Anda di halaman 1dari 5

REVIEW JURNAL: SEBUAH EKOLOGI BUDAYA

NEW PUBLIC MANAGEMENT DI INDONESIA

Kegagalan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi, melindungi kualitas


lingkungan, dan mengurangi kemiskinan menyebabkan pemerintah mencari solusi
inovatif di luar sektor publik, dan NPM telah antusias di banyak negara. Prospek
bahwa NPM akan menjadi paradigma baru dalam administrasi publik, menjadi
semakin diragukan karena dalam prakteknya kinerja terlihat kuirang memuaskan.
Seorang kritikus berargumen bahwa inisiatif reformasi dipandu oleh NPM telah
merusak nilai-nilai fundamental lainnya dalam mengatur urusan publik, seperti
keadilan, keadilan, representasi, dan partisipasi dalam nama meningkatkan efisiensi.
New public management (NPM) telah digambarkan sebagai sarana dimana
pelayanan publik sedang berubah dari struktur birokrasi tradisional ke bentuk
kewirausahaan, (Hughes, 1998). Namun, di negara-negara berkembang tidak terlihat
secara signifikan. Memang, ada bukti obyektif sedikit keberhasilan dalam reformasi
sektor publik di negara-negara berkembang. Hal ini juga mungkin menyebabkan hasil
sosial yang tidak adil (Bale dan Dale, 1998; Batley, 1999; Kiggundu, 1998; Manning,
2001).
Dalam kasus Indonesia, politisasi pegawai negeri belum berakhir dan sistem
administrasi masih rentan terhadap pemerintahan militer vested kepentingan politik
yang tidak kondusif bagi terciptanya administrasi publik berdasarkan prinsip-prinsip
NPM. Indonesia merupakan skenario kasus yang menarik karena terdiri dari 150
kelompok etnis, masing-masing memiliki budaya dan bahasa mereka sendiri yang
spesifik (Koentjaraningrat, 1993). penduduk Jawa (40,6%) adalah penduduk yang
terbesar dan paling dominan (CIA, 2007). Meskipun ada banyak budaya lain di
Indonesia, pengaruh sikap berakar pada praktek-praktek tradisional Jawa terutama
pada sikap kerja di sektor publik (Hess, 2001). Ini berarti bahwa orang-orang yang
tidak berasal dari jawa dituntut untuk berprilaku seperti orang Jawa. Ruang lingkup
administrasi publik berkembang jauh di bawah rezim Soeharto sebagai sektor publik
menjadi agen utama untuk melaksanakan kegiatan pembangunan. Meskipun rezim
dikenal secara luas untuk kontrol yang berlebihan, tidak fleksibel, patronase, dan
korupsi, misi resminya sebagian besar digambarkan sebagai perkembangan, terutama
dalam hal yang meningkatkan keterlibatan sektor publik dalam rencana pembangunan
ekonomi dan program-program sosial.
Transisi yang dialami Indonesia terhadap era orde baru (orde baru) juga
menimbulkan norma-norma budaya baru. Misalnya, ada penekanan yang berkembang
di sektor publik Indonesia pada pengalihan pelayanan kepada sektor swasta dengan
program yang disebut LAYANAN PRIMA (Service Excellence) untuk meningkatkan
pelayanan sektor publik dan desentralisasi anggaran untuk unit operasional. Dalam
hal ini terlihat bahwa keberhasilan pelaksanaan NPM membutuhkan adanya norma-
norma sosial dan budaya yang melengkapi dan memperkuat lembaga-lembaga
pemerintahan umum. Mengingat dinamika Indonesia dalam perbedaan lintas-nasional
dipahami dengan mempertimbangkan budaya nasional Indonesia dan bahwa proses
manajemen tidak dapat dikirangi dari konteks budayanya.
Pendekatan teori budaya dipandang bermanfaat sebagai framing pendekatan
untuk berpikir kreatif tentang bentuk yang tersedia dari organisasi dalam
mengeksplorasi berbagai apa ide yang mengelilingi pelayanan publik dan pemerintah
(Hood, 1998), Hood juga mengatakan beberapa hal, yaitu: teori budaya membantu
kita untuk memahami jawaban atas pertanyaan 'siapa yang harus mengelola siapa dan
bagaimana' dalam pemerintahan teori budaya dapat memberikan dasar untuk
menganalisis berbagai cara yang mengontrol pekerjaan dalam organisasi pelayanan
publik. Dan dapat membantu kita untuk mengeksplorasi berbagai retorika - cerita
persuasif dan analogi terkait dengan 'resep yang berlaku untuk manajemen publik,
dengan mengidentifikasi macam cerita dan metafora setiap organisasi pandangan
dunia. (P. 223).
Konsep budaya termasuk nilai-nilai, keyakinan, dan asumsi yang membedakan satu
kelompok dari yang lain (Hofstede, 1980; Schein, 1992). Beberapa studi telah
berusaha untuk menghubungkan antara budaya nasional dengan praktek manajemen.
Haire et al. (1963) merintis penelitian di bidang kebudayaan nasional, sedangkan
ulama lainnya mengusulkan kerangka budaya nasional (Hall, 1976; Kluckhohn dan
Strodtbeck, 1961; Ronen dan Shenkar, 1985; Triandis, 1994; Trompenaars, 1993).
(1980) karya mani Hofstede pada budaya nasional mencatat beberapa dimensi budaya
nasional berbeda: individualisme vs kolektivisme, jarak kekuasaan, penghindaran
ketidakpastian, maskulinitas terhadap feminitas, dan orientasi waktu. Hofstede (2007)
menyatakan bahwa dimensi ini mencerminkan masalah dasar yang setiap masyarakat
harus mengatasi tapi solusi berbeda.
Jarak kekuasaan, yaitu sejauh mana anggota organisasi dan lembaga
menerima dan berharap bahwa kekuasaan didistribusikan secara tidak merata. negara
PD tinggi lebih mungkin untuk memiliki karyawan yang mematuhi perintah dari
atasan mereka tanpa pertanyaan. lembaga publik Indonesia sering dicirikan sebagai
sangat terpusat, kontrol berorientasi sektor publik yang bertanggung jawab kepada
atasan (Haque, M.S, 2007). praktik tata kelola yang buruk di tingkat yang lebih
rendah adalah konsekuensi dari praktek-praktek yang buruk di tingkat yang lebih
tinggi. Selain itu, organisasi yang tinggi di PD memiliki partisipasi karyawan kurang
dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya, Denison dan Mishra (1995) menemukan
bahwa rendah PD antara organisasi-organisasi di Amerika Serikat dikaitkan dengan
keterlibatan yang lebih besar karyawan, efisiensi ditingkatkan, dan pertumbuhan yang
lebih cepat. Demikian pula, Jaeger (1986) menegaskan bahwa teambuilding dan
pengambilan keputusan partisipatif tidak efektif di negara-negara PD tinggi dan
budaya karena karyawan dari level yang berbeda tidak nyaman berinteraksi tatap
muka dalam kelompok karena struktur hirarkis top-down. Ini bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar NPM - yang adalah untuk mendorong pengambilan keputusan
kemitraan, jaringan, dan pertukaran antara para pemangku kepentingan (Ferlie dan
Steane, 2002; Jorgensen, 1999). Kluckhohn dan Strodtbeck ini (1961) orientasi
relasional terkait dengan Hofstede (1983) PD membangun di mana masyarakat
menekankan terpusat pengambilan keputusan oleh birokrat peringkat teratas dan kuat.
Dalam pengaturan ini keputusan yang dibuat oleh kelompok-kelompok tersebut tidak
dibuat atas dasar merit dan karena itu rentan terhadap paternalisme, pilih kasih, dan
nepotisme. Dalam masyarakat yang ditandai dengan PD tinggi, aplikasi tidak etis
seperti kekuasaan tidak mungkin menantang karena seorang Distribusi kekuasaan
enggan bawahan dari mempertanyakan otoritas (Park, 2003).
Sering liputan media Indonesia reveales skandal yang melibatkan orang dalam
otoritas, dan setiap skandal tersebut lebih mungkin untuk disembunyikan oleh
bawahan setia yang merasa bahwa mereka harus mematuhi kepentingan unggul
dalam menghadapi dilema etika. Orang-orang dari budaya PD tinggi lebih mungkin
untuk mengakomodasi transaksi bisnis dipertanyakan daripada orang-orang dari
budaya PD rendah (Husted, 1999). Dalam hal ini, perlindungan saksi tradisional
berfokus pada keselamatan saksi; Namun, pengalaman menunjukkan bahwa pejabat
publik tidak akan bersedia atau tersedia kecuali mereka memiliki keyakinan bahwa
sistem yang akan melindungi hak-hak mereka serta keselamatan mereka. pejabat
publik di negara-negara PD tinggi seperti Indonesia lebih cenderung menggunakan
dan menerima suap dan nikmat daripada di negara-negara PD rendah. Memang,
dalam masyarakat PD tinggi, bantuan non-moneter mungkin diberikan untuk
mengakui status superior, tanpa uang yang terlibat (Pippidi, 2003). Sebaliknya, dalam
budaya PD bawahan rendah dan atasan menganggap satu sama lain untuk menjadi
eksistensial sama, dan sistem hirarkis dipandang hanya sebagai ketimpangan peran
didirikan untuk kenyamanan.
Di negara-negara barat, bawahan berharap untuk dikonsultasikan dan tidak
menolak untuk memegang atasan mereka bertanggung jawab melalui interaksi sosial
dan sarana informal lainnya. Dalam masyarakat seperti itu, organisasi yang cukup
terdesentralisasi dan dicirikan oleh sistem hirarkis cukup datar (Hofstede dan
Hofstede,2005). reformasi NPM gaya lebih mungkin untuk memiliki keberhasilan
dalam seperti rendah budaya PD. Atas dasar uraian di atas, diusulkan bahwa sebuah
negara dengan PD yang lebih tinggi kurang mungkin untuk melaksanakan NPM
berhasil.
KESIMPULAN
Sejak era reformasi pada tahun 1998 telah didirikan, NPM hanya berdampak
dangkal pada layanan publik Indonesia. Sementara pelaku politik Indonesia
mempertahankan bahwa negara ini mengikuti prinsip-prinsip demokrasi dan transisi
menuju modernisasi, hubungan antara demokrasi dan modernisasi juga menekankan
pentingnya pembaharuan politik dan budaya, Indonesia masih mencerminkan budaya
tradisional jenis birokrasi. Konteks Indonesia, seperti dijelaskan di atas, menyajikan
masalah bagi reformasi NPM yang tidak bisa diabaikan. Bahkan sebagai reformasi
sektor publik menjadi lebih dibedakan nantinya dan berbagai reformasi tata kelola
(selain NPM) akan muncul (Bovaird dan Loffler, 2003). Wawasan empiris ke NPM
mencoba menunjukkan bahwa kemampuan Indonesia untuk masuk ke dalam
kerangka ini adalah problematis. Namun, Indonesia masih bisa belajar dari model
administrasi barat, secara kritis meneliti potensi manfaat dan hasil yang merugikan
mereka, dan selektif hanya menggunakan komponen-komponen dari model tersebut
yang relevan dengan konteks sosial sendiri dan kebutuhan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai