih/102012232

Kelompok E9

Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara no. 10

Email: rotuahdo94saragih@gmail.com

Pendahuluan

IVA merupakan salah satu metode untuk melakukan deteksi dini adanya kanker leher
rahim. Skrining dengan IVA ini dinyatakan lebih mudah, lebih sederhana, dan lebih murah
dibandingkan dengan tes pap smear. Karena itu, pemeriksaan IVA ini memberikan harapan
besar untuk terlindung dari ganasnya efek kanker leher rahim, jenis kanker yang paling
banyak ditemukan pada perempuan Indonesia yang berusia 25 tahun ke atas. Masalah yang
menghadang dalam penanggulangan kanker leher rahim di Indonesia adalah masih rendahnya
angka cakupan tes deteksi dini atau skrining kanker ini. Skrining adalah salah satu cara untuk
menemukan lesi pre kanker dan kanker pada stadium dini. Faktanya, angka skrining kanker
leher rahim di Indonesia hanya berkisar kurang dari (5%) (idealnya sekitar 80%). Karena
rendahnya angka skrining itulah, maka pantas saja (70%) pasien kanker leher rahim di
Indonesia terdiagnosis pada stadium lanjut. Kondisi ini membuat rendahnya angka kesakitan
dan tingginya angka kematian pada pasien kanker leher rahim di Indonesia. 1

Pembahasan

Epidemiologi ca serviks

a. Distribusi karsinoma serviks


Kanker serviks atau karsinoma uteri merupakan salah satu penyebab utama
kematian wanita yang berhubungan dengan kanker. Di seluruh dunia, diperkirakan
terjadi sekitar 500.000 kanker serviks baru dan 250.000 kematian setiap tahunnya
yang 80% terjadi di Negara-negara berkembang. Di Indonesia, insiden kanker
serviks diperkirakan 40.000 kasus pertahun dan masih merupakan kanker wanita

1
tersering. Dari jumlah itu, 50% kematian terjadi dinegara-negara berkembang. Hal iu
terjadi karena pasien datang dalam stadium lanjut.
Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher rahim saat ini
mempunyai urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita. Saat ini di
Indonesia ada sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap
tahunnya. Kanker serviks yang sudah masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan
kematian dalam jangka waktu yang relative cepat. Selain itu lebih dari 70% kasus
yang datang kerumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut.
Selam kurun waktu 5 tahun, usia penderita antara 30-60 tahun, terbanyak
antara 45-50 tahun. Periode laten dari fase prainvasif memakan waktu sekitar 10
tahun. Hanya 9 % dari wanita berusia <35 tahun yang menunjukan kanker serviks
yang invansif pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS ( kanker in situ)
terdapat pada wanita berusia < 35 tahun.2

b. Faktor resiko karsinoma serviks


1. Perilaku seksual
Banyak faktor yang disebut-sebut mempengaruhi terjadinya kanker serviks.
Pada berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa golongan wanita yang
mulai melakukan hubungan seksual pada usia < 20 tahun atau mempunyai
pasangan seksual yang berganti-ganti lebih berisiko untuk menderita kanker
serviks. Faktor risiko lain yang penting adalah hubungan seksual suami dengan
wanita tuna susila (WTS) dan dari sumber itu membawa penyebab kanker
(karsinogen) kepada isterinya. Data epidemiologi yang tersusun sampai akhir abad
20, menyingkap kemungkinan adanya hubungan antara kanker serviks dengan
agen yang dapat menimbulkan infeksi. Keterlibatan peranan pria terlihat dari
adanya korelasi antara kejadian kanker serviks dengan kanker penis di wilayah
tertentu. Lebih jauh meningkatnya kejadian tumor pada wanita monogami yang
suaminya sering berhubungan seksual dengan banyak wanita lain menimbulkan
konsep Pria Berisiko Tinggi sebagai vektor dari agen yang dapat menimbulkan
infeksi. Banyak penyebab yang dapat menimbulkan kanker serviks, tetapi
penyakit ini sebaiknya digolongkan ke dalam penyakit akibat hubungan seksual
(PHS). Penyakit kelamin dan keganasan serviks keduanya saling berkaitan secara
bebas, dan diduga terdapat korelasi non-kausal antara beberapa penyakit akibat
hubungan seksual dengan kanker serviks.3
2. Kontrasepsi

2
Kondom dan diafragma dapat memberikan perlindungan. Kontrasepsi oral
yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan
risiko relatif 1,53 kali. WHO melaporkan risiko relatif pada pemakaian
kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai dengan lamanya
pemakaian.
3. Merokok.
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai
rokok/ sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic
hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin
pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek
langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal
sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus.
4. Riwayat kanker serviks pada keluarga
Bila seorang wanita mempunyai saudara kandung atau ibu yang mempunyai
kanker serviks, maka ia mempunyai kemungkinan 2-3 kali lebih besar untuk juga
mempunyai kanker serviks dibandingkan dengna orang normal. Hal ini
berhubungan dengan berkurangnya kemampuan untuk melawan HPV.4
5. Nutrisi
Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal
bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Banyak sayur dan
buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker
misalnya advokat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat. Dari
beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic acid), vitamin C, vitamin
E, beta karoten/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks.
Vitamin E, vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat.
Vitamin E banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan
kacangkacangan). Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-
buahan.6
6. Hygiene yang buruk
Ketika terdapat virus ini pada tangan seseorang, lalu menyentuh daerah
genital, virus ini akan berpindah dan dapat menginfeksi daerah serviks atau leher
rahim Anda. Cara penularan lain adalah di closet pada WC umum yang sudah
terkontaminasi virus ini. Seorang penderita kanker ini mungkin menggunakan
closet, virus HPV yang terdapat pada penderita berpindah ke closet.
7. Menggunakan pil-pil pengontrol kelahiran untuk suatu waktu yang lama

3
Menggunakan pil-pil pengontrol kelahiran untuk suatu waktu yang lama (5
tahun atau lebih) dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim diantara wanita-
wanita dengan infeksi HPV.
Faktor resiko yang lain juga termasuk sering menderita infeksi di daerah kelamin,
trauma kronis pada serviks dan melahirkan banyak anak.4
c. Cara penularan karsinoma serviks
Melalui hubungan seksual (dengan cara transmisi genital --> genital, oral -->
genital, manual --> genital) terutama yang dilakukan dengan berganti-ganti pasangan.
Penggunaan kondom saat melakukan hubungan intim tidak terlalu berpengaruh
mencegah penularan virus HPV. Sebab virus juga bisa berpindah melalui sentuhan
kulit.5

d. Agent Host Environment karsinoma serviks


1. Agent karsinoma serviks
a. Human papillomavirus
HPV merupakan virus heterogenus yang mengandungi DNA kembar bulat
yang tertutup. Genom virus tersebut mempunyai 6 jenis protein yaitu (, E1, E2,
E3, E4, E6, E7), yang dimana berfungsi sebagai protein regulatori dan 2 lagi
protein ( L1, L2), yang membentuk kapsid virus tersebut.
Sehingga hari in 77 genotip HPV yang berlainan telah dijumpai dan telah
diklonisasi yang dimana diantaranya tipe 6, 11, 16, 18, 26, 31, 33, 35, 39, 42, 43,
44, 45, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 58, 59, 66, dan 68 mempunyai sifat untuk
menginfeksi tisu anogenital.
HPV yang menginfeksi servik manusia tergolong dalam dua kelompok. Tipe
resiko rendah, HPV 6b dan 11, yang terkait dengan SIL tahap rendah tetapi tidak
pernah dijumpai dalam kanker invasif. Tipe HPV resiko tinggi, HPV 16 dan 18,
dijumpai dalam 50-80% kasus SIL dan dalam 90% kanker invasive. Walaupun
jarang, tipe 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73, dan 82 perlu dilihat
dalam kumpulan karsinogenik.4
Perbedaan yang ketara diantara kedua tipe ini kelihatan selepas infeksi, tipe
resiko rendah berada dalam keadaan DNA episomi ekstrakromosomal dan tipe
resiko tinggi memasuki ke dalam DNA sel host. Proses rekombinasi ini sering
menyebabkan E6 dan E7 mengikat secara terus dengan promoter virus yang
menyebabkannya untukk memindahkan karakteistiknya selepas integrasi. Oleh
karena E7 mengikat dan menginaktivasi protin Rb protein manakala E6 mengikat

4
p53 dan menyebabkan berlaku degradasi, kehilangan fungsional TP53 dan RB
menyebabkan resistensi pada apoptosis yang seterusnya menyebabkan
pertumbuhan sel yang tidak terkawal setelah DNA rusak. Ini seterusnya
mengakibatkan terjadinya malignancy. 4,5
b. Human immunodeficiency virus
Peran infeksi virus HIV dalam patogenesiss kanker servikal tidak dapat
dipahami dengan sepenuhnya. Studi menunjukkan wanita HIV-seropositine
mempunyai prevalensi yang lebih tinggi daripada wanita serogenotive dan juga
prevalensi HPV berakibat terus terhadap immunosupresi yang diukur dengan
menggunakan kiraan CD-4.
Penyebab lain terjadinya kanker serviks adalah merokok, hubungan seksual
pertama dilakukan pada usia dini, berganti-ganti pasangan seksual, gangguan
sistem kekebalan tubuh, pemakaian pil KB, infeksi atau pemakaian bahan kimia
secara menahun, penggunaan pembalut yang kualitasnya rendah, penggunaan
bahan kimia yang terlalu berlebihan untuk vagina dan pembiaran atau cuek
terhadap masalah-masalah berlebihan contohnya keputihan yang berlebihan.
2. Host karsinoma serviks
Manusia yang system kekebalan tubuhnya tidak tahan terhadap virus Human
Papilloma Virus. Manusia dengan factor resiko yang tinggi, mempunyai factor
riwayat kanker serviks pada keluarga.
3. Environment karsinoma serviks
Non-fisik:
Tingkat pendidikan yang rendah
Tingkat pendidikan seseorang dapat mendukung atau memperngaruhi
tingkat pengetahuan seseorang dan taraf pendidikan yang rendah selalu
berhubungan dengan informasi dan pengetahuan terbatas, semakin tinggi
pendidikan seseorang semakin tinggi pula pemahaman seseorang terhadap
informasi yang didapat dan pengetahuannya pun akan semakin tinggi.3
Skrining test

Pencegahan primer merupakan cara terbaik untuk mencegah penyakit, tetapi bila hal
ini tidak mungkin dilakukan maka mendeteksi tanda dan gejala penyakit dan pengobatan
secara tuntas merupakan pertahanan kedua.6

5
Untuk mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dan menemukan penyakit
sebelum menimbulkan gejala dapat dilakukan dengan cara berikut.

1. Deteksi tanda dan gejala dini


Untuk dapat mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dibutuhkan
pengetahuan tentang tanda dan gejala tersebut yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
masyarakat. Dengan cara demikian, timbulnya kasus baru dapat segera diketahui dan
diberikan pengobatan. Biasanya, pederita datang untuk mencari pengobatan setelah
penyakit menimbulkan gejala dan mengganggu kegiatan sehari-hari yang berarti
penyakit telah berada dalam stadium lanjut. Hal ini disebabkan ketidak tahuan dan
ketidak mampuan penderita.
2. Penemuan kasus sebelum menimbulkan gejala
Penemuan kasus ini dapat dilakukan dengan mengadakan uji tapis terhadap
orang-orang yang tampak sehat, tetapi mungkin menderita penyakit. Diagnosis dan
pengobatan penyakit yang diperoleh dari penderita yang datang untuk mencari
pengobatan setelah timbul gejala relatif sedikit sekali dibandingkan dengan penderita
tanpa gejala.
a. Tujuan skrining
1. Mendeteksi dini penyakit tanpa gejala atau dengan gejala tidak khas terhadap
orang-orang yang tampak sehat, tetapi mungkin menderita penyakit yaitu orang
yang mempunyai risiko tinggi untuk terkena penyakit (population at risk)
2. Dengan ditemukannya penderita tanpa gejala dapat dilakukan pengobatan secara
tuntas hingga mudah disembuhkan dan tidak membahayakan dirinya maupun
lingkungannya dan tidak menjadi sumber penularan hingga epidemic dapat
dihindari.
3. Menurunkan Case Fatality penyakit.

b. Sasaran skrining
Berdasarkan pemikiran tersebut, sebagi sasaran utama uji tapis adalah penyakit
kronis seperti:
1. Infeksi bakteri (lepra,TBC, dll)
2. Infeksi virus (hepatitis)
3. Penyakit non-infeksi, antara lain
a. Hipertensi
b. Diabetes mellitus
c. Penyakit jantung
d. Karsinoma serviks
e. Prostat dan
f. Glaucoma
4. AIDS

6
c. Syarat-syarat skrining
1. Tes harus cukup sfesifik dan sensitive
2. Tes dapat diterima oleh masyarakat, aman, tidak berbahaya, cukup murah,
sederhana.
3. Penyakit atau masalah yang akan di skrining merupakan masalah yang cukup
serius, prevalensinya cukup tinggi, merupakan masalah kesehatan masyarakat.
4. Kebijakan, intervensi atau pengobatan yang akan dilakukan setelah dilaksanakan
skrining harus jelas.
5. Wanita sudah menikah, tidak dalam keadaan hamil, tidak sdang dalam datang
bulan, 24 jam sebelumnya tidak berhubungan seksual.6

d. Uji tapis secara spesifik


Uji tapis secara spesifik dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai
risiko atau yang di kemudian hari dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit. Uji
tapis secara spesifik dilakukan dengan mempertimbangkan factor umur, jenis kelamin
atau pekerjaan, dan lain-lain.2
Uji tapis karsinoma serviks yang dilakukan terhadapt wanita berumur 29 tahun ke
atas. Uji tapis dilakukan dengan pemeriksaan:
1. Pap smear,
2. Inspeksi portio, dan
3. Palpasi ginekologis

Kriteria evaluasi

Untuk menilai hasil uji tapis dibutuhkan criteria tertentu seperti berikut.

Validitas
Reliabilitas
Yield

1. Validitas
Uji tapis merupakan tes awal yang baik untuk memberikan indikasi individu mana
yang benar-benar sakit dan mana yang tidak, disebut validitas. Validitas mempunyai
dua komponen yaitu:
1. Sensitivitas dan
2. Spesivisitas

Sensitivitas ialah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan tepat,
dengan hasil tes positif, dan benar sakit.

Spesivisitas ialah kemapuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan tepat,
dengan hasil tes negative, dan benar tidak sakit.
7
Istilah sensitivitas dan spesivisitas mula-mula digunakan oleh Yerushelmi pada
tahun 1947 sebagai indeks statistik dalam penelitiannya tentang variabilitas pemeriksa
ahli radiologi. Kini, kedua indeks statistic tersebut digunakan dalam epidemiologi
untuk menyatakan masalah secara kuantitatif dan merupakan yang penting dalam
analisis data epidemiologis. Kedua komponen ini dapat ditentukan dengan
membandingkan hasil uji tapis dengan hasil diagnosis pasti.

Secara ideal, hasil tes untuk uji tapis harus 100% sensitive dan 100% spesifik,
tetapi dalam praktik hal ini tidak pernah ada dan biasanya sensitivitas berbanding
terbalik dengan spesivisitas. Misalnya, bila hasil tes mempunyai sensitivitas yang
tinggi, akan diikuti oleh spesivisitas yang rendah dan sebaliknya. Hal ini tampak jelas
pada tes yang menghasilkan data kontinu seperti:

1. Hb
2. Tekan darah
3. Serum kolesterol
4. Tekanan intraokuler

Karena tes dengan variabel di atas, sensitivitas dan spesivisitas dapat diubah-ubah
dengan menentukan batas hasil yang positif. Untuk menjelaskan kedua indeks
tersebut akan lebih mudah dipahami melalui penyajian dalam bentuk table
kontingensi 2 x 2 berikut.6

Tabel 1.

Hasil tes Keadaan penderita jumlah

sakit Tidak sakit

Positif a b a+b
Negative c d c+d
Jumlah a+c b+d N
Keterangan:

a: positif benar c: negatif semu

b: positif semu d: negatif benar

N: a+b+c+d

8
Sensitivitas = a/(a+c) x 100%

spesivisitas = d/(b+d) x 100%

Proporsi positif semu = b/(b+d)

Proporsi negatif semu = c/(a+c)

Penilaian hasil uji tapis dengan menghitung sensitivitas dan spesivisitas


menggunakan perhitungan di atas mempunyai beberapa kelemahan berikut.6

1. Tidak semua hasil pemeriksaan dapat dinyatakan dengan tegas ya atau tidak.
2. Perhitungan ini tidak sesuai dengan kenyataan karena perhitungan sensitivitas dan
spesivisitas setalah penyakit diketahui atau didiagnosis, sedangkan tujuan uji tapis
adalah mendeteksi penyakit yang belum tampak dan bukan untuk menguji
kemampuan alat tes yang digunakan.

Untuk mengatasi kelemahan tersebut dilakukan perhitungan perkiraan nilai


kecermatan dengan tujuan untuk menaksir banyaknya orang yang benar-benar
menderita dari semua hasil tes yang positif. Perkiraan nilai kecermatan terdiri dari dua
komponen yaitu:

1. Nilai kecermatan positif (positive accuracy) dan


2. Nilai kecermatan negative (negative accuracy)

Nilai kecermatan positif ialah proporsi jumlah yang sakit terhadap semua hasil tes
positif.

Nilai kecermatan negatif ialah proporsi jumlah yang tidak sakit terhadap hasil tes
negative.

Selain nilai kecermatan positif dan nilai kecermatan negatif, dapat dihitung juga
komplemennya yaitu false positif dan false negative.

9
False positif rate ialah jumlah hasil tes positif semu dibagi dengan jumlah seluruh
hasil tes positif.

atau 1 y

False negative rate ialah jumlah hasil tes negative semu dibagi dengan jumlah seluruh
hasil tes negative.

atau 1 z

Contoh: misalnya ditemukan 150 orang positif menderita dan 45 orang positif benar,
10 orang positif semu, 5 orang negative semu, dan 90 orang negative benar.

Hasil tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Tabel 2.

Hasil tes Keadaan penderita jumlah

sakit Tidak sakit

Positif 45 10 55
Negative 5 90 95
Jumlah 50 100 150

Sensitivitas hasil tes : 45/50 = 90%

Spesivisitas hasil tes : 90/100 = 90%

Nilai kecermatan positif : 45/55 = 82%

Nilai kecermatan negative : 90/95 = 95%

False positif rate : 100 82% =18%

False negative rate : 100 95% = 5%

10
Dari hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu tes dengan
sensitivitas dan spesivisitas yang dapat menghasilkan angka positif semua dan angka
negative semu yang sangat berbeda.

Dengan perhitungan perkiraan nilai kecermatan di atas, terdapat kelemahan yaitu


hasilnya sangat dipengaruhi prevalensi penyakit di masyarakat karena dengan
perbedaan prevalensi yang kecil akan mengakibatkan perubahan nilai kecermatan
yang besar. Hal itu dapat dilihat pada contoh berikut.2

2.1 Uji tapis terhadap diabetes mellitus pada dua kelompok individu yang masing-
masing sebnyak 1000 orang. Prevalensi diabetes pada kelompok pertama adalah
1% dan pada kelompok kedua 2%. Kedua kelompok tersebut mempunyai
sensitifitas 99% dan 95%. Perhitungan nilai kecermatannya sebagi berikut.

Tabel 3.

Prevalensi

1% 2%

Jumlah individu 1000 1000


Sakit 10 20
Tidak sakit 990 980
Positif benar 9,9 19,8
Positif semu 49,5 49
Jumlah positif 59,4 69
Nilai kecermatan positif 10/59,4 20/69= 29%
= 17%

Pada hasil perhitungan diatas tampak bahwa kelompok dengan prevalensi


rendah mempunyai nilai kecermatan hanya 17% yang berarti bahwa dari 100
orang dengan hasil tes positif hanya 17 orang yang benar sakit atau 5 ari 6 orang
tidak sakit.

Kesimpulan:

11
a. Pada prevalensi penyakit yang rendah menghasilkan nilai kecermatan yang
rendah.
b. Perbedaan prevalensi yang kecil dapat mengakibatkan perubahan nilai
kecermatan.

2.2 Misalnya pada contoh di atas, kelompok pertama dilakukan terhadap 20 orang
penderita, sedangkan kelompok kedua dilakukan terhadap 200 orang bukan
penderita dengan hasil berikut.

Tabel 4.

Hasil tes Status penderita jumlah

Sakit Tidak sakit

Positif 18 20 38
Negative 2 180 182
Jumlah 20 200 220

Sensitifitas: 18/20 = 90%


Spesitivitas: 180/200 = 90%
Nilai kecermatan positif: 18/38 = 47%
Nilai kecermatan negative: 180/182 = 99%
False positif : 53%
False negative : 1%

Hasil:

1. Nilai perkiraan kecermatan tergantung pada rasio antara penerita dan bukan
penderita.
2. Sensitivitas dan spesitivitas tidak dipengaruhi oleh prevalensi penyakit.

Kesimpulan:

Sensitivitas dan spesitivitas banyak digunakan sebagai indeks statistic dalam analisis
data epidemiologi.

Positif Predicted Value adalah kemampuan dari suatu tes untuk mengidentifikasikan
orang-orang yang benar-benar sakit dari hasil tes skrining (+).

12
Negative Predicted Value adalah suatu kemampuan dari suatu tes untuk
mengidentifikikasi orang-otang yang benar-benar sehat/tidak bermasalah dari yang
hasil tes skringingnya negative.7

2. Reliabilitas
Bila tes yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan hasil yang konsisten,
dikatakan reliabel. Reliabilitas ini dipengaruhi oleh beberapa factor berikut:
1. Variabilitas alat yang dapat ditimbulkan oleh:
a. Stabilitas reagen dan
b. Stabilitas alat ukur yang digunakan.
Stabilitas reagen dan alat ukur sangat penting karena makin stabil reagen dan alat
ukur, maka kosistensi hasil pemeriksaan. Oleh karena itu, sebelum digunakan
hendaknya kedua hal tersebut ditera atau diuji ulang ketepatanya.
2. Variabilitas orang yang diperiksa. Kondisi fisik, psikis. Stadium penyakit atau
peyakit dalam masa tunas. Misalnya:
a. lelah
b. kurang tidur
c. marah
d. sedih
e. gembira
f. penyakit yang berat dan
g. penyakit dalam masa tunas
umumnya, variasi ini sulit diukur terutama factor psikis.
3. Variabilitas pemeriksa. Variasi pemeriksa dapat berupa:
a. Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil pemeriksaan yang
dilakukan berulang-ulang oleh orang yang sama
b. Variasi eksterna ialah variasi yang terjadi bila satu sediaan dilakukan
pemeriksaan oleh beberapa orang.
Upaya untuk mengurangi berbagai variasi di atas dapat dilakukan dengan
mengadakan:
- Standardisasi reagen dan alat ukur
- Latihan intensif pemeriksa
- Penentuan criteria yang jelas
- Penerangna kepada orang yang diperiksa
- Pemeriksaan dilakukan dengan cepat.6

e. Macam-macam skrining

13
a. Mass screening adalah screening secara masal pada masyarakat tertentu
b. Selective screening adalah screening secara selektif berdasarkan kriteria
tertentu, contoh pemeriksaan ca paru pada perokok; pemeriksaan ca servik
pada wanita yang sudah menikah
c. Single disease screening adalah screening yang dilakukan untuk satu jenis
penyakit
d. Multiphasic screening adalah screening yang dilakukan untuk lebih dari satu
jenis penyakit contoh pemeriksaan IMS; penyakit sesak nafas.7

Skrining tes yang digunakan untuk mendeteksi ca serviks

Screening untuk memeriksa perubahan-perubahan leher rahim sebelum adanya


gejala-gejala adalah sangat penting. Screening dapat membantu dokter mencari sel-sel
abnormal sebelum kanker berkembang. Mencari dan merawat sel-sel abnormal dapat
mencegah kebanyakan kanker serviks. Screening juga dapat membantu mendeteksi
kanker secara dini, sehingga perawatan akan menjadi lebih efektif.

Untuk beberapa dekade yang lalu, jumlah wanita-wanita yang didiagnosis


setiap tahun dengan kanker serviks sudah menurun. Dokter-dokter percaya bahwa ini
terutama disebabkan oleh sukses dari screening.

Cara paling mudah untuk mengetahuinya dengan melakukan pemeriksaan


sitologis leher rahim. Pemeriksaan ini saat ini populer dengan nama pap smear atau
Papanicolaou smear yang diambil dari nama dokter Yunani yang menemukan metode
ini yaitu George N. Papanicolaou.

1. IVA
IVA yaitu singkatan dari Inspeksi Visual dengan Asam asetat. Metode
pemeriksaan dengan mengoles serviks atau leher rahim dengan asam asetat.
Kemudian diamati apakah ada kelainan seperti area berwarna putih. Jika tidak ada
perubahan warna, maka dapat dianggap tidak ada infeksi pada serviks. Anda dapat
melakukan di Puskesmas dengan harga relatif murah. Ini dapat dilakukan hanya
untuk deteksi dini. Jika terlihat tanda yang mencurigakan, maka metode deteksi
lainnya yang lebih lanjut harus dilakukan. 2,4 Tingkat Keberhasilan metode IVA
dalam mendeteksi dini kanker servik yaitu 60-92%. Sensitivitas IVA bahkan lebih

14
tinggi dari pada Pap Smear. Dalam waktu 60 detik kalau ada kelainan di serviks
akan timbul plak putih yang bisa dicurigai sebagai lesi kanker.5
Klasifikasi IVA sesuai temuan klinis
- Hasil tes positif : plak putih atau epitel acetowhite biasanya dekat SCJ
- Hasil tes negative : permukaan polos dan halus, warna merah jambu,
ektropion, polip, servisitis, inflamasi, nabothian cysts.
- Kanker: massa mirip kembang kola atau bisul.
2. Pap smear
Metode tes Pap smear yang umum yaitu dokter menggunakan pengerik atau
sikat untuk mengambil sedikit sampel sel-sel serviks atau leher rahim. Kemudian
sel-sel tersebut akan dianalisa di laboratorium. Tes itu dapat menyingkapkan
apakah ada infeksi, radang, atau sel-sel abnormal. Menurut laporan sedunia,
dengan secara teratur melakukan tes Pap smear telah mengurangi jumlah kematian
akibat kanker serviks. Tingkat Keberhasilan Papsmear dalam mendeteksi dini
kanker rahim yaitu 65-95 %.5
3. Thin prep
Metode Thin prep lebih akurat dibanding Pap smear. Jika Pap smear hanya
mengambil sebagian dari sel-sel di serviks atau leher rahim, maka Thin prep akan
memeriksa seluruh bagian serviks atau leher rahim. Tentu hasilnya akan jauh lebih
akurat dan tepat.
4. Kolposkopi
Jika semua hasil tes pada metode sebelumnya menunjukkan adanya infeksi
atau kejanggalan, prosedur kolposkopi akan dilakukan dengan menggunakan alat
yang dilengkapi lensa pembesar untuk mengamati bagian yang terinfeksi.
Tujuannya untuk menentukan apakah ada lesi atau jaringan yang tidak normal
pada serviks atau leher rahim.5

Program IVA di Puskesmas


Untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya peningkatan kasus kanker serviks
pemerintah telah melakukan beberapa program untuk deteksi dini ca serviks melalui
puskesmas-puskesmas dimana program IVA ini termasuk salah satu program unggulan untuk
mendeteksi kanker serviks pada wanita.

Promosi Kesehatan

15
Dalam promosi kesehatan, tidak ada satu pun tujuan dan pendekatan atau serangkaian
kegiatan yang benar. Hal terpenting adalah bahwa kita harus mempertimbangkan tujuan dan
kegiatan yang kita miliki, sesuai dengan nilai-nilai dan penilaian kita terhadap kebutuhan
klien. Hal ini berarti bahwa nilai kita sebagai seorang promotor kesehatan dan kebutuhan
klien di sisi lain harus berada dalam suatu keadaan persepi agar tujuan dan kegiatan yang
dilakukan dapat berfungsi optimal.8

Menurut Ewles dan Simnett (1994), terdapat kerangka lima pendekatan yang
menunjukkan nilai-nilai yang dianut, meliputi: pendekatan medik, perubahan perilaku,
pendidikan, pendekatan berpusat pada klien, dan perubahan sosial.

1. Pendekatan medik

Tujuan pendekatan medik adalah membebaskan dari penyakit dan kecacatan


yang didefinisikan secara medik, seperti penyakit infeksi, kanker, dan penyakit
jantung. Pendekatan ini melibatkan intervensi kedokteran untuk mencegah dan
meringankan kesakitan, mungkin dengan menggunakan metode persuasif atau
paternalistik (misal memberi tahu orangtua agar membawa anak mereka untuk
imunisasi, wanita untuk memanfaatkan KB). Pendekatan ini memberikan arti penting
terhadap tindakan pencegahan medik, dan merupakan tanggung jawab profesi
kedokteran membuat kepastian bahwa pasien patuh pada prosedur yang dianjurkan.

2. Pendekatan perubahan perilaku

Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan


lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan
sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan
penahan. Pendekatan perubahan perilaku bertujuan mengubah sikap dan perilaku
individual masyarakat sehingga mereka mengadopsi gaya hidup sehat.

Orang-orang yang menggunakan pendekatan ini akan merasa yakin bahwa


gaya hidup sehat merupakan hal paling baik bagi klien, dan akan melihatnya sebagai
tanggung jawab mereka untuk mendorong sebanyak mungkin orang guna mengadopsi
gaya hidup sehat yang mereka anjurkan. Contoh pengunaan pendekatan perilaku
antara lain: mengajari orang bagaimana menghentikan merokok, pendidikan tentang
minum alkohol, mendorong orang melakukan kegiatan olahraga.

16
3. Pendekatan pendidikan

Bertujuan untuk memberikan informasi dan memastikan pengetahuan dan


pemahaman tentang perilaku kesehatan, dan membuat keputusan yang ditetapkan atas
dasar informasi yang ada. Misalnya program pendidikan kesehatan sekolah yang
menekankan upaya membantu murid mempelajari keterampilan hidup sehat, tidak
hanya memperoleh pengetahuan saja.

4. Pendekatan berpusat pada klien

Tujuan pendekatan adalah bekerja dengan klien agar dapat membantu mereka
mengidentifikasi apa yang ingin mereka ketahui dan lakukan, dan membuat keputusan
dan pilihan mereka sendiri sesuai kepentingan dan nilai mereka. Promotor berperan
sebagai fasilitator, membantu individu mengidentifikasi kepedulian-kepedulian
mereka dan memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan
supaya memungkinkan terjadi perubahan. Klien dihargai sebagai individu yang punya
keterampilan, kemampuan kontribusi.

5. Perubahan sosial

Tujuan pendekatan ini adalah melakukan perubahan-perubahan pada


lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi dalam upaya membuatnya lebih mendukung
untuk keadaan sehat. Pendekatan ini pada prinsipnya mengubah masyarakat, bukan
perilaku setiap individu. Orang-orang yang menerapkan pendekatan ini memberikan
nilai penting bagi hak demokrasi mereka mengubah masyarakat, memiliki komitmen
pada penempatan kesehatan dalam agenda politik di berbagai tingkat.8

Pencegahan Kanker Serviks

Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dilakukan kaum perempuan dalam
hal mencegah kanker serviks agar tidak menimpa dirinya, antara lain:

Jalani pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang cukup nutrisi dan
bergizi
Selalu menjaga kesehatan tubuh dan sanitasi lingkungan
Hindari pembersihan bagian genital dengan air yang kotor
Jika anda perokok, segera hentikan kebiasaan buruk ini
Hindari berhubungan intim saat usia dini

17
Selalu setia kepada pasangan anda, jangan berganta-ganti apalagi diikuti dengan
hubungan intim.
Lakukan pemeriksaan pap smear minimal lakukan selama 2 tahun sekali, khususnya
bagi yang telah aktif melakukan hubungan intim
Jika anda belum pernah melakukan hubungan intim, ada baiknya melakukan vaksinasi
HPV
Vaksinasi secara berulang dibutuhkan untuk merangsang tubuh membentuk antibodi
(kekebalan tubuh) yang kuat untuk melindungi tubuh dari serangan virus HPV yang akan
masuk. Antibodi akan menangkap virus yang akan masuk ke dalam tubuh sehingga tubuh
terhindar dari infeksi HPV. Idealnya vaksinasi diberikan sebelum adanya bahaya infeksi HPV.
Vaksinasi ini paling efektif apabila diberikan pada perempuan berusia 9 sampai 26 tahun
yang belum aktif secara seksual. Namun bukan berarti wanita yang sudah menikah atau
berhubungan seksual tidak boleh mendapatkannya. Hanya saja angka proteksinya tidak
setinggi pada golongan sebelumnya.

Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu (bulan ke 0,1,dan 6). Dengan
vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga 75%.8

Kesimpulan
Dari bebrapa artikel dan hasil penelitian penelitian yang pernah dilakukan Ca
Cervix memang merupakan salah satu momok bagi kaum wanita karena merupakan
penyakit kanker kedua paling banyak diderita oleh para wanita. Sedangkan di Negara-
negara berkembang tingkat kematiannya menyumbang angka 55,5 % dari jumlah total
kematian tingkat dunia. Hal ini banyak disebakan diantaranya masih rendahnya
tingkat pengetahuan ibu resiko tinggi tentang Ca cervix, khususnya mengenai factor
resiko Ca cervix dan kemungkinan pencegahan yang bias dilakukan. Untuk itu perlu
digalakkan sosialisasi hal-hal yang berkaitan dengan Ca cervix secara umum kepada
masyarakat dan khususnya kepada wanita rentang usia 2-30 tahun, karena
menunjukkan bahwa kanker serviks terjadi pada usia 31-60 tahun.

Daftar Pustaka

18
1. Mardjikoen P. tumor ganas alat genitalia. In: wiknjosastro h, saifuddin AB,
Rachimhadhi T, editor. Ilmu kandungan 2nd ed. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo 2007.p.381-3.
2. Suwiyoga IK. Tes Human Papillomavirus sebagai skrining alternative kanker serviks.
CDK 2006; 151: hal 29-33.
3. Rasjidi I. Manual prakanker serviks. 1sd ed. Jakarta: sagung seto; 2008
4. Anonym. Kanker leher rahim.2008 (cited 2015 juli 4). Available form URL:
http://medicastore.com/penyakit/1046/kanker_leher_rahim_kanker_serviks.html
5. Sarwono Prawirohardjo. Kanker Serviks.In: M. Farid Azis, Andri Jono, Abdul Bari
Saifuddin, editors. Buku acuan nasional onkologi ginekologi. Edisiketiga. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011
6. Pengantar epidemiologi / penulis, Eko Budiarto, dewi anggraeni. ed.3. Jakarta :
EGC,2007. Hal 85-99.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penanggulangan kanker serviks dengna
vaksin HPV. Jakarta : DEPKES RI; 2005.
8. Maulana HDJ. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC; 2009. h. 43-6

19

Anda mungkin juga menyukai