2. EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat,
dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
wilayah tanah air. Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk
genus Aedes (terutama A. aegypti, A. albopictus). Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi,
kaleng bekas, dan tempat penampungan air).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus
dengue yaitu : vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan
vektor lingkungan, transportasi vektor satu dengan lainnya ; pejamu : terdapatnya
penderita di lingkungan keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia
dan jenis kelamin ; lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan
penduduk (Sudoyo, 2007 : 1709) .
Infeksi virus dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada
banyak negara tropis dan subtropis. Wabah pertama terjadi pada tahun 1780-an
secara bersamaan di Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Wabah besar global dimulai
di Asia Tenggara pada 1950-an dan hingga 1975 demam berdarah ini telah menjadi
penyebab kematian utama di antaranya yang terjadi pada anak - anak di daerah
tersebut.
Antara tahun 1975 dan 1995, DHF terdeteksi keberadaannya di 102 negara
dari lima wilayah WHO, yaitu : 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7
negara di Asia Tenggara, 4 negara di Mediterania Timur, dan 29 negara di Pasifik
Barat. Seluruh wilayah tropis di dunia saat ini telah menjadi hiperendemis dengan
keempat serotipe virus secara bersama-sama diwilayah Amerika, Asia Pasifik dan
Afrika. Indonesia, Myanmar, Thailand termasuk kategori A yaitu KLB / wabah
siklis terulang pada jangka waktu antara 3 sampai 5 tahun. Menyebar sampai
daerah pedesaan, sirkulasi serotipe virus beragam (WHO, 1999).
3. ETIOLOGI
Virus dengue sejenis arbovirus yang ditularkan melalui vektor nyamuk
aedes aegepty, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis, dan beberapa
jenis lain.
Virus dengue tergolong dalam Genus Flavivirus, Family Flavividae, dan
dikenal ada 4 serotipe, yang disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
Virus dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap
inaktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70o C.
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan
terhadap serotipe lain (Mansjoer, 2000: 419).
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviridae. Keempat serotipe 1,2,3, dan 4
ditemukan di Indonesia dengan DEN 3 yang merupakan serotipe terbanyak
(Sudoyo, 2007 : 1709).
4. PATOFISIOLOGI
Ada dua perubahan patofisiologi utama :
1) Peningkatan permeabilitas vaskular yang meningkatkan kehilangan
plasma dari kompartemen vaskular.
Viremia
Mengaktifkan Terganggunya
Difagositosis o/ sistem komplemen proses
makrofage, leukosit, dan pembentukan
limfosit bergranula komponen darah
besar Pelepasan C3a & (trombosit)
C5a, histamine,
serotonin
Melepaskan Trombositopenia
interleukin 1
↑ permeabilitas
hipotalamus dinding plasma Perdarahan PK
Trombositopenia
Kebocoran plasma
Pengaturan suhu Eritrosit
tubuh terganggu menurun
Perpindahan cairan
dari ruang
Mengaktivasi intravaskular ke Kerja hati
peningkatan suhu ekstravaskular meningkat
tubuh
Risiko Hipovolemik Hepatomegali
demam Kekurangan
Volume
Cairan Syok Mendesak
Hipertermi
diafragma
PK Syok
Bagan 1. Hipovolemik Mual, muntah
Patofisiologi dan Masalah
Keperawatan pada DHF
Risiko Perubahan
dimodifikasi dari WHO (1999),
Nutrisi Kurang Dari
Mansjoer (2000), Doenges
Kebutuhan
(1999), Nanda (2005),
Capernito (2006)
5. KLASIFIKASI
Klasifikasi DHF berdasarkan derajat ringannya penyakit, dapat dibagi menjadi 4
tingkat yaitu :
1) Derajat I
Panas 2-7 hari, gejala umum tidak khas, uji torniquet hasilnya positif, hanya
terdapat manifestasi perdarahan
2) Derajat II
Sama dengan derajat I ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan
seperti petekia, ekimosa, epimosa, epistaksis, hematemesis melena, perdarahan
gusi, telinga dan lain-lain.
3) Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi darah dengan adanya nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (<20 mmHg) atau hipotensi dan disertai kulit yang
dingin dan lembab, gelisah.
4) Derajat IV (DSS)
Renjatan berat dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah yang tidak teratur,
kulit tampak biru dan berkeringat (WHO, 1999 : 17-24).
6. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa
inkubasi antara 13 - 15 hari, tetapi rata-rata 5 - 8 hari. Gejala klinik timbul secara
mendadak berupa :
Suhu tinggi, selama 5 - 7 hari
Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.
Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, petekie, ekimosis, hematoma
Nyeri otot, tulang sendi, abdomen, dan ulu hati
Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supraorbital dan
retroorbital.
Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi,
Fotofobia, otot-otot sekitar mata terasa pegal.
Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening
Tanda - tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah
menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan
lemah).
Ruam mulai antara hari 3 - 6, mula - mula berbentuk makula besar yang
kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak -
bercak petekia. Pada dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki,
kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Pasien nampak lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan
lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun
dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang.
7. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi :
Menggigil, wajah tampak kemerahan, mukosa mulut kering, perdarahan gusi,
tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis,
ekimosis, hematoma, hiperemia pada tenggorokan, nafas dangkal, gelisah,
konjungtiva anemis,
Palpasi :
Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa, nyeri tekan pada
epigastrik, ada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi,
ekstremitas dingin, sianosis perifer, nyeri otot, tulang dan sendi
Perkusi :
Abdomen timpani
Auskultasi :
Terdengar suara ronchi atau rales yang biasanya terdengar pada grade III dan
IV
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
dengue antibodi total, IgM, IgG.
Parameter Laboratoris :
Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total leukosit disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
akan meningkat
Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – ke 8.
Hematokrit : kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke 3 demam.
Protein / albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
SGOT / SGPT (serum alanin aminotransferase) : dapat meningkat
Ureum / kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) : bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah
Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue
i. IgM : terdeteksi mulai hari ke 3 – 5, meningkat sampai minggu ke
3, menghilang setelah 60 – 90 hari.
ii. IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14,
pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke 2
Uji serologi HI (Haemaglutination inhibiting antibody) : dilakukan
pengambilan hari I serta saat pulang dari perawatan. Uji ini digunakan
untuk kepentingan surveilans (Sudoyo, 2007 : 1710).
2) Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemotoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral kanan
(pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Ascites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG (Sudoyo, 2007 : 1710).
3) Uji Torniket
Mengembangkan manset tensimeter pada lengan atas sampai air raksa mencapai
pertengahan tekanan sistolik dan diastolic, biarkan selama 5 menit. Pada
pemeriksaan terdapat ≥ 20 petekie pada lengan bawah dengan diameter 2,5 cm (1
inchi) maka dinyatakan hasil positif (Mansjoer, 2000 : 420).
9. KRITERIA DIAGNOSIS
Dasar diagnosis DHF (WHO, 1999) yaitu :
1) Klinis
Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2 – 7 hari.
Manifestasi perdarahan: uji tourniquet positif, petekia, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis atau melena.
Pembesaran hati dengan nyeri tekan, tanpa ikterus.
Syok yang ditandai oleh nadi lemah, cepat disertai tekanan nadi menurun
(menjadi 20 mmHg atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistolik
menurun sampai 80 mmHg atau kurang), disertai kulit yang teraba dingin
dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, dan kaki, pasien menjadi
gelisah, timbul sianosis di sekitar mulut.
2) Laboratorium
Trombositopenia (<100.000/µl) dan hemokonsentrasi (nilai
hemokonsentrasi lebih 20% dari normal)
Dua gejala klinis pertama ditambah satu gejala laboratorium cukup untuk
menegakkan diagnosis kerja DBD (Mansjoer, 2000 : 421).
10. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah diantaranya :
Perdarahan luas
Shock atau renjatan
Efusi pleura
Gagal hepar
Penurunan kesadaran
Kematian
Pada dasarnya terapi yang diberikan bersifat suportif, yaitu untuk mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DHF di rawat di ruang perawatan
biasa, tetapi pada kasus DHF dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif. Fase krisis pada umumnya terjadi pada hari sakit ketiga.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi,
anoreksia, dan muntah. Pasien perlu minum banyak, 50 ml/kgBB dalam 4-6
jam pertama berupa air the dengan gula, sirup, susu, sari buah, atau oralit.
Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi berikan cairan rumatan 80-100
ml/kgBB. Hiperpireksia diatasi dengan antipiretik dan bila perlu surface
cooling dengan kompres es dan alcohol 70%. Paracetamol direkomendasikan
untuk mengatasi demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali.
Pemberian cairan intravena pada DBD tanpa renjatan dilakukan bila pasien
terus menerus muntah sehingga tidak mungkin diberi makanan peroral atau
didapatkan nilai hematokrit yang bertendensi terus meningkat (>40 vol%).
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% dalam 1/3 larutan NaCI
0,9%. Bila terdapat asidosis ,1/4 dari jumlah larutan total dikeluarkan dan
diganti dengan larutan yang berisi 0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4
bagian berisi larutan NaCI 0,9% + glukosa ditambah ¼ natrium bikarbonat).
Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi
jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan
komposisi cairan yang diperlukan sesuatu seperti cairan untuk dehidrasi
pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah defisit 6%
(5-8%).
Jenis cairan (Rekomendasi WHO)
1. Kristaloid
- Larutan ringer laktat (RL) atau dektrosa 5% dalam larutan RL (D5/RL).
- Larutan ringer asetat (RA) atau dektrosa 5% dalam larutan RA
(D5/RL).
- Larutan NaCI 0,9% (garam faali = GF) atau dekstrosa 5% dalam
larutan garam faali (D5/GF).
11 Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan DHF
(Meril Valentine, SGD 4, Semester VI, PSIK Unud)
Mata Ajar Praktik Klinik Keperawatan Dewasa III 2010
2. Koloid
- Dekstrosa 40
- Plasma
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu
gelisah, letargi/lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi
lemah, tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi dan
peningkatan mendadak kadar hematokrit yang meningkat terus menerus
walaupun telah diberikan cairan intravena.
Penanganan syok :
Dalam rejatan berjatan berat diberikan cairan RL secara cepat (diguyur)
selama 30 menit.
Apabila syok tidak diatasi, ganti cairan dengan koloid 10-20
ml/kgBB/jam dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Setelah perbaikan
segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid (tetesan 20 ml/kgBB).
Bila dengan cairan kristaloid dan koloid tidak bisa mengatasi syok
sedangkat kadar hematokrit tetap, diduga telah terjadi perdarahan, maka
dianjurkan pemberian tranfusi darah segar.
Apabial kadar Ht tetap >40 vol%, berikan darah sebanyak 10
ml/kgBB/jam, tetapi bila perdarahan massif berikan 20 ml/kgBB. Bila
rejatan tidak berat diberikan cairan dengan kecepatan 20ml/kgBB/jam.
Bila rejatan sudah diatasi, nadi sudah jelas teraba, amplitude nadi cukup
besar, tekanan sistolik 80 mmHg atau lebih, maka kecepatan tetesan
dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam.
Pada pasien gelisah, berikan kloralhidrat per oral atau per rectal dengan
dosis 12,5-50 mg/kgBB (tidak melebihi 1 gram), terapi O2 2 liter per
menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok (Mansjoer, 2000 :
422 - 423).
d) Pencegahan
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF adalah sebagai berikut :
Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan perkembangan vektor
pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita
viremia sembuh secara spontan.
Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran, yaitu di
sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah yang berpotensi
penularan tinggi.
b. Tanpa insektisida
Caranya adalah :
Menguras bak mandi, tempayan, dan tempat penampungan air
minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 - 10
hari)
Menutup tempat penampungan air rapat - rapat
Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah, dan
benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang disana
2. Keluhan Utama
Panas tinggi dan lemah
4. Kondisi Lingkungan
Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang kurang
bersih (seperti air yang menggenang dan gantungan baju di kamar)
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Hipertermi b/d proses infeksi virus dengue
2) Risiko kekurangan volume cairan b/d perpindahan cairan intravaskuler ke
ekstravaskuler
3) Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi yang tidak
adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun
4) PK : Trombositopenia
5) PK : Syok Hipovolemik
3. RENCANA TINDAKAN
1) Hipertermi b/d proses infeksi virus dengue d/d suhu di atas normal > 37,5 C,
pasien tampak menggigil.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ….x…… hipertermi
dapat diatasi, dengan kriteria hasil :
Pasien melaporkan panas badannya turun.
Kulit tidak merah.
Suhu dalam rentang normal : 36,5 - 37,50 C.
Nadi dalam batas normal : 60-100 x/menit.
Tekanan darah dalam batas normal : 140-100/90-60 mmHg.
RR dalam batas normal : 16-20x/menit.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
1. Pantau TTV 1. Untuk mengetahui keadaan umum
pasien
2. Observasi suhu kulit dan catat 2. Untuk mengetahui peningkatan
keluhan demam suhu tubuh pasien
3. Berikan masukan cairan sesuai 3. Untuk menanggulangi terjadinya
kebutuhan perhari, kecuali ada syok hipovolemik
kontraindikasi
4. Berikan kompres air hangat 4. Untuk menurunkan suhu tubuh
Kolaborasi
5. Kolaborasi pemberian cairan IV 5. Untuk menanggulangi terjadinya
syok hipovolemik
6. Kolaborasi pemberian obat 6. Untuk menurunkan suhu tubuh
antipiretik yang bekerja di hipotalamus
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
1. Pantau warna, jumlah, dan frekuensi 1. Untuk mendeteksi dini syok
kehilangan cairan hipovolemik
2. Observasi khususnya terhadap 2. Untuk mendeteksi dini
kehilangan cairan elektrolit yang tinggi sekaligus menanggulangi
Kolaborasi
4. Pemberian cairan IV 4. Untuk menambah volume
cairan intravaskuler
5. Pemeriksaan Hct 5. Hct merupakan indikator
kekurangan volume cairan
intravaskuler
3) Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi yang
tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x…., diharapkan
intake nutrisi pasien adekuat
Kriteria hasil :
BB stabil atau berada di bawah batas ideal tidak lebih dari 20%
Konjungtiva tidak pucat
Membran mukosa lembab
Pasien tidak mual dan muntah
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
1. Kaji konjungtiva dan membran 1. Merupakan indikator
mukosa ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan
2. Timbang berat badan pasien 2. Untuk mengetahui interval
penurunan BB
3. Berikan makanan sedikit dan 3. Dilatasi gaster dapat terjadi jika
makanan tambahan yang sesuai pemberian makanan terlalu cepat
Kolaborasi
5. Berikan obat antiemetik sesuai 5. Untuk mencegah mual dan
indikasi muntah
6. Diskusikan dengan ahli gizi dalam 6. Untuk mengetahui kebutuhan
menentukan kebutuhan nutrisi nutrisi dan mempercepat proses
untuk pasien dengan penyembuhan
ketidakadekuatan auspan nutrisi
atau kehilangan nutrisi
7. Diskusikan dengan dokter 7. Untuk mencukupi kebutuhan
kebutuhan stimulasi nafsu makan, nutrisi pasien
makanan pelengkap, pemberian
makanan melalui selang atau
nutrisi parenteral total
4) PK Trombositopenia
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ....x....jam, diharapkan trombosit
dalam batas normal
Kriteria hasil :
Trombosit 140.000 – 340.000 / ml darah
TTV stabil
Suhu dalam rentang normal : 36,5-37,50 C.
Nadi dalam batas normal : 60-100 x/menit.
Tekanan darah dalam batas normal : 140-100/90-60 mmHg.
RR dalam batas normal : 16-20x/menit.
Perdarahan gusi (-)
Petekie (-)
Epistaksis (-)
Hematemesis melena (-)
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
1. Pantau TTV dan laporkan jika ada 1. Untuk identifikasi dini dan
perubahan signifikan tanda syok pencegahan terjadinya syok
serta mengetahui keadaan
umum pasien
2. Observasi ketat tanda perdarahan : 2. Untuk identifikasi dini
petekie, purpura, epistaksis dll terjadinya perdarahan dan
mencegah terjadinya
komplikasi
3. Laporkan jika terjadi perdarahan 3. Untuk menentukan
hebat intervensi yang tepat dan
mencegah syok
hipovolemik
4. Pertahankan tirah baring 4. Untuk mencegah syok
terutama pada perlukaan
yang tidak terdeteksi
Kolaborasi
5. Pemberian IVFD 5. Untuk menambah volume
cairan intravaskuler
6. Pemberian transfusi trombosit 6. Untuk menambah volume
trombosit dalam darah
7. Pemeriksaan laboratorium untuk 7. Untuk mengetahui jumlah
kadar trombosit trombosit dan evaluasi
keefektifan intervensi yang
telah diberikan
5) PK Syok Hipovolemik
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama .....x.... jam, diharapkan tidak
terjadi komplikasi syok hipovolemik pada pasien dengan kriteria hasil :
Tidak terdapat tanda - tanda syok
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas, 1. Untuk mempatenkan jalan
pasang 2 line IV (dan mungkin napas pasien
sebuah sentral line), dan berikan O
2. Observasi tingkat kesadaran pasien 2. Untuk menentukan
pemilihan intervensi yang
tepat
3. Observasi tanda-tanda vital 3. Mengetahui keadaan umum
pasien
4. Kaji tanda-tanda dehidrasi 4. Dehidrasi dalam jangka
waktu yang lama dapat
memicu terjadinya syok
Kolaborasi
5. Pemberian volume resusitasi 5. Untuk meningkatkan volume
Pemberian cairan IV secara intravaskuler dan mengganti
cepat (Normal Saline atau RL) - kehilangan cairan yang
infus 2 liter atau 3 kali sesuai terjadi
jumlah perkiraan kehilangan
volume darah (tidak ada dasar
untuk memberikan albumin /
koloid untuk mencapai keadaan
4. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan yang telah disusun.
5. EVALUASI
Dx I : Pasien tidak mengalami hipertermi
Dx II : Pasien tidak mengalami kekurangan volume cairan
Dx III : Nutrisi pasien adekuat
Dx IV : Trombosit pasien dalam batas normal
Dx V : Pasien tidak mengalami komplikasi syok hipovolemik
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta : EGC
Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Jakarta : Media Aesculapius
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda Definisi dan Klasifikasi 2005 -
2006. Editor : Budi Sentosa. Jakarta : Prima Medika
Nursalam, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta : Salemba Medika
Sudoyo, Aru, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Departemen Penyakit
Dalam FK UI