Anda di halaman 1dari 122

Yusuf Maulana

Aktivis
Bingung
Eksis
Pentas Gerakan Mahasiswa di Era Presiden SBY
Amat tidak dilarang menggandakan dan/atau
menyebarluaskan sebagian ataupun seluruh materi dalam
buku ini. Yang dilarang adalah mendaku tulisan yang
berasal dari buku ini sebagai tulisan Anda!

2
Buat Emir II/ Emira II: meski benih sudah diikhtiarkan hadir di
Bumi, sayang engkau hanya berusia pendek. Dan ruh pun belum
tertiup padamu....

3
Patut

Alhamdulillah, atas kehendak-Nya-lah buku ini bisa hadir untuk publik


di bulan istimewa: Muharam. Diluncurkan pada tanggal istimewa: 10. Diniatkan
untuk sebuah dedikasi sederhana yang semoga menjadi jariah bagi saya;
menghadirkan keberkahan pula bagi keluarga saya.
Tidak butuh waktu lama menyiapkan buku ini mengingat bahannya
sudah lama siap diolah. Mengejar 10 Muharam sebagai momen berbagi di sela-
sela aktivitas rutin menyunting naskah dan menemani anak bermain. Dua hari
dengan sedikit bergadang, akhirnya selesai jua buku ini.
Terima kasih buat Yuni Wahyu Angraeni, Emira, dan Emir yang mau
mengalah serta mengerti untuk kesibukan orang yang dicintainya mengejar
tenggat buku ini.
Terima kasih setulus-tulusnya untuk Purwoko Kurniawan; Mas Pur
inilah yang pertama kali menjerumuskan saya berkubang di jalur berat
sementara yang lain sibuk dan piawai di jalanan. Memaksa saya bersanding
dengan para jagoan wacana dari pergerakan tetangga.
Terima kasih buat Eko Prasetyo; sebuah nama yang dengan Islam Kiri
sempat menyebut nama saya. Lelaki pengkhotbah Orang Miskin Dilarang ini
turut menggelorakan lewat kisah-kisah heroiknya di jalur advokasi keumatan.
Terima kasih buat teman-teman diskusi sebaya, terutama Mutamar
Maruf dan Imron Rosyadi. Buat Riijalul Imam dan Amin Sudarsono, yang masa itu
memantik kesadaran keniscayaan memiliki pustaka dan jejaring banyak selaku
aktivis; dua bakal bintang (dan kemudian terbukti) di kampus Kalijaga.
Terima kasih buat penjaga obor budi pekerti aktivis: Romy Ardiansyah,
Budiyanto, Edi Nugraha, Udhi Kurniawan (keempatnya di kerajaan Dompet
Dhuafa); Fahcri Tanjung (PPSDMS Nurul Fikri)atas diskusi berbobotnya sungguh
memikat, tapi buku ini bukan peruahannya.
Terima kasih untuk pengayaan wawasan buat Bowo Sugiarto, Dani
Irawan, Nurhidayanto, Herlambang Sukaca, Ardhi Rahman, Maryati, Kartika Nur
Rohman, Agung Budiono, Henry Dunant, dan Wildan Baasyir.
Terima kasih untuk jajaran aktivis KAMMI DIY berikut komisariat di
bawahnya. Ingatan tidak akan pudar pula buat para penghuni KAMMI Kehutanan

4
UGM, baik yang pemukim ataupun penyinggah: Arifin Aik, Silva, Irfan, Eddi
Kurniawan, Iip, Mochtar, dan Heru.
Sungguh, masih amat banyak yang tidak tersebut di sini, tetapi nama-
nama itu masih melekat kuat dalam ingatan dan hati. Untuk itu, saya mohon maaf
kepada kawan-kawan. Semoga mahfum, dan biarlah lembaran ini sekadar
wakilnya. []

5
Antar

Sejak lama saya merasa ceceran tulisan perlu dihimpun. Dipilah dan
dipilih di antara ratusan tulisan yang setema untuk dihimpun dalam satu ide besar.
Dan gerakan mahasiswa, dengan sekian pelik-peliknya, sudah lama pula terendus
pertama. Sederhana saja, tema ini paling sering saya tulisan sejak menekuni tulis-
menulis secara profesional pada 2000.
Gerakan mahasiswa tidak hanya menjadi amatan, tetapi juga wadah
berkiprah. Bahkan posisi selaku pelihat saya jalankan usai tidak lagi aktif di
jalanan. Hanya sering bergaul dan bertukar pikiran bersama para aktivis.
Imbasnya, kurun 2000-2006 produktif-produktifnya saya menulis. Setiap hari bisa
2-3 tulisan dihasilkan. Sebagian dimuat di koran; sebagian lain hanya jadi arsip di
komputer yang berganti-ganti pemiliknya sampai saya tuannya sendiri.
Tulisan yang ada dalam buku ini diambil pada kurun 2004-2005, satu
setengah tahun era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjalan.
Sebagai presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada fenomena
menarik terkait relasi penguasa dan gerakan mahasiswa. Penglihatan, perasaan,
dan pelakuan langsung saya itulah yang kemudian dituliskan dalam banyak hal
seputar dunia aktivis mahasiswa.
Buku penanda sedekade silam ini sengaja saya hadirkan sebagai
pengingat di musim kepemimpinan baru, Presiden Joko Widodo. Saya terpanggil
untuk melihat catatan lama dengan kenyataan hari ini. Betapa banyak pemuja
penguasa baru negeri ini, yang diasakan sebagai sosok pembawa harapan. Barisan
pemujanya mulai dari aktivis, intelektual pentolan, hingga rakyat di jagat media
sosial. Bagaimana kekritisan aktivis di masa Presiden SBY berkuasa dengan
episode Jokowi hari ini, itulah yang ingin saya kilas-balikkan. Awalnya untuk
sekadar pendokumentasian, lambat laut saya berubah pikiran: mengapa tidak
berbagi ke publik?
Dengan segala keterbatasan saya sedekade lalu dalam melihat dan
menganalis, tetap saya beranikan untuk berbagi. Tentu saja sekaligus tolak ukur
bagi saya dalam melihat perjalanan intelektual diri. Masa lalu yang tidak boleh
diabaikan, tapi menjadi peringatan untuk membenahi diri.
Tidak semua tulisan tentang gerakan mahasiswa saya tampilkan. Yang
relevansinya kuat dengan kondisi saat ini saja yang dimuat. Di luar soal

6
penyelarasan dan koreksi bahasa dan judul, isi tulisan dan gaya tulisan tidak saya
ubah drastis. Saya masih pertahankan penuturan tertulis sedekade silam, yang
kadang kala saya juga terheran-heran kok bisa seperti itu. Bahasa penuh semangat
jelas terasa, terlebih saat itu saya masih lajang. Konsentrasi pada idealisme begitu
kuat dan membumbung tinggi. Hari ini, doakan saya masih memeganginya walau
tidak lagi dengan bahasa bersuluh gelora.
Tulisan dalam buku ini saya susun dalam tiga bagian; tiap-tiap bagian
tersusun atas delapan artikel. Bagian pertama berisikan evaluasi kondisi gerakan
mahasiswa secara umum. Bagian kedua mengulas relasi kekuasaan dan partisipasi
aktivis. Bagian ketiga berbicara seputar dinamika kampus dan partisipasi
mahasiswa. Memang bisa saja setiap bagian berikut tulisan di dalamnya dibaca
terpisah. Namun, saya sudah merunutkan bahasan agar ada jalinan yang kuat di
setiap idenya. Meski kadang sesekali ada lompatan bahasan, saya menjadikannya
dalam kesinambungan aras berpikir para aktivis. Demikian pula sesekali muncul
perulangan tidak bisa dihindari, namun tetap fungsional dan menguatkan konteks
bahasan isu tersebut.
Dengan segala keterbatasan dan ikhtiar yang sudah diperbuat, saya
bersyukur atas kesediaan pembaca mendarasi gagasan-gagasan saya ini.
Dokumentasi yang menyendiri di berkas komputer pribadi akhirnya bisa
disaksamai orang lain, utamanyasesuai misi sayaaktivis mahasiswa era
telepon pintar. Ide-ide dalam buku ini sesederhana apa pun semoga memantik
praksis yang tegas. Tidak lagi gamang dalam posisi selaku aktivis. Bukan aktivis
yang bingung eksis berpraksis, bertindak nyata bagi rakyat.
Pamungkas antaran saya, sebagai sebuah pembelajaran, kelampauan
tidak berarti membuka sebuah ruang dialog. Dan di sinilah saya menyukai catatan
kritis demi hadirnya sebuah dialektika nan sehat. Terima kasih.

Yogyakarta, 10 Muharam 1436 / 3 November 2014

Yusuf Maulana

7
Muatan

Prolog: (Bukan) Aktivis Tanpa Pekerjaan


Introspeksi Gerakan
Menjawab Malaise Gerakan Mahasiswa
Korporatisme atas Aktivisme Mahasiswa
Desekulerisasi Arah Gerakan Mahasiswa
Klaim Independen Gerakan Mahasiswa
Mengapa Demonstran Tulus kian Sedikit?
Mencari Suara Aktivis Islam di Freeport
Antimiliterisme: Benci Abadi Aktivis Mahasiswa?
Arah Baru Gerakan Mahasiswa
Melawan Jerat Kekuasaan
Eksodus Mahasiswa Kritis ke Partai
Ketika Aktivis Bersarang di Kepala Banteng
Demi Status Sosial atau Idealisme?
Bukan Seribu Janji di Parlemen
Muhammadiyah Muda Memilih Beda
Mendamba Tunakuasa HMI
Menimbang ICMI Muda
Fundamentalisme-Rasional KAMMI
Kampus (Tak) Ramah Aktivis
Masihkah Apatis pada Calon Presiden?
Mendidik Pemilih Rasional
Kampanye Parpol di Kampus
Musim Kooptasi Kampus
Ke Mana Suara Aktivis Pers Mahasiswa?
Saat Mahasiswa Memprasangkai Media
Karya Tulis Intelektual Muda Belum Menonjol?
Teknologi Informasi bagi Aktivis Gerakan
Epilog: Senja Kala Gerakan di Era Transisi Rezim

8
Prolog

9
(Bukan) Aktivis Tanpa Pekerjaan

Demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan masyarakat akhir-akhir ini


terus bermunculan di berbagai tempat. Demonstrasi buruh menentang rencana
revisi UU No.13/tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tercatat sebagai
demonstrasi paling fenomenal untuk dicermati. Selain keserempakan yang
dilakukan para buruh di tempat-tempat berbeda, peserta demonstrasinya pun
umumnya berjumlah banyak. Bahkan dalam laporannya BBC Siaran Indonesia
membandingkan banyak dan besarnya massa aksi dengan demonstrasi massa
pada 1998.
Uniknya, dalam demonstrasi masyarakat itu kelompok aktivis
mahasiswayang biasanya tampil sebagai penggerakjustru tidak dominan atau
bahkan kurang terlihat peranannya. Bisa dikatakan bahwa peran yang dulu
dijalankan mahasiswa kini digantikan anggota masyarakat biasa seperti buruh.
Kenyataan ini memang benar adanya. Dalam perkataan bernada getir, seorang
aktivis mahasiswa menyebutkan fenomena ini sebagai era gerakan mahasiswa
kehilangan pekerjaan.
Untuk berdemonstrasi atau mengartikulasikan kepentingannya kini
warga bisa melakukannya secara mandiri, tanpa harus melibatkan mahasiswa.
Dalam demonstrasi menentang revisi UU Ketenagakerjaan, tampak terlihat para
buruh tidak begitu bergantung kepada kehadiran mahasiswa. Hal yang sama
terjadi saat para mantan pekerja PT Dirgantara Indonesia berdemonstrasi ke
Jakarta, tidak tampak peran dan dukungan mahasiswa.
Intensifnya demonstrasi yang dilakukan warga sebenarnya belumlah
bisa dikatakan sebagai bentuk perlawanan yang kohesif dan solid. Yang baru
muncul hanyalah kumulasi kekecewaan tiap-tiap kelompok kepentinganburuh,
guru tidak tetap, kepala desa, korban penggusuran, calon PNS yang dikecewakan,
hingga masyarakat yang menolak kehadiran pertambangan asing. Aksi-aksi yang
mereka lakukan pun belum sepenuhnya terkoordinasi dengan baik dalam bentuk
gerakan bersama. Kalaupun sudah ada yang melakukannya, itu terbatas terjadi di
kota-kota besar yang dulunya pernah jadi penyemaian aktivisme mahasiswa.
Di tengah masyarakat sendiri sepertinya tidak ada dukungan penuh
yang diberikan kepada anggota masyarakat yang tengah memperjuangkan
kepentingannya. Belum ada solidaritas antarwarga untuk terjadinya perubahan;

10
semuanya berjalan sesuai kepentingan masing-masing. Tidak mengherankan saat
mahasiswa ingin melibatkan masyarakat luas dalam demonstrasi menentang
kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan, masyarakat justru relatif tidak
banyak merespons aktif. Ini terlihat, misalnya, saat gencar-gencarnya demonstrasi
mahasiswa menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Oktober 2005.
Meski merasakan langsung dampak kenaikan BBM, masyarakat cenderung pasif
melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah.
Masih pasifnya sebagian (besar) masyarakat tentu saja tidak bisa
disimpulkan sebagai sikap menerima keputusan pemerintah. Pasifnya mereka
hanyalah salah satu bentuk ketidakberdayaannya di depan pemerintah, yang
sewaktu-waktu keadaan ini tidak mustahil akan ditumpahkan dalam bentuk
tindakan (umumnya dengan berdemonstrasi). Demonstrasi buruh yang terjadi
akhir-akhir ini tidak lain ekspresi kumulatif dari perasaan teralienasi buruh akibat
kebijakan diskriminatif pemerintah.

Ke Mana Gerakan Mahasiswa?


Dalam keadaan masyarakat seperti itu, sayangnya, mahasiswa tidak
menangkapnya sebagai jalan pembuka ke arah perubahan. Ketidakberdayaan
kelompok buruh tidak dikelola dengan baik sebagai jembatan memobilisasi
dukungan masyarakat luas. Jangankan mengawal tuntutan buruh, ikut mendukung
pun mahasiswa sepertinya kurang begitu bersemangat. Tentu sibuknya aktivitas
perkuliahan atau rutinitas berorganisasi bukanlah jawaban yang memuaskan
mengapa mahasiswaterlebih aktivis gerakanmenjadi pasif. Seolah
pekerjaan mereka dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat (buruh
dalam hal ini) sepertinya telah diambil alih pihak yang biasa mereka dampingi.
Yang menarik, pasifnya peran mahasiswa itu oleh sebagian anggota
masyarakat justru diletakkan sebagai kesalahan mahasiswa. Mereka menilai
aktivitas mahasiswa dalam merespons berbagai perkembangan bangsa saat ini
semakin menurun. Mahasiswa dinilai semakin elitis, tidak populis, dan berjarak
dengan isu-isu masyarakat, terlebih masyarakat miskin. Sebagian kalangan
menyoroti lebih jauh preferensi gaya hidup mahasiswa sebagai penyebab
menurunnya elan vital gerakan mahasiswa. Mahasiswa dinilai telah larut dalam
sistem hidup hedonis-konsumeris sehingga melalaikan dari tugasnya dalam
membela kepentingan masyarakat.

11
Sorotan kritis anggota masyarakat tersebut memang banyak ditemui di
lapangan. Saat ini ada kecenderungan gerakan mahasiswa mengalami arah
aktivitas yang anomali. Justru meredup aktivitasnya bukan di tengah represi
penguasa, melainkan di tengah keterbukaan politik. Dan mahasiswa bingung
dalam menemukan format yang pas di tengah keterbukaan politik. Setelah
masyarakat yang biasa mereka bersamai secara mandiri sudah mampu menuntut
sendiri hak-haknya, gerakan mahasiswa seperti ditinggal di belakang. Untuk tidak
disebut sebagai pihak yang tidak peduli, respons mahasiswa terhadap
permasalahan masyarakat dilakukan layaknya sebuah rutinitas belaka.
Demonstrasi di jalanan dalam kaitan ini diposisikan seolah-olah upaya pertama
sekaligus satu-satunya yang bisa menyelamatkan gerakan mahasiswa dari
tudingan tidak peduli.
Akhirnya, karena kurang pemaknaan dan penguasaan masalah berikut
analisis sosialnya, gerakan turun ke jalan mahasiswa tidak lebih sebagai seremoni
dan publikasi lembaga. Alih-alih berjalan sendiri-sendiri, yang harus dilakukan
sebenarnya bagaimana menghimpun kelompok di masyarakat dan mahasiswa
sebagai kekuatan yang saling bersinergi untuk terjadinya perubahan lebih baik.
Dengan kata lain, tujuan menghadirkan masyarakat sipil tidak bisa tidak
melibatkan berbagai aktor; tidak cukup gerakan mahasiswa, intelektual, atau
kalangan masyarakat buruh saja.
Pada tingkat mendasar, bantuan mahasiswa terhadap perjuangan
masyarakat berandil dalam mempertegas tuntutan sehingga penguasa
mendengarnya; kalaupun tidak, setidaknya mampu meresonansi tuntutan
masyarakat. Sorotan terhadap menurunnya respons gerakan mahasiswa sendiri
sebenarnya secara tersirat mengindikasikan masih besarnya harapan masyarakat
kepada gerakan mahasiswa agar gerakan mahasiswa tetap memperjuangkan
kepentingan masyarakat.
Harapan normatif itu wajar akan tetap selalu ada, mengingat
keberadaan kaum terpelajar bernama mahasiswa di Republik ini memiliki ikatan
yang kuat dengan ingatan kolektif masyarakatingatan tentang peranan
mahasiswa sebagai aktor protagonis; sebuah tipikal sikap masyarakat di negeri
yang pernah mengalami kolonialisme. Padahal, yang terjadi di lapangan dan
tengah dialami pelakunya, mahasiswa juga akan memasuki zaman transisi saat
mereka terlihat sebagai manusia biasa; tidak selalu hadir sebagai pahlawan.

12
Pergulatan yang tengah dihadapi mahasiswa itu perlu untuk diungkap
agar masyarakat bisa memperlakukannya secara proporsional. Dalam konteks
inilah kepasifan mahasiswasebagaimana dilihat beberapa kalanganbelum
cukup direspons dengan kritik saja, tetapi juga dengan sikap arif bahwa
mahasiswa tengah mencari formulasi yang tepat pada saat ini atas hilangnya
pekerjaannya. Yang menjadi pertanyaan, saat masalah masyarakat bukannya
berkurang, hingga kapan mahasiswa bereksperimen untuk menemukan formulasi
yang tepat agar mereka tidak menjadi aktivis pengangguran? []

13
Introspeksi Gerakan

14
Menjawab Malaise Gerakan Mahasiswa

Puluhan PTS Terancam Bangkrut; Jumlah Mahasiswa di Bawah 100


Orang, demikian judul berita utama pada Kompas edisi Yogyakarta (28/7/2005).
Mengutip pernyataan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi)
DIY, Prof Dr Sugiyanto Apt, diperkirakan jumlah PTS yang mendapatkan
mahasiswa baru kurang dari 100 mahasiswa pada Tahun Akademis 2005-2006
diperkirakan kian bertambah.
Dengan fakta tersebut, dapat dipastikan banyak kalangan yang
berkaitan dengan kehadiran mahasiswa baru akan terkena imbas. Selain kampus,
pelaku ekonomi akan terkena imbasnya. Yang juga tak bisa mengelak dari imbas
berkurangnya mahasiswa baru di Yogyakarta adalah gerakan mahasiswa.
Seiring makin menurunnya minat siswa-siswa sekolah menengah untuk
berkuliah di Yogyakarta, memengaruhi pula proses pengaderan di gerakan
mahasiswa. Bukan hal aneh bila di setiap gerakan mahasiswa mengalami
penurunan jumlah kader. Ini belum ditambah masalah ketika mereka sudah
menjadi mahasiswa, yakni makin mahalnya biaya pendidikan. Akibatnya, mereka
harus berkonsentrasi belajar di kampus; sementara aktivitas di luar perkuliahan
harus dibatasi secara ketat. Dalam dua tahun terakhir pula, minat mahasiswa baru
untuk masuk dan aktif ke gerakan mahasiswa makin menurun. Kini dengan makin
banyaknya kampus-kampus kekurangan mahasiswa, gerakan mahasiswa kian
terancam eksistensinya. Padahal, kehadiran mahasiswa baru bagi gerakan
mahasiswa bermakna sebagai generasi pelanjut. Merekalah yang nantinya
diharapkan melanjutkan estafet kepemimpinan.
Dengan kondisi PTS di Yogyakarta seperti itu, prospek regenerasi
gerakan mahasiswa menghadapi lampu merah. Sedangkan kondisi di perguruan
tinggi negeri, seiring makin tingginya antusiasme mahasiswa ke akademis,
prospek regenerasi gerakan mahasiswanya sebagian besar sudah lampu kuning.
Tingginya gairah belajar lebih dimaknai sebagai aktivitas di ruang kuliah
ketimbang berkiprah bersama masyarakat atau turun ke jalan. Diskusi-diskusi
umumnya baru meriah bila topiknya berkaitan dengan perkuliahan. Gerakan
mahasiswa dewasa ini, di Yogyakarta setidaknya, tengah memasuki malaise
paceklik tidak sekadar jumlah tapi juga kualitas (calon) kadernya.

15
Dengan kondisi tersebut, hal mendesak yang harus diambil gerakan
mahasiswa adalah membacanya secara cerdas dan bijak. Kondisi sekarang
merupakan realitas yang tidak cukup untuk dikeluhkan, atau dilimpahkan
penanggung jawabnya kepada pemerintah. Alih-alih menuding pihak ketiga, lebih
baik bagi gerakan mahasiswa untuk melakukan reposisi di tengah
ketidakbergairahan mahasiswa dan juga kekurangan mahasiswa baru.
Dengan makin terkonsentrasinya aktivitas dan minat mahasiswa baru
pada belajar di kampus (dalam arti sempit), gerakan mahasiswa akan cenderung
berjarak dengan mereka bila tidak mencoba memasuki gelanggang akademis
pula. Dalam hal ini praksis gerakan mahasiswa tidak hanya terkonsentrasi pada
aksi di jalan, tapi juga lebih banyak ke bangku-bangku diskusi ilmiah. Pendeknya,
gerakan mahasiswa harus siap untuk kembali menghidupkan tradisi ala kelompok
studi mahasiswa di tahun-tahun kejayaannya sekitar 1980-an hingga awal-awal
1990-an. Akan tetapi, praksis dari reposisi gerakan mahasiswa saat ini tidaklah
sama persis dengan pendahulu-pendahulunya. Sebab, konteks ketertarikan
mahasiswa tempo dulu untuk berdiskusi dengan tema-tema berat dan
menyerempet bahaya memang pas di era pemerintahan represif. Tapi untuk
konteks saat ini, tema seperti ini kurang relevan dengan kondisi psikis dan
sosiologis mahasiswa baru.
Yang lebih realistis dalam mereposisi dirinya, gerakan mahasiswa
masuk ke setiap ranah akademis (diskusi salah satunya) dengan berbasiskan
keilmuan tertentu. Bagaimanapun kebutuhan mahasiswa baru (selaku calon
kader) memang pada akademis. Karena itu, seorang aktivis gerakan mahasiswa
yang tidak memiliki kompetensi dalam sebuah disiplin, bisa diperkirakan akan
kehilangan kredibilitas. Mahasiswa baru dewasa ini memang hidup dalam
lingkungan yang kian pragmatis. Oleh karena itu, para aktivis gerakan mahasiswa
hendaknya menyadari kondisi ini.
Yang terpenting untuk melibatkan mereka adalah menggugah
kesadarannya sebagai manusia yang memiliki tanggung jawab terhadap
masyarakat. Di dalam profesinya atau minat keilmuannya, mereka diarahkan
untuk menjadi mahasiswa yang tidak sekadar pintar-akademis namun juga mau
peduli pada sekitarnya. Kesadaran pada mereka inilah yang kini lebih penting,
terlepas apakah nantinya mereka berkiprah aktif atau pasif di gerakan mahasiswa.
Karena itu, reposisi tersebut berkonsekuensi terhadap definisi kader. Kader tidak
harus berarti mereka yang memiliki afiliasi karena telah mengikuti sebuah jenjang
16
di gerakan mahasiswa. Akan tetapi, kader adalah setiap mahasiswa yang telah
memiliki paradigma berpikir layaknya aktivis meskipun kiprahnya hanya di
ruangan kampus. []

17
Korporatisme atas Aktivisme Mahasiswa

Sebetulnya bukan fenomena baru adanya relasi antara pemerintah dan


aktivis mahasiswa. Bagi pemerintah, bentuk relasi ini bagian dari menciptakan
harmoni agar program pembangunannya berlangsung lancar. Sedangkan bagi
mahasiswa, relasi dengan pemerintah memiliki spektrum kepentingan yang luas:
mulai dari persekutuan jangka pendek hingga membangun jaringan kerja pada
masa mendatang. Relasi ini sendiri tidak harus didahului oleh ancaman fisik-
langsung dari pihak dominan (pemerintah) kepada pihak yang subordinat
(mahasiswa). Seperti yang terjadi saat 2005, beriringan dua kali dinaikkannya
harga BBM (1 Maret dan 1 Oktober), pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
dan Jusuf Kalla serius menjalankan korporatisme; bukan kooptasi-koersif
sebagaimana praktik kekuasaan Orde Baru.
Merujuk ke teoretisasi Alfred Stepan (1978), korporatisme yang tengah
dipraktikkan pemerintahan SBY-JK tidak lain korporatisme inklusif. Pada
korporatisme ini ada upaya pemerintah untuk mendistribusikan sebagian
kekuasaannya dengan kelompok-kelompok kepentingan masyarakat.
Pendistribusian ini dilakukan karena pemerintah memiliki keterbatasan dalam
mengelola seluruh kekuasaannya. Dalam konteks pemerintahan SBY-JK,
keterbatasan ini hendak disubstitusi oleh citra pemerintahan yang demokratis;
misalnya artikulatif terhadap aspirasi mahasiswa.
Untuk memperoleh legitimasi dari kalangan aktivis mahasiswa,
pemerintah mengesankan tidak lagi mengendalikan aktivitas mahasiswa.
Pendekatan moderasi ini menjadi efektif bersamaan dengan diberlakukannya
prosedur demokrasi langsung sebagaimana dipraktikkan dalam pemilihan
presiden dan wakil presiden. Walaupun demikian, korporatisme inklusif ini
bukanlah kondisi permanen. Saat kemampuan pemerintah untuk menguasai
kelompok-kelompok kepentingan meningkat, relasi yang terjadi berganti menjadi
korporatisme eksklusif dimana hadir kontrol-koersif pemerintah.
Akibat korporatisme, upaya aktivisme mahasiswa menjadi gerakan
oposisi mengalami kendala. Tidak hanya dari pihak luar mahasiswa namun juga
dari dalam mahasiswa sendiri. Korporatisme memecah aktivis mahasiswa ke
dalam konfigurasi pragmatis. Fragmentasi antaraktivis atau antargerakan
mahasiswa kini tidak lagi disebabkan perbedaan ideologi (meskipun tidak berarti

18
hilang sama sekali), namun yang lebih dominan disebabkan perebutan
kepentingan berelasi dengan kekuasaan.
Selain dengan pemerintah, korporatisme atas aktivis mahasiswa
berlangsung pula dengan seniornya di partai politik (parpol). Korporatisme oleh
parpol ini berandil menumpulkan elan vital aktivisme mahasiswa tahun ini.
Dalam konteks ini bisa dimengerti bila gerakan mahasiswa yang biasanya aktif
menentang kenaikan harga BBM (seperti era pemerintahan sebelum SBY-JK) kini
terlihat setengah hati terlibat. Ada ketegangan internal antara aktivis
mahasiswanya dengan senior mereka di parpol sehingga pengkritisan yang
dilakukan tidak optimal.

Korporatisme Kampus
Sementara pengkritisan ke luar dikontrol kekuasaan pemerintah dan
parpol melalui mekanisme korporatisme, di habitatnya sendiri (kampus) aktivisme
mahasiswa juga tidak steril dari ruang serupa. Terutama seperti yang terjadi di
beberapa perguruan tinggi negeri besar tempat aktivisme mahasiswa menjadi
kiblatseperti UI, UGM, ITB korporatisme pihak kampus memiliki tujuan
serupa dengan pemerintah. Korporatisme inklusif ditawarkan kepada mahasiswa
melalui program-program peningkatan mutu akademis, dengan tujuan mahasiswa
tersibukkan pada wilayah barunya ini sehingga tidak mengganggu agenda
liberalisasi pendidikan. Lebih jauh lagi pihak kampus memiliki program agar
mahasiswa lebih antusias menyambungkan dirinya dengan segi-segi pragmatis
globalisasi.
Akibat hadirnya korporatisme pihak kampus, satu sisi memang
memarakkan kelompok-kelompok diskusi keilmuan. Namun di sisi yang lain,
kehadiran kelompok diskusi ini lebih merefleksikan perpanjangan paradigma
berpikir pihak kampus: keakademisan dijadikan orientasi utama meninggalkan
peran sosial mahasiswa. Tegasnya, pragmatisme dan individualisme menjadi hasil
korporatisme kampus, mengabaikan peran mahasiswa sebagai pembela aspirasi
masyarakat. Tidak mengherankan bila reputasi mahasiswa yang altruistis kini
berganti wajah narsis seperti terlihat dari menggejalanya hedonisme-
konsumerisme sebagai mode gaya hidup mahasiswa hingga makin seringnya
perkelahian antarmahasiswa yang terjadi di beberapa perguruan tinggi.

19
Transendesi Gerakan
Sebagian aktivis mahasiswa memang berupaya merespons kondisi saat
ini dengan tidak terpaku pada isu-isu politik jangka pendek. Mereka terobsesi
untuk merumuskan sebuah paradigma gerakan yang bisa membaca situasi saat ini
secara akurat. Sayangnya, upaya ini sering kali diinterupsi oleh tuntutan untuk
merespons isu politik jangka pendek. Padahal, respons mereka acap kali kental
warna ideologinya, dalam arti melihat persoalan secara hitam dan putih. Dalam
kasus kenaikan harga BBM misalnya, penentangan aktivis mahasiswa saat ini
masih seperti yang dilakukan aktivis mahasiswa angkatan-angkatan sebelumnya.
Kesamaan praksis gerakan ini merupakan persoalan karena perbedaan zaman
tidak disikapi secara kontekstual seiring dinamisnya praksis kekuasaan
pemerintah.
Di tengah dominannya kepentingan pemodal asing (namun posisi
pemerintah makin inferior), dan hadirnya korporatisme pemerintah atas
mahasiswa (bahkan kaum intelektual secara umum), perlu ada revisioning
antaraktivis dan antargerakan mahasiswa. Sekatan bernama fragmentasi ideologi
kini harus ditransformasikan ke dalam pemahaman transendental, yakni kesamaan
universal yang melampaui perbedaan kepentingan pragmatis di antara mereka.
Dan untuk menuju transendensi, aktivis mahasiswa tidak bisa lagi mengapriorikan
konsentrasi keilmuan. Tanpa pengilmuan, beroposisi dengan pelbagai bentuk
kekuasaan akan kehilangan makna.
Pengilmuan di sini bukan mengarah kepada penteknokratisan-mekanik
seperti dimodelkan dalam korporatisme pemerintah, parpol, atau kampus. Karena
itu, ide-ide keilmuan mahasiswa bukan untuk memihak status quo seperti
dijumpai kini di kelompok-kelompok diskusi keilmuan. Pengilmuan berfungsi
sebaliknya: sebagai utopia penjaga idealisme gerakan dan aktivisme mahasiswa.
Selain itu, pengilmuan menjadi panduan untuk melihat kekonsistenan aktivis
mahasiswa yang memilih terlibat dalam jalur korporatisme. Langkah terakhir ini
lebih realisitis, tidak menskeptiskan sepenuhnya aktivis yang memilih masuk
dalam relasi korporatisme. []

20
Desekulerisasi Arah Gerakan Mahasiswa

Demonstrasi buruh menuntut naiknya upah berlangsung di beberapa


tempat. Melihat aktornya, demonstrasi kali ini lebih tampak sebagai upaya
mandiri buruh. Dari permukaan, pelibatan pihak ketiga seperti mahasiswa
menurun. Pertanyaannya, apakah keadaan ini keberhasilan para aktivis
mahasiswa pada masa lalu dalam mengadvokasi buruh (sehingga kini buruh lebih
sadar akan haknya, lalu berinisiatif melakukan gerakan sendiri), atau justru
sebaliknya: mahasiswa tidak lagi tertarik pada isu buruh. Sementara buruh makin
memahami cara mengartikulasikan haknya, perhatian gerakan mahasiswa
terhadap perburuhan menurun. Sebagai isu nasional isu buruh pun makin tampak
tidak lagi menjadi agenda bersama gerakan mahasiswa dan buruh.
Menyusul jatuhnya kekuasaan Presiden Suharto, gerakan mahasiswa
dikritik kehilangan elan vitalnya. Sejak saat itu hingga sekarang gerakan
mahasiswa masih menghadapi dua bentuk penetrasi kekuasaan: kekuasaan
struktur politik, dan kekuasaan budaya banal. Kedua kekuasaan ini selanjutnya
memunculkan dua pergulatan dan ketegangan di internal mahasiswa dalam
mengatasinya. Satu pihak, gerakan mahasiswa menghadapi kekuasaan politik
dengan pelbagai bentuk aktor dan pola pelibatan. Di pihak yang lain secara
bersamaan, mereka juga makin disibukkan oleh mode konsumsi budaya massa
yang banal.

Pemirsa Demokrasi
Pola kooptasi yang merepresi kini diganti korporatisme. Ada negosiasi
kepentingan antara pemerintah dan gerakan mahasiswa. Agar legitimasi
pemerintah di mata mahasiswa menguat, sehingga program pemerintah tidak
terhambat, korporatisme dijalankan. Praktik korporatisme ini dapat dilihat,
misalnya, saat Wakil Presiden Jusuf Kalla mengajak para pimpinan organisasi
mahasiswa dan pemuda dalam perjalanan dinas ke Afrika Selatan akhir
September 2005. Kehadiran para pimpinan itu digunakan Kalla untuk
menjelaskan duduk persoalan harga BBM dinaikkan. Saat harga BBM resmi
dinaikkan, organisasi yang pimpinannya ikut tersebut memilih memahami
daripada menentang kebijakan pemerintah.
Alat negara yang juga menawarkan korporatisme adalah kampus.
Program peningkatan mutu akademis diperbanyak; beasiswa-beasiswa

21
melanjutkan kuliah dibuka; insentif agar mahasiswa menekuni penelitian
diperbesar. Semua ini mendorong mahasiswa menjauh dari gerakan mahasiswa.
Keadaan tersebut sayangnya belum sempat diantisipasi oleh aktivis
gerakan mahasiswa, khususnya yang terlibat dalam aksi menjatuhkan Suharto.
Mereka belum sempat mewariskan paradigma gerakan agar relevan dengan pola
berpikir mahasiswa era pasca-Suharto. Sehingga aktivis mahasiswa saat ini hanya
mewarisi pesan-pesan normatif mengenai peran gerakan mahasiswa; pola aksi
yang mereka melakukan pun sama persis dengan pendahulunya. Terjadilah
diskontinu gerakan, yang akibatnya gerakan mahasiswa terjebak pada kerja
rutinitas. Wajar bila belum terlihat terobosan signifikan dari gerakan mahasiswa
dalam menghadapi perubahan baru relasi negara, rakyat, dan mahasiswa.
Perubahan di internal mahasiswa yang memengaruhi vitalitas gerakan
mahasiswa adalah mahasiswa mengukuhkan dirinya hanya sebagai pembelajar-
aktif di kampus, dalam arti makin memprioritaskan prestasi akademis. Sedangkan
agenda memihak buruh misalnya, dianggap sebagai kegiatan abstrak, tidak
fungsional, dan eksklusif (milik mahasiswa yang mau peduli saja). Membela hak
buruh memang masih dipercayai sebagai peran normatif mahasiswa namun
mereka menolak menjadikan peran ini sebagai kewajibannya. Keadaan ini
membenarkan kekhawatiran lama: pengetahuan kognitif mahasiswa mengatasi
kepedulian sosialnya; memprioritaskan kompetensi keilmuan tanpa harus
dibebani mitos altruisme mahasiswa. Praktik membela hak buruh dipandang
sebagai utopia di tengah kehidupan sehari-hari yang makin sulit dan tidak
menentu ini. Jadi, adanya korporatisme dari kampus menandai lahirnya era
mahasiswa sebagai pemirsa demokrasi.

Desekulerisasi
Bersamaan dengan korporatisme kekuasaan politik alat negara,
gerakan mahasiswa juga menghadapi penetrasi kekuasaan budaya banal.
Mahasiswa diajak mengikuti ritme gerakan budaya yang datang dari luar ini,
sehingga lahirlah karakter mahasiswa seperti yang dikritik Amien Rais: makin
dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme yang berkembang (Kompas,
19/12/2005).
Kritikan Amien Rais mengenai mati surinya gerakan mahasiswa dalam
hal ini bisa dijelaskan dari adanya pergulatan yang tengah dan akan dihadapi
mahasiswa. Aktivis gerakan mahasiswa, dan mahasiswa secara umum, harus

22
bergulat di tengah tawaran alat-alat negara; saat yang sama, mereka juga telah
bergantung pada budaya banal yang biasa mereka konsumsi. Semua ini akhirnya
menyebabkan mereka memilih langkah pragmatis: berkecimpung di dunia
akademis tanpa harus pusing memikirkan persoalan rakyat.
Sekularisasi peran normatif mahasiswa itu berdampak pada
eksistensi gerakan mahasiswa. Bukan sinyalemen kosong bila gerakan mahasiswa
tinggal menunggu waktu senja kalanya akibat tidak mampu lagi mewadahi
kapasitas dan keinginan mahasiswa di era privatisasi kampus. Di sinilah
pentingnya reformulasi gerakan guna mengantisipasi perkembangan yang makin
mengungkung mahasiswa (termasuk aktivis gerakan mahasiswa) akibat dua
kekuasaan di atas.
Pergulatan struktural dan budaya dalam hal ini dihadapi dengan jalur
yang tidak langsung menyebabkan mahasiswa menjauh dari dunia aktivis. Di
sinilah perlunya mengubah pakem-pakem khas gerakan jalanan dengan bahasa
akademis, tanpa terjebak pada kekakuan aspek teoretisnya. Lebih tegasnya,
orientasi altruisme ditumbuh-kembangkan memakai jalur keilmuan. Keilmuan
dan perubahan sosial disambungkan sehingga tidak terjadi sekularisasi peran
sosial mahasiswa. Peran normatif harus dijelaskan dengan sebuah pendekatan
keilmuan sehingga daya tawar perubahan sosial bisa didiskursuskan alih-alih
diindoktrinasikan. Tujuannya agar kenormatifan peran mahasiswa di satu sisi, dan
keilmuan di jalur akademis di sisi lain, tidak lagi terpisah secara otonom.
Lewat desekulerisasi tersebut, fragmentasi antargerakan mahasiswa
sendiri harus mulai dikurangi. Untuk itu, tiap gerakan harus mengagendakan
transendensi gerakan, yakni kerja-kerja yang melampaui perbedaan ideologi,
pemahlawanan sepihak, dan penyebab fragmentasi pascajatuhnya Suharto: tidak
meratanya distribusi kekuasaan hasil korporatisme dengan alat negara.
Bagaimanapun, karena tidak menganggapnya sebagai kebutuhan, ketertarikan
mahasiswa era mendatang tidak disebabkan oleh ideologi, atau relasi gerakan
mahasiswa dengan kekuasaan negara. Baju-baju primordial gerakan dengan
demikian tidak relevan lagi. Inilah kesempatan bagi aktivis di tiap gerakan
mahasiswa untuk menyatukan (kembali) langkah mereka menghadapi musuh
bersama: pragmatisme mahasiswa sebagai akibat korporatisme politik dan budaya
banal. []

23
Klaim Independen Gerakan Mahasiswa

Dalam beberapa kesempatan, rekan-rekan saya di Kesatuan Aksi


Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menyatakan organisasinya bukanlah
underbouw Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Menurut mereka, tidak ada hierarki
struktur yang menghubungkan antara KAMMI dan PKS. Mereka sering
mengungkapkan bahwa KAMMI lebih dulu lahir daripada parpol tersebut.
Kalaupun ada kesamaan pandangan, ini didasari atas kesamaan visi dalam
melihat masalah umat dan bangsa. Meskipun demikian, mereka tidak menolak
fakta bahwa demonstran KAMMI tidak lain juga massa PKS.
Saya memahami situasi batin mereka. Di tengah tuntutan independensi
sikap politik gerakan mahasiswa, ternyata mereka memiliki hubungan dengan
para seniornya di parpol. Sebagai orang yang lama berinteraksi dengan mereka,
saya melihat lama-kelamaan pendiplomasian atas adanya relasi tersamar itu akan
berdampak bagi kesinambungan KAMMI.
Secara sosiologi, aktivis KAMMI berasal dari kelompok sosial
perkotaan, yang awalnya berkumpul dalam wadah lembaga dakwah kampus
(LDK). Keberadaan LDK tidak bisa dipisahkan dari aktivitas komunitas keagamaan
yang menamakan dirinya gerakan Usrah atau belakang memilih nama baru:
Tarbiyah. Memang awalnya aktivitas gerakan dakwah ini belum terang-terangan
membuka diri kepada masyarakat, sampai kemudian Reformasi 1998 bergulir.
Harus diakui, meskipun tertutup, tidak berarti mereka tidak peduli pada kondisi
bangsa. Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, mereka antara lain terlibat
dalam demonstrasi menolak depolitisasi Islam (seperti pelarangan jilbab) hingga
menuntut dicabutnya izin judi legal (SDSB). Puncaknya adalah andil sayap
pemuda (mahasiswa) mereka, yakni KAMMI, dalam melahirkan Reformasi. Dalam
konteks ini terbentuknya KAMMI tidak lain sebagai wadah untuk memperluas
gerakan Tarbiyah.
Karena KAMMI ditugasi di aras mahasiswa, diniscayakan adanya
pembahasaan sesuai dunianya. Strategi yang dipakai adalah menyembunyikan
identitas asli, dan sebaliknya mengklaim keindependenannya sebagaimana
umumnya gerakan mahasiswa.
Tampaknya adaptasi dengan lingkungan barunya itu lebih jauh
membawa kegamangan, untuk tidak mengatakan dilema. Sebagai contoh,

24
konsekuensi atas posisinya sebagai gerakan mahasiswa, KAMMI perlu bersikap
jelas terhadap Pemilu 2004. Di sini KAMMI dituntut untuk bersikap tegas:
menerima, netral atau menolak pemilu. Bila semula media memberitakan KAMMI
sebagai eksponen mahasiswa yang memboikot pemilu, akan tetapi seusai
pertemuan organisasi di Bogor menjelang pemilu 2004, KAMMI tidak lagi
mengumandangkan boikot pemilu. Sebuah ambiguitas atas preferensi politiknya,
manakala KAMMI memboikot pemilu; sementara dalam praktiknya mereka tidak
lain konstituen sebuah parpol. Boikot pemilu tentu saja menghambat target politik
PKS dalam meraih suara. Maka, bukan hal aneh bila ada modifikasi isu; isu
yang dibidik kini berhubungan dengan pencegahan politisi bermasalah, seperti
pada perkembangan terakhir KAMMI menjadi eksponen deklarator Manifesto
Politik Mahasiswa Indonesia awal Januari 2004 di Jakarta. Dengan pilihan
terakhirnya ini, KAMMI mengakui pemilu sebagai realitas politik yang tidak bisa
begitu saja ditolak.

Redefinisi Independen
Yang dialami KAMMI kini merupakan episode ke sekian dari
perjalanan gerakan mahasiswa dalam berdialektika dengan situasi politik yang
mengitarinya. Dalam aras pergerakannya, gerakan mahasiswa diharapkan
berposisi independen, objektif, netral, dan mampu menjaga jarak dengan
kekuasaan. Kekuasaan di sini tidak saja dalam pengertian perangkat dan aparatur
untuk membuat kebijakan dalam pemerintahan, namun juga meliputi setiap
konteks yang meniscayakan adanya pengontrolan. Berkaca dari sejarah
persinggungannya dengan pemerintah, gerakan mahasiswa adalah anasir yang
diharapkan menjadi benteng terakhir dalam menjaga jarak. Lebih jauh, harapan
ini kemudian dianggap sebagai kredo yang harus dipegang setiap aktivisnya. Bila
melanggar, cap sebagai pengkhianat harus diterimanya.
Alih-alih menciptakan mentalitas seorang aktivis yang senantiasa
progresif, independensi gerakan mahasiswa tampaknya rentan menjadi slogan
berwajah ganda. Betapa tidak, satu sisi independensi menuntut tidak boleh
adanya keberpihakan gerakan mahasiswa, namun di sisi yang lain independensi
digunakan sebagai pelegitimasi perubahan orientasi gerakan mahasiswa.
Aktivisnya yang terserap dalam sistem kekuasaan biasanya akan melegitimasi
dengan klaim-klaim idealisme perjuangan dalam sistem. Dengan masuk ke

25
sistem, mereka merasa tetap independen dalam melakukan perubahan
sebagaimana saat di jalan.
Sejarah mencatat, tiap gerakan mahasiswa memiliki anomali
pemaknaan independensi ini. Untuk gerakan mahasiswa berbasis keislaman,
anomali ini bahkan menjadi dinamika tersendiri. Fenomena lazim adanya
pergulatan antara yang menghendaki pemisahan dan yang tetap memilih sebagai
bagian organisasi massa yang lebih besar. Dan praktik seperti ini berulang kali
ditemui dalam setiap kongres atau muktamar gerakan mahasiswa. Bila dulu HMI
berhasil ke luar dari penstigmaan sebagai anak kandung Masyumi, langkah serupa
hendak ditempuh PMII dari tubuh NU, dan IMM dari rahim Muhammadiyah.
Perdebatan independensi itu bagi saya adalah pekerjaan sia-sia. Sebab,
mereka yang memperdebatkan ini mengalami lompatan paradigma. Mereka
belum tentu mampu mendefinisikan (apalagi mengamalkan) seperti apa sikap
independen. Padahal, makna independen lebih sebagai permainan tanda yang
akan meningkatkan status sosial gerakan mahasiswa berikut para aktivisnya. Bagi
gerakan mahasiswa yang masih tercatat resmi sebagai bagian dari ormas misalnya,
menganggap dirinya inferior dan tersubordinasi serta daya tawarnya lemah.
Sementara bagi gerakan mahasiswa yang independen, menganggap dirinya
bebas menentukan pilihan politiknya, sehingga status sosialnya lebih tinggi dan
daya tawarnya lebih kuat.
I n d e p e n d e n a d a l a h p i l i h a n s a d a r, b e b a s , d a n m a m p u
dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini tidak dikehendaki adanya intervensi pihak
ketiga. Dalam pembelajaran politik mahasiswa, intervensi merupakan bagian dari
pembodohan melalui mekanisme pengontrolan. Kekritisan mahasiswa tidak
diberdayakan, tapi ditumpulkan. Bisa dimengerti bila pilihan untuk ke luar dari
bayang-bayang para senior merupakan pilihan tepat. Bila demikian definisi
independen, saya setuju.
Namun, pilihan di atas tidak bisa disederhanakan dengan harus
adanya pemutusan dari hierarki struktur. IMM misalnya, harus sama sekali terlepas
dari struktur Muhammadiyah, PMII dari NU-nya, atau KAMMI dengan PKS-nya.
Bagi saya, langkah ini belum menyelesaikan akar masalah tentang independensi.
Katakanlah tiap gerakan mahasiswa tersebut tidak lagi memiliki hubungan struktur
dengan siapa pun. Namun, apakah keindependenannya itu mampu dikonsisteni?

26
Akan percuma perdebatan independensi yang lama menyita energi,
kalau pada akhirnya dalam habitat barunya para aktivis menggantungkan pada
patron-patron baru, yang tidak lain, salah satunya adalah, para senior mereka.
Inilah yang menjelaskan betapa rapuhnya struktur berpikir aktivis yang terus-
menerus berteriak dirinya independen, sementara di belakang layar mereka sudah
membuat kalkulasi demi karier politiknya.

Komoditas
Independensi pada akhirnya menjadi komoditas aktivis gerakan
mahasiswa ketika memulai karier politiknya. Dalam hal ini, sekali lagi,
independensi merupakan permainan tanda yang disadari para aktor mahasiswa
yang mengklaim memilikinya untuk meningkatkan status-nya. Mereka yang
berstatus independen ketika masih di jalan, berpotensi diperebutkan para politisi.
Sebab, dengan status aktivis independen, yang bersangkutan memiliki posisi tawar
lebih daripada aktivis yang dikenal sebagai agen politik para politisi. Proses
permainan tanda berikut pemaknaan independen inilah yang sengaja digunakan
aktivis untuk memuluskan kariernya, dan mengorbankan idealismenya semasa di
jalan.
Sejatinya, sejauh mana wujud praktik independensi gerakan
mahasiswa, harus dilihat per individu aktivisnya. Karena menyangkut konsep diri,
independensi pun menjadi idiografik. Belum tentu gerakan mahasiswa yang
mengklaim independen, para aktivis atau alumninya akan berperilaku sama.
Karena itu, generalisasi yang terwujud dalam klaim gerakannya independen
hanyalah omong kosong. Justru dengan melabelkan diri independen itu, mereka
bukannya tidak berpihak, malah berpotensi menyelewengkannya dalam bentuk
watak oportunis-pragmatis.
Pemaknaan independen per individu ini meniscayakan setiap aktivis
untuk berkomitmen dan berempati pada setiap kebenaran dan keadilan, tanpa
pretensi apa pun. Mereka diharuskan mengartikulasikan kebebasannya untuk
membela hal ini. Tidak ada kekuatan apa pun yang berhak menghalanginya.
Tegasnya, independensi adalah wujud totalitas dalam mengaplikasikan semangat
membela kebenaran dan keadilan. Inilah persoalan mendasarnya ketimbang
mempermasalahkan bagian dari struktur ormas/parpol atau bukan. Bersinergi
dengan parpol ataupun kelompok sosial mana pun bukanlah hal tabu selagi
direfleksikan dengan makna independen seperti di atas.

27
Banyak rekan-rekan saya yang merasa sebagai aktivis independen,
namun di lain pihak menjadi bagian dari komprador kekuatan kapital asing, atau
sebagian yang lain menjadi perpanjangan tangan penguasa. Pada pemilu 1999, di
depan publik mereka total menolaknya, namun mereka ternyata masuk ke bilik
suara. Dan konyolnya, yang dipilih pun didasarkan atas kekaguman pribadi.
Ketika yang dipilih itu dipandang gagal mengemban amanat, mereka tidak malu-
malu mencaci makinya. Padahal, tidak sedikit kerja sama tersamar sudah mereka
lakukan.
Dengan demikian, amat disayangkan bila persoalannya hanya karena
gerakan mahasiswa memiliki hubungan struktur dengan ormas/parpol tertentu,
mereka menjadi inferior. Justru bagi saya yang perlu diprihatinkan adalah
keterpecahan kepribadian para aktivis yang dulu lantang berteriak tentang
independensi. Ketika kekuasaan merekrut mereka, spontan mereka menerimanya.
Dalam hal ini Anda tidak perlu mengernyitkan dahi untuk menyimpulkan apakah
mereka benar-benar sosok aktivis mahasiswa independen atau bukan. []

28
Mengapa Demonstran Tulus kian Sedikit?

Meskipun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah menetapkan


harga baru bahan bakar minyak (BBM) per 1 Oktober 2005, hal ini tidak
mengurangi demonstrasi penolakan kenaikan. Aksi demonstrasi tidak hanya
melibatkan mahasiswa namun juga masyarakat umum. Masyarakat memang
banyak yang kecewa terhadap keputusan pemerintah itu.
Walaupun demikian, kekecewaan masyarakat tidak serta-merta
tersalurkan dengan berdemonstrasi. Tidak heran bila dalam kenaikan harga BBM
kali yang persentase rata-ratanya di atas seratus persen, tekanan masyarakat
kepada pemerintah melalui demonstrasi tidak semasif saat kenaikan 1 Maret
2005. Padahal, keterlibatan sejumlah besar masyarakat dan dari pelbagai lapisan
semakin memperbesar tekanan aksi kepada pemerintah.
Seorang aktivis mengeluhkan minimnya partisipasi masyarakat untuk
bersama- sama melakukan demonstrasi. Dicontohkan saat Aliansi Rakyat
Menggugat (ARM) menjanjikan pengerahan massa sebanyak sepuluh ribu orang
untuk mengepung Gedung DRP/MPR pada 4 Oktober 2005, ternyata hasilnya
jauh dari perkiraan. Apakah semakin pasifnya masyarakat memperlihatkan
penerimaan mereka terhadap keputusan pemerintah, atau fenomena pasif ini
hanya bentuk ketidakberdayaannya di depan pemerintah?
Untuk mengetahui penyebabnya, kita bisa melacak dari tiga arah.
Pertama, tawaran yang diberikan mahasiswa sehingga masyarakat bisa termotivasi
untuk terlibat di dalamnya; kedua, relasi pemerintah dan masyarakat; ketiga,
preferensi aktual yang kini dominan di tengah masyarakat.
Isu yang diusung mahasiswa memang populis dan meliputi semua
lapisan masyarakat. Persoalannya, isu menolak kenaikan harga BBM
pengomunikasiannya kepada publik belum dirancang dengan baik. Saat yang
sama pemerintah sendiri intensif mengomunikasikan subsidi tunai langsung
tawaran yang bagi rakyat miskin lebih konkret daripada berpanas-panas turun
ke jalan. Dengan kata lain, gencarnya rencana pemerintah untuk menaikkan
harga BBM membutuhkan strategi komunikasi agar mampu mengimbanginya,
yakni bagaimana mahasiswa mengonkretkan tuntutannya kepada masyarakat
sehingga masyarakat pun akhirnya bisa merasakan manfaat berdemonstrasi.

29
Saat yang sama di tengah masyarakat sebenarnya telah berlangsung
bentuk penguasaan pemerintah atas mereka. Dan ini tidak terjadi sejak adanya
dana kompensasi BBM bagi rakyat miskin. Bahwa dana kompensasi itu memiliki
kelemahan mendasar baik secara fungsi, pendataan pihak penerima, distribusi,
cara pemberian, hingga cara sosialisasi, semua ini telah dikemukakan banyak
pihak. Tidak sedikit kalangan yang menuduh di balik pemberian dana bantuan itu
ada politik uang (money politic); kekritisan rakyat dibeli agar mereka tidak lagi
menentang rencana pemerintah. Bentuk kooptasi ini sebetulnya bagian dari
praktik pemerintahan korporatisme.
Keterbukaan dalam dunia politik kita pasca-Orde Baru sering disebut-
sebut sebagai proses menuju ke arah demokrasi yang lebih baik daripada semasa
rezim Orde Baru berkuasa. Harapan ini sah-sah saja meskipun agak normatif dan
bernada oksidental. Padahal, ada akar sejarah dan budaya yang meniscayakan
terjadinya pengadopsian ketimbang penerimaan mentah-mentah. Maka, alih-alih
demokrasi sebagaimana diidealkan terjadi negara-negara maju, jalannya
pemerintahan pasca-Orde Baru malah memunculkan kekhasan tersendiri.
Sebagaimana terjadi di kawasan Amerika Latin, negara kita mengalami apa yang
diistilahkan James M Malloy sebagai pembangunan bergantung yang
terlambat (delayed dependent development). Formasi negara yang terbentuk
(yakni korporatisme) adalah sistem kekuasaan yang dalam perspektif weberian
dikatakan sebagai proses antara menuju sistem pluralisme (demokrasi dalam
negara maju).
Korporatisme bekerja tidak semata-mata berdasarkan kepentingan
negara, namun juga tidak semata-mata berdasarkan kepentingan-kepentingan
kelompok di masyarakat. Pemerintahan korporatisme menunjukkan adanya suatu
tingkat ketegangan antara sektor negara dan sektor masyarakat, yang kemudian
menghasilkan semacam negosiasi semipermanen di antara keduanya. Negara
memang memberi hak monopoli kepentingan bagi kelompok-kelompok
perwakilan ini, dengan memberi imbalan kontrol atas aktivitas mereka.
Pengontrolannya sendiri bukan totalitas kontrol sebagaimana dipraktikkan dalam
negara totaliter. Pemerintah melakukan korporatisme, dan bukannya totaliter,
disebabkan ketidaksanggupannya mengooptasi dan memenuhi kepentingan
kelompok-kelompok perwakilan tersebut (Nur Iman Subono, 2003: 174- 177).

30
Korporatisme inilah bentuk nyata di balik kebaikan penguasa memberi
kekuasaan (baca: keistimewaan) tertentu kepada kaum muda, yang selanjutnya
kaum muda itu dimintai kesediaannya untuk dikontrol sebagai imbalan.
Pengertian korporatisme atau otoriter tersebut akhirnya membawa kita pada
konsep Foucault tentang kekuasaan. Masih ingat cara pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono menaklukkan kekritisan aktivis mahasiswa dan pemuda
dalam kebijakan penaikan harga BBM? Kekuasaan tidak selalu berwajah
menyeramkan lewat ancaman fisik, tetapi juga berupa kekuasaan yang tersamar
dengan berbajukan otoritas tertentu. Melalui dialog dengan aktivis muda, kontrol
dilakukan (dalam kasus ini pemerintah diwakili Jusuf Kalla); bukan dengan
ancaman. Tidak heran bila kaum muda pun optimis dan bangga bahwa dialognya
sebagai komunikasi politik dengan pemerintah, kendati ini sebetulnya tidak lain
sebagai negosiasi semipermanen.
Jadi, disadari atau tidak, pelibatan pelbagai kalangan dalam relasi
rakyat dan pemerintah itu lebih menggambarkan berlangsungnya mekanisme
korporatisme. Kelas-kelas menengah, kalangan profesional swasta, pengusaha,
dan politisi telah diberi hak-hak atau keistimewaan tertentu sehingga mereka
menjadi tidak kritis lagi kepada pemerintah. Pemberian ini sendiri bukan dalam
kerangka pendisiplinan yang kaku dan determinatif, dalam arti posisi satu pihak di
atas pihak yang lain. Kata kuncinya adalah kerja sama, negosiasi. Kalangan-
kalangan ini telah mendapatkan tuntutannya dari pemerintah; pemerintah
memperoleh legitimasi politik dari dukungan kalangan ini manakala hendak
menaikkan harga BBM.
Jangankan masyarakat umum, gerakan mahasiswa atau kelompok
pemuda pun telah memilih untuk masuk dalam korporatisme. Pemerintah melalui
Wakil Presiden Jusuf Kalla melibatkan para pimpinan kaum muda ketika
berkunjung ke Afrika Selatan pada saat ramai-ramainya demonstrasi menolak
kenaikan harga BBM. Dan terbukti, organisasi kaum muda tersebut lebih banyak
sebagai pihak yang pasif dalam menentang langkah pemerintah. Pasalnya, setelah
melakukan komunikasi politik (dalam istilah para pimpinannya), mereka pun
memaklumi langkah pemerintah.
Relasi pemerintah dan masyarakat tersebut dengan demikian
memengaruhi preferensi aktual masyarakat. Memilih mendukung atau memahami
langkah pemerintah, bersedia turun ke jalan untuk berdemonstrasi menolak
kenaikan harga BBM, atau sebaliknya memilih pasif karena menerima kenyataan
31
beratnya beban pemerintah dalam menanggung defisit anggaranpreferensi
masyarakat untuk memilih salah satu keputusan tidak sepenuhnya berada dalam
ruang hampa. Berkurangnya dukungan masyarakat dalam demonstrasi mahasiswa
bisa ditarik penyebabnya dari relasi yang tengah berlangsung di tengah
masyarakat dengan pemerintah.
Termasuk yang perlu ditekankan di sini adalah kepedulian kelas
menengah di perkotaan. Mereka yang dicirikan relatif terdidik dan rasional dalam
berkeputusan, ternyata ketika ada rencana kenaikan harga BBM mereka juga
terlibat dalam usaha-usaha spekulatif (misalnya dalam mengantre di SPBU
Pertamina). Kelas menengah yang sering dipandang sebagai pahlawan dalam
keberlangsungan demokratisasi ternyata tidak lebih sebagai mitos belaka.
Pragmatisme yang mereka tempuh tampaknya berasal dari relasi mereka dengan
pemerintah melalui mekanisme korporatisme. Mereka mendapat keuntungan dari
relasi ini, dan saat yang sama masih bisa memberikan sumbangsih kepada negara.
Karena itu, tidak hanya rakyat miskin yang terkooptasi melalui dana kompensasi,
rakyat yang lebih terdidik dan mampu pun telah mengalami hal serupa. []

32
Mencari Suara Aktivis Islam di Freeport

Sebagai akademisi yang pernah bekerja sama dengan gerakan


mahasiswa saat menumbangkan penguasa Orde Baru, tampaknya Amien Rais
amat merasakan telah berubahnya preferensi minat mahasiswa dalam beraktivitas.
Belakangan ini, dalam kapasitas sebagai sosok yang vokal menyuarakan adanya
ketidakadilan dalam pengelolaan pertambanganterutama yang dilakukan PT
Freeport McMoran di Timika (Papua)keprihatinan Amien terhadap gerakan
mahasiswa sepertinya akan semakin bertambah. Hingga sepekan lebih upaya
pemblokiran warga di sana, dan aksi solidaritas yang menyertainya, tidak banyak
gerakan mahasiswa yang menempatkan kejadian teraktual di Papua ini sebagai
agenda aksinya.
Meskipun dampak pemblokiran jalan menuju lokasi pertambangan
Freeport oleh masyarakat setempat, yang kemudian diikuti dengan aksi solidaritas
warga Papua di Jakarta, terbilang besar, namun secara kepemilikan kejadian ini
belumlah menasional. Dalam arti, kekecewaan dan protes warga Papua itu
seolah-olah hanya lokal milik mereka; bukan milik setiap warga di Republik ini.
Meskipun pemberitaan media massa nasional atas kejadian ini meluas, respons
masyarakat di negeri ini terkesan melokalkan persoalan: kejadian ini hanya
sebagai persoalan warga Papua, atau sebuah persoalan rutinitas protes warga
seperti juga sering terjadi di daerah-daerah lain.
Ketidakadilan pembangunan memang tidak terjadi di lokasi
pertambangan Freeport saja. Hampir di setiap lokasi pembangunan di negeri ini
ketidakadilan selalu hadir di dalamnya. Walaupun demikian, yang terjadi di
Papua memiliki dimensi yang lebih kompleks dan implikasi yang lebih luas.
Adanya kepentingan korporasi asingdengan dukungan kuat pemerintah
negaranya selain dari pemerintah dan militer kitamenyebabkan ketidakadilan
yang terjadi sebagai kejahatan korporatokrasi. Wajar bila ada insiden yang
awalnya kecil, namun secara eksponensial eskalasinya meninggi sehingga
kejadiannya diarahkan ke upaya penginternasionalan.

Di mana Aktivis Islam?


Kepasifan merespons kejadian pemblokiran di Papua tersebut terjadi
pula di gerakan mahasiswa Islam. Yang menarik, saat yang sama juga mayoritas

33
umat Islam di negeri ini juga cenderung mendiamkan aksi warga Papua meskipun
mereka mayoritas juga tidak menyukai keberadaan Freeport di Papua. Masih
pasifnya umat Islam (termasuk gerakan mahasiswanya) berarti turut melokalkan
kejadian di Papua sebagai persoalan yang hanya dimiliki warga Papua, betapapun
ketidakadilan jelas-jelas hadir. Adakah persoalan psikis karena, katakanlah,
perbedaan keyakinan sehingga melampaui solidaritas kebangsaan? Ataukah
terselip pula persoalan ekonomis, bahwa karena yang langsung menikmati
keberadaan Freeport (seolah-olah) hanya warga Papua, umat Islam di daerah lain
kemudian cenderung mendiamkan ketidakadilan yang diterima saudaranya di
Papua?
Sebagai sosok yang seharusnya bisa lebih kritis melihat persoalan,
diamnya gerakan mahasiswa Islam dalam peristiwa teraktual di Papua itu justru
menambah persoalan. Adanya sikap yang cenderung kurang memihak dari
gerakan mahasiswa Islam selain mengafirmasi tendensi mereka dalam memilih
dan mengartikulasikan isu publik juga menguatkan apa yang menjadi
kekhawatiran Amien Rais. Belenggu kapitalisme sudah sedemikian rupa hadir di
tengah gerakan mahasiswa (Islam), sehingga ketika mesin kapitalisme bernama
Freeport menghisap kekayaan alam dan merusaki lingkungan Papua, gerakan
mahasiswa (Islam) hanya berdiam diri. Yang mereka lihat dari jauh, Freeport
meningkatkan kemakmuran dan menyejahterakan kualitas hidup warga Papua.
Alih-alih melihatnya sebagai tumor di tubuh warga Papua, mereka melihat
Freeport secara positif sebagai pengangkat harkat warga Papua.
Sebuah gerakan mahasiswa Islam terpandang lebih sibuk mengurusi
kongres dan berdebat mengenai calon ketua umumnya. Hingga kongres berakhir,
tidak jelas bagaimana sikap politik dan solidaritas mereka dalam merespons
pemblokiran warga Papua atas aktivitas Freeport. Gerakan mahasiswa Islam lain
yang bermassa banyak dan jaringannya luas, yang biasanya aktif berdemonstrasi,
masih berdiam diri hanya karena persoalan ketua umumnya mengundurkan diri.
Tidak salah bila komitmen keislaman dan kebangsaan gerakan mahasiswa Islam
patut dipertanyakan.
Disadari atau tidak, pelokalan yang turut diciptakan oleh gerakan
mahasiswa Islam (dan secara luas umat Islam) tersebut seperti halnya membiarkan
ketidakadilan terus berlangsungketidakadilan ekonomi, lingkungan, sosial,
budaya, hukum dan politik. Dengan mendukung pelokalan, warga Papua
sepertinya sengaja dibiarkan sendiri berhadap-hadapan dengan aparatur rezim
34
korporatokrasi; bukan hanya Freeport namun juga pemerintah Amerika Serikat
berikut jaringan lobinya, oknum korup di pemerintahan Republik ini hingga
kekuatan militer. Tanpa bermaksud merendahkan kapasitas warga Papua, untuk
persoalan ketidakadilan yang sama yang terjadi di daerah lain yang lebih maju
saja warga setempat masih tidak berdaya (contoh: imbas keberadaan PT
Newmont di Buyat dan Lombok), apalagi bila di Papua warga dibiarkan berjuang
sendiri.

Perang Suci
Yang terjadi di Papua tidak lebih, menggunakan kalimat John Perkins
dalam Confessions of an Economic Hit Man (2004), sistem perdagangan kolonial
yang berulang lagi, yang disiapkan untuk memudahkan mereka yang mempunyai
kekuasaan dan sumber daya alam terbatas untuk mengeksploitasi mereka yang
mempunyai sumber daya tetapi tidak mempunyai kekuasaan. Seperti diakui oleh
Perkins, dalam proses eksploitasi alam oleh negara maju ikut hadir pula apa yang
disebutnya perang suci. Menurut pengakuan Perkins, tampak bagiku bahwa
jika jihad ini terjadi maka itu akan lebih sedikit berkenaan dengan orang Islam
melawan orang Kristen daripada negara terbelakang melawan negara maju,
barangkali dengan umat Islam di garis terdepan.
Jadi, dengan meminjam kerangka logis Perkins di atas, eksploitasi
kekayaan alam di Papua sebenarnya tidak steril dari upaya pihak luar untuk
memaksakan kepentingannya kepada umat Islam di Republik ini. Alih-alih hanya
sebagai persoalan warga Papua (berikut sistem kepercayaannya), keberadaan
Freeport sejatinya memiliki persoalan yang lebih kompleks yang meliputi pula
eksistensi umat Islam di daerah-daerah lain di Republik ini. Bila demikian
koeksistensi persoalannya, mengapa umat Islam justru masih menyederhanakan
setiap kejadian di Papua seolah-olah kejadian lokal belaka?
Akibatnya, hari ini makin terasa umat Islam (juga gerakan mahasiswa
Islam) terkotakkan dalam sebuah praktik diskursif memilih dan mengartikulasikan
isu publik. Satu isu dipandang sebagai milik orang lain/ mereka/ the others,
padahal isu itu juga milik-nya, milik kita. Kesadaran seperti ini yang tampaknya
belum banyak terlihat dari kelompok-kelompok penekan di tubuh umat Islam
(termasuk gerakan mahasiswanya). Kesadaran yang tentunya bukan hanya pada
ranah kognitifbahwa persoalan Papua diyakini sebagai milik setiap anak bangsa

35
Republik initapi secara faktual dalam pengartikulasiannya umat Islam (juga
gerakan mahasiswanya) memilih-milih isu.
Yang tengah terjadi di Papua saat ini sebetulnya berpotensi menjadi
agenda bersama kelompok mana pun. Sebab, kepentingan dan musuhnya sama:
neo- imperialis(me). Terbilang ganjil bila gerakan mahasiswa Islam dalam kaitan
ini terasa tertinggal dari gerakan mahasiswa berhaluan lain (terutama sosialis
radikal). Bagaimanapun bila menoleh ke catatan sejarah, perlawanan atas praktik
imperialisme di negeri ini, andil umat Islam bisa dikatakan terbesar dan terdepan,
tanpa terkecuali ketika mendukung pembebasan Papua Barat dari kekuasaan
Belanda. Hal kontradiktif ketika warga Papua masih dijajah, umat Islam memilih
berdiam diri; gerakan mahasiswa Islam juga kebingungan mengambil inisiatif. []

36
Antimiliterisme: Benci Abadi Aktivis Mahasiswa?

Menjelang pemilihan umum (pemilu) presiden 2004, tema


antimiliterisme semakin banyak diangkat dalam unjuk rasa mahasiswa di berbagai
kota. Tidak sulit untuk menghubungkan pemilihan isu ini dengan kehadiran calon
presiden (capres) berlatar belakang militer, yakni Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dan Wirantobelakangan muncul Agum Gumelar, sebagai calon wakil
presiden Hamzah Haz.
Kekhawatiran kembalinya militer dalam percaturan politik nasional
bukan tanpa alasan bagi mahasiswa. Belum hilang ingatan pada kekerasan saat
militer mendominasi pemerintahan. Ditambah lagi, hingga kini, pelanggaran-
pelanggaran yang melibatkan aparat militer belum sepenuhnya memperoleh
hukuman semestinya. Karena itu, kehadiran capres berlatar belakang militer
mengingatkan kembali trauma atas kekerasan.
Intensitas mahasiswa dalam mengangkat isu itu tampaknya berbanding
lurus dengan menaiknya popularitas para capres tersebut. Bila popularitas capres
dari militer itu meningkat menjadi dukungan rakyat, maka peluang mereka untuk
memimpin negara semakin besar. Padahal, ini justru yang dikhawatirkan
mahasiswa.
Meski reposisi militer menjadi agenda reformasi, mahasiswa lebih
terfokus untuk mengkritisi penegakan pemerintahan yang bersih dan supremasi
hukum; antimiliterisme masih kurang diangkat dibandingkan tema-tema itu. Dan
tidak semua mahasiswa, baik dari lembaga intrakampus maupun ekstrakampus,
menempatkan antimiliterisme sebagai tema tersendiri dan utama. Barangkali bila
para capres yang tampil pada pemilihan presiden nanti semua berasal dari sipil,
maka isu antimiliterisme tidak semasif sekarang.

Konsisten atau Partisan?


Dilihat dalam perspektif positif, kian meningkatnya penolakan
mahasiswa pada capres militer merupakan sikap politik yang konsisten dengan
agenda reformasi yang mereka perjuangkan. Yang patut dicermati adalah, sejauh
mana penolakan itu murni berasal dari sikap politiknya, bukan sikap yang berasal
dari pihak luar? Pertanyaan ini relevan untuk menjawab kekhawatiran adanya

37
pemboncengan mahasiswa oleh elit politik yang tengah berkompetisi
memenangi kursi kepresidenan.
Meskipun belum terbukti, kekhawatiran tersebut bukannya tanpa
alasan. Dalam pertarungan kekuasaan, mahasiswa bukan lagi entitas yang bisa
diabaikan keberadaannya; mahasiswa dapat dilibatkan untuk bekerja sama
dengan politisi. Bekerja sama di sini bukan berarti mahasiswa tanpa posisi
tawar; mahasiswa juga memiliki kepentingan yang akan dinegosiasikan dengan
politisimahasiswa dalam konteks ini secara sadar turut membonceng pula.
Jadi, polanya bukan satu arah, tapi dua arah yang ditandai adanya negosiasi
kepentingan.
Penolakan militer yang terjadi belakangan ini menyerupai aksi terpola,
bukan aksi sporadis. Isu antimiliterisme diskenariokan sebagai bagian dari
propaganda politik. Ada pihak yang mengambil keuntungan dengan isu ini
dengan merugikan reputasi pihak lain. Karena itu, tidak sulit bila propaganda
antimiliterisme dihubungkan dengan rivalitas antarcapres. Dalam konteks untuk
memuluskan langkah politik relasinya ini, mahasiswa bekerja sama dalam
rangka memperburuk citra lawan-politik relasinya. Sebab, keduanya
dipertemukan dua kepentingan yang terfokus pada capres dari militer.
Begitu popularitas SBY meningkat, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) menolak militerisme. Sulit untuk dihindari munculnya prasangka bahwa
sikap IMM bagian dari menjaga kepentingan capres lain (dalam hal ini Amien
Rais). Bila platform-nya menolak militerisme, mengapa menjelang pemilu-
presiden IMM baru bersuara?
Bagaimana mahasiswa Kiri yang biasanya getol meneriakkan naiknya
anasir militer ke pentas kekuasaan? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, tetap
tampil sendiri, berteriak antimiliterisme dari jalanan. Kedua, berkoalisi dengan
salah satu kekuatan politik yang turut bertarung dalam perebutan kursi
kepresidenan.
Bila mereka memilih kemungkinan pertama, maka citra konsisten akan
mereka terima. Akan tetapi citra ini tidak memengaruhi hasil menghadang capres
dari militer. Karena itu, pilihan untuk menghadang capres dari militer adalah
dengan menggandeng kekuatan politik dalam sistem. Bila kemungkinan kedua
yang ditempuh, maka mereka akan berupaya agar citra oportunis tidak disandang.

38
Mereka bersepakat dengan kubu salah satu capres untuk menghambat capres dari
militer. Caranya: terus meningkatkan frekuensi aksi antimiliterisme.
Kubu siapa yang bergandengan dengan mahasiswa Kiri? Sampingkan
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Wiranto-Salahuddin Wahid, dan Hamzah
Haz-Agum Gumelar. Ketiga paket ini memiliki wakil militer. Amien Rais- Siswono
Yudo Husodo, meskipun dikenal bersih dari korupsi, secara emosi dan ideologi
berjarak dengan elemen Kiri. Mereka juga realistis untuk tidak sepenuhnya
mendukung Gus Dur-Marwah Daud karena menyimpan kredit laten
mendukung Golkar, yakni secara tidak langsung mereka mendukung Wiranto
(belakangan, duet ini hanya wacana). Pilihan tinggal pada Megawati-Hasyim
Muzadi.
Pilihan kepada Mega-Hasyim ini berpeluang untuk memuluskan
agenda mereka. Pertama, total dukungan suara dari konstituen kedua tokoh ini
relatif bisa mengimbangi bahkan mengatasi capres militer. Kedua, relasi lama
yang terjalin antara tokoh di PDI-P dengan sebagian unsur mahasiswa Kiri,
khususnya melalui jalur Pius Lustrilanang dan dipertegas dengan lobi Taufik
Kiemas (TK). Khusus TK, pada 2002 dia mampu mengumpulkan mahasiswa
nasionalis-sekuler dan Kiri dalam pertemuan di Bali. Dan dalam perkembangan
terbarumeski belum terklarifikasidikabarkan salah seorang pemikir dan
peneliti yang vokal dalam menyuarakan antimiliterisme (dan dekat dengan
mahasiswa Kiri) turut bergabung ke Mega Center.
Sementara anasir Kiri begitu ekstensif bergerak, elemen mahasiswa
Islam (seperti HMI dan KAMMI) kurang terdengar penentangannya pada capres
militer. Sikap HMI bisa dimengerti bila dihubungkan dengan keberadaan
seniornya di Partai Golkaryang menempatkan capres militer. Serupa dengan
HMI, KAMMI juga malu-malu menyatakan penolakannya pada capres militer.
Dilihat dari platform-nya, keduanya menentang militerisme. Lantas, mengapa
dalam hal ini mereka kurang tanggap memberikan pernyataan sikap?
Mahasiswa yang berasal dari intrakampus sendiri sepertinya masih
setengah hati dalam mengusung antimiliterisme. Pengusungan isu lebih didorong
sebagai bagian dari pengopinian citra lembaga ke publik. Lembaga
kemahasiswaan di kampus-kampus negeri besar (UI, ITB, UGM) yang biasanya
tanggap pada agenda-krusial nasional, pada kesempatan ini terlihat kurang serius.
Tampak ada kesengajaan untuk tidak menempatkan antimiliterisme sebagai isu

39
utama. Pada pihak lain, kesengajaan dipilih lembaga kampus yang selama ini
beroposisi dengan kampus-kampus besar tadi: tampil terdepan menentang
militerisme.
Meskipun antimiliterisme dapat menjadi platform bersama (sehingga
menyatukan perjuangan semua elemen mahasiswa), kenyataan yang terjadi
adalah perbedaan intensitas dukungan dalam isu ini (ada yang vokal, ada yang
setengah hati)kenyataan yang mengindikasikan terjadinya perbedaan sikap
politik mahasiswa. Timbulnya perbedaan tidak terlepas dari bergesernya konstelasi
politik, yakni:
Pertama, sikap politik penguasa tidak padat, tapi cair. Kecairan ini
menimbulkan beragam penyikapan mahasiswa. Berbeda dengan masa Presiden
Suharto berkuasa, di mana sikap penguasa padat, terkonsentrasi pada presiden
(sehingga antipati tertuju hanya pada satu sasaran). Sedangkan sekarang, kekuatan
politik terdistribusi. Dan kekuatan politik ini, secara ideologis ataupun historis,
kohesif dengan mahasiswa.
Kedua, semakin berkurangnya kualitas penghayatan mahasiswa sendiri
pada dampak negatif bila militer berkuasa dalam kepemimpinan sipil. Selain itu,
secara umum, mahasiswa yang mengusung antimiliterisme tidak merasakan
langsung praktik kekerasan militer. Hasilnya berbeda, antara menghayati
berdasarkan pengalaman langsung, dan berdasarkan pembacaan literatur semata.
Ketiga, implikasi dari kondisi kedua itu, sikap antimiliterisme mereka
tidak lagi padat, tapi cair. Mereka melihat militer tidak lagi dalam oposisi biner,
hitam-putih. Mereka memandang militer tidak dengan wajah stereotip, tapi
spesifik/kasuistik. Dari sini terbuka kemungkinan mahasiswa berelasi dengan
politisi; relasi yang tidak sepenuhnya didasarkan atas penolakan pada praktik
militerisme.
Ketiga kondisi tersebut membuka kemungkinan mahasiswa untuk
(tetap) terpolarisasi. Bagaimana pun kondisi yang cair membuka perbedaan.
Masing-masing memiliki pilihan politik yang disesuaikan dengan kepentingannya.
Dengan demikian, antimiliterisme dapat dilihat sebagai isu berwajah ganda;
selain mengokohkan eksistensi perjuangan mahasiswa dalam menentang
militerisme, terdapat juga tendensi politik: mendukung salah seorang capres. []

40
Arah Baru Gerakan Mahasiswa

Pendidikan Tinggi kita kembali ke awal abad ke-20! Seorang aktivis


secara serius mengungkapkan pernyataan ini kepada saya. Menurutnya, kini yang
bisa memasuki perguruan-perguruan tinggi hanyalah mereka yang berasal dari
keluarga kaya. Akibat makin mahalnya biaya berkuliah di perguruan tinggi, makin
menurun siswa sekolah menengah yang melanjutkan ke jenjang berikutnya. Tidak
mengherankan bila di Kota Pelajar Yogyakarta pun banyak perguruan tinggi
kekurangan mahasiswa baru.
Menurunnya jumlah mahasiswa merupakan preseden buruk bagi
gerakan mahasiswa. Pasalnya, hal ini mengurangi kesempatan mereka untuk
merekrut kader-kader baru. Sudah menjadi tradisi, setiap tahun ajaran baru
menjadi ajang perekrutan anggota baru gerakan mahasiswa. Mahasiswa baru
ditawari mimpi-mimpi indah tentang seorang aktivis (apalagi sekarang setelah
beredarnya film Gie). Berkuliah saja tidak cukup, demikian slogan yang
ditawarkan kepada mahasiswa baru.
Dengan menurunnya jumlah mahasiswa baru, beban pekerjaan
gerakan mahasiswa semakin bertambah. Pada saat jumlah mahasiswa masih
normal pun ternyata tidak lebih dari sepuluh persennya yang memilih aktif di
gerakan mahasiswa; sisanya memilih aktif untuk belajar. Yang suka berorganisasi
memang tetap banyak, namun lebih berkecenderungan untuk memilih yang tidak
politis (seperti kelompok hobi atau kelompok belajar). Kini dengan jumlah
mahasiswa baru yang makin menurun, maka berbanding lurus pula dengan makin
menurunnya mahasiswa baru yang tertarik kepada gerakan mahasiswa sebagai
tempat berekspresinya.
Dengan situasi dan kondisi sistem pendidikan tinggi yang terus
berubah, semestinya gerakan mahasiswa bisa mengimbanginya. Artinya, mereka
mampu merespons realita sekaligus tantangan zamannya sesuai kebutuhan
mahasiswa, alih-alih terus-menerus meromantisasi kejayaan gerakan mahasiswa
dalam menumbangkan rezim. Gerakan mahasiswa tidak lagi relevan di mata
mahasiswa baru bila mereka gagal memenuhi kebutuhan mahasiswa (baru).
Apakah kebutuhan mahasiswa saat ini senantiasa sama dengan
kebutuhan mahasiswa angkatan-angkatan sebelumnya? Saya melihat, gerakan
mahasiswa cenderung menempatkan mahasiswa angkatan kapan pun dengan

41
kebutuhan yang diasumsikan sama pula. Tentu saja penyamaan ini akan
menyebabkan gerakan mahasiswa kehilangan elan vitalnya. Dalam kondisi yang
menuntut mahasiswa cepat lulus, berpikir dan bertindak pragmatis menjadi
keniscayaan. Apakah dengan kondisi seperti ini gerakan mahasiswa masih
menawarkan heroisme ala gerakan mahasiswa angkatan 60-an hingga 90-an?
Makin digelutinya pembelajaran di kampus (dengan mengabaikan aktif
di organisasi) memang sudah menjadi kelumrahan identitas mahasiswa era 2000-
an. Pada saat yang sama, mereka juga hidup dalam situasi derasnya terpaan arus
informasi. Maknanya, satu sisi mereka memang makin kaya informasidan ini
dikuatkan dengan semakin bergiat di ruang kuliahnamun pada sisi yang lain
mereka juga makin menguat sikap apriori terhadap lingkungan sosialnya.
Sementara mereka makin kaya wawasan, mereka juga makin miskin jiwa
sosialnya.

Ruang Baru?
Hilangnya kepedulian sosial itulah yang semestinya diisi oleh gerakan
mahasiswa. Dalam kondisi mahasiswa makin mencintai kegiatan belajar, gerakan
mahasiswa semestinya bisa menempatkan dirinya. Di sinilah pentingnya
melakukan revisioning gerakan mahasiswa bahwa mereka melakukan perjuangan
moral atau pembelaan sosialnya dengan berbasiskan keilmuan. Penguasaan ilmu
seorang aktivis bukan lagi wacana permukaan, tapi betul-betul pada tingkatan
kompetensi. Hal ini bukan berarti menjadikan seorang aktivis hanya terspesialisasi
pada satu keilmuan. Bukan pula seorang aktivis dari disiplin tertentu harus
menguasai disiplinnya, atau menutup peluang mereka menekuni bidang di luar
disiplinnya.
Yang menjadi titik tekan di sini adalah setiap aktivis harus mampu
menerjemahkan praksis gerakannya dalam sebuah metodologi keilmuan tertentu
seusai yang diminatinya. Dengan semakin kaya disiplin yang dia kuasai, hal ini
justru makin menambah kredibilitas dirinya di mata mahasiswa baru, selain juga
organisasinya. Gerakan mahasiswa, dengan demikian, harus benar-benar
mengakar di kampus, dalam pengertian antara dunia aktivisnya dengan
mahasiswa umum (yang bukan aktivis) tidak berjarak. Dengan kompetensi
keilmuan yang dimilikinya, seorang aktivis gerakan mahasiswa bisa
berkesempatan menumbuhkan praksis gerakan kepada mahasiswa baru.

42
Gerakan mahasiswa berbasiskan kompetensi keilmuan bukanlah untuk
menciptakan aktivisnya sebagai ilmuwan, dalam wujud teknokrasi yang
positivistik. Bukan pula untuk menjadikan kegiatan aktivisnya ketika di kampus
hanya berdiskusi menjelajahi pelbagai teori-teori. Hakikatnya, esensi kegiatan
mereka tidaklah berubah dari sebelumnya: menumbuhkan kepedulian sosial di
tingkat mahasiswa. Turun ke jalan, bedanya, bukan lagi pamungkas apalagi satu-
satunya metode bergeraknya. Turun ke ruang-ruang kelas, seminar, atau
laboratorium tidak lain bentuk aksi pula. Jadi, tidak ada dikotomi kelas dan jalan.
Di sisi lain, kecenderungan mahasiswa generasi sekarang adalah makin
menghargai pluralitas dan kebebasan. Mereka lebih memilih berada pada ruang
berwarna-warni daripada terisolasi dalam satu identitas yang eksklusif. Sikap ini
tidak terlepas dari konstruksi berpikir mereka yang berada dalam ruang dan masa
padat-terpa informasi. Konsekuensinya bagi gerakan mahasiswa, mereka tidak
bisa lagi memelihara egoisme gerakan. Ruang gerak seorang mahasiswa nantinya
tidak mungkin dibatasi hanya pada satu gerakan. Bagaimanapun juga keaktifan
mereka di gerakan mahasiswa didasarkan pada preferensi kebutuhan kuliahnya.
Kondisi ini akan membuka sekat-sekat ideologis dan politis antargerakan-
mahasiswa, yang selama ini sering disakralkan.
Keterlibatan seorang mahasiswa nantinya, yang pertama bukanlah
disebabkan preferensi ideologis atau politisnya, melainkan pragmatis: apa yang
bermanfaat bagi kuliahnya. Di sinilah awal masuk gerakan mahasiswa untuk
menumbuhkan kepedulian sosial pada watak pragmatis mahasiswa (baru). Bila ini
yang menjadi agendanya, maka ini menjadi tugas semua gerakan mahasiswa.
Bukannya saling berkompetisi memperebutkan calon kader, melainkan
sebaliknya: saling mendukung menumbuhkan kepedulian sosial kepada
mahasiswa (baru). Apakah nantinya afiliasi mahasiswa tersebut ke gerakan
mahasiswa A, B, atau C tidak lagi penting. Sama tidak pentingnya bagi mahasiswa
tersebut ketika memersepsi keterlibatannya di gerakan mahasiswa bukanlah untuk
memperoleh pengakuan sebagai anggota gerakan mahasiswa A, B atau C. []

43
Melawan Jerat Kekuasaan

44
Eksodus Mahasiswa Kritis ke Partai

Kabar tidak mengenakkan bagi sebagian aktivis mahasiswa, khususnya


mereka yang berada di garis depan menentang kiprah politik Partai Golkar,
akhirnya terbukti seusai penyerahan akhir daftar calon legislatif ke KPU. Aktivis-
aktivis yang dikenal getol menuntut pembubaran Partai Beringin itu justru kini
namanya muncul dalam daftar caleg partai ini, bahkan menempati nomor urut
jadi, dalam pemilihan umum legislatif 2004. Para aktivis kritis dari angkatan 1998
yang masuk sebagai caleg itu antara lain Nusron Wahid (PMII), Lutfi Iskandar
(Forkot), Bernard Hamombong Halomoa (Famred), Fitus Morin (GMNI), Barita
Simanjuntak (GMKI), dan David Pajung (PMKRI).
Masuknya nama-nama itu kemudian memunculkan tuduhan
berkhianat baik kepada cita-cita perjuangan mahasiswa, organisasi, maupun
rakyat. Masuknya nama mereka bisa dikatakan menjadi tamparan bagi kader-
kader yang berasal dari organisasinya. Bagaimana pun tuntutan-tuntutan untuk
membubarkan Golkar dan/atau kekuatan Orde Baru masih menjadi agenda
demonstrasi mereka meskipun pada setahun terakhir tidak lagi semasif
sebelumnya.
Di lain pihak, seperti diutarakan Nusron ke media massa, pilihan para
aktivis bergabung dengan parpol tidaklah salah apalagi aneh. Terlebih lagi, seperti
dia, bergabungnya dengan Golkar merupakan bagian dari melanjutkan
perjuangan menegakkan agenda-agenda demokrasi sebagaimana yang selama ini
dilakukan.
Bisa dipastikan, argumentasi seperti itu ke luar pula dari aktivis
lainnya. Argumentasi itu merupakan standar untuk merasionalisasi pilihan
seorang aktivis mahasiswa. Bentuk perjuangannya saat ini bersama parpol masih
memiliki ikatan sekaligus kelanjutan dengan perjuangan mereka tatkala di jalan.
Argumentasi serupa pernah dikemukakan pula sebagai pilihan sebagian eksponen
mahasiswa 1966 ketika anasir politik di awal berdirinya Orde Baru menawarkan
posisi. Eksodus mahasiswa ke dalam pusat-pusat kekuasaan tampaknya memang
menjadi pilihan yang memang wajar, dan mengulangi sejarah sebelumnya.
Walaupun demikian, bercermin dari pengalaman eksodus pada 1966
dan juga tahun-tahun berikutnya, komitmen berjuang para aktivis di parlemen itu
seakan tenggelam oleh hiruk pikuk perilaku menyimpang umumnya para politisi.

45
Alih-alih mewarnai, mereka justru terwarnai berperilaku serupa. Atribut aktivis
mahasiswa tidak memberikan arti dan kekuatan apa pun. Tidak ada kekhasan
yang mampu membedakannya dengan para politisi lainnya.

Siapa Diuntungkan?
Tentu tidak adil membandingkan kegagalan peran aktivis pada tahun-
tahun silam untuk mengekspektasi masa depan kiprah Nusron dkk. Namun, upaya
menunggu terwujudnya optimisme seperti dikemukakan para aktivis itu justru bisa
membawa blunder: mendidik aktivis lainnya berperilaku pragmatis.
Lantas, sejauh mana mengubah sistem dari dalam, seperti tekad
Nusron dkk., dapat terwujud?
Katakanlah nama-nama di atas semuanya terpilih masuk Senayan.
Berapa total kekuatan mereka sekarang? Nama-nama baru yang diharapkan
mengisi sebagian besar komposisi caleg Golkar, ternyata hanya dipatok 30 persen;
sisanya diisi muka-muka lama. Kalaupun nama-nama baru itu merepresentasikan
individu yang mendukung arah reformasi, dalam mewujudkan agenda-agendanya
mereka mudah terganjal oleh kekuatan lama. Apalagi di antara 30 persen itu pun
dapat dipastikan sikap politiknya tidak berbeda jauh dengan politisi lama Golkar.
Selain nama-nama di atas, turut masuk pula eksponen mahasiswa dari HMI,
seperti Viva Yoga Mauladi dan Syahrul Anshori. Tapi sulit untuk berharap pada
eksponen yang kesertaannya saja karena katrolan senior.
Optimisme untuk mengubah dari dalam merupakan tantangan berat
bagi aktivis kritis itu. Posisi mereka yang selama ini berkonfrontasi dengan Golkar
tentu menjadi catatan tersendiri. Catatan lama itu tentu tidak begitu saja
dilupakan ketika para aktivis bersuara kritis terhadap kebijakan partai. Termasuk
juga dalam menggolkan sebuah aspirasi di parlemen. Ibaratnya, para aktivis itu
berada di dalam sangkar emas. Memang kini hidup mereka lebih terjamin namun
kebebasannya diawasi langsung.
Mereka semestinya bisa berkaca dari upaya serupa dari politisi kritis di
dalam tubuh Golkar. Sosok seperti Marwah Daud dan Fahmi Idris ternyata sukar
sekali untuk meyakinkan dan mewujudkan ide-idenya di depan pemegang
struktur dan politisi Golkar saat ini. Padahal, selain memiliki basis dukungan dari
daerahnya masing-masing, kedua politisi itu tidak diragukan lagi kemampuan
politik dan keberpihakannya kepada partai.

46
Dengan mentalitas dan mind set politik yang sudah lama terbentuk,
sukar bagi Nusron dkk. untuk menyejajarkan diri, sebelum mengubah perilaku
menyimpang kolega separtainya. Mereka berhadap-hadapan dengan politisi yang
bukan saja jumlahnya lebih banyak, namun juga pengalamannya bisa dikatakan
bukan kemarin sore. Jangan lupa pula, munculnya nama para aktivis bukan
karena inisiatif pribadi yang tentunya membutuhkan dana. Nama mereka muncul
karena memang sengaja direkrut oleh Golkar.
Dalam merekrut para aktivis itu, keputusan Golkar dihasilkan melalui
pertimbangan yang matang. Keberadaan mereka nantinya akan digunakan sebagai
komoditas politik, terutama menyangkut tuntutan-tuntutan dibubarkannya Golkar
seperti selama ini. Mereka menjadi pion yang dimainkan untuk menghadapi
kawan-kawan perjuangannya sendiri.
Sementara mereka disibukkan dengan menghadapi kawan atau
juniornya, agenda perjuangan yang menjadi motif bergabung dengan Golkar
malah terabaikan. Bagi Golkar sendiri, dengan tersibukkannya para aktivis itu,
praktis tugas menghadapi tuntutan pembubaran atau pengadilan telah
terdelegasikan. Dengan demikian, mereka bisa berkonsentrasi mengerjakan
agenda yang lain.
Dengan masih diterapkannya kefraksian di parlemen, suara partai
terseragamkan. Ide atau aspirasi sekritis apa pun mudah terpinggirkan, manakala
suara mayoritas di tubuh fraksi sudah bulat. Karena masih diragukan tingkat
artikulasi para politisi Golkar terhadap para aktivis itu, suara para aktivis itu hanya
gagah di kandang sendiri namun mudah dimentahkan untuk menjadi keputusan
akhir. Bila dari fraksi sendiri saja sudah gagal, apalagi berjuang di tingkat lebih
tinggi. Andaipun mereka masih konsisten, suara mereka hanya setetes air di
tengah kemarau panjang dalam parlemen, alias tidak ada artinya demi perubahan
kebijakan.
Seperti diutarakan seorang politisi Golkar bahwa masuknya para aktivis
itu akan membuat DPR kian dinamis, hanyalah komunikasi politik yang
manipulatif. Sebab, bagaimana akan kritis dalam sebuah sidang, bila dari awal si
aktivis sudah ditaklimati untuk berdiam diri? Bagaimana akan getol menyingkap
penyimpangan di sebuah departemen bila menterinya berasal dari satu partai?
Dan, mampukah mereka mengatasi perasaan inferior akibat tertolong masuk
Senayan berkat jasa para abang?

47
Optimisme muncul karena para aktivis merasa masih berada di
jalanan. Radikalisme di jalan yang biasa mereka praktikkan sepertinya mampu
dibawa ke parlemen. Padahal, ternyata nubuwat diri ini tampak berlebihan dan
cenderung mengabaikan kenyataan dalam lingkungan barunya. Untuk itu,
kepercayaan diri yang berlebihan ini harus diimbangi kesiapan menghadapi
perubahan lingkungan.
Jika mereka gagal beradaptasi, mereka justru terasing, untuk kemudian
tidak terdengar kembali kiprahnya. Biasanya dalam perubahan transisi ini,
kegagapan muncul. Yang rentan bukannya melahirkan perubahan positif, mereka
malah mengikuti kebanyakan perilaku politisi. Wajar bila ada aktivis yang masih
konsisten, setelah menyadari kenyataan sebenarnya, akan memilih kembali ke
jalan daripada duduk di parlemen. Yang terakhir ini menjadi penanda apakah para
aktivis itu memang bersungguh-sungguh berjuang demi rakyat atau demi
kepentingan sendiri dengan mengatasnamakan rakyat?
Dengan kondisi-kondisi tersebut, selain berharap mereka konsisten,
sebagai sesama aktivis saya melihat sukar dicapainya angin perubahan.
Ketidakjelasan ini memang membutuhkan ongkos. Pilihan mereka untuk
menerima cap pengkhianat tentu sudah diperhitungkan, lazimnya perlakuan yang
diterima para aktivis 1966 yang memilih masuk parlemen daripada tetap di jalan.
Bagi kawan-kawan organisasinya, kemunculan mereka bersama Golkar
menjadi kemunduran moral berpolitik mahasiswa. Memang memilih parpol
menjadi urusan pribadi seorang aktivis. Namun bila partai yang dipilih itu jauh-
jauh hari sudah diidentifikasi sebagai pihak yang harus dilawan (bahkan
perlawanan itu sudah menjadi bagian dari platform perjuangan), pilihan mereka
bisa dipahami akan menyakitkan kawan-kawannya yang masih aktif bersuara di
jalan. Menyakitkan pula, akibat kehadiran kawannya di Golkar, demonstrasi
menuntut pembubaran Golkar terasa tidak tulus dan dinilai rakyat hanya
sandiwara politik. Mereka tidak lagi dipandang sebagai organ yang kritis dan
radikal serta independen di mata politisi Golkar, tetapi organ yang mudah dibeli
dengan kekuasaan. Karena itu saya mendukung kawan-kawan organisasi itu untuk
memutus sejarah dengan para (mantan) aktivisnya itu.
Dari perspektif pengaderan, para aktivis itu memberikan teladan
pembusukan pengaderan politik. Idealisme perjuangan seakan berlaku di jalan,
untuk kemudian diakhiri masuk ke dalam sistem kekuasaan yang tengah

48
berlangsung. Mereka mencontohkan bagaimana akhir perjalanan seorang aktivis.
Apa yang mereka semai ketika mengader juniornya tidak tampak. Bukannya
konsisten menebangi Beringin Orde Baru, mereka justru berteduh di bawahnya.
Selain itu, pada saat yang sama, mereka malah menebangi pohon pengaderan
organisasinya. Dan, sama seperti pengalaman aktivis mahasiswa angkatan 1966,
tampaknya ini yang akan menjadi akhir cerita dari eksodus para aktivis itu. []

49
Ketika Aktivis Bersarang di Kepala Banteng

Tidak mau kalah dengan Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia


Perjuangan (PDI-P) juga merekrut para aktivis kritis. Sekitar 50 aktivis, beberapa di
antaranya mantan fungsionaris Partai Rakyat Demokratik (PRD) seperti Budiman
Sudjatmiko dan Rahardjo Waluyo Jati, menyatakan diri bergabung dengan partai
berlambang kepala banteng. Berbeda dengan kawan-kawannya sesama aktivis
yang dijadikan calon legislatif, para aktivis yang ditarik PDI-P ini baru sebatas
dijadikan kader penggerak partai.
Kepada media massa, Budiman dan kawan-kawan beralasan bahwa
bergabungnya mereka ke PDI-P karena partai ini membutuhkan tenaga dan
semangat baru dalam perjuangan politiknya. Mereka juga berupaya menawarkan
pola perjuangan baru bagi PDI-P demi kembalinya PDI-P sebagai partai
perjuangan yang berbasis kerakyatan. Bergabungnya para aktivis tersebut dengan
PDI-P, menurut Budiman, bukan dalam rangka ingin melakukan pemurnian atau
pembersihan partai (Republika, 4/12/2004).
Di tengah posisinya yang belakangan ini merosot di mata rakyat,
bergabungnya para aktivis itu merupakan berkah bagi PDI-P. Salah satu faktor
penyebab kekalahan PDI-P pada pemilihan umum (pemilu) legislatif 2004 adalah
menurunnya dukungan rakyat, terutama rakyat kecil yang selama ini identik
sebagai konstituen loyal PDI-P. Untuk mengatasi masalah ini sulit bagi PDI-P
untuk menggantungkan harapan tinggi kepada para politisi lamanya. Sebab
antarpolitisi PDI-P sendiri sikapnya kerap saling bertentangan, sehingga
membingungkan dan menjauhkan massa dari partai. Karena itulah kehadiran
figur-figur muda yang mampu mendekatkan kembali PDI-P dengan rakyat sangat
dibutuhkan; apalagi mereka memiliki akses dan jaringan luas ke rakyat kecil.
Meskipun bagi massa PDI-P mereka pernah menjadi lawan, kehadiran para aktivis
ini meringankan tugas pengurus PDI-P dalam membangun kembali kepercayaan
rakyat.
Sebelumnya para aktivis tersebut memang oponen PDI-P. Mereka yang
tergabung dengan PDI-P dalam Deklarasi Relawan Perjuangan Demokrasi ini
sebelumnya adalah sosok kritis terhadap ketua umum PDI-P Megawati
Soekarnoputri (pada saat masih menjabat kepala negara), atau PDI-P sendiri
sebagai pilar pendukung Megawati; sebagian yang lain bahkan motor terdepan

50
dalam unjuk-unjuk rasa menentang kebijakan Megawati. Karena itulah,
perubahan sikap mereka bisa mendatangkan penilaian negatif, apalagi jika
mereka sebelumnya dikenal vokal atau kritis namun kemudian bergabung dengan
parpol yang (pernah) dicacimakinya. Masyarakat akan memersepsikan kekritisan
(bahkan keradikalan) para aktivis hanyalah sementara; pada masanya mereka
akan bungkam, di mana ujung pembungkamannya saat memasuki politik praktis.
Memang aktivis yang bergabung dengan PDI-P itu membawa nama
pribadi masing-masing, tidak mengaitkan dengan organisasinya. Meskipun
mengatasnamakan pribadi, eksistensi mereka tidak lepas dari kiprah organisasi.
Jadi, meskipun mewakili pribadi, publik masih mengidentifikasinya sebagai wakil
organisasi. Hal ini menjadi dilema bagi para pengurus organisasinya; perubahan
sikap mereka menjadi duri dalam daging bagi rekan seorganisasi yang berupaya
menjaga jarak dengan parpol mana pun.
Meskipun menimbulkan masalah bagi organisasinya, bergabungnya
mereka dengan PDI-P sejauh ini belum mencuat ke publik sebagai polemik
terlepas apakah karena publik telah memaklumi fenomena ini. Berbeda misalnya
ketika beberapa aktivis mahasiswa yang pernah menjadi oponen Partai Golkar
bersedia dicalonkan sebagai anggota legislatif Golkar. Saya melihat ada tiga
alasan mengapa untuk aktivis yang bergabung dengan PDI-P respons publik
berbeda.
Pertama, di luar soal sebagai kritikus kebijakan Megawati semasa
menjadi presiden, baik para aktivis maupun PDI-P sejatinya telah ada ikatan
historis bahkan ideologis. Mereka pernah saling berinteraksi, jauh-jauh hari
sebelum PDI-P memenangi Pemilu 1999, yakni pada masa Orde Baru. Insiden 27
Juli 1996 turut melibatkan nama-nama seperti Budiman sebagai penggerak massa.
Ikatan historis ini tidak ditemukan pada kasus aktivis yang dicalonkan Golkar.
Kedua, para aktivis tersebut memang kritis saat Megawati menjadi
presiden. Namun, perlu pula dilihat kadar kekritisan mereka. Yang kritis dan kerap
menjadi korban aparat bukanlah nama-nama tersebut (saat Megawati menjadi
presiden sebagian di antara mereka ada yang pasif di organisasi), melainkan
aktivis yang lain tapi satu organisasi. Sementara kawan-kawan mereka gigih
menghujat ketidakberpihakan pemerintahan Megawati, sebagian dari nama-nama
tersebut sudah tidak lagi duduk menjadi penyusun strategi, apalagi turut di
lapangan. Budiman misalnya, saat itu dia tengah menikmati masa nyantrinya di

51
Inggris sebagai mahasiswa. Dengan demikian, tidak ada persoalan psikis baik
pada para aktivis yang kini bergabung dengan PDI-P maupun bagi PDI-P sendiri.
Bagi PDI-P, yang pernah menjadi masalah atau musuh adalah
organisasi merekayang kini dikendalikan para adik angkatan aktivis tersebut.
Inilah yang membedakan mengapa tidak ada sorotan pada Budiman atau nama
yang lain dibandingkan saat beberapa aktivis dicalonkan Golkar. Sebab, para
aktivis yang disebut terakhir sebelumnya dikenal sebagai tokoh terdepan
penghujat Golkar.
Ketiga, popularitas PDI-P yang kini merosot tajam turut menyebabkan
publik tidak terlalu aktif melihat dinamika di tubuh partai ini.

Demi Rakyat?
Selama ini masih belum hilang pandangan di publik bahwa politik
kotor. Meskipun seorang aktivis bersungguh-sungguh mengungkapkan
kekonsistenannya menjaga idealisme saat berpolitik praktis, tetap saja publik
menilainya pesimis. Alasan yang dikemukakan Budiman dan yang lainnya di atas
hanyalah perulangan dari apa yang biasa dikemukakan ketika aktivis memasuki
gelanggang politik praktissebagai alibi dan rasionalisasi preferensi politiknya.
Adanya pesimisme publik semestinya bisa memacu mereka untuk
membuktikan kekonsistenannya. Memang, meromantismekan idealisme seorang
aktivis merupakan sikap berlebihan. Dalam kadar tertentu, pandangan yang
menyatakan bahwa politik praktis merupakan muara seorang aktivis, mengandung
kebenaran dan faktual. Begitu pun jika kita membaca motif para aktivis yang
bergabung dengan PDI-P. Di luar yang mereka sampaikan ke media, ada agenda
yang bersifat laten yang bisa jadi lebih strategis. Saya percaya mereka memang
ingin memberikan kontribusi bagi PDI-P. Namun, untuk tujuan apa mereka
memberi? Saya tidak yakin mereka tidak mengetahui perilaku otentik PDI-P dan
politisinya. Kecuali karena bodoh atau sengaja mencari materi, saya tidak percaya
mereka masih optimis memberi warna baru perjuangan PDI-P.
Meskipun tidak mengatasnamakan organisasinya, keanggotaan mereka
di PDI-P memiliki arti strategis bagi organisasinya. Masuk ke PDI-P bernilai
strategis sebagai konsolidasi internal dan eksternal organisasi (Budiman dan PRD-
nya meskipun sudah terfaksionalisasi). Karena mengalami penurunan elan vital
gerakan, organisasi membutuhkan konsolidasi internal. Konsolidasi ini bisa
dilakukan salah satunya dengan merespons tantangan baru dan prospektif bagi
52
kemajuan organisasi. Dengan adanya tantangan ini, mau tidak mau, mereka harus
merapikan kembali organisasinya.
Secara simultan konsolidasi eksternal dilakukan bertujuan
meminimalkan kedekatan PDI-P dengan Golkar. Golkar bagaimana pun masih
tetap musuh abadi para aktivis tersebut. Superiornya Golkar sebagai pemenang
pemilu di atas PDI-P, apalagi mulai adanya ketergantungan langkah politik PDI-P
pada Golkar (setelah pemilihan presiden), mendorong para aktivis tersebut
memecahnya. Jika Golkar makin menguat, bukan hanya PDI-P tapi juga
organisasi para aktivis tersebut yang akan merugi. Dengan masih bergantung pada
Golkar, PDI-P sulit untuk diarahkan. Konsolidasi eksternal juga sebagai strategi
mereka melebur bersama PDI-P dalam mengkritisi pemerintahan saat ini.
Dengan preferensinya bergabung ke parpol, secara de facto dan de
jure para aktivis tersebut telah meninggalkan atau tidak lagi memercayai
kebenaran mitos lama, yakni bahwa untuk menjalankan idealisme membela
rakyat utopis jika melalui parpol; parpol merupakan kumpulan politisi yang tidak
memihak rakyat sehingga tidak bisa dipercaya. Kini, setelah meninggalkan mitos
ini mereka bersikap realistismelihat tidak efektifnya berjuang dari luar parpol;
bahkan utopis memperjuangkan idealisme tanpa parpol. Melalui pandangan
barunya ini, disadari atau tidak, mereka memasuki dan meyakini kebenaran mitos
baru, mitos bahwa parpol adalah segalanya untuk bisa memperjuangkan
idealisme.
Karena terobsesinya dengan dunia barunya itu, mereka pun tidak
menyadari mitos baru itu telah bekerja efektif. Saat pendeklarasian bergabungnya
ke PDI-P, mereka sudah mengidealkan mengembalikan PDI-P sebagai partai
perjuangan yang berbasis kerakyatan. Benarkah PDI-P (sebelumnya) partai
berorientasi rakyat? Sejak kapan PDI-P betul-betul sebagai partai rakyat? Harus
dibedakan antara jargon partai dan kenyataan di lapangan. Saat politisi PDI-P
berhasil duduk memegang jabatanmulai dari ketua umumnya sebagai presiden,
hingga kader-kader di daerah menjadi pimpinan dewan atau kepala daerah
menunjukkan bahwa yang terjadi PDI-P bukanlah partai pembela wong cilik.
Lalainya para aktivis ini diakibatkan dipercayainya mitos baru itu.
Pengkritisan terhadap langkah politik para aktivis sebetulnya bukanlah
dalam rangka bersikap pesimis atau apriori bahwa mereka akan mampu memberi
andil positif bagi PDI-P. Bukan pula sikap antipati karena ideologi para aktivis itu

53
Kirisehingga khawatir adanya pemboncengan terhadap PDI-P. Pengkritisan
dilakukan karena jangan sampai terus berulang munculnya klaim-klaim para
aktivis bahwa mereka masih tetap bisa mempertahankan idealismenya meskipun
menjadi anggota parpol, yang dalam kenyataannya tidak terbukti. Bukan hanya
politisi PDI-P yang barangkali meminta agar partainya tidak disinggahi untuk
ditunggangi kepentingan lain. Bagi rakyat pun menunggu bukti nyata para aktivis
yang bergabung dengan PDI-P ini, yakni agar ideologi membela rakyat dijalankan.
[]

54
Demi Status Sosial atau Idealisme?

Helmi Rahman dan Hatim Gazali masing-masing lewat artikelnya


(Bernas, 14/1/2004) menyoroti masuknya aktivis mahasiswa ke Partai Golkar.
Dengan nada pesimis, keduanya melihat kiprah para aktivis yang selama ini
dikenal penghujat Golkar namun justru bersedia bergabung ke dalamnya, sebagai
bentuk oportunis, noda hitam gerakan mahasiswa, dan replika sejarah.
Tegasnya, dipertanyakan ke mana independensi seorang aktivis yang selama ini
bisa dikatakan sebagai bagian dari idealisme perjuangannya?
Saya memahami bagaimana suasana batin mereka sebagai junior dari
para aktivis yang bersedia dicalonkan oleh Golkar sebagai anggota legislatif itu.
Lantas, mengapa begitu mudahnya para aktivis itu mengubah haluan politiknya
dengan memilih bergabung ke Golkar?
Sejatinya, argumentasi yang dikemukakan para aktivis yang direkrut
Golkar itu tidak ada yang baru. Sehingga, hal ini justru makin menguatkan watak
oportunis mereka, sebagaimana ditulis Helmi. Watak-watak inilah yang kerap
mengemuka dalam setiap perulangan sejarah; setidaknya demikian dalam
pandangan aktivis yang memilih di luar sistem.
Di luar yang masuk ke Golkar, beberapa aktivis 1998 bergabung ke
partai politik lain. Hanya saja mereka bisa dikatakan beruntung, tanpa
ketegangan sebagaimana dialami Nusron dkk. Sorotan tajam memang diberikan
kepada para aktivis yang direkrut Golkar mengingat sikap independen mereka
mau dibarter dengan kekuasaan. Betapa lagi, para aktivis itu selama ini dikenal
sebagai pendukung pembubaran Golkar (pengecualian, aktivis yang berasal dari
HMI, yang memang bagian dari klan parpol ini); sudah tentu, kecurigaan atas
hangusnya independensi mereka terkonfirmasi jelas.

Status Sosial
Di luar perdebatan masih ada atau tidaknya independensi politik
mahasiswa, wacana independensi ini harus diakui telah menempatkan mahasiswa
pada posisi istimewa dan sakral. Dengan atribut dirinya independen, mahasiswa
diletakkan sebagai pihak yang diniscayakan bebas dari kepentingan luar;
mahasiswa ditempatkan sebagai kelompok yang masih memiliki cara pandang
objektif. Namun penempatan ini bukannya tanpa imbal balik. Karena itu,
mahasiswa pun diharapkan untuk berposisi di tengah, di antara aktor-aktor politik
55
yang berkonflik. Mahasiswa, dengan keindependenannya, juga dituntut untuk
senantiasa mengartikulasikan aspirasi rakyat, ketika saluran-saluran politik yang
ada tersumbat. Tegasnya, mahasiswa bisa dikatakan menjadi garda terdepan
penyuara kepentingan rakyat.
Sadar atau tidak, pengistimewaan tersebut bermakna ganda. Satu sisi,
keistimewaan itu menjadi beban yang harus dipikulnya. Namun di sisi yang lain,
keistimewaan itu berpotensi untuk meningkatkan status sosial mereka; khususnya
bila mereka bercita-cita memproyeksikan dunia politik sebagai kariernya.
Masuknya aktivis ke parpol yang dimusuhinya menjadi titik balik kritikan terhadap
praksis independensi mahasiswa. Independensi hanya masih diteriakkan bila
mahasiswa masih berada di luar, ketika belum memperoleh kesempatan.
Aktivitas dalam dunia gerakan, seperti di jalanan, memang
dimaksudkan untuk membentuk mentalitas mahasiswa yang independen dan
tentunya kritis terhadap kekuasaan. Tidak diajarkan sama sekali pelajaran
mengenai perselingkuhan dengan kekuasaan. Dengan bergulat pada idealisme
seperti ini, mahasiswa beroleh status sosial. Bisa dikatakan, status ini melekat
seiring perjuangan mereka. Konsekuensi logisnya, mahasiswa dengan posisi
independen akan berbeda nilainya dengan mahasiswa yang telah terbeli.
Demikian pula mahasiswa kritis nilainya akan berbeda di mata politisi ketimbang
mahasiswa yang mudah didisiplinkan.
Kata independen sendiri memiliki pemaknaan ganda. Selain
diwujudkan dalam bentuk yang positif, kata ini bisa menjadi alat komoditas.
Independen, sebagai status sosial dicapai mahasiswa bukan untuk membela
kepentingan orang lain, namun demi kepentingan pribadinya. Bahkan merasa
masih menyandang status ini, walaupun motifnya jelas-jelas lebih didominasi
kepentingan pribadinya, mereka yang terserap ke kekuasaan seolah tidak
bersalah. Diciptakanlah alasan-alasan yang merasionalkan preferensi politiknya.
Bila independen menjadi kata yang ambigu dan dilematik, persoalan
berikutnya adalah adakah keindependenan itu? Karena bias status sosial tersebut,
independensi mahasiswa cenderung dilihat dalam oposisi biner dengan
kekuasaan. Tuntutannya pun normatif: keduanya harus terpisah secara ekstrem.
Keduanya merupakan entitas yang harus sama sekali tidak boleh bersentuhan.
Pemaknaan ini yang kemudian dijadikan sebagai semacam kesimpulan akhir
tentang independensi mahasiswa. Berikutnya, ini dijadikan sebagai tolok ukur

56
fenomena perilaku politik mahasiswa. Mahasiswa yang bekerja sama dengan
suatu sistem kekuasaan akan dilabeli secara berbeda dengan mahasiswa yang
masih memilih di luar sistem. Bila yang pertama negatif, yang kedua positif.
Tidak sepenuhnya tepat bila persoalan apakah mahasiswa itu
independen atau tidak, disederhanakan dengan melihat keberadaan mereka di
dalam atau di luar sistem. Baik di dalam maupun di luar sistem adalah persoalan
wadah berjuang. Bahkan yang berjuang di luar sistem pun bukan tidak mungkin
memiliki metarelasi (relasi tersamar) dengan aparat kekuasaan. Independensi
mahasiswa merupakan proses kompleks yang melibatkan kesadaran-diri
mahasiswa, dan berdialektika dengan eksotisme kekuasaan. Parameternya bukan
lagi struktur wadah mereka berjuang, melainkan juga pilihan pribadi. Maka,
konsistensi merupakan pertautan terdekat dengan independensi.
Jadi, konsistensi pribadi mahasiswa itu yang perlu dipersoalkan dalam
melihat fenomena pelibatan aktivis mahasiswa ke sistem kekuasaan. Sejauh mana
mereka mampu melanjutkan idealisme perjuangan di jalan dengan perjuangan
dalam parlemen, misalnya? Sejauh mana motif-motif pribadi ditundukkan di
bawah motif membela rakyat? Bagaimana pula mereka membuktikan
ketulusannya daripada tendensi mengejar karier politiknya?
Memang alat untuk mengukur jawaban di atas pun relatif. Betapa
tidak, jawaban-jawabannya bersifat normatif dan multitafsir pula. Bagi saya, inilah
risiko meletakkan wacana independensi mahasiswa di kaki per individu. Namun
demikian, ini tidak berarti tidak bermanfaat sama sekali. Mengasumsikan pada
individu berarti menempatkan mereka pada posisi semestinya sebagai manusia.
Artinya, preferensi politik mereka memang tidak pernah terlepas dari ruang-
hampa kepentingan di luarnya. Pergulatan dalam batin mahasiswa itulah yang
harus dihargai, sekaligus untuk membongkar sejauh mana rasionalisasi atas
preferensinya itu logis atau tidak.

Menanti Konsistensi
Individu aktivis memegang peranan penting dalam mencitrakan dirinya
sebagai sosok independen atau bukan. Bila dikolektifkan, maka rentan terjadi
manipulasi kesadaran. Gerakan mahasiswanya mengidentikkan sebagai musuh
Orde Baru, tapi (oknum) pengurusnya ada yang mau bersinergis dengan kekuatan
musuhnya itu. Dalam hal ini, tidaklah tepat menyimpukan gerakan mahasiswa
tersebut sudah tidak independen (hanya akibat ulah oknum). Karena bergantung
57
pada kesadaran individu inilah, persoalan independen bukan pada tempatnya bila
dikaitkan dengan hierarki struktur. Ada gejala, gerakan mahasiswa yang masih
menjadi bagian dari suatu struktur kekuasaan yang lebih besar (IMM dengan
Muhammadiyah; PMII dengan NU; HMI dengan Golkar; KAMMI dengan PKS)
akan segera membantah bila gerakannya disimpulkan tidak independen. Adanya
hubungan struktur ini menjadikan mereka inferior. Mereka kemudian menuntut
untuk terlepas dari struktur, agar dikatakan independen. Dengan pilihan ini
seakan mampu menyelesaikan kebuntuan organisasi. Ada pula gerakan
mahasiswa yang membantah tuduhan underbouw, dengan alasan tidak ada
hubungan struktur dengan parpol apa punseperti lazim dikemukakan PMII,
KAMMI, dan GMNI. Model komunikasi ini bertujuan untuk menutupi adanya
tuduhan tidak independen pada gerakannya.
Apakah aktivis mahasiswa memiliki ikatan dengan parpol atau ormas
tertentu, bukanlah mode berpikir yang akurat untuk menyimpulkan
keindependenan mereka. Letak keindependenan adalah sejauh mana mahasiswa
konsisten untuk mengartikulasikan persepsi kebenaran yang berlandaskan
perspektif rakyat. Demi rakyatlah, mereka berjuang membela idealismenya.
Apakah mereka memilih di dalam atau di luar sistem, bagian dari struktur atau
bukan, bukanlah persoalan utamanya.
Kalaupun selama ini sistem sulit diubah dari dalam, tidak berarti
tertutup kesempatan untuk berproses di dalamnya dalam memberikan perubahan.
Tentu saja lewat perhitungan matang, bukan sekadar emosi. Bila sedari awal
keberadaan dirinya di dalam sistem tidak memberikan warna apa pun, berjuang
di dalamnya hanyalah bagian dari meleburkan diri ke dalam sistem. Dengan
demikian, yang diharapkan adalah perjuangan mahasiswa senantiasa
berkesinambungan dengan menggunakan berbagai pendekatan.
Kritikan yang diberikan kepada para aktivis yang bergabung ke Golkar
tidaklah semata pada wadahnya. Akan tetapi kritikan terletak pada bagaimana
konsistensi para aktivis itu mengalami keterputusan. Ada lompatan pendekatan
yang lebih bermuara pada pemalsuan kesadaran diri.
Di sisi lain, berbicara independensi mahasiswa bukan lagi berkisar
pada pembahasan politik, namun juga penandaan. Independensi, dalam konteks
penandaan, sebagai wujud ambiguitasnya akan senantiasa menghadirkan
pergulatan makna. Pahit memang untuk mengatakan: di satu sisi, independensi

58
mahasiswa itu omong kosong; namun di sisi yang lain, independensi itu harus ada
agar keberpihakan aktivis terkontrol, tidak semaunya. []

59
Bukan Seribu Janji di Parlemen

Sesaat menjelang Hidayat Nurwahid dilantik sebagai ketua Majelis


Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2004-2009, seorang politisi muda dari
Partai Golkar, Nusron Wahid, menginterupsi pimpinan sidang. Isinya menuntut
agar MPR tidak mengamandemen pasal 29 Undang- Undang Dasar (UUD) 1945.
Setelah dilantik, interupsi Nusron dijawab Hidayat dengan menyatakan
bahwa tidak perlu ada kekhawatiran akan diamandemennya pasal tersebut.
Namun di luar majelis, pada hari-hari berikutnya, meski tidak terasa resonansinya,
isu syariat Islam tampil kembali sebagai tema di media massa.
Diangkat kembalinya isu yang cukup sensitif tersebut menarik untuk
dikaji. Dalam tulisan ini saya tidak memfokuskan pada sisi politis seputar
kontroversi syariat Islam atau penegakannya, akan tetapi akan memfokuskan pada
andil si pencetus alias pengangkat isu tersebut (Nusron Wahid), dalam kapasitas
sebagai politisi berlatar belakang aktivis mahasiswa. Dengan mengangkat isu yang
peka ini Nusron berhasil menarik perhatian publik. Namun bagaimanakah
langkah politiknya selanjutnya? Apakah untuk eksis Nusron, dan juga beberapa
politisi muda berlatar belakang aktivis mahasiswa (politisi-aktivis), hanya bisa
memanfaatkan (baca: mengomoditaskan) kepekaan sebuah isu terutama yang
bernuansa SARA? Lalu bagaimana dengan pembenahan di parlemen sendiri:
apakah politisi-aktivis bisa memperbaiki kinerja parlemen mendatang?
Sebelum para aktivis memasuki parlemen, publik sebetulnya
memandang positif peran mereka. Persepsi publik pada sosok mereka yang
beraktivitasnya tanpa pamrih memunculkan romantisme peran aktivis. Wajar
ketika para aktivis mulai berkiprah ke parlemen, harapan ini pun tetap
menyertainya. Publik berharap mereka dapat membawa dan memperjuangkan
aspirasinya.
Walaupun demikian, beriringan dengan harapan ini, publik pun
mencemaskan kiprah mereka. Belajar dari pengalaman aktivis yang pernah
berkiprah di parlemen, publik tahu kecemasannya bukan tanpa alasan; saat
masuk ke parlemen lebih banyak pengalaman menunjukkan aktivis mahasiswa
berubah komitmen dan orientasinya. Pengalaman sebagian besar aktivis angkatan
1966 ketika terlibat dalam parlemen Orde Baru, diikuti aktivis angkatan
sesudahnya, membuktikannya. Memang bukan berarti tidak pernah ada politisi-

60
aktivis yang tetap lurus, namun fenomena ini bisa dikatakan pengecualian.
Karena itu tidak mengherankan setiap ada aktivis mahasiswa yang dicalonkan
sebagai wakil rakyat, publik menilai secara apriori dan pesimis.
Lalu, apakah kehadiran Nusron Wahid (Partai Golkar) serta Fachry
Hamzah dan Rama Pratama (keduanya dari Partai Keadilan Sejahtera) di DPR
periode 2004-2009 menegaskan penilaian publik itu? Meskipun peran anggota
baru legislatif menjadi tema yang sering dibicarakan, belum banyaknya
pembicaraan khusus tentang ketiga politisi muda ini menunjukkan kurang
berminatnya publik membahas kiprah mereka. Bandingkan saat pertama kali
partai politik merilis para aktivis mahasiswa sebagai calon legislatif, media massa
dan diskusi publik riuh membicarakannya. Penyebab perbedaan penerimaan
respons publik setelah para aktivis itu lolos ke Senayan bukanlah karena
sedikitnya jumlah mereka yang resmi berstatus anggota DPR, melainkan karena
pesimisme pada peran mereka untuk kiprah selama lima tahun mendatang.
Terlepas dari penilaian publik di atas, sebetulnya tidaklah adil menilai
kiprah ketiga politisi muda tersebut dengan menghubungkan pada pengalaman
buruk pendahulunya. Seakan-akan setiap aktivis yang memilih karier politiknya ke
parlemen senantiasa sama perilakunya dengan pendahulunya, khususnya
angkatan 1966. Seberat bagaimanapun kita perlu memberikan ruang keadilan
menilai mereka. Sebesar apa pun pesimis publik, mereka perlu dikawal dengan
banyak mengkritisinyaalih-alih menskeptisi mereka belaka.
Setidaknya ada dua alasan yang bisa diajukan untuk memprasangkai
kemungkinan berkembangnya potensi karakter unggul para mantan aktivis itu saat
berkiprah di parlemen.
Pertama, memberlakukan perilaku berkhianat politisi-aktivis pada
masa sebelumnya dengan politisi-aktivis angkatan setelahnya berarti mengabaikan
potensi-potensi yang dimiliki setiap aktivis mahasiswa. Tanpa berapriori pada
kiprah buruk pendahulunya, penilaian pesimis secara dini meremehkan
kemungkinan kiprah positif yang dilakukan ketiga politisi muda yang mewakili
aktivis angkatan 1998 itu. Menilai kiprah mereka dengan parameter pengalaman
politisi-aktivis pendahulunya secara tidak sadar mengafirmasi mitos kehebatan
angkatan tertentu (angkatan 1966). Pendek kata, dalam hal ini terjadi pengabaian
potensi kreatif politisi-aktivis untuk melakukan perubahan meskipun perubahan
lebih baik yang mereka hasilkan belum pasti atau kecil pengaruhnya.

61
Kedua, selain diabaikannya kemungkinan energi kreatif, diabaikan
pula pengaruh terjadinya demokratisasi khususnya setelah era reformasi bergulir.
Dalam konteks ini dipakainya sistem pemilihan langsung anggota legislatif
memengaruhi pembatasan celah seorang politisi untuk berkhianat. Konsekuensi
memilih langsung, publik berhak pula mengontrol wakil rakyat pilihannya.

Menjawab Tantangan
Untuk membantah pesimisme publik, tugas pertama ketiga politisi
muda itu adalah membuktikan bahwa posisi sebagai wakil rakyat tidak
mengurangi komitmen dan konsistensi perjuangannya semasa aktif di jalan.
Kredibilitas yang mereka miliki menjadi taruhan pembuktian; mampukah mereka
menghadapi kontrol partainya, kontrol yang bisa menyebabkan berkurangnya
kekritisan mereka selama di parlemen. Keraguan ini wajar ada, sebab kehadiran
mereka di Senayan banyak diandili jasa partai. Partailah yang memunculkan nama
mereka hingga publik pun memilihnya.
Bukan masalah apabila sebelumnya seorang aktivis memiliki
kedekatan dengan partai yang mencalonkannya. Fachry Hamzah (mantan ketua
umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan Rama Pratama (mantan
ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia) tidak akan dihadapkan
dilema untuk membalas jasa, mengingat organisasi mereka perpanjangan politik
partainya kini. Yang mereka perankan kini kelanjutan dari kiprahnya semasa aktif
di jalan. Sudah tentu rekan seorganisasi mereka juga tidak mempermasalahkan
kiprah barunya.
Situasi berbeda dihadapi Nusron Wahid, mantan ketua umum
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Ada jejak buruk masa lalunya, yakni
kiprahnya sebagai salah satu motor pendukung pembubaran Golkar.
Keberadaannya di partai yang pernah dikecamnya mengharuskan dia berbuat
lebih, membuktikan keloyalan ke partai sebagai balas jasa lolosnya ke Senayan.
Secara bersamaan Nusron juga masih perlu mengklarifikasikan ke rekan
seorganisasinya yang masih belum menerima pilihan karier politiknya bahwa
dirinya tidak akan berkhianat.
Hasil pembuktian mengindikasikan sejauh mana kredibilitas mereka di
hadapan publik sehingga akan memperlancar tugasnya. Apabila kredibilitasnya
terjaga, meningkat pula kepercayaan publik, tidak terkecuali dari rekan
seorganisasinya. Sebagai wakil rakyat mereka bisa menggaransikan posisinya
62
untuk meyakinkan kepada rekannya bahwa langkah politiknya bisa dipercaya dan
patut didukung. Pelibatan rekan-rekan seorganisasinya dimaksudkan untuk
menggairahkan kembali dinamika gerakan mahasiswa yang akhir-akhir ini
menurun. Apabila terjaga kredibilitas politisi-aktivis di satu pihak dan
kepercayaan gerakan mahasiswa (khususnya organisasi asalnya) di pihak lain,
posisi keduanya bisa saling menguatkan dalam mengkritisi pemerintahan dan
DPR. Pada saat tekanan mahasiswa terhadap pemerintah dan DPR melemah,
tekanan yang dilakukan politisi-aktivis semestinya meningkat.
Kerja sama ini bukanlah pengkooptasian mahasiswa, bukan pula untuk
meletakkan gerakan mahasiswa di bawah struktur resmi partai. Kerja sama ini
merupakan pembagian peran masyarakat sipil; ada pihak yang bergerak di luar
pemerintahan, ada pula yang bergerak di dalam pemerintahan.
Perjuangan mahasiswa esensinya bertujuan mengubah kebijakan atau
menciptakan kondisi yang lebih baik. Demonstrasi di jalan memang alat penekan
politik. Namun, keefektifan demonstrasi sebagai alat penekan masih diragukan
jika politisi di parlemen berpandangan lain. Karena itu, posisi rekannya di
parlemen bisa dijadikan saluran untuk melanjutkan tuntutan yang diperjuangkan
di jalan. Hal ini sekaligus membuka ruang kontrol bagi kiprah mereka: seberapa
tinggi perhatiannya terhadap aspirasi publik yang dibawa rekan seorganisasinya.
Bagi politisi-aktivis sendiri partisipasi rekannya ini memiliki kontribusi berarti:
meringankan tugasnya dalam menyerap aspirasi publik.
Kontribusi nyata menepati idealisme itulah yang lebih utama dan
penting ketimbang seribu janji manis di parlemen demi bahagiakan publik tapi
kosong aksi. []

63
Muhammadiyah Muda Memilih Beda

Berbeda dibandingkan perhelatan-perhelatan sebelumnya, pada


Pemilu 2004 terjadi dinamika menarik di tubuh Muhammadiyah. Biasanya
perhatian pengamat pada Muhammadiyah tidak sekerap melihat geliat di NU.
Kondisi di internal Muhammadiyah cenderung adem ayem dari dukung-
mendukung ataupun perdebatan internal.
Ada dua momentum yang menjelaskan meningkatnya dinamika dalam
tubuh ormas berlambang matahari terbit itu saat 2004. Pertama, keterlibatan
langsung Muhammadiyah secara kelembagaan dalam konstelasi politik nasional.
Yakni dengan ditandainya restu Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah pada kader
terbaiknya, Amien Rais, sebagai figur yang direferensikan sebagai pemimpin
bangsa. Menariknya, penyebutan nama ini direspons terbalik oleh kalangan
mudanya. Inilah momentum kedua, yang menandai bahwa restu itu dinilai akan
mengabaikan khittah Muhammadiyah yang selama ini bermain di luar arena
politik praktis.
Dua momentum itu sejauh ini belum membawa indikasi perpecahan
serius. Kalaupun dalam suatu kesempatan ada generasi muda yang merespons
pilihan para orang tua dengan nuansa emosi, itu tidak lebih wujud artikulasi
terhadap perbedaan.
Terserapnya Muhammadiyah dalam konstelasi politik nasional, sesuai
hukum besi sejarah, memunculkan resistensi dari dalam. Bahwa kali ini pihak
yang terdepan dalam beroposisi dengan kebijakan PP Muhammadiyah berasal
dari kalangan muda, ini wajar-wajar saja. Berbeda sikap dengan struktur
Muhammadiyah merupakan refleksi pergulatan generasi muda dengan situasi
politik sekarang. Sehingga, dalam hal ini penolakan mereka bukan untuk sekadar
tampil beda.
Walaupun demikian, kemunculan sikap oposisi itu bukannya tanpa
motif tertentu; ada makna di balik preferensi politik mereka. Meskipun berangkat
dari altruisme, ini tidak berarti menegasikan masuknya pretensi lain. Tidak perlu
diherankan bila spektrum yang melatari preferensi itu terbentang dari yang idealis
sampai yang pragmatis. Ada yang memang jengah dengan impitan struktur, atau
dominasi orang tua. Karenanya, mereka harus menampilkan orisinalitas gagasan
mereka, alih-alih terkungkung dalam tempurung struktur Muhammadiyah.

64
Sementara bagi yang pragmatis sederhana saja. Sebagian dari generasi muda itu
terlibat dalam tim pemantau pemilu. Pengumuman dukungan PP Muhammadiyah
pada salah satu figur, dapat merusak agenda mereka. Singkatnya, ini berkaitan
dengan kredibilitas di mata donatur.

Empat Asbab
Dalam hal kemunculan sikap oposisi itu, ada empat asbab yang
melatarinya. Kesemuanya ini akan bermuara untuk mengukuhkan eksistensi
generasi muda. Eksistensi bahkan peran mereka di masa mendatang tidak bisa
diserahkan pada kebijakan elit Muhammadiyah. Apa pun preferensi elit, jangan
sampai memengaruhi gerak mereka. Menjaga jarak sejak sekarang, karenanya,
upaya melepaskan dari ketergantungan pada elit dan struktur Muhammadiyah.
Lima asbab itu adalah:
Pertama, generasi muda melihat Muhammadiyah sudah mulai goyah
untuk tidak terjun dalam politik praktis. Melihat situasi sekarang, sukar
diharapkan pengurus Muhammadiyah memilih untuk menjaga khittah organisasi
daripada melibatkan diri dalam kancah politik praktis. Tampaknya, belum
signifikannya perubahan kondisi bangsa menyebabkan pengurus pusat hingga
daerah terdorong untuk terlibat dalam perbaikan.
Generasi muda sendiri menilai, hal itu memperluas, kalau malah
bukan menggeser, makna high politic. Ketika para elitnya mulai mendekat ke
pentas politik praktis, tinggal menunggu waktu terserapnya Muhammadiyah
secara kelembagaan. Dari sisi ini, generasi muda berupaya menjaga
keseimbangan, yakni dengan mengembalikan makna high politic.
Kedua, ketegangan untuk menjaga kredo high politic terkait dengan
impitan struktur. Setelah sekian lama diperlakukan sebagai anak manis, generasi
muda hendak menunjukkan eksistensinya. Eksistensi mereka selama ini praktis di
bawah bayang-bayang kebesaran Muhammadiyah. Saat mencoba melepaskan
diri, justru tindakan mereka kadang kala dilihat kalangan tua sebagai gejala puber.
Menolak kebijakan PP, bagi generasi muda merupakan salah satu jalan
untuk ke luar dari impitan struktural. Mereka tidak ingin pergulatan tentang
kepemimpinan bangsa yang telah dilakukan ternyata dimentahkan atau digantikan
kebijakan resmi PP. Bila generasi muda tidak segera berinisiatif membuka sikap
oposisi, maka kembali mereka akan terhambat dalam mengartikulasikan

65
gagasannya. Dan eksistensi mereka pun akan kembali di bawah bayang-bayang
orang-orang tua di Muhammadiyah.
Ketiga, berhubungan dengan penjagaan high politic itu, generasi muda
mencoba untuk mengisi kekosongan wilayah gerak yang diresesi oleh sebagian
elit Muhammadiyah. Mereka mengisi intelektualisme, wilayah yang cenderung
dikesampingkan.
Dalam perspektif lain, upaya ini merupakan modal dalam mendukung
target mengukuhkan eksistensi mereka. Suatu hal lumrah bila mereka butuh
media untuk diakui. Karena politik praktis tidak mungkin ditempuh, bahkan
mereka kritik, demi mencapai eksistensi, intelektualisme menjadi wilayah yang
menggairahkan untuk digeluti. Saudara mereka di Nahdlatul Ulama sudah
menjalankannya. Ketika para orang tua berebut kursi, generasi muda NU
menikmati intelektualisme sebagai medan menantang. Bahkan pengalaman
generasi muda NU yang lebih dulu bersentuhan dengan wilayah intelektual,
mampu mengorbitkan mereka di tengah dominasi kalangan tua.
Tampaknya hal serupa ingin ditempuh generasi muda Muhammadiyah.
Lewat langkah ini mereka berjuang agar eksistensinya diakui. Bukan saja dalam
lingkup Muhammadiyah, namun juga lingkup nasional. Bila dua faktor
sebelumnya berbentuk strategi politik, maka faktor ketiga untuk mengukuhkan
eksistensi ini berbentuk strategi kultural: memanfaatkan diskursus pengetahuan.
Bermain dengan diskursus bukannya tanpa kerangka berpikir tertentu.
Strategi pengukuhan eksistensi lewat jalur ini, tidak lain dipengaruhi interaksi
mereka dengan pengetahuan. Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa
generasi muda Muhammadiyah telah mengalami perluasan mode baca dan
berpikir. Aktivitas ini memang keniscayaan untuk mendukung upaya ke luar dari
impitan struktur dan dominasi yang ada.
Keempat, khusus bagi mahasiswa, meskipun memiliki kampus yang
jelas jajaran birokrasi di belakangnya, mereka menjadi pecundang di percaturan
politik kampus. Beberapa lembaga eksekutif mahasiswa di kampus-kampus
Muhammadiyah justru dipegang bukan oleh organisasi intra Muhammadiyah
(IMM). Maka, tatkala saluran eksistensinya di kampus tidak ada, pilihan lain
adalah ke luar menggunakan jalur lain.
Karena itu, menjadi evaluasi berarti, apakah pelibatan mahasiswa
Muhammadiyah dalam barisan pengkritik kebijakan PP merupakan langkah yang

66
sungguh-sungguh menjaga jarak dari politik praktis? Atau ini malah bentuk
eskapisme setelah ruang ekspresi politik kampus terlepas?
Keempat faktor di atas tidak hanya melatari, namun pada akhirnya
memperkuat dinamika. Dan dinamika yang terjadi bukan berwujud konflik,
melainkan pergulatan dalam mengukuhkan identitas. Inilah yang menurut saya
tengah dialami generasi muda Muhammadiyah. Karena itu, pengukuhan identitas
ini bukan aktivitas tidak berdasar.
Yang jelas, lewat preferensi mereka pada Pemilu 2004, tujuan untuk
mengukuhkan identitas, bisa berhasil bisa pula tidak. Agar berhasil, maka sejauh
mana mereka konsisten atas preferensi itu. Bila memang hendak berjarak dengan
kekuasaan, maka mereka harus bersikap tegas dengan setiap pendekatan yang
dilakukan orang tua mereka. []

67
Mendamba Tunakuasa HMI

Menjadi gerakan mahasiswa independen dan tidak terjebak pada


politik praktis. Pernyataan ini tampaknya telah mentradisi diucapkan setiap
pejabat tinggi negara ketika menyampaikan pidato sambutan di kongres
Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI). Karena itu, bukan peristiwa aneh
bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengemukakan pernyataan
tersebut dalam pembukaan kongres ke-25 HMI di Makassar, Sulawesi Selatan, 20
Februari 2005.
Perulangan pernyataan agar HMI tetap independen dan tidak terjebak
dalam politik praktis memang memiliki alasan dan latar belakang. Menginginkan
HMI independen dan tidak terjebak pada politik praktis berarti posisi HMI
diidealkan untuk tetap dan hanya sebagai kekuatan moral par excellence. Dalam
arti, HMI tetap konsisten memerankan dirinya sebagai oposisi moral lazimnya
mitos permanen gerakan mahasiswa.
Harapan ideal tersebut untuk tingkatan tertentu akan mudah diterima
oleh aktivis HMI. Namun, untuk menerima total harapan tersebut, muncul
kontradiksi, baik kontradiksi sejarah ataupun kontradiksi praktis. Keinginan
sebagaimana kini diulang Presiden SBY, secara tidak langsung merupakan upaya
untuk memisahkan relasi kekuasaan dan HMI sebagai sebuah realitas sejarah
pada masa lalu, dengan ekspektasi pribadi Presiden terhadap kontekstualisasi
peranan yang sama dari HMI. Dengan kata lain, wacana mengindependenkan
HMI tidak lebih praktik diskursif SBY yang mencoba meminimalkan atau
menetralkan potensi revolusi HMI.
Saat yang bersamaan patut disayangkan praktik diskursif Presiden
cenderung memunculkan semacam disonansi kognitif di kalangan aktivis HMI.
Afirmasi atas harapan pejabat tidak sesuai dengan praktik yang dijalankan dalam
aktivisme mereka sehari-hari. Keteladanan dari para alumni HMI dalam
berinteraksi dengan sumber-sumber kekuasaan bukan saja lebih menjadi daya
tarik, melainkan juga membentuk konfigurasi hegemoni sejarah di kalangan
aktivis HMI. Akibatnya, amat sulit bagi seorang aktivis HMI untuk bisa ke luar dari
bayang-bayang ketidakindependenan dan berpolitik praktis.
Lewat pemikiran sederhana sebenarnya amat mudah menjumpai
kontradiksi sekaligus ketegangan antara harapan di atas dengan praktik nyata.

68
Bagaimana bisa independen bila dalam ajang internal organisasi HMI sering
mengedepankan formalisasi kehadiran pejabat tinggi negara untuk membuka
kongres? Padahal, kehadiran para pejabat ini bukannya bebas-kepentingan;
kehadiran mereka meniscayakan kehadiran kekuasaan tertentu. Dalam hal ini
HMI acap kali justru memanfaatkan jaring-jaring kekuasaan para alumninya untuk
bisa menghadirkan pejabat setingkat presiden.
Bila HMI benar-benar (ingin) independen, pelibatan alumni yang
memegang kekuasaan tentunya harus segera diminimalkan. Persoalannya,
kehadiran alumni atau juga pejabat tinggi negara non-alumni sepertinya sengaja
dipelihara; didesain untuk dihadirkan sebagai wujud kompensasi. Biaya kongres
yang dikabarkan menelan miliaran rupiah mustahil bisa didapat hanya dari para
pengurus aktif HMI saat ini. Padahal, selain menghasilkan bantuan praktis dana,
kehadiran alumni menghadirkan praktik kekuasaan.
Dalam kaitan inilah pernyataan Presiden di atas memiliki konteks
wacana yang tidak tertuju bagi HMI saja, tetapi juga bagi dirinya. Alih-alih
komunikasi searah dari Presiden SBY kepada HMI, pernyataan tersebut sebetulnya
berposisi sebagai komunikasi timbal-balik. Selain sebagai harapan, pernyataan
tersebut mewacanakan relasi ideal HMI dengan kekuasaan Presiden SBY.
Dalam konteks wacana lebih jauh, komunikasi dua arah keduanya itu
tidak memberikan sumbangsih bagi masyarakat. Ia tidak lebih dialog antara pihak-
pihak yang berkepentingan bagi dirinya masing-masing. Meskipun sepintas
diperuntukkan bagi kepentingan lebih luas, wacana itu malah lebih fungsional
bagi keduanya. Pada titik inilah, harapan-harapan ideal bahkan cenderung
normatif dari pejabat tinggi negara tidak memiliki relevansi dengan konteks
subjek wacana yang menerimanya (aktivis HMI). Harapan itu tidak lebih rutinitas
yang kehilangan konteks; tidak mampu membaca kontradiksi yang ada di tubuh
HMI sendiri.
Ironisnya, tradisi menghadirkan pejabat tinggi negara bagi HMI bukan
hanya bernilai politis dan ekonomis, melainkan juga bernilai komunikatif.
Harapan ideal kepada HMI itu menjadi ritual aktivis HMI dalam mencitrakan
organisasi. Sama halnya dengan tradisi berkonflik ketika berkongres.
Sebagai gerakan mahasiswa yang telah berusia panjang dan memiliki
pengalaman banyak, komodifikasi pencitraan ini tentu saja terasa ganjil. Ia
mengindikasikan percampuran antara aktivitas yang esensial dan aktivitas yang
hanya mengelabui masyarakat bahkan HMI. Secara karikatural, konflik di tubuh
69
HMI tampaknya sebagai bagian dari praktik diskursif mereka dalam
mengedepankan citra organisasi. Karena itulah, insiden kecil saat hari pertama
pembukaan kongres Makassar oleh Presiden sebenarnya bisa dibaca sebagai
tradisi untuk mencitrakan diri.

Pendekatan Kekuasaan
Terjebaknya aktivis HMI pada pencitraan itu memiliki genealogi
dengan upaya mereka mendekat ke kekuasaan. Sebab, citra-diri merupakan
modal untuk memosisikan diri legitimate di hadapan sumber-sumber kekuasaan
utamanya jaringan alumni HMI. Di sinilah harapan agar HMI independen dan
tidak berpolitik praktis secara praktis terasa sumir dan naif. Kondisi-kondisi
demikian, sayangnya, seperti dibiarkan mentradisi dalam setiap kongres.
Meskipun amat menyadari peran gerakan mahasiswa, pilihan mayoritas aktivis
HMI untuk memilih nyaman masuk dalam korporatisme kekuasaan membentuk
aktivisme mereka sebagai hiper-HMI.
Identifikasi publik atas HMI, setidaknya di kalangan aktivis mahasiswa
sendiri, menempatkan HMI pada posisi yang inheren dengan kekuasaan itu
sendiri. Sehingga, menjadi HMI adalah menjadi kandidat pemegang atau bagian
dari rezim kekuasaan. Kesadaran untuk masuk dalam kekuasaan ini dipercepat
pula oleh imajinasi dan ekstase kekuasaan. Sirkuit imajinasi dan ekstase
kekuasaan inilah yang kemudian mengonstruksi aktivis HMI sebagai hiper-HMI.
Dalam posisi demikian, HMI kemudian mudah mempraktikkan
pendekatan akomodatif terhadap praktik-praktik kekuasaan. Dalam perspektif
sebagian aktivisnya, upaya ini merupakan jalan tengah dan terbaik di antara posisi
ekstrem yang akan merugikan HMI. Sebut saja upaya ini dengan maksimin.
Artinya, HMI mengupayakan cara atau kondisi yang paling menguntungkan di
antara cara atau kondisi yang ekstrem buruk (minimalis). Pendekatan dengan
kekuasaan sering kali dikerangkai dengan paradigma ini. Tidak heran klaim
independensi tinggal slogan di jalanan.
Sejauh upaya menjaga dan menerapkan paradigma maksimin itu
secara konsisten dan mendukung terciptanya diskursus sehat, hal itu bukan
persoalan. Namun dalam praktiknya, maksimin berganti menjadi fenomena
minimaks. Sementara aktivis HMI sendiri telah meyakini upayanya sebagai jalan
tengah, jalan terbaik yang maksimal, sebenarnya ia tidak lebih upaya pas-pasan;

70
seadanya untuk mencukupkan dengan kebutuhan pragmatis mereka. Walaupun
aktivis HMI sendiri tidak mempersoalkannya, bagi kalangan luar pendekatan ini
merupakan perugian bagi HMI. Akomodasi HMI tidak hanya meredam potensi
dan etos revolusionernya namun juga mengerdilkan keadaan yang objektif berada
di sekelilingnya. HMI hanya melihat dengan perspektifnya yang selalu untuk
dirinya.
Karena itu, meminjam istilah Christopher Lasch, HMI bukannya
menciptakan ruang publik ideal, tetapi minimalisme ruang publik. Perhatian
dan harapan Presiden dalam konteks ini bisa dibaca sebagai titik tolak
mengidealkan (lagi) peran kesejarahan HMI. Meskipun wacana Presiden tidak
bebas kepentingan, bila HMI tidak menjadikannya sebagai peminimalan ruang
publik (sekurang-kurangnya bagi HMI sendiri), maka HMI turut berandil
memaksimalkan ruang-ruang publik politik baik bagi dirinya maupun masyarakat
lebih luas. Yakni dengan menjadikan harapan seperti dikemukakan Presiden di
atas tidak hanya sebagai wacana yang hanya HMI dan Presiden saja yang
memahami konteks diskursifnya. Independensi inilah yang seharusnya
membentuk wajah HMI ke depan: pos-HMI, HMI yang bisa bertunakuasa dengan
kekuasaan korup dan represif. []

71
Menimbang ICMI Muda

Bertambah lagi organisasi yang mewadahi para cendekiawan di negeri


ini: Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Muda. ICMI Muda membidik
kalangan terpelajar Muslim dengan rentang usia 25-40 tahun; rentang waktu yang
membedakannya dengan seniornya: ICMI.
Namun pascadeklarasi dan Mukamar I Makassar pada 23-25 Juli 2005,
masalah sudah muncul. Berdirinya ICMI Muda mendapat tentangan, terutama
dari seniornya di Presidium ICMI karena dinilai menyalahi mekanisme organisasi
tentang pembentukan badan otonomi. Pembentukan ICMI Muda seharusnya
menunggu hingga digelarnya Muktamar ICMI. Lain soal jika organisasi baru itu
tidak memakai nama ICMI atau tidak menginduk dulu ke ICMI.
Di pihak lain, penggagas ICMI Muda berpikir sederhana: karena ada
momentum. Pembentukan dikedepankan dibandingkan mengikuti mekanisme
organisasi, apalagi mantan Ketua Umum B.J. Habibie merestui dan mendukung
langkah mereka. Tertundanya pelaksanaan muktamar selama sebulan sedianya
digunakan untuk mencari titik temu antara Tim Kerja Nasional ICMI Muda dengan
Presidium ICMI. Nyatanya, hingga ICMI Muda dideklarasikan, titik temu tak
pernah tercapai.
Di sisi lain, masalah tersebut juga membawa manfaat. Pada awal
berdirinya pengurus ICMI Muda terkonsentrasi ke persoalan organisasi, bukan
sibuk berpolemik dengan pihak lain, misalnya mengenai peran ICMI Muda ke
depan. Namun terlepas kapan dan bagaimana penyelesaiannya, pengurus ICMI
Muda tetap perlu bersiap-siap merespons kritik atas posisinya terhadap preferensi
politik ICMI.

Mengisi Kekosongan
Katakanlah akhir perselisihan internal tersebut berakhir dengan
pengakuan sebagai badan otonom, posisi ini tidak otomatis mengabsahkan ICMI
Muda hanya sebagai pengafirmasi kebijakan ICMI. Terlebih lagi jika ICMI Muda
dibentuk sebagai penopang pengaderan ICMI, maka ICMI Muda berperan
strategis terhadap perkembangan ICMI pada masa mendatang.
Untuk itu, ICMI Muda harus bisa mengatur keseimbangan antara
posisinya sebagai bagian dari sebuah organisasi di satu sisi, dengan posisinya

72
sebagai kelompok kritis di sisi yang lain. Di sinilah pembuktian peran ICMI Muda
sesungguhnya: tempat mengader cendekiawan yang tidak liminal. Terlebih lagi
ICMI sebenarnya bukan wadah mencetak kecendekiawanan seorang anggotanya;
seorang anggota menjadi cendekiawan sebelum bergabung ke ICMI. ICMI lebih
tepat sebagai perhimpunan para cendekiawan, terlepas dari beragamnya
keotentikan dan kapasitas masing-masing kecendekiawanannya. Dengan kata
lain, ICMI belum memosisikan dirinya sebagai pencetak cendekiawan, dalam
pengertian membentuk sejak dini lazimnya organisasi kader. Wajar jika
kekosongan ini ingin diisi oleh ICMI Muda.

Tidak Efektif?
Berbeda dengan gerakan mahasiswa yang umumnya membentuk kader
sejak nol, organisasi cendekiawan seperti ICMI Muda memiliki input yang sudah
jadi: manusia dewasa yang berpendidikan. Yang paling dibutuhkan selanjutnya
adalah menguji kapasitas mereka dalam menghadapi masalah riil. Di sinilah
pentingnya menempa pengalaman langsung dari cendekiawan senior. Dalam
konteks inilah mengader cendekiawan lewat ICMI Muda kurang berarti jika
mereka belum teruji dalam berinteraksi, berdialektika, dan berkompetisi langsung
dengan para cendekiawan senior ICMI. Lebih dari sekadar membentuk
keintelektualan, langkah ini ingin membentuk kapasitas terpenting seorang
cendekiawan: karakter.
Edward W. Said menilai, kaum intelektual yang mengklaim hanya
menulis untuk dirinya sendiri, atau hanya untuk belajar semata, atau ilmu
pengetahuan abstrak, tidaklah dipercaya dan harus tidak dipercaya. Lanjut Said,
dengan mengutip Jean Genet, pada saat Anda mempublikasikan esai kepada
masyarakat, Anda telah memasuki kehidupan politik. Jadi, jika tidak ingin politis,
janganlah menulis esai atau berbicara (Edward W. Said, Peran Intelektual, 1998:
85). Jadi, kapasitas keintelektualan atau kecendekiawanan tidaklah didapat pasif,
tanpa proses berdialektika dengan lingkungannya. Meski demikian, kata Said, Ini
tak berarti bahwa intelektual harus tetap di tepi air; terkadang menaruh tumit ke
dalam, tapi hampir sepanjang waktu kering.
Di sisi lain, keberadaan ICMI Muda bisa dilihat juga sebagai upaya
cendekiawan muda Muslim untuk berjarak dengan cendekiawan senior ICMI.
Keengganan mereka untuk langsung masuk dan berkiprah dalam ICMI tidak bisa

73
dipisahkan dari beban sejarah kiprah ICMI selama ini. Pemisahan wadah
berkiprah tampaknya pilihan moderat yang pragmatis. Daripada membuat
organisasi baru tapi tidak efektif mencapai tujuan, ICMI diyakini masih memadai
sebagai alat memperjuangkan idealisme betapapun keadaan di dalam ICMI
sendiri tidak disukai.
Memang masih perlu waktu untuk menilai apakah sikap kaum muda
cendekia itu kesungguhan mempurifikasi kiprah ICMI di kemudian hari ataukah
bentuk terselubung pragmatisme agar bisa masuk ke pentas kekuasaan. Yang jelas,
pemisahan wadah pengaderan itu belum menjamin adanya transfer wawasan
antara cendekiawan senior kepada cendekiawan muda. Hilangnya kesempatan
berdialektika langsung dan intensif dengan cendekiawan senior merupakan
ongkos mahal yang harus dibayar cendekiawan muda. Dengan berdialektika
langsung dalam satu wadah (ICMI), tidak membentuk wadah baru (meski hanya
badan otonom), cendekiawan muda Muslim bisa berlatih duduk sejajar sehingga
berkesempatan untuk mengikis budaya paternalis dan feodalis yang masih eksis di
banyak organisasi kecendekiawanan kita. []

74
Fundamentalisme-Rasional KAMMI

Sejak turut mengandili munculnya Reformasi Mei 1998, KAMMI


banyak melakukan aksi-aksi jalanan. Demonstrasi dengan massa banyak menjadi
identitas kelompok sehingga menaikkan posisi tawar KAMMI, baik di tingkat
gerakan mahasiswa maupun anasir politik. Karena kesolidannya dalam
menggalang massa, KAMMI mulai diperhitungkan; bukan hanya jumlah massa
yang besar atau intensitas yang tinggi dalam berdemonstrasi, KAMMI pun banyak
mengakhiri aksi-aksinya tanpa kekerasan.
Kerapnya berdemonstrasi bukannya tanpa risiko. Justru karena
demonstrasi menjadi identitas KAMMI, KAMMI pun dikenal hanya mahir dalam
berdemonstrasi di jalan. Kemampuan merespons sebuah kebijakan cenderung
diartikulasikan dengan berdemonstrasi. Sedangkan kemampuan berdialektika
dalam dunia pemikiran, KAMMI dipandang masih hijau. Belum lagi stigma bahwa
KAMMI eksklusif dan resisten terhadap bentuk-bentuk pemikiran di luar
ideologinya. Sebuah penilaian yang menempatkan KAMMI seolah menjauh dari
ranah keintelektualan.
Pada awalnya kritikan tersebut tidak diprioritaskan untuk direspons;
KAMMI bertahan dengan pola gerakannya: banyak berdemonstrasi.
Argumentasinya, KAMMI memang gerakan aksi, bukan gerakan intelektual;
KAMMI merupakan gerakan bertindak, bukan gerakan wacana. Tidaklah salah
dengan argumentasi ini. Masalahnya, argumentasi-argumentasi ini justru
menguatkan penilaian bahwa KAMMI antipati atau setidaknya menjauh dari
tema-tema keintelektualan. Padahal, aktivis KAMMI sendiri mengakui bahwa
keintelektualan memiliki peran penting. Beralasan dengan argumentasi-
argumentasi tadi tidak lain pembenaran untuk menutupi kelemahan. Pendeknya,
berapologi agar lari dari kenyataan; kenyataan belum ditemukannya formula
mengatasi masalah pencerdasan nalar kader.

Pasca-konservatif
Seiring bertambahnya usia, kritikan yang berasal terutama dari sesama
gerakan mahasiswa mulai didengar. Selain itu, bertambahnya kader bertambah
beragam pula latar belakang atau karakternya sehingga pada gilirannya
memengaruhi dinamika KAMMI.

75
Dua faktor ini memicu bermunculannya aktivis KAMMI yang kian
intensif memasukkan keintelektualan sebagai identitas KAMMI. Evolusi sederhana
inilah yang belakangan meramaikan wacana pengintelektualan KAMMI meskipun
publik atau gerakan mahasiswa kurang mendengarnya. Memang agenda
mengintelektualkan KAMMI belum padu sebagai sebuah orientasi gerakan
KAMMI (yang membedakannya dengan gerakan mahasiswa lain). Yang baru
mengemuka sebatas eksplorasi: bagaimana memformulasikannya di KAMMI.
Upaya ini tampak sebagai adaptasi KAMMI terhadap realitas yang bakal
dihadapinya. Walaupun demikian, keinginan untuk menunjukkan bahwa KAMMI
tidak menjauh dari model gerakan intelektual, belumlah bisa dikatakan bahwa
KAMMI bakal serupa atau berbeda dengan gerakan mahasiswa lainnya yang
menempuh jalur yang sama.
Ibarat anak-anak usia sekolah dasar, interaksi dengan kawan-kawan
mudah menyebabkan seorang anak berobsesi. Demikian halnya dengan KAMMI;
ketika mulai menerjunkan ke publik, dan publik pun berharap; ketika intensif
menggalang aliansi dengan pelbagai anasir demokrasi dari lintas ideologisemua
ini membuka ketertutupan perspektif selama ini, dan sebaliknya memperluas
cakrawala berpikir aktivis KAMMI. Mau tidak mau, diakui atau tidak, KAMMI pun
menyerap pengalaman pihak lain; atau sebaliknya.
KAMMI tampaknya berkeinginan untuk ke luar dari tudingan gerakan
konservatif, gerakan yang hanya mahir mengusung isu-isu primordialisme (baca:
agama). KAMMI juga tidak ingin dituduh sebagai gerakan fundamentalisme;
karena itulah mereka pun membuka diri: membuktikan kepada siapa pun bahwa
gerakan mereka bukanlah gerakan anarkis. Tudingan beberapa kalangan yang
sempat muncul, terafirmasi kekeliruannya. Namun, masih ada kritikan yang
belum dijawab atau setidaknya masih faktual melekat di KAMMI: KAMMI sebagai
kelompok literer, tidak mau membuka wacana. Kloplah KAMMI sebagai
fundamentalisme literer.
Ketika tudingan fundamentalisme (yang diidentikkan anarkis)
terbantahkan dengan aksi-aksi santunnya, KAMMI sebetulnya belum menjawab
apakah mereka gerakan mahasiswa yang literer atau bukan, terlepas dari tudingan
tersebut bisa dibaca sebagai upaya memarjinalkan KAMMIyang mampu
merebut perhatian publik pada usia hijau.
Sebagai anak-anak, bukanlah berlebihan jika di mereka mencari
identitas. Dan identitas yang dipilih KAMMI adalah gerakan aksi. Adanya kritikan
76
terhadap pola berpikir merupakan sebuah masukan bagi aktivis KAMMI. Memang
dengan sudut pandang lain kritikan ini pun semacam tuntutan tergesa-gesa
kepada anak-anak yang masih hijau. Untuk teratasinya persoalan, ini bergantung
pada bagaimana aktivis KAMMI meresponsnya. Kritikan gerakan mahasiswa
lainnya sebagai sebuah tuntutan, di luar kemungkinan persaingan, jika diarifi
merupakan dorongan atau harapan agar KAMMI belajar dari pengalaman gerakan
mahasiswa lain. Jika sekarang ada kemasifan KAMMI untuk memasukkan
keintelektualan sebagai kekuatan pengubah, pertanyaannya adalah apakah
KAMMI melakukannya dengan serius?

Tantangan Permanen
Alih-alih desakan dari luar organisasi, tantangan sebenarnya bagi
KAMMI justru ketika belum solidnya para aktivisnya untuk menjadikan
keintelektualan sebagai kebutuhan organisasi. Setelah mengatasi cara
mengomunikasikannya (mengingat masih ada sikap menjauhi aktivitas-aktivitas
keintelektualan), aktivis KAMMI harus mendesakkan agenda ini sebagai agenda
krusial kepada senior mereka terutama yang aktif di partai politik. Sukar dielakkan
bahwa KAMMI kerap diposisikan sebagai sayap mahasiswa Partai Keadilan
Sejahtera; karenanya secara fungsional gerak KAMMI masih dikontrol PKS.
Keduanyajadi bukan hanya KAMMIperlu bersama-sma menyadari pentingnya
meluaskan cakrawala berpikir.
Oleh keduanya pula perlu disadari bahwa aktivitas bernapas
keintelektualan bukanlah aktivitas sia-sia. Bahkan bagi KAMMI, secara fungsional
aktivitas ini akan menopang langkah politik PKS pada masa mendatang. Setuju
atau tidak dengan model simbiosis KAMMI dan PKS ini, kenyataan inilah yang
semestinya disadari bukan saja oleh aktivis KAMMI (yang tengah terobsesi dengan
agenda pengintelektualan), namun juga oleh seniornya di PKS.
Jadi, yang lebih mendesak bukanlah mengatur agar keindependenan
KAMMI dari PKS terjaga (karena hal ini utopia!), melainkan bagaimana PKS
memperkenankan KAMMI untuk mengartikulasikan wacana pemikiran. Sekali
lagi, keintelektualan yang tengah digeluti di KAMMI merupakan modal dasar
untuk gerakan KAMMI ke depan; pada gilirannya pula bagi PKS: mengurangi
beban kerja, mengingat KAMMI harus disapih seiring bertambahnya usia.
Aktivitas baru KAMMI ini tidak lain dukungan partisipasi secara tidak
langsung bagi langkah politik praktis PKS. Ya, agar langkah politik PKS lebih tajam
77
dengan dukungan keintelektualan sehingga perjalanan politik PKS bisa bernapas
panjang daripada langkahnya yang nir-intelektual dan cenderung bersandar pada
kalkulasi jangka pendek.
Karena itulah, pubertas pada sebagian aktivis KAMMI untuk
memasukkan keintelektualan sebagai kekuatan gerakannya perlu disikapi,
bukannya dipandang sebelah mata apalagi dibenci. Dengan aktivitas ini nantinya
KAMMI (dan PKS) tidak lagi berdomisili sebagai penganut fundamentalisme
literer, melainkan fundamentalisme rasional. Menjadi gerakan fundamentalisme
rasional jauh lebih berarti ke depannya; dengan menjaga identitas otentiknya,
mereka tetap mampu berdialektika dengan kalangan lintas ideologi, tanpa
memfanatiki buta doktrin atau pintar berapologi.

Fundamentalisme-Rasional
Dalam bukunya, Islam: The Alternative (1999)diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan judul Menengok Kembali Islam KitaMurad
Wilfried Hofmann menyebutkan dua jenis fundamentalisme: fundamentalisme
literer, dan fundamentalisme rasional. Hofmann membedakan keduanya dari cara
mereka menghidupkan kembali sumber-sumber asli (Al-Quran dan al-Hadits).
Kecenderungan fundamentalisme literer adalah secara eksklusif menetapkan
susunan kata-kata asli dari sumbernya, sedangkan kecenderungan
fundamentalisme rasional adalah berusaha untuk kembali kepada sumbernya
tanpa batasan-batasan metodis.
Fundamentalisme literer tidak bermaksud melakukan konstruksi;
berbeda dengan fundamentalisme rasional. Syaikh Wali Allah, Muhammad ibn
Abdul Wahhab, Muhammad ibn Ali as-Sanusi, Ikhwan al-Muslimin, dan Jamaat-
i-Islamisemua ini contoh-contoh pihak yang masuk kategori pertama.
Sedangkan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Syaikh ibn Badis, Al-Ibrahimi, dan
Muhammad Asadmereka ini adalah contoh kategori kedua.
Di Indonesia, pembagian Hoffman di atas bukanlah hal baru. Biasanya
diskursus yang sama membagi dua kelompok: kalangan Islam literer/skripturalis,
dan Islam substansialis. Yang diambil dari gagasan Hoffmann tidak lebih pada
istilah yang dikemukakannya, sebagai pembeda KAMMI dengan gerakan
mahasiswa (Islam) lainnya. Karena itu upaya memopulerkan Fundamentalisme-

78
Rasional hanya merujuk pada istilah yang sama dengan yang disampaikan
Hoffman, namun dengan konteks pemahaman yang berbeda.
Fundamentalisme-Rasional (dengan penulisan huruf kapital)
merupakan jalan tengah, moderasi, dari praktik ekstrem literer dan juga
substansialisme literer. Satu sisi pemahaman, keislaman acap terjebak pada
tafsiran sempit teks-teks sehingga melahirkan apologi yang berlebihan. Di sisi
lain, pemahaman yang mengedepankan aspek substantif dari keislaman juga
bukannya tanpa persoalan. Pada titik ekstremnya, pemahaman terakhir ini malah
melahirkan anarkisme: mengapriorikan bahkan mengapatisi teks-teks sumber
Islam.
Fundamentalisme-Rasional mengingini aplikasi Islam tidak tercerabut
dari akar tradisional, namun tidak ingin terjebak pada aspek bernostalgia.
Sehingga, bila KAMMI ingin menjadikannya sebagai budaya organisasi, maka
aktivisnya harus berani memperluas pemahaman tentang sejarah. Sejarah tidak
hanya tentang aspek normatif sebagaimana banyak dijalankan sekarang ini oleh
aktivis KAMMI. Sejarah juga harus disadari sebagai persoalan kemanusiaan
sehingga bisa membaca masa lalu tidak sebagai fakta yang sakral tanpa boleh
dikritik. Dari sini diharapkan timbul etos untuk proporsional meletakkan sejarah
dan mengapresiasi sejarah.
Dengan pemahaman kesilaman itu, Fundamentalisme-Rasional tidak
dimaksudkan sebagai metode berpikir yang ahistoris dan diskontinu dengan
kekinian dan kemasadepanan serta kedisinian. Lalu apa yang memadu agar ada
kesinambungan gerakan itu? Tidak lain keilmuan. Di titik inilah wacana
pengilmuan Islam menemukan relevansinya. Artinya, setiap kader KAMMI
sebenarnya diharapkan memiliki kemampuan mengaplikasikan kemampuan
keilmuannya. Kader KAMMI bukan lagi mahasiswa yang berhenti pada tingkatan
pencari gelar atau kerja. Lebih dari itu, ada fungsi-fungsi profetik yang melekat
dalam dirinya berkaitan sebagai pembelajar. Pembelajaran yang dimaksudkan
agar aktivis KAMMI bisa merangkaikan setiap dimensi waktu.
Dengan pembelajaran itu antusiasme mengkaji keilmuan tidak lagi
sebagai sebuah jargon, tetapi juga modus operandi untuk menjelaskan Islam
kepada masyarakat. Tentu penjelasan ini tidak lagi dalam ranah apologi. Keilmuan
tidak lain jalan agar tradisi berapologi, sebagaimana kerap dicirikan pada gerakan
Islam literer, tidak berulang kembali. Selain menghindari apologi, pengilmuan
dimaksudkan agar setiap aktivis KAMMI nantinya bisa membaca setiap indikator-
79
indikator zaman. Dari sini mereka kemudian mampu mengantisipasi dengan
bekal keilmuannya.
Dengan bobot keilmuan yang lebih, maka tidak bisa dihindari bila
kapasitas intelektual aktivis KAMMI bisa dirumuskan sebagai aktivis bernalar
ekspektatif secara humaniora, kalkulatif secara eksak, akrab secara futurolog.
Kosmopolitanisme berpikir menjadi keniscayaan bagaimana seorang aktivis
KAMMI masuk dalam kategori Fundamentalisme-Rasional.
Dengan bekal keilmuan dan kosmopolitan berpikir tersebut,
diharapkan aktivis KAMMI menjadi generasi pendialog. Tradisi eklektik
dikembangkan alih-alih menerima taken for granted setiap pemikiran. Elaborasi,
dialektika, sintesis, semuanya tidak lagi hal asing bagi aktivis KAMMI. Sekali lagi,
karena tradisi pembelajaran dikembangkan. Fundamentalisme-Rasional menjadi
salah satu tawaran agar kekosongan dalam tradisi intelektual direkatkan lagi ke
dalam sebuah budaya organisasi. Tegasnya, Fundamentalisme-Rasional bukanlah
sebuah dekonstruksi nilai lama, melainkan rekonstruksi agar pemahaman
keislaman KAMMI makin berilmu, makin sadar zaman, makin holistik, makin
kosmopolit, makin adaptif, tidak apriorio, tidak apologi, dan kritis. []

80
Kampus (Tak) Ramah Aktivis

81
Masihkah Apatis pada Calon Presiden?

Apa yang diharapkan para calon presiden (capres) dari mahasiswa?


Dalam persaingan memenangi kursi presiden, kendatipun jumlahnya tidak lebih
dari sepuluh persen dari populasi rakyat Indonesia, jumlah mereka tidak bisa
dipandang sebelah mata. Walaupun mayoritas pemilih (ada yang menyebut 70
persen) sudah menentukan di benaknya siapa yang akan dipilih pada hari
pemilihan, toh sisa pemilih yang belum menentukan capres pilihannya (swing
voter) bisa menambah dukungan suara untuk naik menjadi RI-1. Termasuk
kelompok pemilih yang belum menentukan pilihannya adalah mahasiswa.
Sayangnya, dalam kontestasi memilih pemimpin negeri, tidak semua
tim sukses capres memasukkan mahasiswa sebagai target perolehan suaranya.
Mungkin karena kekritisan mahasiswa bisa berdampak lebih lanjut apabila
capres tersebut terpilih; mahasiswa akan menagih perwujudan komitmennya.
Bukan fenomena mengherankan apabila kontrak-kontrak politik yang dibuat
mahasiswa, ketika meminta persetujuan para capres, banyak yang tidak
merespons.
Survai Kesatuan Aksi Mahasiswa Jakarta (Kamja) yang dirilis 3 Juli 2004
bisa menjadi renungan beberapa capres yang masih mengharapkan dukungan
suara mahasiswa. Mahasiswa ternyata lebih peduli pada urusan dalam negeri-
nya, seperti ketersediaan lapangan pekerjaan dan penurunan biaya pendidikan;
adapun respons pada masalah politik hanya 35 persen. Politik nasional bukan
primadona perhatian mereka. Akankah ini juga memengaruhi respons mereka
dalam pemilihan presiden (pilpres)?
Sebelum hari kampanye berakhir, gejala tidak pedulinya mahasiswa
pada pilpres tampak dari pemrioritasan mereka untuk berlibur daripada
berpartisipasi pada hari pemilihan. Yogyakarta, sebagai Kota Pendidikan, adalah
contoh aktualnya. Padahal, Yogyakarta barometer kepedulian mahasiswa pada
politik. Untuk kota pendidikan selain Yogyakarta, tidak mengherankan apabila
apatisme mahasiswanya lebih tinggi.

Melihat Apatisme
Apatisme mahasiswa dalam hal ini bisa dilihat dari dua sisi; pertama,
dari realitas politik; kedua, dari relasi mahasiswa dengan politik itu sendiri.

82
Realitas politik sejauh ini belum beranjak dari komodifikasi janji-janji
di hadapan rakyat (pemilih). Sementara realisasi dan komitmen untuk rakyat
sendiri berada di belakang kepentingan para politisi (antara lain terindikasikan
lewat tingginya angka tindak korupsi). Pada saat kepedulian pada kepentingan
rakyat sudah tidak dimiliki para politisi, masalah rakyat kian kompleks. Tiadanya
komitmen membentangkan jarak antara politisi dan rakyat (termasuk mahasiswa).
Dan jarak ini pada akhirnya mengkristal menjadi resistensi, hingga pada tingkatan
tertentu antipati pada politisi.
Dalam atmosfer seperti itu, sulit bagi mahasiswa untuk memercayai
para politisi. Secara alamiah watak mahasiswa adalah kritis kepada siapa pun.
Berempati, yang kemudian berwujud partisipasi, dalam kadar tertentu bisa berarti
penyimpangan atas kekritisan yang sudah menjadi wataknya.
Namun pada pilpres 2004 ini tidak bisa diabaikan peran penting
sebagian mahasiswa sebagai anggota tim sukses capres. Beberapa kawan saya
secara sadar melibatkan diri untuk menyukseskan capresnya. Apakah fenomena
ini menunjukkan penyimpangan itu? Menurut saya, tidak. Partisannya
mahasiswa adalah haknya; yang perlu dipermasalahkandan ini parameter
menilai menyimpang atau tidakadalah motif di balik partisannya itu. Apakah
dukungannya berlatar penegakan agenda reformasi ataukah demi kekuasaan?
Penyikapan yang sama juga diberikan terhadap kawan saya yang lain yang
memilih menjadi partisan tapi nonpartisan, alias mengikuti pilpres tapi berposisi
sebagai pemantau jalannya pilpres. Saya kira ini juga bentuk partisipasi, terutama
untuk menumbuhkan kecerdasan berpolitik rakyat.
Di lain pihak, masalah apatisme juga tidak terlepas dari terisolasinya
dunia politik dari mahasiswa. Realita politik masih menjadi pemicu utama yang
menyebabkan mahasiswa tidak lagi melibatkan diri dalam dunia aktivitas selain
berkuliah. Mahasiswa lebih berpikir pragmatis, berorientasi penuh pada
perkuliahan dan pascakampus. Selain realitas politik, iklim pendidikan turut
memaksa mereka untuk membuat prioritas-prioritas yang akibatnya
mengesampingkan aktivitas di luar kampus.
Dalam pilpres, keapatisan mereka bukan hanya karena antipati pada
para capres, tapi juga karena, terutama, sejak awalnya tidak tertarik pada dunia
politik. Kalaupun ada di antara mereka yang turut memilih, polanya
merepresentasikan pemilih tidak sadar. Pilihan lebih ditentukan atas dorongan
primordialisme, bukan karena analisis atas kompetensi capres yang dipilih.
83
Pilihan seperti ini menunjukkan kadar kecerdasan berpolitik mahasiswa. Sebagai
warga yang well informated, semestinya kesempatan memilih dihubungkan
dengan kesempatan membuat pilihan-pilihan sebagai dampak informasi yang
diperolehnya. Tidak beralasan mahasiswa membuat pilihan berdasarkan spekulasi.
Apabila rendahnya partisipasi mahasiswa disebabkan oleh kesadaran
untuk menjadi penyeimbang kekuatan mainstream, langkah ini positif. Tapi
apabila rendahnya justru karena disebabkan ketidakpedulian pada politik, ini
merupakan preseden buruk bagi gerakan mahasiswa di depan penguasa. Dalam
konteks pilpres, apabila tidak berpartisipasinya karena alasan politik, langkah ini
perlu dihormati. Namun sebaliknya, bila tidak berpartisipasi karena memilih
berlibur, ini menandai adanya keterasingan (alienasi) mahasiswa atas realitas
politik yang ada.
Mengembalikan sebab kondisi ini kepada para politisi sama artinya
tidak berupaya untuk mengubah jarum sejarah. Karena itu saya tidak sependapat
bila resistensi mahasiswa terhadap para politisi dilakukan dengan apatis dalam
berpolitik. Apatis di sini bukan berarti identik dengan tidak memilih alias
golput. Bagi saya golput adalah hak seseorang setelah dia mengalkulasikan
untung-ruginyasingkatnya golput harus berdasar pada kekritisan pula, bukan
karena ikut-ikutan. Demikian juga mereka yang memilih; mereka belumlah
berpartisipasi apabila modus memilihnya tidak dilakukan lewat nalar yang logis,
tapi dalam keirasionalan (baca: fanatisme).
Karena beruntung dalam well informated, mahasiswa selayaknya
memilih dengan pertimbangan matang. Apa pun sikap politiknya, apa pun
preferensi politiknya. Belumlah matang apabila partisipasi mahasiswa dalam
pilpres ini bersifat oportunis-pragmatis. Keterlibatan mereka dalam berpolitik
banyak dimotivasi bukan karena kepentingan lebih luas dan jangka panjang,
melainkan karena kepentingan sesaat. Tidak ada yang salah dengan penentangan
mahasiswa terhadap militerisme. Tapi menjadi tidak pantas apabila mahasiswa
bersemangat mengusungnya karena ada sokongan dari politisi tertentu untuk
menegatifkan citra capres berlatar militer. Kesamaan agenda bukan berarti dapat
diartikulasikan lewat relasi yang, ternyata, menegasikan keotentikan gerakan
mahasiswa.
Lalu, seberapa signifikan sebetulnya andil mahasiswa dalam
menambah dukungan politik seorang capres? Kekuatan politik mana pun saya kira

84
sependapat bahwa dukungan mahasiswa bukan dicari karena kuantitasnya (yang
memang tidak besar), melainkan karena kualifikasi dan implikasinya. Tegasnya,
modal politik yang berarti manakala seorang capres berhasil mendapatkan
kepercayaan dari kalangan mahasiswa.
Tanpa terjebak pada pro atau kontra atas keberadaan pilpres,
keterpilihan seorang capres memiliki legitimasi yang kuat dari rakyatkarena
mekanisme rakyat langsung memilih. Cukup beralasan bila pengamat politik
Jeffrey A. Winters, dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, menyatakan pendapat
demikian.
Menjaraknya mahasiswa akan terlihat ambivalen ketika mereka sendiri
justru kemudian banyak menuntut harapan kepada presiden terpilih. Mahasiswa
yang saya maksudkan di sini adalah mereka yang pada masa pilpres apatis karena
memprioritaskan berlibur.

Oposisi: Sebuah Solusi?


Mengabaikan elektabilitas pasangan di mata rakyat secara keseluruhan,
gerakan mahasiswa sering secara ideal menilai calon-calon pemimpin negeri.
Ketika kriteria kepemimpinan yang idealkan tidak didapati di antara para
kandidat, wacana golput pun menyeruak. Selain golput, ada yang berniat
menjadi oposisi. Wacana oposisi boleh dikatakan istilah yang kian populer
mengiring ajang memilih presiden secara langsung setelah Reformasi.
Masalahnya, relevankah?
Baik golput maupun oposisi sebetulnya memiliki latar belakang yang
identik, yakni keinginan mengontrol kekuasaan. Sebetulnya klaim gerakan
mahasiswa untuk beroposisi masih perlu diuji komitmennya. Dalam konteks apa
beroposisi? Sebab, tanpa harus mendeklarasikan beroposisi pun, tabiat gerakan
mahasiswa adalah sebagai kekuatan penyeimbang, bukan terserap dalam sistem.
Saya justru mengkritisi wacana beroposisi gerakan mahasiswa usai pengumuman
hasil pilpres 2004. Mengapa harus menunggu hasil pilpres baru kemudian
beroposisi? Mengapa tidak jauh-jauh hari menyatakan beroposisi?
Saya menduga, beroposisinya mahasiswa merupakan manifestasi dari
kekalahan capres pilihannya. Sebagai kelas menengah, mahasiswa memiliki
tendensi untuk memunculkan pemimpin bangsa yang membawa kepentingannya.
Di sini ada titik temu antara agenda reformasi mahasiswa dengan agenda capres.

85
Begitu capres tersebut tidak berhasil masuk seleksi, aspirasi mahasiswa praktis
tidak akan tersalurkan. Pada posisi demikian, mahasiswa mengalami alienasi.
Upaya beroposisi dapat dipandang sebagai bentuk kepanikan
mahasiswa. Saya memandang, kalaulah mereka konsisten, wacana beroposisi
tidak serta-merta dikeluarkan begitu saja. Belum hilang dari ingatan kita ada
parpol yang menyatakan akan beroposisi namun pada perkembangannya justru
mendukung capres tertentu.
Dalam konteks ini kepanikan mahasiswa merupakan refleksi dari
identitas kelasnya. Kelas menengah sebagaimana kerap diagungkan merupakan
kelas sosial yang secara ekonomi dan politik mandiri. Mungkin secara ekonomi
mahasiswa masih bergantung pada pihak lain, namun dalam konteks ini
kebergantungan tidak mengurangi bobot kekelasmenengahan mereka. Karena
kelas ini terdidik, mekanisme pertahanan diri di saat tersudutkan adalah
memunculkan simbol-simbol intelektual. Karena itu, wacana beroposisi menjadi
obat mujarab dari kekalahan psikologi merekaterutama akibat capres favorit
mereka gagal masuk seleksi atau putaran penentuan.
Memilih capres yang difavoritkan dan kini beroposisi serta golput
merupakan bagian dari menjaga kepentingan mereka. Kendati secara sepintas
upaya mereka tidak rasional (baca: emosional), namun ini merupakan langkah
logis mempertahankan kepentingan. Meminjam istilah Max Horkheimer (1973),
fenomena ini dapat disebut sebagai dialektika manusia rasional. Keirasionalan
ataupun keemosionalan mahasiswa merupakan upaya rasional itu sendiri. Oposisi
dan golput pada akhirnya menjadi mitos, mitos untuk mempertahankan
kepentingan pembuatnya (mahasiswa). []

86
Mendidik Pemilih Rasional

Banyak pihak yang masih memercayai dan menempatkan partai politik


sebagai pihak yang (harus) berperan dalam memberikan pendidikan politik
kepada pemilih pemula. Saya justru melihat sebaliknya. Karena berorientasi
menambah jumlah suara, parpol sering kali lebih mementingkan mengejar suara
daripada memberdayakan pemilih pemula. Akibatnya, vooter education yang
dilakukan parpol kepada pemilih pemula tidak bisa diharapkan mampu
membentuk pemilih rasional. Kepentingan jangka pendek parpol lebih
mengemuka ketimbang meningkatkan kesadaran politik pemilih pemula. Dengan
berorientasi pada penambahan jumlah suara, tidak lagi penting diperhatikan
apakah pemilih bersikap rasional atau tidak.
Sejauh ini, pendidikan politik yang dilakukan parpol kepada pemilih
pemula masih berorientasi untuk memperpanjang kepentingan parpol tersebut.
Para pemilih ini diajari aktivitas pragmatis parpol dengan mengabaikan dimensi
pendidikan sesungguhnya. Pragmatis artinya pendidikan yang mereka terima lebih
bersifat permukaan: bagaimana terlibat langsung dalam acara-acara parpol, tanpa
ada tindak lanjut memberdayakan potensi mereka. Mereka sebatas direkrut,
diorganisasikan untuk menaikkan perolehan suara parpol, tanpa ada imbal balik
berupa pemberian hak-hak politik yang semestinya. Tegasnya, parpol baru
melakukan pada tingkatan memobilisasi, belum mendidik mereka.
Ketika parpol dipandang gagal memberikan pendidikan politik,
harapan tertuju kepada lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan lembaga
kemahasiswaan. Ada harapan pada dua komponen ini untuk mempertinggi
derajat kesadaran berpolitik para pemilih pemula. Bisa dikatakan, tugas ini tidak
ringan, sebab pihak-pihak yang memfokuskan pada pendidikan dituntut untuk
melakukan dan memeratakan vooter education kepada sejumlah pemilih pemula
yang tersebar di banyak tempat.
Sayangnya, tugas berat ini cenderung diambil pada masa-masa pemilu.
Belum ada upaya sistematis, kontinu, dan simultan dalam mendidik mereka.
Membentuk pemilih pemula menjadi pemilih rasional bukanlah proses yang
singkat; dan tugas ini jangan harap diserahkan kepada parpol. Tantangan kian
berat bila pemilih pemula tinggal di tengah masyarakat yang kesadaran politiknya
rendah, namun tingkat pembusukan politik oleh parpol begitu tinggi. Besar

87
kemungkinan hasil dari pendidikan politik kalah pengaruhnya dibandingkan
pendidikan yang mereka peroleh dari lingkungannya. Mungkin karena hal ini,
perhatian untuk memberdayakan pemilih pemula lebih ditargetkan untuk jangka
pendek, yakni mendekati pemilu.
Saat ini saya melihat pendidikan politik yang dimotori LSM ataupun
mahasiswa masih membaurkan antara pengetahuan teknis bagaimana memilih di
bilik suara (sesuai aturan Komisi Pemilihan Umum) dan pemahaman tentang
politik itu sendiri. Bila yang pertama cenderung menekankan teknis, yang kedua
lebih bersifat fundamental membentuk kesadaran pemilih. Simulasi-simulasi
pencoblosan seperti dilakukan Cetro di beberapa kota besar, dalam konteks ini
lebih memerani fasilitasi pendidikan teknis; belum pada bagaimana seharusnya
politik dimaknai. Namun demikian, pada pemilu 2004 ada peningkatan materi,
yakni diberikannya wawasan tentang menolak politisi bermasalah.
Di tengah hedonisme-konsumerisme yang mengitari pemilih pemula,
kekhawatiran munculnya apatisme politik menjadi wajar. Perilaku politisi yang
mereka ketahui ternyata tidak mencerminkan perilaku yang patut diteladani.
Padahal, berbicara pendidikan politik, perilaku politisi sendiri bentuk nyata
pendidikan kepada rakyat, termasuk pemilih pemula: beginilah cara menjalankan
amanat rakyat. Karena terdorong oleh para politisi yang tidak memberikan
keteladanan, pemilih pemula pun akan menjauhi pembicaraan politik. Maka,
menguatlah slogan politik itu kotor dalam benak mereka.
Untuk menumbuhkan kesadaran politik mereka, peran keluarga dan
guru tidak bisa ditepikan begitu saja. Secara kultural, kedua institusi ini mampu
memengaruhi tidak hanya kognisi mereka, namun juga afeksi dan perilakunya.
Tantangannya sekarang adalah masih banyak dijumpainya apatisme politik pada
kedua institusi ini. Banyak keluarga yang bukan saja apatis, melainkan juga
trauma dengan politik. Demikian pula dengan para guru, trauma dengan
pembodohan oleh parpolterlebih di masa Orde Baru yang berdampak pada
pengalienasian identitas mereka.
Untunglah, sebuah berita baik muncul, ketika PGRI dan serikat guru
lainnya memilih netral dan berinisiatif untuk menentukan kriteria calon wakil
rakyat yang sesuai aspirasinya. Pada pemilu nanti mereka pun berinisiatif untuk
mendorong penyadaran politik kepada siswa-siswanya. Sudah tentu upaya serupa
perlu ditumbuhkan pada tingkatan keluarga, agar sebuah keluarga memilih bukan
karena iming-iming materi. Bila para pemilih rasional, maka parpol yang kerap
88
mempraktikkan irasionalitas dalam pemilu dengan sendirinya akan menyesuaikan
diri. Kecuali tentunya mereka lebih memilih untuk tidak dipilih rakyat. []

89
Kampanye Parpol di Kampus

Ide menjadikan kampus tempat kampanye Pemilu 2004 direspons


beragam oleh para pimpinan kampus. Keragaman ini terbagi dalam tiga sikap:
menerima atau menolak sama sekali, dan belum bersikap. Perbedaan sikap
ditemui pula pada kalangan mahasiswa.
Perbedaan sikap kalangan kampusbaik pimpinan maupun
mahasiswaini tidak terlepas dari prediksi yang bakal terjadi pada pemilu.
Dilihat dari potensinya, konflik antarparpol dikhawatirkan menjalar ke kampus
bila kampus menjadi tempat kampanye. Kampanye di kampus sendiri berarti
mengundang para kontestan pemilu berikut massanya untuk datang ke kampus.
Dari segi pengamanannya, memang belum semua kampus siap mengantisipasi
kemungkinan yang bakal terjadi. Kalaupun ada pembatasan jumlah kontestan
berikut pendukungnya yang hadir dalam dialog di kampus, rentan memunculkan
tudingan diskriminasi terhadap parpol yang tidak diundang. Bagaimanapun
kampus institusi publik yang tidak berhak melakukan pembedaan. Daripada
menimbulkan gejolak, menolak merupakan pilihan rasional. Akhirnya, apa pun
bentuk kampanyenya, meskipun berbentuk dialog, ditolak. Pendapat pimpinan
yang menolak ini didukung sikap mahasiswanya meskipun tidak semua
mahasiswa bersikap sama.
Keterbukaan politik era Reformasi sesungguhnya membuka partisipasi
aktif seluas-luasnya birokrat kampus. Tiadanya tekanan dari pihak luar,
menyebabkan birokrat kampus lebih bebas menyalurkan aspirasi politiknya.
Namun, kebebasan ini oleh mereka sendiri masih dipandang sebagai ancaman,
yakni menghadirkan perpecahan; yang semula konfigurasinya satu baju, satu
warna, kini beragam.
Perbedaan preferensi politik antarindividu dalam struktur birokrasi
kampus, karenanya, menjadi fakta logis dan wajar. Karena ditakutkan berubah
menjadi konflik, perbedaan yang sebenarnya alamiah ini diredam. Dalam konteks
ini dikeluarkannya kebijakan kampus untuk menolak kampanye dapat dilihat
sebagai manajemen konflik-internal kampus tersebut. Untuk menghindari
kemungkinan adanya perpecahan di tingkat birokrat, aktivitas yang dipandang
berpotensi menciptakan konflik, sedini mungkin dihindari. Mereka merefleksikan

90
situasi sekarang dengan masa Orde Baru, saat mereka trauma dengan kebijakan
penyeragaman sikap politik birokrat.
Di lain pihak, pimpinan yang menerima menilai, kampanye di kampus
tidak lain bentuk pendidikan politik bagi mahasiswa dan juga masyarakat umum.
Apalagi dengan tradisi kritis di kampus, partisipasi parpol nantinya bukan sekadar
pasang badan. Di sini diuji bagaimana parpol menghadapi masyarakat yang lebih
rasional; bukan masyarakat yang mudah digiring imingan materi. Kampanye
dialog di kampus sejalan dengan upaya mewujudkan demokrasi yang lebih
partisipatif. Dengan demikian, patut dipertanyakan akurasi kesimpulan pimpinan
beberapa kampus bahwa mahasiswa tidak membutuhkan kampanye di kampus
lantaran rentan mengganggu proses belajar mengajar.
Padahal, akademisi di kampus-kampus yang menolak kampanye pun
sebelumnya mengakui bahwa untuk menuju demokrasi modern, parpol harus
diuji beradu program. Parpol bukan lagi mengandalkan sentimen emosi
pendukungnya atau kefiguran tokohnya. Karena itu, dengan mengizinkan
kampanye, proses demokratisasi hendak ditransfer kepada mahasiswa. Mahasiswa
diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan politik lewat partisipasi
langsung mengkritisi kontestan pemilu. Sayangnya, argumentasi ini tidak lagi
dipakai saat kampusnya ditawari menjadi tempat kampanye.

Pendidikan atau Investasi?


Perbedaan sikap di atas bukan berarti satu pihak lebih peduli dari yang
lain dalam meningkatkan kecerdasan politik masyarakat. Maka, benar pernyataan
Rektor ITS, Mohammad Nuh, bahwa pimpinan kampus yang tidak mengizinkan
tidak tepat bila dikatakan tidak peduli dalam melakukan pendidikan politik bagi
civitasnya ataupun masyarakat (Kompas, 11/2/2004).
Perbedaan lebih dilatari bagaimana memandang kenyataan politik
yang ada, dan bagaimana kampus memerankan diri. Semua pimpinan kampus
saya kira sepakat mengakui andilnya dalam mengiringi demokratisasi yang tengah
berlangsung. Sebab, untuk terwujudnya demokratisasi tidak bisa diserahkan
sepenuhnya kepada parpol. Terbukti seperti sekarang, parpol berandil dalam
menghambat demokratisasi yang berlangsung.
Hanya, bagaimana kampus melibatkan diri, persoalannya menjadi lain.
Ada yang masih berpikir ulang untuk mengaitkan kampus dengan realitas politik.

91
Kenyataan ini memang bukan muncul tiba-tiba, namun sebagai akibat akumulasi
depolitisasi yang terjadi pada masa sebelumnya, khususnya saat Orde Baru. Dari
sini bisa dilihat, seberapa tepat argumentasi pimpinan yang menolak ataupun
menerima kampus dijadikan tempat kampanye. Artinya, sejauh mana argumentasi
pihak penolak tidak dipengaruhi dampak depolitisasi masa lalu?
Untuk itulah, argumentasi mereka perlu dicermati. Yang tampak di
permukaan, argumentasi menolak itu berpihak dan berorientasi untuk institusi
kampus dan mahasiswanya. Kenyataan yang terjadi di beberapa kampus, alasan
menolak lebih bernuansa ketakutan yang tidak beralasan. Alasan teknis
sebenarnya bukan persoalan utama mengingat kampus selama ini terbiasa
mengadakan pertemuan ilmiah.
Andaipun pengamanaan menjadi persoalannya, pembatasan dengan
hanya mengundang parpol tertentu menjadi alternatif. Dikriminasi? Kampus
dalam hal ini bisa merasionalkan alasannya. Pimpinan meminta pendapat
mahasiswa tentang perlu-tidaknya kampanye di kampusnya. Bila hasilnya lebih
banyak yang setuju, berikutnya diseleksi parpol mana saja yang akan diundang.
Dengan melibatkan mahasiswa (bisa lewat perwakilan BEM, bisa pula jajak
pendapat terbuka seluruh mahasiswa) dalam menyeleksi kehadiran parpol,
birokrat kampus diuntungkan. Pertama, kebijakan mengundang parpol
berkampanye akan legitimated di mata mahasiswa, sebab mahasiswa turut
memiliki dengan adanya kebijakan ini. Kedua, karena dilibatkan, partisipasi
mahasiswa besar kemungkinan lebih tinggi, dan ini akan memberi citra positif
kampus di mata parpol.
Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri akibat keterbukaan politik, selain
membawa kebebasan menyuarakan aspirasi, bagi pihak kampus menghadirkan
pula peluang. Adanya keterbukaan memberikan kesempatan bagi mereka untuk
menerapkan mulai dari teori hingga kajian atau penelitiannya. Inilah kesempatan
bagi kampus untuk beraktualisasi diri, tanpa ada tekanan dari pihak mana pun.
Pada saat yang sama, aktivitas ini berpeluang menciptakan pemasukan materi dari
pihak ketiga. Terlebih lagi pada saat alokasi dana dari pemerintah semakin
berkurang; kemandirian kampus dapat diartikan inovasi dalam melakukan relasi
dengan pihak ketiga. Mengizinkan kampus sebagai tempat kampanye, dengan
demikian, memiliki fungsi ganda. Bukan semata atas nama demokratisasi politik,
namun juga demokratisasi dalam mengundang investasi.

92
Bisa dikatakan upaya terakhir itu sebagai bentuk mengekonomikan
politik. Atau malah pada tingkatan tertentu, disengaja repolitisasi untuk meraih
materi. Tentunya tujuan ini bukan berdiri sendiri, melainkan berbarengan dengan
misi politik kampus bersangkutan. Walaupun demikian, kampus sendiri sudah
memiliki sikap politik. Presentasi parpol di kampus tidak berpengaruh dalam
mengubah preferensi politik civitas akademis kampus, termasuk mahasiswa.
Preferensi mereka sudah dimiliki sebelum adanya kampanye.
Menolak atau menerimanya pimpinan kampus dalam hal kampanye di
kampus bukan lagi persoalan yang dilihat pada argumentasi yang disampaikan ke
publik atau direkam di media. Ada sesuatu yang mengiringi kebijakan terpilih.
Karena itu, menolak atau menerima bukan sebagai pilihan benar atau salah. Yang
terpenting adalah bagaimana argumentasi yang dijadikan landasan kebijakan
kampus berperspektif ke luar, bukan internal birokrat, melainkan demi mengiringi
demokratisasi yang tengah berlangsung. Di dalamnya terkandung peran
memfasilitasi pencerdasan politik bagi mahasiswa dan masyarakat umum. Juga
sejauh mana orientasi mempertinggi kualitas demokratisasi yang diiringinya.
Bahwa ada misi pengiring dari sikapnya, ini persoalan ke sekian yang tidak
tepat bila mengalahkan misi dan peran utama kampus dalam mewujudkan
demokratisasi. []

93
Musim Kooptasi Kampus

Saya menjumpai peristiwa penting dalam lembaga kemahasiswaan


(terutama di Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM) sepanjang 2004-2005.
Beberapa BEM kampus ternama di Yogyakarta dan Solo, baik negeri maupun
swasta, diintervensi pejabat kampus. Pelibatan diri secara sengaja jajaran kampus
(baca: rektorat) untuk memengaruhi eksistensi BEM merupakan berita buruk di
tengah iklim demokratisasi yang tengah dibangun di negeri ini.
Dalam beberapa kasus yang saya temukan, pelibatan jajaran rektorat
antara lain dilakukan dengan dua model. Pertama, menggunakan tangan sang
rektor, artinya rektor langsung membuat kebijakan yang antagonis dengan
keberadaan atau kebijakan BEM.
Kedua, untuk kasus yang lain digunakan model devide et impera
mahasiswa diadu kepentingannya dengan mahasiswa oponennya. Model yang
terakhir ini kemudian memunculkan apa yang disebut kekuatan oposisi atas
BEM. Jadi, dalam hal ini oposisi di tubuh mahasiswa tidak dibentuk secara
alamiah berdasarkan kesadaran politik mereka, melainkan lebih besar karena atas
dasar bantuan atau andil jajaran rektorat. Salah satu perguruan tinggi terbesar di
Yogyakarta, dalam data yang berhasil saya himpun, jajaran rektoratnya tengah
menerapkan model kedua ini.
Dari data yang saya miliki pula, model pertama tersebut umumnya
diterapkan pada kampus swasta yang bernaung dalam sebuah yayasan, dan
biasanya iklim politik mahasiswanya belum kuat untuk bernegosiasi dengan
kekuatan rektorat. Akibat ketimpangan ini, muncul distorsi demokrasi di kampus:
otoritarianisme penguasa kampus.
Adapun model kedua diterapkan di kampus-kampus yang
mahasiswanya telah memiliki tradisi lama berpolitik. Model ini diterapkan oleh
rektorat karena menghadapi realita politik bahwa demokrasi ala mahasiswanya
telah berlangsung lama atau relatif mentradisi.
Fakta lain untuk model kedua ini adalah kekuatan pendukung BEM
didominasi oleh satu kelompok, yang bukan kebetulan (amat) kritis terhadap
rektorat. Di pihak lain, oposisi dari BEM sendiri tidak berjalan optimal; salah satu
faktornya adalah selain minimnya dukungan dari mahasiswa secara umum, juga
antarkekuatan oposisi itu sendiri belum solid. Dua fakta terakhir inilah

94
menemukan titik temu dengan kepentingan jajaran rektorat sehingga menciptakan
apa yang disebut dengan korporatisme.

Titik Balik
Baik model pertama maupun kedua di atas tentu saja merefleksikan
pemutaran jarum sejarah lembaga kemahasiswaan. Ini mengingatkan para aktivis
mahasiswa pada era NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan) di akhir 1980-an hingga awal 1990. Saat itu pendisiplinan
diterapkan oleh negara, yang salah satunya ingin mengontrol kekritisan lembaga
atau gerakan mahasiswa yang tumbuh subur pada era 1970-an di kampus.
Rektorat dibriefing bahkan diinstruksikan untuk mengendalikan mahasiswanya.
Beberapa kampus menaati, namun sebagian yang lain memilih jalan sendiri.
Tentu ironi ketika dulu rektorat melindungi kepentingan mahasiswa,
belakangan ini rektorat justru secara sadar melibatkan diri untuk mengusik
kepentingan politik mahasiswa lantaran kepentingan mereka diusik mahasiswa.
Sebut saja dalam rangka memuluskan kapitalisasi pendidikan; rektorat satu sisi
dihadapkan pada pragmatisme biaya pendidikan yang kian mahal. Sementara
dana dari pusat kian tak jelas, kendati UndangUndang Dasar telah
mengamanahkan angka sebesar 20 persen. Di pihak lain, unjuk-unjuk rasa dari
mahasiswa dalam menentang penaikan biaya pendidikan di kampus juga
membuka preseden yang tidak baik dalam memuluskan proyek-proyek kampus.
Tegasnya, oposisi dari BEM misalnya, dipandang sebagai penghalang
bagi obsesi jajaran rektorat. Tentu saja persepsi pihak kampus ini terlalu
berlebihan mengingat posisi lembaga kemahasiswaan semacam BEM
sesungguhnya kekuatan politiknya tidaklah sebesar rektorat.

Praktik Korporatisme
Dalam ilmu politik, keterlibatan kampus untuk mengendalikan
eksistensi lembaga kemahasiswaan merupakan salah satu praktik korporatisme.
Korporatisme diterapkan manakala kekuatan pemerintah (baca: rektorat) tidak
mampu mengendalikan kekuatan seluruh masyarakat (baca: mahasiswa). Bila
pemerintah memiliki kemampuan untuk secara penuh mengendalikan
masyarakat, maka sistem yang berkembang menjadi totaliterian, bukan
otoriterian.

95
Sementara itu, di tengah masyarakat sendiri kekuatan-kekuatan
fungsional juga berminat dengan sebagian kepentingan penguasa sehingga
mereka bersedia membangun sinergi. Tentu ada konsesi bagi kelompok
fungsional ini. Artinya, di sini ada simbiosis dua pihak tersebut, namun sebetulnya
relasi yang terbentuk masih belum setara. Pihak penguasa (dalam pembicaraan ini
berarti jajaran rektorat) masih lebih superior, dominan, atas kekuatan fungsional
(mahasiswa) itu.
Korporatisme di kampus, menariknya, dilakukan bukan dengan
kekuatan fungsional yang tengah berkuasa di lembaga kemahasiswaan (BEM).
Sebaliknya, jajaran rektorat justru menggandeng kekuatan di luar BEM dan/atau
unsur mahasiswa di tingkat jurusan atau kelompok gerakan mahasiswa
ekstrakampus. Semua unsur mahasiswa ini disolidkan untuk dihadapkan dengan
BEM. Targetnya ada dua kemungkinan: oposisi yang lebih kuat atau
pemerintahan tandingan.
Rumor yang lazim dimunculkan dalam pengamatan saya biasanya
menyoal elitisme BEM di depan kepentingan mahasiswa. Bentuk lain, isu-isu yang
diusung BEM terlalu politis tapi kurang memihak kepentingan mahasiswa sendiri.
Dua kemungkinan ini sebetulnya bila ditelusuri muaranya jelas: mengganti
pemerintahan mahasiswa yang kini dipandang meresahkan penguasa kampus.
Tidak bisa tidak.

Kuasi Oposisi
Dinamika mahasiswa merupakan modal penting dalam membangun
demokratisasi di tanah air. Adanya pemerintahan mahasiswa yang lemah atau
bahkan tidak aspiratif meniscayakan kehadiran kekuatan oposisi; kekuatan yang
seharusnya muncul dari dalam tubuh mahasiswa sendiri. Siklus jatuh-bangun
kekuasaan di tingkat mahasiswa dengan demikian akan membentuk kultur politik
yang sehat. Hal ini menjadi miniatur bagaimana ketika ke depannya mereka
terjun ke panggung politik praktis dalam masyarakat.
Dalam konteks inilah adanya campur tangan atau kooptasi berupa
korporatisme jajaran rektorat merupakan pembalikan sejarah yang menyedihkan.
Mahasiswa diintervensi, dicampuri, dibentuk layaknya sebuah mesin agar bisa
diarahkan sebagaimana kepentingan pihak kampus. Logika mekanistis ini hanya
bisa tumbuh subur manakala logika jajaran kampus sendiri sudah terindoktrinasi

96
oleh paham kapitalisme. Sebab, mahasiswa kadung dianggap modal produksi
demi mendatangkan atau memelihara kepentingan jajaran rektorat.
Oposisi yang diandili rektorat itu bukanlah oposisi alamiah yang bisa
bertahan lama karena adanya diskursus publik antarmahasiswa. Sebaliknya,
oposisi itu tidak lain kuasi-oposisi atau bahkan pseudo-oposisi, oposisi semu.
Kekuatan oposisi model ini ibarat eceng gondok; besar di permukaan (karena
topangan atau subsidi dana dari penguasa kampus), namun di bawahnya keropos
dan tidak mengakar. Dan ini semua tentunya bentuk pembodohan mahasiswa itu
sendiri. Sejarah pengooptasian mahasiswa, sekali lagi, berulang. Ironisnya, kali ini
berlangsung di saat hembusan reformasi politik di tanah air telah bergulir. []

97
Ke Mana Suara Aktivis Pers Mahasiswa?

Seorang aktivis Keluarga Mahasiswa (KM) UGM mengeluh ke saya


tentang pemberitaan operasi terpadu di Aceh. Menurutnya, pemberitaan media
yang sedemikian patriotik justru mematikan pengkritisan masyarakat atas
jalannya operasi itu. Perhatian agar operasi itu tidak melegitimasi TNI/Polri untuk
bertindak di luar prosedur yang ditetapkan, tidak dapat dilakukan masyarakat.
Sejalan dengan operasi di Aceh, aksi demonstrasi mahasiswa yang
menentang operasi itu tidak begitu banyak terliput media. Pemberitaan seputar
demonstrasi berkaitan dengan Aceh, lebih dominan berisi tuntutan kepada
pemerintah agar memperhatikan sisi kemanusiaan rakyat sipil Aceh. Boleh
dikatakan, aksi mahasiswa menolak pendekatan militerisme minoritas di media.
Tidak banyaknya media berantusias meliput demonstrasi itu bisa
datang dari dua pihak, media dan mahasiswa. Nilai berita demonstrasi itu bagi
media dipandang tidak lebih tinggi dari berita operasi terpadu sendiri. Masyarakat
Indonesia mendukung Aceh tetap dalam pangkuan NKRI. Media melihat sikap
politik masyarakat ini berkorelasi dengan perhatian pada jalannya operasi itu.
Berita-berita hasil liputan langsung mengenai jalannya operasi akan ditunggu
masyarakat. Dikaitkan dengan perang sebagai nilai berita yang berpotensi
menjadi komoditas, media bercermin dari kesuksesan menyiarkan liputan invasi
Amerika Serikat ke Irak.
Penolakan mahasiswa terhadap operasi itu, meskipun difokuskan pada
antimiliterisme, pada situasi negara membutuhkan nasionalisme warganya
mengakibatkan aksi itu tidak lebih sebagai bentuk apatriotik. Sorotan Kontras dan
PBHI pada pendekatan militer dalam menangani Aceh berbuah kekerasan fisik
oleh sekelompok masyarakat yang menuduh dua lembaga ini tidak nasionalis.
Karena itulah, media lebih memilih jalur aman, tidak membuka
konfrontasi dengan kuatnya semangat nasionalisme di tengah masyarakat.
Belum lagi, adanya permintaan pemerintah melalui Menteri Negara Komunikasi
dan Informasi Syamsul Muarif, agar media mengedepankan patriotismenya dalam
meliput berita Aceh. Dengan sikapnya ini ternyata media meraih dua keuntungan.
Secara politik, media tidak dijadikan musuh, baik oleh pemerintah ataupun
(sebagian besar) masyarakat. Sementara secara ekonomi, tidak adanya (terutama)
hambatan pemerintah dalam melaksanakan liputan, memperlancar produksi

98
berita yang dibutuhkan masyarakat. Dan ini selanjutnya akan mendatangkan
pemasukan.
Di sisi lain, tidak berarti media secara mutlak tidak tertarik meliput aksi
mahasiswa itu. Tidak banyaknya frekuensi demonstrasi mahasiswa mengangkat
tema itu menjadi faktor mengapa media tidak banyak menjadikannya sebagai
liputan wajib, kecuali pelengkap. Bukankah aksi mahasiswa menolak pendekatan
militer di Aceh hanya temporer, dan itu pun tidak begitu sering serta terjadi di
sedikit kota di Jawa?
Keluhan kawan saya sungguh tepat. Praktis mahasiswa di luar Aceh
tidak memperoleh informasi yang proporsional. Artinya, sumber-sumber informasi
dalam berita Aceh didominasi salah satu pihak. Terlepas dari klaim militer yang
bertujuan demi kepentingan negara, tindakan mendominasi berita itu membuka
peluang memelihara pendistorsian fakta. Tujuan membela negara adalah alamiah
sebagai manusia. Namun, memanipulasi fakta sedemikian rupa, sehingga
kebenaran dan keadilan terabaikan, tetap tidak dibenarkan. Singkatnya, meskipun
bertujuan mulia, namun pemonopolian berita rentan membuka penggunaan cara-
cara yang melewati koridor hukum.

Menanti Pers Mahasiswa


Mengapa mahasiswa tidak banyak turun ke jalan untuk mengkritisi
operasi itu? Apakah ini pertanda keputusasaan kalangan mahasiswa? Tanpa
pasokan informasi, mereka berdiam. Inikah makna pentingnya media bagi
mahasiswa? Bila tidak ada suplai fakta, aksi menjadi terhambat bahkan terhenti
sama sekali. Lalu, di mana inisiatif mahasiswa dalam mencari tahu apa
sebenarnya yang terjadi di Aceh?
Komik ringkas di sebuah koran komunitas mahasiswa di Yogyakarta
barangkali tepat menggambarkan apa sebenarnya yang terjadi tentang hubungan
antara ketimpangan informasi dengan respons mahasiswa. Isi komik itu
menggambarkan aktivitas prajurit TNI dan GAM di medan tempur, Hasan Tiro di
negeri perantauan, dan derita rakyat Aceh. Yang menarik adalah komik itu
menggambarkan pula perilaku mahasiswa Aceh perantauan (di Yogya) yang
kembali ke kampus lantaran pasokan barang dari kampungnya terhenti.
Artinya, apa yang tertuang di komik itu tidak berbeda jauh dengan apa
yang diberitakan media. Terbatasnya informasi di media umum belum mampu
diisi mahasiswa dengan berinisiatif memperoleh informasi yang lebih lengkap.
99
Justru mahasiswa makin memperkuat stereotip tentang warga Aceh, seperti komik
itu. Karena timpangnya informasi, wajar bila mahasiswa tidak mengenal apa yang
sebenarnya terjadi di medan pertempuran.
Pers mahasiswa yang semestinya bisa berperan mengisi keterbatasan
media umum, tidak melakukannya. Permasalahan teknis, medan yang jauh, bisa
dimaklumi. Namun bila ini dijadikan alasan tidak adanya liputan atau ulasan
tentang masalah Aceh, perlu dilihat lebih jauh altruisme pengelola pers
mahasiswa dalam menerbitkan media.
Mengapa, misalnya, aktivis pers mahasiswa tidak mengontak media
umum yang menerjunkan wartawannya di Aceh? Tidak setiap berita yang
dilaporkan wartawan di lapangan diturunkan di medianya, dengan banyak
pertimbangan. Apakah mustahil meminta partisipasi media umum dalam
menyuplai fakta-fakta itu? Bisa sebagai berita meskipun bila ada masalah akan
terlacak dari mana sumbernya; yang tentunya akan menyeret media/wartawan
penyetor. Lain bila sebagai bahan refleksi sebuah artikel. Atau, langsung sebagai
bahan diskusi untuk melakukan demonstrasi.
Bandingkan saat kekuatan Orde Baru begitu berkuasa. Karena kuatnya
intervensi pemerintahan Suharto, media berhati-hati dalam menurunkan berita.
Dalam situasi ini, sulit dijumpai media umum yang kritis berusia panjang. Namun
di tengah situasi ini, berita-berita kritis dapat diakses masyarakat melalui pers
mahasiswa.
Di awal terbentuknya Orde Baru, apa yang dilakukan Mahasiswa
Indonesia, Harian KAMI dan Mimbar Demokrasi pada kurun 1966-1971/74;
Salemba, Gelora Mahasiswa, dan Kampus pada kurun 1971/74-1980,
menunjukkan betapa mahasiswa pun mampu menjadi penyuplai informasi kritis
ke masyarakat (Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh
Hilang Berganti, Jakarta: Karya Unipress, 1983). Meskipun umumnya beredar
terbatas di kampus, namun isi pemberitaannya mampu meresonansi hingga luar
kampus. Ini pula yang menyebabkam pemerintah Suharto menjadi gerah,
memunculkan pembredeilan.
Pun di ujung kejatuhan penguasa Orde Baru itu, andil pers alternatif
banyak dikelola aktivis (pers) mahasiswa. Sebut saja: Bergerak (UI) dan Gugat
(UGM). Pers bawah tanah, demikian bisanya disebut, juga berandil dalam
mempercepat kejatuhan Suharto lewat berita-berita kritisnya. Sebut misalnya

100
Suara Independen (yang kemudian berubah menjadi Independen, dan terakhir
Xpos) Kabar dari Pijar, dan SiaR. Aktivis mahasiswa dan media-media ini memiliki
keterkaitan, baik dalam kapasitas mahasiswa sebagai konsumen isi media itu
ataupun keanggotaan mahasiswa di balik berlahirannya media-media ini
(Manayang, dkk., Pers Bawah Tanah: Media sebagai Pergerakan Sosial, dalam
Hidayat [dkk.], 2000:275-297).
Heroisme semacam itulah kiranya yang dinantikan publik, termasuk
tentunya teman aktivis di atas, pada pers mahasiswa. Sebuah utopiakah atau asa
mengawang publik yang memendam idealisme? Maraknya perkembangan
teknologi informasi amat niscaya mewujudkan angan ini ke depannya. Tapi,
sekadar kemajuan teknologi belum cukup mengingat ada yang lebih penting,
yakni faktor manusianya, sang aktivis pers mahasiswa. Kemajuan teknologi tidak
akan berarti bila kemauan dan komitme sang aktivis ini tidak ada. Sebuah
tantangan bagi aktivis pers mahasiswa memperlihatkan kerja altruismenya.
Kondisi tidak acuhnya kebanyakan mahasiswadan memilih sibuk
kuliah dan kuliahmenjadi pembeda eksistensi dan investasi karakter aktivis pers
mahasiswa. Semoga mereka masih dan terus merawat kepedulian itu. Sungguh
sayang, bila kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan keterlibatan
aktivis pers mahasiswa, malah diabaikan lantaran pudarnya kepedulian. Padahal,
pudarnya kepedulian hanya akan memelihara duplikasi kekerasan di Aceh
berlaku di daerah lain dan pada waktu akan datang. Sebuah drama-drama
kekerasan kepada rakyat tidak berdosa yang dibenamkan dalam pembiaran. []

101
Saat Mahasiswa Memprasangkai Media

Ada kabar memalukan sepanjang 2005. Tawuran mahasiswa saban


bulan mudah didapati di pemberitaan media massa. Tawuran itu bisa berbeda
kampus, tapi tidak jarang justru satu kampus.
Tentu memprihatinkan adanya peristiwa tawuran demi tawuran itu.
Bukan hanya karena persoalan yang melatari tawuran itu sederhana dan sepele,
namun kapasitas pelakunya dari kalangan terpelajar.
Meningkatnya intensitas tawuran mahasiswa sebenarnya harus segera
diantisipasi bila tidak ingin menjalar ke kota-kota lain. Tawuran yang pada
umumnya terjadi di kota besar, seperti Jakarta, lewat pemberitaan meluas oleh
media massa, bukan tidak mungkin mendorong peristiwa serupa di daerah atau
kota-kota yang selama ini potensi konflik sosialnya tinggi.
Mudah tersulutnya emosi mahasiswa, sehingga masalah sepele pun
harus diselesaikan dengan kekerasan, bisa menjadi bahan kajian psikologi-sosial;
apakah tawuran dipengaruhi faktor situasional, seperti rendahnya penegakan
hukum di masyarakat, atau kesadaran menegakkan supremasi hukum oleh
mahasiswanya sendiri memang rendah.
Munculnya tawuran mahasiswa menjadi parameter yang tengah terjadi
di masyarakat. Jika mahasiswa yang diidealkan berposisi sebagai pendorong
perubahan sosial saja mencontohkan penggunaan kekerasan, bisa dibayangkan
yang tengah terjadi di masyarakat.
Apakah ini berkaitan dengan akumulasi kekecewaan, dan lebih jauh
sebagai bentuk pelarian, mahasiswa kepada para pemegang kekuasaan?
Penyelewengan kekuasaan sedemikian transparan sehingga mahasiswa
kebingungan harus berbuat apa? Perlu segera dicari jawaban, apakah ada benang
merah antara tawuran mahasiswa dan praktik penyelewengan kekuasaan.
Yang luput dibicarakan, dalam peristiwa tawuran antarmahasiswa
biasanya kehadiran media massa (baik cetak, elektronik, maupun digital) tidak
diinginkan. Mahasiswa secara sengaja menolak kehadiran media dalam
pemberitaan tawuran. Mengapa mahasiswa yang dikenal bersahabat dengan
media justru cemas dengan adanya peliputan? Di mana letak kesamaan idealisme
dalam menuntut kebebasan bila mahasiswa mulai membatasi wilayah kerja
media?

102
Mencurigai Kawan Lama
Media massa dan mahasiswa sering dikatakan sebagai kawan
seperjuangan menghadapi represivitas kekuasaan. Khusus pada masa Orde Baru,
meskipun sebagai institusi ditekan dan dikontrol sehingga lebih sebagai minoritas,
aktivis mahasiswa bersama pegiat media (cetak khususnya) secara konsisten
meneriakkan kebebasan dan demokratisasi. Di kampus-kampus keduanya
membentuk aliansi melawan pengaruh kekuasaan Orde Baru. Hingga pada
pengujung kekuasaan Orde Baru, yang ditandai mundurnya Presiden Suharto,
tidak bisa dilepaskan dari kontribusi media.
Jika dalam suasana kerepresifan penguasa, media dan mahasiswa
saling bekerja sama, mengapa tatkala kerepresifan itu melonggar, media justru
ditolak kehadirannya oleh mahasiswa? Tentu mahasiswa belum lupa bahwa
peranan media di antaranya adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
Apakah masyarakat tidak boleh tahu bagaimana kehidupan mahasiswa saat ini?
Selain itu, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, terwujudnya supremasi
hukum, dan Hak Asasi Manusia (sebagaimana diatur dalam UU Pers), merupakan
peran yang dijalani media.
Alih-alih membiarkan mahasiswa berpuas dalam status kehebatannya,
penolakan kehadiran media bisa menjadi refleksi agar mahasiswa tidak terlena
dengan mitos pahlawan reformasi. Hal serupa perlu diantisipasi pada media,
yang sering menisbatkan dirinya sebagai pilar keempat demokrasi dan pemenuh
hak tahu masyarakat.
Setidaknya ada tujuh hal yang bisa direfleksikan dari insiden
kerenggangan ini; refleksi yang berlaku tidak hanya untuk mahasiswa, namun
juga pemilik dan insan media.
Pertama, penolakan yang disertai ancaman pada media mencerminkan
watak kekerasan mahasiswa. Ini berarti kekerasan bukan lagi monopoli aparat
negara. Memang dalam tawuran itu penolakan mahasiswa baru sebatas tidak
diizinkannya media masuk ke kampus untuk meliput. Akan tetapi, apakah
seandainya media tetap bersikukuh untuk mengetahui lebih dalam peristiwa
tawuran, dengan bersikeras masuk ke kampus, mahasiswa tidak akan bertindak?
Dengan mengklaim kampus sebagai wilayahnya, apakah mahasiswa berhak
melarang media agar tidak masuk kampus? Bukankah logika ini pernah dipakai
aparat negara pada masa Orde Baru?
103
Karena menutupi akses media, mahasiswa seperti hendak
membenarkan adanya kekerasan itu. Sederhananya, kalau memang tidak terjadi
kekerasan mengapa harus ditutup-tutupi?
Kedua, perjuangan anti kekerasan yang didengung-dengungkan
mahasiswa akan menemui kontradiksi. Mahasiswa, dalam hal ini, tidak konsisten
menjaga antara ucapan dan tindakan. Akibatnya, masyarakat memberikan
penilaian sendiri pada perjuangan mahasiswa.
Agar perilaku buruknya tidak diketahui masyarakat, benarkah tindakan
mahasiswa menutupi akses media? Suatu tindakan naf, demi masyarakat tidak
tahu tentang tawuran itu, mahasiswa menutupi akses media. Secara tidak
langsung mahasiswa justru mengomunikasikan bahwa dirinya berposisi lemah.
Bukankah ini yang di era Orde Baru amat ingin diubah? Kebebasan yang dikekang
penguasa hakikatnya menandai lemahnya kekuasaan itu sendiri.
Ketiga, ketidakkonsistenan itu tidak lain bagian dari disonansi kognitif
yang menimpa mahasiswa (pelaku tawuran). Mereka yang tidak mengikuti
perjuangan reformasi hanya menerima atribut kepahlawanan mahasiswa.
Di saat yang sama, mereka dituntut untuk bersikap: menentukan
pilihan terhadap permasalahan yang tengah mereka hadapi. Ternyata
permasalahan yang dihadapi hanyalah berkisar pada dunia pergaulan; sama sekali
tidak menyentuh dimensi sosial kemasyarakatan atau bangsa. Mereka tidak
merasa berkurang atribut kepahlawanannya meskipun tawuran jelas-jelas
bukanlah sikap seorang reformis. Mereka tidak merasa bersalah dengan
memasung media yang sejatinya ini membatasi sekaligus hak tahu masyarakat.
Keempat, justru karena ulah beberapa mahasiswa, nama baik
mahasiswa tercoreng. Selain berdampak pada masyarakat umum, tawuran
menjadi amunisi para politisi. Apa lagi yang bisa ditegakkan mahasiswa di depan
para politisi, bila mereka sendiri berpolah ala politisi?
Dengan tawuran, mahasiswa disibukkan oleh agenda internal, dan
justru melupakan agenda besar. Ketika mengritik politisi, kredibilitas telanjur
mahasiswa menurun dibandingkan ketika tidak adanya tawuran itu. Sehingga,
akibat ulah beberapa mahasiswa, nama baik dan perjuangan mahasiswa secara
umum bisa tercemari.
Untuk itulah, dibutuhkan peran serta media. Media perlu
menjernihkan mana mahasiswa yang kriminalis, mana mahasiswa yang masih
konsisten memperjuangkan agenda-agenda reformasi. Perlu ada kebesaran jiwa
104
dari kalangan media untuk tidak memukul rata semua mahasiswa, dan membesar-
besarkan tawuran kaum muda terpelajar sebagai mode pengambilan keputusan
ala mahasiswa Indonesia saat ini.
Kelima, penolakan kehadiran media bagaimanapun bisa menjadi alat
mengader. Jika dibiarkan, apa yang terjadi saat ini dapat berulang di masa
mendatang. Media disepelekan. Pendidikan buruk, mahasiswa senior memberikan
contoh pada para junior bagaimana menghindarkan dari pemberitaan buruk;
bukannya menghilangkan tindakan itu agar keburukan tidak diberitakan. Secara
tersirat, sepertinya bila ada pemberitaan negatif tentang mahasiswa, bukan
mahasiswa yang bersalah, tapi medialah yang bersalah. Akan seperti apa negara
kita bila karakter ini terbawa pada saat mereka memegang kekuasaan?
Keenam, apakah penolakan kehadiran media itu menandai
ketidakharmonisan keduanya? Memang masih dini untuk menyimpulkan hal ini.
Meskipun dari hubungan yang ada bisa disimpulkan baru sebatas keterputusan
komunikasi. Setelah masing-masing menemukan kebebasan, saat itu pula
keduanya tersibukkan dengan agenda masing- masing.
Keterputusan komunikasi itu disebabkan keterputusan pengaderan.
Dunia media menjadi salah satu jembatan idealisme mahasiswa setelah
berkuliah. Banyak pekerja media merupakan alumnus aktivis mahasiswa sehingga
mereka tetap menjalin komunikasi dengan sesama mahasiswa. Memasok
informasi kepada mahasiswa merupakan aktivitas ekstra pekerja media ketika
penguasa Orde Baru membatasi informasi. Inilah yang kemudian mendorong
inisiatif perubahan di tanah air.
Mengapa saat ini komunikasi itu seakan terputus? Sepertinya tidak ada
perasaan bersalah dari mahasiswa ketika media dibatasi geraknya. Tentunya
kesalahan ini tidak sepenuhnya hanya ditimpakan pada mahasiswa.
Ketujuh, terlepas dari ketidakinginan mahasiswa diliput, perlu dilihat
profesionalisme yang diterapkan perusahaan media. Mekanisme kerja yang
berorientasi pada modal dapat dilihat sebagai salah satu faktor pemutus hubungan
itu. Pekerja media hanya bertugas mencari peristiwa. Pola mekanik-linier ini
menjauhkan media dari mahasiswa. Media seolah lupa bagaimana seharusnya
mengarifi situasi. Namun, bukannya mengarifi situasi, media malah percaya diri
dengan ideologi barunya: ideologi pasar. Dus, mahasiswa dibiarkan terluput
dalam pemberitaan.

105
Maka, resistensi mahasiswa untuk tidak diberitakan bisa dipandang
sebagai bentuk perlawanan pada media itu sendiri. Sebab, media dipandang telah
melenceng dari idealismenya. Media hanya memberitakan peristiwa-peristiwa
yang mengundang emosi pembaca. Ketika mahasiswa melakukan perjuangan
melawan kekuasaan, media justru tergagap takut memberitakannya. Singkatnya,
cara pandang mahasiswa ini belum disadari media. Media masih percaya diri
sebagai pilar demokrasi di mata mahasiswa; padahal, mahasiswa memandang
media sebagai agen status quo.

Kawan Abadi?
Pernyataan bahwa media rekan seperjuangan mahasiswa
mengandaikan adanya keterbukaan, kedalaman, dan saling memercayai.
Singkatnya, hubungannya begitu dekat, akrab. Adanya pergeseran hubungan,
tentu menandai adanya pola komunikasi yang berbeda pula. Mengikuti
pembagian Charles Horton Cooley (1909), kedekatan mahasiwa dan media
merupakan kelompok primer.
Di mana kedekatan itu; di mana komunikasi yang personal dan
mendalam itu? Hasil pergeseran, sebagaimana ditunjukkan dengan penolakan
kehadiran media, justru menandai pola komunikasi yang terbangun adalah
komunikasi sekunder. Bukankah komunikasi dalam hubungan mahasiswa dan
media bersifat dangkal dan terbatas pada hal-hal tertentu? Komunikasi yang
terjalin juga lebih melihat apakah dia alih-alih siapa dia; aspek isi lebih
ditekankan daripada hubungan interpersonal; hubungan mahasiswa dan media
terlihat instrumental dan formal (Rakhmat, 2003:142-143).
Jadi, benarkah mahasiswa kawan berjuang sejati media? Untuk
peristiwa tawuran mahasiswa, penolakan kehadiran media menunjukkan
bagaimana kualitas hubungan keduanya. Perlu bukti lebih jauh bahwa media
adalah rekan seperjuangan abadi mahasiswa. Daripada memitoskan, jangan-
jangan sebetulnya yang wajar disikapi adalah kebenaran adagium politik ini: tidak
ada kawan atau musuh abadi; yang ada hanyalah kepentingan abadi. []

106
Karya Tulis Intelektual Muda Belum Menonjol?

Mengapa karya penulis ataupun intelektual muda belum menonjol?


Untuk memperoleh jawabannya, biasanya tertuju pada tiga pihak: penulis,
penerbit, dan pembaca. Penulis muda dipandang belum melahirkan karya yang
monumental, selain mengulang apa yang pernah diulas penulis senior. Penerbit
masih perlu banyak berpikir untuk menerbitkan karya penulis muda yang
namanya belum populer di publik. Bagi penerbit, perhitungan bisnis lebih
penting. Di lain pihak, masyarakat kita masih belum masuk kategori masyarakat
pembaca. Tradisi membaca masih rendah; terlebih lagi untuk membaca karya
serius.
Geliat perbukuan kian terasa sejak Reformasi 1998 bergulir. Ibarat
bayi, dalam usia berlatih berjalan, tidak realistis bila persoalan belum
menonjolnya karya penulis muda hanya dilihat dari tiga pihak tersebut. Dalam hal
ini perlu dilihat adanya dominasi hegemoni negara yang berlangsung selama tiga
dasawarsa lebih, yakni pada Orde Baru. Wacana di publik dikontrol ketat alat
negara sehingga tidak ada ruang artikulasi bagi penulis/intelektual muda. Setelah
pengontrolan berakhir, lima tahun bukanlah waktu yang tepat untuk
menyimpulkan karya mereka belum menonjol.
Walaupun demikian, adanya pendisiplinan wacana oleh negara tidak
berarti mematikan potensi mereka; salah satunya, meski dalam wilayah terbatas,
ide-ide kaum muda itu dituangkan dalam kolom di media massa, dan dipelihara
dalam kelompok diskusi. Tatkala kran kebebasan dibuka, talenta muda itu
bermunculan. Meskipun mengalami pendisiplinan, terbukti mereka langsung
mengaktualisasikan potensinya. Eko Prasetyo, Nur Kholik Ridwan, Muhidin
Dahlan adalah contoh penulis muda yang mampu mengorbit dalam aras
intelektualisasi melalui buku.
Pertanyaan mendasar setelah keterbukaan itu adalah seberapa jauh
mereka mampu menghasilkan pemikiran atau refleksi yang orisinil, bukan sekadar
epigon dari intelektual seniornya? Dan seberapa tinggi komitmen penerbit dalam
mencagarbudayakan mereka? Dalam hal ini memang belum banyak penerbit
yang mau beridealisme.
Syukurlah, sebagian penerbit mapan mau peduli. Mizan
mengawalinya, khususnya melalui lini usaha Teraju. Tantangannya, bagaimana

107
tema berjenis daras mampu mengikuti genre penulis-muda sastra yang telah lebih
dulu sukses? Semoga bukan karena masyarakat memaknai sastra itu hiburan,
sedangkan tema intelektual itu serius. []

108
Teknologi Informasi bagi Aktivis Gerakan

Medium is messages. Ungkapan populer Marshall McLuhan ini tepat


untuk menjelaskan makna pemakaian temuan-temuan baru dalam bidang
teknologi informasi (TI). TI tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi atau
penunjang aktivitas keseharian, namun juga sudah menjadi gaya hidup tersendiri.
Pemakai telepon genggam keluaran terbaru, misalnya, dalam hal ini bukan
semata berdasar pada karena membutuhkan, namun juga gengsi demi mengikuti
perkembangan teknologi. Pada akhirnya, mengikuti tren teknologi memang tipis
perbedaannya dengan hasrat memenuhi gaya hidup.
Ketika produsen TI bergiat mengeluarkan produk terbaru dengan
menjajakan banyak inovasi, apakah ini berarti berbanding lurus dengan tingkatan
pengoptimalan pemakai TI? Tulisan ini membahas bagaimana kemajuan TI pada
satu sisi, dan pemanfaatannya oleh gerakan mahasiswa pada sisi yang lain.
Apakah kemajuan TI fungsional menunjang aktivitas-aktivitas yang dilakukan
gerakan mahasiswa?
Pembahasan arti penting TI bagi gerakan mahasiswa belum begitu
banyak dilakukan. Padahal, manfaat TI bagi demokratisasi sendiri sebenarnya
bukan tema baru. Kevin Hewison (dalam Robinson dan Goodman, 1996: 137)
memberikan contoh pada gerakan kelas menengah di Thailand yang berhasil
memaksa turun Jenderal Suchinda dari kursi kepresidenan pada 1992, salah
satunya dengan memanfaatkan telepon genggam. Di negara kita sendiri
sebenarnya telah ada bukti relasi positif antara kemajuan TI bagi pencapaian
demokratisasi. Sebagai contoh, komputerisasi di instansi-instansi daerah seiring
pelaksanaan otonomi daerah, terlepas dalam pelaksanaannya masih banyak
dijumpai kekurangan.
Kembali ke arti penting TI bagi gerakan mahasiswa, yang selama ini
bisa dikatakan lekat dengan aktivitas mewujudkan demokratisasi ternyata dalam
praktiknya masih berjarak dengan temuan terbaru TI. Dalam pengamatan yang
saya lakukan ternyata ditemukan fakta bahwa aktivis gerakan mahasiswa tidak
begitu memprioritaskan persoalan TI sebagai agenda khusus. Tentu saja bukan
berarti TI dijadikan isu baru atau garapan kerja aktivis mahasiswa. Yang saya
maksudkan adalah mengurangi kesenjangan antara ke-TI-an yang sedemikian
dinamis dengan dunia gerakan yang mahasiswa yang kerap hadirkan

109
ketradisionalan manajemen. Padahal, dengan memanfaatkan TI, hal-hal yang
mendasar tapi abai diperhatikan bisa dibenahi. Perapian administrasi dan arsip
gerakan, misalnya. Dengan demikian, TI dipakai bukan hanya untuk kepuasan
individu aktivis.

Dekonstruksi Nilai
Saya sering melihat banyak aktivis pergerakan kurang melek teknologi.
Bukan berarti seorang aktivis diharuskan mengerti hingga tingkat operasionalnya;
bukan pula seorang aktivis diharuskan mengikuti perkembangan terbaru melalui
media tren teknologi. Aktivitas yang terakhir disebut apabila dipraktikkan justru
mengurangi kewajiban mereka mengonsumsi rubrik-rubrik politik yang memang
dunianya. Yang dikehendaki adalah terbukanya wawasan aktivis mahasiswa
tentang pentingnya pengaplikasian TI bagi organisasi kemudian menerapkannya
langsung. Bagaimana mengoperasionalkannya, tidak harus setiap aktivis terlibat.
Kalau boleh disebut sebagai kewajiban, kewajiban meng-up date
perkembangan TI cukuplah pada beberapa orang untuk menekuninya. Yang jelas,
bukan menginginkan semua aktivis menjadi pakar TI; yang diinginkan adalah
bagaimana sebuah gerakan sudah menerapkan produk TI. Dalam kaitan ini, pen-
TI-an gerakan mahasiswa menjadi kebijakan organisasi, dan bukannya inisiatif per
individu lagi. Sejauh ini, inisiatif individuallah yang lebih banyak mendominasi
pemanfaatan TI untuk organisasinya.
Sejujurnya saya prihatin terhadap respons aktivis gerakan mahasiswa
dalam per-TI-an. Padahal, sebagai mahasiswa biasa (jika atribut aktivisnya
dilepas), mereka sebetulnya telah memanfaatkan TI. Telepon genggam atau laptop
mereka miliki. Akan tetapi, pemakaiannya sendiri lebih banyak sebagai barang
apolitis! Padahal, sebagai aktivis seharusnya ada kesadaran untuk
mengomodifikasi TI ini. Inilah relevannya ungkapan McLuhan di awal tulisan ini.
Sebuah telepon genggam keluaran terbaru dari produsen ternama dari luar negeri
misalnya, tidak semata seonggok barang yang nirpesan. Ia hadir sebagai sebuah
ikon yang mengafirmasi suatu tanda, yakni gaya hidup kelas. Di sinilah terjadi
kesenjangan antara apresiasi aktivis gerakan mahasiswa pada TI dengan realitas
yang melekat pada produk TI tersebut.
Di sinilah semestinya aktivis mahasiswa melakukan transformasi
teknologi sekaligus mendekonstruksi nilai tersebut. Temuan terbaru TI semestinya

110
tidak lagi dipandang bebas-nilai. Bukan masanya lagi mengapriorikan kenyataan
adanya gaya hidup dalam muatan produk TI. Maka, alih-alih turut menikmati
disadari ataupun tidaknilai yang termuat pada produk TI ini, mereka semestinya
merumuskan nilai-tandingan. Dalam hal ini gaya hidup diganti kesadaran politis.
Jadi, kewajiban utama aktivis gerakan mahasiswa dalam penerapan TI adalah
memasukkan nilai (baru), atau dengan ungkapan lain melakukan ideologisasi TI
sehingga TI bukan lagi seonggok produk canggih tanpa-nilai.
Paradigma inilah yang perlu dimiliki aktivis gerakan mahasiswa ke
depannya. Kendala mewujudkan demokratisasi akan selalu terkait dengan
persoalan komunikasi, yang sebenarnya terbantu oleh produk TI. Adanya represi
alat negara terhadap gerakan mahasiswa misalnya, semestinya tidak disikapi
secara naif dengan berkeluh kesah. Ketika berhadapan dengan ketatnya sensor
aparat negara, konsolidasi antargerakan atau gerakan mahasiswa dengan kekuatan
prodemokrasi lainnya masih sangat terbuka menyiasatinya dengan memanfaatkan
TI. Aktivis gerakan mahasiswa bisa belajar dari Tempo; ketika pemerintah
melarang terbit, Tempo masih tetap terbit membuat berita dengan
memanfaatkan dunia maya. []

111
Epilog

112
Senja Kala Gerakan di Era Transisi Rezim

Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Amien Rais, menilai


gerakan mahasiswa pascakejatuhan rezim Suharto telah mengalami perubahan
besar, perubahan yang justru tidak menuju ke arah yang baik. Gerakan mahasiswa
kini seolah-olah mati suri. Aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan dalam menyikapi
kebijakan pemerintah tak lagi banyak digelar (Kompas, 19 Desember 2005).
Sebagai salah satu tokoh yang terlibat langsung dalam proses
Reformasi 1998, bisa dimengerti bila Amien gelisah dengan perkembangan
gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Kegelisahan atas menurunnya aktivisme
gerakan mahasiswa dirasakan bukan hanya oleh tokoh-tokoh seperti Amien Rais
atau para aktivis yang pernah terlibat langsung dalam menurunkan rezim Suharto,
tetapi juga oleh para aktivis gerakan mahasiswa yang masih terlibat aktif
berorganisasi. Artinya, selain pihak luar, aktivis gerakan mahasiswa sendiri turut
merasakan adanya penurunan elan vital aktivismenya.
Indikator yang digunakan Amien Rais untuk menyimpulkan bahwa
gerakan mahasiswa seolah-olah mati suri memang tertuju pada kuantitas aksi
gerakan mahasiswa yang makin menurun pada era Reformasi. Tidak hanya
kuantitas, kualitas dari aksi- aksi yang digelar gerakan mahasiswa pun perlu
dicermati. Sebab, bila indikator untuk menilai aktivisme gerakan mahasiswa
hanya terkonsentrasi pada kuantitas demonstrasi yang dilakukan dalam sebuah
periode tertentu, realitas yang ada dalam dinamika gerakan mahasiswa tidak akan
tertangkap seluruhnya. Konkretnya, ukuran banyaknya aksi bisa jadi bukan
menggambarkan realitas sesungguhnya dari dinamika gerakan mahasiswa. Di era
yang relatif semakin terbuka untuk menyuarakan pendapatnya, mengukur kondisi
gerakan mahasiswa hanya pada kuantitas aksi demonstrasi bisa menghasilkan
kesimpulan yang bias.
Karena itu, upaya pertama yang perlu dilakukan untuk menjawab
mengapa menurun aktivisme gerakan mahasiswa pascajatuhnya rezim Suharto
adalah dengan mengetahui kualitas demonstrasi yang mereka lakukan. Bahwa
kuantitas demonstrasi memegang arti penting sebagai penanda kepekaan gerakan
mahasiswa terhadap kebijakan atau isu tertentu, hal ini memang tidak bisa
dipungkiri. Namun, sekali lagi, pada era yang relatif terbuka untuk

113
mengemukakan pendapat, indikator ini belum sepenuhnya bisa menggambarkan
realitas sebenarnya yang memiliki kaitan dengan pertanyaan di atas.

Menuju Senja Kala


Beberapa kawan demonstran mengakui bahwa kualitas aksi yang
mereka lakukan kini kehilangan semangat reformasi secara eksponensial. Secara
perlahan, aksi-aksi demonstrasi lebih berkedudukan sebagai rutinitas, namun
tanpa disertai apresiasi memadai dari para demonstrannya. Aki-aksi demonstrasi
lebih berfungsi sebagai formalitas mahasiswa beraktivitas, dalam arti sebagai
konfirmasi bahwa gerakan mahasiswa yang melakukannya tidak ingin dianggap
tidak peduli terhadap sebuah isu atau kebijakan pemerintah. Aksi-aksi gerakan
mahasiswa semakin kehilangan roh revolusinya, kebingungan dalam menentukan
orientasi. Aksi-aksi demonstrasi gerakan mahasiswa kemudian terdiaspora
mengikuti pola tertentupola yang kadang bercorak ideologis murni, kadang juga
kesamaan politik praktis dengan kekuasaan.
Demonstrasi bisa dikatakan mengalami perwajahan baru dibandingkan
periode sebelumnya. Demonstrasi bisa diterima kalangan luas sebagai sebuah
bentuk hak warga dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Namun, seiring
pengetahuan masyarakat (termasuk mahasiswa) terhadap eksistensi, fungsi, dan
bentuk demonstrasi mahasiswa, saat yang sama masyarakat mengapriorikan
demonstrasi tersebut. Demonstrasi kehilangan dukungan bukan karena eksistensi,
fungsi, dan bentuknya bertentangan dengan kehendak masyarakat, melainkan
karena demonstrasi telah mengalami titik jenuh! Setiap anggota di dalam
masyarakat kini bisa berhimpun lalu berdemonstrasi, ada atau tanpa kehadiran
aktivis (gerakan) mahasiswa. Demonstrasi pada era transisi rezim mengalami
pengklimaksan secara jumlah. Demonstrasi makin membiak, tidak lagi eksklusif
sebagai lahan kerja gerakan mahasiswa.
Karena adanya desentralisasi inisiatif aktor-aktor demonstrasi inilah
beberapa pihaktermasuk Amien Raismelihat kuantitas demonstrasi gerakan
mahasiswa pascakejatuhan rezim Suharto menurun. Yang terjadi sebenarnya
bukan penurunan, tetapi pembiakan. Kalangan aktivis mahasiswa menjadi aktor
demonstrasi, baik sebagai subjek aktif ataupun subjek pasif, tidak harus lewat
gerakan mahasiswa atau organisasi kampus, namun juga melalui organisasi massa
atau organisasi aksi yang hanya berdurasi pendek usianya. Justru dengan adanya
pembiakan atau peragaman wadah aksi aktivis mahasiswa inilah muncul
114
pertanyaan refleksif: mengapa mereka tidak menggunakan hanya gerakan
mahasiswa; apakah gerakan mahasiswa tidak lagi dijadikan sebagai wadah
tunggal adalah karena untuk meragamkan wadah aksi ataukah karena gerakan
mahasiswa telah kehilangan daya dobraknya (sehingga perlu wadah baru).
Selain kehilangan dukungan publik, titik jenuh demonstrasi kemudian
berkembang menuju apa yang disebut sebagai ketidakefektifan berdemonstrasi.
Berdasarkan rumusan Horton dan Hunt (dalam Satrio Arismunandar, 2005: 59)
mengenai tahapan gerakan sosial, ketidakefektifan berdemonstrasi gerakan
mahasiswa termasuk dalam tahap pembubaran (disolusi).
Pernyataan kritis hingga yang berbau gugatan sebenarnya sudah mulai
terlontar terhadap kedudukan demonstrasi sebagai media efektif dalam
memengaruhi opini publik. Belum berulangnya kembali sinergi solid antara
mahasiswa dan rakyat, sebagaimana terjadi menjelang jatuhnya Suharto, sering
kali dikaitkan dengan adanya fragmentasi gerakan mahasiswa, terutama akibat
adanya diaspora dukungan politik dengan kekuasaan. Penyimpulan seperti ini
memang mengandung unsur kebenaran, akan tetapi belum presisi dalam
menjawab pertanyaan mengapa masyarakat di era transisi rezim ini belum ingin
bersatu dengan mahasiswa meski telah muncul isu-isu yang bersentuhan langsung
dengan kepentingan masyarakat (kenaikan harga BBM, misalnya). Jawaban lain
yang perlu dimajukan berkaitan dengan hal ini adalah bahwa demonstrasi
gerakan mahasiswa sendiri tengah berkembang menuju ke arah senja kala,
kematian!
Senja kala dimaknai bukan dalam pengertian demonstrasi gerakan
mahasiswa sudah tidak ada lagi atau mati, vakum, dalam pengertian ruang dan
waktu. Senja kala demonstrasi di sini adalah sebuah perkembangan saat
demonstrasi menuju: kondisi realitas baru; diskontinuitas historis; titik ekstrem;
dan lenyapnya batas-batas.
Berdasarkan penggunaannya di berbagai bidang, pengertian
kematian menurut Yasraf A.Pilliang dalam pengantar terjemahan buku John
Horgan, The End of Science (2005: viii-xvii) mengandung pluralitas makna. Yasraf
mendefinisikan meninggalkan kondisi realitas sebagai ditinggalkannya sebuah
prinsip, kondisi, realitas untuk beralih pada prinsip, kondisi, atau realitas lain.
Sedangkan diskontinuitas historis berarti kematian sebagai proses
keterputusan atau diskontinuitas dari sebuah kondisi, peristiwa, atau entitas

115
sebelumnya. Sesuatu tidak melanjutkan sesuatu (continuity) secara historis,
melainkan memutuskan diri darinya, melalui proses diskontinuitas, dalam rangka
mengawali sebuah perawalan baru. Titik ekstrem berarti kondisi sesuatu yang
bergerak melampaui batas-batas alamiahnya untuk memasuki pelbagai bentuk
yang ekstrem. Dan lenyapnya batas-batas berarti lenyapnya berbagai batas yang
membangun dunia hingga di dalamnya berlangsung berbagai proses
percampuran, peleburan, persilangan, amalgamisasi, dan percampuradukan yang
sangat kompleks.
Merujuk pengertian di atas maka demonstrasi gerakan mahasiswa
dikatakan telah mati, dalam arti meninggalkan kondisi realitas, adalah karena
fungsi dan peranan demonstrasi gerakan mahasiswa kehilangan elan vitalnya.
Demonstrasi gerakan mahasiswa telah menjadi rutinitas sematarutinitas banal
yang kehilangan tujuan transendensi gerakannya.
Dalam pengertian yang lain, beragamnya aksi-aksi yang dilakukan
anggota masyarakat berandil mematikan eksistensi demonstrasi gerakan
mahasiswa. Sebaliknya, secara dialektis, demonstrasi gerakan mahasiswa tidak
berandil untuk menghidupkan elan vital aksi-aksi yang langsung diinisiatifi
warga bukan-mahasiswa. Ketidaksinkronan inisiatif gerakan protes dari kedua
belah pihak inilah yang pada akhirnya mematikan elan vital kekuatan sipil
masing-masing pihak.
Era keterbukaan berekspresi di masa reformasi kini mendorong
berlangsungnya otonomi berdemonstrasi. Mahasiswa bukan lagi aktor utama yang
selalu dinantikan kehadirannya dalam melakukan pendampingan masyarakat.
Saat yang sama, warga bukan-mahasiswa sendiri juga telah dijauhkan sebagai
aktor penting perubahan dalam aksi-aksi gerakan mahasiswa. Saling
mengotonomkan eksistensi inilah yang menyebabkan demonstrasi di era
reformasi, khususnya dua-tiga tahun terakhir ini, tidak begitu bertaji di depan
kekuasaan. Jangankan konsolidasi antara mahasiswa dan masyarakat biasa,
antargerakan mahasiswa sendiri terpecah.
Kondisi di atas memengaruhi penentuan strategi berdemonstrasi pada
era transisi rezim saat ini. Alih-alih melanjutkan atau memodifikasi strategi yang
dilakukan gerakan mahasiswa periode sebelumnya, strategi yang ditempuh
gerakan mahasiswa periode saat ini praktis mengawali dari nol. Yang dipersoalkan
bukan terletak pada titik awalnya, melainkan antargenerasi gerakan mahasiswa

116
ternyata tidak berlangsung transfer gagasan secara baik. Akibat tidak adanya
transfer secara baik ini, transformasi gerakan mahasiswa senantiasa mengalami
kendala.
Yang paling mudah diamati adalah gerakan mahasiswa kerap gagal
membaca situasi sosial yang dihadapinya. Seolah yang ditemuinya ini masih
persis sebagaimana dialami seniornya. Solusinya yang ditempuhnya pun
mengadopsi aktivisme seniornya. Tatkala ada kesadaran untuk mengubah strategi,
mereka mengawali dari kondisi awal sama sekali. Dengan seringnya terjadi
pemutusan kesejarahan ini, gerakan mahasiswa sering terlambat dibandingkan
dengan dinamika yang ada di tengah lingkungan sosial mereka. Dinamika sosial
ini mengalahkan respons gerakan mahasiswa sehingga menyebabkan aktivisme
gerakan mahasiswa secara eksponensial menuju kematian.
Kematian yang bermakna diskontinu historis juga termuat dalam
pretensi gerakan mahasiswa dalam berdemonstrasi. Bila semula aktivisme gerakan
mahasiswa seperti berdemonstrasi lebih banyak atmosfer ketransendensiannya
(misalnya tercermin dalam jargon demonstrasi sebagai politik tinggi; cara
membela rakyat tertindas) maka kini aktivisme yang sama lebih memperlihatkan
wajah materialismenya, keimanenannya. Muncullah di era transisi rezim sekarang
ini demonstrasi (gerakan) mahasiswa yang tidak lagi murni mengusung politik
adiluhung dalam politik moral. Mereka menjadi massa bayaran dari kekuatan
politik tertentu, misalnya.
Masalah ini sebetulnya telah ada terutama sejak gerakan mahasiswa
menjadi kekuatan riil sebagai gerakan massa, yakni sejak 1966. Simbiosis antara
mahasiswa dengan kekuatan eksternal (terutama militer dan politisi) bukan isapan
jempol, terlepas pelbagai motif yang melatari pembentukannya. Dengan
demikian, di dalam setiap generasi gerakan mahasiswa akan dijumpai
persimbiosisan ini, tentunya dengan kadar yang berbeda-beda sesuai situasi
sosial-politik yang melingkupinya.
Namun berbeda dengan era sebelumnya, pada era keterbukaan saat ini
persimbiosisan itu memiliki kecenderungan makin membiak, baik jumlah, modus,
maupun cara melakukannya. Persimbiosisan tidak lagi dilakukan secara
tersembunyi, tetapi terang-terangan bahkan dengan klaim kebebasan atau
demokratisasi itu sendiri. Fenomena seperti ini bisa dilihat saat pencalonan aktivis
gerakan mahasiswa oleh salah Partai Golkar. Yang relevan dengan tulisan ini
bukan pencalonan mereka, melainkan fakta bahwa para aktivis itu sebelumnya
117
dikenal publik sebagai pengecam terdepan partai yang kemudian
mencalonkannya itu. Transparansi politik dengan demikian menciptakan wajah-
wajah telanjang yang bisa mengklaim atas nama memajukan demokrasi meskipun
dilakukannya dengan menelikung moral politiknya.
Penelikungan kredo gerakan, sebagaimana yang pernah diteriakkan di
jalanan, itulah yang kemudian melintasi batas mana yang boleh dan mana yang
terlarang dalam sebuah demonstrasi gerakan mahasiswa. Batas-batas antara boleh
dan tidak, melanggar hukum atau tidak, tulus atau dibayar, menjadi kabur.
Demonstrasi bayaran oleh beberapa gerakan mahasiswa dalam konteks ini bisa
ditempatkan sebagai lenyapnya batas-batas identitas gerakan mahasiswa yang
mengusung politik moral. Saat bersamaan, era senja kala menjadi pintu niscaya
dari gerakan mahasiswa. Perilaku demonstran gerakan mahasiswa mengalami titik
ekstrem, titik yang memperlihatkan pembanalan dan pengimanenan misi
demonstrasi.
Demonstrasi justru dimaknai sebagai ekstase menghibur. Menghibur
dari cercaan sebagai gerakan yang tidak peduli; menghibur dari ketiadaan
pemasukan dana bila berdiam diri dari merespons isu atau kebijakan pemerintah;
menghibur bagi para demonstrannya dari kepenatan tugas belajar di kampus.
Meskipun demonstrasi masih marak, namun demonstrasi yang dilangsungkan
lebih mengarah kepada ajang penghiburan. Sementara kualitas demonstrasi bagi
perubahan sosial sesungguhnya sendiri terabaikan. Tidak mengherankan bila
esensi berdemonstrasi kemudian dikalahkan eksistensi (citra) berdemonstrasi.
Demonstrasi yang timbul di era transisi rezim sekarang ini timbul atau
dilangsungkan bukan karena kesadaran untuk terjadinya perubahan, melainkan
didasarkan karena mengikuti tren yang ada, tren berdemokrasi di era kebebasan
berekspresi.

Ruang Publik Politis


Protes yang disampaikan dalam bentuk demonstrasi, menurut Ariel
Heryanto, pada dasarnya adalah sebuah pemberontakan bukan melulu terhadap
sebuah pokok masalah atau peristiwa. Juga, dan ini yang lebih penting,
pemberontakan terhadap berbagai cara atau bentuk komunikasi yang lain yang
telah dikenal umum dan diresmikan sebagai yang lebih pantas, absah, terhormat
atau santun. Protes-demonstrasi bukanlah sekadar alat, cara atau metode
menyampaikan sebuah gugatan, tuntutan, atau solidaritas dalam bentuk kata-kata
118
dan gambar. Entah itu berwujud petisi, surat terbuka, pidato, puisi, atau poster.
Semua yang secara formal kelihatannya menjadi pesan para demonstran
sebenarnya bukanlah pesan utama dalam demonstrasi. Sebuah demonstrasi
menjadi bermakna justru karena pemberontakannya dalam wujud komunikasi itu
sendiri. Ini yang menjadi pusat, inti atau makna demonstrasi (Perlawanan dalam
Kepatuhan, 2000: 279-280).
Pendapat Ariel ini amat relevan saat kondisi kekuasaan (pemerintah)
menutup rapat kebebasan berekspresi (berpendapat) warganya. Demonstrasi
dalam kondisi demikian menjadi katup pembuka, atau setidaknya katarsis psikis
warga atas hegemoni alat negara. Namun ketika kekuasaan yang menutup rapat
suara-suara warganya itu berganti dengan kekuasaan yang relatif menoleransi
suara-suara kritis warga, maka pernyataan Ariel akan tampak paradoks bahkan
karikatural dengan kenyataan di lapangan. Saat ini setiap pihak bisa terbuka untuk
berdemonstrasi, tapi demonstrasi itu sendiri tidak semata alat pembuka
katarsisnya. Demonstrasi menjadi komoditas yang tidak ada kaitannya dengan
perjuangan pelakunya dalam meningkatkan kualitas demokrasi. Jadi, hakikat
demonstrasi digeser ke bentuk-bentuk yang makin seksis sehingga demonstrasi
tercerabut dari misi refleksifnya.
Hakikat demonstrasi baik pada era tertutup ataupun era yang relatif
terbuka seperti sekarang ingin memaksimalkan ruang publik politis. Jurgen
Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi
yang memungkinkan para warga negara untuk membentuk opini dan kehendak
bersama secara diskursif (Lihat F. Budi Hardiman, dalam S.H.Wibowo [ed.], 2005:
43).
Terkait dengan perubahan politik di era transisi ini, ruang publik yang
tercipta boleh dikatakan memang memiliki potensi sebagaimana dikatakan
Habermas. Ada diskursus antarwarga secara rasional dan terbebas dari dominasi
tertentu. Meskipun demikian, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa
kualitas ruang publik di era reformasi belum sepenuhnya mencatatkan kualitas
ideal. Demonstrasi tidak ditujukan sebagai jalan penting perubahan ruang publik,
tetapi hanya rutinitas.
Kondisi tersebut memunculkan apa yang diistilahkan Cristopher Lasch
sebagai minimalismeminimalisme ruang publik politis. Era reformasi, dengan
segala kesempatan dan potensi yang terkandung di dalamnya, ternyata bukannya

119
meningkatkan kualitas ruang publik politik tetapi justru menciptakan ruang publik
minimalis. Dengan makna senja kala seperti dijelaskan di atas, kebebasan atau
keterbukaan saat ini (melalui demonstrasinya misalnya) ironisnya memicu ruang
publik minimalis (Yasraf A.Pilliang, dalam S.H. Wibowo [ed.], 2005: 14-15).
Dalam hal ini ada paradoks; satu sisi secara eksistensi masyarakat
hidup di era yang bebas untuk berpendapat, namun di sisi yang lain, secara
esensial, artikulasi pengekspresiannya justru tidak memunculkan kualitas
sebagaimana diharapkan. Ekspresi kebebasan yang hadir tidak memiliki makna
bagi peningkatan demokrasi.

Melampaui Ideologi
Kualitas demonstrasi gerakan mahasiswa semestinya bisa meningkat
dengan tidak adanya kekangan seketat generasi sebelumnya. Namun tiadanya
kekanganatau lebih luas adalah tantangandemonstrasi yang dihasilkan justru
tidak berkualitas bagi peningkatan demokrasi. Alih-alih memperbaiki kondisi
ruang publik yang dirusak Orde Baru, artikulasi dalam wujud demonstrasi gerakan
mahasiswa hanya memunculkan (kembali) ruang publik minimalis. Jadi, ironi
yang terjadi adalah gerakan mahasiswa yang berada pada era Reformasi ternyata
belum mengoptimalkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas ruang publik
politis. Pada saat semakin terbuka kesempatan berekspresi, mereka justru
menciptakan aktivisme yang tidak produktif bagi peningkatan demokrasi atau
ruang publik.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa secara normatif berdemonstrasi
tidak lain untuk meningkatkan ruang publik politis. Karena itu, hakikat
demonstrasinya tidak lagi berhenti pada tataran untuk (cara) berkomunikasi;
dikarenakan unsur perlawanan dalam berkomunikasi (seperti dialami sebelum
terjadinya reformasi) boleh dikatakan sudah jauh berkurang. Dengan meletakkan
kaitan antara demonstrasi ruang publik politis itulah pernyataan yang
menyebutkan perpecahan antargerakan mahasiswa pascakejatuhan rezim Suharto
lebih disebabkan perbedaan ideologi terdengar ironis. Pasalnya, ruang publik
sendiri memungkinkan adanya diskursus antarideologibila ideologi gerakan
yang menjadi penyebab. Ketika ada momentum untuk saling berdiskursus itu,
bukan menjaga kesolidan, yang dilakukan justru meninggalkan diskursus dan
mengedepankan primordialisme ideologi gerakan. Pertanyaannya, apakah benar

120
beban kesalahan menurunnya aktivisme gerakan mahasiswa saat ini adalah
karena fragmentasi ideologi?
Di sinilah pentingnya mengingat tema kematian gerakan mahasiswa
seperti dijelaskan di atas. Gerakan mahasiswa menghadapi situasi baru, tetapi
dalam menyikapinya mereka seperti terperangkap di dalam labirin sejarah.
Bukannya mengontinukan gerakan dengan melampaui perbedaan-perbedaan
tradisional yang sering terjadi (pada masa lalu) sebagai penurun kesolidan
antargerakan mahasiswa, yang ditempuh justru memelihara sumber penurunan
aktivismenya. Yang parah, saat yang sama, gerakan mahasiswa luput untuk
merespons babak baru yang seharusnya mereka lakukan, yakni masuknya
kepentingan pihak ketiga; kepentingan yang sebenarnya mengatasi kekhawatiran
atas perbedaan ideologi. Jadi, alih-alih friksi antargerakan mahasiswa disebabkan
ideologi, sebenarnya yang lebih signifikan pengaruhnyanamun kurang disadari
(diakui?)adalah perbedaan akibat simbiosis gerakan mahasiswa dengan pihak
ketiga.
Simbiosis dalam perkembangannya tidak bisa mencegah perbedaan
kepentingan di kalangan gerakan mahasiswa sendiri. Dari sini muncul pengubuan
berdasarkan penjagaan kepentingannya dengan pihak ketiga. Faktor ideologi
kendati tetap berperan, namun sebetulnya bukan pemicu apalagi penyebab
utama. Dengan demikian, perbedaan ideologi sebagaimana sering disebut-sebut
banyak pihak dalam praktiknya tertutupi oleh perbedaan kepentingan pragmatis
antaraktivis gerakan mahasiswa ketika bersimbiosis dengan pihak ketiga. Adanya
pengaruh pihak ketiga secara simultan sejalan dengan keterbukaan di era transisi
rezim kini. Setiap pihak yang berkepentingan memengaruhi ruang publik politis
saling mencari kawan untuk memenangi diskursus. Di sinilah kemudian muncul
bentuk korporatisme atas gerakan mahasiswataktik kekuasaan dalam
mengontrol kekritisan gerakan mahasiswa.
Bila pemerintahan totaliter merasa memiliki semua kapasitas untuk
menguasai total rakyat, tidak demikian dalam pelibatan gerakan mahasiswa;
pemerintahan tidak memiliki penuh kapasitas itu. Melibatkan gerakan mahasiswa
tidak lain upaya untuk menguatkan posisi pemerintah di mata rakyatakibat
legitimasi atau dukungan politik yang rendah dalam sebuah kebijakan. Jadi,
pemerintah berbuat ini karena memiliki kelemahan yang tidak bisa ditutupinya
(berbeda dengan pemerintahan totaliter). Kelemahan inilah yang hendak
diperoleh dengan membagikan sebagian kekuasaannya untuk gerakan
121
mahasiswa. Keleluasaan untuk bisa berinteraksi lebih lanjut dengan pemerintah,
hingga kemudahan dalam akses-akses tertentu kepada sumber-sumber
pemerintah.
Akibat korporatisme, upaya aktivisme mahasiswa menjadi gerakan
oposisi mengalami kendala. Tidak hanya dari pihak luar mahasiswa namun juga
dari dalam mahasiswa sendiri. Korporatisme memecah aktivis mahasiswa ke
dalam konfigurasi pragmatis. Seperti disebutkan di atas, fragmentasi antargerakan
mahasiswa kini bukan semata soal perbedaan ideologi gerakan, namun yang lebih
dominan disebabkan perebutan kepentingan berelasi dengan kekuasaan.
Pelampauan batas ideologi inilah yang kini lebih dibutuhkan untuk
menghidupkan kembali aktivisme gerakan mahasiswa. Sebagai salah satu
manifestasinya, demonstrasi secara kualitas nantinya diharapkan tidak lagi
kehilangan identitas. Apalagi di era saat keterbukaan berlangsung, dan jebakan
dari pihak ketiga (khususnya pemerintah dan politisi) bukannya berkurang. Ini
agar tidak menjadikan aktivis(me) gerakan mahasiswa hanya selalu menjadi
pemirsa pasif dalam proses kesejarahan bangsa. Tidak ada lagi aktivis mahasiswa
yang kebingungan mencari praksis gerakan bagi masyarakatnya. []

122

Anda mungkin juga menyukai