Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
B. Etiologi
C. Epidemiologi
D. Faktor resiko
E. Tanda dan gejala
F. Penegakan diagnosis (Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang)
G. Patogenesis

Virus Dengue dalam darah penderita DBD

Terhisap oleh nyamuk Aedes aegypti (Vektor)

Virus bereplikasi dalam glandula saliva vektor


selama 8-12 hari (extrinsic incubation period)

Vektor menggigit manusia

Inokulasi virus pada tubuh manusia


(masa inkubasi 3 14 hari)

Virus bereplikasi pada sel-sel dendritik


dan menginfeksi sel-sel target

Sel-sel Dendritik Sel-sel Hepatosit Sel-sel Endotelial


Aktivasi kompleks virus-antibody (primer:IgG
IgM, sekunder: booster effect)

Aktivasi makrofag yang Peningkatan aktivasi komplemen


memfagosit kompleks virus (C3a dan C5a meningkat)
antibody non netralisasi
Permeabilitas vaskuler meningkat

Non netralisasi: Virus


Kebocoran plasma
bereplikasi di dalam makrofag

Sel kupfer hepar


Aktivasi T helper (Th / CD4) dan T
sitotoksik (CD8) menjadi sel target

ALT meningkat
Limfokin dan IFN Gamma diproduksi (terjadi peradangan)

Aktivasi Monosit

Mediator-mediator inflamasi dikeluarkan:


TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor),
IL-6 dan histamine

PAF: Agregasi platelet dan


peningkatan kerusakan perifer

Disfungsi endotel, Trombositopenia


koagulopati dan
kebocoran plasma

Kebocoran Plasma:
efusi pleura, asites,
hipoproteinemia

Bagan 2.1. Patogenesis DHF (Chuansumrit et al, 2005, Shephred, 2014)


Virus dengue pada penderita DBD

Terhisap oleh nyamuk Aedes aegypti

Virus bereplikasi dalam glandula saliva


nyamuk 8-12 hari (extrinsic incubation period)

Nyamuk menggigit manusia

Inokulasi virus pada tubuh manusia


(masa inkubasi 3 14 hari)

Virus bereplikasi pada sel-sel dendritik


dan menginfeksi sel-sel target

Menyerang sum-sum tulang Mediator-mediator inflamasi dikeluarkan:


dan mendestruksi TNF-, IL-1, PAF (platelet activating
megakariosit, eritroblas dan factor), IL-6 dan histamine
prekusor-prekusor myeloid
PAF: Agregasi platelet dan
Infeksi sel-sel peningkatan kerusakan perifer
progenitor
hematopoietic dan sel Disfungsi endotel,
sel stromal Trombositopenia koagulopati dan
kebocoran plasma
Sum-sum tulang
kembali memproduksi Kebocoran Plasma:
megakariosit dll efusi pleura, asites,
hipoproteinemia
Hemofagositosis Platelet berkurang

Bagan 2.2. Patogenesis DHF (Chuansumrit et al, 2005, Shephred, 2014)


H. Patofisiologi
Infeksi virus dengue (kelompok Arbovirus B)
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti

Virus masuk aliran darah manusia

Virus bereplikasi

Tubuh membentuk antibody

Terbentuk kompleks virus-antibodi (virus


sebagai antigen)

Kompleks antigen-antibodi melepas zat-zat yang merusak


sel-sel pembuluh darah (terjadi proses autoimun)

Permeabilitas Vaskuler meningkat

Pori-pori pembuluh darah kapiler melebar

Sel-sel darah bocor (antara lain trombosit dan eritrosit)

Tubuh mengalami perdarahan

Saluran cerna
Bercak Perdarahan
(hematemesis, melena)
hebat pada kulit

Saluran nafas (epistaksis,


Organ Vital (cor, hepar, ren)
hemoptisis)

Bagan 2.3. Patofisiologi DHF (Widoyono, 2008)


I. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang
dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan
pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk
menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu selalu diwaspadai (WHO, 2001; Gibbons, 2002; WHO,
2005).
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat anti-inflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/
duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol
WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
Penanganan tersangka DBD tanpa syok (Chen, 2009).

Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (Chen, 2009).

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (Chen, 2009).


Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (Chen, 2009).

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan
kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan
terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular,
pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun
koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan
standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih
mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di
intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem
koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan
efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi (Stoelting, 2000; Morgan, 2006). Kristaloid memiliki waktu
bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara
bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular
hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh
kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga
dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada
dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial.14
Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan
kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang
menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan
bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik (Lilios, 2004).
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa
keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih
lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid
memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil.
Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid
yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun
beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi
yang rendah (contoh: hetastarch) (Lilios, 2004). Penelitian cairan koloid diban-
dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan
parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan
hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang
menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa
dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam
proses publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran
plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung.
Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan
(maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara
praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg,
adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran
plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000
ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan
hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian,
pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah
hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang
diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu
dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis.
Pada DBD dengan kondisi he modinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan
diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan
setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga
kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di
mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik
belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan
untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.
J. Komplikasi
1. Kerusakan Hepar
Infeksi Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat berkembang progresif
pada beberapa keadaan tertentu atau terdapat penyakit lain yang mendasari,
penyakit yang mengalami immunocompromise, dimana status imun
menurun, fungsi imun terganggu, sehingga infeksi DBD berlangsung
progresif ke gradasi berat. Penyakit infeksi lain yang terjadi bersamaan
dengan DBD, seperti Demam Tifoid, ikut memberatkan dan melemahkan
status imun dan kondisi penderita (Nasronudin, 2011).
Virus Dengue yang masuk dalam tubuh manusia terikut aliran darah
terjadi viremia. Di dalam sirkulasi sistemik virus Dengue berusaha mencari
sel target monosit-makrofag-Kupffer. Sebelum mencapai sel target, virus
Dengue dihadang oleh komplemen, terjadi hiperaktivitas komplemen. Selain
komplemen, virus Dengue dicegah oleh interferon- dan interferon- agar
tidak terjadi replikasi. Meskipun demikian pada situasi tertentu terutama
terdapat kelemahan pada sistem imun, virus Dengue akan leluasa memasuki
monosit dalam sirkulasi, makrofag dalam jaringan dan hepatosit delta sel
Kupffer di hati (Nasronudin, 2011).
Akibat intervensi Dengue, pada hepatosit dan Kupffer, menyebabkan
sel mengalami gangguan fungsi. Terjadi inflamasi, nekrosis hepatoseluler
yaitu nekrosis pada zona tengah dan perifer hepar. Nekrosis tersebut terjadi
akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang menyebabkan hepatoseluler
mengalami iskemia, inflamasi akut akibat pengaruh sitokin proinflamatori
dan berbagai mediator, serta dampak negatif oksidan dan kolestasis
(Nasronudin, 2011).
Pada infeksi DBD aliran darah konsumsi oksigen mengalami
perubahan. Terjadi peningkatan kebutuhan oksigen dalam splanik,
hipermetabolisme regional, peningkatan kebutuhan metabolik, dan
peningkatan kebutuhan oksigen. Situasi ini memicu terjadinya iskemia
sentral dan regional lobuler hepar, disfungsi hepatik akut. Keadaan tersebut
diperberat akibat sel Kupffer hati memproduksi sitokin TNF- yang
berdampak pada terjadinya destruksi sel (Nasronudin, 2011).
2. Sindrom Syok Dengue
Virus Dengue begitu melalui proses internalisasi ke dalam tubuh host
akan mengikuti sirkulasi sistemik dan berusaha mencapai sel target monosit-
makrofag. Sebelum mencapai monosit-makrofag, virus Dengue dihadang
oleh mekanisme ketahanan tubuh terutama komplemen. Hiperaktivitas
komplemen melalui opsonisasi akan meluluhlantakkan virus Dengue.
Dampak hiperaktivitas komplemen terjadi pelebaran celah endotel kapiler,
peningkatan permeabilitas kapiler yang membuka peluang terjadi
perpindahan plasma darah (Nasronudin, 2011).
Sebagian virus yang lolos dari komplemen akan melakukan replikasi,
tetapi upaya replikasi ini dicegah oleh interferon- dan interferon-.
Meskipun berbagai rangkaian proses inhibisi dan eliminasi telah dilakukan
oleh sistem imun terhadap virus, namun karena karakteristik dan
spesifisitasnya, virus Dengue tetap berhasil mencapai makrofag
(Nasronudin, 2011).
Virus Dengue memicu makrofag menjadi hiperaktif dan mengalami
berbagai perubahan. Pada permukaan membran makrofag berbagai protein
spesifik disiagakan termasuk reseptor CD40, reseptor TNF, NO, molekul
B7. Hiperaktivitas makrofag ini menyebabkan peningkatan produksi dan
sekresi enzim fosfolipase A2 (PLA2). PLA2 yang disekresi ke sirkulasi akan
berinteraksi dengan protein pengikat, memicu metabolisme asam
arakhidonat. Peningkatan metabolisme asam arakhidonat, melalui jalur
siklooksigenase membentuk leukotrien, memicu sintesis prostasiklin (PGI2),
sintesis tromboksan sehingga terbentuk tromboksan A2, menstimulasi
isomerase endoperoksid PGE2 terbentuk prostaglandin E2. Keempat
mediator ini merupakan mediator sekunder yang mempunyai potensi
membuka celah endotel kapiler beratus kali dari mediator primer.
Pembukaan celah endotel yang difus ini memicu perpindahan plasma yang
progresif sehingga terjadi SSD (Nasronudin, 2011).

K. Prognosis
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah self-limiting disease yaitu penyakit
yang dapat pulih sendiri tanpa dilakukan intervensi medis selain dari mengatasi
gejala-gejalanya, dengan angka mortalitas kurang dari 1%. Apabila ditangani,
DBD memiliki angka mortalitas 2- 5%. Apabila tidak ditangani, DBD memiliki
angka mortalitas sebesar 50%. Angka kejadian Sindrom Syok Dengue beragam
di setiap negara, berkisar sekitar 12- 44%, namun dengan penanganan intensif
yang adekuat kematian dapat ditekan sampai krang dari 1% kasus. Pada kasus
yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan oleh syok berkepanjangan
atau perdarahan intrakranial (Halstead, 2007).

Chen, Khie, Herdiman T. Pohan, Robert Sinto. 2009. Diagnosis dan Terapi Cairan
pada Demam Berdarah Dengue. Medicinus. Vol. 22 (1) : 3-7.

Gibbons RV, Vaughn DW. 2002. Dengue: an escalating problem. BMJ. Vol. 324:
1563-1566

Chuansumrit. 2006. Pathophysiology and management of dengue hemorrhagic fever.


Network for Advancement of Transfusion Alternatives. Vol. 8 (1): 311

World Health Organization. 2001. Prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi. Hal. 5-17

World Health Organization. Dengue. 2005. Dengue haemorrhagic fever and dengue
shock syndrome in the context of the integrated management of childhood
illness. Geneva. Department of Child and Adolescent Health and
Development.

Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 4th ed. New York:Churchill
Livingstone, 2000.p.236-7

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New
York:Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006.p.692-4
Nasronudin, Suseno A. 2011. Mekanisme perdarahan pada infeksi virus dengue. In:
Nasronudin, Hadi U, Vitanata M, et al, editors. Penyakit infeksi di Indonesia
solusi kini dan mendatang. 2nd ed. Surabaya: Airlangga University Press

Halstead, Scott B. 2007. Tropical medicine Vol,5,Dengue,london.Mailand press pte


Ltd.

Shepherd, Suzanne Moore. 2014. Dengue.Medscape. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/215840-overview

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga

Liolios A. Volume resuscitation: the crystalloid vs colloid debate revisited. Medscape


2004. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/ 480288

Anda mungkin juga menyukai