Demokrasi
Strategi Dakwah Meraih Kemenangan
M. Anis Matta
Jakarta, 2007
Menikmati Demokrasi
Strategi Dakwah Meraih Kemenangan
Penulis: M. Anis Matta
Penerbit :
Insan Media Publishing House
Jl. Mede No. 42 Utan Kayu, Jakarta Timur 13120
Telepon : (021) 8193242 – Faks : (021) 8580569
e-mail : insan_media@yahoo.com
ISBN: 979-97039-0-5
I.
memang tak ada yang baru. Ini hanya proses cetak ulang. Tak ada
revisi ataupun tambahan tulisan. Mungkin saja ada beberapa tulisan
yang sudah tidak nyambung dengan kondisi sekarang. Tapi tentu
lebih banyak hal-hal strategis yang relevan untuk diaplikasikan
dalam politik dakwah saat ini.
A Mabruri MA
Mantan Pemimpin Umum Majalah Saksi.
II.
1
Mari Kita
Berhenti Sejenak
M
ari kita berhenti sejenak di sini! Kita sudah relatif
jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak
sudah yang kita lihat dan yang kita raih. Tapi, banyak
juga yang masih kita keluhkan: rintangan yang menghambat laju
kereta, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara
gaduh yang memekakkan telinga dari mereka yang mengobrol
tanpa ilmu di gerbong kereta ini, dan tikungan-tikungan tajam
yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan indah
yang terlewatkan dan tak sempat kita potret, juga banyak kursi
kosong dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati
oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat kita muat.
Dan masih banyak lagi!
Jadi, mari kita berhenti sejenak di sini! Kita memerlukan saat-
saat itu; saat dimana kita melepas kepenatan yang mengurangi
ketajaman hati, saat dimana kita membebaskan diri dari rutinitas
yang mengurangi kepekaan spiritual, saat dimana kita melepaskan
sejenak beban dakwah selama ini kita pikul yang mungkin
menguras stamina kita. Kita memerlukan saat-saat seperti itu
karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan dakwah
6
2
Proyek
Peradaban Kita
S
ejak awal kita sudah menetapkan misi dakwah ini. Yang
ingin kita raih adalah ridha Allah swt. dengan beribadah
kepadaNya. Dan, ibadah itu berupa menerapkan dan
menyemai seluruh kehendak-kehendak Allah swt. --yang Ia
turunkan dalam bentuk syariat (agama)-- dalam kehidupan kita
sebagai individu, masyarakat, dan negara. Maka, kerja kita dalam
dakwah ini adalah membangun sebuah kehidupan berdasarkan
disain Allah swt.
Membangun sebuah kehidupan yang Islami, dengan begitu,
adalah cita-cita dakwah kita. Tentulah itu merupakan pekerjaan
berat yang sangat melelahkan, membutuhkan waktu panjang
yang melampaui umur individu bahkan umur generasi. Ia
juga memerlukan sumber daya manusia dalam semua lapisan
masyarakat untuk semua sektor kehidupan dengan semua jenis
profesi dan keahlian. Selain itu, ia juga membutuhkan sumber
daya fisik dan dukungan finansial yang sangat besar. Dan lebih dari
itu semua, ia membutuhkan energi ruhiyah dan semangat jihad
serta elan vital yang dahsyat; konsep, metode, dan sistematika
perjuangan yang jelas lagi mantap; gagasan dan pemikiran brilian
serta inovasi yang berkesinambungan; kepemimpinan yang kuat
dengan organisasi yang solid.
12
3
proses peralihan
S
aya percaya tahapan dakwah dan amal Islami yang saya sebut
di “Proyek Peradaban Kita” sudah menjadi pengetahuan
umum kalangan aktivis dakwah. Tapi, sejumlah catatan
tambahan rasanya harus disebutkan di sini.
Pertama, sebenarnya tidak ada jarak yang tegas antara satu
tahap dengan tahap lainnya. Sebab, tahapan-tahapan itu saling
terkait dan berkesinambungan. Sehingga, ketika kita memutuskan
melangkah ke suatu tahapan baru, itu sama sekali tidak berarti
meninggalkan tahapan sebelumnya. Misalnya, ketika masuk
mihwar muassasi (tahapan institusi), itu tidak berarti kita tidak
lagi melakukan kaderisasi. Yang sebenarnya terjadi adalah kader
yang kita miliki, secara kualitatif dan kuantitatif, relatif sudah cukup
untuk melangkah ke tahap amal berikutnya, sambil tetap melakukan
program kaderasasi secara berkesinambungan. Bahkan, kaderisasi
dilakukan menjadi dua level: pertama, meningkatkan kualitas kader
yang sudah ada; kedua, melakukan rekrutmen kader-kader baru.
Kedua, keputusan untuk memasuki tahapan baru dalam amal
Islami tidak saja ditentukan oleh pertimbangan kondisi internal
dakwah, tapi juga oleh peluang dan tantangan yang diciptakan
Proses Peralihan 13
dinamika lingkungan strategis eksternal. Karena itu, boleh jadi
syarat-syarat internal untuk memasuki tahapan baru sudah
terpenuhi, tapi kondisi eksternal belum memungkinkan sehingga
satu marhalah mengambil waktu lebih lama.
Ketiga, keputusan untuk memasuki tahapan baru sepenuhnya
merupakan wewenang para pemimpin dakwah. Keputusan itu
diambil melalui proses ijtihad jama’i yang kita sebut syuro. Yang
namanya ijtihad, walaupun dilakukan secara kolektif, tetap terbuka
kemungkinan benar-salah. Disamping bertumpu pada data kondisi
internal dan analisis-prediksi lingkungan strategis eksternal,
keputusan itu juga bersandar kepada firasat qiyadah (pemimpin)
tentang masa depan dakwah. Jadi, proses pengambilan keputusan
itu menggabungkan semua kualifikasi yang menentukan mutu
keputusan: akurasi data, kedalaman analisis, ketajaman firasat
dan intuisi, dan sifat kolektifitas syuro. Sehingga, efek samping
yang ditimbulkan oleh kemungkinan salah dalam keputusan lebih
mudah dieliminir atau bahkan dinegasikan.
Keempat, peralihan dari satu tahap ke tahap lain harus disertai
langkah antisipasi terhadap bebagai kemungkinan positif-negatif
yang menyertai peralihan marhalah tersebut. Misalnya, ketika kita
memutuskan membentuk partai, kita mengalokasikan sebagian
besar sumber daya untuk keperluan pemenangan pemilu. Efeknya,
ada gangguan terhadap program pendidikan dan pembinaan
biasanya selalu ada. Tapi, dengan mengintegrasikan program
rekrutmen kader baru atau peningkatan kualitas kader lama ke
dalam program kampanye politik, kita dapat mengeliminir efek
itu, bahkan mengubahnya jadi peluang. Apalagi dalam perspektif
dakwah, capaian-capaian politik itu dengan sendirinya merupakan
capaian-capaian dakwah atau setidak-tidaknya mendukung
pencapaian beberapa target dakwah dalam bidang lain. Misalnya,
14 Proses Peralihan
dengan mendukung proses demokratisasi, kita memberikan
legitimasi politik bagi kebebasan berdakwah.
Kelima, pentahapan terhadap amal Islami merupakan
keniscayaan yang bersifat alfabetis. Sehingga, peluang-peluang
eksternal yang tersedia tetap tidak dapat dimanfaatkan apabila
syarat-syarat internal untuk itu belum tercapai. Misalnya, di
lingkungan ada proses demokratisasi yang berlangsung dengan
baik dan mendapatkan dukungan keamanan dari militer, tapi jumlah
dan sebaran SDM belum memadai, tingkat penerimaan sosial juga
belum cukup merata, maka peluang itu tidak boleh diambil. Sebab,
itu akan mengubah peluang menjadi jebakan yang melahirkan
masalah-masalah baru. Dengan demikian, pemenuhan syarat-syarat
internal harus dijadikan sebagai pertimbangan utama. Dukungan
kondisi eksternal mengikuti pertimbangan internal tersebut.
Pertimbangan terhadap kondisi internal itu harus bersifat objektif,
terhindar dari sikap optimisme atau pesimisme berlebihan.
Syarat keterbukaan
Sekarang amal Islami telah memasuki era keterbukaan
(jahriyah) dan bekerja dengan cara-cara yang juga terbuka. Kondisi
yang dibutuhkan untuk memasuki era keterbukaan, kata Syekh
Muhammad Ahmad Al-Rasyid, adalah jumlah kader yang cukup,
situasi sosial politik yang kondusif, penerimaan yang baik dari
masyarakat, dan tersedianya kendaraan yang akan digunakan.
Pertama, secara kuantitatif jumlah dan sebaran kader serta
pendukung dakwah harus berada pada suatu angka yang relatif
besar dan tidak mungkin dimatikan oleh musuh dakwah jika secara
tiba-tiba dakwah mendapat serangan. Karena itu, jumlah dan
sebaran kader serta pendukung merupakan kekuatan strategis
yang diperhitungkan musuh dakwah. Sehingga, walaupun benci
Proses Peralihan 15
kepada dakwah, mereka tidak sanggup melumpuhkan atau
mematikannya.
Kedua, situasi sosial politik lingkungan eksternal harus kondusif
untuk menyambut kehadiran dakwah dengan lebel yang jelas. Ini
mengharuskan para pemimpin dakwah memantau lingkungan
strategis eksternal secara berkesinambungan dan memahami
dinamika perubahannya secara cermat. Kesalahan dalam
menganalisis kondisi eksternal akan menyebabkan kita salah dalam
menentukan timing muncul ke permukaan. Dan, kesalahan itu akan
menyebabkan kemunculan dakwah tidak mendapatkan gema yang
luas dan sambutan yang hangat.
Ketiga, harus ada tingkat penerimaan sosial yang luas atas
kehadiran kita. Ini tidak saja ditentukan oleh timing yang tepat, tapi
juga faktor komunikasi publik yang baik. Dari segi timing, kehadiran
kita harus dapat dipersepsi masyarakat sebagai solusi problematika
yang sedang mereka hadapi. Sehingga, kita dianggap pahlawan
yang menyelamatkan, bukan faktor pengeruh yang memperumit
masalah mereka. Karena itu, timing yang tepat itu harus didukung
kemampuan komunikasi publik yang handal.
Keempat, kalau ketiga syarat tersebut sudah terpenuhi, harus
ada sebuah kendaraan yang mengantar kita muncul ke permukaan.
Misalnya, partai politik atau organisasi kemasyarakatan. Kendaraan
itu merupakan identitas institusional dakwah yang menjadi nama
dan mereknya, yang akan menjadi sumber perbincangan berbagai
kalangan.
Era ketebukaan mengharuskan kita mempunyai nama dan
identitas. Dan, nama kita adalah Partai Keadilan.q
16 Proses Peralihan
Proses Peralihan 17
Partisipasi politik di alam demokrasi,
seperti yang sekarang kita lakukan,
disamping mempunyai akar kebenaran
dalam referensi Islam, juga punya
makna strategis bagi proyek
peradaban kita: bahwa ini adalah
upaya meretas jalan bagi umat secara
aman dan bebas untuk membangun
dirinya, bahkan memiliki dunianya
sendiri.
18
4
DAKWAH,
POLITIK DAN
DEMOKRASI
D
alam perspektif Islam, politik adalah subsistem Islam.
Dalam konteks proposal pembangunan peradaban
baru Islam, dakwah harus mempunyai power dan
dukungan kekuasaan untuk merealisasikan Islam dalam kehidupan
masyarakat secara menyeluruh. Tapi, teori perubahan kita
menempatkan dukungan kekuasaan itu setelah kita menyelesaikan
--secara relatif--- proses rekonstruksi sosial budaya dalam tiga
level: pertama, rekonstruksi pemikiran dan wawasan keislaman;
kedua, penggudangan stok kepemimpinan umat melalui tarbiyah
dan kaderisasi; ketiga, mobilisasi massa melalui gerakan penetrasi
sosial yang menyeluruh, khususnya melalui pembentukan kelas
menengah baru kaum muslimin.
Itulah sebabnya kita menganggap debat dialektis antara “Islam
budaya” dan “Islam politik” yang marak sepanjang dekade ‘80-an
dan ‘90-an --dalam perspektif ini-- sebagai debat kontra-produktif
dalam proses pembangunan umat. Debat itu bukan saja tidak
punya akar kebenaran dalam referensi Islam, tapi juga lebih banyak
dipengaruhi warisan psiko-politik Islam yang tidak menguntungkan
posisi generasi baru Islam angkatan ‘60-an serta pendekatan
24
5
DILEMA PARTAI
DAKWAH
B
isakah “orang-orang masjid” bermain politik? Bisakah
mereka mempertahankan kesalihan di tengah kegalauan
moral perpolitikan kita? Pertanyaan bernada curiga dan
tidak percaya ini barangkali tidak enak didengar para duat politisi
atau para politisi dakwah.
Namun, pertanyaan itu lumrah. Setidak-tidaknya karena yang
menanyakan itu adalah orang-orang yang secara lembut kita sebut
sebagai objek dakwah. Salah satu contohnya ketika Goenawan
Mohamad bertanya dalam Catatan Pinggir-nya. “Di sebuah sudut
jalan di Jakarta pernah terpasang sebuah spanduk: ‘Takwa adalah
Solusi bagi Krisis Multidimensional’ . Tapi benarkah? Mungkinkah
kebersihan moral dan ketaatan kepada Tuhan—sesuatu yang berada
di lubuk diri orang seorang, sesuatu yang bisa membentuk pribadi
seseorang—menyelesaikan berbagai krisis di dunia?” (Tempo, 5-
11/2/2001).
Pertanyaan tersebut sebenarnya lebih bersifat tuntutan terhadap
konsistensi, bukan sebuah penolakan. Mereka tidak menafikan
kemungkinan agama mengubah realitas politik atau kemungkinan
seorang ulama menjadi presiden. Namun, mereka meragukan
kemampuan para pelaku (politisi agama) untuk mengubah “janji-
janji agama” menjadi realitas dalam “dunia fakta-fakta”. Hal ini
30
6
MENIKMATI
DEMOKRASI
“M
ereka adalah kelompok minoritas seksual yang
punya hak untuk hidup menurut cara mereka
dan harus kita hormati.” Itu kata Dewi Huges saat
mewawancarai dua orang gay, Samuel Wattimena dan Dede Oetomo,
dalam Angin Malam yang bertajuk homoseksual.
Itulah satu sisi lain demokrasi. Semua orang bebas. Setiap
entitas, termasuk entitas nilai, punya hak untuk hidup. Kebebasan
adalah nilai utama yang menyangga demokrasi. “Kita harus terbuka,
tidak ada lagi yang harus ditutup-tutupi. Ini kan era reformasi,”
kata si perancang busana, Samuel Wattimena. Dede Oetomo yang
bekerja sebagai dosen Universitas Airlangga mendukungnya.
Tiba-tiba saya tersadar bahwa kita sedang melukis sebuah
potret kehidupan tidak dari satu imajinasi. Tapi, semua imajinasi
yang pernah dan mungkin ada. Demokrasi hanya memfasilitasi
munculnya semua imajinasi itu, semua pilihan hidup itu, tapi
kemudian melarang kita mempertanyakan bagaimana akhirnya
potret itu.
Setiap individu dalam masyarakat demokrasi sama dengan
individu yang lain. Semua sama-sama bebas dalam berpikir,
Menikmati Demokrasi 31
berekspresi, bertindak, dan memilih jalan hidup. Tidak boleh
ada rasa takut, tidak boleh ada tekanan, terutama dari militer.
Kebebasan hanya dibatasi oleh kebebasan yang sama.
Fungsi negara hanyalah memfasilitasi masyarakat untuk hidup
bersama secara damai. Negara bertugas melindungi setiap individu
dan setiap entitas untuk hidup menurut cara mereka. Dasar yang
digunakan negara dalam bekerja adalah kesepakatan bersama
antarwarga negara, sesuatu yang kemudian kita sebut dengan
konstitusi, undang-undang, atau hukum.
Padanan demokrasi dalam ekonomi adalah tuntutan pasar
bebas. Di sini harus ada jaminan kebebasan bagi lalu lintas barang,
jasa, dan manusia (sebagai apapun, termasuk sebagai tenaga kerja),
tanpa batasan teritorial, regulasi, atau nilai. Semua pergerakan itu
semata-mata tunduk pada hukum supply and demand. Semua
bentuk barang atau jasa harus bisa diperdagangkan, selama ada
permintaan pasar.
Maka, semua orang menikmati demokrasi. Para kapitalis
menikmati demokrasi karena inilah payung politik yang memberi
akses ke semua sudut pasar potensial. Para buruh juga menikmati
demokrasi karena inilah payung politik yang memberi perlindungan
hak-hak dan kebebasan bekerja. Kelompok minoritas dalam semua
bentuknya, termasuk minoritas nilai (atau yang secara kasar kita
sebut menyimpang), juga menikmati demokrasi karena hak hidup
mereka terlindungi di sini.
Dakwah juga menikmati demokrasi karena di sini para dai
menemukan kebebasan untuk bertemu dan berinteraksi secara
terbuka dan langsung dengan semua objek dakwah. Otoritarianisme
dan kediktatoran membuat dakwah tidak bisa bernafas lega. Di
sana tidak ada tempat bagi ekspresi yang lepas.
Tapi, kenikmatan ini ada harganya. Terutama bagi dakwah.
32 Menikmati Demokrasi
Kita memang bebas berdakwah, tapi para pelaku kemungkaran
juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku di sini bukan
hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal,
walaupun salah. Dan, sesuatu yang benar tapi tidak legal adalah
salah. Begitulah aturan main demokrasi. Karena itu, masyarakat
demokrasi cenderung bersifat eufemistis, longgar, dan tidak
mengikat.
Yang kemudian harus kita lakukan adalah bagaimana
mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas. Bagaimana
membuat sesuatu yang salah dalam pandangan agama menjadi
tidak legal dalam pandangan hukum positif. Secara terbalik, itu
pulalah yang dilakukan para pelaku kejahatan. Para mafia narkoba
harus mencuci uangnya agar bisa menjadi hak milik yang legal.
Maka, penetrasi kekuasaan dalam negara demokrasi harus
dilakukan dengan urutan-urutan begini. Pertama, menangkanlah
wacana publik agar opini publik berpihak kepada kita. Inilah
kemenangan pertama yang mengawali kemenangan-kemenangan
selanjutnya. Kedua, formulasikan wacana itu ke dalam draf hukum
untuk dimenangkan dalam wacana legislasi melalui lembaga
legislatif. Kemenangan lagislasi ini menjadi legitimasi bagi negara
untuk mengeksekusinya. Ketiga, pastikan bahwa para eksekutif
pemerintah melaksanakan dan menerapkan hukum tersebut.
Jadi, itulah tiga pusat kekuasaan dalam negara demokrasi:
wacana publik, legislasi, dan eksekusi. Pengadilan itu lembaga
netral. Signifikan tapi tidak menentukan proses pembentukan
struktur kehidupan masyarakat.
Melakukan penetrasi ke tiga pusat kekuasaan itu bukan
pekerjaan mudah. Kita akan menemui banyak ranjau saat hendak
membentuk opini publik untuk memenangkan wacana publik.
Sebab, wacana publik adalah dunia tanpa batasan. Sekarang kita
Menikmati Demokrasi 33
membatasi gerakan komunis di Indonesia karena konstitusi kita
tidak mengizinkannya hidup. Tapi, kita tidak dapat mencegahnya
untuk tumbuh sebagai wacana pemikiran. Demikian pula ketika
Clinton “menghabisi” industri rokok di Amerika. Ia membatasi ruang
publik bagi para perokok dan membuat mereka tidak nyaman. Tapi,
Clinton terlebih dahulu telah memenangkan wacana publik sebelum
memenangkannya dalam wacana legislasi.
Jadi, misalnya kita ingin menghabisi pornografi di negeri ini, itulah
jalannya. Susunlah struktur gagasan yang kuat untuk meyakinkan
publik betapa merugikannya pornografi bagi kehidupan kita. Jika kita
menang di sini, buatlah sebuah rancangan undang-undang untuk
membasmi segala bentuk pornografi. Sekali lagi, jika kita menang di
sini, kontrollah secara ketat apakah pemerintah melaksanakannya
secara baik atau tidak. Kalau tidak, kita tuntut pemerintah.
Demikianlah dakwah harus bekerja di era demokrasi. Ada
kebebasan yang kita nikmati bersama. Tapi, juga tersedia “cara
tersendiri” untuk mematikan kemungkaran dan melakukan
penetrasi kekuasaan. Anggaplah ini sebuah seni yang harus dikuasi
para politisi dakwah.q
34 Menikmati Demokrasi
Menikmati Demokrasi 35
Tugas memenangkan wacana
publik tidak selalu dapat
disederhanakan hanya dengan memiliki
media. Memenangkan wacana publik
adalah seni tentang bagaimana
mempengaruhi dan menyusun
kerangka pemikiran masyarakat.
Atau, bagaimana membuat mereka
berpikir dengan cara yang kita
inginkan, bagaimana membuat mereka
mempersepsikan sesuatu
dengan lensa yang kita kenakan
kepada mereka.
36
7
Memenangkan
Wacana Publik
D
emokrasi adalah sistem yang disusun untuk mewadahi
heterogenitas. Para teoretisi konflik, seperti Hugh Miall,
Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Lewis Coser, dan
lainnya, menyatakan bahwa konflik adalah bagian yang inheren
dalam kehidupan sosial politik dan mengekspresikan heterogenitas
tersebut. Konflik menjadi semakin rumit sejalan dengan tingkat
kerumitan heterogenitas masyarakat. Salah satu titik perbedaan
dalam masyarakat terletak pada keragaman ide, aliran pemikiran
dan ideologi, nilai dan kepercayaan, atau semua yang mungkin kita
sebut sebagai produk akal manusia.
Oleh karena sifat mayoritas merupakan salah satu ukuran
dalam demokrasi, maka pengaruh sebuah pemikiran ditentukan
oleh kemampuannya menjadi arus di masyarakat. Karena itu, opini
publik menjadi salah satu institusi terpenting dalam demokrasi.
Sama pentingnya dengan lembaga legislatif dan lembaga
eksekutif. Artinya, wacana publik harus dimenangkan dulu sebelum
kita memenangkan wacana legislasi dan memenuhi lembaga
eksekutif.
Haruskah kita punya “media” kalau kita ingin memenangkan
Dunia pikiran
Pikiran adalah referensi yang diperlukan masyarakat untuk
memberi arah, merasionalisasikan sikap dan tindakan, membantu
menentukan pilihan, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan
memberikan solusi. Tatkala Uni Soviet runtuh di awal dekade ‘90-an,
orang-orang Barat merayakannya sebagai kemenangan kapitalisme
dan ekonomi pasar. Bagi mereka, komunisme tidak lagi sanggup
menjawab tantangan zaman yang dihadapi masyarakat. Komunisme
mengalami kemarau dan kekeringan yang tidak kunjung selesai
manakala negara yang menyangga kemudian kehabisan nafas
untuk tetap bertahan.
Maka, syarat pertama yang harus kita miliki adalah kekayaan
pikiran. Dan, ini ditentukan oleh dua hal. Pertama, kekayaan dan
orisinalitas referensi. Kedua, kemampuan mengeksplorasi referensi
dan memformulasikannya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan
zaman. Kita memiliki yang pertama, tetapi harus berlatih untuk
memiliki yang kedua. Kita mempunyai Alquran dan Sunnah, namun
kita berijtihad untuk “menemukan mutiara-mutiaranya”.
Syarat kedua adalah struktur pemikiran yang sudah kita
Fenomena ikhwan
Mungkin tepat untuk menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai
42
8
Kelompok
Pemikir Strategi
S
nouck Hourgronje mungkin orang paling berjasa bagi
pemerintah Hindia Belanda. Jasanya terbesar adalah usulan
kebijakan tentang bagaimana seharusnya pemerintah Hindia
Belanda “menghadapi” umat Islam di Indonesia, yang kemudian
terbukti efektif dan berhasil memperpanjang usia “penjajahan” di
negeri ini.
Yang menarik di antara sekian banyak rekomendasi kebijakannya
adalah peringatannya kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
tidak mengganggu tiga hal dalam kehidupan umat Islam. Pertama,
jangan ganggu umat Islam melaksanakan semua jenis ibadahnya,
bahkan fasilitasi mereka untuk itu. Kedua, jangan ganggu kaum
perempuan. Ketiga, jangan ganggu para ulama. Kebijakan ini
benar-benar tepat untuk sebuah komunitas muslim dengan
pola keberagamaan yang simbolik dan harfiah sehingga selama
simbol-simbol yang disakralkan agama tidak terganggu, mereka
merasa agama ini masih baik-baik saja. Tidak ada yang perlu
dicemaskan.
Setelah berdirinya Israel tahun 1948, para pemikir strategi
Israel memunculkan sebuah gagasan tentang “perang periodik”.
48
9
Dakwah
yang Menegara
D
alam mihwar muassasi (tahap institusionalisasi), kita
melakukan mobilitas vertikal untuk menginstitusikan
dakwah dalam negara. Kepemimpinan dakwah
mengalami pengembangan peran dan tugas, dari pengelolaan
gerakan kepada pengelolaan negara. Penyebaran horizontal dalam
bentuk penetrasi sosial—yang melahirkan fenomena islamisasi dan
membentuk komunitas-komunitas muslim—telah meluas secara
relatif dan memungkinkan untuk berkembang menjadi arus
tuntutan publik yang kuat.
Yang terjadi dalam tahapan ini adalah sebuah transformasi
strategis dari gerakan ke negara. Pada tahapan ini dakwah mulai
menegara. Hal ini terjadi dengan dukungan dari sejumlah kekuatan
strategis, berupa basis kepemimpinan, basis sosial, basis wilayah,
dan basis konseptual.
Akan tetapi, dalam proses menegara, kekuatan strategis di atas
tidaklah cukup untuk menjadikan Islam dan kaum Muslimin sebagai
pengelola utama negara. Kekuatan strategis tersebut merupakan
kekuatan kualitatif yang tidak dapat berdiri sendiri, dan karenanya,
harus mendapatkan pembobotan dari kekuatan strategis yang lain.
Paradigma baru
Dua kekuatan di atas—kekuatan kuantitatif dan koneksi politik,
sebenarnya dibangun dari sebuah paradigma dakwah yang melekat
dalam mihwar muassasi. Kedua paradigma inilah yang akan
memberikan kita arahan tentang bagaimana membangun kedua
kekuatan tersebut.
54
10
Politik Isolasi
S
aat ini, barangkali Gus Dus dan lingkaran politiknya adalah
orang yang paling kesepian di negeri ini (tulisan ini dibuat saat
Gus Dur masih berkuasa --editor). Tiba-tiba saja keangkuhan
dan arogansinya lumpuh di depan memorandum pertama dan kedua
yang dikeluarkan DPR pada bulan Februari dan Mei lalu. Riwayat
politiknya bahkan hampir pasti akan berakhir kalau pada awal Juni
nanti DPR meminta Sidang Istimewa MPR segera digelar.
Saya jadi teringat pengalaman Mega pada pemilihan presiden
di SU MPR 1999 lalu. Pengalaman itu agaknya terlalu pahit bagi
seorang calon penguasa baru yang telah memenangkan pemilu
1999 dengan sangat cemerlang, tapi gagal meraih kursi presiden.
Tiba-tiba saja kemenangan besar dalam pemilu itu kehilangan
maknanya, kehilangan pengaruhnya, kehilangan efektivitasnya.
Mega mungkin cukup gembira karena pesaing utamanya,
Habibie, sudah gagal sebelumnya. Tapi, sebuah ironi politik lantas
muncul ke permukaan ketika justru Gus Dur yang memenangkan
kursi itu. Sekarang cerita politik itu berbalik. Kekuasaan besar Gus
Dur kehilangan semua keampuhannya.
Keangkuhan dan arogansi yang menandai performa PDIP sesaat
Politik Isolasi 55
setelah memenangkan pemilu 1999 --dan yang juga tiba-tiba
menjadi ciri khas Gus Dus sesaat setelah berkuasa-- telah berujung
pada kesepian, keterasingan, kepanikan, dan ketidakberdayaan.
Sangat menyedihkan memang. Tapi, politik adalah dunia yang terlalu
kasat mata, terlalu ril, terlalu rasional, dan sekaligus rumit karena
digerakkan oleh sangat banyak variabel.
Isolasi
Dunia politik kita kemudian mendapatkan sebuah fenomena
baru: bagaimana kemenangan besar dalam pemilu kehilangan
efektivitasnya; sebuah kekuasaan besar kehilangan keampuhannya
justru ketika harus berhadapan dengan tekanan politik isolasi.
Isolasi adalah kunci yang menutup ruang gerak sebuah kekuatan.
Setiap kekuatan dalam medan pertempuran akan menghindari
semua usaha pengepungan yang menghilangkan keleluasaannya
untuk bergerak dan melawan. Dalam dunia militer, bisnis, dan politik
modern, jaringan merupakan kekuatan paling ampuh yang setiap
saat dapat digunakan untuk mengisolasi para pesaing.
Dunia Islam sebenarnya mempunyai daftar panjang pengalaman
isolasi. Sebelum runtuh pada tahun 1924, Khilafah Utsmaniyah
Turki telah diisolasi baik secara geografis, politik, maupun kultural
dari wilayah-wilayah Islam lainnya. Khilafah Utsmaniyah benar-benar
sendirian menghadapi konspirasi internasional.
Palestina juga demikian. Secara bertahap dunia Arab diisolasi
dari dunia Islam lainnya. Kemudian Palestina diisolasi dari dunia
Arab. Penggantian istilah dunia Arab menjadi Timur Tengah telah
memberi kesan datar kepada kawasan itu, yang secara psiko-politik
kemudian memisahkannya dari wilayah lain kaum muslimin. Setelah
itu, melalui gagasan nasionalisme, masalah pendudukan Israel atas
Palestina direduksi menjadi masalah internal bangsa Palestina.
56 Politik Isolasi
Sepanjang dekade ‘70-an dan ‘80-an, gerakan-gerakan Islam
di hampir seluruh belahan dunia Islam mengalami isolasi politik
yang sangat berat. Seorang pemimpin Islam di Kuwait, Dr. Jasim
Muhalhil, punya cerita unik tentang itu. Ia pernah bertanya kepada
seorang pemimpin Islam negara tetangganya, “Apa yang dapat kamu
bayangkan tentang dakwah sepuluh tahun ke depan?” Pemimpin
itu menjawab, “Saya tidak tahu. Saya tidak punya bayangan apa-
apa!”
Yang kita pertaruhkan dalam isolasi seperti itu adalah harapan.
Sekuat apa kita mempercayai harapan-harapan kita? Selama apa
kita mampu bertahan dengan harapan yang tak kunjung terbukti?
Tsiqoh kepada Allah! Itulah ujiannya. Dan itulah yang memberikan
nafas kepada gerakan-gerakan Islam untuk terus bergeliat dan
berusaha menembus tirai isolasi itu.
Koalisi
Gelombang demokratisasi di dunia, termasuk di dunia Islam,
khususnya setelah runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya era perang
dingin, sedikit banyak telah membantu gerakan-gerakan Islam untuk
keluar dari lingkaran setan isolasi. Melalui sistem multipartai yang
merupakan salah satu indikator demokrasi, gerakan-gerakan Islam
bermetamorfosis menjadi partai-partai politik.
Dalam sistem ini secara vertikal kita membangun basis
konstituen untuk mendapatkan kekuatan kuantitatif dalam bentuk
dukungan publik. Tapi, secara horizontal kita juga membangun
koneksi politik yang luas melalui koalisi-koalisi politik.
Dalam sistem multipartai adalah penting untuk memenangkan
pemilu, tapi sama pentingnya menguasai seni berkoalisi. Bukan
saja karena ini merupakan tuntutan dari sistem multipartai
dimana hampir dapat dipastikan tidak akan munculnya pemenang
Politik Isolasi 57
mayoritas, tapi juga karena ini merupakan tuntutan dakwah yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Syekh Munir Al-Gadhban
bahkan menulis fenomena koalisi politik Rasulullah saw itu dalam
buku al-Tahaluf al-Siyasi Fii al-Sirat al-Nabawiyyah (Koalisi Politik
dalam Sirah Nabi).
Koalisi bukan hanya dibutuhkan untuk kepentingan memenangkan
persaingan politik yang sempit, tapi juga merupakan bagian dari
upaya membangun kemampuan penggalangan politik nasional.
Konspirasi internasional sering menggunakan kekuatan-kekuatan
politik nasional untuk mengisolasi kekuatan politik Islam.
Tapi, yang ingin ditegaskan disini adalah koalisi diperlukan
untuk sejumlah tingkatan kebutuhan: kebutuhan memenangkan
persaingan politik yang lebih spesifik, kebutuhan akan koneksi
politik yang luas, kebutuhan untuk membangun kemampuan
penggalangan politik nasional yang lebih luas untuk menciptakan
kebersamaan dan ketahanan politik nasional, kebutuhan untuk
membangun lingkaran pengaruh yang dapat mengurangi ancaman
isolasi politik.
Tentu saja akan ada dhawabith (etika) dari sudut pandang
syariah, dakwah, dan politik untuk mengatur tata cara berkoalisi.q
58 Politik Isolasi
Politik Isolasi 59
Di hadapan kita saat ini ada sebuah
celah sejarah yang diciptakan oleh
masa transisi. Tetapi, peluang-
peluangnya juga diserta berbagai
tantangan. Kalau kita ingin merebut
masa depan dan kita memang harus
merebutnya-- tantangan-tantangan
itu harus kita cermati
dengan baik.
60
11
Celah Sejarah
dan Tantangan
Baru
K
ekuatan-kekuatan baru, baik ideologi maupun politik,
selalu muncul di persimpangan sejarah. Ketika peradaban
Romawi dan Persi mengalami kemandekan ideologi dan
kerapuhan pemerintahan, kedua peradaban itu terjerumus ke dalam
konflik-konflik internal dan eksternal yang menguras seluruh tenaga
mereka. Dan Islam pun muncul sebagai kekuatan peradaban baru.
Ketika area Perang Dunia II merambah kawasan Pasifik dan
secara khusus di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur berhadap-
hadapan Jepang dan Sekutu, para pejuang kemerdekaan berfirasat
bahwa inilah celah bagi Indonesia untuk mendeklarasikan
kemerdekaannya. Dan muncullah sebuah negara baru yang
berdaulat: Indonesia.
Itulah yang saya sebut “celah sejarah”. Ketika pemerintahan
Soeharto mulai memperlihatkan tanda-tanda kejatuhannya,
berbagai kekuatan ideologi dan politik baru mempersiapkan
diri untuk muncul. Ketika sistem multipartai dikukuhkan dalam
konstitusi kita, tiba-tiba 148 partai politik muncul ke pentas politik
nasional. Dan kita merupakan salah satu di antaranya.
Itu adalah rekrutmen sejarah. Tetapi, selalu ada seleksi sejarah
66
12
Imunitas
K
etika kita memasuki dunia politik dan mencoba memikul
beban baru dakwah, di hadapan kita terbentang sebuah
persoalan: seberapa kuat daya tahan ideologi dan mental
kita di dunia yang rumit itu?
Itu dunia yang benar-benar berbeda dengan dunia kita selama
ini. Sebuah dunia yang tenang-damai dan penuh idealisme. Dunia
yang tercipta dari pikiran-pikiran jernih dan jiwa-jiwa ikhlas. Sebuah
dunia putih dengan nuansa spiritual dan ubudiyah yang kental. Di
masjid-masjid dan majelis-majelis ilmu yang penuh cahaya dan
rahmat, kita saling menyucikan jiwa, menambah ilmu, bersaudara,
dan bekerja sama.
Tetapi, dunia politik yang kita masuki sekarang adalah dunia
yang gaduh. Penuh warna-warni. Tempat orang-orang cerdas (dan
juga licik) saling bertaruh, berdebat, memamerkan “otot-otot”
pengetahuan dan ambisi. Dunia politik adalah tempat di mana
persahabatan dan pilihan-pilihan sikap dibangun di atas landasan
kepentingan yang rendah. Dunia politik --dengan segala nuansanya--
adalah juga tempat bersemayam kekuasaan yang secara pasti akan
mempengaruhi kehidupan orang banyak.
Imunitas 67
Itulah masalah kita. Kita ingin mengembalikan kekuasaan ke
tempat yang sebenarnya. Tetapi, kekuasaan itu pedang bermata
dua: mungkin kita bisa “membersihkannya”, mungkin juga menodai
kita. Itulah sebabnya kita memerlukan imunitas: semacam daya
tahan terhadap tekanan lingkungan yang tidak Islami, daya tangkal
terhadap pengaruh negatif, atau daya seleksi terhadap pengaruh
positif.
Imunitas ideologi
Dunia politik mempunyai satu sisi yang sangat dinamis dan
menjadi semakin dinamis di alam demokrasi: dunia gagasan, dunia
ide-ide, dunia wacana. Politik adalah sebuah pasar raksasa yang
menampung semua produk ide dan gagasan tentang cara mengatur
kehidupan bersama masyarakat manusia.
Gagasan yang paling berbahaya dan mungkin bisa menghancurkan
kehidupan umat manusia, bisa laku di pasar ini. Maka, selama tujuh
puluh tahun masa kejayaan komunisme di Rusia, kurang lebih
enam puluh juta rakyat Soviet terbunuh. Yang terjadi di sini adalah
peristiwa yang tidak dipahami orang banyak. Sebuah gagasan telah
mendapat kekuasaan dan memaksakan perwujudannya dengan
kekuasaan itu.
Walaupun pengalaman politik kita mungkin tidak sekelam itu,
tetapi yang perlu kita catat adalah perubahan besar bermula dari
perubahan pada wacana pemikiran. Perubahan wacana itu tentu
saja tidak terbentuk sekaligus, namun berkembang menjadi arus
besar manakala tidak ada gagasan lain yang sepadan dengannya
melakukan perlawanan.
Mereka yang memasuki dunia politik yang sangat dinamis ini,
tanpa kesiapan ilmu pengetahuan dan penguasaan konseptual yang
mendalam, akan kehilangan imunitas ideologinya.
68 Imunitas
Imunitas mental
Kadang-kadang kita mempunyai imunitas ideologi yang kuat,
tetapi waktu berinteraksi dengan dunia gaduh dan ramai ini, secara
perlahan-lahan akan mengurangi kepekaan iman dan spiritual kita.
Yang kita rasakan kemudian adalah kurangnya kepekaan terhadap
kemungkaran yang terjadi di sekeliling kita. Bahkan, kita mungkin
tidak merasakan “amarah” yang wajib kita rasakan setiap kali kita
menyaksikan kemungkaran.
Akibat lain dari melemahnya kepekaan itu adalah degradasi
spiritual dan semangat ubudiyah, khususnya terhadap ibadah-
ibadah mahdhah. Dalam pemahaman ibadah yang integral, kita
mungkin merasa bahwa semua yang kita lakukan saat ini juga dalam
kerangka ibadah. Akan tetapi, ibadah mahdhah mempunyai fungsi
yang lebih spesifik yang tidak ada dalam ibadah ghairu-mahdhah:
semacam fungsi stasiun tempat kita mengisi bahan bakar bagi
mesin jiwa kita.
Apa yang lebih parah dari itu adalah kemungkinan kita mulai
meremehkan dosa-dosa kecil yang terjadi dalam masyarakat.
Perasaan meremehkan itu sendiri sudah cukup mendorong kita
untuk mentolerir diri sendiri untuk melakukan hal yang sama. Inilah
awal mula penyimpangan di jalan dakwah.
Imunitas 69
dan mendalam, ibadah yang banyak dan khusyuk.
Dalam tiap perenungan pribadi, saya selalu teringat pesan
Umar bin Khaththab, “Berfiqihlah sebelum kamu dinobatkan untuk
memimpin.” Sebab, inilah celah yang senantiasa menjebak para
penguasa dan para pemimpin: kebodohan.
Maka, setiap kali saya berada di perpustakaan dan tenggelam
dalam lembar-lembar buku, saat itulah saya teringat akan nasihat
Imam Syafi’i, “Kalau ada orang muda yang muncul ke panggung,
maka ia akan kehilangan banyak ilmu.” Orang seperti kitalah yang
mungkin dimaksud oleh Imam Syafi’i.
Tentu saja, kita mempunyai situasi dan momentum historis
serta pertimbangan strategi dakwah yang dapat membenarkan
keputusan kita untuk memasuki dunia politik. Tetapi, itu sama
sekali tidak menghilangkan ancaman ini: kebodohan, kedangkalan,
syahwat yang terpendam, dan ketidakmatangan. Itulah kelemahan-
kelemahan yang ada dalam diri kita yang setiap saat bisa menjadi
jebakan yang mematikan.q
70 Imunitas
Imunitas 71
Asas penentuan sikap dan pengam
bilan keputusannya adalah “asumsi”
maslahat yang terdapat dalam perkara
itu. Karena sifatnya asumsi, maka
sudah pasti ia relatif. Karena relatif,
maka sangatlah mudah mengalami
perubahan-perubahan.
72
13
Asas Penyikapan
D
i tengah situasi yang terus berubah, seperti ketika dakwah
merambah rimba politik, menentukan sikap merupakan
salah satu pekerjaan yang rumit. Setiap situasi politik
biasanya menyimpan peluang dan jebakan sekaligus. Karenanya,
setiap keputusan politik pasti mengandung resiko. Para pemimpin
politik diuji di sini. Karakter sebuah pergerakan akan terbentuk
dan terlihat di sini.
Di sini ada beberapa nilai yang menentukan mutu sikap dan kepu
tusan politik. Pertama, sejauh mana sikap dan keputusan politik itu
tepat dengan situasi, tempat, momentum, orang, dan institusinya.
Jadi, bukan sekedar sikap dan keputusan yang benar, tapi sikap
dan keputusan benar yang tepat! Kebenaran dan ketepatan adalah
dua substansi yang menentukan mutu sebuah sikap dan keputusan
politik.
Kedua, sejauh mana sikap dan keputusan politik itu efektif bekerja
mengantar kita mencapai tujuan yang ingin kita capai. Efektivitas
untuk sebagiannya terkait dengan tingkat kebenaran-ketepatan
sikap dan keputusan politik, tapi untuk sebagiannya terkait dengan
cara apa sikap dan keputusan politik itu diekspresikan. Efektivitas
Asas Penyikapan 73
terkait dengan fungsi penyikapan dan pengambilan keputusan,
terkait dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh sikap dan keputusan
politik tersebut.
Ketiga, sejauh mana kita dapat mempertahankan konsistensi
dalam penyikapan dan pengambilan keputusan politik. Dalam
situasi yang terus berubah, “durasi kebenaran” seringkali tidak
bertahan lama atau kita kemudian kehilangan arah dan pegangan
dasar sehingga sikap dan keputusan politik kita tidak lagi konsisten.
Konsistensi yang menentukan warna dasar dari karakter kita
secara kolektif; apakah warna dasar itu bernama kebenaran atau
kepentingan, idealisme atau pragmatisme.
Itulah tiga nilai utama yang menentukan mutu sebuah sikap
dan keputusan politik yang kita ambil: ketepatan, efektivitas, dan
konsistensi. Ketiganya terkait dengan dua sisi yang senantiasa
melekat pada sikap dan keputusan politik yang kita ambil. Sisi
pertama terkait dengan substansi sikap dan keputusan politik
yang kita ambil, yaitu tentang muatan kebenaran syar’i. Sedang
sisi kedua terkait dengan proses penentuan sikap dan pengambilan
keputusan politik, yaitu tentang cara yang kita tempuh, apakah
sudah benar atau tidak.
74 Asas Penyikapan
pengetahuan sekaligus, pengetahuan tentang syariat Islam yang
mendalam dan pada waktu yang sama, juga pengetahuan yang
mendalam dan mendetil tentang realitas kehidupan politik yang
kita hadapi. Yang pertama kita sebut dengan “fiqhi wahyu”, yang
kedua “fiqhi realitas”.
Yang kita lakukan dalam ijtihad adalah bagaimana memberlakukan
kebenaran-kebenaran wahyu Allah swt. dalam realitas kehidupan
manusia. Jadi, fungsi ijtihad itu menempatkan setiap kebenaran
wahyu pada realitasnya, pada dunianya yang tepat. Artinya, nilai
ijtihad itu pada ketepatannya.
Namun demikian, ada satu hal yang harus kita tegaskan di sini.
Yaitu, secara substansial seluruh ajaran syariat Islam berorientasi
pada kebaikan dan kepentingan hidup manusia. Itulah sebabnya
Ibnu Taymiah mengatakan, di manapun ada kemaslahatan bagi
manusia, disitu pasti terdapat syariat Allah. Jadi, syariat Islam
mengakomodasi segala hal yang menciptakan maslahat sebanyak-
banyaknya bagi manusia. Karena itu, Al-Syathiby mengatakan, inti
politik Islam adalah mendatangkan maslahat sebanyak-banyaknya
bagi manusia dan menolak mudharat sebanyak-banyaknya dari
manusia.
Kemaslahatanlah yang kemudian menentukan sikap dan
keputusan politik kita. Termasuk juga di dalamnya menentukan
semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan keputusan politik
kita. Jadi, andaikan kita mendukung seseorang untuk menduduki
suatu jabatan tertentu, lantas kemudian kita mengubah sikap
dengan memintanya meninggalkan jabatan itu, semua perubahan
itu dapat dipahami dari pendekatan maslahat.
Jadi, asas penentuan sikap dan pengambilan keputusannya
adalah “asumsi” maslahat yang terdapat dalam perkara itu. Karena
sifatnya asumsi, maka sudah pasti relatif. Dan karena relatif,
Asas Penyikapan 75
sangatlah mudah mengalami perubahan.
Namun demikian, asumsi yang kita gunakan dalam sebuah
ijtihad adalah asumsi yang kuat (zhonn rajih) yang mempunyai dasar
pada fakta-fakta, pertimbangan-pertimbangan rasional, dan idealita
yang kita inginkan. Jika sebuah asumsi dibentuk dari realitas,
rasionalitas, dan idealitas, kita berharap peluang kesalahannya
menjadi lebih kecil. Dan, kelemahan itu dapat kita tutupi dengan
niat yang ikhlas serta tawakkal kepada Allah swt.
Adapun sisi yang terkait dengan proses adalah lembaga
pengambilan keputusan itu sendiri. Yaitu, apa yang kemudian
kita sebut dengan syuro. Karena kemaslahatan itu didefenisikan
melalui sejumlah asumsi dasar, dengan merujuk kepada realitas,
rasionalitas, dan idealitas, sudah tentu akal kolektif lebih baik
daripada akal individu. Karena itu, keputusan bersama selalu lebih
baik daripada keputusan individu.
Tapi, apakah setiap syuro dengan sendirinya selalu melahirkan
sikap dan keputusan politik yang bermutu? Tentu saja tidak ada
jaminan. Tapi, peluangnya lebih besar. Meski begitu, masalah ini
tetap perlu didalami lebih jauh.q
76 Asas Penyikapan
Asas Penyikapan 77
Sebuah keputusan syuro selalu
mengandung resiko. Sepanjang
yang dilakukan syuro adalah
mendefenisikan mashlahat ‘ammah
atau mudharat yang bersifat asumtif,
maka selalu ada resiko kesalahan.
Atau, setidak-tidaknya “tempo
kebenarannya” sangat pendek.
78
14
Resiko Keputusan
S
aya telah menjelaskan pada kolom ini sebelumnya bahwa
prinsip syuro dibangun dari falsafah keunggulan akal kolektif
atas akal individu. Tapi, apakah itu berarti keputusan yang
lahir dari syuro tidak mungkin salah?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab terutama karena prinsip
ini sering dipertentangkan dengan masalah pengendalian kolektif
atas proses kreativitas individu. Asumsinya, seringkali ada
gagasan-gagasan tertentu yang berasal dari individu tertentu yang
sebenarnya sangat cemerlang, tapi mungkin dianggap “menentang
arus mayoritas” sehingga kemudian tidak mendapatkan tempat
yang layak dalam syuro. Atau dengan kata lain, kurang, bahkan
tidak, diterima sama sekali.
Ada kepentingan lain untuk menjawab pertanyaan di atas.
Yaitu, adanya anggapan bahwa keputusan syuro pasti selalu benar.
Sehingga, para pengambil keputusan seringkali merasa sudah
“aman” dengan menempuh prosedur yang benar dan abai bahwa
perkembangan di lapangan dapat terjadi di luar dugaan kita atau
tidak masuk dalam aspek-aspek yang kita pertimbangkan saat
mengambil keputusan. Akibatnya, kita tidak menyiapkan langkah
Resiko Keputusan 79
antisipasi untuk menghadapinya. Sehingga, resiko yang semula
bisa dieliminir berkembang menjadi lebih besar dan memperburuk
keadaan.
Hakikat pertama yang perlu diperjelas sebelumnya adalah
para pengambil keputusan yang terlibat dalam syuro manusia
biasa. Bukan nabi atau rasul yang makshum. Dan yang mereka
lakukan dalam syuro adalah ijtihad yang bersifat jama’i. Karena
itu, bersifat relatif. Kemungkinan benar-salah senantiasa menyertai
keputusannya. Karenanya, keputusan itupun bersifat manusiawi.
Jadi, mengandung resiko kesalahan.
Hakikat kedua yang perlu juga diperjelas bahwa ruang di mana
ijtihad jama’i dilakukan --yaitu penentuan dan pendefenisian
mashlahat ‘ammah pada suatu masa dan situasi tertentu-- adalah
ruang yang sangat dinamis, terus berubah, dan berkembang dalam
tempo cepat. Oleh sebab itu, apa yang kita asumsikan sebagai
mashlahat hari ini boleh jadi mudharat keesokan harinya. Akan
tetapi, mudharat yang terjadi keesokan harinya itu tidaklah dapat
menafikan atau membatalkan mashlahat yang pernah ada kemarin.
Yang terjadi adalah mashlahat dan mudharat itu telah muncul pada
kesempatan yang berbeda. Sehingga, ada dua keputusan yang
diambil dalam kedua kesempatan yang berbeda pula.
Jadi, yang kita lakukan di sini adalah membuat ijtihad yang
baru dan menghentikan masa berlaku ijtihad yang lama. Misalnya,
dukungan yang kita berikan kepada Gus Dur dalam SU MPR 1999.
Dukungan itu kita cabut setelah ada bukti-bukti empiris bahwa
mashlahat ‘ammah yang kita asumsikan ada ternyata tidak ada.
Dan, mudharat yang sebelumnya hanya ada dalam dugaan (dharar
mutawaqqa’) benar-benar telah terjadi.
Kedua hakikat di atas menjelaskan kepada kita betapa
dinamisnya proses pengambilan keputusan dalam syuro. Konsep
80 Resiko Keputusan
syuro dalam jamaah mukminin sesungguhnya dibuat untuk
memenuhi kebutuhan institusional akan proses kreativitas kolektif
yang produktif, namun terkendali. Juga untuk memenuhi kebutuhan
psikologis setiap anggota akan penerimaan dan aktualisasi diri,
namun tetap menghasilkan yang terbaik bagi jamaah.
Antisipasi resiko
Sebagai sebuah keputusan, produk syuro selalu mengandung
resiko. Dan sepanjang yang kita lakukan dalam syuro adalah
mendefenisikan mashlahat ‘ammah atau mudharat yang bersifat
asumtif, maka selalu ada resiko kesalahan. Atau, setidak-tidaknya
“tempo kebenarannya” sangat pendek. Sehingga, harus cepat
diubah dengan keputusan baru. Akan tetapi, kesalahan seperti ini
mengurangi beban rasa bersalah karena beberapa hal.
Pertama, karena secara kolektif kita telah menempuh prosedur
pengambilan keputusan secara benar. Sehingga, dengan mudah
kita dapat menemukan letak kesalahan, yaitu pada asumsi-asumsi
yang mendasari keputusan. Atau, pada munculnya perkembangan
baru yang tidak terduga sebelumnya. Ini semua merupakan bagian
dari kelemahan manusiawi kita yang tidak terhindarkan dan berada
di luar kemampuan manusiawi kita --dan pada waktu yang sama
menunjukkan ketidakterbatasan ilmu Allah swt. Tapi, seandainya
keputusan ini diambil secara indvidual, kesalahannya menjadi
lebih banyak. Bisa pada prosedur juga pada muatan keputusannya
sekaligus.
Kedua, kesalahan ijtihad jama’i lebih bisa ditanggung resikonya
karena kita menanggungnya bersama-sama. Jadi, kesalahan itu tidak
dibebankan kepada satu orang, walaupun mungkin keputusan syuro
berasal dari gagasan seorang individu anggota majlis syuro. Maka,
sebagaimana keputusan diambil secara bersama, resikopun dibagi
Resiko Keputusan 81
secara bersama. Tentu saja ini membuat beban resiko menjadi lebih
ringan. Dan lebih dari itu, kita tidak perlu mencari kambing hitam
untuk menanggung semua resiko. Dengan begitu distribusi beban
yang disebar secara merata akan memperkuat tingkat soliditas
organisasi dan menjaga rasa saling percaya antara sesama junud
(anggota) dan antara junud dengan qiyadah (pimpinan).
Terlepas dari kenyataan di atas, adalah penting untuk dijelaskan
bahwa ijtihad jama’i merupakan ruang yang sangat dinamis dan
terus berubah. Maka, sikap dan keputusan politik yang kita ambil
harus disertai dengan kalkulasi yang akurat tentang resiko yang
mungkin timbul sebagai akibat dari sikap dan keputusan politik
yang diambil. Atas dasar kalkulasi resiko itu, kita berupaya me-
maintain siatusi dengan berbagai langkah antisipasi. Langkah-
langkah antisipasi ini harus dilakukan untuk mengurangi tingkat
resiko keputusan, baik akibat kesalahan pada asumsi-asumsi dasar
maupun karena munculnya berbagai perkembangan baru yang tidak
terduga setelah keputusan diambil.
Misalnya, jika kita memutuskan untuk memberikan dukungan
kepada seseorang dalam pemilihan presiden, dengan pertimbangan
mashlahat dan mudharat, keputusan itu harus disertai dengan
keputusan-keputusan lain yang bersifat antisipatif. Sehingga, kita
dapat menurunkan tingkat resiko dari sikap dan keputusan politik
awal tersebut.
Dan lebih dari itu semua, adalah tepat untuk bersikap
sebagaimana diperintahkan Allah swt., “Kalau kamu sudah
bertekad (setelah bermusyawarah), maka bertawakkallah kepada
Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.” q
82 Resiko Keputusan
Resiko Keputusan 83
Syuro punya fungsi psikologis dan
fungsi instrumental. Fungsi psikologis
terlaksana dengan menjamin adanya
kemerdekaan dan kebebasan yang
penuh bagi setiap peserta syuro
untuk mengekspresikan pikiran-
pikirannya secara wajar dan apa
adanya. Tapi, tentu saja setiap orang
punya cara yang berbeda-beda
dalam mengekspresikan dirinya.
Jika ruang ekspresi tidak terwadahi
dengan baik, akan terjadi konflik yang
kontraproduktif dalam syuro.
84
15
Optimalisasi Syuro
U
paya mengantisipasi resiko keputusan dan sikap politik
membawa kita ke pembicaraan tentang bagaimana
mengoptimalisasi syuro sebagai sebuah instrumen
pengambilan keputusan. Walaupun akal kolektif lebih unggul dari
akal individu, resiko salah keputusan dalam syuro tetap saja ada.
Sekecil apa pun kesalahan itu.
Kebenaran prosedur dalam proses pengambilan sikap dan
keputusan melalui syuro pada umumnya memudahkan tercapainya
sebuah sikap dan keputusan dengan muatan yang benar. Dalam
banyak kejadian, sebagian besar perhatian kita akan lebih banyak
tertuju pada bagaimana meningkatkan mutu keputusan. Jika kita
berbicara tentang bagaimana menghasilkan sebuah keputusan
syuro yang bermutu, sesungguhnya kita berbicara tentang
bagaimana mengoptimalkan syuro.
Secara umum syuro sebenarnya mempunyai fungsi psikologis
dan fungsi instrumental. Fungsi psikologis terlaksana dengan
menjamin adanya kemerdekaan dan kebebasan yang penuh bagi
setiap peserta syuro untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya
secara wajar dan apa adanya. Tapi, tentu saja setiap orang punya
Optimalisasi Syuro 85
cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan dirinya. Jika
ruang ekspresi tidak terwadahi dengan baik, akan terjadi konflik
yang kontraproduktif dalam syuro. Oleh karena itu, setiap peserta
syuro harus mempunyai kelapangan dada untuk menerima keunik
an-keunikan individu lainnya.
Kemerdekaan dan kebebasan diperlukan sebagai landasan
menciptakan keterbukaan dan transparansi. Setiap peserta syuro
terbebas dari segala bentuk rasa takut dan cemas yang biasanya
mematikan kreativitas. Rasa aman karena terbebas dari rasa takut
dan rasa nyaman karena merasa diterima secara wajar apa adanya,
akan menjadi suasana yang kondusif bagi terciptanya kreativitas
dan keragaman yang produktif.
Dan itulah fungsi syuro yang sesungguhnya: mewadahi
keragaman sebagai sumber kreativitas dan keunggulan kolektif.
Tapi, yang menjamin terciptanya keseimbangan yang optimal antara
kebebasan berekspresi dengan penerimaan yang wajar apa adanya
adalah keikhlasan, pertanggungjawaban, dan kelapangan dada
setiap peserta syuro.
Selain itu, syuro juga mempunyai fungsi instrumental. Syuro
sebagai instrumen pengambilan keputusan adalah fungsi yang
paling substansial dalam kehidupan sebuah organisasi. Jika
mekanisme pengambilan keputusan selalu berjalan dengan baik,
maka organisasi itu akan punya soliditas dan resistensi yang tinggi
terhadap berbagai bentuk goncangan yang biasanya mengakhiri
riwayat banyak organisasi.
Fungsi instrumental ini hanya dapat terlaksana apabila beberapa
syaratnya terpenuhi.
Pertama, tersedianya sumber-sumber informasi yang cukup
untuk menjamin bahwa keputusan yang kita ambil dapat diper
tanggungjawabkan secara ilmiah. Sumber-sumber informasi itu
86 Optimalisasi Syuro
dapat berupa sumber intelijen, pelaku peristiwa, pengamat atau
pakar suatu masalah. Fakta yang akurat disertai analisis yang tepat
akan memudahkan kita menyusun rencana keputusan, baik dengan
pendekatan syariat maupun pendekatan dakwah. Jadi, informasi
yang akurat berkorelasi positif dan kuat dengan keputusan yang
tepat. Kaidah ushul fiqh mengatakan, hukum yang kita berlakukan
atas sesuatu merupakan bagian dari persepsi kita tentang sesuatu
itu.
Kedua, tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang relatif yang
harus dimiliki setiap peserta syuro. Karena, kedalaman itulah yang
menentukan mutu analisis, pikiran, dan gagasan yang diutarakan
oleh setiap peserta syuro. Itulah sebabnya para ulama menjadikan
ilmu pengetahuan sebagai salah satu syarat pada mereka yang akan
diangkat menjadi anggota syuro. Sebab, itulah yang menjadikan
seseorang menjadi layak untuk dimintai pendapat dalam berbagi
masalah.
Selain kedalaman ilmu pengetahuan, ada faktor lain yang terkait
dengan syarat ilmu.Yaitu, dominasi akal atas emosi (rajahatul ‘aql)
serta sikap rasional yang konsisten. Faktor ini sangat menentukan
karena inilah yang menjamin bahwa sikap-sikap emosional dan
temperamental yang sebagian besarnya kontraproduktif tidak akan
terjadi dalam syuro. Selama syuro merupakan proses ijtihad jama’i,
maka syarat kedalaman ilmu pengetahuan merupakan keniscayaan
yang menentukan mutu hasil syuro.
Ketiga, adanya tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat yang
menjamin keragaman pendapat yang terjadi dalam syuro terkelola
dengan baik. Dan pendapat-pendapat itu secara intens mengalami
seleksi, penyaringan, serta integrasi yang ilmiah. Kemudian
melahirkan sebuah keputusan bermutu. Keragaman yang terkelola
dengan cara seperti itu niscaya akan melahirkan pikiran-pikiran baru
Optimalisasi Syuro 87
yang biasanya sulit dibayangkan dapat lahir dari seorang individu.
Tetapi, tradisi ilimiah dalam perbedaan pendapat selalu
tergantung pada syarat kedalaman ilmu pengetahuan dan dominasi
akal atas emosi pada diri peserta syuro. Walaupun begitu, tradisi
perbedaan pendapat yang ilmiah juga dipengaruhi kultur masyarakat
secara umum dan dipengaruhi oleh sikap toleransi para pimpinan
organisasi.
Tradisi ilmiah mengharuskan kita menghilangkan sikap
apriori, merasa benar sendiri, mudah mencurigai niat orang lain,
meremehkan pendapat orang lain, berbicara tanpa dasar informasi
dan ilmu pengetahuan, mengklaim gagasan seseorang sebagai
gagasan sendiri, kasar dan tidak beradab dalam majelis, ngotot yang
tidak proporsional, ngambek dan bersikap kekanak-kanakan, mudah
menuduh dan memojokkan orang lain, dan seterusnya. Sikap-sikap
seperti itu akan mengeruhkan suasana diskusi dan perbedaan
pendapat. Menekan secara psikologis dan mendorong peserta syuro
untuk diam dan tidak berbicara sekedar untuk menyelamatkan diri
dari fitnah dan perlakuan kasar lainnya.Yang lebih parah dari itu
adalah sikap-sikap seperti itu hanya merusak suasana ukhuwah.
Dan, secara perlahan namun pasti, menumbuhkan benih-benih
perpecahan dalam kehidupan berjama’ah.q
88 Optimalisasi Syuro
Optimalisasi Syuro 89
Perbedaan adalah sumber kekayaan
dalam kehidupan berjamaah. Mereka
yang tidak bisa menikmati perbedaan
itu dengan cara yang benar akan
kehilangan banyak sumber kekayaan.
Dalam ketidaksetujuan itu sebuah
rahasia kepribadian akan tampak ke
permukaan: apakah kita matang secara
tarbawi atau tidak?
90
16
Mengelola
Ketidaksetujuan
Terhadap
Hasil Syuro
R
asanya perbincangan kita tentang syuro tidak akan lengkap
tanpa membahas masalah yang satu ini. Apa yang harus
kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil syuro?
Bagaimana “mengelola” ketidaksetujuan itu?
Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan
dakwah dan pergerakan kita. Dan itu lumrah saja. Karena,
merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu adanya
perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk. Kita
semua hadir dan berpartisipasi dalam dakwah ini dengan latar
belakang sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat pengetahuan
yang berbeda, tingkat kematangan tarbawi yang berbeda. Walaupun
proses tarbawi berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai dai
dengan meletakkan manhaj dakwah yang jelas, namun dinamika
personal, organisasi, dan lingkungan strategis dakwah tetap saja
akan menyisakan celah bagi semua kemungkinan perbedaan.
Di sinilah kita memperoleh “pengalaman keikhlasan” yang baru.
Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat
dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan
96
17
Syubhat
di Sekitar
Sikap Kritis
K
ita akan mendapat banyak keuntungan dengan sikap
kritis yang tumbuh sebagai kultur organisasi. Tidak
terkecuali organisasi dakwah. Asasnya adalah manusia
secara individual menyimpan kelemahan bawaan dan karenanya
membutuhkan kontrol, pengendalian, dan perbaikan yang
berkesinambungan.
Jamaah dakwah juga memerlukan kontrol, pengendalian, dan
perbaikan yang berkesinambungan. Karena, jamaah itu komunitas
manusia. Bukan komunitas malaikat. Karenanya, kelemahan-
kelemahan bawaan yang ada pada diri manusia juga ada di jamaah
dakwah. Proses pembelajaran kita, sebagai manusia, sebagiannya
terjadi melalui interaksi dalam masyarakat. Terjadi penerimaan-
penolakan, pujian-kritik, aksi-reaksi. Ada kontras antara suka-
tidak suka, cinta-benci, sedih-gembira, dan marah-damai. Dalam
pergesekan itu manusia mengalami perubahan internal dalam
pikiran, perasaan, dan perilakunya.
Itulah sebabnya mengapa sikap kritis dan kultur introspeksi
menjadi instrumen penting dalam proses penyempurnaan
kehidupan berjamaah. Ini sebabnya mengapa Umar bin Khattab
mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang menghadiahkan
102
18
MENYIKAPI ORANG
KREATIF DAN KRITIS
S
ubhat di seputar sikap kritis yang telah saya sebutkan pada
tulisan yang lalu agaknya tidak dapat dipahami secara
proporsional tanpa menyertakan tulisan tambahan tentang
bagaimana meyikapi orang-orang kritis dan kreatif. Kalau tulisan
sebelumnya lebih tertuju kepada mereka yang kritis, tulisan ini akan
ditujukan kepada para pimpinan amal Islami yang menghadapi
masalah tersebut.
Sikap kritis umumnya merupakan indikator kesehatan hidup
berjamaah. Karena, dengan begitu instrumen dan proses perbaikan
berkesinambungan bekerja dengan baik. Kehawatiran yang
berlebihan terhadap sikap kritis sebenarnya tidak perlu ada. Umar
bin Khattab adalah teladan kita dalam ini. Beliau mengatakan,
“Semoga Allah merahmati seseorang yang telah menghadiahkan
aibku kepadaku.”
Kita hanya perlu khawatir apabila sikap kritis berkembang
secara tidak positif dan memicu konflik pribadi yang tidak sehat.
Gejala ini biasanya muncul apabila sikap kritis dijadikan jembatan
untuk merusak nama baik seseorang. Atau, seorang pimpinan
108
19
KERAGAMAN
YANG PRODUKTIF
S
aya telah dapat banyak tanggapan positif dari duat dan
qiyadah dakwah di daerah, atas beberapa tulisan terakhir
di kolom ini. Saya ingin mengucapkan terima kasih untuk itu
semua. Tapi saya juga masih merasa perlu membahas rangkaian-
rangkaian yang terhubung dengan masalah itu.
Persoalan kita kemudian --dalam konteks hubungan qiyadah-
jundiyah-- adalah bagaimana mengelola perbedaan pendapat
dalam jamaah dakwah dan mengubahnya menjadi faktor
produktif bagi dakwah? Kita akan menghadapi banyak masalah
dan karenanya akan muncul banyak pendapat. Jika tidak dikelola
dengan baik dan bijak, akan menjadi sumber perpecahan. Atau,
setidak-tidaknya menyulitkan proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaannya.
Dakwah ini mempunyai cita-cita yang sangat besar. Bekerja
di wilayah yang sangat luas dan dengan sangat banyak orang.
Sehingga, sebagai suatu organisasi, jamaah dakwah akan tumbuh
menjadi sangat besar. Mengelola keragaman pendapat menjadi
faktor produktif dalam organisasi seperti itu, tentu tidak semudah
mengelola keragaman pendapat dalam tim kreatif sebuah
114
20
MENGOKOHKAN
TRADISI ILMIAH KITA
“O
sama,” kata Fisk, seorang wartawan Inggris
yang pernah menemuinya, “adalah sedikit
dari orang Arab yang tidak merasa malu
untuk berpikir sebelum berbicara.” Kesan wartawan Barat
yang dinukil majalah Tempo itu kemudian dijadikan ciri yang
membedakan Osama dengan Saddam Husain atau Muam-
mar Qaddafi, misalnya.
Kesan itu mungkin mengejek tradisi orang Arab yang ge-
mar berbicara tanpa berpikir. Tapi menurut saya, itu bukan
hanya ciri orang Arab atau bangsa lainnya. Itu merupakan
satuan mutu yang menandai tingkat peradaban suatu ma-
syarakat. Berpikir sebelum berbicara adalah salah satu ciri
dari tradisi ilmiah yang kokoh.
Tapi tradisi ilmiah yang kokoh, yang merupakan salah satu
faktor yang dapat mengubah keragaman menjadi sumber
produktivitas kolektif kita, tidak hanya ditandai oleh ciri di
atas. Ia juga ditandai oleh banyak ciri. Pertama, berbicara
atau bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan. Kedua, tidak
bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap
sesuatu sebelum mengetahuinya dengan baik dan aku-
120
21
KITA DAN
PERANG ITU
P
ecahlah sudah perang itu. Amerika Serikat dan Inggris
menyerang Afghanistan 7 Oktober lalu. Semua mesin
perang tercanggih yang mereka miliki diparadekan di sini.
Semua dendam dan angkara murka dimuntahkan lewat rudal-rudal
pembunuh massal. Semua keangkuhan dan kedigdayaan yang
telah terusik pada 11 September 2001 harus ditegakkan kembali.
Semua prosedur hukum harus dipersetankan atas nama pembelaan
diri. Semua negara harus dibagi hanya ke dalam dua kategori:
pendukung Amerika atau pendukung teroris. Biar dunia tahu bahwa
Amerika Serikat bisa melakukan apa saja yang diinginkan.
Kadang-kadang kita memasuki situasi yang tidak diinginkan.
Tapi, tangan takdir telah melemparnya kepada kita. Tidak ada
pilihan untuk menghindar. Seperti sekarang tiba-tiba saja kita
telah tergiring secara paksa melewati sebuah tikungan sejarah
yang tajam. Sebuah perang besar yang pasti akan sangat panjang
tiba-tiba saja telah dipaksakan kepada kita. Takdir itu harus kita
terima dengan jiwa besar.
Di hadapan kita kini terbentang hari-hari yang panjang. Yang
pasti akan sangat melelahkan. Sangat melelahkan. Tapi, itu
Investasi Afghanistan
Sekarang, jika kita ingin menginvestasikan jihad Afghanistan
kali ini untuk kepentingan-kepentingan strategis dakwah, apakah
yang harus kita lakukan? Barangkali banyak yang dapat membuat
daftar langkah-langkah itu. Tapi, saya hanya ingin menyumbang
sebagiannya.
Pertama, serangan Amerika Serikat dan sekutunya ke
Afghanistan itu harus diperkenalkan kepada umat kita sebagai
sebuah serangan kepada Islam dan kaum muslimin. Bukan perang
baru Amerika Serikat melawan terorisme. Serangan itu sama persis
dengan penjajahan Israel atas Palestina. Osama dan isu terorisme
hanyalah sebuah delik untuk memerangi fenomena kebangkitan
Islam. Fenomena yang mengkonkret dengan berdirinya sejumlah
126
22
MEMBACA TANDA-
TANDA ZAMAN
K
alau suatu keadaan atau peristiwa dipaksakan kepada
kita, maka sikap terbaik yang harus kita lakukan adalah
memikirkan bagaimana menginvestasi keadaan itu
untuk kepentingan strategis dakwah. Misalnya, bagaimana kita
mengivestasi kasus Afghanistan bagi kepentingan strategis dakwah.
Inilah gagasan yang telah saya jelaskan di edisi lalu.
Konsep investasi peristiwa itu adalah konsep yang mengakar
kuat dalam Alquran. Salah satu cara Alquran menginvestasi
peristiwa adalah menanamkan nilai-nilai tertentu melalui
peristiwa tersebut. Misalnya nilai persatuan yang bisa retak akibat
keserakahan terhadap harta rampasan perang, diajarkan Allah
swt. setelah peristiwa Perang Badar dalam surat Al-Anfal. Surat itu
diturunkan untuk pemenang perang bahwa ada tipuan yang harus
dihindari di balik setiap kemenangan. Yaitu, ancaman retaknya
persatuan akibat kesalahan menangani masalah harta rampasan.
Baik karena keserakahan maupun karena kesalahan distribusi.
Nilai yang diajarkan dalam peristiwa itu adalah kemenangan yang
berujung dengan perpecahan jauh lebih buruk dibanding kekalahan
yang semakin menguatkan soliditas jamaah. Atau, persatuan lebih
utama daripada kemenangan.
132
23
YANG KITA
PIKIRKAN DAN
YANG KITA LAKUKAN
M
engapa orang-orang Barat sangat berkepentingan
mempelajari cara berpikir kita? Apakah rahasia di balik
ribuan buku yang terbit di Barat tentang kita? Mengapa
ratusan ilmuwan telah dikerahkan untuk mempelajari cara berpikir
kita? Pertanyaan itu mengganggu saya dalam waktu yang lama.
Ketika orang-orang Eropa harus hengkang dari Al-Quds setelah
kalah dalam perang delapan babak selama dua abad (abad 11-13
M) --yang kemudian kita kenal dengan sebutan perang Salib-- tidak
ada lagi perang yang signifikan antara Islam dan Barat sampai
beberapa ratus tahun kemudian. Dengan pengecualian ekspansi
Khilafah Utsmaniyah ke Eropa Timur hingga ke Wina dan mencapai
klimaksnya pada perebutan Konstantinopel pada abad ke 15 M,
perang besar antara Islam dan Barat baru terjadi lagi pada abad
ke-18 hingga abad ke-20 M.
Pada jeda lima abad itu tidak ada pertempuran. Tapi, sebenarnya
perang tetap berlanjut. Yang muncul setelah itu adalah gerakan
orientalisme, sebuah gerakan masif baru yang berorientasi
mempelajari “Timur” dalam semua aspeknya. Hasilnya adalah
sebuah peta tentang kondisi kawasan Timur (Islam) dalam semua
aspeknya. Kemudian peta itu menjadi dasar penyusunan rencana
138
24
PIKIRAN
DIBALIK PIKIRAN
S
alah satu aspek penting yang harus kita telusuri dalam
membaca dan menganalisis pikiran-pikiran atau analisis-
analisis “orang lain” adalah mencoba menemukan pikiran-
pikiran inti yang sebenarnya ada di balik pikiran-pikiran atau analisis-
analisis itu. Apa yang tertulis boleh jadi bukan yang sesungguhnya
terpikirkan oleh mereka.
Membaca pikiran di balik pikiran adalah sebuah seni tersendiri,
khususnya dalam dunia pergerakan dakwah dan politik. Biasanya
ini menyangkut motif yang ada di balik sebuah pikiran yang diajukan
untuk kita pikirkan. Sehingga, yang selalu harus kita ajukan dalam
membaca pikiran-pikiran tersebut adalah: mengapa mereka
menginginkan kita berpikir seperti itu?
Saya ingin memberi sebuah contoh tentang berbagai pikiran
dan analisis politik yang muncul setelah jatuhnya Soeharto pada
pertengahan tahun 1998 lalu. Masyarakat kita berbicara tentang
siapa yang harus menggantikan Soeharto atau tokoh yang paling
tepat memimpin Indonesia pasca-Soeharto. Tentulah mudah
menebak kalau sorot mata bangsa kita tertuju kepada tokoh yang
memimpin reformasi, Amin Rais.
Tapi, seorang pengamat politik Indonesia (Indonesianis) asal
144
25
OBJEKTIVITAS
ANTARA OPTIMISME
DAN PESIMISME
M
emilah batas yang tegas antara analisis berbasis
objektivitas dan analisis berbasis optimisme atau
pesimisme adalah juga salah satu seni yang rumit
dalam analisis sosial politik. Banyak bias terjadi di sini. Dalam
membaca sebuah peristiwa, bias sering terjadi saat kita tidak
mampu membedakan secara tegas antara peristiwa yang terjadi
sebagaimana adanya dan peristiwa yang sebenarnya kita inginkan
atau kita bayangkan terjadi. Persoalan itu lebih bersifat psikologis
karena terkait dengan nuansa psikologis atau kepribadian sang
analis, antara yang optimis dan pesimis.
Seorang ulama besar dakwah, Syekh Muhammad Al-Gazali
rahimahullah, menceritakan pengalaman analisisnya dalam salah
satu bukunya yang ditulis pertengahan abad ke-20 lalu. Beliau
membuat sebuah ramalan tentang masa depan Amerika Serikat
setelah Perang Dunia Kedua. Dalam ramalan itu beliau mengatakan,
walaupun menang dalam PD II, kekuatan Amerika Serikat akan
rapuh dan menciut serta melemah, kelak setelah usainya perang
itu. Satu sampai tiga dekade kemudian yang terjadi justru
sebaliknya. Kekuatan Amerika Serikat malah semakin merajalela
150
26
PERBAIKAN
BERKESINAMBUNGAN
S
etiap waktu, dalam kehidupan berjamaah, kita bisa saja
melakukan kesalahan kolektif. Kesalahan itu bisa terjadi
sejak tahap perencanaan hingga tahap pelaksanaan. Dari
kesalahan teknis hingga kesalahan strategis. Dari kesalahan aplikasi
hingga kesalahan pada dasar penyikapan. Dari kesalahan analisis
politik hingga kesalahan dalam pengambilan keputusan politik.
Syuro tidaklah berfungsi menafikan kesalahan koletif. Syuro
hanya berfungsi mengurangi peluang salah, memaksimalkan
upaya manusiawi, dan mengurangi beban rasa bersalah. Berbagai
metode analisis politik yang kita terapkan secara seksama juga
tidak dapat menafikan kesalahan kolektif. Metode-metode itu pun
hanya berfungsi mengurangi peluang bersalah, memaksimalkan
upaya manusiawi, dan mengurangi beban rasa bersalah.
Hakikat itulah yang mengharuskan kita bersikap lebih wajar
terhadap kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sendiri. Hakikat itu
juga yang mengharuskan kita bersedia memaafkan diri sendiri atas
kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sendiri. Hakikat itu juga yang
mengharuskan kita menerima diri secara wajar dan apa adanya.
Sikap kritis adalah sebuah kemestian yang tidak dapat ditolak.
Tapi mengkritisi diri sendiri secara berlebihan atau membebani diri
156
27
PERFORMANSI
POLITIK KITA
K
alau ada sesuatu yang patut kita syukuri sebagai bagian
dari generasi baru dakwah, maka sesuatu itu adalah
kenyataan bahwa kita telah tumbuh bersama dakwah
melalui beberapa marhalahnya. Sekarang bersama dakwah, kita
merambah belantara perpolitikan nasional justru pada saat negeri
ini sedang mengalami masa-masa transisi yang rumit dalam
perjalanan sejarahnya.
Tentu saja itu merupakan sebuah kehormatan sejarah yang
memberi kita kebanggaan tersendiri. Tapi, sebuah tantangan besar
segera terpampang di hadapan kita: sebagai sebuah kekuatan
politik nasional, seberapa mampukah dakwah ini memberikan solusi
bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis multidimensi yang
telah melilitnya selama tahun-tahun?”
Merambah dunia politik, dalam paradigma dakwah kita, adalah
sebuah keniscayaan. Sebagai bagian dari totalitas kekuatan.
Kekuasaan atau legitimasi politik diperlukan tidak bagi dirinya
sendiri. Tapi, untuk tujuan mewadahi dan melindungi proses
pelaksanaan agama di seluruh dimensi kehidupan kita. Dalam
konteks itu kita telah memperkenalkan wacana partai dakwah
Performansi politik
Begitulah secara lugas kita menyatakan jatidiri kita selama ini.
Tapi, pengalaman politik selama beberapa tahun ini tampaknya
telah memberi kita begitu banyak pelajaran berharga. Salah satunya
adalah image yang melekat dalam pemahaman publik tentang citra
partai dakwah.
Kita telah mengokohkan jatidiri kita sebagai salah kekuatan
moral dalam dunia politik kita. Tapi dari banyak perbincangan
dengan berbagai pengamat politik di luar sana, kita mendapatkan
kenyataan bahwa selama ini performansi kita lebih kuat sebagai
ormas atau yayasan sosial ketimbang sebagai kekuatan politik
praktis. Mereka mengakui kemampuan kita mengguncang jalanan
dengan demo-demo kita, mereka mengakui keikhlasan dan
ketulusan kita setiap kali kita berbicara. Tapi mereka tetap saja
menyimpan sebuah keraguan --yang boleh jadi tidak selalu negatif
atau semacam kepercayaan yang tidak utuh-- tentang performansi
kita sebagai kekuatan politik yang layak mengelola negara. Agaknya,
memang harus dibedakan antara kelayakan moral dan kelayakan
politik atau profesional.
Kalau kita menyerap keraguan tersebut, sesungguhnya itu
merupakan bagian dari kelapangan dada kita yang muncul dari
obsesi kesempurnaan yang diajarkan dakwah kepada kita. Kita
tentu cukup percaya diri bahwa dengan semangat dan kemampuan
162
28
MENGEMBANGKAN
KAPASITAS
INTERNAL KITA
K
alau kita ingin memperbaiki performansi kita sebagai salah
satu kekuatan sosial politik yang layak mengelola negara,
seperti yang saya tulis pada kolom sebelumnya, maka
satu-satunya cara yang harus kita tempuh adalah mengembangkan
kapasitas internal kita secara berkesinambungan. Sebab, kapasitas
internal kitalah yang sesungguhnya membentuk performansi kita.
Kapasitas internal adalah total dari kemampuan dan daya
dukung yang secara riil kita miliki. Dengan itu kita dapat
merealisasikan kehendak-kehendak atau ideal-ideal kita. Dalam
dunia politik praktis, orang-orang tidak menilai kita berdasarkan apa
yang kita inginkan atau berdasarkan ideal-ideal kita. Mereka menilai
kita berdasarkan apa yang dapat kita lakukan atau berdasarkan
kemampuan bertindak (daya tindak) kita. Dengan kata lain, mereka
tidak akan pernah menanyakan apa yang sebenarnya kita inginkan
atau menanyakan visi-misi kita. Tapi, mereka akan menanyakan
seberapa mampu kita merealisasikan apa yang kita inginkan.
Itulah logika kekuasaan di dunia politik. Dan itu pulalah
elemen utama yang membentuk kepercayaan orang kepada kita.
Inti dari kekuasaan adalah kekuataan. Dan, kekuatan yang nyata
Kompetensi eksekusi
Sekarang muncul sebuah pertanyaan: kapasitas apakah yang
harus kita miliki untuk dapat mengelola sebuah negara secara baik?
Jawaban pertanyaan ini sebenarnya kembali kepada persoalan visi,
misi, dan fungsi negara dalam perspektif Islam. Jadi, kita harus
menjawab pertanyaan lain terlebih dahulu: seperti apakah model
negara dalam perspektif Islam? Atau, negara macam apakah yang
dengan nama Islam ingin kita wujudkan?
Jika pertanyaan itu dapat kita jawab secara defenitif, maka
kita dapat melangkah kepada pertanyaan selanjutnya: untuk
mewujudkan negara seperti itu, kemampuan apa sajakah yang
harus kita miliki? Pertanyaan pertama menjelaskan ideal-ideal
kita, tapi pertanyaan kedua menjelaskan kekuatan riil yang harus
kita siapkan.
Begitu jugalah cara Alquran mengajari kita. Alquran menjelaskan
perang dan permusuhan antara kebenaran dan kebatilan sebagai
keniscayaan hidup. Setelah itu Alquran menjalaskan tabiat
peperangan itu. Menjelaskan siapa saja musuh kita. Menjelaskan
tabiat setiap musuh. Kemudian menjelaskan bagaimana kita
mempersiapkan semua kekuatan untuk menghadapi mereka.
168
29
BUDAYA POLITIK KITA
S
alah satu sebab yang membuat citra kita lebih dekat ke citra
ormas adalah karena keterlibatan kita di tingkat nasional
lebih banyak terjadi pada persoalan-persoalan sosial dan
moral. Kita belum terlibat secara intens dalam wacana ekonomi-
bisnis dan politik-keamanan. Padahal inti dari negara terletak pada
kedua persoalan tersebut.
Secara ekonomi, sektor pelayanan publik seperti pendidikan,
kesehatan, dan layanan sosial lainnya merupakan pengeluaran.
Karena itu, akan sangat tergantung pada pemasukan yang
ditentukan sektor ekonomi-keuangan. Sementara itu, perekonomian
secara makro sangat ditentukan oleh stabilitas politik-keamanan.
Inilah logika negara. Jika terlibat lebih banyak di sektor layanan
publik, kita akan tampak sebagai orang baik dan bijak serta berhati
nurani di mata publik. Tapi begitu kita berkuasa, kita sebenarnya
menciptakan jebakan bagi diri kita sendiri. Karena keinginan baik
kita untuk melayani publik secara lebih baik, belum tentu dapat
dipenuhi kalau kita tidak sanggup mengelola perekonomian negara
secara lebih baik. Atau dengan kata lain, kita dapat mengeluarkan
anggaran yang besar untuk sektor layanan publik kalau tidak
174
30
STRATEGI
PENCITRAAN
M
edia massa, kata pemimpin Partai Refah dan mantan
Perdana Menteri Turki, Erbakan, adalah institusi politik
keempat. Teori trias politica yang digagas Montesqiu
beberapa abad lalu sudah tidak memadai menggambarkan
keseimbangan kekuatan politik satu negara. Media massa telah
menjadi institusi yang mandiri, independen, berwibawa dengan
agendanya, dengan jaringannya, dan dengan kadar pengaruh
lembaga eksekutif dan legislatif. Ini adalah abad media.
Kita, atau mungkin siapa saja yang bergerak di dunia politik
dan dakwah, dengan mudah bisa sepakat dengan Erbakan. Sebab,
memang begitulah kenyataannya. Tapi, justru di sinilah persoalan
kita. Di antara kesadaran kita tentang peran dan fungsi media dengan
langkah-langkah yang telah kita lakukan untuk memanfaatkannya,
masih terbentang jarak yang relatif jauh. Sebagian dari indikasinya
adalah adanya pemahaman yang masih naif bahwa kita sudah cukup
bergembira apabila kegiatan-kegiatan atau statemen-statemen kita
diliput media. Kadang-kadang dengan naif kita marah atau iri. Amal
kemanusiaan dan aksi sosial politik seperti demonstrasi, tablig
akbar, atau pawai yang kita gelar, ternyata tidak mendapat liputan
180
durasi kebenaran 74 G
E gerakan Islam 58
gerilyawan 122
efek integralitas 118 ghibah 99
efek ketepatan 118 given 21
efek kuantitatif 50 global 20
efektivitas 74 grand strategy 3
ekonomi pasar 38 Gus Dus 55
eksekusi 34
eksekutif 11 H
eksistensi 44
ekspansionisme 44 Habibie 55
ekspresi 33 Hamilton Gibb 134
elitis-eksklusif 9 harfiah 43
emosional 20 Hasan Al-Banna 153
energi ruhiyah 7 hasil syuro 92
entitas 32 hegemoni 124
entry point 39 Heraclius 11
era keterbukaan 15 heterogen 50
Erbakan 175 heterogenitas 37
Eropa Timur 133 Hindia Belanda 43
estetika 40 holistik 20
eufemistis 33 hukum 21, 32
Huntington 45
F
I
fair 98
fakta kuantitatif 63 ibadah mahdhah 69
fenomena zaman 129 Ibnu Mas’ud 2
feodalisme 45 Ibnu Qoyyim 11
fiqhi realitas 75 Ibnu Taymiah 75
fiqhi wahyu 75 idealisme 67, 74
firasat 14, 105, 130 idealita 76
fisik 20 identitas 17, 21, 98
Fisk 115 ideolog 46
fungsi instrumental 85 ijtihad 75
fungsi psikologis 85 ijtihad jama’i 14, 80
Ikhwanul Muslimin
40, 134, 153
181
image 45, 99, 158 John L. Esposito 135
imajinasi 31 junud 3, 82
Imam Ahmad 27
Imam Syafi’i 70, 99 K
imaniyah 94
kabinet 29
imperialis 22 kaderisasi 19
imperialisme 134 kambing hitam 82
implementasi 98 kampanye 14
imunitas ideologi 69 kampus 20
independen 106 kapasitas internal 163
indikator 104 kapitalis 32
indikator makro 159 kapitalisme 38, 152
individualisme 153 karakter 53
Indonesia 61 kebebasan 32
Indonesianis 134 kebenaran objektif 93
inheren 37, 44 kebenaran syar’i 74
institusi ekonomi 10 keberanian moral 148
institusi politik 10 kebijakan publik 47, 165
institusi sosial 10 kedaulatan 21
institusi strategis 11 kehendak kolektif 104
integritas kepribadian 63 keinginan rakyat 63
intelektual 20 kejutan sejarah 131
introspeksi 97 kekuatan kualitatif 50
Iran 123 kekuatan kuantitatif 50
ironi politik 55 kelayakan moral 158
islamisasi 49 kelayakan politik 158
Isolasi 56 kelompok pemikir strategi 45
Israel 44, 57 kemandekan ideologi 61
issue maker 41 kematangan tarbawi 91
itikaf 5 kemerdekaan peradaban
124
J kemerdekaan politik 124
jahriyah 15, 153, 177 kepekaan spiritual 1
jamaah dakwah 110 kepemimpinan 49
jamaah mukminin 81 kepentingan 28, 74
Jamal Abdul Nasser 154 kepentingan dakwah 53
jaringan kader 11 kepercayaan publik 166
Jasim Muhalhil 57 keputusan politik 73
jihad 51 kesalahan kolektif 151
182
ketepatan 74 kualitatif 50
keterbukaan 86 kuantitatif 50
kevakuman konseptual 63 kultur baru 171
khalifah 27 Kuwait 57
Khilafah Utsmaniyah 56, 133
khulafaaurrasyidin 172 L
Khulafah Rasyidin 27
learning capacity 159
khusyuk 70
legalitas 33
Kinechi Ohmae 45
legalitas politik 11
kita 1
legislasi 34
koalisi 172
legislatif 11
koalisi politik 58
legitimasi politik 164
kolaborato 124
lingkaran kultural 53
kolektif 79
lingkaran pengaruh 53
komoditi politik 160
lingkaran struktural 53
kompetensi eksekusi 165
lingkungan strategis 3
komunikasi 16
lingkungan strategis ekster-
komunis 34
nal 14
Komunisme 152
lintasan pikiran 92
komunitas 26, 29
komunitas malaikat 97 logika 40
kondisi eksternal 14
kondisi internal dakwah 14
M
kondusif 86 mafia 33
koneksi 58 maintain 82
koneksi politik 51, 52 Majlis iman 2
konflik 86 Majmu’at Al-Rasail 22
Konsep investasi 127 makar 137
konseptual 49, 63 makshum 80
konsisiten 63 mandat 22
konsistensi 74 mandiri 106
konspirasi 56, 142 manhaj dakwah 91
Konstantinopel 133 marhalah 3
konstituen 51, 140 Mark Juergensmeyer 45
konstitusi 21, 32 mashlahat 80
kontraproduktif 104 mashlahat ‘ammah 80
kontrol 97 masjid 27
kreativitas 22, 86 media 38
kreativitas individu 79 Mega 55
kreativitas kolektif 81 Mesir 40
183
metode 74 nation state 45
metodologi 46 negara-agama 46
mihwar daulah 11 negara-dinasti 45
mihwar muassasi 10, 13, 49, 177 negara-etnis 46
mihwar sya’bi 9, 170 negativitas 28
mihwar tanzhimi 9 netral. 34
militer 10, 32 nilai ijtihad 75
minoritas 31, 32
mishdaqiyah 164 O
mobilisasi massa 19
objektif 15
mobilisasi sosial 3 objektivitas 145
mobilitas horizontal 10, 20 obsesi jiwa 93
mobilitas vertikal 11 ongressman 44
mobilitas vertikal. 20 opini publik 10
model 29 optimisme 145
momentum 40 organisasi 110
momentum historis 70 orientalisme 134
momentum sejarah 141 orisinalitas 38
Montesqiu 175 Osama 115
moral 25
Otoritarianisme 33
moral force 167
motif 139 P
Muammar Qaddafi 115
Muawiyah 143 Palestina 45, 57
mudharat 80 pandhita-ratu 26
Muhammad Al-Gazali 145 paradigma 50, 52
Muhammad Al-Ghazali 46 paradigma keterbukaan 52
Muhammad Quthub 46 paradigma objek dakwah 52
mujahidin 122 Partai Ishlah 170
multipartai 57 Partai Refah 175
munashahah 100 partisipasi 21
Munir Al-Gadhban 58 pasar bebas 32
musuh dakwah 16 patgulipat 26
mutaghayyirat 142 pekerja politik 171
pembangkangan 93
N pemikir strategi 46
pemimpin bangsa 140
Naisbit 45 pemimpin nasional 140
nasionalisme 57 pemimpin umat 140
nasionalisme religius 45 penetrasi 19, 34
184
penetrasi sosial 49 prinsip syuro 79
pengalaman keikhlasan 92 privat 27
pengalaman spiritual 92 produktivitas 22
pengikut 51 program kaderasasi 13
Pentago 123 prosedur 79
penyaringan 88 proses ilmiah 92
peradaban 19, 23, 61 proyek jihad 125
perang dingin 57 proyek peradaban raksasa 8
Perang Dunia II 61 psiko-politik 20
Perang Khandaq 51 psikologis 23, 40
perang periodik 44 public figur 178
Perang Salib 134 publik 34
Perang Teluk 131
performansi 158 Q
perpecahan 109
qiyadah 3, 82, 130
Persi 61
persimpangan sejarah 141 Quraisy 51
perspektif dakwah 15
perspektif investasi 122
R
pertumbuhan dakwah 130 rajahatul ‘aql 87
peserta syuro 87 ranjau 34
pesimisme 15, 145 rasional 56, 76
pikiran strategis 143 Ratu Balqis 11
pikiran taktis 143 redistribusi 153
platform 62 referensi 26, 38, 74
Plato 26 referensi normatif 111
political force 167 regulasi 32
politik Islam 75 rekonstruksi pemikiran 19
politik isolasi 56 rekonstruksi sosial 19
politik praktis 20 rekrutmen 13, 14
politik-militer 45 rekrutmen sejarah 62
politisi dakwah 25 represif 20
popularitas 51 resiko 85
popularitas partai 63 rigid 20
pornografi 34 ritus 26
potret 32 Romawi 61
power 19
Pragmatisme 28 S
pragmatisme 74
saat 1
presiden 55
185
Saddam Husain 115 Tartar 131
saksi 29 tasawwuf 118
Sayyid Quthub 46 tawadhu 92
sejarah 27 Tempo 25
sejenak 1 teoretis 39
sekolah jihad 124 teori 19
seksual 31 teritorial 32
sektarian 53 terorisme 122
sekuler 21 tikungan sejarah 130
senator 44 timing 16
shaff 93 Timur Tengah 45, 134
Sidang Istimewa 55 tradisi ilmiah 88, 110
sikap politik 85 tradisi pembelajaran kolektif
sikuensial 22 111
simbolik 43 tradisi toleransi 112
sirriyyah 153 tradisi verbalitas 110
sistem 37 Tragedi WTC 123
Snouck Hourgronje 43 transformasi 49
Soeharto 61 transisi 62
solid 39 transparansi 86
soliditas 45 trias politica 175
spiritual 20 tsawabit 142
split 118 Tsiqoh 57
strategi gerakan 47 tsiqoh 94
struktur 34
Subhat 103 U
Sudan 123 uduklah 2
Sun Tzu 137 ukhuwwah 94
supporting system 137 Umar bin Khattab 98
syahwat 70 undang-undang 32
syariat Islam 75 Uni Soviet 57, 152
syubhat 64, 98 upaya ilmiah 92
syuro 14 ushul fiqh 87
utopia 28
T
tajarrud 94 V
tarbawi 95 validitas 148
tarbiyah 19 variabel 56
tarekat 142 varian 39
186
W
walfare state 153
wawasan 53
wilayah 49
wilayah dakwah 21
William Liddle 140
Wina 133
Y
Yaman 170
yudikatif 11
Yusuf Al-Qardhawi 46
Z
zhonn rajih 76
Zionisme 44
187