Anda di halaman 1dari 194

Menikmati

Demokrasi
Strategi Dakwah Meraih Kemenangan

M. Anis Matta

Jakarta, 2007
Menikmati Demokrasi
Strategi Dakwah Meraih Kemenangan
Penulis: M. Anis Matta

Penerbit :
Insan Media Publishing House
Jl. Mede No. 42 Utan Kayu, Jakarta Timur 13120
Telepon : (021) 8193242 – Faks : (021) 8580569
e-mail : insan_media@yahoo.com

Penyunting : Mochamad Bugi, Rahmadiyanti


Penata Letak : Ahmad Fauzi
Penata Letak dan Desain Sampul : Ahmad Fauzi

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Pustaka Saksi

Cetakan pertama, Juli 2002


Cetakan kedua, Juni 2007

ISBN: 979-97039-0-5

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
DAFTAR ISI
I Kata Pengantar

1. Mari Berhenti Sejenak


2. Proyek Peradaban Kita
3. Proses Peralihan
4. Dakwah, Politik, dan Demokrasi
5. Dilema Pertai Dakwah
6. Menikmati Demokrasi
7. Memenangkan Wacana Publik
8. Kelompok Pemikir Strategi
9. Dakwah yang menegara
10. Politik Isolasi
11. Celah Sejarah dan Tantangan Baru
12. Imunitas
13. Asas Penyikapan
14. Risiko Keputusan
15. Optimalisasi Syuro
16. Mengelola Ketidaksetujuan terhadap Hasil Syuro
17. Syuhbat di Sekitar Sikap Kritis
18. Menyikapi Orang Kreatif dan Kritis
19. Keragaman yang Produktif
20. Mengokohkan Tradisi Ilmiah
21. Kita dan Perang Itu
22. Membaca Tanda-tanda Zaman
23. Yang Kita Pikirkan dan Yang Kita Lakukan
24. Pikiran di balik Pikiran
25. Objektivitas Antara Optimisme dan Pesimisme
26. Perbaikan Berkesinambungan
27. Performansi Politik Kita
28. Mengembangkan Kapasitas Internal Kita
29. Budaya Politik ita
30. Strategi Pencitraan
Indeks
Pengantar

Partai Keadilan (PK) yang kini mengubah diri menjadi Partai


Keadilan Sejahtera (PKS) sudah beberapa kali berganti presiden.
Presiden pertama PK adalah Nur Mahmudi Ismail yang kini menjadi
walikota Depok. Saat Nur Mahmudi Ismail menjadi menteri
Kehutanan dan Perkebunan ia digantikan oleh Hidayat Nur Wahid.
Tahun 2004 ketika Hidayat Nur Wahid terpilih menjadi ketua MPR,
ia digantikan oleh Tifatul Sembiring.

Presiden PKS boleh berganti tapi Sekretaris Jenderalnya dari


dulu tetap tak berubah. Ya, dialah Muhammad Anis Matta yang
tulisan-tulisannya tentang politik dan demokrasi sedang Anda baca.
Sebelum terjun di dunia politik praktis saya mengenal Anis Matta
sebagai teman sejawat dalam mengelola media. Tahun 90an Anis
dan kawan-kawannya menerbitkan majalah Inthilaq. Sedangkan
saya mengelola majalah Ummi dan Annida bersama aktivis dakwah
lainnya. Sayang majalah Inthilaq tak bertahan lama, padahal
tulisan Anis dan teman-teman di majalah Inthilaq amat ditunggu
para aktivis dakwah saat itu. Kepiawaian Anis merangkai kata
dan mengolah argumentasi membuat pembaca selalu menunggu
tulisannya. Setelah Inthilaq tidur panjang Anis mendirikan Pusat
Studi Islam Al Manar. Sebuah lembaga pendidikan yang fokus
pada pendidikan bahasa Arab. Sampai sekarang lembaga itu masih
berjalan.

Buku yang sekarang sedang Anda baca adalah kumpulan


tulisannya di majalah Saksi. Majalah Saksi terbit tahun 1998
seiring dengan munculnya era politik yang lebih terbuka dan
mengakomodir berbagai macam politik aliran. Kumpulan tulisan ini

I.
memang tak ada yang baru. Ini hanya proses cetak ulang. Tak ada
revisi ataupun tambahan tulisan. Mungkin saja ada beberapa tulisan
yang sudah tidak nyambung dengan kondisi sekarang. Tapi tentu
lebih banyak hal-hal strategis yang relevan untuk diaplikasikan
dalam politik dakwah saat ini.

Belakangan kita agak sukar menemukan tulisan Anis di media


cetak. Tulisan Serial Kepahlawanan dan Serial Cinta di sebuah
majalah Islam tempat Anis berbagi pemikiran juga sudah tak
terlihat lagi. Mungkin kesibukan dalam aktivitas politik yang sangat
dinamis membuat Anis kurang punya waktu untuk menuliskan
pemikiran-pemikirannya.

Sambil menunggu tulisan Anis selanjutnya tak apalah jika


kita ‘Menikmati Demokrasi’ Anis Matta yang ditulis sekitar tahun
2000. Anda jangan terlalu berharap membaca buku terbaru Anis
Matta dalam waktu dekat. Kesibukannya sebagai sekjen PKS makin
menjadi-jadi saat berbagai pilkada di berbagai daerah digelar.
Belum lagi aktivitasnya sebagai anggota DPR RI.

Jadi untuk sementara cukuplah puas membaca tulisan-tulisan


lama dalam cetakan baru ini.

Jakarta, Agustus 2007

A Mabruri MA
Mantan Pemimpin Umum Majalah Saksi.

II.
1
Mari Kita
Berhenti Sejenak

M
ari kita berhenti sejenak di sini! Kita sudah relatif
jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak
sudah yang kita lihat dan yang kita raih. Tapi, banyak
juga yang masih kita keluhkan: rintangan yang menghambat laju
kereta, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara
gaduh yang memekakkan telinga dari mereka yang mengobrol
tanpa ilmu di gerbong kereta ini, dan tikungan-tikungan tajam
yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan indah
yang terlewatkan dan tak sempat kita potret, juga banyak kursi
kosong dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati
oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat kita muat.
Dan masih banyak lagi!
Jadi, mari kita berhenti sejenak di sini! Kita memerlukan saat-
saat itu; saat dimana kita melepas kepenatan yang mengurangi
ketajaman hati, saat dimana kita membebaskan diri dari rutinitas
yang mengurangi kepekaan spiritual, saat dimana kita melepaskan
sejenak beban dakwah selama ini kita pikul yang mungkin
menguras stamina kita. Kita memerlukan saat-saat seperti itu
karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan dakwah

Mari Kita Berhenti Sejenak 1


kita; melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa
perjalanan yang masih harus kita lalui; menengok kembali hasil-hasil
yang telah kita raih; meneliti rintangan yang mungkin menghambat
laju pertumbuhan dakwah kita; memandang ke alam sekitar karena
banyak aspek dari lingkungan strategis kita telah berubah.
Sesungguhnya, bukan hanya kita, para dai, yang perlu berhenti.
Para pelaku bisnis pun punya kebiasaan itu. Orang-orang yang
mengurus dunia itu memerlukannya untuk menata ulang bisnis
mereka. Mereka menyebutnya penghentian. Tapi, sahabat-
sahabat Rasulullah saw. --generasi pertama yang telah mengukir
kemenangan-kemenangan dakwah dan karenanya berhak
meletakkan kaidah-kaidah dakwah-- menyebutnya majlis iman.
Maka, Ibnu Mas’ud berkata, “Duduklah bersama kami, biar kita
beriman sejenak.”
Majlis iman kita butuhkan untuk dua keperluan. Pertama,
untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan
pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta
laju pertumbuhannya. Yang ingin kita capai dari upaya ini adalah
memperbaharui dan mempertajam orientasi kita; melakukan
penyelarasan dan penyeimbangan berkesinambungan antara
kapasitas internal dakwah, peluang yang disediakan lingkungan
eksternal, dan target-target yang dapat kita raih.
Kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru
sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama
menapaki jalan dakwah. Yang ingin kita raih adalah memperbarui
komitmen dan janji setia kita kepada Allah swt. bahwa kita akan
tetap teguh memegang janji itu; bahwa kita akan tetap setia memikul
beban amanat dakwah ini; bahwa kita akan tetap tegar menghadapi
semua tantangan; bahwa yang kita harap dari semua ini hanyalah
ridhaNya. Hari-hari panjang yang kita lalui bersama dakwah ini

2 Mari Kita Berhenti Sejenak


menguras seluruh energi jiwa yang kita miliki, maka majlis iman
adalah tempat kita berhenti sejenak untuk mengisi hati dengan
energi yang tercipta dari kesadaran baru, semangat baru, tekad
baru, harapan baru, dan keberanian baru.
Karena itu, majlis iman harus menjadi tradisi yang semakin
kita butuhkan ketika perjalanan dakwah sudah semakin jauh.
Pertama, karena tahap demi tahap dari keseluruhan marhalah
yang kita tetapkan dalam grand strategy dakwah perlahan-lahan
kita lalui. Mulai dari perekrutan dan pengaderan qiyadah dan junud
dakwah yang kita siapkan untuk memimpin umat meraih kejayannya
kembali, kemudian melakukan mobilisasi sosial untuk menyiapkan
dan mengkondisikan umat untuk bangkit, sampai akhirnya kita
membentuk partai sebagai wadah untuk merepresentasikan
dakwah di tingkat institusi.
Kedua, karena kita hidup di sebuah masa dengan karakter
tidak stabil. Perubahan-perubahan besar di lingkungan strategis
berlangsung dalam durasi dan tempo yang sangat cepat. Dan
perubahan-perubahan itu selalu menyediakan peluang dan
tantangan yang sama besarnya. Dan, apa yang dituntut dari kita,
kaum dai, adalah melakukan pengadaptasian, penyelarasan,
penyeimbangan, dan --pada waktu yang sama-- meningkatkan
kemampuan untuk memanfaatkan momentum. Ketiga, karena kita
mengalami seleksi dari Allah swt. secara kontinu sehingga banyak
duat yang berguguran, juga banyak yang berjalan tertatih-tatih.
Semua itu membutuhkan perenungan yang dalam. Maka, dalam
majlis iman ini, kita mengukuhkan sebuah wacana bagi proses
pencerahan pikiran, penguatan kesadaran, penjernihan jiwa,
pembaruan niat dan semangat jihad. Dan inilah yang dibutuhkan
oleh dakwah kita saat ini.
Tradisi penghentian atau majlis iman semacam ini harus kita

Mari Kita Berhenti Sejenak 3


lakukan dalam dua tingkatan; individu atau jamaah. Pada tingkatan
individu, tradisi ini dikukuhkan melalui kebiasaan merenungi,
menghayati, dan menyelami telaga akal kita untuk menemukan
gagasan baru yang kreatif, matang, dan aktual disamping kebiasaan
muhasabah, memperbaharui niat, menguatkan kesadaran dan
motivasi, serta memelihara kesinambungan semangat jihad. Hasil-
hasil inilah yang kemudian kita bawa ke dalam majlis iman untuk
kita bagi kepada yang lain sehingga akal individu melebur dalam
akal kolektif, semangat individu menyatu dalam semangat kolektif,
dan kreativitas individu menjelma menjadi kreativitas kolektif.
Kalau ada pemaknaan yang aplikatif terhadap hakikat
kekhusyukan yang disebutkan Alquran, maka inilah salah satunya.
Penghentian seperti inilah yang mewariskan kemampuan berpikir
strategis, penghayatan emosional yang menyatu secara kuat
dengan kesadaran dan keterarahan yang senantiasa terjaga di
sepanjang jalan dakwah yang berliku dan curam. Maka, Allah swt.
mengatakan, “Belumkah datang saat bagi orang-orang beriman
untuk mengkhusyukan hati dalam mengingat Allah dan dalam
(menjalankan) kebenaran yang diturunkan. Dan bahwa hendaklah
mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan
Alkitab sebelumnya (dimana) ketika jarak antara mereka (dengan
sang rasul) telah jauh, maka hati-hati mereka menjadi keras, dan
banyak dari mereka yang menjadi fasik.” (Q.S. Alhadid: 16)
Beginilah akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah saw.
menyunahkan umatnya melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir
di bulan Ramadhan; atau mengapa Allah swt. menanamkan
kegemaran berkhalwat pada diri Rasulullah saw. tiga tahun sebelum
diangkat menjadi Rasul; atau bahkan mengapa Umar bin Khattab
mempunyai kebiasaan itikaf di Masjid Haram sekali sepekan di masa
jahiliyah. Begini pula akhirnya kita memahami mengapa majelis-

4 Mari Kita Berhenti Sejenak


majelis kecil para sahabat Rasululah saw. di masjid atau di rumah-
rumah berubah menjadi wacana yang melahirkan gagasan-gagasan
besar atau tempat merawat kesinambungan iman dan semangat
jihad. Maka ucapan mereka, kata Ali bin Abi Thalib, adalah zikir, dan
diam mereka adalah perenungan.
Tradisi inilah yang hilang di antara kita sehingga diam kita
berubah jadi imajinasi yang liar, ucapan kita kehilangan arah dan
makna. Maka, dakwah kehilangan semua yang ia butuhkan; pikiran-
pikiran baru yang matang dan brilian, kesadaran yang senantiasa
melahirkan kepekaan, dan semangat jihad yang tak pernah padam
di sepanjang jalan dakwah yang jauh dan berliku.q

Mari Kita Berhenti Sejenak 5


Membangun kehidupan
yang Islami adalah sebuah
proyek peradaban raksasa.
Proyek besar bertujuan
merekonstruksi pemikiran dan ke-
pribadian manusia muslim agar
berpikir, merasa, dan bertindak
sesuai dengan kehendak Allah swt.
atau dengan referensi Islam.

6
2
Proyek
Peradaban Kita

S
ejak awal kita sudah menetapkan misi dakwah ini. Yang
ingin kita raih adalah ridha Allah swt. dengan beribadah
kepadaNya. Dan, ibadah itu berupa menerapkan dan
menyemai seluruh kehendak-kehendak Allah swt. --yang Ia
turunkan dalam bentuk syariat (agama)-- dalam kehidupan kita
sebagai individu, masyarakat, dan negara. Maka, kerja kita dalam
dakwah ini adalah membangun sebuah kehidupan berdasarkan
disain Allah swt.
Membangun sebuah kehidupan yang Islami, dengan begitu,
adalah cita-cita dakwah kita. Tentulah itu merupakan pekerjaan
berat yang sangat melelahkan, membutuhkan waktu panjang
yang melampaui umur individu bahkan umur generasi. Ia
juga memerlukan sumber daya manusia dalam semua lapisan
masyarakat untuk semua sektor kehidupan dengan semua jenis
profesi dan keahlian. Selain itu, ia juga membutuhkan sumber
daya fisik dan dukungan finansial yang sangat besar. Dan lebih dari
itu semua, ia membutuhkan energi ruhiyah dan semangat jihad
serta elan vital yang dahsyat; konsep, metode, dan sistematika
perjuangan yang jelas lagi mantap; gagasan dan pemikiran brilian
serta inovasi yang berkesinambungan; kepemimpinan yang kuat
dengan organisasi yang solid.

Proyek Peradaban Kita 7


Membangun kehidupan yang Islami adalah sebuah proyek
peradaban raksasa. Proyek besar bertujuan merekonstruksi
pemikiran dan kepribadian manusia muslim agar berpikir, merasa,
dan bertindak sesuai dengan kehendak Allah swt. atau dengan
referensi Islam. Kemudian membawa manusia muslim baru itu ke
dalam kehidupan nyata, dengan kesadaran barunya, untuk menata
ulang seluruh sektor kehidupan masyarakatnya agar hidup dengan
budaya, sistem, hukum, dan institusi yang seluruhnya jelmaan
kehendak-kehendak Allah swt. Kemudian umat muslim yang
baru itu, yang telah menjadi model representatif dari kehendak-
kehendak Allah swt, keluar dari dirinya sendiri melampaui wilayah
kepentingan spesifiknya untuk menebar bunga hidayah dan rahmat
kepada seluruh umat manusia, menciptakan taman kehidupan
yang seimbang dimana setiap orang menemukan keamanan yang
diciptakan oleh keadilan dan kenyamanan yang dilahirkan oleh
kemakmuran, dimana setiap orang merasakan kemudahan yang
diciptakan oleh ilmu pengetahuan dan harapan serta optimisme
yang dilahirkan oleh agama. Proyek peradaban ini bertujuan
menciptakan taman kehidupan dimana bunga-bunga kebaikan,
kebenaran, dan keindahan tumbuh bersemi. Dan taman itulah
yang kelak menjadi saksi kemanusiaan dan sejarah.
“Dan demikianlah Kami jadikan kamu sebagai umat pertengahan,
supaya kami menjadi saksi atas manusia, dan supaya Rasul itu
(Muhammad saw) menjadi saksi atas kamu sekalian.” (Q.S. Al-
Baqarah: 143)
Pekerjaan-pekerjaan dakwah untuk menyelesaikan proyek
itu harus dilakukan dalam empat tahap. Pertama, membangun
sebuah organisasi yang kuat dan solid sebagai kekuatan utama
yang mengoperasikan dakwah. Inilah yang kita sebut dengan
mihwar tanzhimi. Organisasi ini adalah tulang punggung dakwah
dan karenanya harus kuat memikul beban berat dalam waktu

8 Proyek Peradaban Kita


yang panjang. Supaya tulang punggung itu kuat, harus diisi oleh
orang-orang yang juga kuat dan tangguh dalam seluruh aspek
kepribadian. Sebab, merekalah sesungguhnya yang disebut sebagai
pemimpin umat atau lokomotif yang akan membawa gerbong
panjang umat ini. Untuk mencetak pemimpin-pemimpin umat itu,
kita memerlukan proses pembinaan dan kaderisasi yang sistematis,
integral, dan waktu yang relatif panjang.
Mereka yang dipilih untuk dikader dan dibina haruslah orang-
orang terbaik yang ada di masyarakat. Mereka memiliki bakat,
intelegensi, dan kesiapan dasar untuk melakukan pekerjaan besar
serta memikul amanah yang berat. Karenanya, kaderisasi atau
tarbiyah menjadi mutlak, Karena, inilah mesin pencetak pemimpin-
pemimpin umat.
Kedua, membangun basis sosial yang luas dan merata sebagai
kekuatan pendukung dakwah. Inilah yang kita sebut dengan mihwar
sya’bi. Kalau basis organisasi bersifat elitis-eksklusif, maka basis
sosial bersifat masif dan terbuka. Kalau basis organisasi berorientasi
pada kualitas, basis sosial berorientasi kuantitas. Kalau organisasi
meretas jalan, maka masyarakatlah yang akan melaluinya. Kalau
para pemimpin melihat ke depan dengan pikiran-pikirannya yang
jauh, massa menjangkau ke depan dengan tangan-tangannya yang
banyak. Kalau pemimpin yang hebat mendapatkan dukungan publik
yang luas, maka akan terbentuklah sebuah kekuatan dakwah yang
dahsyat. Begitulah kita menciptakan sinergi antara pemimpin dan
umatnya, antara kualitas dan kuantitas. Kedua-duanya mempunyai
peranan yang sama strategisnya.
Kalau organisasi dibentuk melalui rekrutmen kader, massa
dibentuk melalui opini publik. Kalau kader pemimpin dibentuk
melalui tarbiyah dan pengkaderan, massa dibentuk melalui media

Proyek Peradaban Kita 9


massa dan tokoh publik. Kalau kader terpesona pada pikiran karena
tingkat intelektualitasnya yang tinggi, massa terpesona pada tokoh
karena kadar emosinya yang dominan.
Yang ingin kita capai di sini adalah terbentuknya opini publik
yang Islami, struktur budaya dan adab-adab sosial yang Islami,
dominasi figur dan tokoh Islam dalam masyarakat.
Ketiga, membangun berbagai institusi untuk mewadahi
pekerjaan-pekerjaan dakwah di seluruh sektor kehidupan dan di
seluruh segmen masyarakat. Ini yang kita sebut dengan mihwar
muassasi. Di sini dakwah memasuki wilayah pekerjaan yang sangat
luas dan rumit. Karena itu, perlu pengelompokan pekerjaan. Kita
membutuhkan semua jenis institusi sosial untuk mewadahi aktivitas
sosial; kita membutuhkan seluruh jenis institusi ekonomi untuk
mewadahi aktivitas ekonomi; kita juga membutuhkan seluruh
institusi politik untuk mewadahi semua aktivitas politik. Selain
institusi yang kita bentuk, kita juga perlu mengisi institusi-institusi
sosial, ekonomi, politik, dan militer yang sudah ada, baik yang ada
di masyarakat maupun yang ada di pemerintahan.
Kalau dalam tahap pembentukan basis sosial kita menyebar
kader-kader dakwah ke dalam masyarakat, maka dalam tahap
institusi kita menyebar kader ke seluruh institusi yang ada. Kalau
dalam tahap pembentukan basis sosial kita melakukan mobilitas
horizontal, maka dalam tahap institusi kita melakukan mobilitas
vertikal. Kader-kader dakwah haruslah mampu mengisi struktur
yang ada di lembaga tinggi negara: legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Kader-kader dakwah juga harus mampu mengisi struktur
yang tersedia di lembaga-lembaga ilmiah, ekonomi, sosial, dan
militer. Dengan begitu terbentuklah jaringan kader di seluruh
institusi strategis. Ini merupakan pranata yang dibutuhkan untuk
menata kehidupan bernegara yang Islami.
Kalau basis massa bertujuan membentuk opini publik yang

10 Proyek Peradaban Kita


Islami, maka basis institusi bertujuan memberikan legalitas politik
terhadap opini publik itu.
Keempat, akhirnya dakwah ini harus sampai pada tingkat
institusi negara. Sebab, institusi negara dibutuhkan dakwah untuk
merealisasikan secara legal dan kuat seluruh kehendak Allah swt.
atas kehidupan masyarakat. Inilah yang kita sebut mihwar daulah.
Negara adalah sarana, bukan tujuan. Dan, negara merupakan
institusi terkuat dan terbesar dalam masyarakat. Kebenaran harus
punya negara karena --kata Ibnu Qoyyim-- kebatilan pun punya
negara.
Melaluis institusi negara itulah kita berbicara kepada dunia
seperti yang pernah Rasulullah saw. katakan kepada Heraclius,
“Masuklah ke dalam Islam supaya kamu selamat!” Atau, kita
katakan kepada mereka seperti yang pernah diucapkan Nabi
Sulaeman kepada Ratu Balqis, “Ini (surat) datang dari Sulaeman,
dan sesungguhnya (ia datang) dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Naml: 30)q

Proyek Peradaban Kita 11


Sekarang amal Islami
telah memasuki era keterbukaan
(jahriyah) dan bekerja dengan cara-
cara yang juga terbuka. Kondisi yang
dibutuhkan untuk memasuki era ke-
terbukaan, kata Syekh Muhammad
Ahmad Al-Rasyid, adalah jumlah kader
yang cukup, situasi sosial politik yang
kondusif, penerimaan yang baik dari
masyarakat, dan tersedianya kendaraan
yang akan digunakan.

12
3
proses peralihan

S
aya percaya tahapan dakwah dan amal Islami yang saya sebut
di “Proyek Peradaban Kita” sudah menjadi pengetahuan
umum kalangan aktivis dakwah. Tapi, sejumlah catatan
tambahan rasanya harus disebutkan di sini.
Pertama, sebenarnya tidak ada jarak yang tegas antara satu
tahap dengan tahap lainnya. Sebab, tahapan-tahapan itu saling
terkait dan berkesinambungan. Sehingga, ketika kita memutuskan
melangkah ke suatu tahapan baru, itu sama sekali tidak berarti
meninggalkan tahapan sebelumnya. Misalnya, ketika masuk
mihwar muassasi (tahapan institusi), itu tidak berarti kita tidak
lagi melakukan kaderisasi. Yang sebenarnya terjadi adalah kader
yang kita miliki, secara kualitatif dan kuantitatif, relatif sudah cukup
untuk melangkah ke tahap amal berikutnya, sambil tetap melakukan
program kaderasasi secara berkesinambungan. Bahkan, kaderisasi
dilakukan menjadi dua level: pertama, meningkatkan kualitas kader
yang sudah ada; kedua, melakukan rekrutmen kader-kader baru.
Kedua, keputusan untuk memasuki tahapan baru dalam amal
Islami tidak saja ditentukan oleh pertimbangan kondisi internal
dakwah, tapi juga oleh peluang dan tantangan yang diciptakan

Proses Peralihan 13
dinamika lingkungan strategis eksternal. Karena itu, boleh jadi
syarat-syarat internal untuk memasuki tahapan baru sudah
terpenuhi, tapi kondisi eksternal belum memungkinkan sehingga
satu marhalah mengambil waktu lebih lama.
Ketiga, keputusan untuk memasuki tahapan baru sepenuhnya
merupakan wewenang para pemimpin dakwah. Keputusan itu
diambil melalui proses ijtihad jama’i yang kita sebut syuro. Yang
namanya ijtihad, walaupun dilakukan secara kolektif, tetap terbuka
kemungkinan benar-salah. Disamping bertumpu pada data kondisi
internal dan analisis-prediksi lingkungan strategis eksternal,
keputusan itu juga bersandar kepada firasat qiyadah (pemimpin)
tentang masa depan dakwah. Jadi, proses pengambilan keputusan
itu menggabungkan semua kualifikasi yang menentukan mutu
keputusan: akurasi data, kedalaman analisis, ketajaman firasat
dan intuisi, dan sifat kolektifitas syuro. Sehingga, efek samping
yang ditimbulkan oleh kemungkinan salah dalam keputusan lebih
mudah dieliminir atau bahkan dinegasikan.
Keempat, peralihan dari satu tahap ke tahap lain harus disertai
langkah antisipasi terhadap bebagai kemungkinan positif-negatif
yang menyertai peralihan marhalah tersebut. Misalnya, ketika kita
memutuskan membentuk partai, kita mengalokasikan sebagian
besar sumber daya untuk keperluan pemenangan pemilu. Efeknya,
ada gangguan terhadap program pendidikan dan pembinaan
biasanya selalu ada. Tapi, dengan mengintegrasikan program
rekrutmen kader baru atau peningkatan kualitas kader lama ke
dalam program kampanye politik, kita dapat mengeliminir efek
itu, bahkan mengubahnya jadi peluang. Apalagi dalam perspektif
dakwah, capaian-capaian politik itu dengan sendirinya merupakan
capaian-capaian dakwah atau setidak-tidaknya mendukung
pencapaian beberapa target dakwah dalam bidang lain. Misalnya,

14 Proses Peralihan
dengan mendukung proses demokratisasi, kita memberikan
legitimasi politik bagi kebebasan berdakwah.
Kelima, pentahapan terhadap amal Islami merupakan
keniscayaan yang bersifat alfabetis. Sehingga, peluang-peluang
eksternal yang tersedia tetap tidak dapat dimanfaatkan apabila
syarat-syarat internal untuk itu belum tercapai. Misalnya, di
lingkungan ada proses demokratisasi yang berlangsung dengan
baik dan mendapatkan dukungan keamanan dari militer, tapi jumlah
dan sebaran SDM belum memadai, tingkat penerimaan sosial juga
belum cukup merata, maka peluang itu tidak boleh diambil. Sebab,
itu akan mengubah peluang menjadi jebakan yang melahirkan
masalah-masalah baru. Dengan demikian, pemenuhan syarat-syarat
internal harus dijadikan sebagai pertimbangan utama. Dukungan
kondisi eksternal mengikuti pertimbangan internal tersebut.
Pertimbangan terhadap kondisi internal itu harus bersifat objektif,
terhindar dari sikap optimisme atau pesimisme berlebihan.

Syarat keterbukaan
Sekarang amal Islami telah memasuki era keterbukaan
(jahriyah) dan bekerja dengan cara-cara yang juga terbuka. Kondisi
yang dibutuhkan untuk memasuki era keterbukaan, kata Syekh
Muhammad Ahmad Al-Rasyid, adalah jumlah kader yang cukup,
situasi sosial politik yang kondusif, penerimaan yang baik dari
masyarakat, dan tersedianya kendaraan yang akan digunakan.
Pertama, secara kuantitatif jumlah dan sebaran kader serta
pendukung dakwah harus berada pada suatu angka yang relatif
besar dan tidak mungkin dimatikan oleh musuh dakwah jika secara
tiba-tiba dakwah mendapat serangan. Karena itu, jumlah dan
sebaran kader serta pendukung merupakan kekuatan strategis
yang diperhitungkan musuh dakwah. Sehingga, walaupun benci

Proses Peralihan 15
kepada dakwah, mereka tidak sanggup melumpuhkan atau
mematikannya.
Kedua, situasi sosial politik lingkungan eksternal harus kondusif
untuk menyambut kehadiran dakwah dengan lebel yang jelas. Ini
mengharuskan para pemimpin dakwah memantau lingkungan
strategis eksternal secara berkesinambungan dan memahami
dinamika perubahannya secara cermat. Kesalahan dalam
menganalisis kondisi eksternal akan menyebabkan kita salah dalam
menentukan timing muncul ke permukaan. Dan, kesalahan itu akan
menyebabkan kemunculan dakwah tidak mendapatkan gema yang
luas dan sambutan yang hangat.
Ketiga, harus ada tingkat penerimaan sosial yang luas atas
kehadiran kita. Ini tidak saja ditentukan oleh timing yang tepat, tapi
juga faktor komunikasi publik yang baik. Dari segi timing, kehadiran
kita harus dapat dipersepsi masyarakat sebagai solusi problematika
yang sedang mereka hadapi. Sehingga, kita dianggap pahlawan
yang menyelamatkan, bukan faktor pengeruh yang memperumit
masalah mereka. Karena itu, timing yang tepat itu harus didukung
kemampuan komunikasi publik yang handal.
Keempat, kalau ketiga syarat tersebut sudah terpenuhi, harus
ada sebuah kendaraan yang mengantar kita muncul ke permukaan.
Misalnya, partai politik atau organisasi kemasyarakatan. Kendaraan
itu merupakan identitas institusional dakwah yang menjadi nama
dan mereknya, yang akan menjadi sumber perbincangan berbagai
kalangan.
Era ketebukaan mengharuskan kita mempunyai nama dan
identitas. Dan, nama kita adalah Partai Keadilan.q

16 Proses Peralihan
Proses Peralihan 17
Partisipasi politik di alam demokrasi,
seperti yang sekarang kita lakukan,
disamping mempunyai akar kebenaran
dalam referensi Islam, juga punya
makna strategis bagi proyek
peradaban kita: bahwa ini adalah
upaya meretas jalan bagi umat secara
aman dan bebas untuk membangun
dirinya, bahkan memiliki dunianya
sendiri.

18
4
DAKWAH,
POLITIK DAN
DEMOKRASI

D
alam perspektif Islam, politik adalah subsistem Islam.
Dalam konteks proposal pembangunan peradaban
baru Islam, dakwah harus mempunyai power dan
dukungan kekuasaan untuk merealisasikan Islam dalam kehidupan
masyarakat secara menyeluruh. Tapi, teori perubahan kita
menempatkan dukungan kekuasaan itu setelah kita menyelesaikan
--secara relatif--- proses rekonstruksi sosial budaya dalam tiga
level: pertama, rekonstruksi pemikiran dan wawasan keislaman;
kedua, penggudangan stok kepemimpinan umat melalui tarbiyah
dan kaderisasi; ketiga, mobilisasi massa melalui gerakan penetrasi
sosial yang menyeluruh, khususnya melalui pembentukan kelas
menengah baru kaum muslimin.
Itulah sebabnya kita menganggap debat dialektis antara “Islam
budaya” dan “Islam politik” yang marak sepanjang dekade ‘80-an
dan ‘90-an --dalam perspektif ini-- sebagai debat kontra-produktif
dalam proses pembangunan umat. Debat itu bukan saja tidak
punya akar kebenaran dalam referensi Islam, tapi juga lebih banyak
dipengaruhi warisan psiko-politik Islam yang tidak menguntungkan
posisi generasi baru Islam angkatan ‘60-an serta pendekatan

Dakwah, Politik,dan Demokrasi 19


sekuriti yang represif dari Orde Baru terhadap umat Islam. Dengan
begitu, arus Islam budaya dan Islam politik merupakan dua cara
bereaksi terhadap situasi sosial politik sesaat yang cenderung
reaktif dan sporadis serta tidak dibangun dari pemikiran strategis
dalam kerangka pembangunan umat.
Proyek peradaban Islam mengharuskan kita memandang
belahan-belahan budaya dan politik secara holistik. Dimana
keduanya diintegrasikan dalam suatu gerakan sosial budaya yang
berorientasi melakukan mobilitas horizontal dengan gerakan politik
praktis yang melakukan mobilitas vertikal. Gerakan sosial budaya
atau mobilitas horizontal itu bertujuan mengkondisikan umat secara
spiritual, intelektual, emosional, dan fisik untuk melaksanakan
Islam dalam kehidupan mereka secara menyeluruh. Sementara,
gerakan politik praktis itu bertujuan menyambut arus tuntutan umat
itu secara legal-konstitusional. Atau dengan kata lain, di sini kita
melakukan semacam akomodasi konstitusional terhadap arus sosial
budaya yang sudah merata di masyarakat. Itulah sebabnya tema-
tema dakwah kita --khususnya di kampus-- pada dekade ‘80-an dan
paruh pertama ‘90-an cenderung ideologis-normatif-indoktrinatif,
berorientasi pada model sosial Rasulullah saw., rigid dalam merujuk
kepada Alquran dan Sunnah, berfokus pada pembentukan generasi
baru Islam, dan terkesan apolitik. Karena yang sedang kita lakukan
saat itu adalah membangun ulang identitas sosial budaya kita.
Dan, ketika arus demokratisasi global melanda negeri kita dan
peluang-peluang politik mulai terbuka, sementara usaha-usaha
rekonstruksi sosial budaya sudah relatif memadai, kita melakukan
ekspansi pada tema dan wilayah dakwah: merambah wilayah politik
dalam alam demokrasi. Karena tulang punggung umat ini relatif
sudah kuat dan identitas sosial budaya kita relatif sudah jelas,
maka kita memutuskan untuk masuk ke gelanggang percaturan

20 Dakwah, Politik,dan Demokrasi


politik praktis.

Dalam alam demokrasi


Perbedaan mendasar antara demokrasi sekuler dengan konsep
politik Islam terletak pada pandangan tentang siapa pemegang
kedaulatan. Konsep demokrasi sekuler memberikannya kepada
rakyat. Mereka mengatakan, kedaulatan itu ada di tangan rakyat
karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Sementara dalam konsep
Islam, kedaulatan sepenuhnya di tangan Tuhan dan suara Tuhan
harus menjadi suara rakyat. Implementasinya, hukum dalam
demokrasi sekuler merupakan nota kesepakatan bersama yang
diproduk melalui konstitusi, sementara dalam Islam, hukum itu given
dan adalah tugas konstitusi untuk merealisasikannya.
Perbedaan itu sangat mendasar. Tapi, titik temu keduanya
juga sangat mendasar. Yaitu, pada konsep partisipasi. Konsep ini
memberikan posisi yang kuat kepada masyarakat terhadap negara
dan mengunggulkan akal kolektif atas akal individu. Pemberdayaan
masyarakat terhadap negara berbasis pada nilai-nilai kebebasan
dan hak-hak asasi manusia, sedang keunggulan akal kolektif
berbasis pada upaya mengubah keragaman menjadi sumber
kekuatan, kreativitas, dan produktivitas. Karena itu, demokrasi
mempunyai implikasi yang kuat terhadap proses pemberdayaan
masyarakat.
Titik temu inilah yang kemudian mendasari sikap kita terhadap
demokrasi. Bahwa, seperti kata Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam
Majmu’at Al-Rasail, walaupun demokrasi bukan sistem Islam, tapi
inilah sistem politik modern yang lebih dekat dengan Islam. Secara
historis kemudian kita lihat bahwa penjajahan Eropa atas Dunia
Islam, munculnya penguasa-penguasa tiran, dan pemerintahan
militer represif setelah kemerdekaan, telah mematikan potensi umat

Dakwah, Politik,dan Demokrasi 21


secara keseluruhan. Dan, negara-negara imperialis Barat secara
sistematis membentuk dan mempertahankan pemerintahan militer
di negara-negara Islam untuk tujuan tersebut. Maka, di atas wilayah
geografi yang sangat luas, sumber daya alam yang sangat kaya, dan
sumber daya manusia yang sangat banyak, kaum Muslimin menjadi
masyarakat paling miskin, paling bodoh, dan paling terbelakang si
dunia. Berangkat dari titik temu pada konsep partisipasi antara
Islam dengan demokrasi dan persoalan historis dari potensi umat
yang tidak terberdayakan, kita kemudian berkesimpulan seperti ini:
demokrasi adalah pintu masuk bagi dakwah untuk memberdayakan
umat, kemudian melibatkannya dalam mengelola negaranya sendiri,
lalu pada akhirnya memberinya mandat untuk memimpin kembali
dirinya sendiri.
Nilai-nilai kebebasan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi
manusia adalah syarat sosial yang akan memicu proses kreativitas
dan produktivitas masyarakat. Kebebasan akan menghilangkan
hambatan ketakutan dan membantu setiap individu untuk
mengeksplorasi seluruh potensinya. Dan itu membuat setiap individu
dalam masyarakat demokrasi mempunyai tingkat produktivitas dan
kreativitas yang baik: sesuatu yang akan menjadikannya mandiri,
tangguh, dan berdaya tahan tinggi. Kemandirian, ketangguhan,
dan ketahanan individu secara sikuensial akan juga membentuk
masyarakat yang mandiri, tangguh, dan berdaya tahan tinggi. Itulah
sebabnya negara-negara demokrasi bisa mengalahkan negara-
negara otoriter karena keunggulannya dalam bidang ketahanan
dan resistensi individu serta masyarakatnya.
Maka, partisipasi politik di alam demokrasi, seperti yang
sekarang kita lakukan, disamping mempunyai akar kebenaran
dalam referensi Islam, juga punya makna strategis bagi proyek
peradaban kita: bahwa ini adalah upaya meretas jalan bagi umat

22 Dakwah, Politik,dan Demokrasi


secara aman dan bebas untuk membangun dirinya, bahkan memiliki
dunianya sendiri.
Saya teringat kalimat yang diungkapkan dengan rada miris
dan setengah berharap oleh pemikir dakwah abad ini, Dr. Yusuf
Al-Qardhawi, “Kalau saja para penguasa tiran yang bercokol di
panggung kekuasaan di negara-negara Islam itu, mau membiarkan
kita bekerja membangun umat secara tenang dan aman, tanpa
tekanan dan gangguan keamanan, maka kita mungkin hanya
membutuhkan waktu 20 tahun untuk mengembalikan kejayaan
Islam.”
Di balik semua hikmah yang kita peroleh dari tekanan politik-
militer para penguasa tiran terhadap gerakan dakwah di berbagai
negara Islam, serta proses pendewasaan dari konflik panjang antara
gerakan Islam dan negara, tapi harus diakui bahwa penghadap-
hadapan seperti itu telah menguras begitu banyak energi peradaban
kita, tentu saja disamping luka-luka historis yang secara psikologis
selalu mengganggu hubungan Islam dan negara.
Yang sekarang kita lakukan adalah belajar melampaui masa-
masa itu dan berusaha membalikkan ingatan kolektif kita dari masa
lalu ke masa depan!q

Dakwah, Politik,dan Demokrasi 23


Allah swt. sesunguhnya meletakkan
ujian bagi kita, para duat: bagaimana
menyepadankan kebenaran Islam
dengan kesalihan manusianya dan
menyamakan kebesaran Islam dengan
kehebatan manusianya. Ini semua
supaya politik tidak lagi menjadi
“tugas yang sedih” dan tidak lagi
“terkutuk” hanya karena ia harus
“mener­jemahkan nilai-nilai ke dalam
dunia fakta-fakta”.

24
5
DILEMA PARTAI
DAKWAH

B
isakah “orang-orang masjid” bermain politik? Bisakah
mereka mempertahankan kesalihan di tengah kegalauan
moral perpolitikan kita? Pertanyaan bernada curiga dan
tidak percaya ini barangkali tidak enak didengar para duat politisi
atau para politisi dakwah.
Namun, pertanyaan itu lumrah. Setidak-tidaknya karena yang
menanyakan itu adalah orang-orang yang secara lembut kita sebut
sebagai objek dakwah. Salah satu contohnya ketika Goenawan
Mohamad bertanya dalam Catatan Pinggir-nya. “Di sebuah sudut
jalan di Jakarta pernah terpasang sebuah spanduk: ‘Takwa adalah
Solusi bagi Krisis Multidimensional’ . Tapi benarkah? Mungkinkah
kebersihan moral dan ketaatan kepada Tuhan—sesuatu yang berada
di lubuk diri orang seorang, sesuatu yang bisa membentuk pribadi
seseorang—menyelesaikan berbagai krisis di dunia?” (Tempo, 5-
11/2/2001).
Pertanyaan tersebut sebenarnya lebih bersifat tuntutan terhadap
konsistensi, bukan sebuah penolakan. Mereka tidak menafikan
kemungkinan agama mengubah realitas politik atau kemungkinan
seorang ulama menjadi presiden. Namun, mereka meragukan
kemampuan para pelaku (politisi agama) untuk mengubah “janji-
janji agama” menjadi realitas dalam “dunia fakta-fakta”. Hal ini

Dilema Partai Dakwah 25


disebabkan keyakinan seperti itu tidak hanya ada dalam doktrin
agama-agama, melainkan juga ide yang diwariskan sebagian filosof
dunia. Contohnya adalah Plato. Ia menggagas ide tentang sang raja
yang filosof yang oleh orang Jawa disebut pandhita-ratu. Gagasan
ini mirip dengan doktrin kepemimpinan politik dalam Islam, yaitu
gagasan tentang al-‘alim al-za’im wa al-za’im al-‘alim, ulama yang
pemimpin dan pemimpin yang ulama.
Akan tetapi, gagasan itu --juga ide Republik Platonis-- menurut
Goenawan Mohamad ide yang lahir di luar tradisi demokrasi. Hal
itu disebabkan ia menampik negativitas yang justru merupakan
cela yang senantiasa tersembunyi dalam diri setiap manusia, baik
raja maupun bukan. Sementara demokrasi justru bermula dari
kesadaran bahwa cela itu akan senantiasa ada. Ibarat sebuah liang
hitam dalam harapan, dan seperti itulah kemudian sejarah berbicara
kepada kita. Bahkan, dalam sejarahnya yang pendek, menurut
Goenawan lagi, Indonesia sebenarnya telah menjalani ritus yang
membatalkan harapan tua tentang pandhita-ratu.
Setelah itu, dengan diantar oleh referensi tentang hakikat
negativitas dalam diri manusia dan sebuah referensi dari sejarah
politik Indonesia, Goenawan Mohamad berkesimpulan seperti ini: “Di
sebuah negeri yang berulang kali menyaksikan dusta dan patgulipat,
memang mudah tumbuh hasrat umum untuk membuat yang moral
menjadi politis dan yang politis menjadi moral. Ada keyakinan bahwa
jika keteguhan moral dan takwa seseorang disebarluaskan menjadi
sebuah mufakat, maka sebuah komunitas akan berubah jadi baik.
Tapi benarkan demikian? Saya tidak yakin. Seperti orang-orang lain,
saya telah menyaksikan bagaimana orang-orang yang memuliakan
agama menghadirkan diri di ruang politik Indonesia; tak selamanya
perilaku mereka terpuji. Tampaknya memang ada jarak antara
kebajikan yang privat itu dan dunia orang ramai.”
Saya tidak begitu terkejut, apalagi marah dengan kesimpulan

26 Dilema Partai Dakwah


itu. Sebab, memang ada kebenaran dalam idenya. Memang ada
sisi hitam di diri setiap manusia. Baik ia pemimpin, ulama, maupun
orang biasa tanpa kecuali. Di sisi lain, walaupun Islam memberi
proporsi yang sama antara sisi putih dan sisi hitam dalam diri
manusia, tapi Islam jelas mengakui hakikat sisi hitam itu. Bahkan,
ketika Imam Ahmad ditawari untuk tinggal di istana khalifah --
setelah ia mengalami berbagai penyiksaan dari ayah sang khalifah-
- beliau justru berkata, “Saya telah bersabar dalam penyiksaan itu,
tapi saya tidak menjamin bahwa saya bisa bertahan dalam dunia
kemewahan.”
Jadi, memang ada kebenaran ketika Goenawan Mohamad
menjadikan sejarah Indonesia dan kesaksian pribadinya sebagai
referensi yang membenarkan sisi hitam dalam diri manusia. Apalagi
jika referensi sejarahnya adalah masa kepemimpinan Abdurrahman
Wahid, seseorang yang --sebenarnya secara gegabah-- dianggap
ulama. Namun, Goenawan Mohamad, seperti juga banyak pemikir
sosial politik lainnya, tidak melihat sejarah secara utuh: bahwa selain
sejarah kelam juga ada cerita sejarah yang putih. Apakah cerita
kemakmuran dan keadilan dari sejarah kerajaan Nabi Sulaiman
dan negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad bersama para
Khulafah Rasyidin bukan sebuah fakta sejarah? Yang sesungguhnya
terjadi adalah bahwa ada orang-orang masjid yang juga pernah
punya cerita sukses di pasar, di parlemen, dan di istana, namun ada
juga yang gagal. Yang harus disadari adalah pengulangan sejarah
bukan sebuah utopia, walaupun harus diakui, hal itu itu memang
berat. Oleh karena itu, saya tidak menafikan fakta sejarah kita. Akan
tetapi, saya tidak mempunyai alasan sejarah untuk membenarkan
generalisasi yang dilakukan oleh Goenawan Mohamad.
Goenawan Mohamad mungkin hanyalah seorang wakil dari
pragmatisme modern. Pragmatisme, sebagai falsafah, telah
menggeser debat ideologi menjadi debat kepentingan. Mereka tidak

Dilema Partai Dakwah 27


lagi tertarik mendebat kebenaran Islam. Ukuran kebenaran tidak
lagi dalam konsep, tetapi dalam dunia fakta-fakta dimana kenyataan
adalah saksi yang akan membenarkan atau menyalahkan sebuah
ideologi. Dengan kata lain, pertanyaan mereka telah bergeser dari
apakah ideologi itu benar atau salah menjadi apakah ideologi itu
telah mempunyai contoh sukses dalam kenyataan?
Namun, jika mau bersikap lebih bijak dan objektif, agaknya
kita harus lebih memperhatikan dilema yang sesungguhnya
dihadapi para duat politisi atau politisi dakwah. Sebagai manusia
biasa, sesungguhnya cela negativitas itu juga ada dalam diri kita.
Bahwasanya suatu saat, ketika kita bersentuhan dengan kekuasaan
atau ketika kekuasaan sudah berada dalam genggaman tangan,
mungkin saja kita juga tergoda, lalu mungkin ada bunyi atau bau
busuk yang keluar dari tubuh kita. Hal itu tidak saja akan menodai
citra diri kita, tetapi juga citra bendera yang kita bawa, Islam. Oleh
karena di sini, di pentas politik ini, kita tidak sekedar mewakili diri
sendiri, tetapi membawa bendera yang di bawahnya kita meretas
jalan menuju Tuhan, menjelaskan kehendak-kehendak-Nya,
dan membacakan janji-janji-Nya. Di tengah semua keterbatasan
manusiawi yang kita miliki, tantangan itu hadir di depan kita:
bagaimana menjadi model dari kehendak-kehendak Allah swt.?
Bagaimana kita mempersaksikan kepada manusia bahwa ada
“Alquran” yang sedang berjalan di pasar, berdebat di parlemen,
bekerja di kabinet, dan memimpin sebuah negara?
Ini jelas adalah hal yang dilematis. Di manakah letak titik
keseimbangan antara negativitas dengan kesucian yang ingin kita
bawa ke dunia orang ramai? Jawabannya, terletak pada model
masyarakat yang ingin kita bangun. Bahwasanya, masyarakat Islam
adalah komunitas manusia biasa, bukan masyarakat malaikat yang
“serba bersih”. Kesalahan orang-orang seperti Goenawan Mohamad
adalah mereka tidak memaafkan orang-orang mesjid yang bersalah,

28 Dilema Partai Dakwah


sementara orang-orang jalanan yang bersalah dianggap sebagai
suatu kewajaran karena memang begitulah naturalnya.
Walaupun begitu, dalam dilema itulah Allah swt. sesunguhnya
meletakkan ujian bagi kita, para duat: bagaimana menyepadankan
kebenaran Islam dengan kesalihan manusianya dan menyamakan
kebesaran Islam dengan kehebatan manusianya. Ini semua supaya
politik tidak lagi menjadi “tugas yang sedih” dan tidak lagi “terkutuk”
hanya karena ia harus “menerjemahkan nilai-nilai ke dalam
dunia fakta-fakta”. Goenawan mungkin akan menganggap hal ini
sebagai usaha yang akan terjebak dalam petualangan dialektika.
Akan tetapi, misi kita memang hanya satu: menjadi saksi sejarah
bagi manusia kelak di akhirat; bahwa kita telah menyampaikan
kebenaran, bahwa kita telah menghadirkan model individu Islam
dan masyarakatnya; bahwa pernah ada sepotong sejarah yang
belum pernah disaksikan oleh Goenawan Mohamad, namun
sesungguhnya sangat ia rindukan.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas perbuatan kamu….” (Q.S. Al-Baqarah:143)q

Dilema Partai Dakwah 29


Yang kemudian harus kita lakukan
adalah bagaimana mengintegrasikan
kebenaran dengan legalitas. Bagaimana
membuat sesuatu yang salah dalam
pandangan agama menjadi tidak legal
dalam pandangan hukum positif. Secara
terbalik, itu pulalah yang dilakukan para
pelaku kejahatan. Para mafia narkoba
harus mencuci uangnya agar bisa
menjadi hak milik yang legal.

30
6
MENIKMATI
DEMOKRASI

“M
ereka adalah kelompok minoritas seksual yang
punya hak untuk hidup menurut cara mereka
dan harus kita hormati.” Itu kata Dewi Huges saat
mewawancarai dua orang gay, Samuel Wattimena dan Dede Oetomo,
dalam Angin Malam yang bertajuk homoseksual.
Itulah satu sisi lain demokrasi. Semua orang bebas. Setiap
entitas, termasuk entitas nilai, punya hak untuk hidup. Kebebasan
adalah nilai utama yang menyangga demokrasi. “Kita harus terbuka,
tidak ada lagi yang harus ditutup-tutupi. Ini kan era reformasi,”
kata si perancang busana, Samuel Wattimena. Dede Oetomo yang
bekerja sebagai dosen Universitas Airlangga mendukungnya.
Tiba-tiba saya tersadar bahwa kita sedang melukis sebuah
potret kehidupan tidak dari satu imajinasi. Tapi, semua imajinasi
yang pernah dan mungkin ada. Demokrasi hanya memfasilitasi
munculnya semua imajinasi itu, semua pilihan hidup itu, tapi
kemudian melarang kita mempertanyakan bagaimana akhirnya
potret itu.
Setiap individu dalam masyarakat demokrasi sama dengan
individu yang lain. Semua sama-sama bebas dalam berpikir,

Menikmati Demokrasi 31
berekspresi, bertindak, dan memilih jalan hidup. Tidak boleh
ada rasa takut, tidak boleh ada tekanan, terutama dari militer.
Kebebasan hanya dibatasi oleh kebebasan yang sama.
Fungsi negara hanyalah memfasilitasi masyarakat untuk hidup
bersama secara damai. Negara bertugas melindungi setiap individu
dan setiap entitas untuk hidup menurut cara mereka. Dasar yang
digunakan negara dalam bekerja adalah kesepakatan bersama
antarwarga negara, sesuatu yang kemudian kita sebut dengan
konstitusi, undang-undang, atau hukum.
Padanan demokrasi dalam ekonomi adalah tuntutan pasar
bebas. Di sini harus ada jaminan kebebasan bagi lalu lintas barang,
jasa, dan manusia (sebagai apapun, termasuk sebagai tenaga kerja),
tanpa batasan teritorial, regulasi, atau nilai. Semua pergerakan itu
semata-mata tunduk pada hukum supply and demand. Semua
bentuk barang atau jasa harus bisa diperdagangkan, selama ada
permintaan pasar.
Maka, semua orang menikmati demokrasi. Para kapitalis
menikmati demokrasi karena inilah payung politik yang memberi
akses ke semua sudut pasar potensial. Para buruh juga menikmati
demokrasi karena inilah payung politik yang memberi perlindungan
hak-hak dan kebebasan bekerja. Kelompok minoritas dalam semua
bentuknya, termasuk minoritas nilai (atau yang secara kasar kita
sebut menyimpang), juga menikmati demokrasi karena hak hidup
mereka terlindungi di sini.
Dakwah juga menikmati demokrasi karena di sini para dai
menemukan kebebasan untuk bertemu dan berinteraksi secara
terbuka dan langsung dengan semua objek dakwah. Otoritarianisme
dan kediktatoran membuat dakwah tidak bisa bernafas lega. Di
sana tidak ada tempat bagi ekspresi yang lepas.
Tapi, kenikmatan ini ada harganya. Terutama bagi dakwah.

32 Menikmati Demokrasi
Kita memang bebas berdakwah, tapi para pelaku kemungkaran
juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku di sini bukan
hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal,
walaupun salah. Dan, sesuatu yang benar tapi tidak legal adalah
salah. Begitulah aturan main demokrasi. Karena itu, masyarakat
demokrasi cenderung bersifat eufemistis, longgar, dan tidak
mengikat.
Yang kemudian harus kita lakukan adalah bagaimana
mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas. Bagaimana
membuat sesuatu yang salah dalam pandangan agama menjadi
tidak legal dalam pandangan hukum positif. Secara terbalik, itu
pulalah yang dilakukan para pelaku kejahatan. Para mafia narkoba
harus mencuci uangnya agar bisa menjadi hak milik yang legal.
Maka, penetrasi kekuasaan dalam negara demokrasi harus
dilakukan dengan urutan-urutan begini. Pertama, menangkanlah
wacana publik agar opini publik berpihak kepada kita. Inilah
kemenangan pertama yang mengawali kemenangan-kemenangan
selanjutnya. Kedua, formulasikan wacana itu ke dalam draf hukum
untuk dimenangkan dalam wacana legislasi melalui lembaga
legislatif. Kemenangan lagislasi ini menjadi legitimasi bagi negara
untuk mengeksekusinya. Ketiga, pastikan bahwa para eksekutif
pemerintah melaksanakan dan menerapkan hukum tersebut.
Jadi, itulah tiga pusat kekuasaan dalam negara demokrasi:
wacana publik, legislasi, dan eksekusi. Pengadilan itu lembaga
netral. Signifikan tapi tidak menentukan proses pembentukan
struktur kehidupan masyarakat.
Melakukan penetrasi ke tiga pusat kekuasaan itu bukan
pekerjaan mudah. Kita akan menemui banyak ranjau saat hendak
membentuk opini publik untuk memenangkan wacana publik.
Sebab, wacana publik adalah dunia tanpa batasan. Sekarang kita

Menikmati Demokrasi 33
membatasi gerakan komunis di Indonesia karena konstitusi kita
tidak mengizinkannya hidup. Tapi, kita tidak dapat mencegahnya
untuk tumbuh sebagai wacana pemikiran. Demikian pula ketika
Clinton “menghabisi” industri rokok di Amerika. Ia membatasi ruang
publik bagi para perokok dan membuat mereka tidak nyaman. Tapi,
Clinton terlebih dahulu telah memenangkan wacana publik sebelum
memenangkannya dalam wacana legislasi.
Jadi, misalnya kita ingin menghabisi pornografi di negeri ini, itulah
jalannya. Susunlah struktur gagasan yang kuat untuk meyakinkan
publik betapa merugikannya pornografi bagi kehidupan kita. Jika kita
menang di sini, buatlah sebuah rancangan undang-undang untuk
membasmi segala bentuk pornografi. Sekali lagi, jika kita menang di
sini, kontrollah secara ketat apakah pemerintah melaksanakannya
secara baik atau tidak. Kalau tidak, kita tuntut pemerintah.
Demikianlah dakwah harus bekerja di era demokrasi. Ada
kebebasan yang kita nikmati bersama. Tapi, juga tersedia “cara
tersendiri” untuk mematikan kemungkaran dan melakukan
penetrasi kekuasaan. Anggaplah ini sebuah seni yang harus dikuasi
para politisi dakwah.q

34 Menikmati Demokrasi
Menikmati Demokrasi 35
Tugas memenangkan wacana
publik tidak selalu dapat
disederhanakan hanya dengan memiliki
media. Memenangkan wacana publik
adalah seni tentang bagaimana
mempengaruhi dan menyusun
kerangka pemikiran masyarakat.
Atau, bagaimana membuat mereka
berpikir dengan cara yang kita
inginkan, bagaimana membuat mereka
mempersepsikan sesuatu
dengan lensa yang kita kenakan
kepada mereka.

36
7
Memenangkan
Wacana Publik

D
emokrasi adalah sistem yang disusun untuk mewadahi
heterogenitas. Para teoretisi konflik, seperti Hugh Miall,
Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Lewis Coser, dan
lainnya, menyatakan bahwa konflik adalah bagian yang inheren
dalam kehidupan sosial politik dan mengekspresikan heterogenitas
tersebut. Konflik menjadi semakin rumit sejalan dengan tingkat
kerumitan heterogenitas masyarakat. Salah satu titik perbedaan
dalam masyarakat terletak pada keragaman ide, aliran pemikiran
dan ideologi, nilai dan kepercayaan, atau semua yang mungkin kita
sebut sebagai produk akal manusia.
Oleh karena sifat mayoritas merupakan salah satu ukuran
dalam demokrasi, maka pengaruh sebuah pemikiran ditentukan
oleh kemampuannya menjadi arus di masyarakat. Karena itu, opini
publik menjadi salah satu institusi terpenting dalam demokrasi.
Sama pentingnya dengan lembaga legislatif dan lembaga
eksekutif. Artinya, wacana publik harus dimenangkan dulu sebelum
kita memenangkan wacana legislasi dan memenuhi lembaga
eksekutif.
Haruskah kita punya “media” kalau kita ingin memenangkan

Memenangkan Wacana Publik 37


wacana publik? Inilah perdebatan yang sering terjadi di kalangan
para duat setiap kali diskursus tentang memenangkan wacana
publik mengemuka. Saya termasuk yang percaya bahwa tugas
memenangkan wacana publik tidak selalu dapat disederhanakan
hanya dengan memiliki media. Memenangkan wacana publik adalah
seni tentang bagaimana mempengaruhi dan menyusun kerangka
pemikiran masyarakat. Atau, bagaimana membuat mereka berpikir
dengan cara yang kita inginkan, bagaimana membuat mereka
mempersepsikan sesuatu dengan lensa yang kita kenakan kepada
mereka.

Dunia pikiran
Pikiran adalah referensi yang diperlukan masyarakat untuk
memberi arah, merasionalisasikan sikap dan tindakan, membantu
menentukan pilihan, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan
memberikan solusi. Tatkala Uni Soviet runtuh di awal dekade ‘90-an,
orang-orang Barat merayakannya sebagai kemenangan kapitalisme
dan ekonomi pasar. Bagi mereka, komunisme tidak lagi sanggup
menjawab tantangan zaman yang dihadapi masyarakat. Komunisme
mengalami kemarau dan kekeringan yang tidak kunjung selesai
manakala negara yang menyangga kemudian kehabisan nafas
untuk tetap bertahan.
Maka, syarat pertama yang harus kita miliki adalah kekayaan
pikiran. Dan, ini ditentukan oleh dua hal. Pertama, kekayaan dan
orisinalitas referensi. Kedua, kemampuan mengeksplorasi referensi
dan memformulasikannya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan
zaman. Kita memiliki yang pertama, tetapi harus berlatih untuk
memiliki yang kedua. Kita mempunyai Alquran dan Sunnah, namun
kita berijtihad untuk “menemukan mutiara-mutiaranya”.
Syarat kedua adalah struktur pemikiran yang sudah kita

38 Memenangkan Wacana Publik


formulasikan itu harus kuat dan solid. Kesolidan terbentuk ketika
mencakup semua bagian yang inheren di dalamnya dan pada waktu
yang sama mempunyai daya tahan terhadap kritik dari luar.
Sebuah pemikiran dengan struktur yang solid akan berpengaruh
pada tiga hal. Pertama, pada tingkat kejelasan pikiran dalam benak
kita dan pada keseluruhan susunan kesadaran kita. Kedua, pada
tingkat keyakinan kita terhadap pemikiran tersebut, yang biasanya
selalu tinggi. Ketiga, pada kemampuan kita membahasakannya
atau pada daya ungkap yang tercipta dari kejelasan pikiran tersebut.
Semakin jelas pemahaman kita terhadap suatu pikiran, semakin
sempurna kemampuan kita membahasakannya.
Syarat ketiga adalah kemampuan kita meyakinkan publik.
Kemampuan ini sekarang telah berkembang menjadi sebuah
pengetahuan baru yang dalam hal ini orang-orang tidak lagi
mempertanyakan kebenaran dari sebuah pikiran, tetapi berpikir
bagaimana menjadikannya sebagai milik publik.
Syarat ketiga bertumpu pada beberapa hal. Pertama, pada
penguasaan teoretis terhadap pikiran yang ingin kita sosialisasikan.
Kedua, pada penguasaan kita tentang struktur pemikiran orang lain
dan varian-varian yang membentuknya. Ketiga, pada kejelian kita dalam
menentukan entry point yang tepat untuk melakukan penetrasi terhadap
pemikiran orang lain. Keempat, pada kemampuan menemukan
format bahasa yang tepat dengan struktur kesadaran, bentuk logika,
kecenderungan estetika kebahasaan, dan situasi psikologis, serta
momentum yang mengkorelasi pikiran kita dengan suasana mereka.
Inilah penjelasan dari sabda Rasulullah saw., “Berbicaralah kepada
orang lain sesuai dengan tingkat pemikiran mereka.”

Fenomena ikhwan
Mungkin tepat untuk menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai

Memenangkan Wacana Publik 39


sebuah contoh. Banyak pengamat mengklaim kegagalan Ikhwanul
Muslimin ketika gerakan itu, meskipun telah memasuki usia tiga
perempat abad, tidak pernah mampu menguasai sebuah negara
dan merealisasikan cita-cita politiknya.
Saya kira mereka salah. Kalau orang menjadikan Mesir sebagai
ukuran, barangkali memang Ikhwan belum berkuasa di negeri
itu. Akan tetapi, kalau “akal dunia Islam” yang menjadi ukuran,
maka kita harus mengatakan bahwa pustaka dunia Islam saat
ini dipenuhi oleh para pemikir Ikhwan. Dalam dunia pemikiran
Islam, mereka telah menjadi referensi. Bahkan, mereka kemudian
menjadi representasi peradaban Islam modern, yang dari sana Barat
menentukan cara mereka memahami gejolak kebangkitan dan
dinamika pemikiran dunia Islam. Itulah kemenangan yang hakiki,
yang memberikan nafas bagi gerakan ini dari balik jeruji besi dan
tiang gantungan.
Namun demikian, tetaplah harus ditegaskan bahwa tugas
memenangkan wacana publik menuntut kita memiliki media. Akan
tetapi, memiliki media saja tetap tidak cukup untuk menjalankan
tugas ini. Yang jauh lebih penting adalah memenuhi syarat-syarat
yang telah disebutkan sebelumnya: kuasailah kerangka pemikiran
Islam, pelajari cara mereka berpikir, tentukan pintu masuk ke dalam
akal mereka, pilihlah format bahasa yang sesuai dengan situasi
mereka, dan berbicaralah pada saat yang tepat.
Menjadi issue maker mungkin lebih strategis ketimbang
sekadar memiliki media. Tetapi, menjadi keduanya tentu saja lebih
sempurna.q

40 Memenangkan Wacana Publik


Memenangkan Wacana Publik 41
Dakwah kita saat ini sangat
membutuhkan kehadiran kelompok
pemikir strategi. Generasi “ideolog”
telah melakukan tugas mereka dengan
baik. Sayyid Quthub, Muhammad
Quthub, Muhammad Al-Ghazali,
dan Yusuf Al-Qardhawi di Mesir, Al-
Maududi di Pakistan, dan Al-Nadawi
di India. Mereka telah membangun
basis pemikiran yang kokoh bagi
kebangkitan Islam di seluruh dunia. Kini
tiba saatnya peran mereka dilanjutkan
oleh generasi baru, generasi pemikir
strategi yang bertugas menyusun
langkah-langkah stra-tegis untuk
mencapai cita-cita dakwah.

42
8
Kelompok
Pemikir Strategi

S
nouck Hourgronje mungkin orang paling berjasa bagi
pemerintah Hindia Belanda. Jasanya terbesar adalah usulan
kebijakan tentang bagaimana seharusnya pemerintah Hindia
Belanda “menghadapi” umat Islam di Indonesia, yang kemudian
terbukti efektif dan berhasil memperpanjang usia “penjajahan” di
negeri ini.
Yang menarik di antara sekian banyak rekomendasi kebijakannya
adalah peringatannya kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
tidak mengganggu tiga hal dalam kehidupan umat Islam. Pertama,
jangan ganggu umat Islam melaksanakan semua jenis ibadahnya,
bahkan fasilitasi mereka untuk itu. Kedua, jangan ganggu kaum
perempuan. Ketiga, jangan ganggu para ulama. Kebijakan ini
benar-benar tepat untuk sebuah komunitas muslim dengan
pola keberagamaan yang simbolik dan harfiah sehingga selama
simbol-simbol yang disakralkan agama tidak terganggu, mereka
merasa agama ini masih baik-baik saja. Tidak ada yang perlu
dicemaskan.
Setelah berdirinya Israel tahun 1948, para pemikir strategi
Israel memunculkan sebuah gagasan tentang “perang periodik”.

Kelompok Pemikir Strategi 43


Gagasan ini mengatakan bahwa karena secara finansial Israel
sangat tergantung dari bantuan internasional, khususnya dari
Amerika Serikat dan Inggris, maka bantuan-bantuan itu selalu perlu
dirasionalisasi dari waktu ke waktu kepada publik dunia. Jadi, Israel
perlu melakukan usaha-usaha yang sistematis untuk “mengekspor”
persoalan-persoalannya kepada dunia, ancaman-ancaman terhadap
eksistensi dan kelangsungan hidupnya. Sesuatu yang membuatnya
tampak perlu dikasihani dan ditolong serta diselamatkan. Dengan
cara itu mereka mendapatkan simpati dunia. Salah satu bentuknya
adalah bantuan finansial.
Strategi yang paling tepat untuk itu adalah perang. Dan,
dirancanglah sebuah perang periodik dengan negara-negara Arab,
Mesir, Syria, dan Lebanon. Perang itu berlangsung antara setiap
lima sampai sepuluh tahun. Perang 1948 disusul Perang 1956,
lalu Perang 1967, kemudian Perang 1973, selanjutnya Perang
1982. Perang periodik itu perlu dilakukan untuk me-maintain
memori publik terhadap Israel yang perlu diselamatkan. Ketika saya
berkunjung ke Amerika Serikat, Juli 2000 lalu, dan sempat bertemu
dengan beberapa senator dan congressman di Washington, saya
mendapatkan informasi dari mereka bahwa 80% bantuan luar negeri
Amerika memang diberikan kepada Israel dan “Mesir”.
Strategi perang periodik itu ternyata berhasil melaksanakan
beberapa fungsi. Pertama, mempertahankan semangat perang
prajurit Israel. Kedua, merealisasi prinsip ekspansionisme yang
merupakan bagian inheren dalam falsafah Zionisme internasional.
Ketiga, mendapatkan uang. Sekarang kita melihat betapa efektifnya
strategi itu, baik dalam menciptakan soliditas internal dalam struktur
masyarakat Israel yang baru berdiri maupun dalam menciptakan
image Israel sebagai raja yang paling berkuasa di kawasan Timur
Tengah. Istilah Timur Tengah ini sendiri merupakan bagian dari

44 Kelompok Pemikir Strategi


strategi Israel untuk mengisolasi Dunia Arab dari Dunia Islam, untuk
kemudian mengisolasi Palestina dari Dunia Arab.
Itu hanya dua contoh tentang bagaimana pemikiran strategis
telah membantu memperpanjang usia sebuah penjajahan dalam
kasus pertama dan memperkokoh posisi politik-militer penjajah
baru dalam kasus kedua. Kehadiran kelompok pemikir strategi telah
menjadi sebuah keniscayaan, bukan saja bagi negara, tapi juga
bagi semua kelompok yang mempunyai misi besar. Para konsultan
memainkan peran sebagai pemikir strategi dalam dunia bisnis,
sementara lembaga-lembaga pengkajian strategi memainkan peran
yang sama untuk komunitas sosial, politik, dan militer.

Generasi pemikir strategi


Kalau dakwah ini merupakan sebuah proyek peradaban,
sesungguhnya dakwahlah yang lebih membutuhkan kehadiran
kelompok pemikir strategi. Saat ini di hampir seluruh negara Islam,
dakwah sedang dalam proses “menegara”. Mark Juergensmeyer
bahkan menyebut fenomena ini sebagai gejala kebangkitan global
dari “nasionalisme religius”. Di kalangan para pengamat politik
internasional, seperti Kinechi Ohmae, Naisbit, dan Huntington,
ada anggapan kuat bahwa era konsep negara-bangsa (nation
state) --dipelopori oleh Perancis dan Amerika pada abad ke-18
sebagai model negara pasca negara-dinasti yang bertumpu pada
feodalisme--yang menjadikan nasionalisme sebagai ruhnya kini
telah berakhir. Sebagai gantinya muncul konsep negara-etnis dan
konsep negara-agama.
Saya tidak sedang ingin membahas masalah itu. Yang ingin
saya katakan adalah dakwah kita saat ini sangat membutuhkan
kehadiran kelompok pemikir strategi. Karena itu saya merasa bahwa
generasi para “ideolog” telah melakukan tugas mereka dengan baik.

Kelompok Pemikir Strategi 45


Sayyid Quthub, Muhammad Quthub, Muhammad Al-Ghazali, dan
Yusuf Al-Qardhawi di Mesir, Al-Maududi di Pakistan, dan Al-Nadawi
di India. Mereka telah membangun sebuah basis pemikiran yang
kokoh bagi kebangkitan Islam di seluruh dunia. Kini tiba saatnya
peran mereka dilanjutkan oleh generasi baru, generasi pemikir
strategi yang bertugas menyusun langkah-langkah strategis untuk
mencapai cita-cita dakwah. Saya tidak mengatakan generasi itu
belum ada. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa pustaka dunia
Islam masih dipenuhi oleh tulisan para ideolog tersebut, dibanding
generasi baru yang kita harapkan.
Yang kita perlukan adalah kehadiran sejumlah pemikir strategi
dengan kualifikasi yang baik dan terinstitusikan serta bekerja dengan
metodologi yang handal. Para pemikir strategi adalah orang-orang
yang berpikir dalam kerangka kesisteman, menggabungkan banyak
disiplin ilmu, dan meramunya menjadi sebuah struktur pemikiran
yang utuh, menjelaskan bagaimana tujuan, cara dan sarana
terintegrasi menjadi satu kesatuan. Strategi bukanlah sebuah
disiplin ilmu. Ia adalah seni tentang bagimana memanfaatkan
berbagai disiplin ilmu untuk mencapai tujuan tertentu. Itulah yang
menjelaskan mengapa metode merupakan salah satu bagian inti
dari strategi. Tapi, para pemikir strategi itu, beserta pemikiran-
pemikiran mereka, perlu diinstitusikan. Karena, ini bukan pekerjaan
yang bisa diselesaikan sendiri oleh seorang pemikir.
Dalam konteks kita saat ini, ada setidak-tidak dua bidang
garap yang harus dilakukan oleh kelompok pemikir strategi ini.
Pertama, strategi gerakan, yaitu merumuskan strategi untuk
mengembangkan dakwah dari partai menuju negara, termasuk
di dalamnya merumuskan strategi pengembangan institusi, kader
kepemimpinan, basis massa, pola penetrasi sosial, tahapan
ekspansi, tema dan agenda politik partai pada setiap tahapannya.

46 Kelompok Pemikir Strategi


Kedua, merumuskan berbagai kebijakan publik yang sebagiannya
untuk dijadikan landasan bagi penyusunan berbagai perundang-
undangan dan sebagiannya lagi untuk diusulkan sebagai
kebijaksanaan pemerintah.
Para pemikir strategi harus mempunyai basis yang kuat pada dua
lingkaran pengetahuan. Pertama, basis ilmu-ilmu keislaman. Kedua,
basis ilmu-ilmu sosial humaniora. Selama ini ada kesan bahwa para
aktivis dakwah justru menghindari ilmu-ilmu sosial dengan alasan
muatannya yang sangat sekuler. Saya tidak menafikan hal itu. Tapi,
itu bukan alasan untuk tidak menggelutinya. Karena, basis ilmu-ilmu
keislaman dan pengalaman tarbiyah bukan saja akan memberikan
imunitas kultural dan pemikiran, tapi juga kemampuan memilah dan
mencipta sesuatu yang baru. Sebagaimana cerita Alquran tentang
susu: datangnya dari antara kotoran dan darah.q

Kelompok Pemikir Strategi 47


Seni berkawan dan seni berkoalisi
bukan hanya menuntut kemampuan
mengartikulasikan diri dan nilai-nilai kita
secara baik dan mempesona, melainkan
juga menuntut kemampuan memahami
orang lain. Memasuki ruang akal dan
hati mereka, mengelola perbedaan-
perbedaan menjadi kekuatan dinamis,
dan mengantispasi potensi ancaman
untuk tidak terkristalisasi menjadi
kekuatan destruktif.

48
9
Dakwah
yang Menegara

D
alam mihwar muassasi (tahap institusionalisasi), kita
melakukan mobilitas vertikal untuk menginstitusikan
dakwah dalam negara. Kepemimpinan dakwah
mengalami pengembangan peran dan tugas, dari pengelolaan
gerakan kepada pengelolaan negara. Penyebaran horizontal dalam
bentuk penetrasi sosial—yang melahirkan fenomena islamisasi dan
membentuk komunitas-komunitas muslim—telah meluas secara
relatif dan memungkinkan untuk berkembang menjadi arus
tuntutan publik yang kuat.
Yang terjadi dalam tahapan ini adalah sebuah transformasi
strategis dari gerakan ke negara. Pada tahapan ini dakwah mulai
menegara. Hal ini terjadi dengan dukungan dari sejumlah kekuatan
strategis, berupa basis kepemimpinan, basis sosial, basis wilayah,
dan basis konseptual.
Akan tetapi, dalam proses menegara, kekuatan strategis di atas
tidaklah cukup untuk menjadikan Islam dan kaum Muslimin sebagai
pengelola utama negara. Kekuatan strategis tersebut merupakan
kekuatan kualitatif yang tidak dapat berdiri sendiri, dan karenanya,
harus mendapatkan pembobotan dari kekuatan strategis yang lain.

Dakwah yang Menegara 49


Beberapa kekuatan startegis yang lain adalah sebagai berikut.
Pertama, kekuatan kuantitatif. Dalam masyarakat demokrasi,
kekuatan kualitatif sebuah kelompok harus dapat dibuktikan secara
kuantitatif. Hal ini sebabkan metode pengukuran kuantitatif menjadi
niscaya dalam masyarakat yang besar dan heterogen, sehingga
proses representasi harus dilakukan melalui penyederhanaan yang
bersifat kuantitatif.
Pengukuran kuantitatif dalam sistem demokrasi dilakukan
melalui pemilihan umum. Ini merubah paradigma pemenang: yang
menang bukanlah partai terbaik, tapi partai terbesar. Oleh karena
itu, faktor jumlah menjadi salah satu kekuatan strategis yang tidak
dapat diabaikan. Rasulullah saw. sendiri akan membanggakan
jumlah umatnya yang banyak pada hari kiamat. Akan tetapi, selain
itu, juga terdapat sebuah kenyataan bahwa kekuatan kuantitatif
pada saatnya dapat dirubah menjadi kekuatan kualitatif.
Kenyataan ini mengharuskan kita mengaitkan aktivitas-aktivitas
dakwah dengan rencana pemenangan pemilu, dan berhitung bahwa
harus ada sesuatu yang ingin saya sebut sebagai “efek kuantitatif”
dari kebaikan-kebaikan yang kita tebar di tengah masyarakat. Kita
harus berani untuk “kelihatan sedang berbuat baik”, dan mau
“memperlihatkan bahwa kita selalu berbuat baik.”
Celakanya, di sini ada ironi tentang keikhlasan: ini bukan
perbuatan riya, tetapi memang bisa menggoda ke arah sana.
Namun, seperti kata Rasulullah saw., kita memang harus menjadi
“tahi lalat” di tengah masyarakat: kebaikan kita terlihat, dan hal
itu mempunyai efek kuantitatif—dimana popularitas orang soleh
menjadi pesona yang menggoda masyarakat mengikuti jalan
kebenaran. Jumlah yang banyak adalah kekuatan, dan kekuatan
adalah kebaikan yang dicintai Allah swt.
Kedua, koneksi politik. Dalam dunia politik, yang kita butuhkan

50 Dakwah yang Menegara


bukan hanya pengikut (konstituen), tetapi juga kawan. Inilah seni yang
paling rumit dalam dunia politik: bagaimana mengubah kekuatan
penghambat menjadi kekuatan pen­dukung, dan bagaimana
mengubah lawan menjadi kawan. Konstituen memberikan kita
dukungan vertikal, tetapi kawan-kawan politik memberikan kita
dukungan horizontal. Seribu kawan dalam politik tidaklah cukup,
tetapi satu musuh itu sudah terlalu banyak.
Ancaman yang paling berat dalam dunia politik adalah isolasi.
Walaupun kita tidak boleh takut terhadap isolasi, kita harus percaya
bahwa itu akan sangat menghambat laju dakwah. Bahkan, konsep
jihad dibuat untuk salah satunya menerobos isolasi itu. Oleh
karena itu, ketika kaum Muslimin memenangkan Perang Khandaq
yang merupakan mobilisasi terbesar yang dapat dilakukan kaum
musyrikin Quraisy, Rasulullah saw. langsung bersabda, “Sekarang
kita yang akan menyerang mereka, dan mereka tidak akan pernah
menyerang kita lagi.”
Karena itu, seni berkawan dan seni berkoalisi, bukan hanya
menuntut kemampuan mengartikulasikan diri dan nilai-nilai
kita secara baik dan mempesona, melainkan juga: menuntut
kemampuan memahami orang lain, memasuki ruang akal dan
hati mereka, mengelola perbedaan-perbedaan menjadi kekuatan
dinamis, dan mengantispasi potensi ancaman untuk tidak
terkristalisasi menjadi kekuatan destruktif.

Paradigma baru
Dua kekuatan di atas—kekuatan kuantitatif dan koneksi politik,
sebenarnya dibangun dari sebuah paradigma dakwah yang melekat
dalam mihwar muassasi. Kedua paradigma inilah yang akan
memberikan kita arahan tentang bagaimana membangun kedua
kekuatan tersebut.

Dakwah yang Menegara 51


Pertama, paradigma keterbukaan. Prinsip dasar dakwah
adalah keterbukaan untuk semua manusia, baik muslim maupun
non muslim. Hal ini disebabkan inti dari ajakan kepada mereka
adalah untuk melakukan kebaikan dan mencegah ke­mungkaran.
Karena itu, kita harus membuka diri untuk bergaul dengan
mereka—dengan tetap menjaga ciri khas kita, bersikap lebih wajar
terhadap perbedaan-perbedaan identitas, kultur, pikiran, dan juga
nilai-nilai.
Kedua, paradigma objek dakwah. Paradigma kedua ini adalah
penajaman terhadap paradigma pertama. Hal ini dikarenakan
dakwah ini untuk semua manusia, maka kita harus memandang
mereka sebagai objek dakwah. Inilah inti keunggulan kita, yang
sekaligus menuntut kita bekerja lebih cerdas dan memahami
dengan baik. Bukan saja bagaimana berbaur sekalipun berbeda,
tetapi juga bagaimana mempengaruhi, merekrut, mengelola,
mengayomi, melindungi, dan memimpin orang lain.
Yang pertama mengharuskan kita membuka diri dan hati kita
bagi semua orang; biar kita belajar menjadi karpet empuk yang dapat
diduduki oleh semua orang. Adapun yang kedua mengharuskan kita
meningkatkan kemampuan mempengaruhi, mengorganisasi, dan
memimpin orang lain. Yang pertama terkait dengan wawasan dan
karakter, sedangkan yang kedua terkait dengan kemampuan. Jadi,
persoalannya bukan pada terbuka atau tidak terbuka, sektarian
atau tidak sektarian, tetapi bagaimana mendapatkan keuntungan
optimal dari keterbukaan tersebut untuk kepentingan dakwah.
Pada akhirnya, hal ini akan menempatkan para pengurus dan
kader berada dalam lingkaran struktural kita, simpatisan dan
pendukung berada dalam lingkaran kultural kita, dan koneksi
politik berada dalam lingkaran pengaruh kita. Kader pemimpin yang
kompeten, konstituen yang banyak, koneksi politik yang luas, dan

52 Dakwah yang Menegara


kelompok pemikir strategi yang handal: itulah segenap kekuatan yang
kita perlukan untuk menegara. Wallahu a’lam bish-shawwab.q

Dakwah yang Menegara 53


Isolasi adalah kunci yang menutup
ruang gerak sebuah kekuatan. Setiap
kekuatan dalam medan pertempuran
akan menghindari semua usaha
pengepungan yang menghilangkan
keleluasaannya untuk bergerak
dan melawan. Dalam dunia militer,
bisnis, dan politik modern, jaringan
merupakan kekuatan paling ampuh
yang setiap saat dapat digunakan
untuk mengisolasi para pesaing.

54
10
Politik Isolasi

S
aat ini, barangkali Gus Dus dan lingkaran politiknya adalah
orang yang paling kesepian di negeri ini (tulisan ini dibuat saat
Gus Dur masih berkuasa --editor). Tiba-tiba saja keangkuhan
dan arogansinya lumpuh di depan memorandum pertama dan kedua
yang dikeluarkan DPR pada bulan Februari dan Mei lalu. Riwayat
politiknya bahkan hampir pasti akan berakhir kalau pada awal Juni
nanti DPR meminta Sidang Istimewa MPR segera digelar.
Saya jadi teringat pengalaman Mega pada pemilihan presiden
di SU MPR 1999 lalu. Pengalaman itu agaknya terlalu pahit bagi
seorang calon penguasa baru yang telah memenangkan pemilu
1999 dengan sangat cemerlang, tapi gagal meraih kursi presiden.
Tiba-tiba saja kemenangan besar dalam pemilu itu kehilangan
maknanya, kehilangan pengaruhnya, kehilangan efektivitasnya.
Mega mungkin cukup gembira karena pesaing utamanya,
Habibie, sudah gagal sebelumnya. Tapi, sebuah ironi politik lantas
muncul ke permukaan ketika justru Gus Dur yang memenangkan
kursi itu. Sekarang cerita politik itu berbalik. Kekuasaan besar Gus
Dur kehilangan semua keampuhannya.
Keangkuhan dan arogansi yang menandai performa PDIP sesaat

Politik Isolasi 55
setelah memenangkan pemilu 1999 --dan yang juga tiba-tiba
menjadi ciri khas Gus Dus sesaat setelah berkuasa-- telah berujung
pada kesepian, keterasingan, kepanikan, dan ketidakberdayaan.
Sangat menyedihkan memang. Tapi, politik adalah dunia yang terlalu
kasat mata, terlalu ril, terlalu rasional, dan sekaligus rumit karena
digerakkan oleh sangat banyak variabel.

Isolasi
Dunia politik kita kemudian mendapatkan sebuah fenomena
baru: bagaimana kemenangan besar dalam pemilu kehilangan
efektivitasnya; sebuah kekuasaan besar kehilangan keampuhannya
justru ketika harus berhadapan dengan tekanan politik isolasi.
Isolasi adalah kunci yang menutup ruang gerak sebuah kekuatan.
Setiap kekuatan dalam medan pertempuran akan menghindari
semua usaha pengepungan yang menghilangkan keleluasaannya
untuk bergerak dan melawan. Dalam dunia militer, bisnis, dan politik
modern, jaringan merupakan kekuatan paling ampuh yang setiap
saat dapat digunakan untuk mengisolasi para pesaing.
Dunia Islam sebenarnya mempunyai daftar panjang pengalaman
isolasi. Sebelum runtuh pada tahun 1924, Khilafah Utsmaniyah
Turki telah diisolasi baik secara geografis, politik, maupun kultural
dari wilayah-wilayah Islam lainnya. Khilafah Utsmaniyah benar-benar
sendirian menghadapi konspirasi internasional.
Palestina juga demikian. Secara bertahap dunia Arab diisolasi
dari dunia Islam lainnya. Kemudian Palestina diisolasi dari dunia
Arab. Penggantian istilah dunia Arab menjadi Timur Tengah telah
memberi kesan datar kepada kawasan itu, yang secara psiko-politik
kemudian memisahkannya dari wilayah lain kaum muslimin. Setelah
itu, melalui gagasan nasionalisme, masalah pendudukan Israel atas
Palestina direduksi menjadi masalah internal bangsa Palestina.

56 Politik Isolasi
Sepanjang dekade ‘70-an dan ‘80-an, gerakan-gerakan Islam
di hampir seluruh belahan dunia Islam mengalami isolasi politik
yang sangat berat. Seorang pemimpin Islam di Kuwait, Dr. Jasim
Muhalhil, punya cerita unik tentang itu. Ia pernah bertanya kepada
seorang pemimpin Islam negara tetangganya, “Apa yang dapat kamu
bayangkan tentang dakwah sepuluh tahun ke depan?” Pemimpin
itu menjawab, “Saya tidak tahu. Saya tidak punya bayangan apa-
apa!”
Yang kita pertaruhkan dalam isolasi seperti itu adalah harapan.
Sekuat apa kita mempercayai harapan-harapan kita? Selama apa
kita mampu bertahan dengan harapan yang tak kunjung terbukti?
Tsiqoh kepada Allah! Itulah ujiannya. Dan itulah yang memberikan
nafas kepada gerakan-gerakan Islam untuk terus bergeliat dan
berusaha menembus tirai isolasi itu.

Koalisi
Gelombang demokratisasi di dunia, termasuk di dunia Islam,
khususnya setelah runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya era perang
dingin, sedikit banyak telah membantu gerakan-gerakan Islam untuk
keluar dari lingkaran setan isolasi. Melalui sistem multipartai yang
merupakan salah satu indikator demokrasi, gerakan-gerakan Islam
bermetamorfosis menjadi partai-partai politik.
Dalam sistem ini secara vertikal kita membangun basis
konstituen untuk mendapatkan kekuatan kuantitatif dalam bentuk
dukungan publik. Tapi, secara horizontal kita juga membangun
koneksi politik yang luas melalui koalisi-koalisi politik.
Dalam sistem multipartai adalah penting untuk memenangkan
pemilu, tapi sama pentingnya menguasai seni berkoalisi. Bukan
saja karena ini merupakan tuntutan dari sistem multipartai
dimana hampir dapat dipastikan tidak akan munculnya pemenang

Politik Isolasi 57
mayoritas, tapi juga karena ini merupakan tuntutan dakwah yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Syekh Munir Al-Gadhban
bahkan menulis fenomena koalisi politik Rasulullah saw itu dalam
buku al-Tahaluf al-Siyasi Fii al-Sirat al-Nabawiyyah (Koalisi Politik
dalam Sirah Nabi).
Koalisi bukan hanya dibutuhkan untuk kepentingan memenangkan
persaingan politik yang sempit, tapi juga merupakan bagian dari
upaya membangun kemampuan penggalangan politik nasional.
Konspirasi internasional sering menggunakan kekuatan-kekuatan
politik nasional untuk mengisolasi kekuatan politik Islam.
Tapi, yang ingin ditegaskan disini adalah koalisi diperlukan
untuk sejumlah tingkatan kebutuhan: kebutuhan memenangkan
persaingan politik yang lebih spesifik, kebutuhan akan koneksi
politik yang luas, kebutuhan untuk membangun kemampuan
penggalangan politik nasional yang lebih luas untuk menciptakan
kebersamaan dan ketahanan politik nasional, kebutuhan untuk
membangun lingkaran pengaruh yang dapat mengurangi ancaman
isolasi politik.
Tentu saja akan ada dhawabith (etika) dari sudut pandang
syariah, dakwah, dan politik untuk mengatur tata cara berkoalisi.q

58 Politik Isolasi
Politik Isolasi 59
Di hadapan kita saat ini ada sebuah
celah sejarah yang diciptakan oleh
masa transisi. Tetapi, peluang-
peluangnya juga diserta berbagai
tantangan. Kalau kita ingin merebut
masa depan dan kita memang harus
merebutnya-- tantangan-tantangan
itu harus kita cermati
dengan baik.

60
11
Celah Sejarah
dan Tantangan
Baru

K
ekuatan-kekuatan baru, baik ideologi maupun politik,
selalu muncul di persimpangan sejarah. Ketika peradaban
Romawi dan Persi mengalami kemandekan ideologi dan
kerapuhan pemerintahan, kedua peradaban itu terjerumus ke dalam
konflik-konflik internal dan eksternal yang menguras seluruh tenaga
mereka. Dan Islam pun muncul sebagai kekuatan peradaban baru.
Ketika area Perang Dunia II merambah kawasan Pasifik dan
secara khusus di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur berhadap-
hadapan Jepang dan Sekutu, para pejuang kemerdekaan berfirasat
bahwa inilah celah bagi Indonesia untuk mendeklarasikan
kemerdekaannya. Dan muncullah sebuah negara baru yang
berdaulat: Indonesia.
Itulah yang saya sebut “celah sejarah”. Ketika pemerintahan
Soeharto mulai memperlihatkan tanda-tanda kejatuhannya,
berbagai kekuatan ideologi dan politik baru mempersiapkan
diri untuk muncul. Ketika sistem multipartai dikukuhkan dalam
konstitusi kita, tiba-tiba 148 partai politik muncul ke pentas politik
nasional. Dan kita merupakan salah satu di antaranya.
Itu adalah rekrutmen sejarah. Tetapi, selalu ada seleksi sejarah

Celah Sejarah dan Tantangan Baru 61


sesudahnya. Itulah tantangannya. Dalam setiap seleksi sejarah,
hanya tersedia dua kemungkinan: lulus dan tidak lulus.

Transisi, peluang dan tantangan


Kemunculan kita sebagai sebuah kekuatan politik terjadi ketika
bangsa kita sedang mengalami masa transisi yang rumit. Tapi,
transisi yang diawali dengan krisis moneter dan ekonomi ini yang
telah terjadi sejak 1997, sampai saat ini tidak menunjukkan tanda-
tanda akan berakhir. Apabila Sidang Istimewa (SI) digelar, misalnya,
pada Agustus 2001 nanti dan pergantian kepemimpinan nasional
terjadi, agaknya kita perlu mencatat bahwa mungkin itu bukan akhir
dari transisi yang kita alami.
Transisi akan berakhir bila tanda-tandanya mulai memperlihatkan
diri secara tegas. Pertama, terformulasinya kembali platform
kenegaraan kita. Kedua, terkonsolidasinya kembali kekuatan-
kekuatan politik nasional. Ketiga, muculnya kepemimpinan nasional
yang kuat dan berwibawa. Keempat, tergalangnya dukungan rakyat
yang besar terhadap pemerintah dan proses pemerintahan yang
sedang berjalan.
Mungkin tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa keempat
tanda-tanda tersebut sampai saat ini belum terlihat dengan jelas.
Dengan demikian kita dapat mengatakan dengan yakin bahwa masa
transisi kita tidak akan berakhir dalam waktu dekat.
Pesan yang terkandung dalam pernyataan itu adalah sejarah
bangsa kita, saat ini, kembali membuka celah. Dalam sebuah
transisi yang panjang, yang sesungguhnya teruji adalah nafas setiap
kekuatan politik untuk tetap bertahan dan konsisiten dengan nilai-
nilai yang membentuk perilaku politiknya. Dalam konteks itu kita
dapat mencatat beberapa tantangan kita di masa transisi ini.
Pertama, mampukah kita mengisi apa yang ingin saya sebut

62 Celah Sejarah dan Tantangan Baru


sebagai “kevakuman konseptual” dalam wacana kenegaraan kita
saat ini? Sebab, setiap kekuatan baru yang muncul tanpa membawa
konsep yang jelas niscaya tidak akan bertahan lama di panggung
kekuasaan.
Kedua, mampukah kita menggalang dan mengkonsolidasikan
kekuatan-kekuatan politik lainnya? Sebab, kemampuan ini akan
menentukan tingkat penerimaan kekuatan-kekuatan politik lain
terhadap keberadaan dan kelayakan kita untuk memimpin mereka.
Ini memang musykil. Karena, tidak saja ditentukan oleh kekuatan
konseptual, tapi juga fakta kuantitatif (besaran) kekuatan politik
disamping tentu saja kelincahan dan ketangguhan lobi kita.
Ketiga, mampukah kita menyiapkan calon-calon pemimpin
nasional yang menggabungkan antara integritas kepribadian,
kapasitas kepemimpinan, dan penerimaan publik yang luas?
Karena, di masa transisi selalu terjadi dua pergantian: pergantian
konseptual dan pergantian kepemimpinan. Kita hanya bisa merebut
masa depan kalau kita mempunyai stok pemimpin yang tangguh dan
handal yang dapat mengisi kekosongan kemimpinan nasional.
Keempat, mampukah kita mendongkrak popularitas partai kita
untuk mendapatkan dukungan publik yang luas? Mereka yang
berhasil merebut dukungan publik adalah mereka yang mampu
membaca ”keinginan rakyat” dan “memba­hasa­kannya” dalam
platform perjuangan partai. Tentu saja disamping kelincahan
organisasi dan kehandalan tokoh-tokoh partai. Memang ada
masalah: “keinginan rakyat” harus dapat dibahasakan sedemikian
rupa agar dapat mengikuti kehendak Allah, yang kemudian kita
sebut dengan syariat.
Nah, di hadapan kita saat ini ada sebuah celah sejarah yang
diciptakan oleh masa transisi, tetapi peluang-peluangnya juga
diserta berbagai tantangan. Kalau kita ingin merebut masa depan

Celah Sejarah dan Tantangan Baru 63


dan kita memang harus merebutnya, tantangan-tantangan yang
telah disebutkan di atas harus kita cermati dengan baik. Apakah
yang harus kita lakukan untuk itu semua?
Yang pasti, kita harus bekerja lebih keras, lebih terencana, lebih
tepat, dan lebih efisisen. Sebab, celah sejarah mungkin berulang
di waktu yang lain, tapi tidak dalam waktu yang berdekatan. Kita
memang punya banyak sisi kekuatan, tapi juga ada kelemahan.
Bukan saja karena tokoh-tokoh kita sama sekali baru, tetapi juga
karena misi dan konsep yang kita emban memang ‘baru’ dan
diselimuti banyak syubhat akibat kerja-kerja orientalisme dan
imperialisme sebelumnya.
Jadi, bukan sekedar mau merebut masa depan, tapi juga harus
mampu. Sebaliknya, kemampuan harus tetap didukung tekad politik
yang kuat. Sejarah akan memberi kabar tentang apa yang kita
simpan dalam hati dan pikiran kita.q

64 Celah Sejarah dan Tantangan Baru


Celah Sejarah dan Tantangan Baru 65
Dunia politik adalah tempat
bersemayam kekuasaan yang secara
pasti mempengaruhi kehidupan orang
banyak. Kita ingin mengembalikan
kekuasaan ke tempat yang sebenarnya.
Tetapi, kekuasaan itu pedang
bermata dua: mungkin kita bisa
“membersihkannya”, mungkin juga
menodai kita. Itulah sebabnya kita
memerlukan imunitas: semacam daya
tahan terhadap tekanan lingkungan
yang tidak Islami, daya tangkal terhadap
pengaruh negatif, atau daya seleksi
terhadap pengaruh positif.

66
12
Imunitas

K
etika kita memasuki dunia politik dan mencoba memikul
beban baru dakwah, di hadapan kita terbentang sebuah
persoalan: seberapa kuat daya tahan ideologi dan mental
kita di dunia yang rumit itu?
Itu dunia yang benar-benar berbeda dengan dunia kita selama
ini. Sebuah dunia yang tenang-damai dan penuh idealisme. Dunia
yang tercipta dari pikiran-pikiran jernih dan jiwa-jiwa ikhlas. Sebuah
dunia putih dengan nuansa spiritual dan ubudiyah yang kental. Di
masjid-masjid dan majelis-majelis ilmu yang penuh cahaya dan
rahmat, kita saling menyucikan jiwa, menambah ilmu, bersaudara,
dan bekerja sama.
Tetapi, dunia politik yang kita masuki sekarang adalah dunia
yang gaduh. Penuh warna-warni. Tempat orang-orang cerdas (dan
juga licik) saling bertaruh, berdebat, memamerkan “otot-otot”
pengetahuan dan ambisi. Dunia politik adalah tempat di mana
persahabatan dan pilihan-pilihan sikap dibangun di atas landasan
kepentingan yang rendah. Dunia politik --dengan segala nuansanya--
adalah juga tempat bersemayam kekuasaan yang secara pasti akan
mempengaruhi kehidupan orang banyak.

Imunitas 67
Itulah masalah kita. Kita ingin mengembalikan kekuasaan ke
tempat yang sebenarnya. Tetapi, kekuasaan itu pedang bermata
dua: mungkin kita bisa “membersihkannya”, mungkin juga menodai
kita. Itulah sebabnya kita memerlukan imunitas: semacam daya
tahan terhadap tekanan lingkungan yang tidak Islami, daya tangkal
terhadap pengaruh negatif, atau daya seleksi terhadap pengaruh
positif.

Imunitas ideologi
Dunia politik mempunyai satu sisi yang sangat dinamis dan
menjadi semakin dinamis di alam demokrasi: dunia gagasan, dunia
ide-ide, dunia wacana. Politik adalah sebuah pasar raksasa yang
menampung semua produk ide dan gagasan tentang cara mengatur
kehidupan bersama masyarakat manusia.
Gagasan yang paling berbahaya dan mungkin bisa menghancurkan
kehidupan umat manusia, bisa laku di pasar ini. Maka, selama tujuh
puluh tahun masa kejayaan komunisme di Rusia, kurang lebih
enam puluh juta rakyat Soviet terbunuh. Yang terjadi di sini adalah
peristiwa yang tidak dipahami orang banyak. Sebuah gagasan telah
mendapat kekuasaan dan memaksakan perwujudannya dengan
kekuasaan itu.
Walaupun pengalaman politik kita mungkin tidak sekelam itu,
tetapi yang perlu kita catat adalah perubahan besar bermula dari
perubahan pada wacana pemikiran. Perubahan wacana itu tentu
saja tidak terbentuk sekaligus, namun berkembang menjadi arus
besar manakala tidak ada gagasan lain yang sepadan dengannya
melakukan perlawanan.
Mereka yang memasuki dunia politik yang sangat dinamis ini,
tanpa kesiapan ilmu pengetahuan dan penguasaan konseptual yang
mendalam, akan kehilangan imunitas ideologinya.

68 Imunitas
Imunitas mental
Kadang-kadang kita mempunyai imunitas ideologi yang kuat,
tetapi waktu berinteraksi dengan dunia gaduh dan ramai ini, secara
perlahan-lahan akan mengurangi kepekaan iman dan spiritual kita.
Yang kita rasakan kemudian adalah kurangnya kepekaan terhadap
kemungkaran yang terjadi di sekeliling kita. Bahkan, kita mungkin
tidak merasakan “amarah” yang wajib kita rasakan setiap kali kita
menyaksikan kemungkaran.
Akibat lain dari melemahnya kepekaan itu adalah degradasi
spiritual dan semangat ubudiyah, khususnya terhadap ibadah-
ibadah mahdhah. Dalam pemahaman ibadah yang integral, kita
mungkin merasa bahwa semua yang kita lakukan saat ini juga dalam
kerangka ibadah. Akan tetapi, ibadah mahdhah mempunyai fungsi
yang lebih spesifik yang tidak ada dalam ibadah ghairu-mahdhah:
semacam fungsi stasiun tempat kita mengisi bahan bakar bagi
mesin jiwa kita.
Apa yang lebih parah dari itu adalah kemungkinan kita mulai
meremehkan dosa-dosa kecil yang terjadi dalam masyarakat.
Perasaan meremehkan itu sendiri sudah cukup mendorong kita
untuk mentolerir diri sendiri untuk melakukan hal yang sama. Inilah
awal mula penyimpangan di jalan dakwah.

Ilmu dan ibadah


Catatan yang mungkin lebih penting dari semua itu adalah
bahwa kita memasuki dunia politik dalam usia yang sangat muda.
Tentu saja kita mempunyai masalah dalam hal kematangan ilmu
dan mental. Tetapi, kita telah memasuki dunia ini dan rasanya tidak
mungkin kembali. Karena itu, yang harus kita lakukan sekarang
adalah menutupi kelemahan-kelemahan itu dengan ilmu yang luas

Imunitas 69
dan mendalam, ibadah yang banyak dan khusyuk.
Dalam tiap perenungan pribadi, saya selalu teringat pesan
Umar bin Khaththab, “Berfiqihlah sebelum kamu dinobatkan untuk
memimpin.” Sebab, inilah celah yang senantiasa menjebak para
penguasa dan para pemimpin: kebodohan.
Maka, setiap kali saya berada di perpustakaan dan tenggelam
dalam lembar-lembar buku, saat itulah saya teringat akan nasihat
Imam Syafi’i, “Kalau ada orang muda yang muncul ke panggung,
maka ia akan kehilangan banyak ilmu.” Orang seperti kitalah yang
mungkin dimaksud oleh Imam Syafi’i.
Tentu saja, kita mempunyai situasi dan momentum historis
serta pertimbangan strategi dakwah yang dapat membenarkan
keputusan kita untuk memasuki dunia politik. Tetapi, itu sama
sekali tidak menghilangkan ancaman ini: kebodohan, kedangkalan,
syahwat yang terpendam, dan ketidakmatangan. Itulah kelemahan-
kelemahan yang ada dalam diri kita yang setiap saat bisa menjadi
jebakan yang mematikan.q

70 Imunitas
Imunitas 71
Asas penentuan sikap dan pengam­
bilan keputusannya adalah “asumsi”
maslahat yang terdapat dalam perkara
itu. Karena sifatnya asumsi, maka
sudah pasti ia relatif. Karena relatif,
maka sangatlah mudah mengalami
perubahan-peru­bahan.

72
13
Asas Penyikapan

D
i tengah situasi yang terus berubah, seperti ketika dakwah
merambah rimba politik, menentukan sikap merupakan
salah satu pekerjaan yang rumit. Setiap situasi politik
biasanya menyimpan peluang dan jebakan sekaligus. Karenanya,
setiap keputusan politik pasti mengandung resiko. Para pemimpin
politik diuji di sini. Karakter sebuah pergerakan akan terbentuk
dan terlihat di sini.
Di sini ada beberapa nilai yang menentukan mutu sikap dan kepu­
tusan politik. Pertama, sejauh mana sikap dan keputusan politik itu
tepat dengan situasi, tempat, momentum, orang­, dan institusinya.
Jadi, bukan sekedar sikap dan kepu­tusan yang benar, tapi sikap
dan keputusan benar yang tepat! Kebe­naran dan ketepatan adalah
dua substansi yang menentukan mutu sebuah sikap dan keputusan
politik.
Kedua, sejauh mana sikap dan kepu­tusan politik itu efektif bekerja
mengantar kita mencapai tujuan yang ingin kita capai. Efektivitas
untuk sebagiannya terkait dengan tingkat kebenaran-ketepatan
sikap dan keputusan politik, tapi untuk sebagiannya terkait dengan
cara apa sikap dan keputusan politik itu diekspresikan. Efektivitas

Asas Penyikapan 73
terkait dengan fungsi penyikapan dan pengambilan keputusan,
terkait dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh sikap dan keputusan
politik tersebut.
Ketiga, sejauh mana kita dapat mem­pertahankan konsistensi
dalam penyikapan dan pengambilan keputusan politik. Dalam
situasi yang terus berubah, “durasi kebenaran” seringkali tidak
bertahan lama atau kita kemudian kehilangan arah dan pegangan
dasar sehingga sikap dan keputusan politik kita tidak lagi konsisten.
Konsistensi yang menentukan warna dasar dari karakter kita
secara kolektif; apakah warna dasar itu bernama kebenaran atau
kepentingan, idealisme atau pragmatisme.
Itulah tiga nilai utama yang menentukan mutu sebuah sikap
dan keputusan politik yang kita ambil: ketepatan, efektivitas, dan
konsistensi. Ketiganya terkait dengan dua sisi yang senantiasa
melekat pada sikap dan keputusan politik yang kita ambil. Sisi
pertama terkait dengan substansi sikap dan keputusan poli­tik
yang kita ambil, yaitu tentang muatan kebe­naran syar’i. Sedang
sisi kedua terkait dengan proses penentuan sikap dan pengambilan
keputusan politik, yaitu tentang cara yang kita tempuh, apakah
sudah benar atau tidak.

Muatan dan proses


Muatan kebenaran dalam sebuah sikap dan keputusan politik
sesungguhnya ditentukan oleh referensi dan metode yang kita
gunakan. Bagi kita kaum muslimin, sudah tentu kebenaran yang
kita maksud adalah kebenaran syar’i. Karenanya, referensi kita
dalam menentukan sikap dan mengambil keputusan politik adalah
merujuk pada syariat Islam.
Sedang metode yang kita pakai adalah ijtihad. Akan tetapi, ijtihad
yang benar hanya dapat dilakukan jika kita menggabungkan dua

74 Asas Penyikapan
pengetahuan seka­ligus, pengetahuan tentang syariat Islam yang
mendalam dan pada waktu yang sama, juga pengetahuan yang
mendalam dan mendetil tentang realitas kehidupan politik yang
kita hadapi. Yang pertama kita sebut dengan “fiqhi wahyu”, yang
kedua “fiqhi realitas”.
Yang kita lakukan dalam ijtihad adalah bagaimana memberlakukan
kebe­naran-kebenaran wahyu Allah swt. dalam realitas kehidupan
manusia. Jadi, fungsi ijtihad itu menempatkan setiap kebenaran
wahyu pada realitasnya, pada dunianya yang tepat. Artinya, nilai
ijtihad itu pada ketepatannya.
Namun demikian, ada satu hal yang harus kita tegaskan di sini.
Yaitu, secara substansial seluruh ajaran syariat Islam berorientasi
pada kebaikan dan kepentingan hidup manusia. Itulah sebabnya
Ibnu Taymiah mengatakan, di manapun ada kemaslahatan bagi
manusia, disitu pasti terdapat syariat Allah. Jadi, syariat Islam
mengakomodasi segala hal yang menciptakan maslahat sebanyak-
banyaknya bagi manusia. Karena itu, Al-Syathiby mengatakan, inti
politik Islam adalah mendatangkan maslahat sebanyak-banyaknya
bagi manusia dan menolak mudharat sebanyak-banyaknya dari
manusia.
Kemaslahatanlah yang kemudian menentukan sikap dan
keputusan politik kita. Termasuk juga di dalamnya menen­tukan
semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan keputusan politik
kita. Jadi, andaikan kita mendukung seseorang untuk menduduki
suatu jabatan tertentu, lantas kemudian kita mengubah sikap
dengan memintanya meninggalkan jabatan itu, semua perubahan
itu dapat dipahami dari pendekatan maslahat.
Jadi, asas penentuan sikap dan pengam­bilan keputusannya
adalah “asumsi” maslahat yang terdapat dalam perkara itu. Karena
sifatnya asumsi, maka sudah pasti relatif. Dan karena relatif,

Asas Penyikapan 75
sangatlah mudah mengalami perubahan.
Namun demikian, asumsi yang kita gunakan dalam sebuah
ijtihad adalah asumsi yang kuat (zhonn rajih) yang mempunyai dasar
pada fakta-fakta, pertimbangan-pertimbangan rasional, dan idealita
yang kita inginkan. Jika sebuah asumsi dibentuk dari realitas,
rasionalitas, dan idealitas, kita berharap peluang kesalahannya
menjadi lebih kecil. Dan, kelemahan itu dapat kita tutupi dengan
niat yang ikhlas serta tawakkal kepada Allah swt.
Adapun sisi yang terkait dengan proses adalah lembaga
pengambilan keputusan itu sendiri. Yaitu, apa yang kemudian
kita sebut dengan syuro. Karena kemaslahatan itu didefenisikan
melalui sejumlah asumsi dasar, dengan merujuk kepada realitas,
rasionalitas, dan idealitas, sudah tentu akal kolektif lebih baik
daripada akal individu. Karena itu, keputusan bersama selalu lebih
baik daripada keputusan individu.
Tapi, apakah setiap syuro dengan sendirinya selalu melahirkan
sikap dan keputusan politik yang bermutu? Tentu saja tidak ada
jaminan. Tapi, peluangnya lebih besar. Meski begitu, masalah ini
tetap perlu didalami lebih jauh.q

76 Asas Penyikapan
Asas Penyikapan 77
Sebuah keputusan syuro selalu
mengandung resiko. Sepanjang
yang dilakukan syuro adalah
mendefenisikan mashlahat ‘ammah
atau mudharat yang bersifat asumtif,
maka selalu ada resiko kesalahan.
Atau, setidak-tidaknya “tempo
kebenarannya” sangat pendek.

78
14
Resiko Keputusan

S
aya telah menjelaskan pada kolom ini sebelumnya bahwa
prinsip syuro dibangun dari falsafah keunggulan akal kolektif
atas akal individu. Tapi, apakah itu berarti keputusan yang
lahir dari syuro tidak mungkin salah?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab terutama karena prinsip
ini sering dipertentangkan dengan masalah pengendalian kolektif
atas proses kreativitas individu. Asumsinya, seringkali ada
gagasan-gagasan tertentu yang berasal dari individu tertentu yang
sebenarnya sangat cemerlang, tapi mungkin dianggap “menentang
arus mayoritas” sehingga kemudian tidak mendapatkan tempat
yang layak dalam syuro. Atau dengan kata lain, kurang, bahkan
tidak, diterima sama sekali.
Ada kepentingan lain untuk menjawab pertanyaan di atas.
Yaitu, adanya anggapan bahwa keputusan syuro pasti selalu benar.
Sehingga, para pengambil keputusan seringkali merasa sudah
“aman” dengan menempuh prosedur yang benar dan abai bahwa
perkembangan di lapangan dapat terjadi di luar dugaan kita atau
tidak masuk dalam aspek-aspek yang kita pertimbangkan saat
mengambil keputusan. Akibatnya, kita tidak menyiapkan langkah

Resiko Keputusan 79
antisipasi untuk menghadapinya. Sehingga, resiko yang semula
bisa dieliminir berkembang menjadi lebih besar dan memperburuk
keadaan.
Hakikat pertama yang perlu diperjelas sebelumnya adalah
para pengambil keputusan yang terlibat dalam syuro manusia
biasa. Bukan nabi atau rasul yang makshum. Dan yang mereka
lakukan dalam syuro adalah ijtihad yang bersifat jama’i. Karena
itu, bersifat relatif. Kemungkinan benar-salah senantiasa menyertai
keputusannya. Karenanya, keputusan itupun bersifat manusiawi.
Jadi, mengandung resiko kesalahan.
Hakikat kedua yang perlu juga diperjelas bahwa ruang di mana
ijtihad jama’i dilakukan --yaitu penentuan dan pendefenisian
mashlahat ‘ammah pada suatu masa dan situasi tertentu-- adalah
ruang yang sangat dinamis, terus berubah, dan berkembang dalam
tempo cepat. Oleh sebab itu, apa yang kita asumsikan sebagai
mashlahat hari ini boleh jadi mudharat keesokan harinya. Akan
tetapi, mudharat yang terjadi keesokan harinya itu tidaklah dapat
menafikan atau membatalkan mashlahat yang pernah ada kemarin.
Yang terjadi adalah mashlahat dan mudharat itu telah muncul pada
kesempatan yang berbeda. Sehingga, ada dua keputusan yang
diambil dalam kedua kesempatan yang berbeda pula.
Jadi, yang kita lakukan di sini adalah membuat ijtihad yang
baru dan menghentikan masa berlaku ijtihad yang lama. Misalnya,
dukungan yang kita berikan kepada Gus Dur dalam SU MPR 1999.
Dukungan itu kita cabut setelah ada bukti-bukti empiris bahwa
mashlahat ‘ammah yang kita asumsikan ada ternyata tidak ada.
Dan, mudharat yang sebelumnya hanya ada dalam dugaan (dharar
mutawaqqa’) benar-benar telah terjadi.
Kedua hakikat di atas menjelaskan kepada kita betapa
dinamisnya proses pengambilan keputusan dalam syuro. Konsep

80 Resiko Keputusan
syuro dalam jamaah mukminin sesungguhnya dibuat untuk
memenuhi kebutuhan institusional akan proses kreativitas kolektif
yang produktif, namun terkendali. Juga untuk memenuhi kebutuhan
psikologis setiap anggota akan penerimaan dan aktualisasi diri,
namun tetap menghasilkan yang terbaik bagi jamaah.

Antisipasi resiko
Sebagai sebuah keputusan, produk syuro selalu mengandung
resiko. Dan sepanjang yang kita lakukan dalam syuro adalah
mendefenisikan mashlahat ‘ammah atau mudharat yang bersifat
asumtif, maka selalu ada resiko kesalahan. Atau, setidak-tidaknya
“tempo kebenarannya” sangat pendek. Sehingga, harus cepat
diubah dengan keputusan baru. Akan tetapi, kesalahan seperti ini
mengurangi beban rasa bersalah karena beberapa hal.
Pertama, karena secara kolektif kita telah menempuh prosedur
pengambilan keputusan secara benar. Sehingga, dengan mudah
kita dapat menemukan letak kesalahan, yaitu pada asumsi-asumsi
yang mendasari keputusan. Atau, pada munculnya perkembangan
baru yang tidak terduga sebelumnya. Ini semua merupakan bagian
dari kelemahan manusiawi kita yang tidak terhindarkan dan berada
di luar kemampuan manusiawi kita --dan pada waktu yang sama
menunjukkan ketidakterbatasan ilmu Allah swt. Tapi, seandainya
keputusan ini diambil secara indvidual, kesalahannya menjadi
lebih banyak. Bisa pada prosedur juga pada muatan keputusannya
sekaligus.
Kedua, kesalahan ijtihad jama’i lebih bisa ditanggung resikonya
karena kita menanggungnya bersama-sama. Jadi, kesalahan itu tidak
dibebankan kepada satu orang, walaupun mungkin keputusan syuro
berasal dari gagasan seorang individu anggota majlis syuro. Maka,
sebagaimana keputusan diambil secara bersama, resikopun dibagi

Resiko Keputusan 81
secara bersama. Tentu saja ini membuat beban resiko menjadi lebih
ringan. Dan lebih dari itu, kita tidak perlu mencari kambing hitam
untuk menanggung semua resiko. Dengan begitu distribusi beban
yang disebar secara merata akan memperkuat tingkat soliditas
organisasi dan menjaga rasa saling percaya antara sesama junud
(anggota) dan antara junud dengan qiyadah (pimpinan).
Terlepas dari kenyataan di atas, adalah penting untuk dijelaskan
bahwa ijtihad jama’i merupakan ruang yang sangat dinamis dan
terus berubah. Maka, sikap dan keputusan politik yang kita ambil
harus disertai dengan kalkulasi yang akurat tentang resiko yang
mungkin timbul sebagai akibat dari sikap dan keputusan politik
yang diambil. Atas dasar kalkulasi resiko itu, kita berupaya me-
maintain siatusi dengan berbagai langkah antisipasi. Langkah-
langkah antisipasi ini harus dilakukan untuk mengurangi tingkat
resiko keputusan, baik akibat kesalahan pada asumsi-asumsi dasar
maupun karena munculnya berbagai perkembangan baru yang tidak
terduga setelah keputusan diambil.
Misalnya, jika kita memutuskan untuk memberikan dukungan
kepada seseorang dalam pemilihan presiden, dengan pertimbangan
mashlahat dan mudharat, keputusan itu harus disertai dengan
keputusan-keputusan lain yang bersifat antisipatif. Sehingga, kita
dapat menurunkan tingkat resiko dari sikap dan keputusan politik
awal tersebut.
Dan lebih dari itu semua, adalah tepat untuk bersikap
sebagaimana diperintahkan Allah swt., “Kalau kamu sudah
bertekad (setelah bermusyawarah), maka bertawakkallah kepada
Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.” q

82 Resiko Keputusan
Resiko Keputusan 83
Syuro punya fungsi psikologis dan
fungsi instrumental. Fungsi psikologis
terlaksana dengan menjamin adanya
kemerdekaan dan kebebasan yang
penuh bagi setiap peserta syuro
untuk mengekspresikan pikiran-
pikirannya secara wajar dan apa
adanya. Tapi, tentu saja setiap orang
punya cara yang berbeda-beda
dalam mengekspresikan dirinya.
Jika ruang ekspresi tidak terwadahi
dengan baik, akan terjadi konflik yang
kontraproduktif dalam syuro.

84
15
Optimalisasi Syuro

U
paya mengantisipasi resiko keputusan dan sikap politik
membawa kita ke pembicaraan tentang bagaimana
mengoptimalisasi syuro sebagai sebuah instrumen
pengambilan keputusan. Walaupun akal kolektif lebih unggul dari
akal individu, resiko salah keputusan dalam syuro tetap saja ada.
Sekecil apa pun kesalahan itu.
Kebenaran prosedur dalam proses pengambilan sikap dan
keputusan melalui syuro pada umumnya memudahkan tercapainya
sebuah sikap dan keputusan dengan muatan yang benar. Dalam
banyak kejadian, sebagian besar perhatian kita akan lebih banyak
tertuju pada bagaimana meningkatkan mutu keputusan. Jika kita
berbicara tentang bagaimana menghasilkan sebuah keputusan
syuro yang bermutu, sesungguhnya kita berbicara tentang
bagaimana mengoptimalkan syuro.
Secara umum syuro sebenarnya mempunyai fungsi psikologis
dan fungsi instrumental. Fungsi psikologis terlaksana dengan
menjamin adanya kemerdekaan dan kebebasan yang penuh bagi
setiap peserta syuro untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya
secara wajar dan apa adanya. Tapi, tentu saja setiap orang punya

Optimalisasi Syuro 85
cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan dirinya. Jika
ruang ekspresi tidak terwadahi dengan baik, akan terjadi konflik
yang kontraproduktif dalam syuro. Oleh karena itu, setiap peserta
syuro harus mempunyai ke­la­­pangan dada untuk menerima keunik­
an-keunikan individu lainnya.
Kemerdekaan dan kebebasan diper­lukan sebagai landasan
menciptakan keterbukaan dan transparansi. Setiap peserta syuro
terbebas dari segala bentuk rasa takut dan cemas yang biasanya
mematikan kreativitas. Rasa aman ka­rena terbebas dari rasa takut
dan rasa nyaman karena me­rasa diterima secara wajar apa adanya,
akan menjadi suasana yang kondusif bagi terciptanya kreativitas
dan keragaman yang produktif.
Dan itulah fungsi syuro yang sesungguhnya: mewadahi
keragaman sebagai sumber kreativitas dan keunggulan kolektif.
Tapi, yang menjamin terciptanya kese­imbangan yang optimal antara
kebebasan berekspresi dengan penerimaan yang wajar apa adanya
adalah keikhlasan, pertanggungjawaban, dan kelapangan dada
setiap peserta syuro.
Selain itu, syuro juga mempunyai fungsi instrumental. Syuro
sebagai instrumen pengambilan keputusan adalah fungsi yang
paling substansial dalam kehidupan sebuah organisasi. Jika
mekanisme pengambilan keputusan selalu berjalan dengan baik,
maka organisasi itu akan punya soliditas dan resistensi yang tinggi
terhadap berbagai bentuk goncangan yang biasanya mengakhiri
riwayat banyak organisasi.
Fungsi instrumental ini hanya dapat terlaksana apabila beberapa
syaratnya terpenuhi.
Pertama, tersedianya sumber-sumber informasi yang cukup
untuk menjamin bahwa keputusan yang kita ambil dapat diper­
tanggungjawabkan secara ilmiah. Sumber-sumber informasi itu

86 Optimalisasi Syuro
dapat berupa sumber intelijen, pelaku peristiwa, pengamat atau
pakar suatu masalah. Fakta yang akurat disertai analisis yang tepat
akan memudahkan kita menyusun rencana keputusan, baik dengan
pendekatan syariat maupun pendekatan dakwah. Jadi, informasi
yang akurat berkorelasi positif dan kuat dengan keputusan yang
tepat. Kaidah ushul fiqh mengatakan, hukum yang kita ber­lakukan
atas sesuatu merupakan bagian dari persepsi kita tentang sesuatu
itu.
Kedua, tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang relatif yang
harus dimiliki setiap peserta syuro. Karena, kedalaman itulah yang
menentukan mutu analisis, pikiran, dan gagasan yang diutarakan
oleh setiap peserta syuro. Itulah sebabnya para ulama menjadikan
ilmu pengetahuan sebagai salah satu syarat pada mereka yang akan
diangkat menjadi anggota syuro. Sebab, itulah yang menjadikan
seseorang menjadi layak untuk dimintai pendapat dalam berbagi
masalah.
Selain kedalaman ilmu pengetahuan, ada faktor lain yang terkait
dengan syarat ilmu.Yaitu, dominasi akal atas emosi (rajahatul ‘aql)
serta sikap rasional yang konsis­ten. Faktor ini sangat menentukan
karena inilah yang menjamin bahwa sikap-sikap emosional dan
temperamental yang sebagian besarnya kontra­produktif tidak akan
terjadi dalam syuro. Selama syuro merupakan proses ijtihad jama’i,
maka syarat kedalaman ilmu pengetahuan merupakan keniscayaan
yang menentukan mutu hasil syuro.
Ketiga, adanya tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat yang
menjamin keragaman pendapat yang terjadi dalam syuro terkelola
dengan baik. Dan pendapat-pendapat itu secara intens mengalami
seleksi, penyaringan, serta integrasi yang ilmiah. Kemudian
melahirkan sebuah keputusan bermutu. Keragaman yang terkelola
dengan cara seperti itu niscaya akan melahirkan pikiran-pikiran baru

Optimalisasi Syuro 87
yang biasanya sulit dibayangkan dapat lahir dari seorang individu.
Tetapi, tradisi ilimiah dalam perbedaan pendapat selalu
tergantung pada syarat kedalaman ilmu pengeta­huan dan dominasi
akal atas emosi pada diri peserta syuro. Walaupun begitu, tradisi
perbedaan pendapat yang ilmiah juga dipengaruhi kultur masyarakat
secara umum dan dipengaruhi oleh sikap toleransi para pimpinan
organisasi.
Tradisi ilmiah mengharuskan kita menghilangkan sikap
apriori, merasa benar sendiri, mudah mencurigai niat orang lain,
meremehkan pendapat orang lain, berbicara tanpa dasar informasi
dan ilmu pengetahuan, mengklaim gagasan seseorang sebagai
gagasan sendiri, kasar dan tidak beradab dalam majelis, ngotot yang
tidak proporsional, ngambek dan bersikap kekanak-kanakan, mudah
menuduh dan memojokkan orang lain, dan seterusnya. Sikap-sikap
seperti itu akan mengeruhkan suasana diskusi dan perbedaan
pendapat. Menekan secara psikologis dan mendorong peserta syuro
untuk diam dan tidak berbicara sekedar untuk menyelamatkan diri
dari fitnah dan perlakuan kasar lainnya.Yang lebih parah dari itu
adalah sikap-sikap seperti itu hanya merusak suasana ukhuwah.
Dan, secara perlahan namun pasti, menumbuhkan benih-benih
perpecahan dalam kehidupan berjama’ah.q

88 Optimalisasi Syuro
Optimalisasi Syuro 89
Perbedaan adalah sumber kekayaan
dalam kehidupan berjamaah. Mereka
yang tidak bisa menikmati perbedaan
itu dengan cara yang benar akan
kehilangan banyak sumber kekayaan.
Dalam ketidaksetujuan itu sebuah
rahasia kepribadian akan tampak ke
permukaan: apakah kita matang secara
tarbawi atau tidak?

90
16
Mengelola
Ketidaksetujuan
Terhadap
Hasil Syuro

R
asanya perbincangan kita tentang syuro tidak akan lengkap
tanpa membahas masalah yang satu ini. Apa yang harus
kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil syuro?
Bagaimana “mengelola” ketidaksetujuan itu?
Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan
dakwah dan pergerakan kita. Dan itu lumrah saja. Karena,
merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu adanya
perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk. Kita
semua hadir dan berpartisipasi dalam dakwah ini dengan latar
belakang sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat pengetahuan
yang berbeda, tingkat kematangan tarbawi yang berbeda. Walaupun
proses tarbawi berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai dai
dengan meletakkan manhaj dakwah yang jelas, namun dinamika
personal, organisasi, dan lingkungan strategis dakwah tetap saja
akan menyisakan celah bagi semua kemungkinan perbedaan.
Di sinilah kita memperoleh “pengalaman keikhlasan” yang baru.
Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat
dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan

Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro 91


keikhlasan yang paling berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam
keseluruhan pengalaman spiritual kita sebagai dai. Banyak yang
berguguran dari jalan dakwah, salah satunya karena mereka gagal
mengelola ketidaksetujuannya terhadap hasil syuro.
Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat
kita menjalani “pengalaman keikhlasan” seperti itu? Pertama,
marilah kita bertanya kembali kepada diri kita, apakah pendapat
kita telah terbentuk melalui suatu “upaya ilmiah” seperti kajian,
perenungan, pengalaman lapangan yang mendalam sehingga
kita punya landasan yang kuat untuk mempertahankannya? Kita
harus membedakan secara ketat antara pendapat yang lahir dari
proses ilmiah yang sistematis dengan pendapat yang sebenarnya
merupakan sekedar “lintasan pikiran” yang muncul dalam benak
kita selama rapat berlangsung.
Seadainya pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran,
sebaiknya hindari untuk berpendapat atau hanya untuk sekedar
berbicara dalam syuro. Itu kebiasaan yang buruk dalam syuro.
Namun, ngotot atas dasar lintasan pikiran adalah kebiasaan yang
jauh lebih buruk. Alangkah menyedihkannya menyaksikan para
duat yang ngotot mempertahankan pendapatnya tanpa landasan
ilmiah yang kokoh. Tapi, seandainya pendapat kita terbangun
melalui proses ilmiah yang intens dan sistematis, mari kita belajar
tawadhu. Karena, kaidah yang diwariskan para ulama kepada kita
mengatakan, “Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah.
Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar.”
Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita
sendiri, apakah pendapat yang kita bela itu merupakan “kebenaran
objektif” atau sebenarnya ada “obsesi jiwa” tertentu di dalam diri
kita, yang kita sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk
“ngotot”? Misalnya, ketika kita merasakan perbedaan pendapat
sebagai suatu persaingan. Sehingga, ketika pendapat kita ditolak,

92 Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro


kita merasakannya sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah
“obsesi jiwa” kita. Bukan kebenaran objektif, walaupun --karena
faktor setan-- kita mengatakannya demikian.
Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera
berhenti memenangkan gengsi dan hawa nafsu. Segera bertaubat
kepada Allah swt. Sebab, itu adalah jebakan setan yang boleh jadi
akan mengantar kita kepada pembangkangan dan kemaksiatan.
Tapi, seadainya yang kita bela adalah kebenaran objektif dan yakin
bahwa kita terbebas dari segala bentuk obsesi jiwa semacam itu,
kita harus yakin, syuro pun membela hal yang sama. Sebab, berlaku
sabda Rasulullah saw., “Umatku tidak akan pernah bersepakat atas
suatu kesesatan.” Dengan begitu kita menjadi lega dan tidak perlu
ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita.
Ketiga, seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih
benar dan pendapat umum yang kemudian menjadi keputusan
syuro lebih lemah atau bahkan pilihan yang salah, hendaklah kita
percaya mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaff jamaah
dakwah jauh lebih utama dan lebih penting dari pada sekadar
memenangkan sebuah pendapat yang boleh jadi memang lebih
benar. Karena, berkah dan pertolongan hanya turun kepada jamaah
yang bersatu padu dan utuh. Kesatuan dan keutuhan shaff jamaah
bahkan jauh lebih penting dari kemenangan yang kita raih dalam
peperangan. Jadi, seandainya kita kalah perang tapi tetap bersatu,
itu jauh lebih baik daripada kita menang tapi kemudian bercerai
berai. Persaudaraan adalah karunia Allah yang tidak tertandingi
setelah iman kepada-Nya.
Seadainya kemudian pilihan syuro itu memang terbukti salah,
dengan kesatuan dan keutuhan shaff dakwah, Allah swt. dengan
mudah akan mengurangi dampak negatif dari kesalahan itu.
Baik dengan mengurangi tingkat resikonya atau menciptakan
kesadaran kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah

Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro 93


tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu. Bisa juga berupa
mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul situasi baru
yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara
yang logis, tepat waktu, dan tanpa resiko. Itulah hikmah Allah swt.
sekaligus merupakan satu dari sekian banyak rahasia ilmu-Nya.
Dengan begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan syuro
karena hikmah tertentu yang mungkin hanya akan muncul setelah
berlalunya waktu. Dan, alangkah tepatnya sang waktu mengajarkan
kita panorama hikmah Ilahi di sepanjang pengalaman dakwah
kita.
Keempat, sesungguhnya dalam ketidaksetujuan itu kita belajar
tentang begitu banyak makna imaniyah: tentang makna keikhlasan
yang tidak terbatas, tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu,
tentang makna ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhu
dan kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri yang tepat
dalam kehidupan berjamaah, tentang cara kita memandang diri
kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi ilmiah yang
kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna
keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas,
tentang makna tsiqoh kepada jamaah.
Jangan pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih
cerdas dari kebanyakan orang. Tapi, kita harus memperkokoh tradisi
ilmiah kita. Memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang
mendalam. Dan pada waktu yang sama, memperkuat daya tampung
hati kita terhadap beban perbedaan, memperkokoh kelapangan
dada kita, dan kerendahan hati terhadap begitu banyak ilmu dan
rahasia serta hikmah Allah swt. yang mungkin belum tampak di
depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang akan datang.
Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan
berjamaah. Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu
dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan.

94 Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro


Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak
ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak?q

Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro 95


Jamaah dakwah juga memerlukan
kontrol, pengendalian, dan perbaikan
yang berkesinambungan. Karena,
jamaah itu komunitas manusia.
Kelemahan-kelemahan bawaan yang
ada pada diri manusia juga ada di
jamaah dakwah. Itulah sebabnya
mengapa sikap kritis dan kultur
introspeksi menjadi instrumen
penting dalam proses
penyempurnaan kehidupan
berjamaah.

96
17
Syubhat
di Sekitar
Sikap Kritis

K
ita akan mendapat banyak keuntungan dengan sikap
kritis yang tumbuh sebagai kultur organisasi. Tidak
terkecuali organisasi dakwah. Asasnya adalah manusia
secara individual menyimpan kelemahan bawaan dan karenanya
membutuhkan kontrol, pengendalian, dan perbaikan yang
berkesinambungan.
Jamaah dakwah juga memerlukan kontrol, pengendalian, dan
perbaikan yang berkesinambungan. Karena, jamaah itu komunitas
manusia. Bukan komunitas malaikat. Karenanya, kelemahan-
kelemahan bawaan yang ada pada diri manusia juga ada di jamaah
dakwah. Proses pembelajaran kita, sebagai manusia, sebagiannya
terjadi melalui interaksi dalam masyarakat. Terjadi penerimaan-
penolakan, pujian-kritik, aksi-reaksi. Ada kontras antara suka-
tidak suka, cinta-benci, sedih-gembira, dan marah-damai. Dalam
pergesekan itu manusia mengalami perubahan internal dalam
pikiran, perasaan, dan perilakunya.
Itulah sebabnya mengapa sikap kritis dan kultur introspeksi
menjadi instrumen penting dalam proses penyempurnaan
kehidupan berjamaah. Ini sebabnya mengapa Umar bin Khattab
mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang menghadiahkan

Syubhat di Sekitar Sikap Kritis 97


“aibnya” kepadanya. Karena, itu merupakan proses penyempurnaan
diri. Dan, orang yang sempurna, kata seorang penyair Arab, Al-
Mutanabbi, adalah orang yang “aibnya dapat dihitung.”
Akan tetapi juga tidak sedikit syubhat yang melekat dalam proses
implementasi sikap kritis tersebut. Terutama dalam situasi dimana
sikap kritis bertemu dengan suasana keterbukaan dan kebebasaan
menyampaikan pendapat. Akibatnya, keuntungan yang semestinya
kita peroleh dari sikap kritis berubah menjadi masalah.
Pertama, apabila sikap kritis itu bersumber dari kebencian,
bukan dari semangat untuk saling memperbaiki. Kebencian selalu
membuat orang jadi kritis terhadap orang yang dibencinya. Bahkan,
sangat kritis. Sebaliknya, cinta membuat orang jadi longgar dan
mudah memaafkan orang yang dicintainya. Benci dan cinta selalu
menyulitkan orang “menilai” dan “menyikapi” seseorang atau suatu
masalah secara objektif dan fair.
Itulah sebabnya Rasulullah saw. selalu berdoa agar diberi
kemampuan bersikap adil ketika sedang suka dan ketika
sedang benci. Sikap kritis yang lahir dari kebencian hanya akan
mendapatkan sambutan kebencian yang sama, penolakan, atau
reaksi dingin. Dan, hanya orang punya kelapangan dada “tidak
terbatas” yang dapat menerima kritik dari kebencian itu.
Kedua, apabila sikap kritis itu lahir dari keinginan untuk berbeda
dengan orang lain dan dijadikan sarana untuk memperjelas
identitas diri sendiri. Persisi pepatah Arab, “Berbedalah, supaya
kamu dikenal.” Menjadi kritis adalah sebuah citra yang baik.
Banyak orang membangun citra dirinya bahkan popular dari sikap
seperti itu. Mereka menggunakan kesalahan orang lain sebagai
jembatan untuk memperbaiki citra dirinya. Walaupun kenyataan
ini lebih banyak terjadi dalam dunia politik, tapi juga bisa terjadi
dalam dunia dakwah.
Itu merupakan niat yang salah. Cara seperti itu sebenarnya

98 Syubhat di Sekitar Sikap Kritis


hanyalah memberi beban utang yang harus dibayar. Sebab, kritik
Anda harus bisa Anda buktikan!
Ketiga, apabila sikap kritis itu dijadikan cara untuk mendapatkan
“image” sebagai pemberani. Bahwa dirinya tidak takut pada siapa-
siapa, termasuk pada atasan. Bahwa dirinya berani menanggung
resiko dari sikap kritisnya, apa pun resikonya. Citra sebagai
pemberani tentu saja menggoda banyak orang. Tapi dengan
begitu, kita sebenarnya tidak melakukan perbaikan apa-apa. Hanya
memancing munculnya sikap defensif dari orang yang dikritik.
Keempat, apabila sikap kritis itu dijadikan kedok untuk merusak
nama baik orang lain atau membuka aib sesama. Misalnya,
mengritik seseorang di depan umum. Mengritik seperti itu tidak
dianjurkan dalam Islam. Bahkan, ketika Allah memerintahkan Nabi
Musa dan Harun untuk memperingatkan Fir’aun, Allah menyuruh
mereka berkata lembut. Imam Syafi’i juga mengatakan, seandainya
ada orang yang mengritiknya di depan umum, beliau tidak akan
menerima kritik itu. Kritik dengan niat seperti itu tidak akan efektif
memperbaiki orang yang dikritik. Bahkan, hanya akan merusak
hubungan persaudaraan.
Kelima, apabila sikap kritis itu berkembang menjadi ghibah.
Misalnya, ketika seseorang mengritik orang secara tidak langsung,
tapi dengan cara membuka kesalahan atau aib seseorang kepada
orang lain yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan orang
yang dikritik itu. Cara seperti ini hanya akan memperbanyak jumlah
majelis ghibah. Kritik, meski bermuatan kebenaran, disampaikan
tidak pada orang yang tepat. Sehingga, orang-orang yang merasa
kritis itu merasa tidak “terdengar” atau terabaikan. Mereka merasa
sudah mengritik, tapi tetap saja tidak ada yang berubah.
Tentu saja ghibah tidak akan mengantar kritik sampai ke
alamatnya dengan cara yang tepat. Tidak akan efektif memperbaiki
seseorang atau keadaan. Karena itu, Islam tidak akan pernah

Syubhat di Sekitar Sikap Kritis 99


menghalalkan ghibah. Kebebasan, keterbukaan, dan demokrasi
pun tidak menghalalkan ghibah
Dengan demikian sebuah kritik hanya akan efektif memperbaiki
seseorang atau suatu keadaan apabila unsur-unsurnya terpenuhi.
Pertama, ada niat yang benar dari si pengritik bahwa itu ia lakukan
semata-mata sebagai kewajiban munashahah sesama muslim dan
ia mengharapkan pahala dengan melaksanakan kewajiban itu.
Kedua, memang ada kesalahan objektif yang harus dikritik. Baik
kesalahan personal maupun kesalahan kebijakan. Ketiga, kritik
itu disampaikan dengan cara yang benar dan tepat sesuai dengan
adab-adab munashahah dalam Islam.
Semoga Allah swt. memberikan kelapangan dada kepada
kita untuk mendengar dan menerima nasihat yang baik serta
memberikan kekuatan untuk menyampaikan nasihat dengan cara
yang benar dan tepat.q

100 Syubhat di Sekitar Sikap Kritis


Syubhat di Sekitar Sikap Kritis 101
Sikap kritis merupakan indikator
kesehatan hidup berjamaah. Karena,
dengan begitu instrumen dan pro-
ses perbaikan berkesinambungan
bekerja dengan baik. Kehawatiran
yang berlebihan terhadap sikap kritis
sebenarnya tidak perlu ada. Kita
hanya perlu khawatir bila sikap kritis
berkembang secara tidak positif dan
memicu konflik pribadi yang
tidak sehat.

102
18
MENYIKAPI ORANG
KREATIF DAN KRITIS

S
ubhat di seputar sikap kritis yang telah saya sebutkan pada
tulisan yang lalu agaknya tidak dapat dipahami secara
proporsional tanpa menyertakan tulisan tambahan tentang
bagaimana meyikapi orang-orang kritis dan kreatif. Kalau tulisan
sebelumnya lebih tertuju kepada mereka yang kritis, tulisan ini akan
ditujukan kepada para pimpinan amal Islami yang menghadapi
masalah tersebut.
Sikap kritis umumnya merupakan indikator kesehatan hidup
berjamaah. Karena, dengan begitu instrumen dan proses perbaikan
berkesinambungan bekerja dengan baik. Kehawatiran yang
berlebihan terhadap sikap kritis sebenarnya tidak perlu ada. Umar
bin Khattab adalah teladan kita dalam ini. Beliau mengatakan,
“Semoga Allah merahmati seseorang yang telah menghadiahkan
aibku kepadaku.”
Kita hanya perlu khawatir apabila sikap kritis berkembang
secara tidak positif dan memicu konflik pribadi yang tidak sehat.
Gejala ini biasanya muncul apabila sikap kritis dijadikan jembatan
untuk merusak nama baik seseorang. Atau, seorang pimpinan

Menyikapi Orang Kreatif dan Kritis 103


menghadapinya secara emosional dan cenderung bereaksi secara
berlebihan.
Lantas, seperti apa seharusnya para pimpinan amal Islami
menyikapi kritik dan kreativitas yang pasti selalu temui di sepanjang
kehidupan berjamaah?
Pertama, seorang pemimpin harus bersikap dingin sedingin-
dinginnya terhadap kritik yang ditujukan kepadanya atau kepada
kebijakan-kebijakannya. Selama kritik itu merupakan indikator
kesehatan jamaah, tidak ada alasan untuk bereaksi secara
emosional apalagi sampai berlebihan. Sikap seperti itu hanya akan
mengeruhkan suasana. Bahkan, akan mengalihkan kritik menjadi
konflik pribadi yang kontraproduktif.
Sikap dingin seperti ini merupakan salah satu indikator
kematangan kepemimpinan seseorang. Sebab, ia tidak terganggu
secara emosional dengan kritik dan tetap bisa bekerja dengan
tenang. Jadi, sikap dingin seperti ini berfungsi sebagai sistem
proteksi psikologis yang dapat mempertahankan kenyamanan jiwa
dalam berbagai suasana.
Kedua, seorang pemimpin harus punya kerendahan hati yang
memadai untuk mau mendengar berbagai pikiran dan kritik yang
ditujukan kepadanya. Bersikap dingin tidak sama dengan cuek,
apatis, atau masa bodoh. Bersikap dingin berarti mempertahankan
kondisi emosional yang stabil sehingga kita tidak terganggu bekerja
dalam lautan kritik. Tapi, mendengar adalah pekerjaan seorang
pemimpin. Karena, dengan begitu ia menyerap “kehendak-kehendak
kolektif” dari orang-orang yang dipimpinnya.
Dengan menjadi pendengar yang baik, seorang pemimpin telah
menunjukkan kematangan pribadinya. Sebab, itu hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang memiliki kerendahan hati, objektivitas,

104 Menyikapi Orang Kreatif dan Kritis


dan kesediaan yang permanen untuk mengikuti kebenaran dari
manapun datangnya.
Ketiga, seorang pemimpin harus bersikap objektif dalam
menanggapi berbagai kritik yang ditujukan kepadanya. Kritik yang
baik dan benar adalah hadiah terbaik yang harus disyukuri para
pemimpin. Karena itu merupakan cara Allah melindungi pemimpin
tersebut dari kesalahan yang mungkin terjadi seandainya kritik itu
tidak disampaikan.
Tapi, kritik-kritik yang tidak benar atau tidak tepat mungkin
memerlukan jawaban dan penjelasan apabila terasa yang mengritik
memang memerlukan hal itu. Apabila sang pemimpin berfirasat
bahwa orang tersebut tidak perlu diberi penjelasan, sebaiknya
masalah itu didiamkan. Menjawab atau tidak menjawab adalah
dua hal yang sepenuhnya ditentukan oleh firasat sang pemimpin.
Tapi, firasat itu sendiri tidaklah sepenuhnya merupakan fungsi
intuitif, melainkan instrumen terakhir yang bekerja setelah semua
pertimbangan rasional yang kita peroleh.
Sebab, memang ada banyak kritik yang tidak bermutu yang
tidak perlu ditanggapi. Bahkan, dalam banyak keadaan seorang
pemimpin yang menanggapi semua kritik yang ditujukan kepadanya
justru menunjukkan kalau ia tidak percaya diri. Misalnya kritik-kritik
yang bernuansa kebencian atau ingin menjatuhkan nama baik,
jika ditanggapi hanya akan membuka peluang konflik pribadi yang
tidak sehat. Tapi, justru di sinilah kepemimpinan seseorang itu diuji,
mampukah bersikap dingin, tidak bereaksi, diam, dan memandang
kritik tersebut dengan senyum terkulum sembari mengharap secara
diam-diam dalam hatinya bahwa itu akan menjadi sumber pahala
baginya di sisi Allah swt.
Keempat, seorang pemimpin harus tetap mempertahankan

Menyikapi Orang Kreatif dan Kritis 105


prasangka baiknya terhadap semua pengritiknya. Sebab, ada orang
yang punya niat baik, tapi gagal berkomunikasi atau punya kultur
dan karakter yang kasar. Akibatnya, kritik yang sebenarnya baik dan
benar, tersampaikan dengan cara yang tidak baik.
Mempertahankan prasangka baik adalah bagian dari sikap
tasamuh dan kasih sayang yang kita perlukan untuk hidup langgeng
dalam berjamaah. Dan alangkah butuhnya kita terhadap pemimpin
seperti ini yang senantiasa menyisakan ruang di dalam dirinya
untuk berdamai, saling memahami, bersepakat, dan bekerja
sama kembali. Biarlah pikiran-pikiran kita berbeda, tapi hati kita
tidak boleh.
Kelima, yang menentukan sikap seorang pemimpin adalah
pemahamannya yang dalam tentang visi dan misi dakwah,
marhalah dimana ia bekerja, strategi yang disusun dengan berbagai
konsiderannya, kebijakan yang ia ambil serta berbagai pertimbangan
dasarnya, langkah-langkah taktis tertentu yang ia lakukan dengan
berbagai perhitungannya. Seorang pemimpin harus mengetahui apa
yang ia lakukan dan mengapa itu melakukannya. Ia harus mandiri
dan independen dalam berpendapat.
Sikap kelima inilah yang menjadi dasar baginya untuk
menentukan bagaimana sebuah kritik itu dikelola dan diakomodasi
dalam kerangka kebijakan dasarnya. Atau sebaliknya, ditolak atau
ditunda masa akomodasinya.
Dengan kelima sikap ini, berbagai kritik dapat dikelola dengan
baik, berfungsi secara produktif sebagai instrumen perbaikan
berkesinambungan, dan tercegah untuk menjadi faktor pemicu

106 Menyikapi Orang Kreatif dan Kritis


konflik yang hanya akan menghilangkan kenyaman jiwa kita dalam
beramal jama’i.q

Menyikapi Orang Kreatif dan Kritis 107


Sebagai suatu organisasi, jamaah
dakwah bekerja di wilayah yang
sangat luas dan dengan sangat banyak
orang. Mengelola keragaman pendapat
menjadi faktor produktif bagi organisasi
seperti itu, tentu tidak semudah
mengelola keragaman pendapat
dalam tim kreatif sebuah
perusahaan iklan.

108
19
KERAGAMAN
YANG PRODUKTIF

S
aya telah dapat banyak tanggapan positif dari duat dan
qiyadah dakwah di daerah, atas beberapa tulisan terakhir
di kolom ini. Saya ingin mengucapkan terima kasih untuk itu
semua. Tapi saya juga masih merasa perlu membahas rangkaian-
rangkaian yang terhubung dengan masalah itu.
Persoalan kita kemudian --dalam konteks hubungan qiyadah-
jundiyah-- adalah bagaimana mengelola perbedaan pendapat
dalam jamaah dakwah dan mengubahnya menjadi faktor
produktif bagi dakwah? Kita akan menghadapi banyak masalah
dan karenanya akan muncul banyak pendapat. Jika tidak dikelola
dengan baik dan bijak, akan menjadi sumber perpecahan. Atau,
setidak-tidaknya menyulitkan proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaannya.
Dakwah ini mempunyai cita-cita yang sangat besar. Bekerja
di wilayah yang sangat luas dan dengan sangat banyak orang.
Sehingga, sebagai suatu organisasi, jamaah dakwah akan tumbuh
menjadi sangat besar. Mengelola keragaman pendapat menjadi
faktor produktif dalam organisasi seperti itu, tentu tidak semudah
mengelola keragaman pendapat dalam tim kreatif sebuah

Keragaman yang Produktif 109


perusahaan iklan.
Barangkali yang lebih penting dari sekedar menunjukkan kiat-
kiat teknis adalah bagaimana menumbuhkan beberapa tradisi yang
kuat yang dengan sendirinya akan mengubah keragaman menjadi
faktor produktif.
Pertama, tradisi ilmiah. Dakwah ini bekerja dalam suatu domain
yang sangat luas dan rumit. Tidak mungkin dicerna, dianalisis, dan
disikapi tanpa dengan keluasan ilmu pengetahuan dan kemampuan
berpikir yang sistematis dan objektif. Itu mengharuskan kita memiliki
struktur pengetahuan yang kokoh dan kemampuan berpikir pada
semua tingkatannya.
Dengan begitu, para dai, khususnya qiyadah, harus membangun
tradisi ilmiah yang kokoh di dirinya. Bukan saja dengan menguasai
pengetahuan keislaman, sosial humaniora, dan konsep-konsep
dakwah, tapi juga menumbuhkan kemampuan pembelajaran
yang cepat untuk menguasai masalah-masalah baru. Struktur
pengetahuan yang kokoh, sistematika berpikir yang solid, dan
kemampuan pembelajaran yang cepat adalah tiga landasan utama
tradisi ilmiah. Dengan tradisi ilmiah kita mencegah setiap orang
berbicara dari pikiran yang hampa dan hati yang kosong. Dari
kesemberonoan dan kelatahan. Sekaligus mengajarkan makna
pertanggungjawaban atas kata yang kita ucapkan.
Kedua, tradisi verbalitas. Tradisi ilmiah hanya bisa tumbuh
dengan baik apabila diwadahi dengan keterbukaan yang wajar.
Setiap gagasan yang baik menemukan tempat yang terhormat
dalam hati kita. Tapi, tradisi itu hanya bisa tumbuh dengan baik
bila kita secara individual punya tradisi verbalitas, yaitu kebiasaan
mengungkapkan pikiran secara wajar, natural, dan apa adanya.
Ada banyak orang yang terkadang memiliki gagasan-gagasan
yang cerdas, tapi tidak membukanya kepada orang lain. Baik

110 Keragaman yang Produktif


karena merasa kurang pantas, kurang layak, sungkan, atau yang
lainnya sehingga gagasan-gagasan itu tidak ikut memperkaya
dunia pemikiran kita. Terkadang hambatannya juga terletak pada
kemampuan membahasakan gagasan. Kedua hambatan itu harus
segera kita atasi dengan mendorong para dai untuk membiasakan
diri mengungkapkan gagasan-gagasannya secara verbal dan
berbicara apa adanya. Dengan tradisi verbalitas, kita mengajarkan
makna keberanian yang natural dan keterhormatan yang wajar.
Ketiga, tradisi pembelajaran kolektif. Sebagaimana setiap
individu harus belajar, jamaah dakwah pun harus senantiasa
belajar. Baik melalui referensi normatif maupun pengalaman
sejarah. Dakwah yang kita lakukan adalah mata rantai pengalaman
manusiawi dan relatif. Rentan terhadap kesalahan dan kelemahan.
Tapi, Allah menghendaki kejadiannya jadi begitu. Bahwa, ajaran-
ajaran-Nya hanya dapat diterapkan dalam kehidupan ini dengan
usaha-usaha manusia, dengan perjuangan yang panjang dan berliku
dari tangan-tangan manusia-manusia beriman. Walaupun Allah
sanggup membuat seluruh penduduk bumi beriman seketika, tapi Ia
menghendaki itu terjadi melalui dakwah yang dilakukan manusia.
Karena sifat pengalaman manusiawi dan nisbi, maka kita
harus belajar secara terus menerus untuk melakukan perbaikan
berkesinambungan atas pengalaman kita supaya kerja dakwah
menjadi efisien dan berhasil secara efektif. Kita harus belajar
meningkatkan kemampuan kerja, efesiensi, dan efektivitas dakwah
kita. Sebab, kita adalah saksi-saksi Allah atas seluruh umat manusia.
Dan, wahyu Allah itu telah kita sampaikan kepada mereka.
Tapi, kemampuan kita untuk belajar secara kolektif hanya
dapat ditingkatkan jika kita memiliki semangat dan kejujuran
yang memadai untuk belajar. Termasuk di antara kemauan untuk
mendengar semua pendapat yang sangat beragam, mencerna,

Keragaman yang Produktif 111


menganalisis, dan memikir ulang pendapat-pendapat orang lain.
Dengan tradisi itu kita mengakselerasi pertumbuhan kapasitas
dakwah kita untuk menyamai tantangan dan marhalah-nya.
Keempat, tradisi toleransi. Kita harus membiasakan diri untuk
memiliki kelapangan dada, kerendahan hati, dan membebaskan diri
dari kepicikan, prasangka buruk, serta mengkondisikan diri untuk
menghargai waktu. Karena sebuah gagasan terkadang harus diuji
di lapangan. Dan, itu membutuhkan waktu.
Tapi, yang membuat seseorang dapat mentoleransi orang lain
adalah keluasan ilmu dan wawasannya. Itu yang membantunya
memahami orang secara tepat. Memahami alasan-alasan yang
mendorong seseorang memiliki sebuah sikap.
Itulah tradisi yang harus kita tanamkan di lingkungan dakwah
kita. Baik di kalangan qiyadah maupun junud. Sehingga, orang-orang
yang terlibat dalam dakwah ini, yang berasal dari latar belakang yang
berbeda-beda, merasakan kenyamanan dalam berjamaah karena
adanya keseimbangan yang indah antara kebebasan dan tanggung
jawab, antara keterbukaan dan keterkendalian.q

112 Keragaman yang Produktif


Keragaman yang Produktif 113
Tradisi ilmiah bukanlah sekedar
kebiasaan-kebiasaan ilmiah yang
baik, tapi lebih merupakan standar
mutu yang menjelaskan kepada
kita di peringkat mana peradaban
suatu bangsa atau suatu komunitas
itu berada. Tradisi ilmiah bukanlah
gambaran dari suatu kondisi permanen.
Namun, lebih mengacu kepada
suatu proses yang dinamis
dan berkembang secara
berkesinambungan.

114
20
MENGOKOHKAN
TRADISI ILMIAH KITA

“O
sama,” kata Fisk, seorang wartawan Inggris
yang pernah menemuinya, “adalah sedikit
dari orang Arab yang tidak merasa malu
untuk berpikir sebelum berbicara.” Kesan wartawan Barat
yang dinukil majalah Tempo itu kemudian dijadikan ciri yang
membedakan Osama dengan Saddam Husain atau Muam-
mar Qaddafi, misalnya.
Kesan itu mungkin mengejek tradisi orang Arab yang ge-
mar berbicara tanpa berpikir. Tapi menurut saya, itu bukan
hanya ciri orang Arab atau bangsa lainnya. Itu merupakan
satuan mutu yang menandai tingkat peradaban suatu ma-
syarakat. Berpikir sebelum berbicara adalah salah satu ciri
dari tradisi ilmiah yang kokoh.
Tapi tradisi ilmiah yang kokoh, yang merupakan salah satu
faktor yang dapat mengubah keragaman menjadi sumber
produktivitas kolektif kita, tidak hanya ditandai oleh ciri di
atas. Ia juga ditandai oleh banyak ciri. Pertama, berbicara
atau bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan. Kedua, tidak
bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap
sesuatu sebelum mengetahuinya dengan baik dan aku-

Mengokohkan Tradisi Ilmiah Kita 115


rat. Ketiga, selalu membandingkan pendapatnya dengan
pendapat kedua dan ketiga sebelum menyimpulkan atau
mengambil keputusan. Keempat, mendengar lebih banyak
daripada berbicara. Kelima, gemar membaca dan secara
sadar menyediakan waktu khusus untuk itu. Keenam, lebih
banyak diam dan menikmati saat-saat perenungan dalam ke-
sendirian. Ketujuh, selalu mendekati permasalahan secara
kompehensif, integral, objektif, dan proporsional. Kedelapan,
gemar berdiskusi dan proaktif dalam mengembangkan wa-
cana ide-ide, tapi tidak suka berdebat kusir. Kesembilan,
berorientasi pada kebenaran dalam diskusi dan bukan pada
kemenangan. Kesepuluh, berusaha mempertahankan sikap
dingin dalam bereaksi terhadap sesuatu dan tidak bersikap
emosional serta meledak-ledak. Kesebelas, berpikir secara
sistematis dan berbicara secara teratur. Kedua belas, tidak
pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya
selalu ingin belajar. Ketiga belas, menyenangi hal-hal yang
baru dan menikmati tantangan serta perubahan. Keempat
belas, rendah hati dan bersedia menerima kesalahan.
Kelima belas, lapang dada dan toleran dalam perbedaan.
Keenam belas, memikirkan ulang gagasannya sendiri atau
gagasan orang lain dan senantiasa menguji kebenarannya.
Ketujuh belas, selalu melahirkan gagasan-gagasan baru
secara produktif.
Tentu saja ketujuh belas ciri di atas bukanlah semua
ciri yang menandai tradisi ilmiah yang kokoh. Itu hanyalah
ciri yang paling menonjol. Apa yang terlihat pada ciri-ciri itu
adalah nuansa yang kuat tentang keyakinan, kepastian,
fleksibilitas, dinamika, pertumbuhan, kemerdekaan, kebe-
basan, dan keakraban. Mereka yang hidup dalam sebuah
komunitas dengan tradisi ilmiah yang kokoh merasakan

116 Mengokohkan Tradisi Ilmiah Kita


kemandirian, aktualisasi diri, kebebasan, kemerdekaan, tapi
juga menikmati perbedaan, tantangan, dan segala hal yang
baru. Mereka juga betah menelusuri detil dan kerumitan,
sabar dalam ketidakpastian, dingin dalam kegaduhan, tapi
sangat percaya diri dalam mengambil keputusan.
Tapi, dari manakah tradisi itu terbentuk? Faktor-faktor
apakah yang mendukung proses pembentukannya? Tidak-
kah itu kelihatan terlalu ideal? Sulitkah membangun tradisi
itu? Tradisi ilmiah bukanlah sekedar kebiasaan-kebiasaan
ilmiah yang baik, tapi lebih merupakan standar mutu yang
menjelaskan kepada kita di peringkat mana peradaban
suatu bangsa atau suatu komunitas itu berada. Tradisi
ilmiah bukanlah gambaran dari suatu kondisi permanen.
Namun, lebih mengacu kepada suatu proses yang dinamis
dan berkembang secara berkesinambungan.
Tradisi Ilmiah mengakar pada cara pandang kita terha-
dap ilmu pengetahuan. Tentang fungsi dan perannya dalam
membentuk kehidupan kita. Tentang seberapa besar kita
memberinya ruang dan posisi dalam kehidupan kita. Tentang
sejauh mana kita bersedia mengikuti kaidah-kaidahnya.
Tentang berapa banyak harga yang dapat kita bayar untuk
memperolehnya. Kata ilmu terulang lebih 800 kali dalam
Alquran. Rasulullah saw. menyebutnya sebagai syarat un-
tuk merebut dunia dan akhirat sekaligus. Itulah sebabnya
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, kebutuhan manusia
terhadap ilmu pengetahuan sama besarnya dengan kebu-
tuhannya terhadap makan dan minum. Atau, bahkan lebih
besar lagi.
Tradisi ilmiah selanjutnya dibentuk oleh susunan pengeta-
huan yang benar. Sebab, pengetahuan yang terserap dengan
susunan yang salah akan membuat kita mengalami keran-

Mengokohkan Tradisi Ilmiah Kita 117


cuan dalam berpikir. Ilmu-ilmu yang kita serap tidak saling
terkorelasi secara fungsional dengan benar. Seseorang akan
gagal memahami Islam dengan benar jika tidak mempelajari
ilmu-ilmu Islam dalam susunan yang terangkai secara benar.
Misalnya, jika ia hanya mempelajari tasawwuf. Demikian
juga jika seseorang mempelajari ilmu kewirausahaan dalam
ekonomi modern dan tasawwuf pada waktu bersamaan.
Mungkin sekali akan mengalami split jika tidak mempelajari
sistem Islam secara menyeluruh dan sistem ekonomi Islam
secara khusus.
Setiap kelompok ilmu pengetahuan mempunyai susuna-
nnya sendiri-sendiri, termasuk pola hubungan internalnya.
Misalnya, kelompok ilmu-ilmu keislaman, kelompok ilmu-ilmu
sosial humaniora, kelompok ilmu-ilmu alam. Tapi, semua
kelompok ilmu itu juga mempunyai korelasi antara mereka
yaitu struktur, fungsi dan sejarah perkembangan yang be-
rakar pada sebuah paradigma besar, yang kemudian kita
sebut sebagai filsafat ilmu. Tapi, apa yang penting bagi kita,
dalam kaitan dengan susunan pengetahuan itu, adalah sifat
dan pola pengetahuan kita.
Setiap dai hendaknya menggabungkan antara pengeta-
huan yang komprehensif, bersifat lintas disiplin, dan gene-
ralis dengan penguasaan yang tuntas terhadap satu bidang
ilmu sebagai spesialisasinya. Yang pertama mengacu kepada
keluasan. Sedang yang kedua mengacu pada kedalaman.
Yang pertama memberinya wawasan makro, yang kedua
memberinya penguasaan mikro. Yang pertama memberi
efek integralitas, yang kedua memberi efek ketepatan.
Dengan begitu seorang dai senantiasa berbicara dengan
isi yang luas dan dalam, integral dan tajam, berbobot dan
terasa penuh.

118 Mengokohkan Tradisi Ilmiah Kita


Tradisi ilmiah selanjutnya dibentuk oleh sistematika pem-
belajaran yang benar. Waktu kita tidak memadai untuk men-
guasai banyak ilmu. Waktu kita tidak cukup untuk membaca
semua buku. Tapi, kita tetap dapat menguasai banyak ilmu
melalui sistematika pembelajaran yang benar. Untuk itu, kita
memerlukan seorang guru, seorang ulama, yang mengetahui
struktur dari setiap ilmu dan cara mempelajarinya.
Akhirnya, membaca adalah instrumen utamanya. Dan,
jika kita ingin mengokohkan tradisi ilmiah kita, sudah saatnya
kita berhenti membaca apa yang kita senangi. Beralihlah
untuk membaca apa yang seharusnya kita baca.
Membangun sebuah tradisi ilmiah yang kokoh tentu saja
membutuhkan kesungguhan dan keseriusan serta kesaba-
ran yang melelahkan. Tapi, dakwah ini memang wilayah
orang-orang serius, penuh tekad, dan sabar.q

Mengokohkan Tradisi Ilmiah Kita 119


Kita harus membaca situasi
sekarang ini dengan semangat
bagaimana memanfaatkannya
sebagai momentum untuk
menciptakan kemajuan-kemajuan
baru, lompatan-lompatan baru,
bagi kepentingan strategis dan
sejarah dakwah.

120
21
KITA DAN
PERANG ITU

P
ecahlah sudah perang itu. Amerika Serikat dan Inggris
menyerang Afghanistan 7 Oktober lalu. Semua mesin
perang tercanggih yang mereka miliki diparadekan di sini.
Semua dendam dan angkara murka dimuntahkan lewat rudal-rudal
pembunuh massal. Semua keangkuhan dan kedigdayaan yang
telah terusik pada 11 September 2001 harus ditegakkan kembali.
Semua prosedur hukum harus dipersetankan atas nama pembelaan
diri. Semua negara harus dibagi hanya ke dalam dua kategori:
pendukung Amerika atau pendukung teroris. Biar dunia tahu bahwa
Amerika Serikat bisa melakukan apa saja yang diinginkan.
Kadang-kadang kita memasuki situasi yang tidak diinginkan.
Tapi, tangan takdir telah melemparnya kepada kita. Tidak ada
pilihan untuk menghindar. Seperti sekarang tiba-tiba saja kita
telah tergiring secara paksa melewati sebuah tikungan sejarah
yang tajam. Sebuah perang besar yang pasti akan sangat panjang
tiba-tiba saja telah dipaksakan kepada kita. Takdir itu harus kita
terima dengan jiwa besar.
Di hadapan kita kini terbentang hari-hari yang panjang. Yang
pasti akan sangat melelahkan. Sangat melelahkan. Tapi, itu

Kita danPerang Itu 121


tidaklah penting. Yang terpenting adalah bagaimana seharusnya
kita menginvestasikan momentum ini untuk sebuah lompatan
sejarah yang jauh ke depan. Dalam perspektif investasi itulah kita,
para aktivis dakwah dan qiyadah amal Islami, harus memandang
potongan-potongan sejarah yang ditakdirkan kepada kita. Ya, kita
harus membaca situasi sekarang ini dengan semangat bagaimana
memanfaatkannya sebagai momentum untuk menciptakan
kemajuan-kemajuan baru, lompatan-lompatan baru, bagi
kepentingan strategis dan sejarah dakwah.
Ketika datang ke Afghanistan semasa invasi Soviet, Dr. Abdullah
Azzam segera memanfaatkan momentum perang waktu itu untuk
menginternasionalisasi dan mengglobalisasi jihad. Mengangkat
masalah itu menjadi masalah bersama Dunia Islam. Mengganti
istilah gerilyawan dengan kata mujahidin. Hasilnya? Afganistan
menjadi sekolah jihad bagi seluruh gerakan Islam dan di sanalah
Uni Soviet mengubur kebesarannya.

Investasi Afghanistan
Sekarang, jika kita ingin menginvestasikan jihad Afghanistan
kali ini untuk kepentingan-kepentingan strategis dakwah, apakah
yang harus kita lakukan? Barangkali banyak yang dapat membuat
daftar langkah-langkah itu. Tapi, saya hanya ingin menyumbang
sebagiannya.
Pertama, serangan Amerika Serikat dan sekutunya ke
Afghanistan itu harus diperkenalkan kepada umat kita sebagai
sebuah serangan kepada Islam dan kaum muslimin. Bukan perang
baru Amerika Serikat melawan terorisme. Serangan itu sama persis
dengan penjajahan Israel atas Palestina. Osama dan isu terorisme
hanyalah sebuah delik untuk memerangi fenomena kebangkitan
Islam. Fenomena yang mengkonkret dengan berdirinya sejumlah

122 Kita danPerang Itu


negara Islam seperti Iran, Sudan, dan Afghanistan.
Kecenderungan Amerika Serikat menghindari pembuktian
keterlibatan Osama dalam tragedi WTC dan Pentagon serta
tidak menempuh prosedur hukum, bukan hanya membuktikan
keangkuhan dan arogansi negara adidaya itu. Tapi juga menunjukkan
bahwa sebenarnya tragedi itu hanyalah sebuah upaya pengkondisian
masyarakat internasional, khususnya publik Amerika Serikat dan
Barat, untuk melegitimasi sebuah konspirasi besar yang sekaligus
mengawali perang peradaban Islam dan Barat. Karena itu, serangan
itu haruslah dianggap sebagai serangan kepada eksistensi kita
sebagai sebuah umat, sebuah entitas peradaban. Dan karenanya,
menjadi masalah kontemporer Dunia Islam yang ada pada tingkat
prioritas tertinggi.
Kedua, serangan ke Afghanistan itu haruslah dijadikan
momentum untuk membangun solidaritas Dunia Islam. Memberikan
pemaknaan yang paling mendalam terhadap hakikat ukhuwah
Islamiyah. Bahwa, umat ini adalah umat yang satu. Batas-batas
geografi dan perbedaan etnis telah lebur ke dalam ikatan iman.
Kesulitan-kesulitan harus dapat kita lampaui dengan kebesaran jiwa
untuk menjunjung tinggi martabat kolektif kita. Dan, hanya dengan
kesatupaduan seperti itu kita dapat mempertahankan jatidiri kita
sebagai umat dan menghadapi musuh-musuh kita.
Ketiga, serangan ke Afghanistan itu haruslah dijadikan sebagai
momentum untuk mengglobalisasikan jihad. Bumi Afghanistan
harus dijadikan sebagai sekolah jihad dari mana api jihad
digelorakan kepada setiap muslim di muka bumi. Jihad adalah nilai
Islam yang paling mendalam yang tidak mungkin diajarkan kepada
umat kita tanpa adanya momentum seperti ini. Jihad adalah nafas
kehidupan umat kita. Hanya dengan itu, umat menjadi hidup dan
meraih kebesarannya.
Keempat, jihad Afghanistan haruslah dijadikan momentum untuk

Kita danPerang Itu 123


menggelorakan semangat pengorbanan dalam segala bentuknya.
Apabila kongres AS telah menyepakati pemberian sekitar 40 milyar
dollar untuk membiayai perang baru Amerika, seharusnya kita juga
harus bisa memobilisasi dana umat untuk sebuah proposal jihad
jangka panjang. Umat ini harus disadarkan bahwa kehormatan dan
kejayaannya hanya bisa diraih dengan pengorbanan besar yang
tak terhitung.
Kelima, jihad Afghanistan haruslah dijadikan momentum untuk
upaya transformasi sejarah global yang masif. Dimana peradaban
Islam datang menggantikan peradaban Barat. Sudah saatnya
hegemoni Barat yang zalim diakhiri dan umat manusia diberi
kesempatan menikmati keadilan Islam. Semangat perlawanan yang
kini marak sama persis dengan semangat perlawanan di seluruh
Dunia Islam menjelang kemerdekaannya di dekade ‘40-an dan
‘50-an. Ada rakyat dan anak-anak bangsa yang terus bergolak.
Dan satu-satunya kekuatan penjajah hanyalah para kolaborator
yang mereka titip di tengah anak-anak bangsa itu, baik sebagai
pemimpin atau pemikir. Kita berharap semangat perlawanan itu
dapat menjadi momentum untuk meraih apa yang ingin saya sebut
sebagai kemerdekaan peradaban di awal milenium ini setelah kita
merebut kemerdekaan politik pertengahan abad lalu.
Keenam, jihad Afghanistan juga harus dijadikan momentum
untuk proses pembelajaran bagi umat kita. Ketika memasuki
sebuah peperangan, kitalah yang paling mengetahui kapan saatnya
memulai dan kapan saatnya kita harus mengakhiri. Bagaimana cara
kita memulai dan bagaimana cara kita mengakhiri. Para pemimpin
amal Islami harus mampu mengendalikan dan mengarahkan opini
dan sikap umat, supaya mereka mengetahui awal dan akhir dari
sebuah proyek jihad yang sedang kita kerjakan.
Saya punya keyakinan yang belum dapat saya buktikan secara
ilmiah dan menyeluruh bahwa jihad Afghanistan ini akan mengubah

124 Kita danPerang Itu


peta politik dunia secara sangat mendasar. Dan, keruntuhan
peradaban Barat akan bermula dari sini. Suatu saat saya akan
menjelaskan prediksi ini secara lebih mendalam, tapi saya percaya
bahwa waktu akan membantu saya membuktikannya.q

Kita danPerang Itu 125


Bagi kita, para dai, khususnya para
qiyadah amal Islami, membaca tanda-
tanda zaman diperlukan untuk
menentukan proses perpindahan fase
dakwah ke fase berikutnya. Membaca
tanda-tanda zaman juga diperlukan
untuk menentukan laju
pertumbuhan dakwah.

126
22
MEMBACA TANDA-
TANDA ZAMAN

K
alau suatu keadaan atau peristiwa dipaksakan kepada
kita, maka sikap terbaik yang harus kita lakukan adalah
memikirkan bagaimana menginvestasi keadaan itu
untuk kepentingan strategis dakwah. Misalnya, bagaimana kita
mengivestasi kasus Afghanistan bagi kepentingan strategis dakwah.
Inilah gagasan yang telah saya jelaskan di edisi lalu.
Konsep investasi peristiwa itu adalah konsep yang mengakar
kuat dalam Alquran. Salah satu cara Alquran menginvestasi
peristiwa adalah menanamkan nilai-nilai tertentu melalui
peristiwa tersebut. Misalnya nilai persatuan yang bisa retak akibat
keserakahan terhadap harta rampasan perang, diajarkan Allah
swt. setelah peristiwa Perang Badar dalam surat Al-Anfal. Surat itu
diturunkan untuk pemenang perang bahwa ada tipuan yang harus
dihindari di balik setiap kemenangan. Yaitu, ancaman retaknya
persatuan akibat kesalahan menangani masalah harta rampasan.
Baik karena keserakahan maupun karena kesalahan distribusi.
Nilai yang diajarkan dalam peristiwa itu adalah kemenangan yang
berujung dengan perpecahan jauh lebih buruk dibanding kekalahan
yang semakin menguatkan soliditas jamaah. Atau, persatuan lebih
utama daripada kemenangan.

Membaca Tanda-tanda Zaman 127


Namun demikian, konsep investasi peristiwa sebenarnya terkait
dengan masalah lain yang jauh lebih luas, dan sekaligus merupakan
latar belakang dari kemampuan investasi itu. Yaitu, bagaimana
membaca tanda-tanda zaman, membaca perubahan-perubahan
yang terjadi di dalamnya, membaca arah dan tabiat serta tren
dari perubahan-perubahan itu, serta membaca pemain-pemain
utama dan faktor-faktor utama yang menggerakkan perubahan-
perubahan itu. Para ahli strategi menyebut masalah ini sebagai
upaya menganalisis perubahan-perubahan penting pada lingkungan
strategis. Baik di tingkat global, regional, maupun lokal. Baik pada
skala wacana, sistem, institusi, maupun kultur, gaya hidup, dan
perilaku personal.
Membaca tanda-tanda zaman merupakan satu sisi pekerjaan
paling urgen bagi para pemimpin dan pemikir amal Islami. Pertama,
karena sasaran dakwah adalah manusia dengan segala situasi
yang melingkupinya. Sehingga, semua aspek yang mungkin
mempengaruhi manusia harus diketahui dengan baik oleh para dai.
Kedua, dakwah adalah kekuatan kebenaran yang dengan sendirinya
pasti punya musuh. Baik yang menghadapinya secara langsung
maupun tidak langsung. Baik yang ada di dalam dirinya maupun di
luar dirinya. Baik berupa gerakan, personal, maupun institusi atau
rezim tertentu, yang semuanya terus berubah dan berkembang
serta mempengaruhi cara dakwah menghadapinya. Ketiga, dakwah
ini tumbuh dan berkembang dengan tahapan-tahapan yang jelas.
Dimana perpindahan dari satu tahap ke tahap yang lain akan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang melingkupinya.
Sekarang kita bisa mengatakan dengan tenang bahwa
kemampuan kita menginvestasi berbagai peristiwa untuk
kepentingan strategis dakwah akan tergantung pada kemampuan
dan tingkat ketepatan kita membaca tanda-tanda zaman. Persoalan
berikutnya adalah referensi apa yang kita gunakan untuk membaca

128 Membaca Tanda-tanda Zaman


tanda-tanda zaman?
Pertama, Alquran dan Sunnah. Kedua referensi ini sarat
dengan bacaan terhadap perubahan-perubahan zaman, syarat-
syarat kejayaan suatu peradaban dan tanda-tanda keruntuhannya,
faktor-faktor perubah yang bekerja dalam setiap peristiwa, gejala-
gejala kejiwaan yang mempengaruhi setiap fenomena sosial,
dan seterusnya. Dengan begitu kita mempunyai referensi untuk
membaca fenomena zaman. Termasuk untuk meramal berbagai
tren perubahan di masa mendatang. Muhammad Quthub bahkan
telah memulai denga memformulasi cara pandang Islam terhadap
realitas dalam bukunya Tafsir Islam Atas Realitas.
Kedua, realitas empiris. Kita tidak mungkin dapat menerapkan
referensi normatif Islam untuk membaca tanda-tanda zaman, kecuali
bila kita punya database yang akurat tentang kejadian-kejadian
zaman. Apa yang diberikan Alquran dan Sunnah adalah penjelasan
tentang tanda-tanda zaman melalui sejumlah pengandaian terhadap
berbagai fenomena yang terjadi. Maka, yang harus kita lakukan
selanjutnya adalah mendapatkan gambaran jelas dan akurat
tentang kejadian-kejadian zaman itu sendiri. Dan, berdasarkan
itu kita menerapkan model analisis Alquran dan Sunnah terhadap
kejadian-kejadian zaman tersebut untuk selanjutnya menyimpulkan
kondisi zaman dan arah perubahannya.
Ketiga, firasat pribadi. Kedua referensi di atas adalah langkah-
langkah ilmiah dan rasional untuk membaca tanda-tanda zaman.
Tapi, itu tidak cukup untuk mengambil kesimpulan dan menentukan
langkah-langkah konkret untuk menghadapinya. Penyusunan
langkah-langkah antisipasi itu memerlukan kerja lain, yaitu kerja
firasat. Kita harus bisa memfirasati zaman kita. Memutuskan
berdasarkan model analisis Islam dan realitas empiris tentang
apakah peradaban lain sedang naik atau turun, menjelang kejayaan
atau menuju kehancuran. Apakah kehancuran akan dimulai dari

Membaca Tanda-tanda Zaman 129


sebuah perang besar atau dekadensi moral? Apakah perpecahan
internal akan mengawali kehancurannya atau akan dihancurkan
oleh musuh dari luar?
Bagi kita, para dai, khususnya para qiyadah amal Islami,
membaca tanda-tanda zaman diperlukan untuk menentukan
proses perpindahan fase dakwah ke fase berikutnya. Membaca
tanda-tanda zaman juga diperlukan untuk menentukan laju
pertumbuhan dakwah. Sebab, boleh jadi hasil bacaan kita menuntut
kita melakukan satu lompatan cepat karena tersedia momentum
historis --atau apa yang sebelumnya saya sebut dengan “celah
sejarah”-- yang biasanya tidak terulang kembali. Sebab, sejarah
tidak selalu berjalan linear. Sering terdapat tikungan-tikungan tajam
yang menyebabkan terjadinya kecelakaan sejarah. Dan, sejumlah
peradaban terkubur di situ.
Seperti ketika Uni Soviet menyerang Afghanistan tahun 1979.
Sejarah negeri adidaya itu tampak berjalan linear. Tapi, para petinggi
negeri itu tidak menyadari bahwa 14 tahun keberadaan mereka
di Afghanistan ternyata merupakan sebuah tikungan sejarah
yang teramat tajam. Mereka mengalami kecelakaan sejarah yang
mematikan. Dan, kecelakaan itu mengakhiri riwayat peradaban
mereka!
Begitu Amerika Serikat memenangkan Perang Teluk, sejarah
negeri adidaya itu tampak berjalan linear. Sepuluh tahun sesudah
perang yang menguras energi dunia Islam dalam kesia-siaan itu,
Amerika Serikat memang menikmati kedigdayaan. Tapi, apakah
kejadiannya akan sama di Afghanistan? Tidak ada pemimpin
Amerika Serikat yang terlampau yakin mengenai hal itu. Meskipun
mereka harus tampak yakin, bahkan sangat yakin, di depan rakyat
Amerika.
Islam bukanlah sebuah kekuatan militer yang terlalu besar
ketika mereka menghancurkan Persi dan Romawi. Sama seperti

130 Membaca Tanda-tanda Zaman


Tartar, bukan juga sebuah kekuatan militer yang terlalu besar ketika
mereka menghancurkan Bagdad. Betapa banyak peradaban besar
dihancurkan oleh sebuah kekuatan kecil yang bahkan cenderung
primitif. Apakah Afghanistan akan mendapatkan kehormatan
sejarah menjadi kekuatan kecil yang menghancurkan dua negara
adidaya di zaman ini?
Mari kita menyiapkan diri untuk sebuah kejutan sejarah.q

Membaca Tanda-tanda Zaman 131


Kita harus punya metodologi
dan instrumen pembacaan
yang komprehensif dan integral
terhadap musuh-musuh dakwah.
Itu merupakan dokumen strategis
yang harus kita miliki untuk dapat
menetapkan cara yang tepat untuk
menghadapi mereka.

132
23
YANG KITA
PIKIRKAN DAN
YANG KITA LAKUKAN

M
engapa orang-orang Barat sangat berkepentingan
mempelajari cara berpikir kita? Apakah rahasia di balik
ribuan buku yang terbit di Barat tentang kita? Mengapa
ratusan ilmuwan telah dikerahkan untuk mempelajari cara berpikir
kita? Pertanyaan itu mengganggu saya dalam waktu yang lama.
Ketika orang-orang Eropa harus hengkang dari Al-Quds setelah
kalah dalam perang delapan babak selama dua abad (abad 11-13
M) --yang kemudian kita kenal dengan sebutan perang Salib-- tidak
ada lagi perang yang signifikan antara Islam dan Barat sampai
beberapa ratus tahun kemudian. Dengan pengecualian ekspansi
Khilafah Utsmaniyah ke Eropa Timur hingga ke Wina dan mencapai
klimaksnya pada perebutan Konstantinopel pada abad ke 15 M,
perang besar antara Islam dan Barat baru terjadi lagi pada abad
ke-18 hingga abad ke-20 M.
Pada jeda lima abad itu tidak ada pertempuran. Tapi, sebenarnya
perang tetap berlanjut. Yang muncul setelah itu adalah gerakan
orientalisme, sebuah gerakan masif baru yang berorientasi
mempelajari “Timur” dalam semua aspeknya. Hasilnya adalah
sebuah peta tentang kondisi kawasan Timur (Islam) dalam semua
aspeknya. Kemudian peta itu menjadi dasar penyusunan rencana

Yang Kita Pikirkan dan yang Kita Lakukan 133


imperialisme. Jadi, lima abad setelah usainya Perang Salib gerakan
orientalisme itu berujung dengan imperialisme.
Di awal abad ke-20, cikal bakal gerakan kemerdekaan telah
berkecambah di seantero Dunia Islam. Dan pemerintah Inggris
segera menugaskan seorang ilmuwan bernama Hamilton Gibb
untuk mempelajari apa yang mereka sebut dengan “perkembangan
pemikiran Islam moderen”. Buku itu diterbitkan pertama kali tahun
1930. Malik Bin Nabi memberikan perhatian serius terhadap buku
itu dalam bukunya Wiljhatul ‘Alam Al-Islami. Yang menarik adalah
komentar akhir Gibb dimana ia mengatakan bahwa bukunya harus
terbit dua tahun setelah berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin. Dua
tahun, bagi Gibb, bukanlah waktu yang cukup untuk mempelajari
gerakan itu. Tapi, Gibb tetap menyampaikan kecemasannya: suatu
saat gerakan itu akan menjadi ancaman bagi Barat. Rekomendasi
Gibb kemudian ditindaklanjuti dengan menugaskan dinas intelijen
Inggris untuk mempelajari gerakan Ikhwanul Muslimin.
Pada paruh kedua abad ke-20, gerakan orientalisme mengalami
perubahan orientasi yang signifikan. Bukan pada fungsi dan
misinya. Tapi, cara kerjanya. Sekarang gerakan orientalisme
telah dimasukkan ke dalam kajian-kajian ilmu sosial di berbagai
universitas, khususnya pada bidang sosiologi, politik, dan ekonomi.
Dan, biasanya mengambil tema studi kawasan. Mereka tidak lagi
disebut sebagai orientalis. Mereka dikenal sebagai pakar kawasan,
seperti pakar Timur Tengah, Indonesianis, dan semacamnya.
Biasanya, hasil riset mereka akan menjadi dokumen penting
di departemen luar negeri di semua negara Barat. Hasil riset itu
merupakan data intelijen strategis yang melandasi penyusunan
kebijakan luar negeri negera-negara Barat terhadap negara-negara
lain di Dunia Islam. Untuk sejumlah kasus yang spesifik, atau apabila
ada rencana melakukan manuver ofensif, data intelijen strategis
akan diperkuat dengan data intelijen taktis. Dengan begitu kita

134 Yang Kita Pikirkan dan yang Kita Lakukan


menyaksikan sebuah sinergi yang dahsyat antara tiga institusi
penting: perguruan tinggi atau lembaga kajian strategis, dinas
intelijen, dan departemen luar negeri. Para pakar mempelajari
aspek-aspek pemikiran, budaya, dan perilaku sosial politik. Dinas
intelijen mempelajari aspek-aspek perencanaan, gerakan, manuver,
dan semacamnya. Selanjutnya, departemen luar negeri membuat
kebijakan politik luar negeri.
Sampai di sini kita belum menjawab pertanyaan semula.
Mengapa mereka begitu berkepentingan mempelajari cara berpikir
kita? Karena dengan mengetahui cara berpikir kita, mereka
mengetahui cara kita bersikap dan bereaksi terhadap berbagai
masalah. Tindakan-tindakan yang akan kita lakukan tidak akan
pernah keluar dari lingkaran pikiran-pikiran kita. Sebagian dari
pikiran-pikiran itu disadari saat kita bertindak, tapi sebagian lainnya
boleh jadi tidak disadari sama sekali. Tetapi, pikiran-pikiran itu
secara keseluruhan merupakan bingkai yang membatasi semua
tindakan yang mungkin akan kita lakukan. Pikiran adalah rahasia
yang akan menjelaskan semua tindakan yang kita lakukan.
Dengan memperoleh “dokumen pemikiran” kita, mereka akan
melakukan langkah antisipasi untuk merebut masa depan. Oleh
karena itu, kita akan selalu menemukan korelasi antara tesis
Hungtington dengan berbagai kebijakan luar negeri Amerika. Kita
juga akan menemukan korelasi antara pengamatan-pengamatan
John L. Esposito, khususnya tentang pertumbuhan demokrasi
di kawasan Timur Tengah dan Asia Tenggara serta munculnya
kekuatan-kekuatan politik Islam dalam sistem multipartai, dengan
berbagai kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kedua kawasan
ini.
Saya adalah orang yang sangat percaya bahwa kebangkitan
Islam telah menjadi api yang membakar berbagai belahan Dunia
Islam. Tidak ada lagi kekuatan kebatilan --sebesar apa pun-- yang

Yang Kita Pikirkan dan yang Kita Lakukan 135


dapat mematikannya. Tapi, dengan cara kerja seperti yang telah
saya sebutkan, mereka, musuh-musuh Islam itu, masih bisa
melakukan satu hal: menunda kemenangan akhir kita. Mereka
masih bisa memperlambat laju kebangkitan kita. Mereka masih
bisa membuat kita membayar biaya kebangkitan dengan harga
lebih mahal. Mereka masih bisa menjatuhkan korban yang lebih
banyak di sepanjang jalan kebangkitan kita.
Kita mungkin tidak akan pernah bisa menutup diri untuk
tidak dibaca orang lain. Sebab, itu pekerjaan sia-sia. Selain itu,
kemampuan membaca pikiran orang lain tidak dengan sendirinya
berarti mereka selalu sanggup mengantisipasinya. Saya kira kita
justru harus membuka diri secara lebih progresif dalam suatu
kerangka pergerakan yang komprehensif dan integral.
Apa yang harus kita lakukan sebagai aktivis dakwah, khususnya
para qiyadah dakwah, adalah berusaha secara sistematis untuk
bekerja dengan kapasitas dan kualitas yang sama dengan musuh-
musuh kita. Kita harus punya metodologi dan instrumen pembacaan
yang komprehensif dan integral terhadap musuh-musuh dakwah. Itu
merupakan dokumen strategis yang harus kita miliki untuk dapat
menetapkan cara yang tepat untuk menghadapi mereka.
Salah satu kelemahan yang cukup fatal adalah kita tidak memiliki
berbagai perangkat pembacaan terhadap musuh-musuh kita. Baik
perangkat institusi (sepeti lembaga-lembaga kajian strategis)
maupun perangkat metodologi (seperti metode analisis berbasis
perspektif dakwah) yang dapat dijadikan sebagai supporting
system terhadap proses pengambilan keputusan kita. Khususnya
dalam penetapan sikap terhadap musuh-musuh kita. Kita selalu
mengetahui ujung dari skenario setelah menjadi kenyataan. Dan,
tidak pernah mampu mendeteksi secara diri rencana makar
tersebut. Walaupun kemampuan kita untuk menanggulangi efek
dari makar itu semakin membaik dari waktu ke waktu, tapi tetap

136 Yang Kita Pikirkan dan yang Kita Lakukan


saja kita masih harus membayar dengan harga yang mahal.
Empat ratus tahun sebelum masehi, seorang ahli strategi
perang Cina, Sun Tzu, menyampaikan sebuah pesan bijak, “Siapa
yang mengenal dirinya dan mengenal lawannya, maka ia akan
memenangkan seribu pertempuran. Siapa yang mengenal dirinya
tapi tidak mengenal lawannya, ia membayar satu kekalahan pahit
untuk setiap kemenangan yang ia rebut. Tapi, siapa yang tidak
mengenal dirinya dan tidak mengenal lawannya, niscaya ia akan
menderita kekalahan dalam semua pertempuran.”q

Yang Kita Pikirkan dan yang Kita Lakukan 137


Kemampuan membaca pikiran di balik
pikiran akan menentukan seberapa
jauh orang lain dapat mempengaruhi
pikiran dan sikap. Begitu kehilangan
imunitas, kita akan segera berpikir dan
bersikap dalam format yang mereka
inginkan untuk kita.

138
24
PIKIRAN
DIBALIK PIKIRAN

S
alah satu aspek penting yang harus kita telusuri dalam
membaca dan menganalisis pikiran-pikiran atau analisis-
analisis “orang lain” adalah mencoba menemukan pikiran-
pikiran inti yang sebenarnya ada di balik pikiran-pikiran atau analisis-
analisis itu. Apa yang tertulis boleh jadi bukan yang sesungguhnya
terpikirkan oleh mereka.
Membaca pikiran di balik pikiran adalah sebuah seni tersendiri,
khususnya dalam dunia pergerakan dakwah dan politik. Biasanya
ini menyangkut motif yang ada di balik sebuah pikiran yang diajukan
untuk kita pikirkan. Sehingga, yang selalu harus kita ajukan dalam
membaca pikiran-pikiran tersebut adalah: mengapa mereka
menginginkan kita berpikir seperti itu?
Saya ingin memberi sebuah contoh tentang berbagai pikiran
dan analisis politik yang muncul setelah jatuhnya Soeharto pada
pertengahan tahun 1998 lalu. Masyarakat kita berbicara tentang
siapa yang harus menggantikan Soeharto atau tokoh yang paling
tepat memimpin Indonesia pasca-Soeharto. Tentulah mudah
menebak kalau sorot mata bangsa kita tertuju kepada tokoh yang
memimpin reformasi, Amin Rais.
Tapi, seorang pengamat politik Indonesia (Indonesianis) asal

Pikiran di Balik Pikiran 139


Amerika Serikat, William Liddle, mengatakan, “Kalau Amin Rais
ingin menjadi pemimpin nasional, dia harus mentransformasikan
diri dari pemimpin umat menjadi pemimpin bangsa.” Pikiran itu
mengisyaratkan bahwa ada jarak yang terbentang jauh antara
“umat” dan “bangsa”. Bahwa memimpin umat ada dalam skala
yang lebih sempit dibanding skala memimpin bangsa.
Gagasan Liddle itu kemudian menjadi wacana dasar dalam
proses pembentukan PAN. Terutama pada saat perumusan asas
partai. Gagasan itu memang berhasil meyakinkan teman-teman
di PAN untuk sebaiknya tidak menggunakan asas Islam. Karena
Amin Rais harus melangkah lebih jauh kedepan untuk meraih
konstituen yang lebih luas, bukan lagi sekedar konstituen umat.
Tapi, konstituen bangsa. Bahkan salah seorang pendamping yang
sangat dekat dengan Pak Amin pernah mengatakan kepada saya,
“Sebaiknya Pak Amin jangan dibawa-bawa lagilah kepada umat. Itu
langkah mundur ke belakang. Sekarang Pak Amin harus kita lepas
untuk menjadi milik bangsa.”
Kenyataannya memang demikian. Tapi, kenyataan selanjutnya
adalah perolehan suara PAN jauh di bawah perkiraan! Bahkan basis
Muhammadiyah yang dianggap sebagai aset pasti dalam pemilu
1999 juga tidak banyak yang memilih partai itu. Suatu saat masalah
ini jadi pembicaraan dalam sarasehan yang diadakan oleh badan
pemenangan pemilu PAN dimana saya diundang untuk berbicara
tentang penggalangan massa. Saya mengatakan kepada teman-
teman di PAN, “William Liddle menginginkan Anda berpikir begitu.
Dan, Anda telah berpikir begitu. Tapi, kemudian Anda menemukan
kenyataan yang terbalik.”
Yang rumit dalam menemukan pikiran di balik pikiran adalah
apabila pikiran yang tertulis itu secara substansial benar. Pikiran
Liddle itu boleh jadi secara susbtansial tidak terlalu salah kalau
yang kita maksud dengan bangsa adalah keseluruhan komponen

140 Pikiran di Balik Pikiran


bangsa dimana Islam hanya merupakan salah satunya. Tapi, pikiran
itu memang disosialisasi untuk memberi “arah” tertentu pada saat
kita sedang berada di persimpangan sejarah. Dan, untuk itu pikiran
tersebut bisa disebut berhasil.
Tapi, kitalah yang memilih arah itu sendiri. Karena, kita gagal
memahami pikiran yang ada di balik pikiran tersebut. Dan, sebuah
aset Islam yang bernama Amin Rais harus menunggu momentum
sejarah lainnya. Walaupun tentu saja bukan ini yang menjadi
satu-satunya faktor penyebab, tapi setidaknya kita menjadi sadar
bahwa ada begitu banyak sikap politik kita yang sebenarnya tidak
dibentuk oleh prinsip-prinsip yang kita anut. Tapi, dibentuk oleh
pikiran-pikiran yang diwahyukan kepada kita oleh orang lain. “Orang
lain” itu mungkin musuh, mungkin pesaing, mungkin “teman” yang
ingin mencelakakan kita. Mungkin kelompok kepentingan, mungkin
agenda media tertentu. Bahkan, mungkin juga saudara-saudara
kita yang lugu dan terpengaruh oleh pikiran itu dan kemudian
menekan kita.
Kemampuan membaca pikiran di balik pikiran akan menentukan
seberapa jauh orang lain dapat mempengaruhi pikiran dan
sikap. Begitu kehilangan imunitas --karena tidak punya metode
pembacaan atau alat seleksi-- kita akan segera berpikir dan
bersikap dalam format yang mereka inginkan untuk kita. Percaya
bahwa kita mempunyai musuh atau percaya kepada konspirasi
musuh, tidaklah dengan sendirinya akan memperkuat imunitas kita.
Sebab, kepercayaan itu adalah aspek akidah yang harus dilengkapi
aspek ilmu, yaitu metode pembacaan tadi. Itulah sebabnya banyak
orang-orang ikhlas yang mudah terpedaya oleh musuh karena
ketidaklengkapan perangkat akidahnya dengan ilmu. Misalnya,
munculnya berbagai tarekat sufi yang sengaja disuburkan di zaman
penjajahan untuk membuat umat Islam dapat menerima nasibnya
sebagai jajahan dengan rela dan ikhlas.

Pikiran di Balik Pikiran 141


Sebelumnya saya telah menulis tentang kemampuan membaca
tanda-tanda zaman. Sekarang saya menulis tentang kemampuan
membaca pikiran di balik pikiran yang dilemparkan “orang lain”
kepada kita. Perbedaan antara keduanya adalah yang pertama
bersifat makro dan strategis, sedang yang kedua bersifat mikro dan
taktis. Yang pertama lebih terkait dengan penyusunan perencanaan
strategis dan penyikapan global, yang kedua lebih terkait dengan
perencanaan taktis jangka pendek dan penyikapan politik yang
kasuistis. Tapi, kadang sulit membedakan antara keduanya.
Selain karena pembauran yang terlalu rumit, juga areanya saling
bersinggungan, yaitu membaca pikiran dan peristiwa dimana
peristiwa selalu mempunyai akar pada pikiran manusia yang ada
di balik peristiwa itu. Baik sebagai pelaku, pemikir, atau perancang
skenario.
Dengan begitu, yang diperlukan para qiyadah dan pemikir dakwah
adalah sebuah pemahaman yang mendalam tentang strategi kita
dan strategi orang lain. Tentang wilayah tsawabit (prinsip-prinsip yang
permanen) dan wilayah mutaghayyirat (aspek-aspek yang berubah
atau bersifat variabel), Memilah pikiran strategis dan pikiran taktis.
Memahami tabiat musuh, tabiat permusuhan, dan aspek-aspek
kejiwaan musuh. Seperti yang pernah dilakukan Imam Ali bin Abi
Thalib saat melihat pasukan Muawiyah mengangkat mushaf untuk
perdamaian. Beliau setuju dengan usul itu karena memang prinsip
Islam. Tapi, beliau tetap berkomentar, “Ini perkataan yang benar,
tapi digunakan untuk tujuan batil.” Karena, secara taktis pasukan
Muawiyah sudah hampir kalah dan perdamaian ini adalah usaha
untuk mengubah kekalahan militer menjadi kemenangan politik-
diplomatik.q

142 Pikiran di Balik Pikiran


Pikiran di Balik Pikiran 143
Optimisme yang berbaur secara salah
dengan objektivitas sering mendorong
kita melupakan sisi-sisi lain yang
sebenarnya justru menjadi kekuatan
musuh. Dalam keadaan begitu kita
mungkin tidak antisipatif terhadap
berbagai kemungkinan tidak terduga.

144
25
OBJEKTIVITAS
ANTARA OPTIMISME
DAN PESIMISME

M
emilah batas yang tegas antara analisis berbasis
objektivitas dan analisis berbasis optimisme atau
pesimisme adalah juga salah satu seni yang rumit
dalam analisis sosial politik. Banyak bias terjadi di sini. Dalam
membaca sebuah peristiwa, bias sering terjadi saat kita tidak
mampu membedakan secara tegas antara peristiwa yang terjadi
sebagaimana adanya dan peristiwa yang sebenarnya kita inginkan
atau kita bayangkan terjadi. Persoalan itu lebih bersifat psikologis
karena terkait dengan nuansa psikologis atau kepribadian sang
analis, antara yang optimis dan pesimis.
Seorang ulama besar dakwah, Syekh Muhammad Al-Gazali
rahimahullah, menceritakan pengalaman analisisnya dalam salah
satu bukunya yang ditulis pertengahan abad ke-20 lalu. Beliau
membuat sebuah ramalan tentang masa depan Amerika Serikat
setelah Perang Dunia Kedua. Dalam ramalan itu beliau mengatakan,
walaupun menang dalam PD II, kekuatan Amerika Serikat akan
rapuh dan menciut serta melemah, kelak setelah usainya perang
itu. Satu sampai tiga dekade kemudian yang terjadi justru
sebaliknya. Kekuatan Amerika Serikat malah semakin merajalela

Objektivitas antara Optimisme dan Pesimisme 145


dan hegemoninya terasakan di seluruh jagad raya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang salah dalam analisis itu?
Didorong oleh kerendahan hati dan semangat pencarian kebenaran,
Syekh Muhammad Al-Gazali rahimahullah, memikirkan ulang
analisisnya itu. Yang terjadi, kata beliau, adalah kekurangan data.
Ramalan beliau lebih banyak dibangun dari keinginan tersembunyi
dalam dirinya bahwa seharusnya kekuatan Amerika Serikat memang
melemah, rapuh, dan menciut. Keinginan tersembunyi itu kemudian
berbaur dengan data alakadarnya, misalnya kenyataan bahwa
Amerika Serikat memang babak belur dalam PD II tersebut. Hasilnya
adalah ramalan kita lebih banyak menggambarkan apa yang kita
inginkan untuk musuh kita. Bukan apa yang sebenarnya yang akan
terjadi pada diri musuh kita.
Kesalahan seperti itu seringkali menjebak kita dalam penyikapan
yang tidak objektif kepada musuh. Antara sikap ekstrim yang terlalu
meremehkan musuh dan sikap ekstrim yang terlalu membesar-
besarkan musuh. Jebakan kedua sikap itu yang selanjutnya
melahirkan optimisme tanpa alasan dan pesimisme yang juga
tanpa alasan.
Optimisme yang berbaur secara salah dengan objektivitas sering
mendorong kita melupakan sisi-sisi lain yang sebenarnya justru
menjadi kekuatan musuh. Dalam keadaan begitu kita mungkin
tidak antisipatif terhadap berbagai kemungkinan tidak terduga.
Orang seperti ini mengenal dirinya lebih banyak daripada musuhnya,
mengenal keinginannya lebih banyak daripada kemampuan
musuhnya, berbicara lebih banyak tentang apa yang seharusnya
terjadi daripada apa yang sebenarnya terjadi. Sebagian besar
kekalahannya akan disebabkan oleh ketidakterdugaan.
Sebaliknya, pesimisme yang berbaur secara salah dengan
objektivitas sering mendorong kita melupakan sisi-sisi lain dari

146 Objektivitas antara Optimisme dan Pesimisme


musuh yang mungkin merupakan faktor-faktor pembentuk
kelemahannya atau sisi-sisi kekuatan diri kita yang sebenarnya
merupakan faktor penentu kemenangan kita. Orang seperti ini
mudah percaya kepada propaganda musuhnya. Mudah kalah
sebelum berperang. Mudah menyerah dan pasrah pada nasibnya.
Mudah menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Sebagian besar
sebab kekalahannya bersumber dari kepercayaan yang berlebihan
kepada kekuatan musuh atau kekalahan mental yang dialaminya
sebelum berperang.
Objektivitas berarti kita dengan tulus membiarkan realitas
terpajang di depan mata kita secara apa adanya. Murni tanpa
imbuhan emosi kita. Di sini kita berbicara tentang validitas dan
akurasi data, kredibilitas sumber data, dan pemaparan yang bersih
dari intervensi emosi. Sikap emosi kita tentukan kemudian, antara
maju atau mundur, bereaksi atau tidak bereaksi, optimis atau harus
lebih hati-hati, dan seterusnya.
Pada dasarnya tidak ada pesimisme yang boleh ditoleransi.
Tetapi, kita tetap harus membedakan antara pesimisme yang
terlarang dan keberanian moral untuk melihat kenyataan secara
objektif, walaupun mungkin pahit bagi kita atau tidak kita inginkan
sama sekali. Sebaliknya, optimisme harus kita pertahankan dalam
keadaan yang paling buruk sekalipun. Tetapi, kita tetap harus
mempunyai keberanian moral untuk menerima kenyataan bahwa
musuh kita boleh jadi memang lebih kuat, lebih canggih, dan lebih
solid.
Di sini warna kepribadian seorang analis memang merupakan
salah satu faktor penentu. Dan biasanya faktor ini tidak dapat
dihilangkan sama sekali. Ia inheren dalam proses analisis tersebut.
Jadi, adalah salah untuk menghilangkan faktor tersebut. Yang harus
kita lakukan adalah menciptakan keseimbangan antara keduanya

Objektivitas antara Optimisme dan Pesimisme 147


dalam proses analisis. Terutama ketika analisis itu akan dijadikan
dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Yang terakhir ini sebenarnya merupakan tugas qiyadah dakwah.
Dalam proses pengambilan keputusan, seorang qiyadah dakwah
harus mempunyai pemahaman yang mendalam tentang masalah
yang sedang dianalisis. Harus punya pandangan yang relatif
independen tentang masalah itu. Tapi, pada waktu yang sama,
seorang qiyadah dakwah juga harus mampu memilah antara analisis
para analisnya tentang masalah tersebut dengan warna kepribadian
atau kecenderungan optimisme dan pesimisme mereka.
Objektivitas dapat ditumbuhkan dengan membiasakan diri
mendengar dari banyak sumber yang mungkin berbeda-beda.
Meneliti kredibilitas dari masing-masing sumber tersebut.
Membandingkan validitas dan akurasi data mereka masing-masing.
Merekonstruksi sebuah gambar yang komprehensif atas dasar data-
data itu tentang masalah yang dihadapi. Tapi, objektivitas harus
diletakkan di satu sisi dan tidak dibaurkan secara salah dengan
optimisme dan pesimisme. Bersikap objektif adalah keharusan.
Tapi, mempertahankan optimisme juga harus. Titik yang dapat
mempertemukannya hanyalah sikap antisipatif dalam berbagai
situasi.q

148 Objektivitas antara Optimisme dan Pesimisme


Objektivitas antara Optimisme dan Pesimisme 149
Sikap kritis adalah sebuah kemestian
yang tidak dapat ditolak. Tapi
mengkritisi diri sendiri secara berlebihan
atau membebani diri sendiri dengan rasa
bersalah yang berlebihan, hanya akan
berakibat kontraproduktif.

150
26
PERBAIKAN
BERKESINAMBUNGAN

S
etiap waktu, dalam kehidupan berjamaah, kita bisa saja
melakukan kesalahan kolektif. Kesalahan itu bisa terjadi
sejak tahap perencanaan hingga tahap pelaksanaan. Dari
kesalahan teknis hingga kesalahan strategis. Dari kesalahan aplikasi
hingga kesalahan pada dasar penyikapan. Dari kesalahan analisis
politik hingga kesalahan dalam pengambilan keputusan politik.
Syuro tidaklah berfungsi menafikan kesalahan koletif. Syuro
hanya berfungsi mengurangi peluang salah, memaksimalkan
upaya manusiawi, dan mengurangi beban rasa bersalah. Berbagai
metode analisis politik yang kita terapkan secara seksama juga
tidak dapat menafikan kesalahan kolektif. Metode-metode itu pun
hanya berfungsi mengurangi peluang bersalah, memaksimalkan
upaya manusiawi, dan mengurangi beban rasa bersalah.
Hakikat itulah yang mengharuskan kita bersikap lebih wajar
terhadap kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sendiri. Hakikat itu
juga yang mengharuskan kita bersedia memaafkan diri sendiri atas
kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sendiri. Hakikat itu juga yang
mengharuskan kita menerima diri secara wajar dan apa adanya.
Sikap kritis adalah sebuah kemestian yang tidak dapat ditolak.
Tapi mengkritisi diri sendiri secara berlebihan atau membebani diri

Perbaikan Berkesinambungan 151


sendiri dengan rasa bersalah yang berlebihan, hanya akan berakibat
kontraproduktif.
Tapi, memaafkan diri sendiri atau menerima kesalahan-
kesalahan yang kita lakukan sendiri secara lapang dada apa adanya,
tidaklah sama dengan sikap apologi atau membela diri sendiri dan
membenarkan kesalahan yang nyata-nyata kita lakukan. Memaafkan
diri sendiri berarti memberi ruang bagi usaha-usaha pertobatan dan
perbaikan selanjutnya. Tapi, sikap apologi adalah sebentuk upaya
menutupi kesalahan yang kita lakukan atau membenarkannya serta
mengabaikan kritik dan usaha-usaha perbaikan.
Dalam konteks itulah, kita perlu menghidupkan budaya
perbaikan berkesinambungan sebagai bagian dari keseluruhan
kultur jamaah dakwah. Sebagai sebuah komunitas atau sebuah
organisasi, kualitas kolektif yang memberi kita peluang untuk
bertahan dan terus berkembang adalah kemampuan beradaptasi
dengan berbagai situasi baru, perkembangan-perkembangan baru.
Komunitas dinosaurus telah punah karena gagal beradaptasi dengan
lingkungannya. Ideologi komunisme juga ikut wafat bersamaan
dengan runtuhnya Uni Soviet karena kegagalan melakukan proses
adaptasi.
Perjalanan menuju kesempurnaan adalah jalan panjang
yang sangat berliku dan melelahkan. Hanya budaya perbaikan
berkesinambungan yang dapat menjamin bahwa kita bisa sampai
ke titik kesempurnaan terakhir yang kita inginkan. Semangat
inilah yang membuat kapitalisme dapat bertahan hingga saat ini.
Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi dengan semangat
individualisme dan kompetisi ala rimba yang sangat kental. Tapi,
idelogi itu telah belajar dari komunisme Uni Soviet. Pada mulanya
kapitalisme tidak punya subsistem penjaminan sosial --sebagai
suatu instrumen redistribusi kekayaan negara-- yang berorientasi
kemanusiaan dan berbasis keadilan. Tapi, pelajaran dari komunisme

152 Perbaikan Berkesinambungan


telah membuat mereka menemukan konsep walfare state atau
negara kesejahteraan. Ini membuat kapitalisme tampak lebih
santun dan manusiawi ketimbang komunisme.
Inti dari budaya perbaikan berkesinambungan adalah terciptanya
suatu semangat kolektif dalam diri setiap individu pendukung
jamah dakwah untuk senantiasa belajar dan belajar. Dengan
semangat pembelajaran itu, organisasi dakwah menjadi the learning
organization. Sebuah kualitas yang menjamin adanya orientasi
perubahan ke arah yang lebih baik setiap saat. Dan karenanya,
juga akan menjamin daya tahan hidup organisasi dakwah dalam
berbagai situasi yang dihadapi. Sebab, hakikat belajar adalah usaha
untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Imam Syahid Hasan Al-Banna telah memberikan sebuah
pelajaran berharga bagi kita. Jamaah Ikhwanul Muslimin yang dirikan
tahun 1928 telah melewati usia sepuluh tahun dalam masa sirriyyah
(tertutup) ketika Hasan Al-Banna memutuskan untuk memasuki
era jahriyah (terbuka). Peluncuran era jahriyah itu dilakukan dalam
sebuah pidato monumental yang beliau sampaikan pada Muktamar
Kelima Ikhwanul Muslimin di Kairo, Mesir. Setelah memasuki era
jahriyah itulah Ikhwanul Muslimin menghadapi berbagai tantangan
berat. Termasuk diantaranya tantangan fisik berbentuk penyiksaan
dan pembunuhan atas para pimpinannya. Para pimpinan dan kader
Ikhwan memang memperlihatkan ketegaran yang luar biasa. Tapi,
secara internal organisasi dakwah itu juga mengalami goncangan
yang luar biasa. Sebab, Jamal Abdul Nasser yang menyiksa mereka
ketika itu tak lain adalah kader Ikhwan sendiri!
Ujian dalam dakwah adalah keniscayaan. Tingkat kehati-hatian
seperti apa pun tidak dapat menghindarkan kita dari ujan tersebut.
Tapi, kita tetap harus belajar. Dan itulah yang dilakukan Imam Syahid
Hasan Al-Banna. Beberapa saat menjelang syahid, beliau menulis
di catatan hariannya bahwa seandainya bisa mengembalikan masa

Perbaikan Berkesinambungan 153


dua puluh tahun yang lalu dan merancang ulang strategi dakwah,
niscaya beliau akan memperpanjang masa-masa tarbiyah dan
membuatnya lebih matang. Khususnya, di era sirriyyah.
Para pemimpin besar tidak pernah menganggap kesalahan-
kesalahannya sebagai aib yang harus ditutupi. Pengalaman hidup
mereka adalah sebuah lembar sejarah yang terbuka untuk dibaca
oleh semua orang. Dan apa yang istimewa dalam kehidupan mereka
bukanlah karena mereka bersih dari kesalahan, melainkan karena
mereka mempunyai semangat belajar gigih, semangat perbaikan
berkesinambungan yang kuat. Itulah kata kunci yang mengantar
mereka mendekati kesempurnaan.
Demikianlah juga dengan pengalaman-pengalaman dakwah kita.
Suatu saat akan datang sebuah generasi yang membuka lembaran
sejarah kita. Membacanya dengan seksama untuk menemukan
pelajaran yang ia perlukan dalam perjalanan dakwah mereka.
Barangkali mereka akan menemukan begitu banyak kesalahan
yang telah kita lakukan dan akan nyatalah kadar kita dalam
timbangan sejarah dakwah. Tapi disamping kesalahan-kesalahan
itu, ada satu hal yang juga harus mereka temukan. Bahwa di balik
kesalahan-kesalahan itu, yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari kelemahan manusiawi kita, tersimpan sebuah semangat
pembelajaran yang kuat. Sebuah energi yang memberi kita kekuatan
untuk melakukan perbaikan berkesinambungan dalam menjalankan
dakwah. Semangat pembelajaran itu jugalah yang akan dijadikan
Allah swt. sebagai syarat untuk memperbaiki amal-amal kita.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan berkatalah yang lurus, niscaya Allah akan memperbaiki amal-
amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Barangsiapa yang
selalu mentaati Allah dan Rasul-Nya niscaya ia akan mendapatkan
keuntungan yang besar.” (Q.S. al-Ahzab: 70-71) q

154 Perbaikan Berkesinambungan


Perbaikan Berkesinambungan 155
Kita telah mengokohkan jatidiri
kita sebagai salah kekuatan moral
dalam dunia politik kita. Tapi para
pengamat politik berpendapat
performansi kita lebih kuat
sebagai ormas atau
yayasan sosial ketimbang
sebagai kekuatan politik praktis.
Mereka ragu kita layak
mengelola negara.

156
27
PERFORMANSI
POLITIK KITA

K
alau ada sesuatu yang patut kita syukuri sebagai bagian
dari generasi baru dakwah, maka sesuatu itu adalah
kenyataan bahwa kita telah tumbuh bersama dakwah
melalui beberapa marhalahnya. Sekarang bersama dakwah, kita
merambah belantara perpolitikan nasional justru pada saat negeri
ini sedang mengalami masa-masa transisi yang rumit dalam
perjalanan sejarahnya.
Tentu saja itu merupakan sebuah kehormatan sejarah yang
memberi kita kebanggaan tersendiri. Tapi, sebuah tantangan besar
segera terpampang di hadapan kita: sebagai sebuah kekuatan
politik nasional, seberapa mampukah dakwah ini memberikan solusi
bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis multidimensi yang
telah melilitnya selama tahun-tahun?”
Merambah dunia politik, dalam paradigma dakwah kita, adalah
sebuah keniscayaan. Sebagai bagian dari totalitas kekuatan.
Kekuasaan atau legitimasi politik diperlukan tidak bagi dirinya
sendiri. Tapi, untuk tujuan mewadahi dan melindungi proses
pelaksanaan agama di seluruh dimensi kehidupan kita. Dalam
konteks itu kita telah memperkenalkan wacana partai dakwah

Performansi Politik Kita 157


dalam diskursus politik nasional. Bahwa sejatinya berpolitik itu
berarti mengurusi semua dimensi kehidupan masyarakat untuk
menciptakan kehidupan yang lebih baik, bukan sekedar mencari
celah mencapai puncak kekuasaan. Bahwa sejatinya kekuasaan itu
hanyalah instrumen untuk menerapkan kehendak-kehendak baik
yang diajarakan agama kepada kita, bukan alat pembenar semua
ambisi kekuasaan kita.

Performansi politik
Begitulah secara lugas kita menyatakan jatidiri kita selama ini.
Tapi, pengalaman politik selama beberapa tahun ini tampaknya
telah memberi kita begitu banyak pelajaran berharga. Salah satunya
adalah image yang melekat dalam pemahaman publik tentang citra
partai dakwah.
Kita telah mengokohkan jatidiri kita sebagai salah kekuatan
moral dalam dunia politik kita. Tapi dari banyak perbincangan
dengan berbagai pengamat politik di luar sana, kita mendapatkan
kenyataan bahwa selama ini performansi kita lebih kuat sebagai
ormas atau yayasan sosial ketimbang sebagai kekuatan politik
praktis. Mereka mengakui kemampuan kita mengguncang jalanan
dengan demo-demo kita, mereka mengakui keikhlasan dan
ketulusan kita setiap kali kita berbicara. Tapi mereka tetap saja
menyimpan sebuah keraguan --yang boleh jadi tidak selalu negatif
atau semacam kepercayaan yang tidak utuh-- tentang performansi
kita sebagai kekuatan politik yang layak mengelola negara. Agaknya,
memang harus dibedakan antara kelayakan moral dan kelayakan
politik atau profesional.
Kalau kita menyerap keraguan tersebut, sesungguhnya itu
merupakan bagian dari kelapangan dada kita yang muncul dari
obsesi kesempurnaan yang diajarkan dakwah kepada kita. Kita
tentu cukup percaya diri bahwa dengan semangat dan kemampuan

158 Performansi Politik Kita


pembelajaran (learning capacity) yang kita miliki, kita mampu
memperbaiki performansi politik kita di masa mendatang.
Performansi mengacu pada total produktivitas kita atau
gambaran tentang portofolio kita sebagai sebuah kekuatan politik.
Jika misalnya kita mendapatkan kekuasaan untuk mengelola
negara, maka performansi kita akan terlihat pada pertambahan nilai
akhir dari seluruh indikator makro kesuksesan mengelola negara.
Mulai dari indikator ekonomi hingga indikator budaya.
Performansi kita sebagai sebuah kekuatan politik sebenarnya
ditentukan oleh kapasitas total yang kita miliki. Apabila peformansi
dipersamakan dengan kemampuan total produksi, maka kapasitas
adalah total kemampuan produksi. Jadi, untuk memperbaiki
performansi, kita harus meningkatkan kapasitas kita. Kalau memiliki
kapasitas yang tinggi, maka dengan sendirinya performansi kita juga
akan meningkat. Sehingga, apa yang kita perlukan kemudian adalah
sebuah keterampilan teknis untuk membahasakan performansi kita
kepada orang lain bahwa kita layak dijadikan alternatif solusi bagi
bangsa kita. Bahwa sudah saatnya bangsa ini menengok kepada
kita dan memberikan jalan untuk mengekspresikan diri secara
tuntas dalam penyelenggaraan negara.
Saya menyebutnya keterampilan teknis karena boleh jadi
citra dan performansi serta kapasitas tidak terkolerasi. Itu bisa
menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Seperti ketika bangsa
ini kecewa kepada Gus Dur yang datang dengan citra keulamaan
ke pentas kekuasaan. Bangsa kita segera merasakan harapan
moral yang tinggi kepada Gus Dur akibat citra tersebut. Tapi begitu
mereka menyaksikan kenyataan sebaliknya, mereka kecewa. Gus
Dur kehilangan legitimasi. Bila tidak hati-hati, Mega juga akan
mengalami hal yang sama. Citra dirinya sebagai pemimpin wong
cilik yang karismatik akan segera lenyap manakala performansisi
negara yang dikelolanya makin hari makin buruk. Misalnya, harga-

Performansi Politik Kita 159


harga yang terus melambung, KKN yang terus terlindungi, hukum
yang berubah menjadi komoditi politik.
Melalui sebuah rekayasa komunikasi politik yang cerdas, kita
bisa saja membohongi rakyat dengan mendongkrak citra seseorang
melampaui kapasitasnya yang sebenarnya. Tapi, citra seperti
itu tidak akan pernah bertahan lama, kecuali bila performansi
tokoh tersebut memang mendukungnya. Jadi, lapisan terdepan
dari kekuatan kita bernama citra, lapisan keduanya bernama
performansi, lapisan ketiganya bernama kapasitas. Apabila kita
memperbesar kapasitas kita secara berkesinambungan, maka
performansi kita akan membaik secara berkesinambungan.
Selanjutnya, citra kita juga akan membaik mengikuti perbaikan
yang terjadi pada performansi kita.
Jadi, apa yang harus kita lakukan adalah meningkatkan
kapasitas internal kita agar kita memperbaiki performansi kita
sebagai kekuatan politik yang memang layak diberi amanah
kekuasaan. Kalau kita ingin dicitrakan sebagai solusi bagi bangsa,
kita harus memiliki semua kapasitas internal yang diperlukan
untuk menyelamatkan bangsa kita dari krisis multidimensi yang
melilitnya. Itu berarti bukan hanya kapasitas moral spiritual yang
kita perlukan, tapi kapasitas leadership, ekonomi, politik, budaya,
dan lainnya.q

160 Performansi Politik Kita


Performansi Politik Kita 161
Dalam dunia politik praktis, orang-
orang tidak menilai kita berdasarkan
apa yang kita inginkan. Mereka menilai
kita berdasarkan apa yang dapat kita
lakukan. Mereka tidak akan pernah
menanyakan apa visi-misi kita. Tapi,
menanyakan seberapa mampu kita
merealisasikan apa yang kita inginkan.

162
28
MENGEMBANGKAN
KAPASITAS
INTERNAL KITA

K
alau kita ingin memperbaiki performansi kita sebagai salah
satu kekuatan sosial politik yang layak mengelola negara,
seperti yang saya tulis pada kolom sebelumnya, maka
satu-satunya cara yang harus kita tempuh adalah mengembangkan
kapasitas internal kita secara berkesinambungan. Sebab, kapasitas
internal kitalah yang sesungguhnya membentuk performansi kita.
Kapasitas internal adalah total dari kemampuan dan daya
dukung yang secara riil kita miliki. Dengan itu kita dapat
merealisasikan kehendak-kehendak atau ideal-ideal kita. Dalam
dunia politik praktis, orang-orang tidak menilai kita berdasarkan apa
yang kita inginkan atau berdasarkan ideal-ideal kita. Mereka menilai
kita berdasarkan apa yang dapat kita lakukan atau berdasarkan
kemampuan bertindak (daya tindak) kita. Dengan kata lain, mereka
tidak akan pernah menanyakan apa yang sebenarnya kita inginkan
atau menanyakan visi-misi kita. Tapi, mereka akan menanyakan
seberapa mampu kita merealisasikan apa yang kita inginkan.
Itulah logika kekuasaan di dunia politik. Dan itu pulalah
elemen utama yang membentuk kepercayaan orang kepada kita.
Inti dari kekuasaan adalah kekuataan. Dan, kekuatan yang nyata

Mengembangkan Kapasitas Internal Kita 163


adalah gabungan dari seluruh kapasitas internal kita. Kita akan
tampak sangat bijak dan cemerlang manakala berdiskusi tentang
model negara yang kita inginkan. Itu bisa membuat masyarakat
mengagumi kita. Tapi, kekaguman bukanlah kepercayaan. Yang kita
perlukan dari masyarakat adalah kepercayaan (mishdaqiyah), sebab
itulah dasar legitimasi politik yang akan mereka berikan kepada
kita. Kepercayaanlah yang membuat masyarakat mau memberikan
“hak” mereka untuk dipimpin oleh orang atau kelompok lain, yaitu
kepercayaan kepada kemampuan orang atau kelompok tersebut.

Kompetensi eksekusi
Sekarang muncul sebuah pertanyaan: kapasitas apakah yang
harus kita miliki untuk dapat mengelola sebuah negara secara baik?
Jawaban pertanyaan ini sebenarnya kembali kepada persoalan visi,
misi, dan fungsi negara dalam perspektif Islam. Jadi, kita harus
menjawab pertanyaan lain terlebih dahulu: seperti apakah model
negara dalam perspektif Islam? Atau, negara macam apakah yang
dengan nama Islam ingin kita wujudkan?
Jika pertanyaan itu dapat kita jawab secara defenitif, maka
kita dapat melangkah kepada pertanyaan selanjutnya: untuk
mewujudkan negara seperti itu, kemampuan apa sajakah yang
harus kita miliki? Pertanyaan pertama menjelaskan ideal-ideal
kita, tapi pertanyaan kedua menjelaskan kekuatan riil yang harus
kita siapkan.
Begitu jugalah cara Alquran mengajari kita. Alquran menjelaskan
perang dan permusuhan antara kebenaran dan kebatilan sebagai
keniscayaan hidup. Setelah itu Alquran menjalaskan tabiat
peperangan itu. Menjelaskan siapa saja musuh kita. Menjelaskan
tabiat setiap musuh. Kemudian menjelaskan bagaimana kita
mempersiapkan semua kekuatan untuk menghadapi mereka.

164 Mengembangkan Kapasitas Internal Kita


Walaupun begitu, secara umum kita dapat mengatakan yang
diperlukan untuk mengelola sebuah negara adalah kompetensi
eksekusi. Jika dalam negara ada tiga lembaga negara --legislatif,
eksekutif dan yudikatif-- yang terpenting dari ketiganya adalah
lembaga eksekutif. Tugas inti lembaga eksekutif sebenarnya
terfokus pada tiga aspek: politik-keamanan, ekonomi-keuangan,
dan layanan kesejahteraan sosial. Kementerian yang masuk dalam
struktur sebuah kabinet juga selalu dibagi ke dalam ketiga katagori
tersebut. Biasanya, seperti dalam kasus negara kita, pada setiap
satu kategori diangkat seorang menteri dengan fungsi koordinasi
atau menko. Misalnya, menko polkam, menko ekuin, dan menko
kesra.
Berdasarkan itu, kompetensi eksekusi yang harus kita
kembangkan juga ada tiga: kompetensi politik-keamanan,
kompetensi ekonomi-keuangan, dan kompetensi pelayanan sosial.
Jika kita berbicara dalam konteks partai, misalnya, maka yang harus
kita lakukan adalah mengembangkan sebuah tim kepemimpinan
ekskutif dengan kompetensi inti pada ketiga kategori tersebut.
Setelah itu, masing-masing mereka yang tergabung dalam tim
itu harus bekerja mengembangkan kapasitas internalnya sesuai
dengan pilihan kategori kompetensi yang harus dimiliki. Misalnya,
penguasaan teknis dan detil bidang, kemampuan berpikir strategis
sebagai perumus kebijakan publik, wawasan masa depan (forward
looking), dan kemampuan perencanaan strategis, kemampuan
manajerial, kemampuan komunikasi publik, dan lainnya.
Bersamaan dengan berkembangnya kompetensi eksekusi kita
melalui pengembangan kapasitas internal secara berkesinambungan,
maka performansi politik kita akan meningkat. Dengan cara itu pula
kita merebut kepercayaan publik bahwa kita memang memiliki
semua kelayakan untuk mengelola negara. Masyarakat punya alasan

Mengembangkan Kapasitas Internal Kita 165


yang layak untuk “berharap banyak” pada kita. Tapi, pembahasan
tentang kompetensi eksekusi ini tentu saja tidak menafikan sesuatu
yang sudah kita sepakati, yaitu integritas kepribadian yang berbasis
pada kekuatan moralitas, yang katakanlah, sudah kita miliki atau
setidak-tidaknya sudah menjadi komitmen kita sejak awal.
Secara pribadi saya berpendapat bahwa sudah saatnya kita
mengurangi pembahasan dalam wacana model negara Islam
untuk kemudian mengalihkan energi kita lebih banyak pada
pengembangan kapasitas internal kita. Sebab, itulah tampaknya
yang menjadi persoalan kita, yaitu jarak antara kita, sebagai calon
pengelola negara, dengan model negara Islam ideal yang kita
inginkan masih jauh, relatif jauh, bahkan sangat jauh. Jadi, kita
perlu memberikan lebih banyak perhatian kepada persoalan inti
kita dalam pengembangan kapasitas internal.
Salah satu capaian dakwah yang terpenting dalam empat tahun
terakhir, khususnya setelah terjun dalam dunia politik, kita relatif
berhasil merebut kepercayaan publik dengan integritas moral kita.
Apalagi di tengah runtuhnya citra moral sebagian besar kekuatan
politik yang ada.
Tapi, agaknya kita tetap perlu terbuka terhadap penilaian
yang mengatakan performansi kita selama ini lebih menyerupai
ormas ketimbang sebuah kekuatan politik. Secara de facto kita
adalah moral force, tapi belum berkembang menjadi political
force yang efektif. Itulah tantangan bagi kita saat ini dan di masa
mendatang.

166 Mengembangkan Kapasitas Internal Kita


Mengembangkan Kapasitas Internal Kita 167
Sekarang marhalah dakwah kita
menuntut dikembangkan kultur
baru, yaitu kultur sebagai pekerja
politik. Ini tidak berarti kita harus
menghapus kultur pekerja sosial
yang sudah terbentuk sebelumnya.

168
29
BUDAYA POLITIK KITA

S
alah satu sebab yang membuat citra kita lebih dekat ke citra
ormas adalah karena keterlibatan kita di tingkat nasional
lebih banyak terjadi pada persoalan-persoalan sosial dan
moral. Kita belum terlibat secara intens dalam wacana ekonomi-
bisnis dan politik-keamanan. Padahal inti dari negara terletak pada
kedua persoalan tersebut.
Secara ekonomi, sektor pelayanan publik seperti pendidikan,
kesehatan, dan layanan sosial lainnya merupakan pengeluaran.
Karena itu, akan sangat tergantung pada pemasukan yang
ditentukan sektor ekonomi-keuangan. Sementara itu, perekonomian
secara makro sangat ditentukan oleh stabilitas politik-keamanan.
Inilah logika negara. Jika terlibat lebih banyak di sektor layanan
publik, kita akan tampak sebagai orang baik dan bijak serta berhati
nurani di mata publik. Tapi begitu kita berkuasa, kita sebenarnya
menciptakan jebakan bagi diri kita sendiri. Karena keinginan baik
kita untuk melayani publik secara lebih baik, belum tentu dapat
dipenuhi kalau kita tidak sanggup mengelola perekonomian negara
secara lebih baik. Atau dengan kata lain, kita dapat mengeluarkan
anggaran yang besar untuk sektor layanan publik kalau tidak

Budaya Politik Kita 169


mampu menciptakan pemasukan yang lebih besar pada sektor
perekonomian.
Itulah, misalnya, yang dialami Partai Ishlah di Yaman. Dalam
kabinet baru pasca-unifikasi Yaman Utara dan Yaman Selatan,
mereka berhasil meraih sembilan pos kementerian yang semuanya
dalam sektor layanan publik. Tapi, mereka tidak bisa melakukan
apa-apa. Sebab, anggaran belanja untuk sektor ini sangat minim.
Katakanlah, ada konspirasi untuk merusak citra mereka. Tapi, logika
pemasukan dan pengeluaran adalah logika baku, bukan hanya pada
skala negara, bahkan juga dalam rumah tangga kita sendiri.
Karena itu muncul persoalan lain. Kita bukan saja perlu
mengembangkan kapasitas internal guna memperbaiki performansi
politik agar kita tampak layak di mata publik untuk mengelola
negara. Tapi, lebih dari itu kita juga perlu mengembangkan kultur
kita.

Kultur pekerja politik


Pada mihwar sya’bi (era pembangunan basis sosial) kita
mengembangkan berbagai institusi pelayanan sosial atau LSM.
Itu memang perlu sebagai entry point untuk melakukan rencana
penetrasi sosial. Melalui lembaga-lembaga itu tokoh-tokoh kita
diorbitkan. Dan pada waktu yang sama, kita juga mempunyai alasan
untuk mengakses masyarakat secara langsung.
Strategi itu memang berhasil. Dalam waktu yang sangat singkat
ada ratusan LSM berdiri di seluruh pelosok nusantara. Ada dinamika
dalam masyarakat karena geliat dakwah yang begitu kuat mengakses
mereka. Pada waktu bersamaan, dalam komunitas dakwah juga
tumbuh kultur yang kuat sebagai pekerja sosial. Hasilnya memang
nyata. Bukan menyalurkan bantuan untuk saudara-saudara di dalam
negeri, bahkan kita juga turut berpartisipasi untuk saudara-saudara

170 Budaya Politik Kita


kita di luar negeri seperti Bosnia, Afghanistan, dan Palestina. Output
terbaik dari kultur pekerja sosial itu adalah saat kita menangani
bantuan kemanusiaan untuk berbagai daerah konflik dan bencana
seperti Maluku.
Begitu kita masuk ke dalam dunia politik, kultur itu terbawa.
Dan, menjadi salah satu kekuatan yang membentuk citra politik
dakwah kita. Itu bukan sebuah kesalahan yang harus dikoreksi. Itu
merupakan tuntutan marhalah dakwah. Tapi, sekarang marhalah
dakwah kita juga menuntut dikembangkan kultur baru, yaitu kultur
sebagai pekerja politik. Ini tidak berarti kita harus menghapus kultur
pekerja sosial yang sudah terbentuk sebelumnya.
Kultur baru itu mengharuskan kita melakukan beberapa hal.
Pertama, memperluas wawasan makro kita tentang berbagai
persoalan inti kenegaraan. Itu dapat kita lakukan dengan memperluas
pengetahuan teoretis kita dalam bidang ekonomi, bisnis, politik, dan
keamanan. Tapi, pengetahuan teoretis itu harus disempurnakan
dengan informasi yang luas dalam bidang-bidang tersebut. Baik
melalui sumber sekunder seperti media massa, maupun sumber
primer, yaitu para pelaku langsung. Ini mengharuskan kita punya
jaringan komunikasi dan informasi yang luas, mengharuskan kita
membaca lebih banyak, dan bergaul lebih luas.
Kedua, meningkatkan frekuensi keterlibatan kita dalam dunia
ekonomi-bisnis dan politik-keamanan. Keterlibatan itu dapat kita
lakukan di tingkat wacana publik, asistensi kepada pemerintah
untuk pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan
publik, maupun terlibat sebagai pelaku langsung. Lihatlah para
khulafaaurrasyidin. Mereka semua merupakan pelaku-pelaku bisnis
yang handal, berwawasan, dan berilmu luas. Disamping kesalihan
pribadi, kompetensi leadership mereka yang juga handal.
Ketiga, meningkatkan kemampuan kita mempengaruhi orang
lain. Dunia politik praktis adalah dunia jaringan, dunia kerjasama,

Budaya Politik Kita 171


dunia aliansi dan koalisi. Janganlah pernah membayangkan bahwa
kita akan berkuasa dan mengelola negara sendiri. Kita hanya
akan menjadi bagian dari sebuah koalisi besar. Jadi, apa yang
harus kita lakukan adalah mengembangkan kemampuan kita
mempengaruhi orang lain, memperkuat jaringan lobi ke kalangan
politisi, pengusaha, militer, serta media, dan membangun akses
yang kuat ke para pengambil keputusan dan penentu kebijakan.
Keempat, memperbanyak figur publik kita dalam berbagai
bidang. Jangan hanya para kiai, ustadz, muballig saja yang dikenal
masyarakat. Para pakar ekonomi, politik, militer, dan teknologi kita
juga harus dimunculkan. Artinya, harus ada spesialisasi di kalangan
politisi dakwah. Sejumlah orang yang punya kemampuan intelektual
lebih besar dapat diplot menjadi generalis yang dapat terlibat secara
ilmiah dalam banyak bidang pengetahuan. Tapi, sebagian besar
kita harus punya satu spesialisasi dengan itu ia kemudian dikenal
masyarakat.
Dengan cara itu kita mengembangkan citra kita dari sekedar
orang-orang baik, menjadi kumpulan orang-orang kuat. Sebab,
dunia politik adalah dunia orang kuat. Tapi, Islamlah yang membuat
dunia politik menjadi dunia orang baik yang kuat atau dunia orang
kuat yang baik.q

172 Budaya Politik Kita


Budaya Politik Kita 173
Apa yang dipahami
orang lain tentang kita
sebenarnya dibentuk oleh
akumulasi sikap, perilaku, dan
cara kita mengekspresikan diri.
Apa yang mereka lihat, apa yang
mereka dengar tentang kita,
itulah yang menjadi
faktor pembentuk citra kita
di benak mereka.

174
30
STRATEGI
PENCITRAAN

M
edia massa, kata pemimpin Partai Refah dan mantan
Perdana Menteri Turki, Erbakan, adalah institusi politik
keempat. Teori trias politica yang digagas Montesqiu
beberapa abad lalu sudah tidak memadai menggambarkan
keseimbangan kekuatan politik satu negara. Media massa telah
menjadi institusi yang mandiri, independen, berwibawa dengan
agendanya, dengan jaringannya, dan dengan kadar pengaruh
lembaga eksekutif dan legislatif. Ini adalah abad media.
Kita, atau mungkin siapa saja yang bergerak di dunia politik
dan dakwah, dengan mudah bisa sepakat dengan Erbakan. Sebab,
memang begitulah kenyataannya. Tapi, justru di sinilah persoalan
kita. Di antara kesadaran kita tentang peran dan fungsi media dengan
langkah-langkah yang telah kita lakukan untuk memanfaatkannya,
masih terbentang jarak yang relatif jauh. Sebagian dari indikasinya
adalah adanya pemahaman yang masih naif bahwa kita sudah cukup
bergembira apabila kegiatan-kegiatan atau statemen-statemen kita
diliput media. Kadang-kadang dengan naif kita marah atau iri. Amal
kemanusiaan dan aksi sosial politik seperti demonstrasi, tablig
akbar, atau pawai yang kita gelar, ternyata tidak mendapat liputan

Strategi Pencitraan 175


media yang memadai. Sementara kelompok lain mendapat liputan
media yang luas untuk satu kegiatan kecil.
Hubungan kita dengan media, dalam prespektif yang naif
seperti itu, mengalami reduksi, penyederhanaan, dan pembatasan
ke tingkat liputan saja. Padahal liputan media, walaupun untuk
kegiatan yang baik, belum tentu menguntungkan bagi kita jika
dipandang dari sisi strategis pencitraan.
Misalnya, jika aktivitas publik kita yang terliput adalah kegiatan-
kegiatan sosial kemanusiaan, maka jangan heran bila kemudiaan
masyarakat mempersepsi kita sebagai LSM atau ormas. Bukan
institusi dakwah politik. Demikian pula jika aktivitas publik kita
yang terliput adalah demonstrasi dan protes, maka secara perlahan
kita akan dicitrakan sebagai partai demonstran. Lantas, apa yang
terjadi jika seluruh tokoh dakwah tampil hanya dalam satu format:
muballig? Masyarakat mungkin akan mengagumi dan menghormati,
tapi belum tentu percaya pada kapasitas kita untuk mengelola
sebuah negara. Mereka belum tentu bersedia memberikan
legitimasi, dukungan, dan suaranya kepada kita untuk memimpin
mereka.
Konsep pencitraan pertama kali mengajak kita untuk menjawab
seluruh pertanyaan yang sangat fundamental: kita ingin dipahami
oleh masyarakat sebagai apa? Atau, citra apa yang kita inginkan
bagi diri kita sendiri? Pertanyaan itu menjadi fundamental karena
pada dasarnya kitalah yang bertanggungjawab atas citra diri kita.
Kitalah yang bertanggungjawab atas kesalahpahaman orang lain
terhadap kita.
Dengan kata lain, apa yang dipahami orang lain tentang kita
sebenarnya dibentuk oleh akumulasi sikap, perilaku, dan cara kita
mengekspresikan diri. Kemunculan kita ke publik, dalam bentuk
apapun, melalui suatu proses waktu. Secara perlahan-lahan akan

176 Startegi Pencitraan


membentuk “kesan” atau “imej” tertentu dalam benak publik. Apa
yang mereka lihat, apa yang mereka dengar tentang kita, itulah yang
menjadi faktor pembentuk citra kita di benak mereka. Jadi, citra
adalah kesan imajinatif yang terbentuk dalam benak publik dalam
rentang waktu tertentu dan terbentuk oleh keseluruhan informasi
tentang diri kita yang sampai ke publik.
Persoalan kita adalah tidak secara sadar merencanakan
pencitraan diri kita. Atau, tidak melakukan usaha-usaha yang
sistematis untuk membentuk citra diri yang kita inginkan.
Kemunculan kita ke publik dalam bentuk statemen atau aksi,
mengalir begitu saja. Relatif tanpa sentuhan seni komunikasi
publik yang profesional. Padahal, seni komunikasi publik saat ini
mendefinisikan diri sebagai kemampuan mengubah seseorang yang
paling “biasa” menjadi seseorang yang paling “dikagumi”.
Amal Islami, khususnya yang telah memasuki era jahriyah
dan wilayah politik, sangat berkepentingan untuk menguasai seni
komunikasi publik. Setidak-tidaknya memanfaatkan jasa para
profesional di bidang itu. Ini kita butuhkan. Khususnya bagi figur
dakwah politik yang telah muncul ke publik.
Apa yang perlu ditekankan di sini adalah dakwah di mihwar
muassasi harus dicitrakan sebagai sebuah kekuatan sosial politik
yang memiliki semua kelayakan untuk mengelola negara. Citra itu
perlu kita bangun untuk merebut kepercayaan masyarakat bahwa
institusi dakwah adalah the leading political power yang paling
berhak untuk memegang amanat kekuasaan.
Itu berarti semua elemen yang ada pada institusi “calon
penguasa” harus diekspos secara sistematis kepada publik.
Sehingga, publik mendapatkan gambaran utuh tentang seluruh
kapasitas internal yang kita miliki.
Misalnya, dalam pemunculan public figur kita. Publik harus
mendapatkan informasi bahwa institusi dakwah politik ini memiliki

Strategi Pencitraan 177


segudang tokoh dalam berbagai bidang. Seluruhannya merupakan
paket orang-orang yang diperlukan untuk mengelola negara
dengan baik. Sehingga, figur yang dimunculkan harus merata
di semua bidang. Apakah itu tokoh agama, seni budaya, sosial
kemasyarakatan, politik, ekonomi, keamanan, pendidikan, ilmu
pengetahuan maupun bisnis. Baik dalam kapasitas sebagai praktisi
ataupun pengamat.
Misalnya lagi dalam pemunculan agenda aksi. Semua aksi
yang kita lakukan, dalam bentuk apa pun dan untuk tujuan apa
pun, harus secara sistematis dikoordinasikan sedemikian rupa
agar membentuk citra institusi dakwah politik sebagai kekuatan
riil yang benar-benar nyata di lapangan. Aksi-aksi itu harus mampu
membangun kesan tentang sebuah institusi yang memiliki kekuatan
mobilisasi yang dahsyat, solid, terkendali, dan santun. Punya
kepedulian kemanusiaan yang nyata, tapi terorganisir, efektif, dan
efisien. Memiliki kemampuan manuver politik yang jitu, tapi penuh
perhitungan dan tetap menjaga etika politik.
Tentu saja semua memerlukan perencanaan. Dan, pekerjaan
itu punya landasan ilmu pengetahuan dan seni yang mapan. Amal
Islamilah yang paling berkepentingan untuk memanfaatkannya
untuk mengembangkan cara-cara kerjanya.q

178 Startegi Pencitraan


Strategi Pencitraan 179
Index
A B
Abdullah Azzam 122 basis sosial 49
Abdurrahman Wahid 27 beban 1
adaptasi 152 bebas 32
adil 98 Bosnia 171
Afghanistan 121 buruh 32
agenda media 141
aktivis dakwa 136 C
aktivitas ekonomi 10
aktivitas politik 10 celah sejarah 61
aktivitas sosial 10 Cina 137
Al-Maududi di 46 citra 28,  98
Al-Mutanabbi 98 Clinton 34
Al-Nadawi 46
Al-Quds 133 D
al-Syathiby 75 dai 33
alat seleksi 141 defensif 99
Ali bin Abi Thalib 143 demokrasi 31,  50
aliansi 172 demokratisasi 15
ambisi 67 dentitas 52
Amerika Serikat 121 deologi 28
Amin Rais 140 destruktif 52
analisis politik 151 dharar mutawaqqa’ 81
analisis-prediksi 14 dhawabith 59
anggota syuro 87 dialektis 19
angkatan 20 dilematis 29
antisipasi 80 dimana 1
antisipatif 82,  149 dinas intelijen 134
apologi 152 doktrin 26
asas Islam 140 dokumen 134
asas partai 140 dokumen pemikiran 135
Asia Tenggara 136 dokumen strategis 136
asumsi 76 duat 38
Dunia politik 68

180
durasi kebenaran 74 G
E gerakan Islam 58
gerilyawan 122
efek integralitas 118 ghibah 99
efek ketepatan 118 given 21
efek kuantitatif 50 global 20
efektivitas 74 grand strategy 3
ekonomi pasar 38 Gus Dus 55
eksekusi 34
eksekutif 11 H
eksistensi 44
ekspansionisme 44 Habibie 55
ekspresi 33 Hamilton Gibb 134
elitis-eksklusif 9 harfiah 43
emosional 20 Hasan Al-Banna 153
energi ruhiyah 7 hasil syuro 92
entitas 32 hegemoni 124
entry point 39 Heraclius 11
era keterbukaan 15 heterogen 50
Erbakan 175 heterogenitas 37
Eropa Timur 133 Hindia Belanda 43
estetika 40 holistik 20
eufemistis 33 hukum 21,  32
Huntington 45
F
I
fair 98
fakta kuantitatif 63 ibadah mahdhah 69
fenomena zaman 129 Ibnu Mas’ud 2
feodalisme 45 Ibnu Qoyyim 11
fiqhi realitas 75 Ibnu Taymiah 75
fiqhi wahyu 75 idealisme 67,  74
firasat 14,  105,  130 idealita 76
fisik 20 identitas 17,  21,  98
Fisk 115 ideolog 46
fungsi instrumental 85 ijtihad 75
fungsi psikologis 85 ijtihad jama’i 14,  80
Ikhwanul Muslimin
40,  134,  153

181
image 45,  99,  158 John L. Esposito 135
imajinasi 31 junud 3,  82
Imam Ahmad 27
Imam Syafi’i 70,  99 K
imaniyah 94
kabinet 29
imperialis 22 kaderisasi 19
imperialisme 134 kambing hitam 82
implementasi 98 kampanye 14
imunitas ideologi 69 kampus 20
independen 106 kapasitas internal 163
indikator 104 kapitalis 32
indikator makro 159 kapitalisme 38,  152
individualisme 153 karakter 53
Indonesia 61 kebebasan 32
Indonesianis 134 kebenaran objektif 93
inheren 37,  44 kebenaran syar’i 74
institusi ekonomi 10 keberanian moral 148
institusi politik 10 kebijakan publik 47,  165
institusi sosial 10 kedaulatan 21
institusi strategis 11 kehendak kolektif 104
integritas kepribadian 63 keinginan rakyat 63
intelektual 20 kejutan sejarah 131
introspeksi 97 kekuatan kualitatif 50
Iran 123 kekuatan kuantitatif 50
ironi politik 55 kelayakan moral 158
islamisasi 49 kelayakan politik 158
Isolasi 56 kelompok pemikir strategi 45
Israel 44,  57 kemandekan ideologi 61
issue maker 41 kematangan tarbawi 91
itikaf 5 kemerdekaan peradaban
124
J kemerdekaan politik 124
jahriyah 15,  153,  177 kepekaan spiritual 1
jamaah dakwah 110 kepemimpinan 49
jamaah mukminin 81 kepentingan 28,  74
Jamal Abdul Nasser 154 kepentingan dakwah 53
jaringan kader 11 kepercayaan publik 166
Jasim Muhalhil 57 keputusan politik 73
jihad 51 kesalahan kolektif 151

182
ketepatan 74 kualitatif 50
keterbukaan 86 kuantitatif 50
kevakuman konseptual 63 kultur baru 171
khalifah 27 Kuwait 57
Khilafah Utsmaniyah 56,  133
khulafaaurrasyidin 172 L
Khulafah Rasyidin 27
learning capacity 159
khusyuk 70
legalitas 33
Kinechi Ohmae 45
legalitas politik 11
kita 1
legislasi 34
koalisi 172
legislatif 11
koalisi politik 58
legitimasi politik 164
kolaborato 124
lingkaran kultural 53
kolektif 79
lingkaran pengaruh 53
komoditi politik 160
lingkaran struktural 53
kompetensi eksekusi 165
lingkungan strategis 3
komunikasi 16
lingkungan strategis ekster-
komunis 34
nal 14
Komunisme 152
lintasan pikiran 92
komunitas 26,  29
komunitas malaikat 97 logika 40
kondisi eksternal 14
kondisi internal dakwah 14
M
kondusif 86 mafia 33
koneksi 58 maintain 82
koneksi politik 51,  52 Majlis iman 2
konflik 86 Majmu’at Al-Rasail 22
Konsep investasi 127 makar 137
konseptual 49,  63 makshum 80
konsisiten 63 mandat 22
konsistensi 74 mandiri 106
konspirasi 56,  142 manhaj dakwah 91
Konstantinopel 133 marhalah 3
konstituen 51,  140 Mark Juergensmeyer 45
konstitusi 21,  32 mashlahat 80
kontraproduktif 104 mashlahat ‘ammah 80
kontrol 97 masjid 27
kreativitas 22,  86 media 38
kreativitas individu 79 Mega 55
kreativitas kolektif 81 Mesir 40

183
metode 74 nation state 45
metodologi 46 negara-agama 46
mihwar daulah 11 negara-dinasti 45
mihwar muassasi 10,  13,  49,  177 negara-etnis 46
mihwar sya’bi 9,  170 negativitas 28
mihwar tanzhimi 9 netral. 34
militer 10,  32 nilai ijtihad 75
minoritas 31,  32
mishdaqiyah 164 O
mobilisasi massa 19
objektif 15
mobilisasi sosial 3 objektivitas 145
mobilitas horizontal 10,  20 obsesi jiwa 93
mobilitas vertikal 11 ongressman 44
mobilitas vertikal. 20 opini publik 10
model 29 optimisme 145
momentum 40 organisasi 110
momentum historis 70 orientalisme 134
momentum sejarah 141 orisinalitas 38
Montesqiu 175 Osama 115
moral 25
Otoritarianisme 33
moral force 167
motif 139 P
Muammar Qaddafi 115
Muawiyah 143 Palestina 45,  57
mudharat 80 pandhita-ratu 26
Muhammad Al-Gazali 145 paradigma 50,  52
Muhammad Al-Ghazali 46 paradigma keterbukaan 52
Muhammad Quthub 46 paradigma objek dakwah 52
mujahidin 122 Partai Ishlah 170
multipartai 57 Partai Refah 175
munashahah 100 partisipasi 21
Munir Al-Gadhban 58 pasar bebas 32
musuh dakwah 16 patgulipat 26
mutaghayyirat 142 pekerja politik 171
pembangkangan 93
N pemikir strategi 46
pemimpin bangsa 140
Naisbit 45 pemimpin nasional 140
nasionalisme 57 pemimpin umat 140
nasionalisme religius 45 penetrasi 19,  34

184
penetrasi sosial 49 prinsip syuro 79
pengalaman keikhlasan 92 privat 27
pengalaman spiritual 92 produktivitas 22
pengikut 51 program kaderasasi 13
Pentago 123 prosedur 79
penyaringan 88 proses ilmiah 92
peradaban 19,  23,  61 proyek jihad 125
perang dingin 57 proyek peradaban raksasa 8
Perang Dunia II 61 psiko-politik 20
Perang Khandaq 51 psikologis 23,  40
perang periodik 44 public figur 178
Perang Salib 134 publik 34
Perang Teluk 131
performansi 158 Q
perpecahan 109
qiyadah 3,  82,  130
Persi 61
persimpangan sejarah 141 Quraisy 51
perspektif dakwah 15
perspektif investasi 122
R
pertumbuhan dakwah 130 rajahatul ‘aql 87
peserta syuro 87 ranjau 34
pesimisme 15,  145 rasional 56,  76
pikiran strategis 143 Ratu Balqis 11
pikiran taktis 143 redistribusi 153
platform 62 referensi 26,  38,  74
Plato 26 referensi normatif 111
political force 167 regulasi 32
politik Islam 75 rekonstruksi pemikiran 19
politik isolasi 56 rekonstruksi sosial 19
politik praktis 20 rekrutmen 13,  14
politik-militer 45 rekrutmen sejarah 62
politisi dakwah 25 represif 20
popularitas 51 resiko 85
popularitas partai 63 rigid 20
pornografi 34 ritus 26
potret 32 Romawi 61
power 19
Pragmatisme 28 S
pragmatisme 74
saat 1
presiden 55

185
Saddam Husain 115 Tartar 131
saksi 29 tasawwuf 118
Sayyid Quthub 46 tawadhu 92
sejarah 27 Tempo 25
sejenak 1 teoretis 39
sekolah jihad 124 teori 19
seksual 31 teritorial 32
sektarian 53 terorisme 122
sekuler 21 tikungan sejarah 130
senator 44 timing 16
shaff 93 Timur Tengah 45,  134
Sidang Istimewa 55 tradisi ilmiah 88,  110
sikap politik 85 tradisi pembelajaran kolektif
sikuensial 22 111
simbolik 43 tradisi toleransi 112
sirriyyah 153 tradisi verbalitas 110
sistem 37 Tragedi WTC 123
Snouck Hourgronje 43 transformasi 49
Soeharto 61 transisi 62
solid 39 transparansi 86
soliditas 45 trias politica 175
spiritual 20 tsawabit 142
split 118 Tsiqoh 57
strategi gerakan 47 tsiqoh 94
struktur 34
Subhat 103 U
Sudan 123 uduklah 2
Sun Tzu 137 ukhuwwah 94
supporting system 137 Umar bin Khattab 98
syahwat 70 undang-undang 32
syariat Islam 75 Uni Soviet 57,  152
syubhat 64,  98 upaya ilmiah 92
syuro 14 ushul fiqh 87
utopia 28
T
tajarrud 94 V
tarbawi 95 validitas 148
tarbiyah 19 variabel 56
tarekat 142 varian 39

186
W
walfare state 153
wawasan 53
wilayah 49
wilayah dakwah 21
William Liddle 140
Wina 133

Y
Yaman 170
yudikatif 11
Yusuf Al-Qardhawi 46

Z
zhonn rajih 76
Zionisme 44

187

Anda mungkin juga menyukai