Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada
tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global
Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar
kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari
Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti terlihat pada tabel 1
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun.
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia
tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka
mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Tabel 1. Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002
Jumlah kasus Kasus per 100 000 penduduk
(Ribu)
Pembagian daerah WHOSemua kasus (%) Sputum positif Semua kasus (%) Sputum positif

Afrika 2354 (26) 1000 350 149


Amerika 370 (4) 165 43 19
Mediteranian timur 622 (7) 279 124 55
Eropa 472 (5) 211 54 24
Asia Tenggara 2890 (33) 1294 182 81
Pasifik Barat 2090 (24) 939 122 55
Global 8797 (100) 2887 141 63
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di
Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh
kalangan usia.
B. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex
C. BIOMOLEKULER M.Tuberculosis
Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan
tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm.
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun
utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.
Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur
lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.
tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan
protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi
monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19
kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis
TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi
dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup,
contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.
Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G) dan
sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda
genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria
yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang
menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen
sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan posfat misalnya protein 38 kDa
dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-
peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi
RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam
mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen
tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP (dikutip dari 11).

BAB II
PATOGENESIS
A. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga
akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer
ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional).Afek primer
bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini
akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
2.
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.
b Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya
. atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy.Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada
anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
- Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

B. TUBERKULOSIS POSTPRIMER
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer,
biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-
macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat,
karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang
umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya
berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan
sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
- meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan
mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas
- memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma
dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi
- bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh
dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti
yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer dan perjalanan
penyembuhannya

BAB III
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:


a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan
kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b
Kasus kambuh (relaps)
.
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh ataupengobatan lengkap, kemudian kembali
lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)
- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani
kasus tuberkulosis
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2
bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d
Kasus gagal
.
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
e
Kasus kronik
.
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik
f. Kasus Bekas TB:
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi
paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung
- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi
B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk
kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang
kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif.
Gambar 2. Skema klasifikasi tuberkulosis

BAB IV
DIAGNOSIS
A. GAMBARAN KLINIK
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/jasmani,
pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya
Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila
organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ
yang terlibat)
1. Gejala respiratorik
- batuk 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical
check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak
ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
- Demam
- gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan
menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak
terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher
(pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar
tersebut dapat menjadi cold abscess
Gambar 3. Paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior

dikutip dari (3,12)


Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi ( keesokan harinya )
- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot
yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus
pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak
sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identiti pasien
yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen
dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
- Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya
- Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak + 1 ml
- Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak
- Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di
dalam dus
- Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil
- Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
- Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak
- Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin,
faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara
- Mikroskopik
- Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif
bila 3 kali negatif BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO).
Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Pemeriksaan biakan kuman:
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :
- Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
- Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than
tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik
dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun
pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
- Fibrotik
- Kalsifikasi
- Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
- Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
- Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
- Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti
- Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Pemeriksaan khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi
kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan
melakukan uji kepekaan (dikutip dari 13)
Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator
Tube (MGIT).
2. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk
DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah
kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati
masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar
internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang
ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis TB
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat
berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai dengan organ yang terlibat.
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons humoral
berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara
lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologi untuk
mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB
yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasmaM.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2
antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan
diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan
berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG
terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk
garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis
kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan
bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang
memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir
dan dapat dideteksi dengan mudah
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi
harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang
terdeteksi.
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi IgG
dengan antigen spesifik untukMycobacterium tuberculosis. Uji IgG berdasarkan antigen
mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa dan kombinasi lainnya akan
menberikan tingkat sensitiviti dan spesifisiti yang dapat diterima untuk diagnosis. Di
luar negeri, metode imunodiagnosis ini lebih sering digunakan untuk mendiagnosis TB
ekstraparu, tetapi tidak cukup baik untuk diagnosis TB pada anak.
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis.
Pemeriksaan Penunjang lain
1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis
yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan
eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka).
Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke
dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan
yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan
sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang
spesifik.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan
prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji yang didapat besar sekali. Pada
malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
Gambar 4. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa

BAB V
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7
bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
INH
Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino
o PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
- Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol.
- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Dosis OAT
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT

Oba Dosis Dosis yg dianjurkan DosisMaks Dosis (mg) / berat


t (Mg/Kg (mg) badan (kg)
BB/Hari) Harian (mg Intermitten (mg/Kg/BB/kali) < 40 40-60 >60
/
kgBB / har
i)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
Sesuai
S 15-18 15 15 1000 750 1000
BB
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan
pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS
untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat
tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat
tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3. Keuntungan
kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan
yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi
Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase intensif Fase lanjutan
2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE RHZ RHZ RH RH
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi
dan non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius
harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH
atau
: 2 RHZE/ 6HE
atau
2 RHZE / 4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau
: 6 RHE atau
2 RHZE/ 4R3H3
TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan
hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan
kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).
Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat
RHE selama 5 bulan.
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria
sebagai berikut :
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila
gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
2) BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama
b. Berobat < 4 bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT.
TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah
ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru

Tabel 4. Ringkasan paduan obat


Kategori Kasus Paduan obat yang diajurkan Keterangan
I - TB paru BTA +, 2 RHZE / 4 RH atau
2 RHZE / 6 HE
BTA - , lesi luas *2RHZE / 4R3H3

II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji Bila streptomisin


- Gagal pengobatan resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / 5 alergi, dapat
RHE diganti kanamisin
-3-6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid, sikloserin atau
2RHZES / 1RHZE / 5RHE
II - TB paru putusSesuai lama pengobatan
berobat sebelumnya, lama berhenti minum
obat dan keadaan klinis, bakteriologi
dan radiologi saat ini (lihat uraiannya)
atau
*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3
III -TB paru BTA neg.2 RHZE / 4 RH atau
lesi minimal 6 RHE atau
*2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi
(minimal OAT yang sensitif) + obat
lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini 2
atau H seumur hidup
Catatan : * Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB
C. EFEK SAMPING OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian
kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan
dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian
kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan
dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi,
rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna
merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan
serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan
asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna
untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis
yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan
pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang
digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi
ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya
dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan
menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala,
muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti
kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila
reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil
sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 5. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya

Efek samping Kemungkinan Tatalaksana


Penyebab
Minor OAT diteruskan

Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum


malam sebelum
tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin
/allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6
(piridoksin) 1 x
100 mg perhari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan,
tidak perlu diberi
apa-apa
Mayor Hentikan obat
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri antihistamin
kulit dan dievaluasi
ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin
dihentikan
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin
(vertigo dan nistagmus) dihentikan
Ikterik / Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan semua
(penyebab lain disingkirkan) OAT sampai
ikterik menghilang
dan boleh
diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan confusion Sebagian besar OAT Hentikan semua
(suspected drug-induced OAT dan lakukan
pre-icteric hepatitis) uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan
etambutol
Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan
syok dan purpura rifampisin

D. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak
ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan
tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi
gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada
prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit
komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat
D. TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
E. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta evaluasi
keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi
penyakit
- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik
. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta
asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan
. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila
ada keluhan)
. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang
paling penting
adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis
dicurigai terdapat
efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan
penanganan efek
samping obat sesuai pedoman
Evalusi keteraturan berobat
- Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat
tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungannya.
- Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Kriteria Sembuh
- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah
mendapatkan pengobatan yang adekuat
- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi
adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai
indikasi/bila ada gejala)setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

BAB VI
RESISTEN GANDA (Multi Drug Resistance/ MDR)
Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau
tanpa OAT lainnya
Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :
- Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB
- Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat
pengobatan sebelumnya atau tidak
- Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.

Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien TB
dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% 90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu.
Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh
kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan
oleh MDR
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
- Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
- Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan
tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan
rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup
tinggi
- Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah
dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga
bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
- Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten
pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan
menambah panjang daftar obat yang resisten
- Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga
mengganggu bioavailabiliti obat
- Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan
- Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan kejemuan
- Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
- Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru
Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)
Klasifikasi OAT untuk MDR
Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
1. Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja
pada pH asam
2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin) dapat digunakan
untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1.
Resistensi silang
Pada pengobataPada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis OAT. Tidak
efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi
resistensi silang.
- Tionamid dan tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang dengan
proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan
tioasetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif terhadap
etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamid dan proteonamid biasanya juga
resisten juga terhadap tioasetason pada lebih dari 70% kasus.
- Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan amikasin. Galur
yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin. Galur yang
resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap streptomisin. Galur
yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif terhadap
kapreomisin.
. Resisten terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin
. Resisten terhadap kanamisin atau amikasin gunakan kapreomisin
- Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua
fluorokuninolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon
yang lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantikan ofloksasin di masa datang.
- Sikloserin dan terizidon
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan obat
golongan lain.
- Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien MDR-TB.
Pemberian pengobatan pada dasarnya tailor made, bergantung dari hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 4 OAT masih sensitif
- Obat lini 2 yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon, aminoglikosida, etionamid,
sikloserin, klofazimin, amoksilin+ as.klavulanat
- Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 3 OAT lini 1 ditambah
dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000 1500 mg atau ofloksasin 600 800 mg
(obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari)
- Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama
yaitu minimal 18 bulan
- Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien non-HIV,
konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkanresponse rate didapat pada 65% kasus
dan kesembuhan pada 56% kasus.
- Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah satu
kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)
merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat.
- Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB
Tabel 6. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB
Rasio kadar puncak serum
Tingkatan Obat Dosis harian Aktiviti antibakteri
terhadap MIC
Aminoglikosid 15 mg/kg Bakterisid menghambat
a. Streptomisin organisme yang 20-30
b. Kanamisin atau multiplikasi aktif 5-7.5
amikasin
c. Kapreomisin 10-15
Thiomides 10-20 mg/kg Bakterisid 4-8
(Etionamid protionamid)
Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid pada pH 7.5-10
asam
Ofloksasin 7.5-15 mg/kg Bakterisid mingguan 2.5-5
Etambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3
Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteriostatik 2-4
PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100

BAB VII
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
A TB MILIER
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
- Tanda / gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik
- Demam tinggi
B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)
Paduan obat: 2RHZE/4RH.
- Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan
kortikosteroid
- Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
- Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
C. TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)
- Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah
terkontrol
- Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9
bulan
- Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata; sedangkan
pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
- Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektiviti obat oral antidiabetes
(sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
- Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan
D. TB PARU DENGAN HIV / AIDS
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan koinfeksi TB-
HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian
dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan
pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga
berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang
memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB / TB kronik
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah
pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4. Gambaran
penderita HIV-TB dapat dilihat pada tabel 7 berikut.
Tabel 7. Gambaran TB-HIV
Infeksi dini Infeksi lanjut
(CD4>200/mm3) (CD4<200/mm3)
Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatif
TB ekstra pulmonal Jarang Umum/ banyak
Mikobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi TB, kaviti di puncak Tipikal primer TB milier / interstisial
Adenopati hilus/ Tidak ada Ada
mediastinum
Efusi pleura Tidak ada Ada

Pengobatan OAT pada TB-HIV:


- Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
- Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan
dosis serta jangka waktu yang tepa
- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek
toksik berat pada kulit
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.
- Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius
pada hati
- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain
dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada
pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan,
karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam
serum
- Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan sesuai
dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 8)
Tabel 8. Pengobatan TB-HIV
Rejimen yang dianjurkan Keterangan
Mulai terapi TB Dianjurkan ART:
Mulai ART segera setelah terapi EFV merupakan kontra indikasi untuk ibu hamil atau perempuan usia subur tan
TB dapat ditoleransi (antara 2 kontrasepsi efektif.
minggu hingga 2 bulan) EFV dapat diganti dengan:
Paduan yang mengandung - SQV/RTV 400/400 mg 2
EFVb,c.d kali sehari
- SQV/ r 1600/200 4 kali
sehari (dalam formula soft
gel-sgc) atau
- LPV/RTV 400/400 mg 2
kali sehari
ABC
Mulai terapi TB Pertimbangan ART
- Mulai salah satu paduan di bawah ini setelah selesai fase intensif (mulai leb
dini dan bila penyakit berat):
Paduan yang mengandung EFV:b
(AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari) atau
- Paduan yang mengandung NVP bila paduan TB fase lanjutan tidak
menggunakan rifampisin (AZT atau d4T) + 3TC+NVP
Mulai terapi TB Tunda ART
CD4 tidak mungkin Mulai terapi TB Perimbangan ART

Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan dengan adanya
tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART harus diberikan secepatnya setelah terapi
TB dapat ditoleransi, tanpa memandang CD4
b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau cgc 1600/200 1 kali
sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari) dan ABC (300 mg 2 kali sehari)
c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari) sebagai pengganti EFV
bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang mengandung NVP adalah d4T/3TC/NVP atau ZDV/3TC/NVP
d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV / 3TC / EFV
e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan perbaikan setelah
pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB diselesaikan
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan
-
terjadinya efek toksik OAT
- Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat
sebagai buffer antasida
- Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan nonnukleotida dan inhibitor
protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat
menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin
sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang
direkomendasikan
Jenis ART
Tabel 9. Obat ART
Golongan Obat Dosis
Nukleosida RTI (NsRTI)
Abakavir (ABC) 300 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari
Didanosin (ddl) 250 mg 1x/hari (BB<60 Kg)
Lamivudin (3TC) 150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari
Stavudin (d4T) 40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB<60 Kg)
Zidovudin (ZDV) 300 mg 2x/hari
Nukleotida RTI
TDF 300 mg 1x/hari
Non nukleosid RTI (NNRTI)
Efavirenz (EFV) 600 mg 1x/hari
Nevirapine (NVP) 200 mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian 200 mg 2x/hari
Protease inhibitor (PI)
Indinavir/ritonavir (IDV/r) 800 mg/100 mg 2x/hari
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg 2x/hari
Nelfinavir (NFV) 1250 mg 2x/hari
Saquinavir/ritonavir (SQV/r) 1000mg/ 100 mg 2x/hari atau 1600 mg/200 mg 1x/hari
Ritonavir (RTV/r) Kapsul 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml.
E. TB PARU PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI
- Obat antituberkulosis harus tetap diberikan kecuali streptomisin, karena efek samping
streptomisin pada gangguan pendengaran janin
- Pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap dapat diberikan, walaupun beberapa
OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetetapi konsentrasinya kecil dan tidak
menyebabkan toksik pada bayi
- Pada perempuan usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin,
dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi
obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.
- Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
F. TB PARU PADA GAGAL GINJAL
- Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan kapreomisin
- Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang dan terjadi
akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan
dengan pengawasan kreatinin
- Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, ureum, kreatinin)
- Rujuk ke ahli Paru
G. TB PARU DENGAN KELAINAN HATI
- Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan
- Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
- Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE
- Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S
dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
- Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru
H. HEPATITIS IMBAS OBAT
- Adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced
hepatitis)
- Penatalaksanaan
. Bila klinis (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) OAT Stop
. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
. Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2 OAT Stop
SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali teruskan pengobatan, dengan pengawasan
Paduan OAT yang dianjurkan :
- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
- Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium. Bila klinis dan laboratorium kembali normal
(bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis
penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat INH dosis
penuh , bila klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan rifampisin, desensitisasi
sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi
I. TUBERKULOSIS PADA ORGAN LAIN
Paduan OAT untuk pengobatan tuberkulosis di berbagai organ tubuh sama dengan TB paru menurut
ATS, misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar lama pengobatan OAT dapat
diberikan 9 12 bulan. Paduan OAT yang diberikan adalah : 2RHZE / 7-10 RH.
Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk menurunkan kebutuhan intervensi operasi dan
menurunkan kematian, pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologis. Dosis yang
dianjurkan ialah 0,5 mg/kgBB/ hari selama 3-6 minggu.

BAB VIII
KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam
masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
- Batuk darah
- Pneumotoraks
- Luluh paru
- Gagal napas
- Gagal jantung
- Efusi pleura

BAB IX
DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program
penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh
negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB
dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :

1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional


2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT
(Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /standar

Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO:
1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan
penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak
mampu
2. Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV, DOTS-
PLUS dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan
3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan
pelayanan umum
4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah dengan
pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhiInternational Standards of TB
Care
5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada
pemeliharaan kesehatan yang efektif
6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik dan
vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program

A. Tujuan :
Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
Mencegah putus berobat
Mengatasi efek samping obat jika timbul
Mencegah resistensi

B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat
berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya
dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien
TB untuk pelaksanaan DOT ini
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
1. Petugas kesehatan
2. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
3. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
Pasien dirawat :
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit, selesai
perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.

C. Langkah Pelaksanaan DOT


Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan penjelasan
bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapat
penjelasan tentang DOT
D. Persyaratan PMO
PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan
dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma,
kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien

E. Tugas PMO
Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan
Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat
Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
Melakukan kunjungan rumah
Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB

F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :

Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat
jalan, di apotik saat mengambil obat dll
Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien,
masyarakat pengunjung rumah sakit dll
Cara memberikan penyuluhan
. Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
. Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai
bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
. Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
. Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan
alat peraga (brosur, leaflet dll)
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem
informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi
dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu :
1. Kartu pengobatan TB (01)
2. Kartu identiti penderita TB (TB02)
3. Register laboratorium TB (TB04)
4. Formulir pindah penderita TB (TB09)
5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional (P2TB)
Jika memungkinkan data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB
(TB03).
Catatan :
. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan pencatatan
pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
. Bila seorang pasien ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstraparu pada
organ yang penyakitnya paling berat
. Contoh formulir terlampir
LAMPIRAN
LAMPIRAN I
ALUR DIAGNOSIS P2TB

LAMPIRAN II
.INTERNATIONAL STANDARD FOR TUBERCULOSIS CARE
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang
melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang consisten dengan
rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan februari
2006 serta akan segera dilaksanakan di Indonesia.
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estndar untuk diagnosis
, 9 estndar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat.
Adapun ke 17 standar tersebut adalah :
1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat
dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis
2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru (dewasa, remaja dan anak anak yang dapat
mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis
sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali
pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstraparu (dewasa, remaja dan anak) harus
menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia
fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani
pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang
pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks
menunjukkan kelainan TB, tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari
pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.tb sehingga
memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan
pemeriksaan biakan. Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus
disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan BTA
negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau
uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada
fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal dari batuk, bilasan
lambung atau induksi sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan
masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat
memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh
terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin
kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan
obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang
biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan
rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan
merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak
dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan
dengan pemberian alternatif tersebut diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat
antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose
combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu
INH, rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid
dan etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung
saat menelan obat.
9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan suatu
pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan hubungan
yang saling menghargai antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan
harus memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan
intervensi yang dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan
konseling pasien. Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah
penggunaan pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat
menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat
khusus untuk keadaan masing masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien
maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan
langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan
serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem kesehatan
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik
adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan
fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada
bulan ke lima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan
modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien
TB paru ekstraparu dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto
toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis
dan efek samping harus ada untuk semua pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan
co infeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB
pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV
yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan
keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB
dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai indikasi
untuk diberi terapi antiretroviral dalam masa pemberian OAT.Perencanaan yang sesuai
untuk memperoleh obat antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi.
Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan antara obat
antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar
di bidang tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit
apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan sampai
ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk
infeksi lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien
yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan
sumber yang mungkin sudah resisten dan prevalens resistensi obat pada komuniti. Pada
pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji sensitifity
terhadap INH, rifampisin dan etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat lini
kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitif dan
diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan
pengukuran yang berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR
harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang punya
kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5 tahun dan
penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia
dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak dengan kasus infeksius harus
dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan ulang
dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan
ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku

Anda mungkin juga menyukai