Anda di halaman 1dari 26

BAB II

PERDARAHAN POST PARTUM

1. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan pervaginam > 500 ml
atau lebih yang terjadi setelah kala III persalinan. Definisi yang banyak
digunakan saat ini berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun
1990. Karena dapat sebagai alarm untuk mengingatkan dokter bahwa
mungkin terdapat ancaman perdarahan yang berbahaya (WHO, 2006)
Berdasarkan fakta dan penelitian terakhir, hampir separuh wanita
yang melahirkan pervaginam mengeluarkan darah 500 ml bahkan lebih. Hal
ini juga dibandingkan dengan tindakan operatif lain yaitu ternyata hampir
40% terjadi pengeluaran darah 1000 ml pada seksio sesarea, 1400 ml pada
histerektomi. Tetapi, mereka juga mengamati bahwa jumlah darah yang
diperkirakan keluar sering hanya separuh jumlah sebenarnya.(Cunningham FG,
2010)

1. Perdarahan post partum adalah hilangnya 500 ml atau lebih darah


setelah kala tiga persalinan selesai.(WHO, 2006)
2. Berdasarkan International Statistical Classification of Desease and
Related Health Problem, perdarahan post partum adalah kehilangan
darah 500 cc atau lebih pada persalinan normal dan 750 cc atau lebih
bila persalinan dengan seksio sesarea.(Cunningham FG, 2010)
3. Berdasarkan ACOG, perdarahan postpartum adalah bila terjadi
perubahan hematokrit lebih dari 10 % dari hematokrit dibandingkan
sebelum partus dengan setelah partus.(RCOG, 2009)

2. Klasifikasi
2.1 Klasifikasi berdasarkan waktu terjadi perdarahan :
A. Perdarahan post partum primer
Perdarahan yang terjadi 24 jam pertama setelah melahirkan.
Penyebabnya 80% kasus disebabkan oleh atonia uteri, sisa
plasenta, yang mencegah retraksi dari tempat implantasi
plasenta.(Groom, 2006) Pada 20% kasus disebabkan oleh laserasi

4
traktus genital, abruptio plasenta.(Maughan KL, 2006) Perdarahan post
partum primer lebih mungkin terjadi setelah persalinan lama,
distensi uterus yang berlebihan (kehamilan multiple atau
polihidramnion).(Leduc, 2009)
B. Perdarahan post partum sekunder
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam anak lahir sampai 6
minggu setelah melahirkan. Biasanya pada hari ke 8-14 post
partum.(Marcovici, 2005) Perdarahan postpartum sekunder jarang
menimbulkan kematian namun menimbulkan komplikasi yang
mempengaruhi kesehatan ibu. Penyebab yang sering dari
perdarahan postpartum sekunder ini dapat berupa sisa produk
konsepsi, infeksi dan subinvolusi tempat tertanamnya plasenta.
Perdarahan post partum sekunder terjadi pada 1-3% dari semua
kelahiran. (Leduc, 2009)
2.2 Klasifikasi berdasarkan jumlah perdarahan :
A. Perdarahan kelas I
Perdarahan ini ditandai oleh kehilangan volume darah sampai
15%. Gejala klinis dari kehilangan volume darah pada saat ini
minimal. Bisa saja terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan
yang berarti terhadap tekanan darah, tekanan nadi, frekuensi nadi
atau frekuensi pernapasan. Jumlah kehilangan darah ini tidak perlu
diganti.(Weigelt, 2000)
B. Perdarahan kelas II
Pada perdarahan jenis ini kehilangan volume darah 15%-
30%. Pada seseorang dengan berat 70 kg, kehilangan 750 mL
sampai 1500 mL volume darahnya. Gejala-gejala klinis termasuk
takikardi (denyut jantung lebih dari 100), takipnea dan penurunan
tekanan nadi, serta tekanan darah. Penurunan tekanan nadi ini
terutama berhubungan dengan peningkatan diastolik karena
bertambahnya kateholamin yang beredar.(Weigelt, 2000)
Zat ini menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi
pembuluh darah perifer. Tekanan sistolik hanya berubah sedikit,

5
oleh karena itu lebih penting mengandalkan evaluasi tekanan nadi
daripada tekanan sistolik. Penemuan klinis lain yang ditemukan
pada tingkat kehilangan darah ini adalah perubahan sistem syaraf
sentral dengan manifestasi berupa cemas, atau ketakutan. Walau
kehilangan darah dan perubahan kardiovaskuler besar, namun
produksi urin hanya sedikit terpengaruh. (Weigelt, 2000)
Produksi urine biasanya 2030 mL per jam. Kehilangan cairan
tambahan dapat memperberat manifestasi klinis dari jumlah
kehilangan darah ini. Bagi penderita kadang-kadang memerlukan
transfusi darah, pada umumnya dapat distabilkan dengan
pemberian cairan kristaloid terlebih dahulu.(Cunningham, 2010)
C. Perdarahan kelas III
Perdarahan pada kelas ini ditandai oleh kehilangan volume
darah 30%-40%. Akibat dari kehilangan darah sebanyak ini (sekitar
2.000 mL) berdampak parah. Pasien hampir selalu menunjukkan
sindrom gangguan perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi
dan takipnea yang jelas, perubahan penting dalam status mental
dan penurunan tekanan darah sistolik.(Weigelt, 2004)
Dalam keadaan yang tidak terdapat penyulit, inilah jumlah
kehilangan darah yang dapat menyebabkan tekanan sistolik
menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir
selalu memerlukan transfusi darah.(Weigelt, 2004)
D. Perdarahan kelas IV
Perdarahan ini ditandai oleh kehilangan darah lebih dari 40%
volume darah. Dengan kehilangan darah sebanyak ini, jiwa
penderita terancam. Gejala-gejalanya meliputi takikardi yang jelas,
penurunan tekanan darah sistolik yang cukup besar dan tekanan
nadi yang sangat sempit (tekanan diastolik yang tidak teraba). (Miller
RD, 2010)

Produksi urine hampir tidak ada dan kesadaran menurun, kulit


dingin dan pucat. Penderita ini sering kali memerlukan transfusi
darah cepat dan intervensi tindakan segera. Keputusan tersebut

6
didasarkan atas respon terhadap resusitasi cairan yang diberikan.
Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita mengakibatkan
kesadaran menurun, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah.
Tabel 3 dibawah ini menunjukkan perkiraan kehilangan darah. (Miller
RD, 2010)

Tabel 1. Perkiraan Kehilangan Darah (Miller RD, 2010)

Parameter Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan
Sampai 750 750 -1500 1500-2000 > 2000
Darah (mL)

Kehilangan
Sampai
Darah (% 15% 30% 30% - 40% > 40%
15%
volum darah)

Denyut Nadi < 100 > 100 > 120 > 140

Tekanan
Normal Normal Menurun Menurun
Darah

Normal /
Tekanan Nadi Menurun Menurun Menurun
naik

Frekuensi
14 20 20 30 30 40 > 40
Pernafasan

Produksi Urine
> 30 20 30 5 15 Tidak Berarti
(mL/jam)

Cemas,
Status Mental Cemas Agak Cemas Bingung, Lesu
bingung

Penggantian Kristaloid & Kristaloid &


Kristaloid Kristaloid
Cairan Darah Darah

7
Gambar 1. Perkiraan darah yang hilang

3. Patofisiologi

Pada keadaan normal proses pelepasan plasenta tidak


menimbulkan masalah karena adanya lapisan nistabuch yang mencegah
invasi trofoblas lebih jauh kedalam miometrium pada saat awal
pembentukan plasenta. Normalnya proses invasi trofoblas ini mencakup
seluruh arteri spiralis dan maksimal mencapai arteri basalis pada
perbatasan antara endometrium dan miometrium. Proses invasi trofoblas
menggantikan lapisan muskularis dari arteri spiralis dan arteri basalis
sehingga arteri menjadi lebih lebar dan tidak bisa menciut akibat telah

8
hilangnya lapisan muskularis sehingga tidak lagi terpengaruhi oleh
perubahan rangsangan saraf simpatis. Hal ini penting sebagai mekanisme
untuk memberikan jaminan aliran darah yang cukup bagi janin.(Cunningham FG,
2010)

Sebagai konsekuensi terhadap peristiwa ini maka proses retraksi


dan vasospasme dari arteri spiralis ketika plasenta lepas pada saat kala tiga
tidak lagi berperan sehingga proses kontraksi miometrium mempunyai
peranan yang sangat vital untuk menghentikan perdarahan pada tempat
implantasi plasenta.(Cunningham FG, 2010)
Menjelang aterm, diperkirakan bahwa sekitar 600 ml/mnt darah
mengalir melalui ruang antarvilus.(Cunningham FG, 2010) Dengan terlepasnya
plasenta, arteri-arteri dan vena-vena uterine yang mengangkut darah dari
dan ke plasenta terputus secara tiba-tiba.(Anderson JM, 2007)
Di tempat implantasi plasenta, yang paling penting untuk hemostasis
adalah kontraksi dan retraksi miometrium untuk menekan pembuluh dan
menutup lumennya. Potongan plasenta atau bekuan darah besar yang
melekat akan menghambat kontraksi dan retraksi miometrium yang efektif
sehingga hemostasis di tempat implantasi terganggu. Perdarahan post
partum yang fatal dapat terjadi akibat uterus hipotonik walaupun
mekanisme koalugasi ibu cukup normal. Sebaliknya bila miometrium di
dekat implantasi atau di dekatnya berkontraksi dan berretraksi dengan kuat,
kecil kemungkinan terjadi pendarahan fatal dari tempat implantasi plasenta
walaupun mekanisme pembekuan darah sangat terganggu.(Cunningham FG,

2010)

4. Etiologi dan Faktor Risiko


Perdarahan post partum primer dianggap sebagai kelainan atau
gangguan dari satu atau lebih empat proses dasar (empat T) yaitu : tonus,
jaringan (tissue), trauma, dan trombin.(Anderson JM, 2007) Perdarahan terjadi
karena rahim tidak dapat berkontraksi cukup baik untuk menghentikan
pendarahan di tempat implantasi plasenta. Tertahannya produk konsepsi
atau darah, dan trauma jalan lahir dapat menyebabkan kehilangan darah
yang banyak, terutama jika tidak segera diidentifikasi. Kelainan koagulasi

9
dapat menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan dapat
memperberat kelainan proses sebelumnya.(Schuurmans N, 2000)

Tabel 2. Empat Pokok (4T) Penyebab Perdarahan


Postpartum (Anderson JM, 2007)
Empat Pokok Penyebab Insiden
Tonus Atonia uteri 70%
Laserasi
Hematom
Trauma Inversio uteri 20%

Ruptur uteri

Retensio plasenta
Tissue
Invasif plasenta 10%
(Jaringan)

Trombin Koagulopati 1%

Perdarahan post partum primer seringkali dapat dikelola dengan


perawatan obstetrik dasar, tetapi terlambatnya tatalaksana dapat
mengakibatkan komplikasi lebih lanjut.(Lalonde AB, 2006)

Tabel 3. Faktor resiko perdarahan postpartum (Schuurmans N, 2000)

Etiologi Faktor Risiko

Polihidramnion
Kehamilan ganda
Overdistensi Uterus
Makrosomia
Kontraksi Uterus
Abnormal Persalinan yang
(Tone) cepat.
Kelelahan Otot Uterus Persalinan lama.
Paritas tinggi

10
Demam.
Infeksi intra amnion Ketuban pecah lama

Uterus fibroid
Kelainan Fungsional Plasenta previa
atau Anatomi Uterus Anomali uterus

Plasenta lahir tidak


lengkap.
Sisa konsepsi
Scar uterus akibat
Plasenta yang
operasi sebelumnya.
Sisa Konsepsi abnormal
Paritas tinggi
(Tissue) Sisa kotiledon/lobus
Abnormal plasenta
suksenturiata
saat USG

Sisa bekuan darah Atonia uteri

Persalinan
presipitatus.
Laserasi Serviks, vagina
Persalinan
atau perineum.
pervaginam operatif.

Trauma Malposisi
Perpanjangan laserasi
Genitalia Deep engagement
saat SC
(Trauma)
Operasi uterus
Ruptura uteri
sebelumnya
Paritas tinggi
Inversio uteri Fundal plasenta

Kelainan yang telah ada


Gangguan Riwayat koagulopati
sebelumnya seperti :
Koagulasi herediter.

11
(Trombin) Hemofilia A Riwayat gangguan
Penyakit von hepar.
willebrand
Didapat saat kehamilan:
ITP Memar
Trombositopeni pd Peningkatan tekanan
PEB darah
DIC IUFD
Preeklmpsia Demam, peningkatan
IUFD lekosit
Infeksi berat HAP
Solusio plasenta Kolaps
Emboli cairan
ketuban
Terapi antikoagulan Riwayat bekuan darah

5. Diagnosis

Diagnosis biasanya jelas, terjadi kehilangan darah yang banyak


sebelum plasenta lahir (perdarahan kala III) atau pengeluaran plasenta.
Setelah plasenta lahir, darah dapat membeku didalam uterus dan tidak
keluar sehingga fundus naik pada palpasi abdomen dan jika kontraksi
dirangsang, uterus berkontraksi dan bekuan darah terdorong keluar.
Perdarahan cenderung intermitten, karena uterus berkontraksi secara
periodik. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari
penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi
serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah
menurun.(Anderson JM, 2007) Seorang wanita hamil yang sehat dapat
kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami
gejala-gejala klinik; gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah

12
20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok. Berikut ini
tabel kalkulasi jumlah darah pada ibu hamil (Cunningham FG, 2010)

Tabel 4. Kalkulasi Jumlah Darah pada Ibu Hamil (dimodifikasi oleh


Leveno dan Colleagues) (Cunningham FG, 2010)

Volume darah ibu yang tidak hamil


{Tinggi Badan (inci) x 50} + {Berat Badan (pon) x 25} = Jumlah Darah
ml
2
Volume darah ibu hamil

Bervariasi sekitar 30%-60% yang dihitung dari volume saat tidak


hamil.
Meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan dan menetap
pada usia kehamilan 34 minggu.
Biasanya lebih besar dengan range kadar hematokrit < normal (30)
dan lebih kecil dengan range kadar hematokrit > normal (38).
Peningkatan rata-rata sekitar 40%-80% pada kehamilan multifetus.
Peningkatan rata-rata kurang pada preeklampsia variasi volume
berbanding terbalik dengan keparahan.

Volume darah post partum dengan perdarahan


Terjadi perubahan yang cepat akibat kembalinya hemodinamik seperti
sebelum hamil dengan resusitasi cairan karena hipervolemia
kehamilan tidak akan tercapai lagi.

Diagnosis perdarahan post partum dipermudah apabila pada tiap-


tiap persalinan setelah anak lahir secara rutin diukur pengeluaran darah
dalam kala III dan satu jam sesudahnya.(Maughan KL, 2006) Gambaran
perdarahan postpartum yang dapat mengecohkan adalah kegagalan nadi
dan tekanan darah mengalami perubahan besar sampai terjadi kehilangan
darah sangat banyak.(Leduc et al, 2009)

13
Wanita normotensif mungkin sebenarnya mengalami hipertensi
sebagai respons terhadap perdarahan, paling tidak pada awalnya. Selain
itu, wanita yang sudah mengalami hipertensi mungkin dianggap
normotensif walaupun sebenarnya mengalami hipovolemia berat. Yang
membahayakan, hipovolemia ini mungkin belum diketahui sampai tahap
sangat lanjut.(Maughan KL, 2006) Di samping menyebabkan kematian,
perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan infeksi puerperal
karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa
menyebabkan sindroma Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis
pars anterior sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut. Gejala-gejalanya
ialah asthenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai
menimbulkan kakheksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat
genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme
dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.(Cunningham FG, 2010)
Diagnosis dari perdarahan post partum harus jelas, kecuali pada
kasus dengan akumulasi darah intrauterin dan intravaginal tidak ditemukan,
atau dalam beberapa kasus terjadi ruptur uteri dengan perdarahan
intraperitoneal. Perbedaan antara pendarahan akibat atonia uteri dan
laserasi jalan lahir ditentukan oleh predisposisi faktor risiko dan kondisi
rahim. Jika perdarahan berlanjut meskipun rahim berkontraksi dengan baik
maka penyebab pendarahan yang paling mungkin adalah dari laserasi.
Darah yang berwarna merah segar juga menunjukkan darah berasal dari
pembuluh darah arteri yang robek akibat laserasi. Untuk mengkonfirmasi
bahwa laserasi adalah penyebab perdarahan, pemeriksaan hati-hati pada
vagina, porsio, dan cavum uteri sangat penting.(Cunningham FG, 2010)
Kadang-kadang perdarahan dapat disebabkan oleh atoni uteri dan
trauma, terutama setelah melahirkan operasi besar. Jika mudah diakses,
seperti dengan analgesia konduksi, pemeriksaan porsio dan vagina harus
dilakukan setiap persalinan untuk mengidentifikasi perdarahan dari
laserasi. Palpasi dari uterus dan pemeriksaan porsio serta vagina secara
keseluruhan sangatlah penting setelah versi podalic internal dan ekstraksi

14
sungsang. Hal yang sama berlaku ketika perdarahan yang tidak biasa
diidentifikasi selama kala II persalinan.(Cunningham FG, 2010)

5.1 Tone (Tonus)


Tonus menggambarkan kontraksi uterus setelah melahirkan.
Adanya abnormalitas kontraksi akan menyebabkan terjadinya perdarahan
yang hebat. Kontraksi ini diperlukan untuk menjepit arteri-arteri di tempat
bekas plasenta berinsersi di uterus. Keadaan dimana setelah persalinan
uterus tidak berkontraksi disebut sebagai atonia uteri. Faktor predisposisi
terjadinya atonia uteri antara lain overdistensi uterus karena adanya
polihidramnion, kehamilan multi ataupun janin besar, kelelahan otot-otot
uterus yang disebabkan oleh persalinan yang cepat, partus lama atau
paritas yang tinggi, infeksi intra amnion seperti chorioamnionitis, ketuban
pecah dini dan adanya distorsi fungsional atau anatomis uterus seperti
jaringan fibroid, plasenta previa dan abnormalitas uterus. Faktor-faktor
metabolik diduga ikut berkontribusi terjadinya atonia uteri. Untuk
mempertahankan kontraksi yang adekuat diperlukan suplai oksigen dan
zat-zat lain yang mendukung metabolisme aerobic otot-otot miometrium.
Adanya hipoksia atau asidosis oleh beberapa sebab, termasuk insufisiensi
respirasi, ketoasidosis diabetika, dan infeksi atau sepsis akan mengganggu
metabolisme otot uterus. Persalinan yang sulit atau adanya obstruksi dapat
menyebabkan atonia uteri dengan mekanisme yang sangat kompleks dan
melibatkan adanya kelelahan otot, metabolisme laktat dan deplesi glikogen.
Atonia uteri merupakan penyebab utama terjadinya perdarahan post
partum. Dilaporkan terjadi pada 70% kasus, baik setelah persalinan
pervaginam spontan, persalinan pervaginam dengan bantuan alat, ataupun
persalinan perabdominam, dimana uterus gagal berkontraksi dengan baik
setelah persalinan.(B-Lynch, et al, 2006)

15
Gambar 2. Atonia Uteri (Anderson, et al, 2007)
Faktorfaktor predisposisi atonia uteri : (B-Lynch, et al, 2006)
1. Usia
2. Etnis
3. Indeks Massa Tubuh
4. Paritas
5. Kehamilan dengan penyakit penyerta
6. Kehamilan lewat bulan
7. Uterus yang terlalu regang (hidramnion, kehamilan multipel,
makrosomia janin)
8. Fibroid
9. Perdarahan antepartum
10. Riwayat perdarahan post partum sebelumnya
11. Riwayat operasi sesarean sebelumnya
12. Risiko intrapartum (induksi persalinan, partus lama,
khorioamnionitis)
13. Anemia berat
14. Pimpinan kala III yang salah
15. IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban
(koagulopati)

16
Tabel 5. Faktor risiko terjadinya atonia uteri

(Sumber : B-Lynch C, Keith LG, Lalonde AB, et al. A Text Book of


Postpartum Haemorrhage : A comprehensive guide to evaluation,
management and surgical intervention. 1st ed. Sapiens Publishing.
2006)
Gejala dan tanda yang selalu ada:
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2. Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan post partum primer)
Gejala dan tanda yang kadang ada adalah syok (tekanan darah
rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual, dan
lain-lain).(Wiknjosastro, et al, 2005)

5.2 Tissue (Jaringan)


A. Retensio Plasenta
Apabila plasenta belum lahir 30 menit setelah janin lahir, hal ini
dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi
belum dilahirkan. Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi
perdarahan, tapi apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan
yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.

17
- Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena :
- Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva)
Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh karena villi korialis
menembus desidua sampai miometrium.(Poggi SH, 2007)
Retensio plasenta dan selaput ketuban menyebabkan 5-10%
perdarahan postpartum. Sisa jaringan konsepsi, sisa plasenta atau
membran dapat menyebabkan perdarahan. Pemeriksaan plasenta dan
membran dapat meningkatkan kecurigaan bahwa jaringan tetap di dalam
rahim. Eksplorasi manual rutin rahim tidak diindikasikan, namun, prosedur
ini harus dilakukan jika perdarahan yang berlebihan.(Poggi SH, 2007)
Temuan pada ultrasonografi, massa di cavum uteri yang echogenic
sangat mendukung diagnosis retensio plasenta. Teknik ini lebih baik
digunakan pada kasus-kasus perdarahan yang terjadi beberapa jam
setelah persalinan atau pada perdarahan postpartum lanjut. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa sonohisterographi membantu dalam diagnosis sisa
jaringan trofoblas. Jika rongga endometrium tampak kosong, dilatasi dan
kuretase postpartum tidak perlu dilakukan.(Poggi SH, 2007)

B. Plasenta Akreta, inkreta, dan perkreta.


Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah waktu ini tidak selalu
jelas, tetapi cukup sering yang disebabkan oleh kontraksi uterus yang tidak
adekuat. Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat
implantasi. Apabila plasenta tertanam kuat dengan cara ini maka kondisinya
disebut plasenta akreta. Istilah plasenta akreta digunakan untuk
menjelaskan semua implantasi plasenta yang perlekatannya ke dinding
uterus terlalu kuat. Vilus plasenta yang melekat ke miometrium (plasenta
akreta), menginvasi miometrium (plasenta inkreta), atau menembus
miometrium (plasenta perkreta). Perlekatan abnormal ini mungkin
melibatkan seluruh kotiledon (plasenta akreta totalis), sedikit sampai
beberapa kotiledon (plasenta akreta parsialis), atau sebuah kotiledon
(plasenta akreta fokal). Morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan oleh

18
perdarahan berat, perforasi uterus, dan infeksi. Insidensi plasenta akreta,
inkreta, dan perkreta telah meningkat karena meningkatnya angka seksio
sesarea. Dahulu, bentuk tersering penatalaksanaan "konservatif" adalah
pengeluaran secara manual sebanyak mungkin plasenta dan menampon
uterus. Dalam ulasan oleh Fox (1972), 25% wanita yang ditangani secara
konservatif meninggal. Dengan demikian, terapi paling aman bagi kasus
seperti ini adalah histerektomi segera.(Anderson J, 2007)

5.3 Trauma

A. Inversio Uteri
Inversi total uterus setelah janin lahir hampir selalu disebabkan oleh
tarikan kuat terhadap tali pusat yang melekat ke plasenta yang tertanam di
fundus.(Cunningham FG, 2010) Plasenta akreta mungkin berperan, walaupun
inversio uteri dapat terjadi meski plasenta tidak terlalu lekat. (Anderson J, 2007)
Diagnosis ditegakkan dengan terabanya cekungan mirip kawah melalui
abdomen dan pada palpasi melalui vagina teraba dinding fundus di segmen
bawah dan serviks.(Poggi SH, 2007)
B. Laserasi Perineum
Semua laserasi perineum, kecuali yang paling superfisial, disertai
oleh cedera bagian bawah vagina dengan derajat bervariasi. Robekan
semacam ini dapat cukup dalam untuk mencapai sfingter anus dan dapat
meluas menembus dinding vagina dengan kedalaman bervariasi. (Cunningham
FG, 2010) Perbaikan laserasi ini harus menjadi bagian dari setiap operasi untuk
memulihkan laserasi perineum. Apabila otot dan fasia vagina dan perineum
di bawahnya tidak dijahit, pintu keluar vagina dapat mengendur dan
memudahkan terbentuknya rektokel dan sistokel.(Anderson J, 2007)
Laserasi dan hematoma yang diakibatkan trauma jalan lahir dapat
menyebabkan kehilangan darah yang signifikan, hal ini dapat diatasi
dengan mengatasi hemostasis secara cepat dan akurat. Jahitan dilakukan
dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan. Episiotomi dapat
menimbulkan kehilangan darah yang signifikan dan meningkatkan risiko
ruptur pada sfingter ani. Prosedur rutin episiotomi harus dihindari kecuali

19
pada persalinan yang membutuhkan waktu singkat untuk melahirkan bayi
(fetal distress, after coming head) dan perineum yang kaku.(Anderson JM, 2007)
C. Laserasi Vagina
Laserasi terbatas yang mengenai sepertiga tengah atau atas vagina
tetapi tidak berkaitan dengan laserasi perineum atau serviks. Laserasi ini
biasanya longitudinal dan sering terjadi akibat cedera yang melibatkan
tindakan forseps atau vakum, tetapi dapat juga terjadi pada pelahiran
spontan. Laserasi ini sering meluas dalam menuju jaringan di bawahnya
dan dapat menimbulkan perdarahan bermakna yang biasanya dapat diatasi
dengan penjahitan yang tepat. Laserasi ini mungkin terlewatkan kecuali
apabila dilakukan inspeksi yang cermat terhadap vagina bagian atas.
Laserasi dinding anterior vagina yang terletak dekat uretra sering terjadi.
Apabila laserasinya cukup besar sehingga diperlukan perbaikan, dapat
terjadi kesulitan berkemih sehingga perlu dipasang kateter
terfiksasi.(Cunningham FG, 2010)
D. Cedera Levator Ani
Cedera ini terjadi akibat peregangan berlebihan jalan lahir. Serat-
serat otot terpisah dan berkurangnya tonus serat-serat ini mungkin dapat
mengganggu fungsi diafragma panggul.(Cunningham FG, 2010)
E. Cedera Pada Serviks
Serviks mengalami laserasi pada lebih dari separuh pelahiran per
vaginam. Sebagian besar laserasi ini berukuran kurang dari 0,5 cm.
Robekan serviks yang dalam dapat meluas ke sepertiga atas vagina.
Cedera ini kadang-kadang terjadi setelah rotasi forseps yang sulit atau
pelahiran yang dilakukan pada serviks yang belum membuka penuh
dengan daun forseps terpasang pada serviks. Meski jarang, robekan
serviks dapat meluas ke segmen bawah uterus dan arteri uterina serta
cabang-cabang besarnya dan bahkan ke peritoneum. Robekan ini mungkin
sama sekali tidak diperkirakan, tetapi umumnya bermanifestasi sebagai
perdarahan eksternal yang deras atau pembentukan hematom. Robekan
luas di rongga vagina harus dieksplorasi secara hati-hati. Apabila ada
kecurigaan perforasi peritoneum, atau perdarahan retro atau

20
intraperitoneum, perlu dipertimbangkan laparotomi. Pada cedera separah
ini, eksplorasi intrauterin untuk mencari kemungkinan ruptur juga harus
dilakukan. Biasanya diperlukan perbaikan secara bedah, serta anestesi
yang efektif, transfusi darah dalam jumlah besar, dan asisten yang
cakap.(Cunningham FG, 2010)
Robekan serviks yang dalam memerlukan perbaikan bedah.
Visualisasi paling jelas diperoleh apabila asisten melakukan tekanan kuat
pada uterus ke arah bawah sementara operator menarik bibir-bibir serviks
dengan forseps ovum atau spons. Karena perdarahan biasanya datang dari
sudut atas luka, maka jahitan pertama dipasang tepat di atas sudut dan
diarahkan ke operator. Laserasi vagina yang menyertai dapat ditampon
dengan kassa untuk menghambat perdarahan, sementara dilakukan
perbaikan laserasi serviks. Dapat digunakan jahitan interrupted atau jelujur
dengan benang yang dapat diserap.(Cunningham FG, 2010)
a. Hematom Puerperium.
Insidensi hematom puerperium diketahui berkisar dari 1 per 300
sampai 1 per 1000 pelahiran. Nuliparitas, episiotomi, dan pelahiran dengan
forseps merupakan faktor risiko yang paling sering terkait. Namun, pada
banyak kasus lain, hematom terjadi setelah cedera pembuluh tanpa laserasi
jaringan superfisial. Hal ini dapat terjadi pada pelahiran spontan atau
dengan tindakan. Kadang-kadang hematom terbentuk belakangan.
Hematom masa nifas ini dapat diklasifikasikan sebagai hematom vulva,
vulvovagina, paravagina, atau retroperitoneal. Hematom vulva paling sering
melibatkan cabang-cabang arteri pudenda, termasuk arteri labialis
posterior, perineneum lateralis, atau rektalis posterior.(Cunningham FG, 2010)

Hematom subperitoneum dan supravagina lebih sulit diterapi. Hematom


jenis ini dapat dievakuasi dengan insisi perineum, tetapi apabila terjadi
hemostasis komplit, yang sulit dicapai dengan insisi, disarankan tindakan
laparotomi.(Cunningham FG, 2010)
Embolisasi angiografik. Teknik ini populer untuk mengatasi
hematoma puerperium yang parah. Teknik ini dapat digunakan secara
primer, atau biasanya apabila hemostasis dengan metode bedah gagal.

21
Alvarez dan rekan (1992) serta Hsu dan Wan (1998) telah mengulas
berbagai indikasi untuk embolisasi angiografik dan melaporkan kasus-
kasus yang menerapkan teknik ini.(Cunningham FG, 2010)
b. Ruptur Uteri.
Insidensi ruptur uteri mungkin cukup bervariasi antar institusi.
Walaupun frekuensi ruptur uteri dari semua kausa mungkin tidak banyak
menurun selama beberapa dekade terakhir, namun etiologi ruptur telah
cukup banyak berubah dan hasil akhirnya sudah jauh lebih baik. Kausa
tersering ruptur uteri adalah terpisahnya jaringan parut dari seksio sesarea
sebelumnya. Hal ini meningkat karena timbulnya kecenderungan untuk
melakukan partus percobaan pada kehamilan dengan riwayat seksio
sesarea. Faktor predisposisi ruptur uteri lain yang sering dijumpai adalah
riwayat manipulasi atau operasi traumatik misalnya kuretase, perforasi,
atau miomektomi. Pada pemeriksaan dalam (vaginal touche), kadang-
kadang kita dapat meraba robekan di dinding uterus yang dapat dilewati
oleh jari untuk mencapai rongga peritoneum. Tidak terdeteksinya robekan
bukan berarti bahwa tidak terjadi ruptur uteri.(Cunningham FG, 2010)

5.4 Trombin
Kelainan trombin merupakan salah satu penyebab perdarahan post
partum. Dapat berupa gangguan sistem koagulasi dan trombosit, namun
jarang menimbulkan perdarahan post partum yang segera, karena adanya
peranan efisiensi kontraksi dan retraksi uterus dalam mencegah
perdarahan. Deposisi fibrin pada daerah penanaman plasenta serta bekuan
didalam pembuluh darah memegang peranan penting dalam beberapa jam
dan beberapa hari setelah persalinan. Abnormalitas bisa telah terjadi
sebelumnya atau didapat. Trombositopeni bisa berhubungan dengan
penyakit yang telah ada sebelumnya, ataupun akibat kelainan fungsi dari
trombosit, walaupun kadang tidak terdiagnosis sebelumnya.
Didefinisikan trombositopenia apabila jumlah trombosit dibawah
150.000/mm3, yang disebabkan oleh destruksi trombosit yang lebih cepat
dari normal atau produksi yang menurun. Diklasifikasikan menjadi : (Asif,

Hassan, 2010)

22
1. Ringan (100 150 x 103/mm3)
2. Sedang (50 100 x 103/mm3)
3. Berat (< 50.000/mm3)
Umumnya, trombositopenia disebabkan oleh : (Asif, Hassan, 2010)
1. Produksi trombosit yang berkurang
2. Destruksi trombosit yang meningkat
3. Penimbunan trombosit pada limfa
Trombositopenia dialami oleh kurang lebih 10% wanita hamil. Dapat
disebabkan oleh berbagai penyebab, mulai kelainan ringan seperti
trombositopenia gestasional, sampai sindroma yang mengancam nyawa
seperti sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver function test, and low
trombosit syndrome). Banyak dari kelainan-kelainan tersebut yang
memberikan gambaran klinis yang serupa, sehingga menyulitkan
penegakkan diagnosis. Untuk itu diperlukan pemeriksaan lanjutan agar
dapat ditegakkan diagnosis yang akurat untuk selanjutnya ditatalaksana
optimal, agar dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas ibu dan
anak.(Asif, Hassan, 2010)
Penyebab umum trombositopenia maternal : (Asif, Hassan, 2010)

1. Trombositopenia Gestasional
2. Immune thrombocytopenic Purpura
3. Preeklamsia dan Sindrome HELLP
4. Thrombotic Thrombocytopenic Purpura (TTP)
5. Hemolytic Uremic Syndrome (HUS)
6. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), Systemic Lupus
Erythematosis (SLE)
7. Anti-Phopholipid Antibodies syndrome (APLA)
8. Obat-obatan (mis. Heparin)

23
6. Penatalaksanaan

Bila perdarahan post partum terjadi harus ditentukan dulu kausa


perdarahan itu dan penatalaksanaannya dilakukan secara simultan meliputi
perbaikan tonus uterus, evakuasi jaringan sisa, dan penjahitan luka terbuka
disertai dengan persiapan koreksi faktor pembekuan. Tahapan
penatalaksanaan perdarahan post partum berikut ini dapat disingkat
dengan istilah HAEMOSTASIS.(Chandraharan E, Arulkumaran S, 2005)

a. Ask for HELP

Segera meminta pertolongan, atau dirujuk ke rumah sakit bila


persalinan di bidan / PKM. Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli anestesi dan
hematologis sangat penting.(Chandraharan E, Arulkumaran S., 2005) Pendekatan multi
disipliner dapat mengoptimalkan monitoring dan pemberian cairan.
Monitoring elektrolit dan parameter koagulasi adalah data yang penting
untuk penentuan tahap tindakan berikutnya.(Schellenberg JC, 2003)

b. Assess and resuscitate

Penting sekali untuk segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat
mungkin dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik
overestimate jumlah darah yang hilang dan bersikap proaktif daripada
underestimate dan bersikap menunggu / pasif. Nilai tingkat kesadaran, nadi,
tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen harus
dimonitor. Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus
segera diambil spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin, profil
pembekuan darah, elektrolit dan penentuan golongan darah, serta
crossmatch (RIMOT = resusitasi, infus 2 jalur, monitoring keadaan umum,
nadi dan tekanan darah, oksigen, team approach). Diberikan cairan
kristaloid dan koloid secara cepat sambil menunggu hasil
crossmatch.(Chandraharan E, Arulkumaran S., 2005)

24
c. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood

Sambil melakukan resusitasi juga dilakukan upaya menentukan


etiologi perdarahan post partum. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan
bebas di abdomen, bila ada risiko trauma (bekas seksio sesarea, partus
buatan yang sulit) atau bila kondisi pasien lebih buruk daripada jumlah
darah yang keluar. Harus dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput
plasenta yang telah berhasil dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat
morbidly adherent placentae saat seksio sesarea dapat diupayakan
haemostatic sutures, ligasi arteri hipogastrika dan embolisasi arteri uterina.
Morbidly adherent placentae sering terjadi pada kasus plasenta praevia
pada bekas seksio sesarea. Bila hal ini sudah diketahui sebelumnya, dr.
Sarah P. Brown dan Queen Charlotte Hospital (Labour ward course)
menyarankan untuk tidak berupaya melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan
intrauterin dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian metotreksat seperti
pada kasus kehamilan abdominal. Bila retensio plasenta / sisa plasenta
terjadi setelah persalinan pervaginam, dapat digunakan tamponade uterus
sementara menunggu kesiapan operasi / laparotomi.(Chandraharan E, Arulkumaran
S., 2005)

d. Massage the uterus

Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera


ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika.
Bila uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi bimanual interna dengan
menggunakan kepalan tangan kanan di dalam uterus dan telapak tangan
kiri melakukan masase di fundus uteri.(Chandraharan E, Arulkumaran S., 2005)

Medisinalis (regimen - regimen)


Dapat diberikan oksitosin (Syntocinon ) 40 unit dalam 500 cc normal
salin dan dipasang dengan kecepatan 125 cc/jam. Hindari kelebihan cairan
karena dapat menyebabkan edema pulmoner hingga edema otak yang
pada akhimya dapat menyebabkan kejang karena hiponatremia. Hal ini

25
timbul karena efek antidiuretic hormone (ADH) - like effect dan oksitosin.
Jadi monitoring ketat input dan output cairan sangat esensial dalam
pemberian oksitosin dalam jumlah besar.(Schellenberg JC, 2003)
Ergometrin dapat diberikan secara intramuskuler atau intravena
dengan dosis awal 0,2 mg (secara perlahan). Dosis lanjutan 0,2 mg setelah
15 menit bila masih diperlukan. Pemberian ergometrin dapat diulang setiap
2-4 jam bila masih diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg atau 5 dosis
per hari. Ergometrin tidak boleh diberikan / kontraindikasi pada
preeklampsia, vitium cordis, dan hipertensi. Bila perdarahan post partum
tidak berhasil dengan pemberian ergometrin atau oksitosin, dapat diberikan
misoprostol per rektal 800-1000 ug.(Schellenberg JC, 2003)
Selain resusitasi cairan dan pemberian obat-obat uterotonik pada
perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah, bahkan juga diperlukan
pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk menggantikan faktor
pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan pemberian 1 liter FFP (15
ml/kg) setiap 6 unit darah. Pertahankan trombosit di atas 50.000, bila perlu
diberikan transfusi trombosit. Cryopresipitat direkomendasikan bila terjadi
DIC yang ditandai dengan kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L).(Schellenberg JC,
2003)

Operatif (prosedure teknis operatif)

a. Shift to theatre

Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke


ruang operasi. Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa
plasenta atau selaput ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan, segera
lakukan tindakan kuretase. Kompresi bimanual dilakukan selama ibu
dibawa ke ruang operasi.(Chandraharan E, Arulkumaran S., 2005)

b. Tamponade intra uterine or uterine packing

Pada keadaan perdarahan masih berlangsung setelah langkah-


langkah di atas, pikirkan juga kemungkinan adanya koagulopati yang

26
menyertai atonia yang refrakter. Tamponade uterus dapat membantu
mengurangi perdarahan. Tindakan ini juga dapat memberi kesempatan
koreksi faktor pembekuan. Segera libatkan tambahan tenaga dokter
spesialis kebidanan dan hematologis, juga menyiapkan ruang ICU. Dapat
dilakukan tamponade test dengan menggunakan Tube Sengstaken, yang
mempunyai nilai prediksi positif 87% untuk menilai keberhasilan
penanganan PPP. Bila pemasangan tube tersebut mampu menghentikan
perdarahan berarti pasien tidak memerlukan tindakan bedah lebih lanjut.
Akan tetapi bila setelah pemasangan tube perdarahan masih tetap masif
maka pasien harus menjalani tindakan bedah. Pemasangan tamponade
uterus dengan menggunakan baloon relatif mudah dilaksanakan dan hanya
memerlukan waktu beberapa menit. Tindakan ini dapat menghentikan
perdarahan, mencegah koagulopati karena perdarahan masif dan
kebutuhan tindakan bedah. Hal ini perlu dilakukan pada pasien yang tidak
membaik dengan terapi medis. Walaupun saat ini yang paling banyak
dipakai adalah Sengstaken - Blakemore oesophageal catheter (SBOC),
dapat juga dipakai Rush urological hydrostatic baloon dan Bakri SOS
baloon. Biasanya dimasukkan 300-400 cc cairan untuk mencapai tekanan
yang cukup adekuat sehingga perdarahan berhenti. Balon tamponade ini
dilengkapi alat untuk membaca tekanan intrauterin sehingga dapat
diupayakan mencapai tekanan mendekati tekanan sistolik untuk
menghentikan perdarahan. Saat ini alat tersebut sedang dalam proses uji
klinik setelah sukses dengan pemakaian balon SBOC.(Chandraharan E, Arulkumaran
S., 2005)

c. Apply compression suture

Harus selalu dipertimbangkan antara mempertahankan hidup dan


keinginan mempertahankan fertilitas. Sebelum mencoba setiap prosedur
bedah konservatif harus dinilai ulang keadaan pasien berdasarkan
perkiraan jumlah darah yang keluar, perdarahan yang masih berlangsung,
keadaan hemodinamik dan paritasnya. Keputusan untuk melakukan
laparotomi harus cepat setelah melakukan informed consent terhadap

27
segala kemungkinan tindakan yang akan dilakukan di ruang operasi. Ikatan
kompresi, pertama kali diperkenalkan oleh Christopher B-Lynch sehingga
tindakan tersebut dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch suture). Benang
yang dapat dipakai adalah kromik catgut no.2, Vicryl 0 (Ethicon), chromic
catgut 1 dan PDS 0 tanpa adanya komplikasi. Akan tetapi perlu diingat
bahwa tindakan B-Lynch ini harus didahului test tamponade yaitu upaya
menilai efektifitas tindakan B-Lynch dengan cara kompresi bimanual uterus
secara langsung di meja operasi. Penting sekali kerjasama yang baik
dengan ahli anestesi untuk menilai kemampuan pasien bertahan lebih lanjut
dalam keadaan perdarahan bila upaya konservatif gagal. Khususnya di
negara Indonesia, karena pasien seringkali datang ke tempat rujukan dalam
keadaan sudah kehilangan banyak darah dan cadangan darah yang minim
atau tidak ada. Dalam keadaan ini, lebih bijaksana bila klinisi langsung
melakukan histerektomi, daripada melakukan upaya konservatif. Upaya
bedah konservatif hanya dilakukan bila kondisi pasien stabil.(Chandraharan E,
Arulkumaran S., 2005)

d. Systemic Pelvic Devascularization


1. Ligasi a. uterine
2. Ligasi a. Hipogastrika

e. Subtotal or total abdominal hysterectomy

28
Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Perdarahan Post Partum

29

Anda mungkin juga menyukai