Anda di halaman 1dari 7

Masalah Kesehatan Jiwa Masyarakat {TUGAS MAKALAH} Diposting oleh Givo Alfajri

Minggu, 18 Maret 2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini ada
kecenderungan penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan. Data hasil
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SK-RT) yang dilakukan Badan Litbang Departemen
Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1995 menunjukkan, diperkirakan terdapat 264 dari
1000 anggota Rumah Tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Dalam kurun waktu enam
tahun terakhir ini, data tersebut dapat dipastikan meningkat karena krisis ekonomi dan gejolak-
gejolak lainnya diseluruh daerah. Bahkan masalah dunia internasionalpun akan ikut memicu
terjadinya peningkatan tersebut. Studi Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995 di beberapa
negara menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted Life Years
(DALY's) sebesar 8,1% dari Global Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa.
Angka ini lebih tinggi dari pada dampak yang disebabkan penyakit Tuberculosis (7,2%), Kanker
(5,8%), Penyakit Jantung (4,4%) maupun Malaria (2,6%). Tingginya masalah tersebut
menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang besar dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya yang ada dimasyarakat.
Kesehatan Jiwa masyarakat (community mental health) telah menjadi bagian masalah kesehatan
masyarakat (public health) yang dihadapi semua negara. Salah satu pemicu terjadinya berbagai
masalah dalam kesehatan jiwa adalah dampak modernisasi dimana tidak semua orang siap untuk
menghadapi cepatnya perubahan dan kemajuan teknologi baru. Gangguan jiwa tidak
menyebabkan kematian secara langsung namun akan menyebabkan penderitanya menjadi tidak
produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga penderita dan lingkungan masyarakat
sekitarnya. Dari data tersebut diatas, kami tertarik untuk membahas masalah kesehatan jiwa
masyarakat sebagai judul makalah kami. 1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan Umum Mahasiswa
mampu memahami dan menjelaskan masalah-masalah kesehatan jiwa masyarakat. 1.2.2 Tujuan
Khusus a. Mahasiswa mengetahui pengertian kesehatan jiwa b. Mahasiswa mengetahui
pengertian gangguan jiwa c. Mahasiswa mengetahui model-model konseptual kesehatan jiwa
masyarakat 1.3 Metode penulisan Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode
deskriptif yaitu dengan penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi
kepustakaan dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun di internet. 1.4 Sistematika
Penulisan Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai
berikut : 1. BAB I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan. 2. BAB II :Tinjauan teoritis, terdiri dari pengertian kesehatan jiwa,
pengertian gangguan jiwa, masalah-masalah kesehatan jiwa masyarakat dan konseptual model
keperawatan kesehatan jiwa. 3. BAB III : Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran. BAB II
TINJAUAN TEORITIS 2.1 Kesehatan Jiwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan
kesehatan sebagai keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa
penyakit atau kelemahan. Definisi ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan sejahtera
yang positif, bukan sekedar keadaan tanpa penyakit. Orang yang memiliki kesejahteraan
emosional, fisik, dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab kehidupan, berfungsi dengan
efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas dengan hubungan interpersonal dan diri mereka
sendiri. Tidak ada satupun definisi universal kesehatan jiwa, tetapi kita dapat menyimpulkan
kesehatan jiwa seseorang dari perilakunya. Karena perilaku seseorang dapat dilihat atau
ditafsirkan berbeda oleh orang lain, yang bergantung kepada nilai dan keyakinan, maka
penentuan definisi kesehatan jiwa menjadi sulit. Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat
emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan,
perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional. Kesehatan
jiwa memiliki banyak komponen dan dipengaruhi oleh berbagai factor (Johnson, 1997): a.
Otonomi dan kemandirian: Individu dapat melihat ke dalam dirinya untuk menemukan nilai dan
tujuan hidup. Opini dan harapan orang lain dipertimbangkan, tetapi tidak mengatur keputusan
dan perilaku individu tersebut. Individu yang otonom dan mandiri dapat bekerja secara
interdependen atau kooperatif dengan orang lain tanpa kehilangan otonominya. b.
Memaksimalkan potensi diri: Individu memiliki orientasi pada pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Ia tidak puas dengan status quo dan secara kontinu berusaha tumbuh sebagai individu. c.
Menoleransi ketidakpastian hidup: Individu dapat menghadapi tantangan hidup sehari-hari
dengan harapan dan pandangan positif walaupun tidak mengetahui apa yang terjadi di masa
depan. d. Harga diri: Individu memiliki kesadaran yang realistis akan kemampuan dan
keterbatasannya. e. Menguasai lingkungan: Individu dapat mengahadapi dan mempengaruhi
lingkungan dengan cara yang kreatif, kompeten, dan sesuai kemampuan. f. Orientasi realitas:
Individu dapat membedakan dunia nyata dari dunia impian, fakta dari khayalan, dan bertindak
secara tepat. g. Manajemen stress: Individu dapat menoleransi stress kehidupan, merasa cemas
atau berduka sesuai keadaan, dan mengalami kegagalan tanpa merasa hancur. Ia menggunakan
dukungan dari keluarga dan teman untuk mengatasi krisis karena mengetahui bahwa stress tidak
akan berlangsung selamanya. Faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang dapat
dikategorikan sebagai faktor individual, interpersonal, dan sosial/budaya. Faktor individual
meliputi struktur biologis, memiliki keharmonisan hidup, vitalitas, menemukan arti hidup,
kegembiraan atau daya tahan emosional, spritualitas, dan memiliki identitas yang positif
(Seaward, 1997). Faktor interpersonal meliputi komunikasi yang efektif, membantu orang lain,
keintiman, dan mempertahankan keseimbangan antara perbedaan dan kesamaan. Faktor sosial
budaya meliputi keinginan untuk bermasyarakat, memiliki penghasilan yang cukup, tidak
menoleransi kekerasan, dan mendukung keragaman individu. 2.2 Gangguan Jiwa Di masa lalu
gangguan jiwa dipandang sebagai kerasukan setan, hukuman karena pelanggaran sosial atau
agama, kurang minat atau semangat, dan pelanggaran norma sosial. Penderita gangguan jiwa
dianiaya, dihukum, dijauhi, diejek, dan dikucilkan dari masyarakat normal. Sampai abad ke-
19, penderita gangguan jiwa dinyatakan tidak dapat disembuhkan dan dibelenggu dalam penjara
tanpa diberi makanan, tempat berteduh, atau pakaian yang cukup. Saat ini gangguan jiwa
diidentifikasi dan ditangani sebagai masalah medis. American Psychiatric Association (1994)
mendefinisikan gangguan jiwa sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang
penting secara klinis yang terjadi pada seseorang yang dikaitkan dengan adanya distress aatau
disabilitas. Kriteria umum untuk mendiagnosis gangguan jiwa meliputi ketidakpuasan dengan
karakteristik, kemampuan, dan prestasi diri; hubungan yang tidak efektif atau tidak memuaskan;
tidak puas hidup di dunia; atau koping yang tidak efektif terhadap peristiwa kehidupan dan tidak
terjadi pertumbuhan personal. Selain itu, perilaku individu yang tidak diharapkan atau dikenakan
sanksi secara budaya bukan perilaku menyimpang yang menjadi indikasi suatu gangguan jiwa
(DSM-IV, 1994). Faktor yang menyebabkan gangguan jiwa juga dapat dipandang dalam tiga
kategori, yaitu : 1. Faktor individual: meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawatiran dan
ketakutan, ketidakharmonisan dalam hidup, dan kehilangan arti hidup (Seaward, 1997). 2. Faktor
interpersonal: meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang berlebihan atau
menarik diri dari hubungan, dan kehilangan kontrol emosional 3. Faktor budaya dan sosial:
meliputi tidak ada penghasilan, kekerasan, tidak memiliki tempat tinggal, kemiskinan, dan
diskriminasi seperti perbedaan ras, golongan, usia dan jenis kelamin. 2.3 Masalah Kesehatan
Jiwa Masyarakat Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan (urban
mental health) meliputi: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus perceraian, anak remaja
putus sekolah, kasus kriminalitas anak remaja, masalah anak jalanan, promiskuitas,
penyalahgunaan Napza dan dampak nya (hepatitis C,HIV/AIDS dll), gelandangan psikotik serta
kasus bunuh diri. 2.3.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Kekerasan dalam rumah
tangga adalah tiap perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga (definisi dalam UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan
KDRT). Lingkup rumah tangga adalah suami, istri dan anak, termasuk juga orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, pengasuhan, perwalian
dengan suami maupun istri yang menetap bersama dalam rumah tangga. Dampak kekerasan
dalam rumah tangga meliputi gangguan kesehatan fisik non-reproduksi (luka fisik, kecacatan),
gangguan kesehatan reproduksi (penularan penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak
dikehendaki), gangguan kesehatan jiwa (trauma mental), kematian atau bunuh diri. Kekerasan
rumah tangga juga dapat menjadi salah satu atau kontributor meningkatnya kasus perceraian,
kasus penelantaran anak, kasus kriminalitas anak remaja serta juga penyalahgunaan Napza. 2.3.2
Anak Putus Sekolah Berdasarkan data direktorat pendidikan kesetaraan depdiknas tahun 2005
lalu di Indonesia tercatat jumlah pelajar SLTP yang putus sekolah adalah sebanyak 1.000.746
siswa/siswi, sedangkan pelajar SLTA yang putus sekolah adalah sebanyak 151.976. jumlah
lulusan SLTA yang tidak melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi pada tahun tersebut
tercatat sebanyak 691.361 siswa/ siswi. Laporan Organisai Buruh Internasional (ILO) tahun 2005
menyatakan bahwa sebanyak 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia tidak bersekolah dan
sebagainya menjadi pekerja anak perwakilan ILO di Indonesia menyatakan bahwa banyaknya
anak putus sekolah dan menjadi pekerja anak disebabkan karena biaya pendidikan di Indonesia
masih dianggap terlalu mahal dan tak terjangkau oleh sebagian kalangan masyarakat. Angka
partisipasi kasar (APK) program wajib belajar 9 tahun yang dirilis Depdiknas menunjukan baru
mencapai 88,68% dari target 95% partisipasi anak usia sekolah yang diharapkan. 2.3.3 Masalah
Anak Jalanan Masalah anak jalan di Indonesia seperti kekerasan pada anak, masalah anak
jalanan, penelantaran anak dan sebagainya masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari
Departemen Sosial tahun 2005, jumlah anak jalanan di Indonesia adalah sekitar 30.000 anak dan
sebagian besarnya berada di jalan-jalan di DKI Jakarta. Selain itu baru terdapat 12 daerah di
Indonesia yang memiliki perda tentang anak jalanan. Padahal para anak-anak jalanan tersebut
jelas rentan terhadap berbagai tindak kekerasan, penyimpangan perlakuan, pelecehan seksual
bahkan dilibatkan dalam berbagai tindak kriminal oleh orang dewasa yang menguasainya. 2.3.4
Kasus Kriminalitas Anak Remaja Data Direktorat Jenderal Kemasyarakatan Dephukham dan
komnas pelindungan anak (PA) menujukan bahwa pada tahun 2005 di Indonesia terdapat 2.179
tahanan anak dan 802 narapidana anak, 7 diantaranya anak perempuan. Tahun 2006 angkanya
menjadi 4.130 tahanan anak serta 1.325 narapidana anak, dimana 34 diantaranya adalah anak
perempuan. Menurut survey Komnas PA penyebab anak masuk LP Anak adalah 40% karena
terlibat kasus Narkoba (Napza), 20% karena perjudian sedangkan sisanya karena kasus lain-lain.
Kira-kira 20% tindak kekerasan seksual pada tahun 2006 pelakunya adalah anak remaja, 72%
anak remaja pelaku kekerasan seksual mengaku terinspirasi Tayangan TV, setelah membaca
media cetak porno dan nonton film porno. Laporan Komnas PA menyatakan bahwa 50-70%
anak terlibat dalam tindak pidana kriminalitas lalu di vonis penjara dan masuk LP Anak justru
perilakunya menjadi lebih jelek dan menjadi residivis dikemudian hari. 2.3.5 Masalah Narkoba,
alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) serta dampaknya (Hepatitis C, HIV/AIDS,
dll) Narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) tergolong dalam zat
psikoaktif yang bekerja mempengaruhi kerja sistem penghantar sinyal saraf (neuro-transmiter)
sel-sel susunan saraf pusat (otak) sehingga meyebabkan terganggunya fungsi kognitif (pikiran),
persepsi, daya nilai (judgment) dan perilaku serta dapat menyebabakan efek ketergantungan,
baik fisik maupun psikis. Penyalahgunaan Napza di Indonesia sekarang sudah merupakan
ancaman yang serius bagi kehidupan bangsa dan negara. Pengungkapan kasusnya di Indonesia
meningkat rata-rata 28,9 % per tahun. Tahun 2005 pabrik extasi terbesar ke 3 di dunia
terbongkar di Tangerang, Banten. Di Indonesia diprediksi terdapat sekitar 1.365.000
penyalahgunaan Napza aktif dan data perkiraan estimasi terakhir menyebutkan bahwa pengguna
Napza di Indonesia mencapai 5.000.000 jiwa. Mengikuti laju perkembangan kasus tersebut
dijumpai pula peningkatan epidemi penyakit hati lever hepatitis tipe-c dan kasus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) AIDS (Acquired Immune-Deficiency Syndrome) yang modus
penularan melalui penggunaan jarum yang tidak steril secara bergantian pada pengguna Napza
suntik (Penasus/injecting drug user/ IDU). Pola epidemik HIV/AIDS di Indonesia tak jauh
berbeda dengan negara-negara lain, pada fase awal penyebarannya melalui kelompok
homoseksual, kemudian tersebar melalui perilaku seksual berisiko tinggi seperti pada pekerja
seks komersial, namun beberapa tahun belakangan ini dijumpai kecenderungan peningkatan
secara cepat penyebaran penyakit ini diantara para pengguna Napza suntik. Berbagai sember
memperkirakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia telah mencapai kurang lebih
120.000 orang dan sekitar 80% dari jumlah tersebut terinfeksi karena pengunaan jarum yang
tidak steril secara bergantian pada para pengguna Napza suntik, jumlah penderita HIV/AIDS dari
tahun 2000 sampai 2005 meningkat dengan cepat menjadi 4 kali lipat atau 40%. Data pada akhir
tahun 2005 menyatakan bahwa prevalensi penularan HIV AIDS pada penasun adalah 80- 90%
artinya , mencapai 90% dari total penasun dipastikan terinfeksi HIV/AIDS. 2.3.6 Gangguan
Psikotik Dan Gangguan Jiwa Skizofrenia Ganguan jiwa berat ini merupakan bentuk gangguan
dalam fungsi alam pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran yang ditandai
antara lain oleh gejala gangguan pemahaman (delusi waham) gangguan persepsi berupa
halusinasi atau ilusi serta dijumpai daya nilai realitas yan terganggu yang ditunjukan dengan
perilaku-perilaku aneh (bizzare). Gangguan ini dijumpai rata-rata 1-2% dari jumlah seluruh
penduduk di suatu wilayah pada setiap waktu dan terbanyak mulai timbul (onset) nya pada usia
15-35 tahun. Bila angkanya 1 dari 1.000 penduduk saja yang menderita gangguan tersebut, di
Indonesia bisa mencapai 200-250 ribu orang penderita dari jumlah tersebut bila 10% nya
memerlukan rawat inap di rumah sakit jiwa berarti dibutuhkan setidaknya 20-25 ribu tempat
tidur (hospital bed) Rumah sakit jiwa yang ada saat ini hanya cukup merawat penderita gangguan
jiwa tidak lebih dari 8.000 orang. Jadi perlu dilakukan upaya diantaranya porgram intervensi dan
terapi yang implentasinya bukan di rumah sakit tetapi dilingkungan masyarakat (community
based psyciatric services) penambahan jumlah rumah sakit jwa bukan lagi merupakan prioritas
utama karena paradigma saat ini adalah pengembangan program kesehatan jiwa masyarakat
(deinstitutionalization). Terlebih saat ini telah banyak ditemukan obat-obatan psikofarmaka yang
efektif yang mampu mengendalikan gejala ganggun penderitanya. Artinya dengan pemberian
obat yang tepat dan memadai penderita gangguan jiwa berat cukup berobat jalan. Sebenarnya
kondisi di banyak negara berkembang termasuk Indonesia lebih menguntungkan dibandingkan
negara maju, karena dukungan keluarga (primary support groups) yang diperlukan dalam
penggobatan gangguan jiwa berat ini lebih baik dibandingkan di negara maju. Stigma terhadap
gangguan jiwa berat ini tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya
tetapi bagi juga anggota keluarga, meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan
diisolasi. Penderita gangguan jiwa mempunyai risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi
manusia. 2.3.7 Kasus Bunuh Diri Data WHO menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 800.000
orang di seluruh dunia melakukan tindakan bunuh diri setiap tahunnya. Laporan di India dan Sri
Langka menunjukkan angka sebesar 11-37 per 100 ribu orang, mungkin di Indonesia angkanya
tidak jauh dari itu. Menurut Dr. Benedetto Saraceno dari departemen kesehatan jiwa WHO, lebih
dari 90% kasus bunuh diri berhubungan dengan masalah gangguan jiwa seperti depresi, psikotik
dan akibat ketergantungan zat (Napza). Yang mengkhawatirkan adalah dijumpainya pergeseran
usia orang yang melakukan tindak bunuh diri. Kalau dahulu sangat jarang anak yang usianya
kurang dari 12 tahun melakukan tindak bunuh diri, tetapi sekarang bunuh diri pada anak usia
kurang dari 12 tahun semakin sering ditemukan. Ini menunjukkan kegagalan orang tua di rumah,
guru di sekolah dan tokoh panutan di asyarakat membekali keterampilan hidup (life skill) untuk
mengatasi tantangan maupun kesulitan hidupnya. Kasus bunuh diri sudah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang serius terutama bila dikaitkan dengan dampak kehidupan moderen.
Oleh karena itu WHO memandang bunuh diri sebagai peyebab utama kematian dini yang dapat
dicegah. Kondisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah altruistic suicide atau bunuh diri
karena loyalitas berlebihan yang antara lain bentuk bom bunuh diri. Banyak ahli mengaitkan
hal tersebut sebagi manifestasi dari akumulasi kekecewaan, perlakuan tidak adil atau tersisihkan.
Mengatasi altruistic suicide tidak mudah dan memerlukan pendekatan multi disiplin antara
berbagai pihak terkait seperti aspek kesehatan jiwa, pendekatan agama, penegakan hukum dan
sosial. 2.4 Konseptual Model Keperawatan Kesehatan Jiwa Ada 6 macam model keperawatan
kesehatan jiwa, yaitu: 1. Psikoanalisa 2. Interpersonal 3. Sosial 4. Existensial 5. Supportive
therapy 6. Medical 2.4.1 Model psikoanalisis (Freud, Ericson). Psikoanalisa sampai saat ini
dianggap sebagai salah satu gerakan revolusioner dibidang psikologi. Hipotesis psikoanalisis
menyatakan bahwa tingkah laku manusia sebagian besar ditentukan oleh motif-motif tak sadar,
sehingga Freud dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta ketidaksadaran manusia.
Proses terapi : 1. Asosiasi bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan
pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannnya tanpa penyuntingan
atau penyensoran (Akinson, 1991). Pada teknik ini penderita disupport untuk bisa berada dalam
kondisi relaks baik fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan
sudah berada dalam keadaan relaks maka pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada
saat itu secara verbal 2. Analisa mimpi Terapi dilakukan dengan mengkaji mimpi-mimpi pasien,
karena mimpi timbul akibat respon/memori bawah sadarnya. Mimpi umumnya timbul akibat
permasalahan yang selama ini disimpan dalam alam bawah sadar yang selama ini ditutupi oleh
pasien. Dengan mengkaji mimpi dan alam bawah sadar klien maka konflik dapat ditemukan dan
diselesaikan. 2.4.2 Interpersonal Model (Sullivan, Peplau). Gangguan jiwa bisa muncul karena
adanya ancaman, ancaman menimbulkan kecemasan (anxiety). Ansietas timbul dan dialami
seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Perasaan
takut seseorang didasari adanya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang disekitarnya
misalnya : unwanted child Proses terapi: Build Feeling Security a. Berupaya membangun rasa
aman bagi klien b. Trusting relationship and interpersonal satisfaction c. Menjalin hubungan
saling percaya dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain sehingga klien merasa
berharga dan dihormati. 2.4.3 Social Model (Caplan, Szasz). Gangguan jiwa/penyimpangan
perilaku karena banyaknya faktor sosial dan faktor lingkungan yang memicu munculnya stress
pada seseorang. Akumulasi stressor yang ada dilingkungan (bising, macet, iklim sangat
dingin/panas dll) akan mencetuskan stress pada individu. Stressor dari lingkungan diperparah
oleh stressor dalam hubungan social (misalkan : anak nakal, atasan galak, istri cerewet dll).
Proses terapi: Environment manipulation and social support: Modifikasi lingkungan dan adanya
dukungan social misal: rumah harus bersih, teratur, harum, tidak bising, ventilasi cukup,
penataan alat dan perabot yang teratur. 2.4.4 Existensial model (Ellis, Roger). Gangguan jiwa
atau gangguan perilaku terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya,
individu tidak memiliki kebanggaan akan dirinya membenci diri sendiri dan mengalami
gangguan dalam body imagenya. Seringkali individu merasa asing dan bingung dengan dirinya
sendiri, sehingga pencarian makna kehidupannya (eksistensinya) menjadi kabur. Proses terapi: 1.
Experience in relationship Mengupayakan individu agar berpengalaman bergaul dengan orang
lain, memahami riwayat hidup orang lain yang dianggap sukses atau dianggap bias menjadi
panutan. 2. Self assessment Memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi 3. Conducted in
group Bergaul dengan kelompok social dan kemanusiaan 4. Encourage to accept self and control
behavior Mendorong untuk menerima jati dirinya sendiri dan menerima kritik atau feedback
tentang perilakunya dari orang lain 2.4.5 Supportive therapy model (Wermon, Rockland).
Gangguan jiwa disebabkan oleh factor biopsikososial dan respon maladaptive terhadap stressor
saat ini. Manifestasi gangguan jiwa muncul akibat ketidakmampuan dalam beradaptasi pada
masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.
Ketidakmampuan beradaptasi dan menerima apapun hasilnya setelah berupaya maksimal,
menyebabkan individu menjadi stress. Proses terapi: Menguatkan respon koping adaptif individu
diupayakan mengenal terlebih dahulu kekuatan dirinya dan kekuatan mana yang bias dipakai
alternative pemecahan masalahnya. 2.4.6 Medical model (Meyer, Kraeplin) Gangguan jiwa
muncul akibat multifaktor yang kompleks meliputi: aspek fisik, genetik, lingkungan dan faktor
sosial. Fokus penatalaksanaan harus lengkap meliputi pemeriksaan diagnostik, terapi somatic,
farmakologik dan teknik interpersonal. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Kesehatan jiwa
adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan
interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan
kestabilan emosional. Faktor yang menyebabkan gangguan jiwa juga dapat dipandang dalam tiga
kategori, yaitu : 1. Faktor individual: meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawatiran dan
ketakutan, ketidakharmonisan dalam hidup, dan kehilangan arti hidup (Seaward, 1997). 2. Faktor
interpersonal: meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang berlebihan atau
menarik diri dari hubungan, dan kehilangan kontrol emosional. 3. Faktor budaya dan sosial:
meliputi tidak ada penghasilan, kekerasan, tidak memiliki tempat tinggal, kemiskinan, dan
diskriminasi seperti perbedaan ras, golongan, usia dan jenis kelamin. Berbagai kondisi
psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa masyarakat, khususnya yang berkaitan
dengan karakteristik kehidupan di perkotaan (urban mental health) meliputi: kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), kasus perceraian, anak remaja putus sekolah, kasus kriminalitas anak
remaja, masalah anak jalanan, promiskuitas, penyalahgunaan Napza dan dampak nya (hepatitis
C,HIV/AIDS dll), gelandangan psikotik serta kasus bunuh diri. Ada 6 macam model
keperawatan kesehatan jiwa, yaitu: 1. Psikoanalisa 2. Interpersonal 3. Sosial 4. Existensial 5.
Supportive therapy 6. Medical 3.2 Saran Berdasarkan hasil makalah yang telah diolah, maka
penulis mempunyai beberapa saran yang diharapkan dapat dipertimbangkan dan berguna bagi
kita semua, yaitu: 1. Pengadaan klinik-klinik psikiatrik akan membantu mengatasi banyaknya
masalah-masalah kesehatan jiwa masyarakat. 2. Peran serta masyarakat akan sangat membantu
dalam mengatasi masalah-masalah kesehatan jiwa masyarakat. 3. Diharapkan kesehatan jiwa
healthy people 2010 dapat mengurangi masalah-masalah kesehatan jiwa yang dihadapi
masyarakat.
Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

Anda mungkin juga menyukai