Anda di halaman 1dari 8

Representative Office / Kantor Perwakilan Perusahaan

Asing (KPPA)
Representative Office / Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA) dapat dimohonkan oleh
Perusahaan Luar negeri di Indonesia. Dasar Hukum Representative Office / Kantor Perwakilan
Perusahaan Asing (KPPA) antara lain Keputusan Presiden RI nomor 90 Tahun 2000 Tentang
Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal Nomor 22/SK/2001 tanggal 1 Agustus 2001 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan
Presiden Nomor 90 Tahun 2000 serta Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Tahun 1999.

Beberapa hal berkaitan dengan Representative Office / Kantor Perwakilan Perusahaan Asing
(KPPA), yaitu Representative Office / Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA)
diperbolehkan melakukan kegiatan sebatas pada peranannya sebagai pengawas,
penghubung, koordinator dan mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-
perusahaan afiliasi di Indonesia dan atau negara di luar Indonesia. Representative Office /
Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA) tidak diperkanankan untuk mencari sesuatu
penghasilan dari sumber indonesia termasuk tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan atau
melakukan sesuatu periaktan/transaksi penjualan dan pembelian barang dan jasa dengan
perusahaan atau perorangan di dalam negeri.

Representative Office / Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA) tidak dipebolehkan untuk
ikut serta dalam bentuk apapun dalam pengelolaan suatu perusahaan, anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang ada di Indonesia. Berkaitan dengan laporan maka Representative Office
/ Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA) wajib menyampaikan laporan tahunan selambat-
lambatnya tanggal 31 Januari tahun berikutnya kepada BKPM.

Bilamana Representative Office / Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA) telah


memperoleh persetujuan dari BKPM dan bermaksud untuk melakukan perubahan maka harus
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari BKPM, perubahan yang perlu mendapat persetujuan
diantaranya : perubahan nama perusahaan, perubahan pimpinan kantor perwakilan, pindak lokasi
kantor ke provinsi lain, perubahan jumlah tenaga kerja asing yang di pergunakan.

Definisi

Bentuk joint operation adalah merupakan perkumpulan dua badan atau lebih yang
bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek, penggabungan ini bersifat sementara
sampai proyek tersebut selesai.
Bentuk penggabungan demikian bukanlah merupakan subyek dari pengenaan PPh Badan,
namun pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada
masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau
penghasilan yang diterimanya.
Pemberian NPWP terhadap joint operation adalah semata-mata untuk keperluan
pemungutan dan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan PPN.
Dalam rangka menentukan dan memperhitungkan besarnya PPh yang terhutang untuk
Badan-badan tersebut, pembukuan yang terpisah dari masing-masing Badan yang
bergabung dalam joint operation dapat dilakukan. Ketentuan ini juga mencakup dan
berlaku bagi penghasilan yang diterima dari proyek bantuan luar negeri.

PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002 Jo KMK No. 522/KMK.04/2000, KEP


- 547/PJ./2000 Jo KEP - 513/PJ./2001 Jo KEP - 171/PJ./2002 Jo SE - 14/PJ.41/2002 Jo S -
58/PJ.311/2004

Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2002

1. Wajib Pajak Orang Pribadi Tertentu (WP OPPT) adalah Wajib Pajak (WP) yang
melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang
konsumsi melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak
termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran.
2. WP yang memiliki beberapa tempat usaha dalam satu wilayah kerja KPP, harus
mendaftarkan masing-masing tempat usahanya di KPP yang bersangkutan.
3. WP yang memiliki beberapa tempat usaha di lebih dari 1 wilayah kerja KPP, harus
mendaftarkan setiap tempat usahanya di KPP Lokasi masing-masing tempat usaha
WP berada.
4. Terhadap WP OPPT tersebut di atas wajib membayar angsuran PPh dalam tahun
berjalan (PPh Pasal 25) sebesar 2 % dari jumlah peredaran bruto berdasarkan pembukuan
atau pencatatan setiap bulan dari masing-masing tempat usaha/gerai (outlet) WP.
5. WP OP yang memberikan pernyataan semata-mata hanya memiliki satu tempat
usaha/gerai(outlet) tidak boleh dikukuhkan menjadi WP OPPT oleh KPP Lokasi. WP
yang bersangkutan hanya wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ke KPP
Domisili. KPP lokasi hanya bisa memberitahukan ke WP dan KPP domisili agar
terhadap WP yang bersangkutan dilakukan pendaftaran/pemberian NPWP ( lihat S -
58/PJ.311/2004 )
6. PPh Pasal 25 tersebut harus dilunasi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan harus
dilaporkan ke KPP terkait paling lambat tanggal 20 bulan tersebut dengan menggunakan
SPT Masa PPh Pasal 25 seperti contoh pada lampiran II KEP - 171/PJ./2002.
7. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut hanya disampaikan di KPP tempat
domisili Wajib Pajak terdaftar dengan melampirkan formulir daftar jumlah penghasilan
dan pembayaran PPh Pasal 25 dari masing-masing tempat usaha/gerai (outlet). Formulir
yng digunakan seperti contoh pada lampiran I KEP - 171/PJ./2002.
8. Hal-hal penting sehubungan dengan pembayaran dan pelaporan PPh pasal 25 untuk WP
Orang Pribadi tertentu :

a. KPP lokasi adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha/gerai (outlet).
b. KPP Domisili adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal WP Orang
Pribadi yang bersangkutan.
c. Jika WP Orang Pribadi tertentu menerima atau memperoleh penghasilan lain yang
dikenakan PPh yang bersifat tidak final maka :
- PPh Pasal 25 yang dibayar oleh masing-masing tempat usaha/gerai (outlet) dapat
dikreditkan dalam penghitungan PPh terutang untuk tahunn pajak yang bersangkutan
- Jika ada kompensasi kerugian tahun pajak sebelumnya, kompensasi kerugian dapat
diperhitungkan dengan penghasilan WP Orang Pribadi tertentu sepanjang belum
habis masa kompensasinya
- Besarnya angsuran PPh pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau diperoleh
WP untuk bulan-bulan setelah batas waktu penyampaian SPT tahunan PPh, sama
dengan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
- Besarnya angsuran PPh pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau diperoleh
WP untuk bulan-bulan setelah batas waktu penyampaian SPT tahunan PPh adalah sbb
=

Penghasilan lain neto


besar angsuran yang terutang berdasarkan SPT tahunan PPh
Total penghasilan X
tahun pajak sebelumnya.
neto
- Contoh penghitungan PPh Pasal 25 untuk WP Orang Pribadi tertentu menerima atau
memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final :

Perdagangan Penghasilan Lain


Uraian Jumlah (Rp)
(Rp) (Rp)
Peredaran Bruto 600.000.000 200.000.000 800.000.000
Harga Pokok dan Biaya lain (500.000.000) (120.000.000) (620.000.000)
Penghasilan Neto 100.000.000 80.000.000 180.000.000
PTKP ( misal K/2) - - (7.200.000)
PKP - - 172.800.000
PPh Terutang ( tarif Psl 17) - - 29.450.000
PPh Pasal 25 ayat (7) yang telah
- - (6.000.000)
dibayar
PPh Kurang Bayar - - 23.450.000
Besar Angsuran ( 1/12 X
- - 1.954.167
17.450.000 )
Besar Angsuran untuk Penghasilan lain = (80.000.000/180.000.000)
868.518
X 1.954.167
d. Jika WP Orang Pribadi tertentu tidak memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh
yang bersifat final maka :
- PPh Pasal 25 yang dibayar oleh masing-masing tempat usaha/gerai (outlet)
merupakan pelunasan PPh terutang.
- Jika ada kompensasi kerugian tahun pajak sebelumnya, kompensasi kerugian tidak
dapat diperhitungkan.

Kenali Para Pemotong dan Pemungut Pajak di Indonesia

Senin, 29 Oktober 2012 - 00:43

Sesuai Siklus Hak dan Kewajiban Wajib Pajak (WP), maka selain pembayaran bulanan yang
dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme
pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Dalam mekanisme ini, pihak ketiga
ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut pajak dan
menyetorkannya ke kas Negara.

Jenis-jenis pemotongan/pemungutan pajak di Indonesia meliputi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal


21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15.
Pemotongan/pemungutan atas jenis-jenis pajak tersebut dinamakan withholding tax system.
Selain jenis-jenis pajak tersebut, sistem perpajakan di Indonesia mengenal pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Meski tidak
termasuk dalam skenario withholding tax system, namun pemungutan PPN dan PPnBM harus
diperhatikan kewajibannya karena terkait dengan kewajiban perpajakan pihak ketiga.

Pertama, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada WP orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan. Misalnya
pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. WP
berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan
yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. WP orang pribadi
dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP
tempat WP orang pribadi terdaftar.

Kedua, pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang
oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-
bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan PPh Pasal 22
meliputi pemungutan atas: (1) pembelian barang oleh instansi Pemerintah; (2) ;kegiatan impor
barang; (3) produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
(4) pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau
eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul;
(5) Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah. WP dapat ditunjuk
sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sekaligus sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal
22.

Ketiga, pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan
pembayaran berupa dividen, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan
BUT. WP badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan WP orang pribadi tidak
ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila WP menerima
penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi
kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima akan
dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut.

Keempat, pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan
dengan pembayaran berupa dividen, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP
luar negeri. WP baik orang pribadi maupun badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 26 atau
sesuai dengan ketentuan Tax Treaty.

Kelima, pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan, jasa
konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan lainnya. Yang dimaksud final disini
bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh
pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan
lagi dalam penghitungan PPh pada SPT Tahunan. ;WP badan ditunjuk untuk memotong PPh
Pasal 4 ayat (2), sedangkan WP orang pribadi tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat
(2). Demikian sebaliknya, apabila WP menerima penghasilan yang merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan
pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima akan dipotong PPh Pasal 4
ayat (2) oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan
yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi
(bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2)
tersebut, misalnya dalam transaksi sewa atau penjualan property tanah dan/atau bangunan.

Keenam, pemotongan PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh
pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan
khusus. Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan
international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas
bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun
guna serah. Wajib Pajak badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15, sedangkan Wajib Pajak
orang pribadi tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib
Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi
penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 15, maka atas penghasilan
yang diterima akan dipotong PPh Pasal 15 oleh pemotong. Namun, apabila Wajib Pajak
menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan
adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh
Pasal 15 tersebut.

Dan terakhir atau ketujuh, pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) atau pemungut yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas penyerahan barang
dan/atau jasa kena pajak. PKP yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM adalah
pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebih Rp600.000.000,00 setahun atau
pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Wajib Pajak
baik orang pribadi maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib
memungut PPN dan juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari
pembeli atau pemakai jasanya.

Dengan memahami mekanisme pembayaran pajak melalui pemotongan/pemungutan oleh


pemberi penghasilan dan pemungutan PPN dan PPnBM oleh PKP, dapat memudahkan para
Pemberi Penghasilan dan PKP untuk melaksanakan kewajiban pemotongan/pemungutan pajak.
Bangga bayar Pajak!

Pengertian Tahun Pajak dan Bagian Tahun Pajak

Pengertian Tahun Pajak adalah :


jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali
bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang
tidak sama dengan tahun kalender.

Jangka waktu 1 (satu) Tahun Kalender adalah jangka waktu dari tanggal
1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

Contoh Penerapan Tahun Pajak antara lain :


Pemeriksaan SPT Tahunan PPh Badan untuk Tahun Pajak 2013,
maka pemeriksaan dilakukan terhadap SPT Tahunan PPh Badan
untuk Tahun Pajak 2013 dan dokumen pendukungnya untuk
jangka waktu Januari sampai dengan Desember 2013.
Pemeriksaan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk Tahun Pajak
2012, maka pemeriksaan dilakukan terhadap SPT Tahunan PPh
Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2012 dan dokumen
pendukungnya untuk jangka waktu Januari sampai dengan
Desember 2013.

Pengertian Bagian Tahun Pajak adalah :


bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.

Bagian dari jangka waktu 1(satu) Tahun Pajak bisa 1 (satu) bulan
Kalender atau beberapa bulan Kalender.

Contoh Penerapan Bagian Tahun Pajak antara lain :

Pemeriksaan SPT Masa PPN dengan status Lebih Bayar untuk


Masa Pajak Maret, maka pemeriksaan dilakukan terhadap SPT
Masa PPN dan dokumen pendukungnya untuk Masa Pajak Januari
sampai dengan Maret.
Pemeriksaan SPT Masa PPN dengan status Lebih Bayar untuk
Masa Pajak Nopember, maka pemeriksaan dilakukan terhadap
SPT Masa PPN dan dokumen pendukungnya untuk Masa Pajak
Januari sampai dengan Nopember.

Artikel Yang Perlu Diketahui :


Kamus/Istilah-Istilah Yang Digunakan Dalam Perpajakan

Referensi :
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 tahun
2007 Tentang KUP (Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan).

Anda mungkin juga menyukai