Anda di halaman 1dari 64

KEWENANGAN KOMISI PEMBERATASAN KORUPSI (KPK)

TERHADAP DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG


DILAKUKAN BERSAMA SAMA OLEH PEJABAT YANG TUNDUK
PADA PERADILAN UMUM DAN TUNDUK PADA PERADILAN
MILITER
(KORUPSI KONEKSITAS)

Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Hukum
Program Kekhususan Hukum Pidana

Disusun Oleh:
Muh. Siddiq Sjarif
03.211.7563

Dosen Pembimbing
Faishol Azhari SH, M.Hum
NIK: 210.390.024

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA)
SEMARANG
2015
KEWENANGAN KOMISI PEMBERATASAN KORUPSI (KPK)
TERHADAP DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG
DILAKUKAN BERSAMA SAMA OLEH PEJABAT YANG TUNDUK
PADA PERADILAN UMUM DAN TUNDUK PADA PERADILAN
MILITER
(KORUPSI KONEKSITAS)

Diajukan Oleh:

Muh. Siddiq Sjarif


032.117563

Telah Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing,

Faisol Azhari, SH, M.Hum


NIK: 210.390.024

Tanggal, 25 Maret 2015

ii
SKRIPSI

KEWENANGAN KOMISI PEMBERATASAN KORUPSI (KPK)


TERHADAP DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG
DILAKUKAN BERSAMA SAMA OLEH PEJABAT YANG TUNDUK
PADA PERADILAN UMUM DAN TUNDUK PADA PERADILAN
MILITER
(KORUPSI KONEKSITAS)

Dipersiapkan dan Disusun Oleh:


Muh. Siddiq Sjarif
03.211.7563
Telah dipertahankan didepan Tim Penguji
Pada Tanggal 1 April 2015
Dinyatakan telah memenuhi syarat dan lulus
Tim Penguji

Ketua

Hj. Aryani Witasari, SH, M. Hum


NIK:210.391.028
Anggota Anggota

Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, SH, M.Hum Faishol Azhari SH, M.Hum
NIK: 210.390.025 NIK: 210.390.024

Mengetahui
Dekan

Dr. H. Jawade Hafidz, SH, MH


NIK:210.303.038

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO:

Berpikir cerdas, bersikap tegas,

bertindak cermat

PERSEMBAHAN
Tugas akhir ini kepersembahkan kepada:

Kepada Mu Ya Allah atas rahmat, karunia

serta petunjuk Mu.

Ayah dan ibunda tercinta yang telah

membesarkan dan mendidik penulis dengan

penuh kasih sayang dan kesabaran serta

ketulusan hati agar menjadi orang yang

berguna dan memberi dorongan baik moril

maupun materiil dalam hidup penulis.

Kakak kakakku tercinta.

Seseorang yang selalu dekat dengan hati

penulis, yang selalu memberi semangat,

dukungan, perhatian, dan doa, serta kesetian

dalam suka maupun duka hingga tulisan ini

terwujud.

Korps Baret Ungu

Almamaterku tercinta.

iv
KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirrahim

Assalamualaikum, Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan

segala rahmat dan hidayah Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Terhadap

Dugaan Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Bersama Sama Oleh Pejabat

Yang Tunduk Pada Peradilan Umum dan Tunduk Pada Peradilan Militer (Korupsi

Koneksitas).

Semoga shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad

Saw serta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia dalam perjuangan, yang

telah memberikan petunjuk tentang yang baik dan buruk, benar dan salah, sambil

tetap memberikan kebebasan kepada manusia untuk menetukan segala jalannya

sendiri sendiri dengan segala konsekwensi, sehingga umatnya bisa menjadi

insan insan yang bertanggung jawab atas segala keputusan yang telah

diambilnya.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Dalam

kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak H. Anis Malik Toha, MA, PHd, selaku Rektor Universitas Islam

Sultan Agung Semarang yang berkenan menyediakan sarana dan prasarana

pendidikan.

v
2. Bapak Dr. H. Jawade Hafidz, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang telah memberikan fasilitas

dan dukungan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Munsyarif Abdul Chalim, SH, MH, selaku Wakil Dekan I

Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang telah berkenan memberikan

persetujuan dalam pengajuan judul skripsi ini dan memberikan dorongan,

saran serta nasehat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Faisol Azhari, SH, M. Hum, selaku dosen pembimbing yang dengan

kedisiplinan dan kesabaran, meluangkan waktu tenaga dan pikiran, dalam

memberikan nasehat, saran, petunjuk serta bimbingan pada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. H. Gunarto, SH, SE, Akt, M. Hum, selaku dosen wali yang

telah bijaksana memberikan arahan dalam belajar kepada penulis.

6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis

selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung

Semarang.

7. Segenap staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung

Semarang yang telah membantu penulis dalam hal kegiatan administrasi

selama studi hingga selesai skripsi ini.

8. Staf Perpustakaan Fakultas HukumUniversitas Islam Sultan Agung

Semarang, yang dengan senang hati memberikan pelayanan dengan baik

kepada penulis.

vi
9. Ayah dan Ibunda tercinta walaupun selama penulisan skripsi ini tidak berada

di sisi penulis tetapi selalu memberikan dorongan semangat san dukungan

melalui doa maupun materi.

10. Kakakku Wa Ode Sitti Syuaida Sjarif, Wa Ode Sitti Hartati Syarif, Sertu

Muh. Jusman Syarif, Wa Ode Sitti Indra Sjarif SP, yang tak henti hentinya

memberikan perhatian dan semangat.

11. Seseorang yang selalu menemani penulis dalam suka maupun duka yang tak

henti hentinya memberikan perhatian dan semangat.

12. Bang Wahyu Azzaky, S.Psi, Bang Letda. CHK Sugiarto,SH, Bang Beny

Abukhaer Tatara S. Psi, Bang Mukhyidin S. Sy, Bang Arif Wibowo, S. Sy,

serta angota anggota alumni/IARMI yang tidak bisa kami sebut satu

persatu yang senantiasa siap setiap saat untuk diajak diskusi.

13. Kang Abbas selaku pelatih di Tarung Derajat beserta teman - teman lain

yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

14. Kawan kawan seperjuangan Chandra Saputra, Herdin, Hajarullah,

Nasruddin, Ukkas Muhammar, Naim Ismail Imunu, Dino Rahardian, La

Sudirman dan lain lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

15. Adik Adikku Komandan Sat. 908/SW Unissula Beserta jajarannya.

16. Teman teman di Fakultas Hukum terutama angkatan tahun 2011 yang tidak

bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

17. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu baik secara

langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyelesaian skripsi

ini

vii
Kepada mereka yang tersebut diatas hanya doa yang dapat kami panjatkan,

semoga Allah Swt membalas dan memberi ridho Nya sehingga membawa

manfaat atas segala amal dan kebaikannya di kemudian hari.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini,

kesempurnaan hanya milik Allah, dan segala kesalahan adalah dari penulis

sebagai seorang manusia. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari

pembaca sangat penulis harapkan demi lebih baiknya penulisan skripsi ini.

Wabillahittaufiq wal hidayah

Wassalumualaikum Wr. Wb.

Semarang, Maret 2015

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1

B. Perumusan Masalah ........................................................................................ 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 7

D. Metode Penelitian ............................................................................................ 8

E. Sistematika Penulisan ................................................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 11


A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi ................................................ 11

B. Tinjauan Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ...................... 23

C. Tinjauan tentang Pejabat Pegawai Negeri .................................................. 26

D. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Islam ....... 28

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 31


A. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) Terhadap

Dugaan Tindak Pidana Korupsi Koneksitas .............................................. 31

B. Kendala Yang Dihadapi KPK Dalam Memeriksa Dugaan Tindak

Pidana Korupsi Koneksitas .......................................................................... 45

ix
BAB IV PENUTUP ............................................................................................... 49
A. Kesimpulan .................................................................................................... 49

B. Saran ............................................................................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Undang Undang Dasar tahun 1945 di tegaskan bahwa negara

Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat) bukan berdasarkan atas

kekuasaan belaka (Machstaat). Hal ini mencerminkan bahwa Republik

Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan

UUD 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan

serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan, apa yang boleh

dilakukan serta apa yang dilarang. Evi Hartanti menyatakan bahwa:

Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata nyata
berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan melawan hukum yang
mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk
bertindak menurut hukum. 1

Pada setiap proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam

kehidupan bermasyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan

kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosiologis yang negatif.

Salah satu dampak negatif tersebut yang dapat dikatakan cukup meresahkan

adalah masalah tindak pidana korupsi.Saat ini sudah terbangun mitos di

dalam kehidupan sosial masyarakat bahwa korupsi hampir mustahil dapat di

hilangkan, karena ada anggapan bahwa korupsi telah menjadi kebudayaan

1
Evi Hartanti Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal..1.

1
bangsa Indonesia.Secara khusus korupsi hanya menguntungkan segelintir

orang kaya, penguasa dan kroninya, tetapi akibatnya harus dipikul oleh

seluruh rakyat.Akibat korupsi, rakyat harus membayar mahal untuk

pelayanan publik yang buruk. Menurut Zainudin Ali bahwa:

Karena korupsi, terjadi ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam dan


pemerataan hasil hasil pembangunan ekonomi, diskriminasi hukum,
demokratisasi yang tertunda, serta kehancuran moral yang tak ternilai
haraganya.2

Secara parsial, dapat disimpulkan bahwa pemerintah dan bangsa

Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri

ini.Namun pada faktanya penegak hukum terkesan tebang pilih dalam

menangani masalah korupsi akhir akhir ini.Lebih lebih dengan

mencuatnya pemberitaan terkait beberapa pejabat di lembaga eksekutif,

legislatif dan yudikatif yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang

(abuse of power), penggelapan dan pemerasan dalam jabatan serta menerima

suap.Jelaslah bahwa korupsi selalu bermula dari sektor publik dengan bukti

bukti yang nyata bahwa dengan kekuasaan itulah pejabat publik dapat

menekan atau memeras para pencari keadilan atau mereka yang memerlukan

jasa pelayanan dari pemerintah.Serta didukung oleh sistem check and

balances yang lemah diantara ketiga kekuasaan itulah maka korupsi sudah

melembaga dan mendekati suatu budaya yang sangat sulit untuk

dihapuskan.Sebagaimana dikatakan oleh Romli Atmasasmita bahwa:

Perkembangan korupsi sampai saat inipun sudah merupakan akibat dari


sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan

2
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.. 78

2
tidak terawasi secara baik karena landasan hukum yang dipergunakan juga
mengandung banyak kelemahan kelemahan dalam implementasinya3

Gaung pemberantasan korupsi seolah olah menjadi senjata ampuh

untuk di muat dalam teks pidato para pejabat negara. Bicara seolah ia bersih,

anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah

mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan

mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakukan di berbagai forum,

misalkan melalui seminar seminar, tulisan di media cetak,serta dialog di

media elektronik.

Sebagai keseriusan dari pemerintah terhadap upaya pemberantasan

korupsi, maka berbagai peraturan perundang undangan yang berkaitan

dengan upaya pemberantasan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme)

digodok, yakni antara lain:

1. Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama ialah Peraturan Penguasa

Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei

1957 Nomor Prt/PM/03/1957 dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor

Prt/PM/011/1957

2. Undang - Undang Nomor 24 Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan

dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

3. Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

3
Romli Atmasasmita,Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Internasional, Mandar Maju,
Bandung, 2004, hal, 1

3
4. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas KKN.

5. Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

6. Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

7. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

8. Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi.

9. Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 1999 tentang Komisi Pemeriksa

Kekayaan Pejabat Negara.

10. Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian

Pembentukkan Lembaga Ombudsman Nasional.

11. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman

Nasional.

12. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan

Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

13. Peraturan Pemerintah Nomor 274 Tahun 2001 tentang Pelaporan

Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

14. Peraturan Pemerintah Nomor 274 Tahun 2001 tentang Tata Cara

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

4
Menjelang akhir tahun 2004, dalam program 100 hari pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telaah mengeluarkan Inpres Nomor 5

Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Instruksi tersebut

terdiri dari instruksi umum dan instruksi khusus yang ditujukan kepada para

Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri,

Para Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Gubernur, Bupati dan

Walikota seluruh Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Rudi Satriyo

Mukantardjo bahwa secara garis besar, isi dari instruksi umum tersebut antara

lain:

1. Dukungan terhadap kinerja dari KPK terutama dalam hal pelaporan


harta kekayaan dan penanganan kasus korupsi oleh KPK,
2. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik dalam bentuk jasa
maupun perizinan,
3. Menetapkan program dan wilayah bebas korupsi,
4. Melaksanakan keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tantang
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,
5. Menerapkan kesederhanaan baik dalam kedinasan maupun dalam
kehidupan pribadi serta penghematan pada penyelenggaraan kegiatan
yang berdampak langsung pada keuangan negara, serta
6. Peningkatan kualitas kerja dan pengawasan di tiap departemen/institusi.4

Sedangkan instruksi khusus yang khusus diberikan kepada Menteri


Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Menpan, Kepala Bapennas secara
substansi lebih difokuskan pada penyiapan berbagai perumusan kebijakan,
perundang undangan untuk optimalisasi upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, sosialisasi anti korupsi di masyarakat5.

Pada awal rencana pembentukannya, KPK hanya berfungsi

melakukan pengawasan (supervisi) dan koordinasi kepada para penegak

hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.Tetapi karena desakan

masyarakat yang menginginkan pemberantasan tindak pidana korupsi

4
Rudy Satriyo Mukantardjo dan Tim, Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, BPHN, Jakarta, 2008, hal. 20 - 21
5
Ibid

5
dilaksanakan dengan cepat dan melalui upaya upaya luar biasa, maka KPK

diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap tindak pidana korupsi, dimana sebelumnya kewenangan tersebut

dimiliki oleh POLRI.Kewenangan yang dimiliki KPK tersebut dicantumkan

dalam Undang Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).Tindak pidana korupsi dapat dilakukan

oleh masyarakat apapun, baik sipil yang harus diadili dalam lingkungan

peradilan umum ataupun militer yang harus diadili dalam lingkungan

peradilan militer. Atau tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh anggota

militer (TNI) bersama sama dengan sipil, yang secara yuridis formal harus

diadili dalam peradilan koneksitas.Perkara koneksitas baik tindak pidana

umum maupun tindak pidana khusus seperti korupsi. Akan tetapi apakah

KPK memiliki kewenangan untuk memeriksa dugaan korupsi yang bersama

sama dilakukan oleh mereka yang tunduk pada peradilan umum dan tunduk

pada peradilan militer (korupsi koneksitas)?

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka penulis

tertarik untuk meneliti dan menulis judul tentang: Kewenangan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) Terhadap Dugaan Tindak Pidana

Korupsi Yang Dilakukan Bersama Sama Oleh Pejabat Yang Tunduk

Pada Peradilan Umum dan Yang Tunduk Pada Peradilan Militer

(Perkara Korupsi Koneksitas).

6
B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana wewenang KPK terhadap dugaan tindak pidana korupsi

koneksitas?

2. Apa kendala yang dihadapi KPK dalam memeriksa dugaan tindak pidana

korupsi koneksitas?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian:

1. Untuk mengetahui dan menganalisa wewenang KPK terhadap dugaan

tindak pidana korupsi koneksitas.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa kendala yang dihadapi KPK dalam

memeriksa dugaan tindak pidana korupsikoneksitas.

Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan masukan terhadap

perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya di bidang

hukum pidana.

2. Secara praktis penelitian ini berguna untuk memberikan jawaban atas

permasalahan yang diteliti, serta menambah khazanah ilmu hukum pidana,

khususnya mengenai tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK,

sejauh mana wewenang dan yurisdiksi KPK dalam dugaan perkara tindak

pidana korupsi koneksitas.

7
D. Metode Penelitian

Adapun metode penilitian yang digunakan oleh penulis adalah sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Sebagai penelitian hukum, penelitian ini termasukjenis penelitian

yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji

peraturan perundang undangan danfakta fakta terhadap permasalahan

hukum khususnya mengenai korupsi koneksitas.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah termasuk

penelitian deskriptif kualitatif yaitu memaparkan dalam bentuk kalimat

secara terperinci dan melakukan analisis terhadap peraturan perundang -

undangan, literatur, serta kenyataan kenyataan dalam hal penanganan

tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

3. Jenis Jenis Bahan Hukum

Adapun bahan bahan hukum yang digunakan oleh penulis dalam

penelitian ini adalah berdasarkan data sekunder yaitu data yang diperoleh

dari bahan bahan pustaka, yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer terdiri dari: Peraturan perundang undangan

yaitu:

a) UUD 1945,

b) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP),

c) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,

8
d) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan

Militer,

e) Undang UndangNomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme,

f) Undang UndangNomor 31 Tahun 1999 jo Undang - Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi,

g) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi,

h) Undang UndangNomor 28 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman,

i) Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, dan dapat membantumemahami dan menganalisa bahan

hukum primer. Seperti: hasil hasil penelitian, dan karya karya

ilmiah atau jurnal di bidang hukum.

c. Bahan hukum tersier, merupakan bahan bahan hukum yang

memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, meliputi: surat kabar dan internet.

9
E. Sistematika Penulisan

Bab I tentang Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab II tentang Tinjauan Pustaka, menguraikan tentang tinjauan

tentang tindak pidana korupsi, tinjauan tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK), tinjauan tentang pejabat pegawai negeri, dan tinjauan tentang

tindak pidana korupsi dalam perspektif Islam.

Bab III tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan, menguraikan

mengenai hasil penelitian yang telah diperoleh dan dilanjutkan dengan

pembahasan serta analisa yang dilakukan terhadap hasil penelitian tentang

wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dugaan tindak

pidana korupsi koneksitas, dan kendala Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) dalam memeriksa dugaan tindak pidana korupsi koneksitas.

Bab IV tentang Penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan

saran.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi

1. Defenisi Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari Bahasa Latin corruptio atau corruptus

yang kemudian disalin dalam Bahasa Inggris dan Perancis menjadi

corruption, dalam Bahasa Belanda korruptie dan dalam Bahasa

Indonesia disebut dengan korupsi.Secara harafiah istilah tersebut berarti

segala macam perbuatan yang tidak baik. Seperti dikatakan Andi Hamzah

yang dikutip oleh Adami Chazawi bahwa:

Korupsi disebut sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan,


ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata kata yang menghina atau memfitnah6.

Pengertian para ahli mengenai korupsi antara lain yaitu:

a. Menurut Sudarto sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti bahwa unsur

unsur tindak pidana korupsi yaitu sebagai berikut:

1) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu


badan. Perbuatan memperkaya artinya berbuata apa saja, misalnya
mengambil memindahbukukan, menandatangani kontrak dan
sebagainya, sehingga si pembuat bertambah kaya.
2) Perbuatan itu bersifat melawan hukum.Melawan hukum disini
diartikan secara formildan materiil. Unsur ini perlu dibuktikan
karena tercantum secara tegas dalam rumusan delik.
3) Perbuatan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara dan/atau perekonomian negara, atau perbuatan ini

6
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,cetakan kelima,
Bayumedia Publishing, Malang, 2014, hal.. 2

11
diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara7.

b. Menurut Shed Husen Alatas, sebagaimana dukutip oleh Evi Hartanti

bahwa korupsi mengandung ciri ciri sebagai berikut:

1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang,


2) Korupsi pada umumnya melibatkan kerahasiaan, kecuali dimana ia
telah begitu merajalela dan berurat berakar sehingga individu yang
berkuasa atau mereka yang berada dalam lingkungannya tidak
tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka,
3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbale
balik, yang tidak senantiasa berupa uang,
4) Koruptor berusaha menyelubungi perbuatan mereka dengan
berindung dibalik pembenaran hukum,
5) Mereka yang terlibat dalam korupsi menginginkan berbagai
keputusan yang tegas dan mereka mampu mempengaruhi keputusan
itu,
6) Korupsi mengandung penipuan pada badan public atau masyarakat
umum,
7) Korupsi adalah suatu bentuk pengkhianatan,
8) Setiap perilaku korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif
dari mereka yang melakukan tindakan itu,
9) Korupsi melanggar norma norma tugas dan pertanggungjawaban
dalam tatanan masyarakat, ia didasrkan atas niatkesengajaan untuk
menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan khusus8

c. Menurut Selo Sumarjan, sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti bahwa:

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah dalam satu napas karena
ketiganya melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum. Adapun
faktor faktor sosial pendukung KKN adalah sebagai berikut:
1) Desintegrasi (anomie) sosial karena perubahan sosial terlalu cepat
sejak revolusi nasional, dan melemahnya batas milik negara dan
milik pribadi,
2) Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial beralih menjadi
orientasi harta,
3) Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan
pembangunan sosial atau budaya,
4) Penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short
cutmengumpulkan harta,
7
Evi Hartanti,Op.cit., hal. 18
8
Ibid, hal. 19

12
5) Paternalisme, korupsi tingkat tinggi, menurun, menyebar, meresap
dalam kehidupan masyarakat,
6) Pranata pranata sosial kontrol tidak efektif lagi.9

2. Macam Macam Delik Korupsi dan Unsur - Unsurnya

Dari defenisi korupsi yang diatur dalam Undang Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut Surachmin dan

Suhandi Cahaya, bahwa ada 7 macam delik korupsi dan unsur unsurnya,

yaitu:10

1) Tindak Pidana Korupsi yang Merugikan Keuangan Negara atau


Perekonomian Negara
Diatur dalam:
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999:
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsur unsurnya yaitu:
- Pelaku (manusia dan korporasi).
- Melawan hukum.
- Memperkaya diri sendiri atau orang lain.
- Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

9
Ibid, hal. 19 - 20
10
Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi & Tekhnik Korupsi (Mengetahui Untuk Mencegah),
Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 16 - 30

13
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Unsur unsurnya:
- Pelaku (manusia dan korporasi)
- Menguntungkan diri sendiri, orang lain, pelaku, atau korporasi.
- Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan.
- Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2) Tindak Pidana Korupsi Penyuapan
Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU No. 20 Tahun 2001
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentantangan dengan kewajibannya;
atau
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentantangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
Unsur unsur untuk Pasal 5 ayat (1) huruf a:
- Setiap orang.
- Memberi atau menjanjikan sesuatu.
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Dengan maksud pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentantangan dengan kewajibannya.
Unsur unsur untuk Pasal 5 ayat (1) huruf b:
- Setiap orang.
- Memberi sesuatu.
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajibannya, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
Pasal 5 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001:
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1.
Unsur unsurnya:
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Menerima pemberian atau janji.

14
- Berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.

Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b UU No. 20 tahun 2001:


a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkankepadanya
untuk diadili; atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.
Unsur unsur untuk Pasal 6 ayat (1) huruf a:
- Setiap orang.
- Memberi atau menjanjikan sesuatu.
- Hakim.
- Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili.
Unsur unsur untuk Pasal 6 ayat (1) huruf b:
- Setiap orang.
- Memberi atau menjanjikan sesuatu.
- Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang
undangan ditetapkan menjadi advokat untuk menghadiri siding si
pengadilan.
- Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.

Pasal 6 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001:


Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksuddalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dalam ayat (1).
Unsur unsurnya:
Unsur unsurnya mencakup dua (2) tindak pidana yang terpisah satu
sama lain yaitu menyangkut pejabat yang menerima pemberian atau
hadiah yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). Jadi Pasal 6 ayat (2)
merupakan tindak pidana penyuapan yang bersifat pasif, dan
merupakan pasangan dari Pasal 6 ayat (1), kalau dirinci unsur
unsurnya sebagai berikut:
- Hakim atau Advokat.
- Yang menerima pembelian atau janji.

15
- Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b.

3) Tindak Pidana Korupsi Yang Berkaitan Dengan Pembangunan,


Leveransir dan Rekanan
Diatur dalam:
Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, dan huruf d UU No. 20 Tahun 2001:
a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,
atau penjual bahan bangunan, atau penjual bahan bangunan yang
pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang,
atau keselamatan negara dalam perang.
b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Unsur unsur untuk Pasal 7 ayat (1) huruf a:
- Pemborong, ahli banguna yang pada waktu membuat bangunan,
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan.
- Melakukan perbuatan curang.
- Yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang.
Unsur unsur untuk Pasal 7 ayat (1) huruf b:
- Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan.
- Sengaja.
- Membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) huruf a.
Unsur unsur untuk Pasal 7 ayat (1) huruf c:
- Seorang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
- Melakukan perbuatan curang.
- Yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
perang.
Unsur unsur untuk Pasal 7 ayat (1) huruf d:
- Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

16
- Dengan sengaja.
- Membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) huruf c.

Pasal 7 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001:


Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Republik
Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Unsur unsurnya:
- Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalamPasal
7 ayat (1) huruf a atau Pasal7 ayat (1) huruf c.

4) Tindak Pidana Korupsi Penggelapan


Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri
atau orang lai selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uangatau surat
berharga diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu
dalam melakukan perbuatan tesebut.
Unsur unsurnya:
- Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu.
- Dengan sengaja.
- Menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga diambil atau
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.

Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001:


Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima luluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu

17
jabatan umum secara terus menerus atau unutk sementara waktu,
dengan sengaja memalsukan buku buku atau daftar daftar yang
khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Unsur unsurnya:
- Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
unutk sementara waktu.
- Dengan sengaja.
- Memalsu buku buku atau daftar daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi.

Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001:


Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untu k sementara waktu,
dengan sengaja:
a. Menggelapkan menghancurkan, meneruskan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftaryang digunakan untuk
meyakinkan ataumembuktikan di muka pejabat yang berwenang,
yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
meruskkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat
ataudaftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar tersebut.
Unsur unsurnya:
- Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu.
- Dengan sengaja.
- Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang,
yang dikuasai karena jabatannya; atau membiarkan orang lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut; atau
membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar tersebut.

18
Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun, dan/atau pidana denda palin sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kesewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiahatau
janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Unsur unsurnya:
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Menerima hadiah atau janji.
- Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya
dengan jabatannya.

Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001:


Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk mengerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang betentangan
dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahi atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili;
d. sesorang yang menurut ketentuan peraturan perundang undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri siding engadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan, berhubungan dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Unsur unsur untuk Pasal 12 huruf a:
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Menerima hadiah atau janji.

19
- Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebutdiberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang berhubungan dengan
kewajibannya.
Unsur unsur untuk Pasal 12 huruf b:
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Menerima hadiah.
- Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang berhubungan
dengan kewajibannya.
Unsur unsur untuk Pasal 12 huruf c:
- Hakim.
- Menerima hadiah atau janji.
- Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili.
Unsur unsur untuk Pasal 12 huruf d:
- Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang
undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri siding
pengadilan.
- Menerima hadiah atau janji.
- Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah janji atau janji
tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadialn untuk diadili.

5) Tindak Pidana Korupsi Kerakusan (Knevelarij)


Pasal 12 huruf e, f, g, h, dan huruf i UU No.20 Tahun 2001:
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memkasa seseorang
memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran,
dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kepada kas umum, seolah olah pegawai negeri atau
pengelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah olah merupakan utang kepada dirinya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

20
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang
diatasnya terdapat hak pakai, seolah olah sesuai dengan peraturan
perundang undangan, telah merugikan orang yang berhak,
padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentantangan
dengan peraturan perundang undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun
tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
Unsur unsur untuk Pasal 12 huruf e:
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum.
- Dengam menyalahgunakan kekuasaanya.
- Memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau
menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri.
Unsur unsur untuk Pasal 12 huruf f:
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau
memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang lain atau kepada kas umum.
- Seolah olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain
atau kas umumtersebut mempunyai utang kepadanya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Unsur unsur untuk Pasal 12 huruf g:
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang.
- Seolah olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Unsur unsur untuk Pasal 12 huruf h:
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Pada waktu menjalankan tugas, tealh menggunakan tanah negara
yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah sesuai dengan peraturan
perundang undangan.
- Telah merugikan orang yang berhak.
- Padahal diketahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang undangan.
Unsur unsur untuk Pasal 12 huruf i:
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Dengan sengaja
- Secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan.

21
- Yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagain
ditugaskan untuk mengurusatau mengawasinya.

6. Tindak Pidana Korupsi tentang Gratifikasi


Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2002:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan
suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan
oleh penuntut umum.
(2) pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (emapat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsur unsurnya:
- Gratifikasi.
- Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.
- Berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya.

Pasal 12C ayat (1), (2) dan ayat (3) UU No. 20 Tahun 2001:
(1) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada Komis Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) harikerja sejak tanggal menerima
laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik
penerima atau milik negara.
Unsur unsurnya:
Untuk terpenuhinya tindak pidana cukup dipenuhi satu unsur, yaitu
apabila si Penerima tidak melaporkan gratifikasi yang ia terima.

22
7) Tindak Pidana Korupsi Pemberian Hadiah
Pasal 13 UU No. 20 Tahun 1999:
Setiap orang yang member hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana
dengan pidana penjarapaling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Unsur unsurnya:
- Setiap orang.
- Memberi hadiah atau janji.
- Kepada pegawai negeri.
- Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukan pegawai negeri yang bersangkutan; atau
oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan pegawai negeri tersebut.

B. Tinjauan Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Landasan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

adalahUndang - Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pembera.ntasan

Korupsi (KPK).Undang undang tersebut pada dasarnya bersifat menambah

atau melengkapihukum pidana korupsi yang telah ada dalam Undang

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang Undang

Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan

Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.Selain sebagai landasan di

bentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, undang - undang tersebut juga

menjadi landasan dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi yang berada

di lingkungan peradilan umum dan berwenang mengadili dan memutus

perkara korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Sebagaimana

dijelaskan dalam Pasal 53 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu:

23
Dengan undang undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana

korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001, bahwa KPK

memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sesuai dengan Pasal 11

Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 bahwa,kewenangan KPK dalam

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi

meliputi tindak pidana korupsi yang:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain

yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

penegak hukum atau penyelenggara negara

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah)

1. Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi

Pasal 6 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 menentukan

bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

1) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

24
2) Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi.

4) Melakukan tindakan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.

5) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Yang dimaksud dengan tugas supervisi, lebih lanjut dijelaskan dalam

Pasal 8 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu:

Dalam melaksanakan tugas supervisi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal

6 huruf (b), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan

pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang

menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan

pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam

melaksanakan pelayanan publik.

2. Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi

Dalam Pasal 7 UU No. 30 Tahun 2002 menentukan bahwa Komisi

Pemberantasan Korupsi mempunyai wewenang yaitu:

1) Mengordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak

pidana korupsi

2) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi

3) Meminta informasi tentang kegiatan kegiaatanpemberantasan tindak

pidana korupsi kepada instansi yang terkait

25
4) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

5) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi

Pemberantasan Korupsi berpedoman pada 5 azaz yaitu: azaz kepastian

hukum, azaz keterbukaan, azaz akuntabilitas, azaz kepentingan umum, dan

azaz proporsionalitas.

C. Tinjauan tentang Pejabat Pegawai Negeri

Pengertian Pegawai Negeri (Pejabat) dalam Pasal 1 ayat 2 Undang -

Undang Nomor 31 Tahun 1999, meliputi:

a. Pegawai Negeri (Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974jo. Undang

Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok Pokok Kepegawaian )

Pegawai Negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat

syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan yang

berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam

sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan

berdasarkan peraturan perundang undangan dan di gaji menurut

peraturan perundang undangan yang berlaku (Pasal 1(a) Undang -

Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok - Pokok Kepegawaian)

Menurut Pasal 2 Undang - Undang Nomor 8 tahun 1974 jo. Undang

Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok Pokok Kepegawaian,

ditentukan bahwa pegawai negeri terdiri dari:

26
1) Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah

2) Anggota Tentara Nasional Indonesia,

3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Menurut Pasal 92 KUHP

Pasal 92 KUHP menentukan Pegawai Negeri adalah sebagai berikut:

1) Ayat (1) : yang disebut pejabat, termasuk juga orang orang yang

dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan aturan

umum, begitu juga orang orang yang bukan karena pemilihan,

menjadi anggota badan pembentuk undang undang, badan

pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh

pemerintah atau atas nama pemerintah, dan semua kepala rakyat

Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan

kekuasaan yang sah.

2) Ayat (2) :yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit;

yang disebut hakim teramsuk juga orang orang yang menjalankan

peradilan administratif, serta ketua ketua dan anggota pengadilan

agama.

3) Ayat (3):semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai

Pejabat.

c. Orang yang menerima gaji/upah dari keuangan negara

d. Orang yang menerima gaji/upah dari korporasi yang menerima bantuan

dari keuangan negara atau daerah.

27
e. Orang yang menerima gaji/upah dari korporasi yang menggunakan

modal/fasilitas negara/masyarakat.

D. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Islam

Korupsi merupakan perbuatan yang dilakukan oleh sesorang dan/atau

bersama sama beberapa orang profesional yang berkaitan dengan

kewenangan atau jabatan dalam suatu birokrasi pemerintahan dan dapat

merugikan departemen terkait.Secara umum korupsi adalah salah satu bentuk

kejahatan terhadap harta.Oleh karena itu bentuk kejahatan seperti ini

dikategorikan sebagai jarimahyang harus mendapatkan sanksi.

Dalam hukum pidana Islam istilah korupsi belum dikenal dan

dipahami secara formal sebagai jarimah, baik di dalam Al Quran maupun

Hadist.Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebabnya, diantaranya

bahwa secara tekhnik operasional Al Quran dan Hadist tidak merumuskan

secara khusus sehingga secara empiris jarimah ini tidak dikenal pada masa

legislasi Islam awal.

Korupsi atau memakan harta orang lain secara tidak halal dalam Islam

disebut risywah,yaituuang yang diberikan kepada pengusaha atau pegawai,

supaya pengusaha atau pegawai tersebut memberikan sesuatu yang

menguntungkan, atau hukuman yang merugikan lawannya, menurut

kemauannya, atau supaya didahulukan urusannya atau ditunda karena ada

suatu kepentingan.

28
Allah SWT telah menyinggung praktik korupsi pada sejumlah ayat

dalam Al Quran yaitu:

1. Q.S. An Nisa (4):29







Artinya :Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. (Q.S. An

Nisa(4):29)

2. Q.S Al Baqarah (2):188







Artinya: dan janganlah sebagian kamu memakan harta dari sebagian

yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu

membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan

sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)

dosa, padahal kamu mengetahui. (Q.S Al Baqarah (2): 188)

29
RasulullahSAW pun telah memberikan peringatan tegas untuk

menjauhi praktik suap. Beliau bersabda:

Allah melaknat orang yang memberi suap, penerima suap, sekaligus yang

menjadi penghubung antar keduanya. (HR Ahmad)

Tidak heran kalau Islam mengharamkan suap/korupsi terhadap siapa

saja yang bersekutu dalam praktik ini. Sebab akan membawa dampak negatif

yang sangat tidak baik, misalkan akan menyebabkan kerusakan moral dan

kezaliman, seperti menetapkan hukum dengan tidak benar, kebenaran tidak

mendapat jaminan hukum, mendahulukan orang yang seharusnya diakhirkan

dan mengakhirkan orang yang seharusnya didahulukan dan lain sebagainya.

30
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) Terhadap Dugaan

Tindak Pidana Korupsi Koneksitas

Tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh oknum milter (TNI)

bersama sama dengan oknum masyarakat sipil (bukan TNI) yang berupa

tindakan menyalahgunakan keuangan negara, mengakibatkan timbulnya

kerugian negara demi keuntungan pribadi atau kelompok serta badan hukum

tertentu. Apabila terjadi tindak pidana korupsi yang demikian, maka perkara

tindak pidana korupsi tersebut harus diadili dalam ruang lingkup lingkungan

peradilan koneksitas.

Tindak pidana korupsi koneksitas adalah tindak pidana korupsi yang

dilakukan bersama sama oleh mereka yang tunduk pada peradilan umum

dan oleh mereka yang tunduk pada peradilan militer. Artinya para pihak atau

pelaku tindak pidana berasal dari lingkungan peradilan yang berbeda. Sebab

dalam ketentuan Pasal 18 Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dikenal ada 4 lingkungan peradilan yang berbeda

dalam lingkungan Mahkamah Agung yaitu lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan

peradilan tata usaha negara, dimana masing masing lembaga peradilan

memiliki kompetensi dan kewenangan yang berbeda dalam mengadili.

Kewenangan masing masing peradilan bersifat absolut dan tidak bisa

dicampuri oleh urusan peradilan lain.

31
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi koneksitas,pada awalnya

lembaga yang berwenang mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan adalah Jaksa Agung, sebagaimana dimuat dalam Pasal 39 Undang

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi bahwa:

Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyidikan dan

penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama sama oleh orang

yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

Akan tetapi ketentuan dalam Pasal 31 Undang Undang Nomor 31 Tahun

1999 tersebut, selanjutnya dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan

ketentuan di dalam Pasal 42 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dimana kewenangan yang

sebelumnya dimiliki oleh Jaksa Agung untuk mengkoordinasikan perkara

korupsi koneksitas berubah menjadi kewenangan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK). Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 42 Undang Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa:

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan

mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana

korupsi yang dilakukan bersama sama oleh orang yang tunduk pada

peradilan umum dan peradilan militer.

Tetapi, sepanjang Komisi Pemberantasan Korupsi belum mempergunakan

wewenangya atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 Undang

Undang nomor 30 Tahun 2002 dapat saja Presiden mengkoordinasikan

Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI, dan Pengawas Keuangan dalam suatu

32
Tim untuk melaksanakan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi

koneksitas.

Kemudian khusus untuk penyidikan, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 42

tersebut tumpang tindih dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 89 ayat

(2) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

menentukan bahwa :

Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilaksanakan oleh suatu tim tetap yangterdiri dari penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 dan Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi sesuai dengan

wewenang mereka masing masing menurut hukum yang berlaku untuk

penyidikan perkara pidana.

Dengan tumpang tindihnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 42

denganPasal 89 ayat (2) KUHAP, maka jika diberlakukan asas lex posterior

derogate legi priori, artinya undang undang baru atau undang undang

yang kemudian menghapuskan undang undang yang terdahulu, serta karena

perkara tindak pidana korupsi merupakan perkara yang bersifat lex

spesialis, maka yang diberlakukan adalah Pasal 42 Undang Undang

Nomor 30 Tahun 2002. Tetapi selama ketentuan yang terdapat dalam Pasal

42 belum dapat dipergunakan oleh KPK, penyelidikan termasuk pula

penyidikan sebagai bagian dari penyidikan penuntutan, bahkan pemeriksaan

disidang pengadilan terhadap perkara korupsi koneksitas adalah Pasal 89

KUHAP yang menentukan bahwa:

33
1) Tindak pidana yang dilakukan bersama sama oleh mereka yang

termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer,

diperiksadan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,

kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan

dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan

diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal (6) dan polisi militer Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia dan Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi sesuai

dengan wewenang mereka masing masing menurut hukum yang

berlaku untuk penyidikan perkara pidana.

3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat

keputusan bersama Menteri Pertahana dan Keamanan dan Menteri

Kehakiman.

Peraturan perundang undangan lain yang menjadi dasar hukum perkara

tindak pidana koneksitas adalah Pasal 16 UU No. 28 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa:

Tindak pidana yang dilakukan bersama sama oleh mereka yang termasuk

dalam lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer

diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,

kecuali jika menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus

diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

34
Dengan adanya ketentuan Pasal 16 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009,

maka ketentuan mengenai pengecualian yang terdapat didalam Pasal 89 ayat

(1) KUHAP tidak dijalankan.

Sebagai pedoman untuk menentukan pengecualian itu titik beratnya

ialah kerugian. Apabila besarnya kerugian dari tindak pidana ada pada

kepentingan hukum militer, maka perkara itu akan diperiksa dan diadili dalam

lingkungan peradilan militer. Namun apabila kerugian akibat tindak pidana

lebih banyak pada kepentingan hukum sipil, maka perkara tersebut diperiksa

dan diadili dalam lingkungan peradilan umum.

Proses menetukan pengadilan yang berwenang mengadili perkara

korupsi koneksitas lebih lanjut telah diatur dalam Pasal 90 dan 91 KUHAP

yaitu:

Pasal 90:

1) Untuk menerapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan

militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan

mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat

(1), dibacakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur

militer atau oditur militer tinggi atau dasar hasil penyidikan tim tersebut

pada Pasal 89 ayat (2),

2) Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara

yang ditandatanganu oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1)

35
3) Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang

pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu

dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh

oditur militer atau Oditur Militer Tinggi kepada oditur Jenderal Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia.

Pasal 91:

1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3)

titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak

pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili

oleh pengadilan dalm lingkungan peadilan umum, maka perwira

penyerah perkara segera membuat surat kepetusan penyerahan perkara

yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada

penuntut umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut

kepada pengadilan negeri yang berwenang.

2) Apabila pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak

pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana

itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer,

maka pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan

dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan agar

dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri

Pertahanan dan Keamana yang menetapkan, bahwa perkara pidana

tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

36
3) Surat keputusan terbut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira

penyerah perkara dan jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara

tersebut kepada Mahkamah Militer atau Mahkamah Militer Tinggi.

Sesuai dengan bunyi kedua Pasal diatas, maka penulis menyimpulkan

bahwa terdapat 2 kemungkinan berikut:

1. Apabila terdapat perbedaan pendapat mengenai peradilan mana yang akan

memeriksa dan memutus tindak pidana tersebut, maka pendapat itu

dituangkan dalam berita acara dan masing masing dilaporkan oleh jaksa

atau jaksa tinggi ke Jaksa Agung; dan oleh oditur militer atau oditur

militer tinggi ke oditur Jenderal TNI. Dalam hal ini ada 2 kemungkinan:

1. Apabila besarnya kerugian terletak pada kepentingan hukum umum

(sipil) sehingga harus diadili oleh peradilan umum, maka perwira

penyerah perkara segera membuat Surat Keputusan Penyerahan Perkara

yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada

penuntut umum untuk dijadiakan dasar mengajukan perkara tersebut

kepada Pengadilan Negeri yang berwenang. Dan apabila setelah perkara

itu diserahkan kepada peradilan dalam lingkungan peradilan umum,

maka KPK berwenang melakukan pengambilalihan penyidikan dan

penuntutan apabila dengan alasan yang disebutkan dalam Pasal 9

Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 bahwa:

Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan

alasan:

37
a) Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindak

lanjuti;

b) Proses penangananan tindak pidana korupsi secara beralarut larut

atau tertunda tunda tanpa alasan yang tidak

dipertanggungjawabkan;

c) Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi

pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d) Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur tindak pidana

korupsi;

e) Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan

dari eksekutif, yudikatif atau legislatif;

f) Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan

dapat dipertanggungjawabkan.

Dan KPK hanya boleh melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan

tindak pidana korupsi yang sesuai dengan Pasal 11 Undang Undang

Nomor 20 Tahun 2003 yaitu:

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf

(c), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan

penyelidikan, penyidikan,dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:

a) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang

lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

38
b) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;

c) Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000.,00

(satu miliar rupiah).

Apabila perkara korupsi tersebut telah dilakukan penyelidikan dan

penyelidik tidak menemukan bukti permulaan yang cukup, maka

penyelidik melaporkan kepada KPK, apabila KPK menyatakan perkara

tersebut diteruskan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 44 ayat (4) dan

ayat (5) dijelaskan bahwa :

4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa

perkara tersebutditeruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi

melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara

tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.

5) dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), kepolisian atau kejaksaan

wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan

penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mengenai perkara korupsi koneksitas KPK boleh saja berkooordinasi

dengan lembaga lembaga hukum lain seperti Kejaksaan,

kepolisian/POM TNI berhubung perkara ini merupakan penggabungan

dengan lingkungan peradilan yang lain seperti yang telah dijelaskan

diatas.

39
2. Sebaliknya apabila kerugian itu terletak kepada kepentingan hukum

militer sehingga perkara itu harus diadili oleh pengadilan militer, maka

pendapat dari penelitian bersama itu akan dijadikan dasar bagi oditur

Jenderal TNI untuk mengusulkan pada Menteri Pertahanan dan

Keamanan agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dan HAM

dapat dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan untuk

perkara tersebut diadili di lingkungan peradilan militer. Surat keputusan

yang dikeluarkan tersebut dijadikan dasar bagi perwira penyerah

perkara dan jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut

kepada Mahkamah Militer Tinggi. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal

40 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

bahwa:

Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di

lingkungan Peradilan Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g Undang - Undang Nomor 31 Tahun

1997 tentang Peradilan Militer tidak diberlakukan.

Yang dimaksud dengan cukup alasan untuk mengajukan perkara

korupsi di lingkungan Peradilan Militer dalam ketentuan tersebut

berkas perkara tindak pidana korupsi yang dimaksud sudah lengkap,

baik dari segi formil (misalnya jika berita acara pemeriksaan tersangka

atau saksi atauberita acara penyitaan yang terdapat dalam berkas

perkara, bukan merupakan fotokopi dari beritaacara pemeriksaan

40
tersangka atau saksi atau berita acara penyitaan yang asli) maupun dari

segi materiil (jika unsur unsur dari ketentuan pidana yang

dipersangkakan kepada tersangka tindak pidana korupsi dipenuhi oleh

perbuatan tersangka), untuk dilimpahkan ke pengadilan di lingkungan

Peradilan Militer dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh

hakim.

Pasal 123 ayat (1) huruf g Undang Undang nomor 31 Tahun 1997

tentang Peradilan Militer menentukan bahwa Perwira Penyerah Perkara

(PEPERA) mempunyai wewenang untuk menentukan perkara

diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit. Akan tetapi, khusus

untuk perkara tindak pidana korupsi harus diajukan ke sidang

pengadilan di lingkungan Peradilan Militer, kecuali jika Perwira

Penyerah Perkara mempergunakan wewenangnya untuk menutup

perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer

seperti yang ditentukan dalam Pasal 123 ayat (1) huruf h Undang

Undang Nomor 31 Tahun 1997.

2. Apabila terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur

militer atau oditur militer tinggi, maka menurut ketentuan Pasal 93 ayat (1)

KUHAP dan Pasal 202 ayat (1) Undang Undang Peradilan Militer,

meraka masing masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu

masing masing pada Jaksa Agung dan Oditur Jenderal TNI yang

kemudian dimusyawarahkan antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal.

41
Apabila setelah musyawarah tetap ada perbedaan pendapat, maka pendapat

Jaksa Agung yang menentukan.

Untuk menetukan ke pengadilan mana perkara koneksitas akan diperiksa,

apakah dilimpahkan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau

ke pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, haruslah berpedoman

pada hukum acara yang berlaku, yaitu Pasal 90, 91, 92, dan Pasal 93

KUHAP.

Mengenai susunan majelis hakim perkara korupsi dalam peradilan

koneksitas diatur dalam Pasal 94 KUHAP, bahwa:

1. Apabila perkara koneksitas, diperiksa dan diadili dalam lingkungan

peradilan umum, susunan majelis hakim terdiri dari:

a. 3 (tiga) orang hakim.

b. Hakim ketua majelis diambil dari lingkungan peradilan umum/

pemgadilan negeri.

c. 2 (dua) orang hakim diambil secara berimbang, yaitu 1 orang dari

lingkungan peradilan umum dan 1 orang dari lingkungan peradilan

militer.

2. Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili dalam lingkungan

peradilan militer, susunan majelis hakim terdiri dari:

a. 3 (tiga) orang hakim.

b. Hakim ketua majelis diambil dari lingkungan peradilan militer.

42
c. Hakim anggota diambil secar berimbang, yaitu 1 orang dari

lingkungan peadilan militer dan 1 orang dalam lingkungan peradilan

umum.

d. Hakim anggota dari peradilan umum diberi pangkat militer tituler.

Sebagai pelaksanaan dari ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 89

ayat (3) KUHAP, telah dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan

dan Keamanan dan Menteri Kehakiman tanggal 29 Desember 1983 Nomor

KEP 10/M/XII/1983 Nomor M.57.PR.09.03 Tahun 1983 tentang

Pembentukan Tim Tetap untuk Penyidikan Perkara Tindak Pidana

Koneksitas.Di dalam Keputusan Bersama tersebut antara lain terdapat

ketentuan bahwa Ketua Tim Tetap bertugas mengkoordinasikan dan

melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyidikan oleh Tim Tetap

yang bersangkutan agar dapat berjalan dengan lancar, terarah, berdaya guna,

dan berhasil guna.Cara Tim Tetap tersebut disesuaikan dengan penggarisan

dan batas batas wewenang yang sudah ada pada masing masing unsur tim.

Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

42 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi, maka jika sampai keputusan bersama yang dimaksud diatas belum

dinyatakan tidak berlaku, tindak pidana korupsi koneksitas, penyidikannya

dilakukan oleh Tim Tetap seperti yang dimaksud oleh Pasal 89 ayat (2)

KUHAP dibawah koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan bukan

dibawah koordinasi Ketua Tim Tetap.

43
Berkaitan dengan tugas koordinasi dalam Pasal 7 Undang - Undang

Nomor 30 Tahun 2002 telah dijelaskan bahwa:

Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

huruf (a), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi kepada instansi yang terkait;

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.

Dapat disimpulkan bahwa kewenangan KPK dalam perkara korupsi

koneksitas adalah mengkoordinasikan seluruh tahapan mulai dari

penyelidikan sampai dengan penuntutan. Akan tetapi, ppada kenyataannya

KPK belum sepenuhnya menjalankan apa yang menjadi amanat dari pasal 42

Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002. KPK selama ini hanya berfungsi

sebatas menjalankan tugas supervisi dan pengawasan terhadap masalah

keuangan di tubuh TNI. Seluruh rangkaian proses pemeriksaan terebut tetap

dilaksanakan menurut ketentuan dalam KUHAP dan Undang Undang

Peradilan Militer dibawah koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi.

44
B. Kendala Yang Dihadapi KPK Dalam Memeriksa Dugaan Tindak Pidana

Korupsi Koneksitas

Dalam kata sambutan Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

pada pembukaan seminar tentang Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003

terhadap Sistem Hukum Nasional, yang berlansung di Hotel Sahid Jaya,

Denpasar, Bali,

tanggal 14 15 Juni 2006, sebagaimana dikutip oleh Badan Pembinaan

Hukum Nasional dalam Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum

Pemberantasan Korupsi di Indonesia, dikemukakan bahwa beberapa

problematika pemberantasan tindak pidana korupsi antara lain sebagai

berikut:

1. Belum adanya mekanisme yang jelas mengenai perlindungan terhadap


pelapor dan saksi sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi Anti Korupsi
(UNCAC) 2003;
2. Sulitnya memperoleh informasi perbankan terkait dengan sesorang yang
diduga melakukan ataupun terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi;
3. Panjangnya birokrasi yang harus dilalui untuk melakukan pemeriksaan
terhadap pejabat pejabat tertentu yang terindikasi melakukan tindak
pidana perbankan;
4. Belum adanya sanksi yang tegas bagi Penyelenggara Negara yang tidak
melaporkan harta kekayaannya.11

Mengingat bahwa KPK adalah lembaga utama dan independen yang

menangani pemberantasan korupsi di Indonesia, maka pernyataan/ungkapan

ketua KPK mengenai problematika pemberantasan tindak pidana korupsi

sebagaimana tersebut diatas, dapat diyakini sebagai suatu pernyataan yang

benar dan berpijak pada pengalaman praktis, dimana kebenaran pernyataan

11
Rudy Satriyo Mukantardjo dan tim, Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, BPHN, Jakarta, 2008, hal. 48 - 49

45
tersebut tentu saja melebihi kebenaran pernyataan dari pakar atau ahli yang

seringkali hanya berpijak pada pengalaman atau observasi teoritis.

Khusus perkara korupsi koneksitas yaitu tindak pidana korupsi yang

dilakukan bersama sama oleh mereka yang tunduk pada peradilan umum

dan peradilan militer, KPK mengalami kesulitan kesulitan antara lain:

1. Masih lemahnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang

undangan yang mengatur mengenai kewenangan KPK untuk memeriksa

dugaan korupsi koneksitas.

Terbatasnya kewenangan KPK untuk menyelidiki dugaan korupsi di TNI

disebabkan oleh adanya undang undang peradilan militer yang

menyatakan bahwa kewenangan menahan anggota tentara yang

bermasalah adalah anggota polisi militer dan proses hukumnya pun secara

militer. Dengan adanya UU TNI yaitu Undang Undang Nomor 34 Tahun

2002 Tentang TNI dan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang

Peradilan Militer yang mengatur bahwa perkara perkara tindak pidana

yang melibatkan oknum TNI harus diperiksa dan diadili di lingkungan

peradilan militer. Hal ini membuat TNI masih memiliki imunitas dalam

penegakkan hukum, khususnya kasus tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh pejabat pejabat tinggi di lingkungan organisasi TNI

bersama sama dengan pejabat sipil, karena peradilan sipil atau peradilan

umum tidak dapat menyidik pelanggaran hukum dalam kemiliteran.

Pengaturan mengenai wewenang KPK terhadap perkara korupsi koneksitas

hanya diatur dalam Pasal 42 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002.

46
2. Pelaku (subjek hukum) dilindungi korps, atasan atau teman temannya

Pada umumnya kasus yang terindikasi menjadi suatu tindak pidana korupsi

ada kaitannya dengan organisasi, atasan ataupun dengan teman temannya

dengan tujuan untuk menjaga nama baik organisasi atau untuk melindungi

kepentingan atasan itu sendiri atau teman temannya. Tidak jarang

terungkap bahwa suatu kasus korupsi tertentu dilakukan berdasarkan

kebijaksanaan suatu organisasi atau atasan atau juga merupakan suatu

kerjasama antara atasan dengan pelaku atau antara pelaku dengan teman

teman seorganisasi.

3. Objeknya rumit karena kasus kasus yang terdapat indikasi dapat

dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi berkaitan atau tumpang

tindih dengan berbagai peraturan lain. Misalnya dalam hal pengadaan Alat

Utama Sistem Senjata (Alutsista) TNI, KPK tidak bisa serta merta untuk

memperoleh akses informasi mengenai pengadaan alutsista tersebut karena

berkaitan dengan rahasia negara atas kepentingan militer yang tidak bisa

diketahui umum.

4. Sulitnya menghimpun bukti awal

Pada umumnya kasus yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi

baru terungkap setelah kejadiannya usai dan telah berlangsung cukup

lama. Misalakan dalam pengadaan barang barang keperluan TNI yang di

beli dari luar negeri. Hal ini menyulitkan KPK untuk menemukan bukti

pemulaan dan melakukan perhitungan mengenai besaran kerugian

terhadap keuangan negara karena.

47
5. Perkara koneksitas memakan waktu yang lama

Perkara koneksitas adalah merupakan proses pemeriksaan di pengadilan,

dimana pelakunya berasal dari lingkungan peradilan yang berbeda. Oleh

sebab itu, suatu perkara koneksitas hanya bisa disidangkan sebagai perkara

koneksitas jika ada keputusan dari Menteri Pertahanan dan telah disetujui

oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Belum lagi menunggu hasil

pengkajian dari tim penyidik yang dibentuk untuk menentukan apakah

perkara masuk dalam lingkup peradilan umum atau lingkup peradilan

militer.

6. Adanya terror baik secara psikis maupun fisik, yang berupa ancaman

melalui surat atau telepon, bahkan penculikan kepada para penegak

hukum.

Tidak jarang para penegak hukum khususnya KPK atau yang memeriksa

suatu kasus menganai tindak pidana korupsi mendapatkan terror baik di

media massa ataupun melalui pesan singkat dengan tujuan untuk

mempengaruhi atau mengintervensi para penegak hukum yang sedang

menjalankan tugas dan tanggung jawab penegakkan hukum dan

pemberantasan korupsi.

48
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki wewenang untuk

mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara

korupsi koneksitas yaitu perkara korupsi yang dilakukan bersama sama

oleh mereka yang tunduk pada peradilan umum dan tunduk pada

peradilan militer berdasarkan bukti dan fakta fakta yang ditemukan

oleh Tim Tetap tentang adanya perisitiwa yang patut diduga sebagai

tindak pidana korupsi. Aturan hukum mengenai wewenang Komisi

Pemberanatasan Korupsi terhadap perkara korupsi koneksitas adalah

Pasal 42 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi.Perkara koneksitas dimulai dengan proses

penyidikan (Pasal 89 KUHAP), penentuan pengadilan yang berwenang

mengadili perkara koneksitas oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi atau oleh

Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi (Pasal 90 KUHAP), lalu masuk

ke tahap penuntutan, dan terakhir penentuan Majelis Hakim yang

mengadili perkara koneksitas tergantung perkara koneksitas tersebut

diadili dalam peradilan umum atau diadili dalam peradilan militer (Pasal

94 KUHAP). Semua proses pemeriksaan dari penyidikan sampai dengan

49
penuntutan perkara koneksitas, dikoordinasikan dan dilaporkan

perkembangannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

2. Kendala yang dihadapi KPK dalam memeriksa dugaan tindak pidana

korupsi koneksitas yaitu:

a. Masih lemahnya regulasi peraturan perundang undangan yang

mengatur mengenai kewenangan KPK untuk memeriksa dugaan

korupsi koneksitas.

Terbatasnya kewenangan KPK untuk menyelidiki dugaan korupsi di

TNI disebabkan oleh adanya undang undang peradilan militer yang

menyatakan bahwa kewenangan menahan anggota tentara yang

bermasalah adalah anggota polisi militer dan proses hukumnya pun

secara militer.

b. Pelaku (subjek hukum) dilindungi korps, atasan atau teman

temannya

Pada umumnya kasus yang berkualifikasi tindak pidana korupsi ada

kaitannya dengan organisasi, atasan ataupun dengan teman

temannya dengan tujuan untuk menjaga nama baik organisasi atau

untuk melindungi kepentingan atasan itu sendiri atau teman

temannya.

c. Objeknya rumit karena kasus kasus yang terdapat indikasi dapat

dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi berkaitan dengan

berbagai peraturan lain. Misalnya dalam hal pengadaan Alat Utama

Sistem Senjata (Alutsista) TNI, KPK tidak bisa serta merta meminta

50
informasi mengenai pengadaan alutsista tersebut karena berkaitan

dengan kepentingan militer yang tidak bias diketahui umum.

d. Sulitnya menghimpun bukti awal karena pada umumnya kasus yang

dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi baru terungkap setelah

kejadiannya usai dan telah berlangsung cukup lama.

e. Perkara koneksitas memakan waktu yang lama

Karena suatu perkara koneksitas hanya bisa disidangkan sebagai

perkara koneksitas jika ada keputusan dari Menteri Pertahanan dan

telah disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Belum

lagi menunggu hasil pengkajian dari tim penyidik yang dibentuk

untuk menentukan apakah perkara masuk dalam lingkup peradilan

umum atau lingkup peradilan militer.

f. Adanya terror baik secara psikis maupun fisik, yang berupa ancaman

melalui surat atau telepon, bahkan penculikan kepada para penegak

hukum.

B. Saran

1. Memberikan kewenangan seluas luasnya kepada Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki kasus korupsi di tubuh

Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan merevisi undang undang

mengenai Peradilan Militer, karena undang undang ini bertentangan

dengan prinsip bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang

sama di muka hukum serta beberapa ketentuan dalam KUHAP tentang

51
koneksitas perlu ditinjau kembali khususnya dalam pembentukan tim

penyidik (Pasal 89 ayat 2 KUHAP) karena tidak sesuai lagi dengan

perkembangan struktur pemerintahan dan perkembangan hukum saat ini,

seperti dalam pembentukan tim penyidik harus didasarkan pada Surat

Keputusan Bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman yang sekarang

sudah diganti dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)

yang mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda.

2. Dalam penanganan perkara korupsi koneksitas, proses hukumnya harus

bebas dari pengaruh politik dan kepentingan kepentingan

organisasi/lembaga tertentu.

52
DAFTAR PUSTAKA

Anggota IKAPPI, 2009, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Fokus Media,


Bandung.
Ali, Zainudin, 2006, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Atmasasmita, Romli, 2004, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan
Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Cetakan
Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Cahaya, Suhandi dan Surachmin, 2011, Strategi dan Tekhnik Korupsi
(Mengetahui Untuk Mencegah), Sinar Grafika, Jakarta.
Chazawi, Adami, 2014, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,
Cetakan Kelima, Bayumedia Publishing, Malang.
Djaja, Ermansyah, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika,
Jakarta.
---------------, 200, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,Sinar Grafika
Jakarta.
Effendy, Marwan, 2010, Peradilan in Absentia dan Koneksitas, Timpani
Publishing, Jakarta.
---------------, 2012, Sistem Peradilan Pidana (Tinjauan Terhadap Beberapa
Perkembangan Hukum Pidana), Referensi, Jakarta.
Hartanti, Evi, 2007, Tindak Pidana Korupsi,Sinar Grafika, Jakarta.
Hamzah, Andi, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
---------------, 1994, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan
Praktek, Rineke Cipta, Jakarta.
---------------, 2005, Pemberantasan Korupsi (Hukum Pidana Nasional dan
Internasional), Sinar Grafika, Jakarta.
Lamintang, dan Lamintang, Theoo, 2009, Kejahatan Jabatan dan Kejahatan
Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.
Makarim, Nono Anwar, 2002, Mencuri Uang Rakyat, 16 Kajian Korupsi Di
Indonesia,Aksara Fondation, Jakarta.
Mukantardjo, Rudy Satriyo dan Tim, 2008, Penelitian Hukum Tentang Aspek
Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN), Jakarta.
Salam, Faisal, 2006, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
Soekanto, Soerjono, 2003, Sosiologi Suatu Pengantar, Cetakan 36,Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Soesilo, R, dan Karjadi,1986, Kitab Undang Undang hukum Acara Pidana
dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Cetakan Kedua, Karya
Nusantara, Bandung.
Sunggono, Bambang, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta.

Syahatah, Husain, Husain, 2008, Suap dan Korupsi Dalam Perspektif Syariah,
Amzah, Jakarta.

Wiyono, R, 2009, Pembahasan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai