REFERAT
Peran Intervensi Psikoedukasi dalam Mencegah Kekambuhan Skizofrenia
Oleh:
Yessi Apriance, S.Ked
H1A009051
Pembimbing :
dr. Andri Sudjatmoko, Sp.KJ
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah
diberikanNya, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kepaniteraan klinik
psikiatri, dan hingga pada waktunya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Penulis menyadari tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengajar di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit
Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu khususnya kepada dr. Andri Sudjatmoko, Sp.KJ yang telah
menyediakan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan bagi kelompok-kelompok
selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
.....................
......................
...........................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang bisa didapatkan di seluruh dunia dengan prevalensi
sekitar 1% dari populasi. Gangguan skizofrenia biasanya berlangsung kronis dan cenderung menjadi
berat dan menetap serta disertai eksaserbasi akut dan penurunan fungsi peran penderita. Onset
gangguan skizofrenia biasanya pada usia akhir masa remaja atau awal dewasa (Desjarlais et al, 1995,
Sadock & Sadock 2007). Gangguan skizofrenia merupakan suatu neurodevelopmental brain disorder
dengan ditandai adanya gangguan interaksi neurotransmiter pada susuanan saraf pusat. Dengan
demikian gangguan skizofrenia memerlukan pengobatan yang ditujukan untuk mengatasi gangguan
interaksi neurotransmitter pada susunan saraf pusat tersebut. (Stahl, 2000 ; Sadock & Sadock 2007).
Dalam hal perjalanan gangguan skizofrenia, penatalaksaan gangguan skizofrenia merupakan salah satu
bagian yang penting dan kompleks. Hal ini dikarenakan penatalaksanaan gangguan skizofrenia tidak
hanya meliputi satu aspek, tetapi harus meliputi unsur biopsikososial dan spiritual. (cit Khan 2008,
Stahl, 2000 ; Sadock & Sadock 2007 ; Sudiyanto, Aris 2008). Oleh karena permasalahan yang kompleks
tersebut maka mengatasi skizofrenia tidak cukup hanya salah satu aspek saja. Faktor psikososial yang
melibatkan pasien dan keluarganya merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan jangka
panjang dan pencegahan agar tidak terjadi kekambuhan. (Sudiyanto, Aris 2008)
Mengingat adanya faktor keluarga yang turut berperan dalam pengobatan pasien skizofrenia, dimana
masih banyaknya kendala seperti penolakan keluarga untuk merawat pasien, ekspresi emosi yang tinggi
pada pasien skizofrenia, tentu akan mempengaruhi outcome pengobatan, maka peran psikoedukasi
sebagai salah satu terapi psikososial untuk keluarga pasien dan juga pasien akan sangat dibutuhkan,
dengan harapan dapat menurunkan angka kekambuhan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menjadi tertarik untuk membuat referat mengenai Peran Intervensi
Psikoedukasi dalam Mencegah Kekambuhan Skizofrenia, dengan harpaan referat ini bisa menjadi
referensi yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menangani pasien gangguan jiwa secara
komprehensif, serta melibatkan keluarga sebagai salah satu ujung tombak penangangan pasien
gangguan jiwa.
1.2. Tujuan
Referat ini memiliki tujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai peranan intervensi psikoedukasi
sebagai salah satu terapi psikososial yang dapat membantu mencegah kekambuhan skizofrenia.
1.3. Manfaat
Referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca, baik akademisi, pasien,
maupun keluarga pasien mengenai peran intervensi psikoedukasi sebagai salah satu terapi psikososial
yang dapat membantu mencegah kekambuhan skizofrenia.
Bab II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skizofrenia
2.1.1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia menurut Eugen Bleuler merupakan istilah yang menandakan adanya perpecahan (schism)
antara pikiran, emosi dan perilaku pada pasien yang terkena. Meyer berpendapat bahwa skizofrenia dan
gangguan mental lainnya adalah reaksi terhadap berbagai stres kehidupan, yang dinamakan sindrom
suatu reaksi skizofrenik. (Kaplan & Sadock, 2010)
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan
perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh
genetik, fisik, sosial dan budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pemikiran dan persepsi, serta oleh efek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted). Kesadaran yang jernih (clear conciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. (Maslim, Rusdi,
2003)
Belum ada kesepakatan tentang definisi baku kekambuhan skizofrenia. Sedangkan kekambuhan
diartikan kembalinya suatu penyakit setelah nampaknya mereda, kekambuhan menunjukan gejala-
gejala sebelumnya yang pernah timbul, cukup parah, dan mengganggu aktivitas sehari-hari (Dorland,
2002)
2.1.2 Epidemiologi
Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya
muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Awitan pada laki laki biasanya antara 15 25
tahun dan pada perempuan antara 25 35 tahun. (Elvira, 2003)
2.1.3 Etiologi
Etiologi skizofrenia belum pasti (Elvira, 2003). Namun secara umum sebab-sebab gangguan jiwa
dibedakan atas beberapa faktor berikut :
a. Sebab biologik
Tidak ada gangguan fungsional dan struktur yang patognomonik ditemukan pada skizofrenia. Meskipun
demikian beberapa gangguan organik dapat terlihat (telah direplika dan dibandingkan) pada subpopulasi
pasien. Gangguan yang paling banyak dijumpai yaitu pelebaran ventrikel tiga dan lateral, yang stabil
yang kadang kadang sudah terlihat sebelum awitan penyakit, atropi bilateral lobus temporalis medial
dan lebih spesifik yaitu girus parahipokampus, hipokampus, dan amigdala, disorientasi spasial sel
pyramid hipokampus, dan penurunan volume korteks prefrontal dorsolateral. (Elvira, 2003)
b. Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor keturunan yang juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah
dibuktikan berdasarkan penelitian tentang keluarga keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak
anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 1,8%, sedangkan bagi saudara
kandung 7 15%, bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7 16%, bila
kedua orang tua menderita skizofrenia 40 68%, bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 15%, dan
bagi kembar satu telur (monozigot) 61 86%. Tetapi pengaruh genetik tidak sesederhana seperti
hukum Mendel. Diduga bahwa potensi untuk mendapatkan skizofrenia diturunkan melalui gen resesif.
Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu
itu apakah akan terjadi skizofrenia atau tidak. (Maramis, WF. 2005)
Beberapa gen yang dijumpai pada penderita skizofrenia, antara lain 1q, 5q, 6p, 6q, 8p, 10p,13q,
15q,dan 22q. Adanya mutasi gen dystrobrevin DTNBP 1 dan Neureglin 1 berhubungan dengan
munculnya gejala negatif pada pasien skizofrenia. Selain itu kepribadian skizoid, skizotipal, dan paranoid
memiliki kemungkinan besar dalam timbulnya skizofrenia. Pendekatan sekarang ini pada genetika
diarahkan pada mengidentifikasi silsialah besar dari orang yang terkena dan meneliti keluarga untuk
RFLP (restriction fragment lenght polymorphisme) yang memisah dengan fenotip penyakit. Banyak
hubungan antara tempat kromosom tertentu dengan skizofrenia. Lebih dari setengah kromosom telah
dihubungkan dengan skizofrenia dalam berbagai laporan tersebut, tetapi lengan panjang kromosom 5,
11 dan 18. Lengan pendek pada kromosom 19 dan kromosom X adalah yang paling sering dilaporkan.
c. Faktor Keluarga
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan kekambuhan dan
mempertahankan remisi. Pasien yang pulang ke rumah sering relaps pada tahun berikutnya bila
dibandingkan dengan pasien yang ditempatkan dipanti penitipan (Elvira, 2003). Ekspresi emosi yang
tinggi (seperti pasien yang tinggal bersama keluarga hostil, memperlihatkan kecemasan yang
berlebihan, sangat protektif terhadap pasien, sangat pengeritik) dari keluarga diperkirakan
menyebabkan kekambuhan yang tinggi pada pasien. Hal lain adalah pasien mudah dipengaruhi oleh
stress yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Keluarga mempunyai tanggung jawab yang
penting dalam proses perawatan di rumah sakit jiwa, persiapan pulang dan perawatan di rumah agar
adaptasi klien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas perilaku keluarga akan membantu proses
pemulihan kesehatan pasien sehingga status kesehatan pasien meningkat. (Mahar, 2009)
d. Biokimia
Etiologi biokimia skizofrenia belum diketahui. Hipotesis yang paling banyak yaitu gangguan
neurotransmitter sentral yaitu terjadinya peningkatan aktivitas dopamin sentral (hipotesis dopamin).
(Elvira,2003)
Hipotesis dibuat berdasarkan tiga penemuan utama, yaitu :
Efektivitas obat obat neuroleptik (misalnya fenotiazin) pada skizofrenia, ia bekerja memblok reseptor
dopamin pasca sinaps (tipe D2)
Terjadinya psikosis akibat penggunaan amfetamin. Psikosis yang terjadi sukar dibedakan, secara klinis,
dengan psikosis skizofrenia paranoid akut. Amfetamin melepaskan dopamine sentral. Selain itu,
amfetamin juga memperburuk skizofrenia.
Adanya peningkatan jumlah reseptor D2 di nukleus kaudatus, nukleus akumben, dan putamen pada
skizofrenia.
e. Metode Diatesis-Stress
Satu model untuk intergrasi faktor biologis, faktor psikososial dan lingkungan adalah model diathesis-
stress. Model ini menggambarkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik
(diathesis) yang bila dikenai pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress memungkinkan
perkembangan gejala skizofrenia. Pada model diathesis stress yang paling umum dapat biologis atau
lingkungan atau keduanya.
2.1.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan skizofrenia harus meliputi aspek organobiologis, psikologis, dan sosial. Terapi
organobiologis meliputi pemberian antipsikotik baik untuk fase akut maupun rumatan. Intervensi
psikoterapi meliputi psikoterapi individu, psikoedukasi individu, keterampilan koping, Cognitive Behavior
therapy (CBT), dukungan keluarga, dan psikoedukasi pada keluarga. Intervensi psikososial meliputi
dukungan psikososial jangka panjang, program rehabilitasi, penyesuaian kepada kebutuhan dan
kapasitas individu (cit Khan 2008, Stahl 2000; Sadock & Sadock 2007).
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia perlu mempertimbangkan tiga hal berikut ini :
1. Pasien skizofrenia mempunyai profil psikologik individual, familial dan sosial yang unik. Penentuan
bentuk pengobatan yang akan diberikan memperhatikan bagaimana skizofrenia mempengaruhi pasien
dan bagaimana pengobatan akan membantu pasien.
2. Berbagai penelitian menyatakan bahwa 50% kejadian pada kembar monozigotik menunjukkan
kemungkinan faktor lingkungan dan psikologik yang berperan. Sehingga penatalaksanaan farmakologik
hanya ditujukan pada ketidakseimbangan kimiawi sedangkan masalah nonbiologi membutuhkan strategi
nonfarmakologik.
3. Skizofrenia merupakan kelainan yang kompleks sehingga pendekatan terapi tunggal tidak memadai
untuk menghadapi berbagai masalah yang ada.
2.2. Psikoedukasi
Psikoedukasi sebenarnya sudah cukup populer dalam praktek klinis selama 30 tahun terakhir di Amerika
dan seluruh dunia. Namun, untuk Indonesia sendiri bentuk intervensi ini belum banyak diterapkan untuk
setiap seting.
2.2.1 Definisi Psikoedukasi
Beberapa tokoh dan organisasi psikologi mendefinisikan Psikoedukasi secara berbeda, yaitu :
Psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan ataupun pelatihan terhadap seseorang dengan gangguan
psikiatri yang bertujuan untuk proses treatment dan rehabilitasi. Sasaran dari psikoedukasi adalah untuk
mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia
alami, meningkatkan partisipasi pasien dalam terapi, dan pengembangan coping mechanism ketika
pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit tersebut. (Goldman, 1998 dikutip dari
Bordbar & Faridhosseini, 2010)
Psikoedukasi adalah suatu intervensi yang dapat dilakukan pada individu, keluarga, dan kelompok
yang fokus pada mendidik partisipannya mengenai tantangan signifikan dalam hidup, membantu
partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan sosial dalam menghadapi
tantangan tersebut, dan mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan tersebut.
(Griffith, 2006 dikutip dari Walsh, 2010)
Psikoeduakasi adalah sebuah tindakan modalitas yang disampaikan oleh professional, yang
mengintegerasikan dan mesinergiskan antara psikoterapi dan intervensi edukasi (Lukens & McFarlane,
2004)
Psikoedukasi adalah suatu bentuk intervensi psikologi, baik individual ataupun kelompok, yang
bertujuan tidak hanya membantu proses penyembuhan klien (rehabilitasi) tetapi juga sebagai suatu
bentuk pencegahan agar klien tidak mengalami masalah yang sama ketika harus menghadapi penyakit
atau gangguan yang sama, ataupun agar individu dapat menyelesaikan tantangan yang mereka hadapi
sebelum menjadi gangguan.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, Psikoedukasi (PE) dapat diterapkan tidak hanya kepada individu
tetapi juga dapat diterapkan pada keluarga dan kelompok. PE dapat digunakan sebagai bagian dari
proses treatment dan sebagai bagian dari rehabilitasi bagi pasien yang mengalami penyakit ataupun
gangguan tertentu, bahkan dapat pula digunakan sebagai media dalam mencegah kekambuhan. PE
banyak diberikan kepada pasien dengan gangguan psikiatri termasuk anggota keluarga dan orang yang
berkepentingan untuk merawat pasien tersebut.
Menurut Walsh (2010), PE dapat menjadi intervensi tunggal, tetapi juga sering digunakan bersamaan
dengan beberapa intervensi lainnya untuk membantu partisipan menghadapi tantangan kehidupan
tertentu. Salah satu kombinasi intervensi psikoedukasi seperti yang dilakukan Aguglia E, Elisabetta PF
(2007) yang menilai efektivitas kombinasi terapi obat jangka panjang dan intervensi psikoedukasi pada
pasien skizofrenia dalam mengurangi kekambuhan.
Psikoedukasi tidak sama dengan psikoterapi walaupun kadang terjadi tumpang tindih antara kedua
intervensi tersebut. Psikoedukasi kadang ikut menjadi bagian dari sebuah psikoterapi. Walsh (2010)
menjelaskan bahwa psikoterapi dapat dipahami sebagai proses interaksi antara seorang profesional dan
kliennya (individu, keluarga, atau kelompok) yang bertujuan untuk mengurangi distres, disabiliti,
malfungsi dari sistem klien pada fungsi kognisi, afeksi, dan perilaku. Psikoterapi juga lebih fokus pada
diri individu yang mendapatkan intervensi, sedangkan psikoedukasi fokus pada sistem yang lebih besar
dan mencoba untuk tidak mempatologikan pasien.
Bab III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang bisa didapatkan di seluruh dunia dengan prevalensi
sekitar 1% dari populasi. Gangguan skizofrenia biasanya berlangsung kronis dan cenderung menjadi
berat dan menetap serta disertai eksaserbasi akut dan penurunan fungsi peran penderita. Dalam hal
perjalanan gangguan skizofrenia, penatalaksaan gangguan skizofrenia merupakan salah satu bagian
yang penting dan kompleks. Hal ini dikarenakan penatalaksanaan gangguan skizofrenia tidak hanya
meliputi satu aspek, tetapi harus meliputi unsur biopsikososial dan spiritual. Faktor psikososial yang
melibatkan pasien dan keluarganya merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan jangka
panjang dan pencegahan agar tidak terjadi kekambuhan.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terapi psikososial yang dikombinasikan dengan tepat
dalam terapi antipsikotik jangka panjang, dapat mengurangi persentase kekambuhan dalam satu tahun
menjadi sekitar 54%. Jika intervensi psikoedukasi dilakukan dengan pasien dan keluarga mereka,
kekambuhan pada tahun berikutnya turun menjadi 27%. Di antara intervensi psikososial, psikoedukasi
bagi pasien dan keluarga pasien, telah dianggap paling menjanjikan dan sukses dalam tiga puluh tahun
terakhir. Dengan kata lain, berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan adanya efek psikoedukasi
dalam menurunkan angka kekambuhan skizofrenia.
3.2 Saran
Intervensi psikoedukasi di Indonesia masih belum banyak diterapkan, berkaca dari hasil penelitian di
Negara lain, yang menunjukkan hasil adanya pengaruh psikoedukasi dalam menurunkan angka
kekambuhan skizofrenia, maka perlu dipertimbangkan untuk menerapkan intervensi psikoedukasi ini
yang dapat dikombinasi dengan farmakoterapi, dengan harapan dapat semakin menekan angka
kekambuhan skizofrenia sehingga jumlah hospitalisasi dan jumlah hari rawat semakin berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Aguglia E, Elisabetta PF, Francesca B, and Mariano B. 2007. Psychoeducational intervention and
prevention of relapse among schizophrenic disorders in the Italian community psychiatric network. In
Clinical Practice and Epidemiology in Mental Health 2007, 3:7 doi:10.1186/1745-0179-3-7
Bordbar, Mohammad. Faridhosseini, Farhad. 2010. Psychoeducation for Bipolar Mood Disorder. Jurnal:
Clinical, Research, Treatment Approaches to Affective Disorders.
Desjarlais, R., Eisenberg, L., Good, B., & Kleinman, A. 1995. World Mental Health. Problems and
Priorities in Low Income Countries. Oxford University Press. New York
Elvira D, Sylvia, Hadisukanto, Giyanti.2003. Buku Ajar Psikiatri. FKUI. Jakarta: Penerbit FKUI
Greenberg JS, Knudsen KJ, Aschbrenner KA. Prosocial family processes and the quality of life of persons
with schizophrenia. Psychiatric Services. 2006; 57 (12) ; 1771-7
Harold l. Kaplan, Benjamin J. Sadock, Jack A. Grebb. 2010. Sinopsis Psikiatri jilid satu. Jakarta :
Binarupa Aksara, . Hal : 699-744.
Lukens, Ellen P. McFarlane, William R. 2004. Journal Brief Treatment and Crisis Intervention Volume 4.
Psychoeducation as Evidence-Based Practice: Consideration for Practice, Research, and Policy. Oxford
University Press
Mahar, Agusno. 2009. Peranan Falsafah Hidup Keluarga Dalam Mendukung Kelangsungan Pengobatan
Penderita Skizofrenia, studi kualitatif dalam Jiwa, Indon Psychiat Quart 2009 : XLII : 1
Maramis, WF. 2005. Catatan : Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga University
Press.Surabaya
Maslim, Rusdi.2003. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. PT.Nuh Jaya. Jakarta.
Sadock B.J, & Sadock V.A (2007). Kaplan and Sadocks Synopsis of Psychiatry: Behavioural
Sciences/Clinical Psychiatry [ebook]. 10th ed. Wolters Kluwer / Lippincott Williams and Wilkins Health.
Philladelphia
Stahl, S.M. 2000. Essential Psychopharmacology. Neuroscientific Basis and Practical Applications. 2nd
ed. Cambrige University Press. New York dalam Agusno, Mahar. 2009. Peranan Falsafah Hidup Keluarga
Dalam Mendukung Kelangsungan Pengobatan Penderita Skizofrenia, studi kualitatif dalam Jiwa, Indon
Psychiat Quart 2009 : XLII : 1
Sudiyanto, Aris. 2008. Hambatan Terapi Pasien Skizofrenia dan Penyelesaiannya Ditinjau dari Sudut
Pandang Pasien dan Keluarga. Bagian Psikiatri FK Universitas Sebelas Maret ; Surakarta
Sukmarini, Natalingrum. 2008. Optimalisasi Peran Caregiver Dalam Penatalaksanaan Skizofrenia. Bagian
Psikiatri FK UNPAD; Bandung
Walsh, Joseph. 2010. Psycheducation In Mental Health. Chicago: Lyceum Books, Inc.