Anda di halaman 1dari 14

Menakar Nawa Cita Jokowi-JK dalam Terang Ajaran Sosial Gereja

Oleh: Bonifasius Falakhi (PMKRI 2013)

Pendahuluan

Pada saat maju dalam pemilihan presiden dan wapres yang lalu, pasangan capres Jokowi-
JK mengusung visi misi yang kurang lebih adalah konsep Trisakti Soekarno. Dengan visi
misi itu, pasangan Jokowi-JK berhasil meyakinkan rakyat Indonesia untuk memilih mereka
sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia 2014-2019. Dalam visi misi itu,
terdapat sembilan program nyata yang dinamakan Nawa Cita. Itulah janji - ditandai
dengan kata akan di setiap poin yang ditawarkan. Sosialisasi visi dan misi pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden selama masa kampanye dimaksudkan untuk
menunjukkan kepada rakyat apa yang hendak dilakukan oleh sepasang calon kalau mereka
diberi kekuasaan dan mandat sebagai presiden dan wakil presiden. Melalui program nyata
tersebut, rakyat Indonesia berharap martabatnya lebih dimuliakan dan lebih sejahtera
daripada selumnya. Kini, Jokowi-JK telah secara resmi menjabat sebagai Presiden dan
Wakil Presiden RI. Dengan demikian mereka mendapatkan legitimasi untuk menjalankan
roda pemerintahan yang diharapkan sesuai/sejalan dengan apa yang mereka janjikan.
Kita sebagai warga masyarakat khusunya sebagai organisasi yang berusaha di lapangan
kemasyarakatan/kenegaraan - tidak cukup hanya berharap Jokowi-JK dapat memenuhi
janjinya. Lebih dari itu, kita diharapkan untuk bisa mengawal, mengawasi, mengkritisi, dan
mengingatkan pelaksanaan dari Nawa Cita tersebut. Untuk dapat bersikap dengan tepat,
tentunya kita mesti mengetahui secara mendalam substansi dari Nawa Cita itu sendiri.
Sehingga dengan demikian legitimasi kekuasaan Jokowi-JK semakin dikuatkan untuk
dipergunakan demi kepentingan umum dan kesejahteraan sosial.

Ajaran Sosial Gereja sebagai Pisau Kritik


Sebagai anggotaPMKRI yang berjuang untuk Gereja dan Tanah Air, arah dan dasar
spiritualitas dan perjuangan kita adalah Ajaran Sosial Gereja (ASG). ASG merupakan
dokumen Gereja hasil konsili (rapat para Uskup) atau pemikiran Paus (ensiklik) sebagai
wujud komitmen Gereja atas permasalahan sosial umat manusia. ASG menurut Sollicitudo
Rei Socialis (ensiklik tentang Keprihatinan Sosial bagi perayaan tahun ke-20 Populorum
progressio) merupakan seperangkat:
o Asas untuk refleksi;
o Tolok ukur untuk penilain;
o Petunjuk pelaksanaan untuk bertindak yang bertujuan untuk memajukan sebuah
humanisme

Sebagai pejuang Gereja hendaknya menyadari bahwa keterlibatan kita dalam perjuangan
sosial mau tidak mau adalah keterlibatan praksis, tidak cukup dengan hanya beretorika
(dalam Mater et Magistra disebutkan bahwa orang-orang Katolik harus mendapat
pendidikan dan menjadi dewasa dalam Ajara Sosial Gereja baik dalam tingkah laku sosial
maupun ekonomi). Keterlibatan secara praksis tersebut harus selalu berpatokan pada
nilai-nilai yang merupakan sendi utama ASG yaitu:

1. Hak dan Kewajiban Asasi Manusia. Hak tersebut adalah hak untuk hidup, hak atas
nilai-nilai moral dan budaya, hak untuk beragama/berkepercayaan, hak-hak ekonomis,
hak berorganisasi dan berserikat, hak imigrasi dan emigrasi, hak-hak politik;
2. Kepentingan/kesejahteraan/kemaslahatan umum, yakni kondisi kehidupan sosial
yang memungkinkan setiap orang atau kelompok mencapai kesempurnaan secara
optimal dan relatif mudah;
3. Preferential option for the poor, yakni sikap pengutamaan dan solider terhadap
kaum miskin;
4. Keadilan sosial merupakan inti dari ASG yakni keadilan yang pelaksanaannya
tergantung dari struktur proses-proses ekonomis, politis, sosial, budaya, dan ideologis
dalam masyarakat.1
Berikut sepuluh dokumen utama yang memuat ASG Gereja Katolik yang secara eksklusif
membahas keadilan dan perdamaian:2
1. Kondis Kerja - Rerum Novarum (Ensiklik Paus Leo XIII, tahun 1891);

1
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 332.
2
Michael J. Schultheis SJ dan Ed P. DeBerri SJ, Pokok Pokok Ajaran Sosial Gereja, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1987, hal. 37.
2. Pembangunan Kembali Tatanan Sosial Quadragesimo Anno (Ensiklik Paus Pius XI,
tahun 1931);
3. Orang Kristiani dan Kemajuan Sosial Mater et Magistra (Ensiklik Paus Yohanes
XXIII, tahun 1961);
4. Perdamaian di Dunia Pacem in Terris (Ensiklik Paus Yohannes XXIII, tahun 1963);
5. Konstitus Pastoral Gereja di Dunia Modern Gaudium et Spes (Konsili Vatikan II,
tahun 1965);
6. Perkembangan Bangsa-Bangsa Populorum Progressio (Ensiklik Paus Paulus VI,
tahun 1967);
7. Panggilan untuk Bertindak Octogesima Adveniens (Surat Apostolik Paus Paulus VI,
tahun 1971);
8. Keadilan di Dunia (Pernyataan Sinode Para Uskup, tahun 1971);
9. Pewartaan Injil di dalam Dunia Modern Evangelii Nuntiandi (Surat Apostolik Paus
Paulus VI, tahun 1971);
10. Makna Kerja Manusia Laborem Exercens (Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, 1981).

Berikut ini, cakupan pembahasan hanya untuk poin 1 dan 2 dari Nawa Cita. Hal itu
disebabkan lingkup Nawa Cita yang sangat luas mencakup hampir semua sektor. Selain itu
juga menyesuaikan dengan kebutuhan untuk diskusi internal PMKRI Cabang Bandung yang
memang bermaksud mengkaji Nawa Cita secara parsial.
Mengingat luasnya cakupan Nawa Cita tersebut, maka lebih tepat apabila didalami dengan
pendekatan multi/interdidipliner. Artinya, dapat dikaji dari berbagai disiplin/bidang ilmu.
Pembahasan cita pertama dan kedua berikut lebih menekankan pada aspek rasionalitas
yang memang terkesan abstrak dengan berpatokan pada ASG.

Makna

1. Pertama-tama harus dilihat sebagai jawaban konkrit atas salah satu problema dasar
yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini yakni adanya ancaman nyata terhadap
kewibawaan negara akibat lemahnya atau bahkan mungkin absennya negara dalam
memberikan rasa aman bagi warganya. Perlindungan terhadap segenap warga
negara merupakan tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea 4
Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks tujuan ini, negara hadir dengan menawarkan
kesejahteraan
2. Karena itu menjadi janji dari presiden dan wakil presiden terpilih untuk
mengarahkan pemerintahannya kembali pada tujuan bernegara tersebut.
3. Merupakan cetak biru atau landasan dalam pembuatan kebijakan yang meliputi
penetapan tujuan dan sasaran, penyusunan strategi, pelaksanaan program dan
fokus kegiatan serta langkah-langkah atau implementasi yang harus dilaksanakan
oleh pemerintahan Jokowi-JK ke depan.

Cita Pertama: Tugas Dasariah Negara

Cita pertama dan kedua Nawa Cita merupakan prioritas utama Jokowi-JK untuk menegakkan
kedaulatan dalam politik. Hal itu merupakan penjabaran dari kosep Trisakti poin pertama.
Wujudnya adalah membangun demokrasi politik yang berdasarkan hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan. Hal ini lebih menekankan pada fungsi dari perangkat
pemerintahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa perangkat pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan
yudikatif) adalah tonggak utama dalam mencapai tujuan bernegara. Cita pertama bicara soal
apa yang seharusnya dilakukan oleh perangkat negara, sedangkan cita kedua bicara soal
bagaimana seharusnya perangkat negara tersebut bertindak untuk mewujudkan cita pertama
dan apa yang Jokowi-JK janjikan di beberapa cita berikutnya.

Cita atau agenda prioritas pertama dalam Nawa Cita adalah:

Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan


memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara.

Agenda ini menjadi prioritas Jokowi-JK sehingga ditempatkan di urutan pertama. Hal itu dapat
dilihat sebagai hasil refleksi dari keadaan dimana negara tidak berdaya memberikan
memberikan rasa aman bagi segenap warga negara; seperti membiarkan pelanggaran HAM;
lemah dalam penegakan hukum; dan tidak berdaya dalam mengelola konflik sosial. Selain itu
juga adalah karena kehadiran negara selama ini hanya dirasakan oleh segelintir
elit/negarawan belaka.
Hal tersebut merupakan pengingkaran terhadap tujuan bernegara. Dalam konstitusi kita jelas
dikatakan bahwa tujuan negara Indonesia adalah:

1. Di lingkup nasional: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
2. Di lingkup global: melaksanakan ketertiban dunia.

Pokok dari empat tujuan bernegara tersebut bertumpu pada usaha memajukan kesejahteraan
umum untuk menunjang tercapainya kesejahteraan anggota masyarakat. Negara dengan alat
kekuasaan politiknya hendak meningkatkan kesejahteraan umum. Menurut Frans Magnis
Suseno dalam bukunya Etika Politik, kesejahteraan umum dirumuskan sebagai:3

1. Keseluruhan prasyarat-prasyarat sosial yang memungkinkan atau memudahkan manusia


untuk mengembangkan semua nilainya.
2. Jumlah semua kondisi sosial yang diperlukan agar masing-masing individu, keluarga-
keluarga, dan kelompok-kelompok masyarakat dapat mencapai keutuhan atau
perkembangan mereka dengan leibh utuh dan cepat.

Ukuran kesejahteraan adalah apabila orang merasa bebas dari lapar, takut, tertindas, tidak adil.
Sejahtera juga apabila orang merasa aman, tenteram, bebas mengaktualisasi dirinya sendiri.
Untuk mencapai prasyarat dan kondisi tersebut, negara hadir dalam bentuk tatanan hukum
yang menjadi dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan konkrit yang mau diambil (enam poin
konkrit pelaksanaan cita pertama). Melalui hukum negara harus memajukan kepentingan
umum dalam kerangka kesamaan, kebebasan dan solidaritas masyarakatnya. Ketiganya
disempurnakan oleh prisnsip kemanfaatan, dimana kehadiran negara harus bermanfaat
karena untuk itulah negara dibentuk. Kehadiran negara dalam bentuk tatanan hukum dan
perangkat kebijakan bertujuan untuk menjamin tatanan sosial secara optimal.

Kelemahan

Jika dibaca sepintas, agenda priorirtas pertama terkesan sangat konkrit dan reliable, namun
bukan berarti sudah sempurna. Terutama apabila kita melihatnya dari perspektif ASG, ada

3
Supra note 1, hal 314.
beberapa hal yang memungkinkan untuk dikritik. Pertama, hadirnya negara untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial sebagai tujuan umum cita pertama ini bukanlah tanpa
batas. Negara hanya dapat mengusahakan prasyarat-prasyarat dan kondisi-kondisi yang
memungkinkan anggota masyarakat sejahtera. Harus disadari bahwa negara tdak langsung
dapat menciptakan kesejahteraan seseorang. Tindakan negara untuk membuat anggota
masyarakat menjadi sejatera, pada titik itu negara jatuh dalam totalitarisme.4 Seseorang
misalnya bisa sejahtera apabila ia dapat bekerja keras sesuai kemampuannya. Tetapi, ia tidak
dapat melakukannya apabila struktur ekonomi dalam negaranya bersifat eksploitis. Dalam hal
kesejahteraan, Rerum Novarum memandang:

- Kesejahteraan Umum merupakan tujuan negara, tetapi semua warga negara memiliki
hak berpartisipasi dalam kehidupan negara.
- Negara membantu terwujudnya kesejahteraan umum.
- Bila perlu ikut campur tangan untuk mencegah kerugian-kerugian yang mengancam
keselamatan pribadi dan kesejahteraan umum.

Selain itu Quadragesimo Anno melihat bahwa

Penguasa sipil: merumuskan peranannya yang positif untuk menegakkan hukum dan
tatanan sosial mengusahakan kesejahteraan umum

Pacem in Terris lebih jauh memberi batasan hubungan antara individu dan pejabat negara
dalam negara. Dokumen tersebut menetapkan ciri-ciri dari kesejahteraan umum yaitu:

a. Pribadi harus dihargai;


b. Semua warga negara ambil bagian dalam kesejahteraan umum;
c. Perhatian yang lebih harus diberikan kepada masyarakat yang kurang beruntung;
d. Negara harus memperkembangkan kesejahteraan jasmani dan rohani para warga negara.

4
Menurut Frans Magnis Suseno, totalitalitarisme adalah bentuk keras dari gejala abad ini dimana bidang kehidupan
politik, sosial, dan budaya harus terpusat dalam tangan negara dan diatur secara seragam. Kekuasaan negara harus
menyeluruh. Dalam totalitarisme, perbedaan lingkungan dan hak hidup antara individu, masyarakat dan negara harus
dihapus. Negara hanya mengiyakkan kondisi sosial yang homogen dan menegasi kondisi yang heterogen (Lih. Frans
Magnis Suseno, Etika Politik, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 310)
Dari hal tersebut telihat bahwa ASG mengakui adanya andil warga negara dalam
mengusahakan kesejahteraannya (ciri kesejahteraan umum huruf b). Hal inilah yang disebut
prinsip subsidiaritas yaitu aktivitas yang dapat dilaksanakan instansi paling bawah biar tetap
dilaksanakan oleh instansi-instansi itu (Quadragesimo Anno). Frans Magnis Suseno membuat
lebih terang makna prinsip subsidiaritas dalam Quadragesimo Anno sebagai berikut:

Masyarakat atau lembaga yang lebih tinggi kedudukannya (negara) harus memberi
bantuan kepada anggota-anggotanya atau lembaga yang lebih terbatas sejauh mereka
sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas mereka secara memuaskan. Sedangkan apa
yang bisa dikerjakan secara memuaskan oleh satuan-satuan masyarakat.5

Prinsip ini berdasar pada penghormatan terhadap martabat manusia yang berakal budi, bebas,
dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Maka supaya negara tidak jatuh dalam
totalitarisme, prinsip ini harus diperhatikan. Memang tidak bisa dioperasionalkan karena
sifatnya etis, tetapi prinsip ini menentukan tugas dan pelaksanaan fungsi negara dalam
masyarakat. Sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi negara di cita
selanjutnya, maka prinsip ini mesti selalu diperhatikan.

Kedua, besarnya anggaran bagi pertahanan dalam rangka tugas perlindungan negara perlu
dipertanyakan urgensinya. Apakah memang benar-benar mendesak ataukah hanya untuk
menunjukkan arogansi kekuatan militer kepada negara lain? Mengenai hal tersebut, Mater et
Magistra berpandangan:

- ketidakseimbangan dunia disebabkan oleh terlalu banyak uang yang dibelanjakan demi
gengsi nasional dan persenjataan;
- kerjasama internasional: karena kecurigaan timbul kegagalan dalam mencapai
kesepakatan hukum dan keadilan. Usaha mempersenjatai diri adalah pertanda rasa
curiga itu.

Lebih jauh Pacem in Terris, melihat pembangnan industri persenjataan sebagai:

- Karena persenjataan modern, manusia ada dalam situasi kritis;

5
Supra note 1, hal. 308
- Dibutuhkan evaluasi perang akibat persenjataan baru;
- Lomba senjata bukanlah cara untuk menciptakan perdamaian; tetapi pada
kenyataannya hanya mendukung peperangan;
- Perkembangan persenjataan menginjak martabat kaum miskin.

Usaha negara untuk memberikan rasa aman kepada warganya bisa dilakuakan dengan cara-
cara preventif dengan intensi mengusahakan perdamaian. Menganggarkan secara berlebihan
belanja pertahanan adalah suatu pemborosan apabila anggaran untuk itu lebih besar
dibandingkan dengan anggaran sektor lain yang lebih urgent sifatnya. Wajib dipertanyakan
proporsionalitas antara anggaran belanja militer dengan anggaran untuk program pendidikan,
kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

Ketiga, Pembangunan institusi POLRI sebagai penjaga keamanan dan ketertiban hanya sebatas
pembangunan institusional/kelembagaan. Agenda untuk itu belum menyentuh penguatan dan
penjelasan fungsi POLRI bagi masyarakat. Membuat POLRI semakin secara institusional dan
struktural, tanpa refungsionalisasi hanya akan mereduksi kebebasan berekspresi warga
negara. POLRI juga akan tetap bahkan semakin represif jika pengawasannya kurang.
Kehadiran POLRI selama ini hanya dirasakan apabila terjadi masalah (kuratif). Seharusnya,
fungsi yang paling penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban adalah fungsi preventif
dari POLRI. Selanjutnya, agenda mengenai pembangunan POLRI belum menjawa tantangan
penegakan HAM. Dirasakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, anggota POLRI sulit
menghindari pelanggaran HAM. Hal ini banyak dilakukan oleh oknum POLRI pada saat
penyidikan tanpa memperhatikan hak-hak tersangka. Mengenai hal itu, Paus Yohane Paulus II
berkata:

Pada tahap investigasi, aturan harus diperhatikan dengan seksama bahwa praktik
siksaan fisik dilarang, meskipun perkara tersebut berkaitan dengan perkara berat :
Murid-murid Kristus menolak secara spontan penggunaan sarana yang tidak pernah
dapat dibenarkan dan melecehkan pribadi manusia baik yang tersiksa maupun
penyiksa.6

6
Amanat pada Komite Internasional Palang Merah (LOsservatore Romano)
Pengawasan yang selama ini dilakukan oleh Kompolnas dalam Nawa Cita akan diperluas degan
membentuk Kompolda. Namun, pengawasan yang dilakukan oleh lembaga tersebut hanya
sebatas pada memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai pengangkatan
pemberhentian. Selain itu, Menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja
kepolisian dan menyampaikan kepada Presiden. Keluhan adalah pengaduan masyarakat yang
menyangkut penyalahgunaan wewenang dugaan korupsi pelayanan yang buruk, perlakuan
diskriminasi, dan penggunaan diskresi yang keliru. Jika hanya sebatas itu maka fungsi
pengawasan Kompolnas sangatlah lemah karena tidak bisa memberikan tindakan langsung
kepada anggota POLRI yang menyeleweng.

Hendaknya pemerintah baru juga menyadari bahwa tingginya angka kejahatan yang
memberangus kesejahteraan umum berbanding lurus dengan tingginya angka kemiskinan dan
ketidakadilan. Hal ini diafirmasi oleh Populorum Progressio dengan berpandangan: dengan
situasi ketidak adilan, jalan menuju kekeerasan merupakan godaan besar. Artinya, usaha untuk
menekan angka kejahatan adalah dengan meningkatkan kesejahteraan seperti telah diulas di
atas. Ini merupakan bentuk preventif mencegah kejahatan.

Cita Kedua

Cita kedua adalah bagaimana seharusnya negara melaksanakan tugas dan fungsinya. Cita
kedua berbunyi:

Membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan


yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya

Dalam konteks internasional gagasan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik pertama kali
diperkenalkan sekitar tahun 1991 dalam sebuah resolusi dari The Council of the
EuropeanCommunity yang membahas Human Rights, Democracy and Development. Di dalam
resolusi itu disebutkan, diperlukan beberapa prasyarat lain untuk dapat mewujudkan
sustainable development (pembangunan berkelanjutan), yaitu mendorong penghormatan atas
hak asasi manusia,mempromosikan nilai demokrasi, dan mewujudkan good governance.

Dalam konteks Indonesia, agenda ini pada titik tertentu dapat dipahami sebagai perwujudan
kedaulatan rakyat. Hal ini terhadi karena legitimasi yang diperoleh pelaksana tugas
pemerintahan berasal dari rakyat. Artinya, wewenang untuk memerintah orang lain harus
berdasarkan atau sesuai dengan tatanan masyarakat. Setiap orang berhak untuk turut serta
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut seluruh masyarakat. Tata kelola
pemerintahan yang baik juga harus dipahami bagaimana masyarakat memberikan
kepercayaan kepada pemerintah sehingga mampu menyelenggarakan pemerintahan yang
tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Tata kelola pemerintahan yang baik adalah sistem dimana pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan berjalan dengan baik. Artinya, semua unsur dalam pemerintahan dapat
bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat serta
terbebas dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat proses dan laju pembangunan.
Tata kelola pemerintahan yang baik adalah jawaban atas dua masalah besar dalam proses
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Masalah tersebut yaitu korupsi dan birokrasi yang
berbelit-belit. Selain itu, merupakan tuntutan gerakan globalisasi yang mensyaratkan
penghormatan prinsip-prinsip demokrasi.

UNDP (1997) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip yang harus dianut
dandikembangkan dalam praktik penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, meliputi :

a. Partipasi (participation). Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-lakimaupun


perempuan, memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilankeputusan, baik
langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengankepentingan dan
aspirasinya masing-masing;
b. Aturan Hukum (rule of law). Kerangka aturan hukum dan perundang-undanganharus
berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukumtentang hak
asasi manusia;
c. Transparansi (transparency). Transparansi harus dibangun dalam
kerangkakebebasan aliran informasi;
d. Daya Tanggap (responsiveness). Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkanpada
upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders);
e. Berorientasi Konsensus (consensus orientation). Pemerintahan yang baik akan
bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai
konsesus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing- masing pihak, dan
jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagaikebijakan dan prosedur
yang akan ditetapkan pemerintah;
f. Berkeadilan (equity). Pemerintahan yang baik akan memberi kesempatan yang baik
terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan
memelihara kualitas hidupnya;
g. Efektif dan efisien (effectivieness and efficiency). Setiap proses keiatan
dankelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar
sesuaidengan kebutuhan melalui pemanfaatan berbagai sumber-sumber yang
tersediadengan sebaik-baiknya;
h. Akuntabilitas (accountability). Para pengambil keputusan dalam organisasi
sektorpublik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban
(akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para
pemangku kepentingan (stakeholders);
i. Visi Strategis (strategic holders). Para pemimpin dan masyarakat memilikiperspektif
yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhanuntuk
pembangunan tersebut.

Dalam tataran teknis, keterbukaan (transparency) adalah unsur utama dan pertama Tata
Kelola Pemerintahan yang Baik. Dengan hal itu, memungkinkan setiap warga negara
mengawasi dan menilai pelaksanaan pemerintahan. Berkaitan dengan hal itu, pada saat debat
capres-cawapres yang lalu, Jokowi berjanji akan mewajibkan instansi pemerintah pusat dan
daerah membuat laporan kinerja serta membuka akses informasi publik seperti diatur dalam
UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Kelemahan

Pertama. Ketidakstabilan politik, penegakan hukum yang belum benar-benar mantap, dan
masih rendahnya kepercayaan masyarakat kepada pejabat dan aparat publik, tentunya akan
mengurangi efektivitas implementasi UU KIP. Hal ini akan berpengaruh buruk bagi
implementasi Tata Kelola Pemerintahan yang baik.

Kedua, menjunjung tinggi prinsip efektivitas dengan menggabungkan beberapa instansi dalam
satu atap akan menimbulkan ego sektoral dari orang yang bekerja di dalamnya yang tidak mau
digabung. Hal ini akan berpengaruh negatif terhadap kinerja instiusinya sebagai pelayan
publik.

Ketiga, instansi yang bergerak di bidang reformasi birokrasi masih jamak. Hal ini menimbulkan
konflik kewenangan dari instansi tersebut. Saat ini, instansi tersebut adalah Kemenpan-RB,
Badan Kepegawaian Negara, dan Komisi Aparatur Sipil Negara. Pada titik tertentu, konflik
yang terjadi akan tetap melanggengkan birokrasi yang buruk.

ASG tidak banyak memberikan pandangan atas pengelolaan pemerintahan, namun dari
penelusuran terdapat beberapa hal yang berkaitan, di antaranya:

1. Pacem in Terris, mengatakan bahwa tugas pejabat negara adalah:


a. Memberikan perhatian yang utama untuk menjamin kesejahteraan umum
b. Fungsi negara: mengkoordinasikan hubungan-hubungan sosial dengan cara
memungkinkan rakyat untuk melaksanakan hak dan kewajiban mereka dengan damai
c. Prasyarat bagi pemerintah yang baik:
- Piagam HAM
- Perundang-undangan tertulis
- Hubungan-hubungan yang diperintah dan yang memerintah dalam rangka hak-
hak dan kewajiban.
2. Imabuan Apostolik Paus Yohanes Paulus II Christifideles Laici, mengatakan:
a. Mereka yang memikul tanggung jawab politik tidak boleh melupakan atau
meremehkan matra etis prinsip keterwakilan yang diungkapkan lewat imperatif
bahwa setiap orang ambil bagian pada nasib rakyat dan berjuang untuk menemukan
solusi bagi setiap persoalan sosial itu. Di sini otoritas yang bertanggung jawab berarti
otoritas yang dijalankan dengan bantuan kebajikan yang mengutamakan praktik
kekuasaan dalam semangat pelayanan (kesabaran, kerendahan hati, kesederhanaan,
cinta kasih, kesediaan untuk membagi); otoritas seperti ini dijalankan oleh
pribadipribadi yang dalam tindakannya mampu menjadikan kesejahteraan umum
sebagai tujuan, dan bukan popularitas atau keuntungan pribadi.
b. Lembaga-lembaga itu menjadi lebih rumit lagi dalam organisasi mereka dan
menganggap diri bisa mengatur setiap bidang yang ada. Pada akhirnya proyek-
proyek semacam itu kehilangan daya gunanya sebagai akibat fungsionalisme yang
tidak mengenai orang tertentu, birokrasi yang berlebih-lebihan, kepentingan-
kepentingan pribadi yang tidak adil serta lepasnya kesadaran akan kewajiban secara
terlalu gampang dan tergeneralisasi.845 Peran orang-orang yang bekerja pada
administrasi publik tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang apersonal dan
birokratis, tetapi sebagai bantuan yang diberikan dalam semangat pelayanan bagi
warga masyarakat.
3. Paus Yohanes Paulus II dalam Amanat Hari Perdamaian Sedunia, mengatakan:
Baik pada tatanan nasional, regional maupun komunal birokrasi publik sebagai alat
negara bertujuan untuk melayani warga negara: Sebagai pelayan bagi warga
masyarakat, negara merupakan pengelola harta kekayaan rakyat yang harus
digunakan demi kesejahteraan umum
4. Kepada warga negara, Octogesima Adveniesn, mengatakan:
Kegiatan politis bagi masyarakat demokratis merupakan hal yang sejalan dengan
panggilan manusia secara menyeluruh. Manusia tidak dapat lagi menyandarkan diri
hanya pada kegiatan ekonomis.

penutup

Ketika muncul pertanyaan sebagai sinyak kegalauan tentang bagaimana menyikapi pelantikan
Presiden dan Wakil Presiden Jokowi, sikap kita jelas yaitu tidak cukup hanya berharap
Jokowi-JK dapat memenuhi janjinya. Lebih dari itu, kita diharapkan untuk bisa mengawal,
mengawasi, mengkritisi, dan mengingatkan pelaksanaan dari Nawa Cita tersebut. Untuk
dapat bersikap dengan tepat, tentunya kita mesti mengetahui secara mendalam substansi
dari Nawa Cita itu sendiri. Sehingga dengan demikian legitimasi kekuasaan Jokowi-JK
semakin dikuatkan untuk dipergunakan demi kepentingan umum dan kesejahteraan sosial.
Patokan kita jelas yaitu Ajaran Sosial Gereja. Berikut cara-cara yang ditawarkan oleh Mater
et Magistra untuk menerapkan Ajaran Sosial Gereja dan mendadi tugas kita sebagai kaum
awam:
1. Meneliti dan mengamati (observasi) fennomena-fenomena sosial yang terjadi. Hal ini
membutuhkan kepekaan dan kemampuan kita untuk membaca tanda-tanda zaman
(dibahas di diskusi selanjutnya);
2. Mengevaluasi fenomena-fenomena tersebut dalam hubungannya dengan Ajaran sosial
Gereja (menilai);
3. Membuat keputusan untuk bertindak (aksi).

--- Selamat Berdiskusi ---

Anda mungkin juga menyukai