Dengan ini penulis aturkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
bimbingan-Nya sehingga dapat terselesaikannya referat kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit
Dalam RSU Bethesda Lempuyangwangi mengenai Asma Bronkial dan Penatalaksanaanya.
Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Dalam RSU Bethesda Lempuyangwangi. Penulis juga turut mengucapkan terima
kasih kepada dr. Lisa Kurnia Sari, M.Sc., SpPD yang telah banyak membantu dan
membimbing dalam proses penyusunan referat ini.
Referat mengenai Asma Bronkial dan Penatalaksanaanya, Referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
sekalian. Semoga dengan kritik dan saran yang membangun, selanjutnya dapat tersusun
referat yang lebih baik.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyusunan referat ini. Terima kasih.
Penulis
1
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ............................................................................................. 1
Daftar Isi ......................................................................................................... 2
BAB I: Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 3
2.9 Komplikasi............................................................................................ 26
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.1 Latar Belakang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epidemiologi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur
pasien, status atopi, faktor keturunan dan faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak
3
ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan masa menopause perempuan lebih
banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi adapula
yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Di Indonesia prevalensi asma
berkisar antara 5-7%.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini
akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies inChildhood (ISAAC)
pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma
meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%
2.2. Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori sudah
diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan parasimpatis
(hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan
hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya asma dibedakan menjadi dua yaitu faktor
yang menyebabkan terjadinya asma dan faktor yang memicu munculnya gejala asma. Yang
menyebabkan terjadinya asma termasuk di dalam faktor dari host (faktor primer yaitu
genetic) dan faktor yang memicu terjadinya gejala asma biasanya adalah faktor lingkungan
Obesitas
Asma lebih sering terjadi pada individu dengan obesitas ( BMI >30 kg / m2) dan pada
individu dengan obesitas lebih sulit dikontrol. Asma pada pasien dengan obesitas
memiliki fungsi paru yang lebih rendah dan morbiditas biasanya lebih meningkat pada
pasien dengan obesitas daripada pasien asma dengan berat badan normal. penggunaan
glukokortikosteroid sistemik dan gaya hidup yang kurang aktivitas dapat
mengakibatkan obesitas pada pasien asma berat, tapi lebih banyak obesitas
menyebabkan terjadinya asma. Bagaimana obesitas menyebabkan terjadinya asma
masih belum jelas, tetapi hal ini terjadi mungkin karena kombinasi dari beberapa
faktor. Telah diteliti bahwa obesitas dapat mempengaruhi fungsi dari jalan napas dan
efeknya mempengaruhi mekanisme dari paru itu sendiri, berkembangnya pro-
inflammatory state, ditambah dengan genetik, dan pengaruh dari hormon atau
nerogenik. Sehingga pada pasien obesitas terjadi penurunan volume ekspirasi,
perubahan pola pernapasan ini dapat menyebabkan perubahan dari elastisitas dan
fungsi dari otot polos saluran pernapasan. Dilepaskannya sitokin dan mediator
inflamasi melalui adiposit seperti interleukin-6, (TNF)- , eotaxin, dan leptin,
kombinasi dengan adipokines anti inflamasi level rendah pada individu obesitas dapat
menyebabkan status inflamasi walaupun masih tidak diketahui bagaimana mekanisme
sehingga mempengaruhi saluran napas.
Faktor Lingkungan
Allergen
Baik alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang, seperti anjing, kucing, dan lain-lain) dan luar rumah (serbuk sari, spora jamur)
dapat menyebabkan eksaserbasi asma, namun peranan khususnya dalam perkembangan
asma masih belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Infeksi
5
Ketika dalam kandungan, beberapa virus dihubungkan dengan permulaan fenotip
asmatik. Respiratory syncytial virus (RSV) dan parainfluenza virus memproduksi pola
gejala termasuk bronkiolitis yang berhubungan dengan asma pada masa kanak-kanak.
Beberapa studi prospektif pada anak dengan RSV menunjukkan bahwa 40 % akan
berlanjut menjadi wheezing atau memiliki asma pada masa anak-anak nantinya. Namun
pada penelitian lainnya mengatakan beberapa infeksi saluran pernapasan di kehidupan
sebelumnya, termasuk campak dan RSV, mungkin dapat melindungi diri dari
perkembangan terjadinya asma. Data yang ada tidak memberikan konklusi yang jelas.
Infeksi parasit tidak melindungi dari asma pada umumnya, tetapi infeksi dari cacing
tambang dapat mengurangi risiko asma pada kehidupan selanjutnya.(Iris R,2008)
Asap Rokok.
Asap rokok dihubungkan dengan peningkatan penurunan fungsi paru pada individu
dengan asma, meningkatkan derajat keparahan asma, kurang responsif terhadap
pengobatan inhalasi dan glukokortikoid sistemik dan mengurangi terkontrolnya gejala
asma. Terpapar dengan asap rokok baik prenatal maupun setelah melahirkan meningkatkan
perkembangan terjadinya asma pada usia dini. Namun bukti dapat meningkatkan penyakit
alergi masih belum jelas. Beberapa studi menjelaskan bahwa ibu yang merokok pada saat
kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan paru. Bayi dengan ibu perokok memiliki
faktor risiko 4 kali lebih besar untuk berkembang memiliki penyakit dengan gejala
wheezing pada tahun pertama kehidupan. Terpapar dengan asap rokok (perokok pasif)
meningkatkan risiko penyakit saluran pernapasan pada bayi dan usia dini.(Anthony et
al,2008)
Polusi udara dari dalam dan luar ruangan
6
Makanan.
Bayi dengan susu formula dari susu sapi atau protein kedelai memiliki insiden lebih tinggi
terkena penyakit dengan wheezing daripada bayi dengan ASI. Peningkatan konsumsi
makanan pengawet dan mengurangi anti oksidan ( dalam bentuk buah dan sayur),
meningkatkan n-6 polyunsaturated asam lemak ( margarine dan minyak sayur), dan
mengurangi asam lemak n-3 polyunsaturated (minyak ikan) memeliki kontribusi
meningkatnya penyakit atopi dan asma.
Exercise-Induced Asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas atau olahraga tertentu.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani
atau olahraga yang berat. Lari cepat paing mudah menimbulkan serangan asma. Seangan
asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. (Iris,2008)
Perubahan Cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan
kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, kemarau, bunga
(serbuk sari berterbangan).
Diagnosis ditentukan dari anamnesis, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada riwayat penyakit akan ditemukan batuk, sesak, mengi atau rasa berat di
dada. Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang
waktu.
Anamnesis. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.
Pemeriksaan Fisik :
Ekspirasi memanjang
Mengi
Hiperinflasi dada
Terkadang dapat ditemukan pernafasan cepat sampai sianosis.
Gelisah
7
sukar bicara
takikardi
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang asma dapat berupa Spirometri, Uji provoksi bronkus, Pemeriksaan
sputum, Uji kulit, pemeriksaan eosinofil total, pemeriksaan kadar IgE total dan spesifik
dalam sputum, Foto dada, Analisis Gas darah.
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episode batuk, mengi dan sesak nafas. Pada
awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik
mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada
perkembangan lanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih atau
purulen. Ada pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengu dinamakan cough
variant asthma.
Pada asma alergik, sering berhubungan dengan pemajanan alergen dengan gejala asma tidak
jelas. Pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik
seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran nafas atau perubahan cuaca.
Pada asma akibat pekerjaan, gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik
menjelang akhir minggu. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan
bahan tersangka yang ada dilingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegkkan
diagnosis.
Patofisiologi 2, 6,7,8
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan
iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu
jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE,
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
8
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi
IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstitial paru, yang berhubungan erat
dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase
sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi
mengeluarkan berbagai mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema
lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi
alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan
alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast
terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi
terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-
kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan
antigen presenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma. (Iris,2008)
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan rekasi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan rekasi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut,
dan SO2. Pada keadaaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,
besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan
untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik
9
2.6 KLASIFIKASI ASMA
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran
udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan
penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
II. Persisten
Ringan Mingguan APE > 80%
* Gejala > 1x/minggu, * > 2 kali sebulan * VEP1 80% nilai prediksi
tetapi < 1x/ hari APE 80% nilai terbaik
* Serangan dapat * Variabiliti APE 20-30%
mengganggu aktiviti
dan tidur
III. Persisten
Sedang Harian APE 60 80%
* Gejala setiap hari * > 1x / seminggu * VEP1 60-80% nilai prediksi
* Serangan mengganggu APE 60-80% nilai terbaik
aktiviti dan tidur * Variabiliti APE > 30%
*Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten
Berat Kontinyu APE 60%
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1 60% nilai prediksi
* Sering kambuh APE 60% nilai terbaik
* Aktiviti fisik terbatas * Variabiliti APE > 30%
11
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia Frekuensi nadi normal per menit
2-12 bulan < 160
1-2 tahun < 120
6-8 tahun < 110
Pulsus Tidak ada Mungkin ada Sering ada Tidak ada, tanda
paradoksus kelelahan otot
( <10mmHg) ( 10-25mg) ( >25mmHg) respiratorik
Dewasa
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Emfisema Paru
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya
Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yangmengeluarkan sputum 3 bulan
dalam setahun untuk sedikitnya 2tahun. Gejala utama batuk yang disertai sputum dan
perokok berat.Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengidan
menurunkan kemampuan jasmani
Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif dulu dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada
mala hari dinamakan paroxysmal nocturnal dypsnoe. Pasien tiba-tiba terbangun pada
malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang bila pasien duduk.
Batuk kronik akibat lain-lain
Disfungsi larings
Emboli Paru
Gejalanya adalah berupa sesak nafas, pasien batuk-batuk yang disertai darah, myeri
pleura, keringat dingin, kejang dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
takikardi, ortopnea, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis.
12
Anak
Benda asing di saluran napas
Laringotrakeomalasia
Pembesaran kelenjar limfe
Tumor
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di
samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh
karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai
13
terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik
penderita yang bersangkutan.
Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).
Contoh :
Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan APE
pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari nilai terbaik
(% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan
mungkin dilakukan untuk menilai variabiliti.
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus
puncak ekspirasi (APE)
Foto Dada
Analisis Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk asma berat. Pada fase awal serangan, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia ( PaCO2 < 35mmHg) kemudian pada stadium yang lebih
berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma
15
yang sangat berat terjadi hiperkapnia ( PaCO2>45mmHg), Hipoksemia, asidosis
respiratorik.
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :
1. Gejala minimal , termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator minimal
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
8. Tanpa eksaserbasi
Tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan asma terkontrol.
Berdasarkan keadaan terkontrol asma dibagi menjadi:
1) Asma terkontrol
1,3
Tabel 2.3 Level asma terkontrol yaitu :
16
Gejala nokturnal/ Tidak ada Ada 3 atau lebih keadaan
terkontrol parsial
terbangun karena asma pada tiap-tiap
Kebutuhan pelega Tidak ada >2x/minggu minggu
(<2x/minggu)
Pelaksanaan KIE tentang asma dan faktor risikonya dapat dilakukan melalui berbagai media
penyuluhan, seperti penyuluhan tatap muka, radio, televisi dan media elektronik lainnya,
poster, leaflet, pamflet, surat kabar, majalah dan media cetak lainnya.
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap
hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol: 3,7,8
1. Glukokortikosteroid Inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan
asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman
pada dosis yang direkomendasikan.
18
Tabel 2.4 Dosis glukokortikosteroid inhalasi 3
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,
disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan,
terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung kepada
dosis dan potensi obat yang berkaitan dengan biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di
hati (first-pass metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus,
sehingga masing-masing obat steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan
efek sistemik. Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai efek
sistemik yang rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan triamsinolon.
2. Glukokortikosteroid Sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol
pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko
efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka
panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif
menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa
harus diberikan misalnya pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal
belum terkontrol , maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu terjadi
19
juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan
apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid
inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di bawah ini untuk
mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi
steroid oral :
prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek mineralokortikoid
minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal
bentuk oral, bukan parenteral
3. Sodium kromoglikat
merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast
melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi
sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain kemungkinan menghambat
saluran kalsium pada sel target. Terdiri dari cromolyn dan cromones. MDI 2mg atau 5mg,
inhalasi 3-4kali perhari. Nebulizer 20mg digunakan 3-4kali perhari. Digunakan sebagai
pengontrol pada asma persisten ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium
kromoglikat dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas
walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu
pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek samping
umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi .
4. Metilsantin
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( 10 mg/kgBB/ hari atau lebih); hal itu
dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor ketat. Gejala
gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek
kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan kadangkala merangsang pusat napas.
Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian. Di Indonesia, sering
digunakan kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan agonis beta-2 kerja singkat sebagai
bronkodilator; maka diingatkan sebaiknya tidak memberikan teofilin/aminofilin baik tunggal
ataupun dalam kombinasi sebagai pelega/bronkodilator bila penderita dalam terapi teofilin/
aminofilin lepas lambat sebagai pengontrol. Dianjurkan memonitor kadar teofilin/aminofilin
serum penderita dalam pengobatan jangka panjang. Umumnya efek toksik serius tidak terjadi
bila kadar dalam serum < 15 ug/ml, walau terdapat variasi individual tetapi umumnya dalam
pengobatan jangka panjang kadar teoflin serum 5-15 ug/ml (28-85uM) adalah efektif dan
tidak menimbulkan efek samping.. Perhatikan berbagai keadaan yang dapat mengubah
metabolisme teofilin antara lain. demam, hamil, penyakit hati, gagal jantung, merokok yang
menyebabkan perubahan dosis pemberian teofilin/aminofilin. Selain itu perlu diketahui
seringnya interaksi dengan obat lain yang mempengaruhi dosis pemberian obat lain tersebut
misalnya simetidin, kuinolon dan makrolid.
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme
kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin
(contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target
(contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida
dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai
studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan kebutuhan
dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat, mengontrol
asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan glukokortikosteroid
inhalasi . Diketahui sebagai terapi tambahan tersebut, leukotriene modifiers tidak seefektif
agonis beta-2 kerja lama . Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral)
sehingga mudah diberikan. Penderita dengan aspirin induced asthma menunjukkan respons
yang baik dengan pengobatan leukotriene modifiers. Saat ini yang beredar
di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil). Efek samping jarang
ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi hati
dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di
dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas. Termasuk contoh obat pelega adalah :
Agonis beta2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah
beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral,
pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada.
Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,
meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi
penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan
sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma . Penggunaan agonis
beta-2 kerja singkat direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan
yang meningkat atau bahkan setiap hari adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan
22
perlunya terapi antiinflamasi. Demikian pula, gagal melegakan jalan napas segera atau
respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja singkat saat serangan asma adalah
petanda dibutuhkannya glukokortikosteroid oral..Efek sampingnya adalah rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih
sedikit menimbulkan efek samping daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali
pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan terapi inhalasi.
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
BAB III
KESIMPULAN
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya asma dibedakan menjadi dua yaitu
faktor yang menyebabkan terjadinya asma dan faktor yang memicu munculnya gejala
asma. Yang menyebabkan terjadinya asma termasuk di dalam faktor dari host (faktor
primer yaitu genetic) dan faktor yang memicu terjadinya gejala asma biasanya adalah
24
faktor lingkungan. Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan
pola keterbatasan aliran udara.
Daftar Pustaka
1. Global strategy for asthma management and prevention. National Institutes of Health,
2007.
2. Price, Silvia A & Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta: EGC
3. GINA (Global Initiative for Asthma); Global Strategy for Asthma Management
and Prevention.2011
4. National Heart, Lung, and Blood Institute. Guideline for the Diagnosis and Management of
Asthma. 2007
5. Anthony S. Fauci.Asthma.Principles of Internal Medicine.Harrisons ed 17. 2008
6. Bambang S.R & Barmawi Hisyam.Obstruksi Saluran Napas Akut. Buku Ajar Ilmu
25
8. Heru S, Sukamto. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI.
Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. FK-UI. Jakarta; 2009. Hal.404-414.
26