SKRIPSI
PENELITIAN QUASY-EXPERIMENTAL
Oleh:
Komsiatiningsih
NIM. 131311123033
SKRIPSI
PENELITIAN QUASY-EXPERIMENTAL
Oleh:
Komsiatiningsih
NIM. 131311123033
SURAT PERNYATAAN
Saya bersumpali bahwa skripsi ini adalab basil karya sendiri dan belum pemali
lUUt [ 1- 1^ Al]
Yang Menyatakan,
M P EL
A4ADF798211524
RiaURUPtAH
Komsiatiningsih
NIM: 131311123033
2 MOTTO
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya yang telah diberikan sehingga proposal penelitian yang berjudul PROGRAM
karya tulis ilmiah ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak
yang telah memberi dukungan, bimbingan, serta arahan baik moral maupun material.
Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang
terhormat:
Airlangga yang telah banyak memberikan ilmu serta dukungan kepada penulis
2. Dr. Joni Haryanto, S.Kp., M.Si., selaku pembimbing I yang telah menyediakan
4. Retno indarwati S.Kep.,Ns, M.Kep., selaku dewan penguji yang telah bersedia
menguji, memberikan saran dan bimbingan dan waktu pada penulis untuk
menyelesaikan skripsi.
5. Drs Setyo Budi, MM., selaku kepala Unit Pelaksana Teknis Pelayanan sosial
Lanjut Usia (UPT PSLU) Magetan yang telah memberikan izin, bantuan,
6. Seluruh pegawai kepala Unit Pelaksana Teknis Pelayanan sosial Lanjut Usia
7. Seluruh lansia dan responden di UPT PSLU Magetan yang telah bersedia
10. Orang tua dan keluarga yang selalu memberi semangat, motivasi dan doa pada
11. Anakku tersayang Affan Jazir Akhmal yang selalu memberi motivasi dan
12. Kedua sahabat saya yang selalu memberi inspirasi, motivasi dan semangat untuk
Keperawatan UNAIR, yang selalu berbagi ceria dan saling mendukung dalam
suka dan duka, terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini
telah memberikan kontribusi dalam proses penyelesaian skripsi ini sehingga penulis
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik isi
atau cara penulisannya.Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya
Penulis
ABSTRACT
Sleep is human basic need which has to be fulfilled by each person. One of
non-pharmacological intervention to enhance sleep was aerobic exercise and
progressive muscle relaxation training, it can stimulate optimal melatonin secretion
and beta-endhorphin to help sleep improvement in elderly and mechanism of
progressive muscle relaxation with using principle of sympathetic and
parasympathetic nervous system theory. The purpose of this study was to analyze the
influence of routine aerobic exercise program and progressive muscle relaxation
training to the latency and sleep duration on elderly.
This study was used quasy-experiment design. Total sample was 20 elderly at
UPT PSLU Magetan, devided into experiment and control group. Variable
independent were routine aerobic exercise program and progressive muscle relaxation
training, while variable dependent were latency and sleep duration on elderly. Data
were collected by using structured interview. Data were then examine by using paired
t-test and independent t-test with level of significance <0.05.
The result had showed that sleep latency and duration on elderly after
intervention. The improvement of sleep latency based on paired t-test showed
p=0.000 for intervention group and p=0.726 for control group and independen t-test
p=0.000 for post intervention and post control. Duration of sleep based on paired t-
test had p=0.000 for intervention group and p=0.591 for control group and
independen t-test p=0.000 for post intervention and post control.
It can be concluded that routine aerobic exercise program and progressive
muscle relaxation training can be used as one of alternative intervention to enhance
latency and sleep duration on elderly. Routine aerobic exercise program and
progressive muscle relaxation training affect fulfillment of sleep need for elderly.
Further research should involued bigger number of elderly as samples.
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Identifikasi Masalah Pengaruh Program Rutin Exercise Aerobik Dan
Pemberian Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Latensi Dan
Durasi Tidur Pada Lansia Di UPT PSLU Magetan ... 7
Gambar 2.1 Model Healthy Aging dengan faktor-faktornya. 13
Gambar 2.3 Hubungan antara faktor resiko dengan penyakit degeneratif para lanjut
usia.. 14
Gambar 2.3 Pemanasan 1..... 40
Gambar 2.4 .... Pemanasan 2........................................................................ 41
Gambar 2.5 Pemanasan 3 ......................................................................................... 41
Gambar 2.6 Pemanasan 4 ......................................................................................... 42
Gambar 2.7 Pemanasan 5......................................................................................... 42
Gambar 2.8 Pemanasan 6 ......................................................................................... 43
Gambar 2.9 Pemanasan 7 ......................................................................................... 43
Gambar 2.10 Peralihan ............................................................................................... 44
Gambar 2.11 Inti 1.......45
Gambar 2.12 Inti 2.......45
Gambar 2.13 .Inti 3 .................................................................................................... 46
Gambar 2.14 Inti 4 ..................................................................................................... 46
Gambar 2.15 Inti 5 ..................................................................................................... 47
Gambar 21.6 Inti 6 ..................................................................................................... 47
Gambar 2.17 Inti 7 ..................................................................................................... 48
Gambar 2.18 Inti 8 ..................................................................................................... 48
Gambar 2.19 Inti 9 ..................................................................................................... 49
Gambar 2.20 Pendinginan 1 ...................................................................................... 49
Gambar 2.21 Pendinginan 2... 50
Gambar 2.22 Pendinginan 3...... 50
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
DAFTAR SINGKATAN
3 BAB I
PENDAHULUAN
pertambahan jumlah lanjut usia. Abad 21 merupakan abad lanjut usia (era of
population aging). Dari data BPS diperkirakan mulai tahun 2010 akan terjadi
penduduk lanjut usia akan mencapai 9,77% dari total jumlah penduduk sekitar 23,9
juta dan tahun 2010 dan menjadi 11,34% pada tahun 2020 atau tercatat 28,8 juta
orang (Efendi, 2009). Seiring perubahan usia, tanpa disadari lanjut usia akan
mengalami perubahan fisik, psikososial dan spiritual. Salah satu perubahan tersebut
adalah perubahan kualitas tidur baik latensi atau durasi tidur pada lansia.
usia 65 tahun ke atas melaporkan mengalami gangguan tidur yang disebabkan oleh
berbagai faktor seperti pensiun, kematian pasangan atau teman dekat, peningkatan
sekitar 50% orang yang berusia 65 tahun. Insomnia adalah gangguan tidur yang
paling sering ditemukan, setiap tahun diperkirakan sekitar 20% sampai dengan 50%
lansia melaporkan adanya insomnia dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang
serius. Pravelensi insomnia pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67 % (Budi, 2011).
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan pada bulan Oktober
2014 didapatkan jumlah lansia di UPT PSLU Magetan sebanyak 87 lansia, maka
diperoleh data 44 orang mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur yang dialami
bervariasi mulai dari kesulitan untuk memulai tidur yaitu membutuhkan waktu lebih
dari 30 menit untuk tertidur, sering terbangun di malam hari hingga jumlah waktu
tidur yang kurang dari 4 jam. Dari 44 Lansia yang mengalami gangguan tidur, 45%
dari Lansia tersebut melaporkan membutuhkan waktu lebih dari 30 menit untuk tidur
(latensi tidur) dan 55% lainnya mengalami durasi tidur yang kurang dari 6 jam.
manusia, kurang lebih dari sepertiga kehidupan dijalankan dengan aktifitas tidur.
Pada kondisi tidur, individu berada dalam kondisi yang tidak sadar yakni persepsi
berpengaruh terhadap penurunan dari periode tidur. Kebutuhan tidur akan berkurang
dari usia bayi sampai usia lanjut. Perubahan kualitas tidur pada lansia disebabkan
oleh kemampuan fisik lansia yang semakin menurun. Kemampuan fisik menurun
karena kemampuan organ dalam tubuh yang menurun, seperti jantung, paru-paru, dan
ginjal. Penurunan kemampuan organ mengakibatkan daya tahan tubuh dan kekebalan
oleh suatu sistem mekanisme khusus yang disebut sebagai irama sirkadian (circadian
rhythm).
Irama sirkadian merupakan pola bioritme yang selama rentang waktu 24 jam
fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormon,
kemampuan sensorik dan suasana hati (Potter & Perry, 2005). Irama sirkadian diatur
sekresi hormon, pengaturan suhu tubuh, suasana hati dan kemampuan performa
(Kunert & Kolkhorst, 2007). Siklus tidur secara fisik dipengaruhi oleh beberapa
(Gamma Amino Butyric Acid), galanin, adenosin, serotonin, dan hormon melatonin.
Hormon ini masing masing disekresi secara teratur oleh kelenjar hipofisis anterior
kadar hormon dalam tubuh berbeda beda pada setiap orang (Prasadja, 2009).
Sleep latency adalah lama waktu yang dibutuhkan lansia untuk jatuh tidur.
Lansia secara normal membutuhkan waktu untuk jatuh tidur sekitar 10-15 menit.
Kelatenan ini berhubungan dengan proses awal penurunan aktivitas RAS (Reticular
pengaturan suhu tubuh, sistem peredaran darah dan perubahan hormon, namun yang
pada lansia, mengalami perubahan pada hormon dan kemampuan pengaturan suhu
tubuh sehingga mempengaruhi lama waktu yang dibutuhkan untuk kelatenan tidur
Masalah lain yang sering dialami lansia adalah pemendekan durasi tidur.
Durasi tidur berhubungan dengan lamanya seseorang tertidur atau masuk dalam
tahapan-tahapan tidur yang dikenal dengan NREM (Non Rapid Eye Movement) dan
REM (Rapid Eye Movement). Normalnya, NREM berlangsung selama 60-90 menit
dalam satu siklus tidur sedangkan REM berkisar 20-25% selama tidur malam.
Kualitas tidur pada lansia mengalami perubahan yaitu tidur REM mulai memendek.
Penurunan progresif pada tahap NREM 3 dan 4 dan hampir tidak memiliki tahap 4.
Perubahan pola tidur lansia disebabkan perubahan sistem saraf pusat yang
Selama ini terdapat beberapa penanganan yang bisa diberikan pada pasien
benzodiazepine dan non farmakologis (Ganong, 2002). Salah satu terapi non
farmakologis yang dapat diberikan adalah olahraga secara rutin. Salah satu olahraga
yang meningkatkan pemenuhan tidur adalah olah raga kardiovaskular atau olahraga
aerobik yang melibatkan otot-otot besar seperti paha, yang dilakukan selama 15 menit
dan II Kelurahan Pabuaran menyebutkan bahawa lansia yang diberi perlakuan terapi
berirama dengan intensitas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang bertujuan untuk
dan yang bertujuan untuk melatih efisiensi sistem jantung, pembuluh darah dan
pernapasan (Kelly & Tracey, 2005). Untuk lansia disarankan tidak melakukan
aktifitas fisik yang terlalu membebani tulang. Latihan aerobik dilakukan minimal 3
hari dalam satu minggu (Gunters, 2002). Relaksasi otot progresif ditujukan untuk
melawan rasa tegang, cemas dan stres. Seseorang dapat menghilangkan kontraksi otot
dan mengalami rasa rileks dengan membedakan sensasi tegang dan rileks dengan cara
Salah satu bentuk olahraga aerobik yang sesuai dengan lansia adalah senam
secara rutin. Senam memiliki gerakan yang dinamis, mudah dilakukan, menimbulkan
rasa gembira dan semangat serta beban yang rendah. Salah satu senam yang cocok
untuk lansia adalah senam lansia. Frekuensi latihan yang berguna untuk
sebanyak-banyaknya lima kali dalam seminggu (Maryam dkk, 2008). Senam ini
merupakan olahraga yang ringan dan mudah dilakukan, dan tidak memberatkan.
Aktifitas olahraga ini membantu tubuh agar tetap bugar dan tetap segar karena dapat
melatih tulang menjadi kuat, mendorong jantung bekerja optimal dan membantu
vasodilatasi pada arteora & vena divasilitasi oleh pusat vasomotor, ada beberapa
macam vasomotor yaitu reflek baroreseptor, reflek femoreseptor, reflek brain, reflek
pernafasan. Dalam hal ini yang paling kuat yaitu reflek baroreseptor yang mana
relaksasi akan menurunkan aktifitas saraf simpatis dan epinefrin serta peningkatan
Berdasarkan masalah gangguan tidur berupa latensi dan durasi pada lansia,
salah satunya yakni dengan pemberian aktifitas latihan lansia secara rutin. Pemberian
tercapainya tidur yang dalam. Beberapa latihan sudah diterapkan untuk meningkatkan
kualitas tidur lansia, namun efektifitas latihan terhadap latensi dan durasi masih
belum jelas. Berdasar fenomena di atas penulis akan melakukan penelitian tentang
pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot
progresif terhadap latensi dan durasi tidur pada lansia di UPT PSLU Magetan.
Adanya proses aging maka akan terjadi gangguan pemenuhan tidur baik latensi atau
durasi. Masalah yang menjadi faktor penyebab gangguan pemenuhan tidur yakni proses
degeneratif tubuh, gangguan mental dan psikologi. Faktor penyebab gangguan tidur
antara lain antara lain penyakit, stress psikologis, obat, nutrisi, lingkungan, motivasi,
gaya hidup dan latihan. Dan apabila tidak diatasi faktor-faktor tersebut akan
Apakah ada pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik
relaksasi otot progresif terhadap latensi dan durasi tidur lansia di UPT PSLU
Magetan?
relaksasi otot progresif terhadap latensi dan durasi tidur lansia di UPT PSLU
Magetan.
rutin exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif terhadap
latensi dan durasi tidur lansia tidur lansia di UPT PSLU Magetan.
2. Mengidentifikasi durasi tidur lansia sebelum dan sesudah dilakukan program rutin
exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif terhadap latensi
relaksasi otot progresif terhadap latensi dan durasi tidur lansia tidur lansia di UPT
PSLU Magetan.
pemberian teknik relaksasi otot progresif terhadap latensi dan durasi tidur lansia tidur
lansia di UPT PSLU Magetan, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka dalam
1. Lansia
Program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif
dapat menjadi pilihan bagi lansia untuk mengatasi gangguan latensi dan durasi tidur
Program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif
diharapkan menjadi intervensi pilihan bagi perawat dalam menangani gangguan tidur
berupa latensi dan durasi tidur pada lansia di UPT PSLU Magetan.
3. Panti
Program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif
diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu metode alternatif dalam menangani
gangguan pemenuhan kebutuhan tidur berupa latensi dan durasi tidur pada lansia di
4. Bagi peneliti
rutin exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif terhadap latensi
4 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Lansia
Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Di Indonesia
istilah untuk kelompok lansia masih memiliki sebutan yang berbeda. Ada yang
menyebutkan istilah usia lanjut ada pula yang menyebutkan lanjut usia (Tamber &
Noorkasiani, 2009). Menua atau menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya
struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak bisa bertahan terhadap jejas (termasuk
usia :
1. Teori biologis
Darmojo dan Martono (2010) menjelaskan teori-teori proses menua antara lain:
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetic untuk spesies spesies
tertentu. Tiap spesies di dalam inti selnya mempunyai suatu jam genetik di yang telah
diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan
menghentikan replikasi sel bila tidak diputar. Jadi menurut konsep ini bila jam kita itu
berhenti kita akan meninggal dunia meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan
atau penyakit. Secara teoritis dapat memungkinkan memutar teori genetic clock meski
tertentu.
yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik, proses menua disebabkan radiasi dan
zat kimia dan menghindari zat kimia yang bersifat kardiogenik dapat memperpanjang
umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik,
yang salah sehingga akan mengurangi fungsional sel, maka akan terjadi kesalahan
yang makin banyak sehingga terjadilah catastrop (Suhana, 1994 dalam Darmojo &
Martono, 2010).
Teori rusaknya autoimun mutasi adalah suatu mutasi yang berulang atau
sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik
menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat
tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi
dasar terjadinya peristiwa autoimun (Goldstein, 1989 dalam Darmojo & Martono,
permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel
metabolisme sebagai faktor penghambat umur panjang dikemukakan pula oleh Ballin
dan Allen (1989) dikutip oleh Suhana (1994) dalam Darmojo & Martono (2010).
Menurut mereka ada hubungan antara tingkat metabolism dengan panjang umur.
laboratorium.
Dalam teori ini menyebutkan bahwa radikal bebas dapat terbentuk di alam
bebas, dan di dalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan di dalam
rantai rantai pernafasan di mitokondria. Makin lanjut usia makin banyak radikal
bebas terbentuk sehingga proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan organel sel
makin lama makin banyak dan akhirnya sel mati (Oen, 1993 dalam Darmojo &
Martono, 2010). Walaupun ada sistem penangkal namun sebagian radikal bebas tetap
lolos, bahkan makin lanjut usia makin banyak radikal bebas yang terbentuk sehingga
proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan organela sel makin lama makin banyak
Healthy aging akan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu endogenic dan exogenic
factor (Darmojo & Martono, 2010). Endogenic factor yang dimulai dengan cellular
aging, lewat tissue dan anatomical aging ke arah proses menuanya organ tubuh.
Proses ini seperti jam yang terus berputar. Sedangkan Exogenic factor, yang dapat
dibagi dalam sebab lingkungan (environment) dimana seseorang hidup dan faktor
sosio budaya yang paling tepat disebut gaya hidup (life style). Faktor exogenic aging
Menuju healthy aging (menua sehat) dapat dengan jalan peningkatan mutu
disembuhkan karena proses patologik akan mempercepat jalan jam waktu tadi,
endogenic dan exogenic factors ini seringkali sulit untuk dipisah-pisahkan karena
saling mempengaruhi dengan erat maka bila faktor tersebut tidak dapat dicegah
terjadinya, maka orang tersebut akan lebih cepat meninggal. Faktor endogenic dan
exogenic ini lebih dikenal dengan sebutan faktor resiko, hubungan antara faktor
resiko dengan penyakit degeneratif pada para lanjut usia dapat lebih jelas dilihat pada
Gambar 2.2. Hubungan Antara Faktor Resiko Dengan Penyakit Degeneratif pada
Para Lanjut Usia (Darmojo & Martono, 2010)
memungkinkan terjadi banyak penyakit pada satu penderita (multi patologi) maka
2. Teori psikososial
Teori Psikososial, yang terdiri dari menurut Stanley& Barre 2007, sebagai
berikut :
Kepribadian ada dua yaitu introvert dan ektrovert yang mana harus ada
tersebut. Teori ini mengatakan untuk mengembangkan diri dapat melalui aktifitas
yang dapat merefleksikan dirinya sendiri. Lansia yang sehat tidak tergantung pada
jumlah aktivitas sosial seseorang tetapi tergantung dari kepuasan dari aktivitas
kehidupan yang dijalani dengan integritas. Jika tidak ada pencapaian menjalani hidup
dengan baik lansia akan beresiko untuk menghadapi penyesalan. Aktifitas dan
tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang sebagai tahapan spesifik dalam
kehidupan.
a. Teori disengagement
Proses penarikan diri dapat diprediksi, sistematis, dan penting untuk fungsi
yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Kontak dan tanggung jawab lansia
akan di berikan pada generasi muda supaya lansia dapat menyediakana waktu untuk
dapat merefleksikan pencapaian hidup dan harapan hidup yang belum terpenuhi.
b. Teori aktifitas
Jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif, penting
aktifitas mental dan fisik yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan dan
seseorang harus seimbang dengan dengan pentingnya perasaan dari yang dibutuhkan
orang lain.
c. Teori kontinuitas
kedua teori sebelumnya dan mencoba untuk menjelaskan dampak kepribadian pada
kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai kebahagiaan dan
terpenuhinya kebutuhan di usia tua. Teori ini menekankan pada kemampuan koping
seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat menua. Lansia
yang terbiasa memiliki kendali dalam membuat keputusan mereka sendiri tidak akan
Perubahan meliputi:
1. Perubahan Fisik
1) Sel
Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati. Jumlah sel
otak menurun dan otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5 10%, lekukan
otak menjadi dangkal dan lebar dan mekanisme perbaikan sel terganggu.
2) Sistem integument
terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit menurun. Kulit kepala dan rambut
vaskularisasi dan cairan, fungsi keringat menurun dan terjadi perubahan pada
kuku.
skelerosis, serta terjadi atrofi serabut otot. Komposisi otot berubah, dan terjadi
4) Sistem endokrin
Pada lansia seperti penurunan reabsorbsi sodium dan air, penurunan lanjut
respon stres, peningkatan jumlah gula darah 2 jam setelah makan, tidak
Berkurangnya produksi ACTH, TSH, FSH dan LH dan terjadi penurunan dari
testoteron.
5) Sistem Neurologis
dan waktu untuk bereaksi, mengecilnya saraf panca indera dan kurang sensitif
6) Sistem kardiovaskuler
darah meninggi.
7) Sistem pendengaran
menjadi atrofi dan pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang
8) Sistem penglihatan
Hilangnya respon terhadap sinar, sfingter pupil timbul sklerosis, lensa lebih
membedakan warna menurun terutama warna biru atau hijau pada skala.
Suhu yang sering ditemukan pada lansia yaitu temperatur tubuh menurun
menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi
Pada wanita vagina terjadi kontraktur dan mengecil, ovarium mengecil dan
atrofi pada uterus, vagina, dan vulva. Pada laki-laki testis masih memproduksi
menetap.
mengakibatkan retensi urin. Sekitar 77% pria di atas usia 65 tahun mengalami
pembesaran prostat.
2. Perubahan mental
Pada lansia akan terjadi perubahan mental seperti semakin egosentris, mudah
curiga bertambah pelit. Setiap lansia memiliki keinginan berumur panjang, tetap
diberi perana dalam masyarakat, ini tetap berwibawa dan jika meninggal ingin
secara terhormat dan masuk surga. Faktor yang mempengaruhi perubahan mental
yaitu adanya perubahan fisik (khusus organ perasa), kesehatan umum, tingkat
3. Perubahan Psikososial
atau kegiatan. Perubahan dalam cara hidup, hilangnya kekuatan dan ketegapan
penyakit kronis gangguan syaraf panca indra serta terjadi gangguan gizi.
4.2.1 Definisi
Menurut Asmadi (2008), tidur adalah keadaan tidak sadar di mana persepsi
dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang, dan dapat dibangunkan
kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup. Kebutuhan tidur muncul secara
otomatis jika tubuh merasa lelah yang diawali oleh respon mengantuk, dan menjadi
1. Sistem seretonergik
bisa menyebabkan rasa kantuk dan sebaliknya apabila jumlah tryptophan yang
2. Sistem Andrenergik
3. Sistem Kholinergik
dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan
latensi tidur REM. Pada pasien yang menggunakan obat anti kholionergik akan
4. Sistem histaminergik
5. Sistem Hormon
Hormon yang mempengaruhi sistem tidur yaitu ACTH, GH, TSH, dan LH.
bangun.
jumlah tidur REM dan NREM yang tepat (Kozier, dkk, 2004). Kualitas tidur yang
baik dapat dinilai dari tidur yang tenang, merasa segar pada pagi hari dan merasa
semangat untuk melakukan aktivitas. Busyee, dkk (1989) pertama kali melakukan
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), yang membedakan antara tidur yang baik dan
buruk melalui pemeriksaan 7 komponen yaitu latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur,
efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur dan gangguan fungsi
tubuh di siang hari (Kunnert, 2007). Kualitas tidur mencakup aspek kuantitatif dari
tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur serta aspek subjektif dari tidur.
Kuantitas tidur adalah keseluruhan waktu tidur seorang idnividu (Kozier, dkk
2004). Jumlah waktu tidur yang dibutuhkan setiap orang itu berbeda-beda
seseorang dengan kuantitas tidur yang tergolong normal (pada usia dewasa tengah 6-7
Sleep latency adalah lama waktu yang dibutuhkan responden untuk jatuh
tidur. Lansia secara normal membutuhkan waktu untuk jatuh tidur sekitar 10-15
menit. Kebiasaan lansia yang minum kopi dan merokok, hal ini dapat mempengaruhi
lansia untuk jatuh tertidur. Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur lansia adalah
kondisi lingkungan dan kebiasaan sebelum tidur yang tidak sehat seperti: makan dan
minum, merokok, mengonsumsi alkohol akan mengganggu tidur seseorang yang bisa
Kebutuhan dan pola tidur normal pada lansia adalah tidur sekitar 6-7 jam
sehari. Lansia mengalami tidur 6-7 jam sehari karena adanya penurunan fase NREM
1 dan 2, stadium 3 dan 4 aktivitas gelombang delta menurun atau hilang, hal ini
membuat tidur lansia menjadi lebih singkat atau berkurang dibandingkan dengan
orang dewasa yang rata-rata 8 jam sehari. Lansia yang tidurnya lebih dari 7 jam, hal
ini dimungkinkan lansia mampu beradaptasi dengan perubahan seiring dengan proses
Irama sirkadian merupakan pola bioritme yang selama rentang waktu 24 jam terjadi
dan prakiraan suhu tubuh denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormon, kemampuan
sensorik dan suasana hati (Potter & Perry, 2005). Irama sirkadian diatur oleh
hormon, pengaturan suhu tubuh, suasana hati dan kemampuan performa (Kunert &
kelenjar pineal dikala gelao, yang saat siang hari kelenjar pineal tidak aktif tetapi saat
hari mulai gelap, maka pineal mulai memproduksi melatonin yang dilepaskan ke
dalam darah. Selain dipengaruhi oleh hormon, siklus tidur-bangun seseorang juga
dipengaruhi oleh rutinitas sehari-hari, kegiatan sosial, kebisingan dan alarm jam.
Siklus tidur dan terjaga manusia dikontrol dalam otak dan dipengaruhi oleh
faktor lingkungan (DeLaune & Ladner, 2002). Secara fisiologis, proses tidur yang
normal diawali oleh respon mengantuk. Pada kondisi ini, terjadi penurunan kesadaran
tubuh akan rangsangan dari luar, namun rangsangan tersebut masih dapat diterima
dengan mudah dan membuat individu kembali tersadar. Proses berikutnya kesadaran
individu semakin menurun dan masuk ke dalam tahapan tidur NREM. Pada tahapan
ini, rangsangan dari luar masih dapat diterima (sayup-sayup) namun tidak
mengganggu kesadaran. Tahapan NREM berganti menjadi tahap akhir yakni tahap
tidur REM (Lanywati, 2001). Pola tidur dapat diklasifikasi berdasarkan tanda-tanda
pergerakan mata menjadi fase Non REM dan REM. Persentase durasi tidur normal
manusia yakni 75-80% fase Non REM dan 20-25% fase REM (Darmojo & Martono,
2010). Kualitas tidur pada lansia mengalami perubahan yaitu tidur REM mulai
memendek. Penurunan progresif pada tahap NREM 3 dan 4 dan hampir tidak
memiliki tahap 4. Perubahan pola tidur lansia disebabkan perubahan sistem saraf
Fase NREM merupakan fase awal tidur manusia. Disebut Non REM karena
tidak terdapat pergerakanan bola mata yang intensif dan cepat. Pada tahap ini,
individu mendapatkan tidur yang nyaman dan dalam tanda-tanda tidur NREM yakni:
sebagian besar organ tubuh secara berangsur-angsur menjadi kurang aktif, pernafasan
teratur, kecepatan denyut jantung berkurang, otot mulai berelaksasi, mata dan muka
diam tanpa gerak (Lanywati, 2001). Berdasarkan kedalaman tidurnya, fase NREM
1) Tingkat 1
Tingkat pertama ini merupakan tahap transisi individu dari kondisi sadar
menuju kondisi tidur. Ciri-ciri dari tingkat 1 yakni seseorang merasa kabur dan rileks,
seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata menutup mata, kedua bola mata bergerak
ke kiri dan kanan, kecepatan jantung dan pernafasan menurun secara jelas (Asmadi,
2008). Kualitas tidur pada tingkat ini masih rendah, dengan artian individu masih
dapat terbangun dengan mudah (deLaune & Ladner, 2002). Pada orang normal, fase
ini berkisar 5-10% bagian dari total waktu tidur. Jika dilihat melalui EEG, terjadi
penurunan gelombang alfa dan muncul gelombang yang lebih lambat yakni beta dan
teta.
2) Tingkat 2
Merupakan masih tahap tidur ringan namun proses tubuh terus menurun dari
tingkat pertama. Karakteristik dari tingkat 2 yakni kedua bola mata berhenti,
bergerak, suhu tubuh menurun, tonus otot perlahan berkurang, serta kecepatan
jantung dan pernapasan menurun. Tahap 2 memiliki waktu 10-15 menit dan muncul
3) Tingkat 3
Pada tingkat ini individu mendapatkan tidur yang cukup dalam sehingga lebih
sulit untuk dibangunkan. Durasi dari tingkat 3 membutuhkan waktu 30-45 menit.
Individu berada pada kondisi rileks, jarang bergerak, dan kondisi medium deep sleep.
Kecepatan jantung, pernapasan, dan proses tubuh semakin menurun akibat dominasi
sistem parasimpatis. Pada monitor EEG diketahui terdapat gelombang lambat (slow
4) Tingkat 4
Pada tingkat 4, individu berada pada kondisi yang lelap dan paling sulit untuk
dibangunkan. Karakteristik tingkat ini yakni jarang bergerak, fisik lemah dan lunglai,
napas serta denyut jantung menurun sekitar 20-30%, dan individu berada pada tahap
deep sleep. Pada EEG, terlihat hanya gelombang delta yang lambat dengan frekuensi
Disebut fase REM karena pada waktu ini individu mengalami pergerakan bola
mata yang lebih tinggi dari tahapan sebelumnya. Pada tahapan ini kondisi individu
berbeda dari tidur Non REM, yakni merupakan tahap tidur yang sangat aktif.
Karakteristik dari tidur REM yakni napas dan denyut jantung tak teratur, terdapat
mimpi, lebih sulit dibangunkan, dan pergerakan otot irreguler. Status kerja otak
bekerja aktif ketika tahap REM dan metabolisme otak meningkat hingga 20%
(Guyton, 2006). Dengan kata lain, tidur jenis REM merupakan tidur paradoks, yakni
meskipun individu tertidur namun otak masih bekerja sama seperti ketika bangun.
Jumlah tidur total tidak berubah sesuai dengan pertambahan usia. Akan tetapi,
kualitas tidur kelihatan menjadi berubah pada kebanyakan usia lanjut. Episode tidur
REM cenderung memendek. Terdapat penurunan yang progresif pada tahap tidur
NREM 3 dan 4. Beberapa lansia tidak memiliki tahap 4 atau tidur dalam. Seorang
lansia yang terbangun lebih sering pada malam hari, dan membutuhkan banyak waktu
untuk jatuh tidur. Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur pada lansia antara lain
penyakit, stress psikologis, obat, nutrisi, lingkungan, motivasi, gaya hidup dan latihan
(Saryono & Widianti, 2010). Tetapi pada lansia yang berhasil beradaptasi terhadap
tidur REM (Perry & Potter, 2005). Peningkatan melatonin dimulai pukul 9 malam
dan terus meningkat sepanjang malam dan hilang pada jam 9 pagi (Martono &
Darmojo, 2010).
Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok pada tidur dan mengantuk hebat
pada siang hari. Terdapat tiga jenis gangguan tidur karena pernapasan yaitu berupa
sindrom tahanan saluran atas (Upper Airway Resisten Sindroma/UARS), henti napas
2. Sindroma kaki kurang tenang (Restless Legs Syndrome) dan gangguan gerakan
Suatu sindroma ditandai dengan kaki kurang tenang berupa rasa sakit yang berlebihan
terutama di malam hari pada waktu istirahat. Disebut akathisia berupa perasaan
seperti dirayapi semut atau hewan lain, sehingga mendorong seseorang untuk
menggerakkan kakinya atau bangun dan berjalan untuk menghilangkan rasa sakit
aktifitas motorik saat bermimpi. Pasien sering bermimpi dan jatuh dari tempat tidur
4. Insomnia
Insomnia adalah suatu keadaan tidak mampu untuk tidur walaupun ada keinginan
untuk tidur. Terdiri dari 3 jenis insomnia yaitu jangka pendek, sementara dan kronik
(Stanley, 2007)
5. Hipersomnia
Suatu keadaan tidur yang di tandai pasien tidur lebih dari 8 atau 9 jam per periode
Ada dua cara untuk menangani gangguan tidur yaitu dengan cara
1. Tindakan farmakologis
Terapi diberikan pada penyebab terjadinya gangguan tidur dan gangguan tidur yang
terjadi. Obat tidur dapat membantu klien mengatasi gejala insomnia. Benzodiasepin
2. Tindakan Nonfarmakologi
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
tidur
1) Memulai tidur dan usahakan pada waktu yang sama tiap hari
6) Tidur lebih awal, tidur siang mungkin bisa mengganti waktu tidur malam
4.3.1 Pengertian
jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai individu atau anggota masyarakat dalam
bentuk permainan, perlombaan dan kegiatan jasmani yang intensif untuk memperolah
1. Sebagai pencegahan
Olahraga pada lansia bersifat endurance atau ketahanan tubuh sangat baik
untuk mengatasi degenerasi tubuh. Olahraga tersebut misalnya jalan kaki, berenang
dan bersepeda.
2. Sebagai pengobatan
3. Sebagai rehabilitasi
Untuk menambah kebugaran pada kondisi cacat tubuh, dengan latihan fisik
tertentu dapat membantu latihan penggunaan otot dan memperkuat organ lain.
Menurut Maryam dkk (2008) prinsip olahraga bagi lansia dapat meliputi hal-hal
sebagai berikut:
2) Latihan fisik harusnya bersifat aerobik, yaitu berlangsung lama dengan ritmik
yang berulang-ulang
3) Latihan fisik berlangsung lama dan berulang. Durasi berkisar 15-45 menit secara
kontinu dilakukan rutin 3-4 kali per minggu. Intensitas latihan sebesar 60-80%
4) Setiap latihan diawali pemanasan, peregangan dan latihan inti. Pada akhir
6) Pakaian yang digunakan terbuat dari bahan yang ringan dan tipis serta jangan
Pada lansia terjadi banyak penurunan fungsi seiring dengan proses degenerasi,
kebutuhan dan kemampuan olahraga bagi lansia tidak sama dengan dewasa
Kegiatan harian yang dilakukan di rumah dapat memberikan latihan fisik yang
dibutuhkan untuk menjaga kebugaran tubuh. Untuk hasil yang optimal, harus
dikerjakan secara tepat agar napas dan denyut jantung sedikit lebih cepat, dan otot
menjadi lelah sehingga tubuh mengeluarkan keringat (Maryam dkk, 2008). Kegiatan
yang disukai lansia dapat menjadi olahraga rutin sehingga motivasi menjaga
kebugaran meningkat.
2. Berjalan
Berjalan kaki merupakan olahraga yang sangat baik untuk mergangkan otot-
otot kaki dan jika temponya semakin cepat bermanfaat untuk daya tahan tubuh
(Maryam dkk, 2008). Selain itu, kelenturan tubuh terlatih karena olahraga berjalan
membutuhkan koordinasi gerak ekstremitas. Jalan kaki, jika dilakukan dengan tempo
yang sedikit lebih cepat merupakan latihan yang berguna untuk mempertahankan
kesehatan dan kebugaran jasmani. Olahraga ini merupakan latihan yang aman, murah
3. Jalan cepat
Jalan cepat adalah olah raga lari yang bukan untuk perlombaan dan dilakukan
dengan kecepatan dibawah 11 km/jam atau di bawah 5,5 menit/km. Jalan cepat
Jenis olahraga ini membantu tubuh tetap bugar dan segar. Senam dapat
menjaga tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal, dan membantu
fungsi organ tubuh, senam juga berpengaruh dalam meningkatkan imunitas dalam
5. Yoga
Yoga adalah dapat memberikan keuntungan fisik dan mental. Bentuk lain dari
yoga adalah senam tera dan aerobik yang ideal bagi lansia.
6. Bersepeda
Bersepeda sangat baik bagi arthritis karena tidak menyentuh lantai yang
Menurut Maryam (2008) ada beberapa gerakan yang membayakan untuk dilakukan
Sit up dengan kaki lurus mengakibatkan tekanan yang cukup besar pada
vertebrata. Sit up dengan cara ini menyebabkan otot ilopsoasl fleksor pada punggung
yang melekat pada columna vertebrate dan femur menanggung beban. Latihan seperti
ini punggung akan naik keatas secara permanaen dan lengkung lordosis menjadi lebih
Latihan seperti ini kurang baik dan mengakibatakan cidera. Latihan ini
3. Mengangkat kaki
Latihan ini kurang baik karena dapat mengakibatkan nyeri pungung bagian bawah
4. Melengkugkan punggung
Pada lansia olahraga ini tidak boleh dilakukan karena pada lansia hal ini tidak
dari punggung maka bisa melampaui lengkungan dari punggung itu sendiri.
hipotalamus, kelenjar pituaitary dan kelenjar adrenal. HPA Axis adalah bagian utama
dari neuroendokrin sistem yang mengontrol reaksi stress dan regulasi beberapa proses
di tubuh termasuk pencernaaan, sistem imum dan tubuh, seksualitas dan gudang
interaksi antara kelenjar-kelenjar, hormone-hormon dan bagian dari batang otak yang
Komponen dari HPA Axis adalah paraventrikuler nucleus pada nucleus yang
terdiri dari neuro-neuron endokrin yang yang mensekresi vasoperin dan CRH atau
stimulasi ACTH.
stress terhadap fungsi sistem imun terjadi melalui peptide hipotalamuas pituitary
yaitu CRF dan ACTH. CRF merupakan faktor substansi utama yang merambatkan
sinyal stressor ke sistem imun. CRF mengakibatkan HPA Axis menjadi aktif, berupa
kortisol. Sinyal stress yang dirasakan individu baik dari dalam atau dari luar akan
dalam pengaturan HPA Axis seperti dopamine, serotonin dan non adrenalin.
Perubahan bahan humoral akibat aktifitas fisik serta pengaruh saraf pusat
hypotalamus (PVN) sangat dipengaruhi oleh stress baik fisik maupun psikis. CRH
dan AVP adalah hormone yang di sekresi akibat aktivitas fisik yang meningkat. CRH
Ada 4 hormon yang dihasilkan sebagai akibat peningkatan HPA Axis yaitu
hormon CRH, AVP, ACTH, dan kortisol. Selain itu terjadi peningkatan ketokolamin
kebutuhn tidur pada lansia. Sekresi melatonin yang optimal dapat mempengaruhi beta
(Rahayu, 2008).
memicu aktifitas gerak lebih banyak. Menurut Lousin Taylor dalam rahayu (2008)
endoprin tidak datang secara tiba-tiba dalam tubuh kita, tapi manusia harus
menjadi adenosine tripospate (ATP) yang dapat di ubah menjadi energi yang
dibutuhkan oleh sel kita. Ketika glukosa habis lemak baru dibakar. Ketika glukosa
sudah habis terbakar endoprine mulai muncul. Inilah pentingnya melakukan aktifitas
fisik yang teratur baik aerobik ataupun anaerobik yang bertujuan untuk membakar
glukosa yang menghasilkan ATP sehingga endorphin akan muncul yang akan
membawa rasa nyaman, senang dan bahagia. Sehingga setiap selesai olahraga tubuh
menjadi bugar walaupun olahraga telah menggunakan tenaga dari tubuh kita.
berirama dengan intensitas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang bertujuan untuk
raga yang menggunakan oksigen dalam penyediaan energi dan yang bertujuan untuk
melatih efisiensi sistem jantung, pembuluh darah dan pernapasan (Kelly & Tracey,
2005).
bentuk latihan atau aktivitas yang membuat anda menghirup oksigen dalam jumlah
besar serta memompa jantung secara teratur, dapat disebut aerobik (Poniman,
Nugroho, & Azzaini, 2007). Sebagai contoh olahraga aerobik adalah gerak jalan
jantung dan paru. Jantung dan paru bekerja lebih keras untuk meningkatkan
kebutuhan oksigen, latihan ini bisa berupa gerakan gerakan tubuh secara umum
seperti berjalan kaki. Bisa disesuaikan dengan kemampuan lansia. Umumnya dimulai
dengan berjalan kaki sekitar 5-10 menit. Untuk lansia disarankan tidak melakukan
aktifitas fisik yang terlalu membebani tulang. Latihan aerobik dilakukan minimal 3
tubuh, dan memacu jantung (Kelly & Tracey, 2005). Salah satu olahraga yang dapat
jasmani dilakukan sedikitnya satu minggu sekali dan sebanyaknya banyaknya lima
kali dalam satu minggu dengan lamanya 15 menit (Maryam at al, 2008)
Adenosin trifosfat/ATP, yang prosesnya dapat berupa aerobik dan anaerobik. Pada
saat olah raga terdapat tiga jalur metabolisme untuk menghasilakan ATP yaitu
yang membutuhkan kehadiran oksigen (O2) agar prosesnya dapat berjalan dengan
sempurna untuk menghasilkan ATP tiga simpanan energi digunakan oleh tubuh yaitu
simpanan karbohidrat (glukosa, glikogen), lemak dan juga protein. Di dalam sel
tubuh, sebagai tahapan awal dari metabolisme energi secara aerobik, glukosa yang
berasal dari glukosa darah ataupun dari glikogen otot mengalami proses glikolisis
yang dapat menghasilkan molekul ATP serta menghasilkan asam piruvat. Proses ini,
sebanyak 2 buah molekul ATP dapat dihasilkan apabila sumber glukosa berasal dari
glukosa darah dan sebanyak 3 buah molekul ATP dapat dihasilkan apabila glukosa
berasal dari glikogen otot. Setelah melalui proses glikolisis, asam piruvat yang
untuk menghasikan ATP. Didalam tubuh metabolisme energy secara aerob glukosa
berasal dari glukosa darah dan glikogen otot akan mengalami glikolisis yang dapat
menghasilkan molekul ATP serta asam piruvat, melalui glikolisis asam piruvat di
ubah menjadi Asetil KoA yang akan berjalan jika ada oksigen serta menghasilkan
energi secara aerobik juga dikatakan merupakan proses yang bersih karena selain
4.6.1 Definisi
Senam adalah suatu bentuk latihan fisik yang teratur yang merupakan
representasi dari ciri kehidupan. Senam merupakan suatu bentuk latihan fisik yang
dikemas secara sistimatis yang tersusun dalam suatu program yang bertujuan untuk
kemampuan fisik seseorang, apabila dilakukan secara baik dan benar. Manfaat latihan
fisik bagi kesehatan adalah sebagai upaya promotif, preventif, kuratif, dan
(Nugroho, 2008). Salah satu bentuk olahraga aerobik yang sesuai dengan lansia
adalah senam secara rutin. Senam memiliki gerakan yang dinamis, mudah dilakukan,
menimbulkan rasa gembira dan semangat serta beban yang rendah. Salah satu senam
yang cocok untuk lansia adalah senam lansia. Frekuensi latihan yang berguna untuk
sebanyak-banyaknya lima kali dalam seminggu (Maryam dkk, 2008). Macam senam
aerobik menurut harber and scoot (2009) adalah senam high impacts, low impacts,
Senam lansia adalah masuk dalam jenis senam aerobik low impacts karena
kaki selalu menapak di lantai setiap waktu, terdiri dari tiga unsur gerakan yanga
divariasikan yaitu berupa gerakan langkah tunggal, langkah ganda, langkah segitiga,
Senam lansia adalah senam yang cocok bagi lansia karena gerakan di
menyilang, maju mundur namun masih dalam memacu kerja jantung paru dengan
sebagaian besar otot tubuh, serasi dengan gerakan sehari-hari dan mengandung
gerakan gerakan yang melawan beban badan dengan pemberian beban antara yang
kanan dan yang kiri secara berimbang. Gerakan-gerakan ini diharapkan mampu
1. Sebagai pencegahan
Pada usia 40 tahun keatas senam sangat baik untuk mengatasi proses-proses
degenerasi tubuh. Setelah umur 40 tahun ternyata olahraga yang bersifat endurance
sangat baik untuk mengatasi proses degenerasi tubuh, sehingga orang kelihatan lebih
muda. Kekurangan gerak juga menyebabkan otot dan tulang tidak tumbuh dengan
baik, otot yang lemah akan menyebabkan kelainan posisi badan yang nantinya akan
Penyakit yang dapat disembuhkan dan dikurangi dengan senam lansia adalah
3. Sebagai rehabilisasi
Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilaksanakan dan tidak
memberatkan, yang dapat di laksanakan pada lansia. Kegiatan senam membuat lansia
tetap segar dan bugar, karena senam lansia melatih tulang tetap kuat, mendorong
jantung bekerja optimal dan membantu radikal bebas yang berkeliaran dalam tubuh
Senam lansia mampu mengembalikan posisi dan kelenturan sistem syaraf dan
kesegaran tubuh dan membuang energi negatif dari tubuh. Senam lansia merupakan
kombinasi gerakan otot dan teknik pernapasan. Teknik pernapasan dilakukan dengan
sadar dan menggunakan otot diafragma sehingga abdomen terangkat perlahan dan
dada mengembang penuh. Teknik pernapasan tersebut bisa memberikan pijatan pada
jantung sehingga bisa memperlancar aliran darah ke jantung dan ke seluruh tubuh.
vasodilatasi pada pembuluh darah yang mengakibatkan transport oksigen ke otak dan
seluruh tubuh menjadi lancar, kondisi ini akan menyebabkan peningkatan relaksasi
pada lansia, sekresi hormon melatonin yang maksimal dan pengaruh beta endorphin
1. Gerakan Pemanasan
1) Sikap permulaan dan pemanasan, sikap berdiri tegak, menghadap kedepan dengan
gerakan
5) Latihan 4
Dorong tumit kanan depan bergantian dengan tumit kiri, angkat kaki, tekuk
6) Latihan 5
7) Latihan 7
2. Gerakan inti
1) Gerakan peralihan
2) Jalan maju mundur melatih koordinasi lengan dan tungkai 2x8 hitungan
hitungan
8) Mengangkat kaki ke depan serong dengan tangan tekuk lurus 2x8 hitungan
9) Mengangkat kaki ke depan serong dengan tangan tekuk lurus 2x8 hitungan
tangan diayun ke samping 1x8 hitungan, gerakan sebaliknya juga sama 2x8
hitungan
3. Gerakan pendinginan
3) Buka kaki, tekuk iutut sambil mengangkat tangan ke kanan atas, tangan kiri
4) Kaki terbuka, tekuk lutut kanan sambil mengangkat tangan kanan ke atas
kedua ujung kaki hitungan ke kanan, dan kiri dengan hitungan 4x8
hitungan
2x8 hitungan
4.7.1 Definisi
Relaksasi otot progresif dipelopori oleh seorang ahli fisiologis dan psikologis
bernama Edmund Jacobson pada tahun 1930-an. Metode relaksasi ini merupakan cara
rasa nyaman tanpa harus tergantung kepada hal atau subjek dari luar diri seseorang.
Metode relaksasi ini merupakan suatu ketrampilan yang dapat dengan mudah untuk
relaksasi otot progresif merupakan suatu teknik otot yang dalam penggunaannya tidak
Relaksasi otot progresif ditujukan untuk melawan rasa tegang, cemas dan
stres. Seseorang dapat menghilangkan kontraksi otot dan mengalami rasa rileks
dengan membedakan sensasi tegang dan rileks dengan cara menegangkan atau
Latihan relaksasi otot progresif merupakan salah satu terapi yang membantu
lansia dalam mengatasi gangguan tidur. Selain itu dengan latihan otot progresif lansia
lansia mengubah pola hidup yang dapat mengganggu kualitas dan kuantitas tidur
pendengaran, tekanan darah. Denyut jantung kembali normal dan otot-otot menjadi
rilaks. Latihan relaksasi otot dapat menurunkan stress dan dapat berpengaruh pada
mengubah stimulus cemas akibat stressor menjadi tenang, senang dan nyaman
(Davis, 1995).
serta meningkatkan aliran darah keseluruh tubuh. Aliran darah yang meningkat juga
dapat meningatkan nutrient dan oksigen dalam darah. Oksigen didalam otak
Pada saat bernapas dalam, disebelah atas, ketika udara di hembuskan keluar
bawah pada saat menarik napas, merangsang dan membersihkan gerak peristaltik dari
usus, sehingga merangsang usus untuk lebih membersihkan sisa peristaltik, serta
Tujuan teknik relaksasi otot progresif menurut Herodes (2010), Potter (2005),
3. Dapat meningkatkan gelombang alpha otak yang terjadi pada saat seseorang
7. Metode relaksasi ini efektif dalam membangun emosi yang positif dari emosi
negatif.
bergantian. Fase ketegangan cukup singkat, hanya sekitar 5-10 detik. Jika
dibandingkan fase relaksasi cukup lama yaitu sekitar 45 detik. Perlu dingat hanya satu
otot yang kontraksi yang lain relaksasi. Latihan relaksasi otot progresif dilakukan 20-
30 menit, satu kali sehari sebelum tidur malam sangat efektif dalam menurunkan
kurangnya satu jam setelah makan untuk melakukan latihan ini (McKay&
Dinkmeyer, 2005). Cara pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif menurut Setyoadi
1. Persiapan
Persiapan alat dan lingkungan adalah bantal, kursi atau kasur, lingkungan yang
2. Persiapan klien
posisi klien berbaring, gunakan bantal di bawah kepala dan lutut. Kepala
4) Longgarkan hal-hal yang bersifat mengikat ketat, seperti dasi, dan ikat
pinggang.
3. Prosedur
(2) Buat kepalan menjadi semakin kuat sambil rasakan sensasi ketegangan
yang terjadi
(3) Pada saat kepalan dilepaskan, klien diminta selama 10 detik merasakan
rileks
(4) Lakukan gerakan pada tangan kanan tersebut sebanyak dua kali agar
menegang
pelajari perbedaan ketegangan yang terjadi pada otot dan kondisi rileks
yang dialami.
Otot bisep
(2) Arahkan kedua kepalan tersebut ke pundak sehingga otot biseps akan
menegang
(3) Rasakan ketegangan yang terjadi pada otot-otot bisep dan kemudian
mengendur
telinga
wajah
(1) Kerutkan dahi dan alis hingga otot dahi terasa dan kulitnya menjadi
keriput
otot-otot rahang
(1) Katupkan rahang dan gigit gigi-gigi selama 5 detik sehingga terjadi
(2) Lemaskan rahang dengan posisi bibir sedikit terbuka. Selama 10 detik
rasakan perbedaan antara otot yang tegang dan dengan kondisi rileks
mulut
(1) Moncongkan dan tekan kedua bibirnya dengan kencang dan tahan
(1) Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang dan kemudian otot
(3) Tekan kepala pada permukaan bantal sedemikian rupa selama 5 detik
8) Gerakan 10 : gerakan ini bertujuan untuk melatih otot leher bagian depan
(3) Secara perlahan lepaskan dan nikmati serta rasakan perbedaan antara
otot yang tegang dan yang dalam kondisi rileks selama 10 detik.
(3) Busungkan dada dan selama 10 detik tahan kondisi tegang kemudian
rilekskan
(4) Saat rileks, biarkan otot-otot menjadi lemas dan letakkan tubuh
kembali ke kursi
(1) Tarik nafas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-
banyaknya
(4) Ulangi gerakan ini sekali lagi sampai dapat merasakan perbedaan
(2) Tahan hingga menjadi kencang dan keras selama 10 detik, kemudian
rilekskan
12) Gerakan 14-15 : Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot-otot kaki
(1) Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha menjadi tegang
betis
Teori keperawatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Comfort
kesehatan adalah kebutuhan tentang kenyamanan dan peningkatan dari kondisi penuh
tekanan dalam situasi perawat kesehatan. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan fisik,
3) Comfort Food untuk jiwa, meliputi intervensi yang tidak dibutuhkan pasien saat
ini tetapi sangat berguna bagi pasien. Sugesti kenyamanan ini dapat diberikan
dalam bentuk pijatan, lingkungan yang adaptif yang menciptakan kedamaian dan
ketenangan, guided imagery, terapi musik, mengenang masa lalu, dan sentuhan
terapeutik.
individu.
Dalam hal ini yang terlibat tidak hanya masalah fisik biologis, namun juga
perasaan. Suara, cahaya, bau, suhu dan lain-lain rangsangan ditangkap sekaligus, lalu
diolah oleh otak. Kemudian otak memberikan penilaian relatif apakah kondisi itu
nyaman atau tidak. Ketidaknyamanan di satu faktor dapat ditutupi oleh faktor lain
adalah suatu kontinum perasaan dari paling nyaman sampai dengan paling tidak
nyaman yang dinilai berdasarkan persepsi masing-masing individu pada suatu hal
yang dimana nyaman pada individu tertentu mungkin berbeda dengan individu
lainnya.
a. Kenyamanan fisik berkenaan dengan sensasi tubuh yang dirasakan oleh individu
itu sendiri.
meliputi konsep diri, harga diri, makna kehidupan, seksualitas hingga hubungan
luar kepada manusia seperti temperatur, warna, suhu, pencahayaan, suara, dll.
Tabel 2.1 Keaslian penulisan pengaruh Program Rutin Exercise Aerobik dan
Pemberian Teknik Relaksasi Otot Progresif Terhadap Latensi dan Durasi Tidur
Lansia di UPT PSLU Magetan
Metode
Judul Artikel;
No. (Desain, Sample, Variabel, Hasil Penelitian
Penulis; Tahun
Instrumen, Analisis
1. Pengaruh Senam - Quasy eksperiment Senam Lansia dapat
Lansia terhadap - 28 responden tanpa- menurunkan insomnia
Penurunan Skala responden kontrol lansia.
Insomnia pada - Variabel bebas Senam
Lansia di Panti lansia dan variabel
Werdha Dewanata terikatnya insomnia
Cilacap. - Pitsburg sleep quality
(Sumedi & Kuswati, index /PSIQ
2010)
5 BAB 3
meningkat
ATP meningkat
Denyut jantung pernapasan menjadi normal
Kehangatan Meningkat dan otot-otot menjadi rileks
Kenyamanan meningkat
Tidak Diukur
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Pengaruh Program Rutin Exercise Aerobik
dan Pemberian Teknik Relaksasi Otot Progresif Terhadap latensi
dan Durasi tidur Lansia menurut Teori Comfort Kolcaba
Pada lansia faktor aging proses tedapat pula faktor-faktor yang dapat
dari lingkungan. Menua juga mengakibatkan penurunan aktifitas HPA axis sehingga
menimbulkan gangguan pemenuhan tidur pada lansia baik latensi atau durasi tidur
pada lansia. Menurut Riza saputra (2008), salah satu olah raga yang dapat
karena itu dibutuhkan suatu usaha guna meningkatkan kembali pemenuhan tidur yang
optimal bagi lansia, salah satunya dengan pemberian aktifitas terapi program rutin
jantung dan paru. Jantung dan paru akan bekerja lebih keras untuk meningkatkan
kebutuhan akan oksigen, latihan ini bisa berupa gerakan gerakan tubuh secara umum
seperti berjalan kaki. Bisa disesuaikan dengan kemampuan lansia. Umumnya dimulai
dengan berjalan kaki sekitar 5-10 menit. Untuk lansia disarankan tidak melakukan
aktifitas fisik yang terlalu membebani tulang. Latihan aerobik dilakukan minimal 3
simpatis yang mengembalikan tubuh pada kedaan seimbang dari pupil, pendengaran,
tekanan darah. Denyut jantung, pernapasan dan sirkulasi kembali normal dan otot-
memberikan kesempatan untuk beristirahat dari stress dari lingkungan eksternal dan
internal (Davis, 1995). Efek relaksasi ini berdampak pada rangsangan hipotalamus
merubah stimulus cemas akibat stressor internal dan eksternal menjadi suasana
senang, tenang, dan nyaman. Kondisi seperti itu sesuai teori comfort Kolcaba maka
rasa nyaman akan terpenuhi baik fisik, psikospiritual dan sosiobudaya. Dengan
dalam tidur sehingga latensi dan durasi tidur menjadai lebih baik.
5.2 Hipotesis
H1: Ada pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot
progresif terhadap latensi dan durasi tidur pada lansia di UPT PSLU Magetan.
6 BAB 4
METODE PENELITIHAN
mengolah, dan menganalisis data secara sistematis dan terarah agar penelitian dapat
dilaksanakan secara efisien dan efektif sesuai dengan tujuan. Desain penelitian yg
digunakan desain penelitian semu (Quasy Experiment). Desain Quasy Experiment ini
progresif terhadap latensi dan durasi tidur pada lansia menggunakan desain Quasy
Experiment dengan Pre dan Post test. Kedua kelompok akan diberikan pre test yang
aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot progresif dan kelompok kontrol tidak
diberikan perlakuan. Pada akhir penelitian akan diadakan post test pada ke dua
hasil penelitian.
Tabel 4.1 Desain Penelitian Pengaruh Pemberian Program Rutin Exercise Aerobik
dan Pemberian Latihan Relaksasi Otot Progresif di UPT PSLU di Magetan
Subyek Pre tes Perlakuan Post tes
K-A O 1 O1-A
K-B O _ O1-B
Time 1 Time 2 Time 3
Sumber : Nursalam 2013
Keterangan :
K-A : Subyek (lansia) perlakuan
K-B : Subyek (lansia) kontrol
O : Pengukuran pemenuhan kebutuhan tidur sebelum intervensi
I : Intervensi perlakuan hidroterapi kaki dengan minyak lemon
OI (A-B) : Pengukuran pemenuhan kebutuhan tidur sesudah intervensi
(kelompok perlakuan dan kontrol).
6.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari suatu variabel yang dipilih yang memenuhi
kreteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2013). Populasi dapat berupa orang, benda,
objek, peristiwa, atau apa saja yang nantinya akan menjadi obyek penelitian. Populasi
dapat di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu populasi terjangkau dan populasi
target. Nursalam (2013) menjelaskan bahwa populasi target adalah kumpulan dari
karakteristik subyek penelitian yang akan ditarik kesimpulan secara ekplisit oleh
Dalam penelitian ini, populasi targetnya adalah seluruh lansia yang tinggal di
di UPT PSLU Magetan yang mengalami gangguan tidur yaitu berjumlah 44 orang.
Sedangkan populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah lansia yang berumur 60-
75 tahun, mampu berjalan tanpa menggunakan alat, tidak nyeri sendi, kondisi
pendengaran baik atau mengerti secara verbal terhadap informasi dengan jumlah 20
6.2.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik dari suatu populasi
yang dapat dipelajari dalam sampel, maka kesimpulannya akan dapat diberlakukan
harus memiliki dua syarat yaitu harus cukup banyak dan representatif.
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah diambil dari
sampel yang digunakan merupakan sampel jenuh atau total sampling yaitu
menjadi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang dibagi dengan cara
matching berdasarkan jenis kelamin, usia dan penyakit degeneratif yang diderita
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah peningkatan latensi tidur dan
Tabel 4.2 Definisi Operasional Pengaruh Program Rutin Exercise Aerobik pemberian
teknik relaksasi otot progresif terhadap Latensi dan Durasi Tidur pada
Lansia di UPT PSLU Magetan
Kurang =
31-45
menit
Buruk 45
menit
Kurang =
4- 5 jam
Buruk < 4
jam
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik,
dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah
Kuesioner ini kemudian dilakukan uji validitas dan uji reabilitas. Kuesioner
ini memiliki 2 jenis pertanyaan yaitu 1 jenis pertanyaan untuk latensi tidur dan 1
jenis pertanyaan untuk durasi tidur. Penilaian latensi tidur yaitu baik 15 menit,
cukup = 16-30 menit, kurang = 31-45 menit, buruk 45menit. Penilaian durasi tidur
baik 7 jam, cukup = 6-7 jam, kurang = 5-6 jam, buruk 5 jam. Nilai hasil uji
validitas dan relabilitas adalah sebagai berikut r tabel= 0,444, nilai r hitung 0,551.
Skor tertinggi dalam SPO senam adalah 24 dan skor terendah 0, maka jika nilai
diperoleh angka 8 berarti buruk, nilai 9-16 cukup dan 17 berarti nilai baik. SPO
latihan relaksasi otot progresif dengan total item 20, dengan nilai tertinggi 20 dan terendah 0
maka diperoleh penilaian sebagai berikut 7 berarti buruk, nilai 8-15 cukup dan 15
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sesuai SOP (Standar
Operasional Prosedur) dari tindakan exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi
otot progresif :
1. Tape recorder
2. Kaset CD
3. Mikrofone
4. Jam tangan
5. Kasur/kursi
Uji kuesioner ini untuk mencegah terjadinya kesalahan sistemik. Kesalahan ini harus
dihindari, sebab akan merusak validitas dan kualitas penelitian. Instrumen penelitian
kesahihan pada alat ukur yang digunakan dalam penelitian (instrument). Instrumen
harus bisa diukur (Nursalam, 2013). Pentingnya uji validitas yaitu mengetahui ada
tidaknya pertanyaan dalam kuesioner yang harus diganti karena dianggap kurang
korelasi antara data pada masing-masing pertanyaan dengan skor total perhitungan
N : banyaknya subjek
Uji reliabilitas berguna untuk menetapkan apakah instrument yang dalam hal
ini kuesioner dapat dipakai lebih dua kali, paling tidak dengan responden yang sama
sesuai dengan tujuan pengukuran. Untuk mencapai hal tersebut, dilakukan uji
t 2 : Total varians
Jika skala itu dikelompokan kedalam lima kelas dengan rentang yang sama,
1) Nilai alpha cronbach 0,00 sampai dengan 0,20, berarti kurang reliabel
2) Nilai alpha cronbach 0,21 sampai dengan 0,40, berarti agak reliabel
3) Nilai alpha cronbach 0,41 sampai dengan 0,60, berarti cukup reliabel
5) Nilai alpha cronbach 0,81 sampai dengan 1,00, berarti sangat reliabel
Uji coba instrumen dilakukan untuk melihat validitas dan reliabilitas alat
latensi tidur belum pernah digunakan dan dilakukan uji validitas dan reliabilitas,
sehingga diperlukan uji validitas dan reliabilitas ulang. Uji instrumen dilakukan pada
20 responden lansia dengan gangguan latensi dan durasi dilakukan di PSLU Pandaan
yang telah dijadikan sebagai responden uji validitas dan reliabilitas tidak lagi
dijadikan sebagai calon responden penelitian. Uji coba instrumen dilakukan pada 2
dengan degree of freedom dengan r tabel= 0,444. Hasil uji validitas kuesioner latensi
dan durasi tidur menyatakan bahwa semua pernyataan dinyatakan valid dan reliabel
apabila semua pernyataan memiliki nilai r hitung > r tabel (0,551). Hasil uji validitas
untuk pernyatan favourable dan unfavourable menunjukkan r hitung lebih besar dari r
tabel sehingga semua item pernyataan dinyatakan valid dan hasil uji reliabilitas untuk
pernyataan favourable dan unfavourable bernilai sama yaitu 0,704 yang berarti sangat
reliabel
proposal, uji etik, pengambilan data hingga analisis data yang menghasilkan hasil dan
Keperawatan Unair, peneliti berkoordinasi dengan Dinas Sosial provinsi Jawa timur
dan Pimpinan UPT PSLU di Magetan untuk mengumpulkan data awal dan di
dapatkan 44 lansia mengalami ganguan latensi dan durasi tidur. Pada tahap ke dua
setelah dapat surat pengambilan data penelitian dari Fakultas Keperawatan Unair,
peneliti berkoordinasi dengan Dinas Sosial provinsi Jawa timur dan Pimpinan UPT
PSLU di Magetan untuk mengumpulkan data penelitian. Peneliti dibantu oleh petugas
responden menjadi dua kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
potensial, hak undur diri dan insentif untuk subyek. Selanjutnya peneliti menjelaskan
surat permohonan kesediaan responden baik pada kelompok perlakuan atau kontrol di
bantu penanggung jawab wisma. Responden yang setuju dengan penjelasan dan
permonan diberikan informed consent sebagai bukti mau dijadikan sampel penelitian,
intervensi latihan aerobik dan dan latihan relaksasi otot progresif selama 2 minggu
dengan rincian senam dilakukan 3 kali dalam seminggu, yaitu hari selasa, kamis dan
minggu selama 3 minggu dan relaksasi otot progresif sehari sekali setiap hari
sebelum tidur selama 2 minggu, yang mulai dilakukan pada minggu ke dua. Untuk
senam di pandu dengan instruktur dari UPT PSLU Magetan dan pemberian latihan
relaksasi otot progresif di lakukan oleh peneliti. Untuk kelompok kontrol akan di
berikan exercise aerobik berupa senam dan latihan relaksasi otot progresif selama
Kegiatan) latihan exercise aerobik dan latihan relaksasi otot progresif pada kelompok
yang dilakukan hari selasa, kamis dan minggu serta latihan relaksasi otot progresif
selama 2 minggu dimulai minggu ke dua dilakukan setiap hari sebelum tidur.
responden kelompok kontrol tidak di ikutkan dalam program rutin exercise aerobik
dan latihan relaksasi otot progresif. Setelah dilakukan intervensi exercise aerobik
berupa senam tiga kali dalam seminggu dan latihan relaksasi otot progresif
responden yang dilakukan dua kali seminggu yang dilakukan malam hari, kembali
dimodifikasi dari PSQI (Pitsburgh Sleep Quality Index), baik kelompok perlakuan
ataupun kelompok kontrol sebagai post test hasil penelitian pada tiga Minggu.
penilaian post test mereka kita berikan intervensi exercise aerobik berupa senam 3
kali seminggu dan pemberian relaksasi otot progresif selama satu minggu sebelum
booklet tentang latihan relaksasi otot progresif yang bisa digunakan setelah intervensi
Pre intervensi
Wawancara pre test dengan kuesioner latensi dan
durasi tidur
Post intervensi
Wawancara,post test dengan kuesioner latensi dan durasi
tidur
Tabulasi data
test ( 0,05)
Penyajian hasil penelitian kuesioner
membuat penilaian atau scoring pada lembar kuesioner yang telah diisi responden.
Scoring atau pemberian skor dilakukan pada item-item jawaban yang membutuhkan
skor. Kemudian dilakukan coding atau pemberian kode terhadap item-item yang tidak
Sebagai contoh jika dalam penelitian ini ditemukan kode 1-L60 maka dapat
diartikan bahwa responden dengan nomor urut 1 adalah laki-laki berusia 60 tahun.
Setelah dilakukan coding, data kemudian ditabulasi. Tabulasi data dilakukan untuk
memudahkan dalam melihat distribusi hasil penelitian dan untuk memudahkan dalam
analisis data.
Penelitian ini memperoleh dua data. Data pertama adalah data hasil pre test
dan post test dari kelompok intervensi (kelompok yang diberikan tindakan program
rutin latihan aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot progresif) dan data kedua
adalah data hasil pre test dan post test dari kelompok kontrol (kelompok yang tidak
diberikan tindakan program rutin latihan aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot
progresif). Setiap data di atas diukur menggunakan uji statistik t-test berpasangan
yaitu uji statistik komparasi dua sampel berpasangan dengan variabel skala interval
didapatkan nilai p0,05 maka hipotesis penelitian diterima yang artinya ada pengaruh
antara program rutin aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot progresif terhadap
Kemudian dilakukan lagi uji statistik independent t-test yaitu uji statistik
komparasi dua sampel bebas dengan variabel skala interval yang menggunakan
perbandingan hasil post test latensi dan durasi tidur pada lansia kelompok intervensi
dan kelompok kontrol. Jika hasil analisis penelitian didapatkan nilai 0,05 maka
hipotesis penelitian diterima yang artinya ada perbedaan antara kelompok yang
deskriptif dan analitik sehingga akan diperoleh suatu gambaran dan pengertian yang
masalah yang sangat penting dalam penelitian mengingat akan berhubungan langsung
dengan manusia, maka segi etik dalam penelitian harus diperhatikan karena manusia
mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian. Dalam melakukan penelitian ini,
menjelaskan maksud dari penelitian serta dampak yang mungkin terjadi selama
dan sesudah pengumpulan data. Jika responden bersedia, maka mereka harus
lembar pengumpulan data tidak akan dicantumkan nama dan cukup dengan
memberi kode.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
1. Sampel yang digunakan terbatas pada lansia di UPT PSLU Magetan, sehingga
3. Peneliti tidak dapat memantau responden selama tidur sehingga kurang bisa
progresif.
7 BAB V
Pada bab ini diuraikan hasil dan pembahasan penelitian tentang pengaruh
program rutin exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot progresif
terhadap latensi dan durasi tidur lansia di UPT PSLU Magetan. Penelitian dilakukan
2014. Data yang terkumpul kemudian diuji stastistik dengan paired t-test pada
kelompok perlakuan dan kontrol untuk mengetahui latensi dan durasi tidur lansia
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi dan Independent t-test untuk mengetahui
Pada tanggal 1 Januari 1983 sesuai gagasan Menteri sosial RI berdirilah panti
jompo di Magetan dengan penghuni berjumlah 10 lansia dengan alamat di Balai Desa
Milangasri dengan sumber dana dari kantor wilayah Departemen Sosial Propinsi
Jawa Timur. Pada tanggal 1 September 1983, lokasi pelayanan kesejahteraan lanjut
usia di pindah ke jalan raya Panekan Selosari dengan jumlah daya tamping 40 lansia.
Pada tanggal 5 September 1984 Panti Werdha tersebut diresmikan oleh Direktur
Kesejahteraan Anak dan lanjut usia Depsos RI dan diberi nama Sasana Tresna
werdha Bahagia yang berada dibawa naungan Kanwil Depsos Propinsi Jawa Timur,
dengan alokasi biaya dari anggaran rutin berdasarkan keputusan Menteri Sosial RI
No. 14/HUK/1994 yang berisi tentang perubahan status Sasana Tresna Werdha
kelola oleh Bada Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN) dan pada tahun 2001 berada
dibawa naungan Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur dengan dasar PERDA No.12
tahun 2000 yang telah diubah dengan PERDA No.14 tahun 2001 dan Keputusan
Gubernur No.41 tahun 2001 yanga diubah dengan Keputusan Gubernur No.51 tahun
2003 tentang uraian tugas dan fungsi Unit Pelaksana Teknik Dinas Sosial Propinsi
Jawa Timur. Pada tahun 2008 sesuai Pergub N0. 119/2008 diubah namanya menjadi
Unit Pelaksana Teknik Pelayanan Sosial Lanjut Usia Magetan (UPT PSLU Magetan)
Fasilitas tempat tinggal yang dimiliki UPT PSLU Magetan bangunan yang
memadai dengan sanitasi lingkungan berlantaikan keramik, terdiri dari 8 wisma yang
dipakai untuk lansia mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasar berupa wisma
berisikan kamar-kamar, dapur, kamar tamu, ruang makan, kamar mandi, masing-
masing kamar terdiri 2 orang, dan 1 wisma yaitu wisma yang berbentuk zaal terdiri
dari 12 tempat tidur dipergunakan untuk lansia yang tidak mandiri dalam memenuhi
Fasilitas lain yang di UPT PSLU Magetan antara lain klinik kesehatan dengan
fasilitas medis yang memadai dengan tenaga paramedis lulusan D3 sebanyak 3 orang,
dapur umum menyediakan makan dan minum bergizi 3 kali dalam sehari ditambah
snack, aula, masjid, kebun, kolam, makam. Semua biaya pelayanan tanpa dipungut
biaya dan sumber dana berasal dari APBD Pemerintah propinsi Jawa Timur dan dari
agama tiap hari, olah raga senam tiap selasa senam otak dan kamis senam tera,
pemeriksaan kesehatan dan bimbingan kreatif tiap hari rabu, bimbingan ketrampilan
tiap hari selasa, kamis dan jumat, bimbingan yasinan dan ceramah agama tiap hari
kamis, bimbingann kelompok kerja bakti tiap hari jumat dan untuk sabtu dan minggu
meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur lansia antara lain senam terra 1 minggu
sekali.
dan kontrol berjenis kelamin perempuan sebanyak 60% dan hampir setengahnya
Kelompok
Umur Responden Perlakuan Kontrol
n % n %
60-65 Tahun 3 30 3 30
66-70 Tahun 2 20 2 20
71-75 Tahun 5 50 5 50
Jumlah 10 100 10 100
Dari tabel 5.2 di atas didapatkan hampir setengah responden kelompok perlakuan
berumur 71-75 tahun dan dan sebagaian kecil berusia 66-70 tahun. Pada kelompok
kontrol hampir setengah responden berusia 71-75 tahun dan sebagaian kecil berusia
66-70 tahun.
Kelompok
Lama Tinggal Perlakuan Kontrol
n % n %
< 1 Tahun 2 20 2 20
1-5 Tahun 6 60 6 60
5-10 Tahun 1 10 2 20
>10 Tahun 1 10 0 0
Jumlah 10 100 10 100
perlakuan lama tinggal di UPT PSLU Magetan yaitu 5-10 tahun dan sedikit di
Desember 2014
Kelompok
Riwayat
Pekerjaan Perlakuan Kontrol
n % n %
Tidak bekerja 4 40 4 40
PNS 0 0 0 0
Wiraswasta 6 60 6 60
Jumlah 10 100 10 100
Kelompok
Status
Perkawianan Perlakuan Kontrol
n % n %
Tidak Kawin 0 0 1 10
Kawin 0 0 0 0
Duda/Janda 10 100 9 90
Jumlah 10 100 10 100
menikah.
Kelompok
Agama Perlakuan Kontrol
n % n %
Islam 10 100 10 100
Kristen 0 0 0 0
Hindu 0 0 0 0
Budha 0 0 0 0
Jumlah 10 100 10 100
Dari tabel 5.6 di atas didapatkan seluruh responden baik perlakuan dan
1. Pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot
Tabel 5.7 Tabel Latensi Tidur Pada Kelompok Perlakuan Dan Kontrol Sebelum Dan
Sesudah Melakukan Intervensi Program Rutin Exercise Aerobik Dan
Pemberian Latihan Relaksasi Otot Progresif Di UPT PSLU Magetan,
tanggal 25 November 2014 sampai dengan 20 Desember 2014
Tabel 5.7 di atas menggambarkan latensi sebelum (pre test) dan sesudah (post
test) pada kelompok perlakuan yang diberikan program rutin exercise aerobik selama
3 minggu dan pemberian latihan relaksasi otot progresif selama 2 minggu. Pada tabel
di atas menunjukkan adanya penurunan latensi tidur pada kelompok perlakuan setelah
dilakukan intervensi dan pada kelompok kontrol tanpa intervensi. Sebelum dilakukan
intervensi latensi tidur rata-rata 58,5 menit. Setelah program rutin exercise aerobik
selama 3 minggu dan pemberian latihan relaksasi otot progresif selama 2 minggu.
Setelah diberikan intervensi terjadi penurunan latensi tidur menjadi 33 menit. Setelah
dilakukan uji statistik paired t test dengan signifikan p0,05 menunjukkan p=0,000
berarti ada pengaruh yang signifikan program rutin exercise aerobik selama 3
minggu dan pemberian latihan relaksasi otot progresif selama 2 minggu terhadap
latensi tidur.
Tabel 5.7 menunjukkan perubahan latensi pada kelompok kontrol. Dari hasil
dilakukan post-test terdapat perubahan latensi tidur menjadi lama yaitu 58,5 menit.
Setelah dilakukan uji statistik paired t test dengan signifikan p0,05 menunjukkan
p=0,726 yang berarti tidak ada pengaruh perubahan latensi tidur pada kelompok
kontrol.
Tabel 5.7 di atas menggambarkan latensi tidur pada kelompok yang diberikan
perlakuan berupa program rutin exercise aerobik selama 3 minggu dan pemberian
latihan relaksasi otot progresif selama 2 minggu dan kelompok kontrol. Dari tabel
diatas menunjukkan terjadi adanya perubahan latensi tidur pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan setelah dilakukan intervensi terjadi
penurunan latensi tidur menjadi 33 menit sedangkan pada kelompok kotrol setelah 3
minggu dilakukan post test latensi tidur menjadi 58,5 menit. Setelah dilakukan uji
pengaruh yang signifikan program rutin exercise aerobik selama 3 minggu dan
pemberian latihan relaksasi otot progresif selama 2 minggu terhadap latensi tidur
2. Pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot
Tabel 5.8 Tabel Durasi Tidur Pada Kelompok Perlakuan Dan Kontrol Sebelum Dan
Sesudah Melakukan Intervensi Program Rutin Exercise Aerobik Dan
Pemberian Latihan Relaksasi Otot Progresif Di UPT PSLU Magetan,
tanggal 25 November 2014 sampai dengan 20 Desember 2014
Tabel 5.8 di atas menggambarkan durasi sebelum (pre test) dan sesudah (post
test) pada kelompok perlakuan yang diberikan program rutin exercise aerobik selama
3 minggu dan pemberian latihan relaksasi otot progresif selama 2 minggu dan pada
Sebelum dilakukan intervensi durasi tidur rata-rata 3,7 jam. Setelah program rutin
exercise aerobik selama 3 minggu dan pemberian latihan relaksasi otot progresif
5,30 jam. Setelah dilakukan uji statistik paired t-test dengan signifikan p0,05
menunjukkan p=0,000 berarti ada pengaruh yang signifikan program rutin exercise
aerobik selama 3 minggu dan pemberian latihan relaksasi otot progresif selama 2
Tabel 5.8 juga menunjukkan perubahan durasi pada kelompok kontrol. Dari
hasil pre-test didapatkan durasi rerata responden 3,7 jam. Setelah 3 minggu dilakukan
post test tidak terjadi perubahan rerata durasi tetap 3,7 jam. Setelah dilakukan uji
statistik paired t-test dengan signifikan p0,05 menunjukkan p=0,591 yang berarti
Tabel 5.8 di atas menggambarkan durasi tidur pada kelompok yang diberikan
perlakuan berupa program rutin exercise aerobik selama 3 minggu dan pemberian
latihan relaksasi otot progresif selama 2 minggu dan kelompok kontrol. Dari tabel
diatas menunjukkan terjadi adanya perubahan durasi tidur pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan setelah dilakukan intervensi terjadi
peningkatan durasi tidur menjadi 5,30 jam sedangkan pada kelompok kontrol durasi
tidur tetap 3,7 jam. Setelah dilakukan uji statistik dengan independent t-test
latihanrelaksasi otot progresif selama 2 minggu terhadap durasi tidur pada lansia di
7.2 Pembahasan
Secara umum dari hasil penelitian didapatkan ada pengaruh program rutin
exercise aerobik dan pemberian relaksasi otot progresif terhadap latensi dan durasi
tidur lansia di UPT PSLU Magetan. Penelitian ini memiliki hasil yang bervariatif
dalam setiap variabelnya, sehingga perlu diadakan pembahasan kenapa hal ini bisa
terjadi.
7.2.1 Latensi tidur sebelum dan sesudah program rutin exercise aerobik dan
tidur berupa latensi. Berdasar hasil penelitian yang ditunjukan pada tabel 5.7
Responden memulai tidur umumnya jam 20.30 sampai dengan jam 21.00 baik
intervensi program rutin exercise aerobik dan pemberian relaksasi otot progresif, dari
10 responden kelompok perlakuan semua harus menunggu 60 menit atau lebih untuk
dapat memulai tidur. Setelah 3 minggu diberikan intervensi program rutin exercise
aerobik berupa senam 3 kali seminggu dan relaksasi otot progresif selama 2 minggu
berturut-turut sebagaian besar dengan skor penilaian senam baik dengan skor 17
poin dan relaksasi otot progresif semua responden berada pada skoring baik yaitu
15 poin, terjadi perubahan latensi tidur pada responden kelompok perlakuan, seluruh
responden yang memiliki latensi tidur yang buruk menjadi 5 orang meningkat dari
buruk menjadi kurang dan 5 responden meningkat dari buruk menjadi cukup. Rata-
rata terjadi penurunan latensi tidur 20 sampai dengan 30 menit, satu responden nomer
responden yang lain, hal ini dikarenakan responden mempunyai aktifitas yang banyak
di siang hari dibandingkan dengan responden yang lain dan untuk nilai senam adalah
baik yaitu 20 poin dan relaksasi otot progresif 17 poin sehingga hal ini dapat
mempercepat memulai tidur. Jika responden cepat memulai tidur maka lama tidur
akan bertambah meskipun pada tengah malam responden terbangun 2 sampai 3 kali
ke kamar mandi, namun responden dapat tidur kembali secara mudah saat kembali
ketempat tidur.
latensi tidur yang buruk tidak ada penurunan latensi tidur baik pre atau post test. Pada
menit hal ini disebabkan karena mereka lama tidur di siang hari dan 2 responden
siang hari dan hujan di malam hari sehingga menyebabkan responden lebih cepat
memulai tidur dibandingkan dengan pre test. Hal ini membuktikan bahwa pemberian
program rutin exercise aerobik dan pemberian relaksasi otot progresif dapat
menurunkan latensi tidur lansia. Hal ini di perkuat dengan hasil uji statistik paired
t-test pada kelompok perlakuan dengan signifikan p0,05 menunjukkan p=0,000 dan
pada kelompok kontrol p=0,726. Hasil uji independent-test pada kelompok perlakuan
waktu tidur serta munculnya gangguan yang menurunkan kualitas tidur. Seorang
lanjut usia akan membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama
di tempat tidur sebelum tertidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan tidur lansia dapat dilihat dari faktor internal
dan eksternal. Faktor internal dapat bermula dari penyakit fisik, stres emosional,
depresi, aktifitas fisik dan gaya hidup. Faktor eksternal meliputi penggunaan
medikasi, kondisi lingkungan, asupan makanan, dan hormon (Potter & Perry, 2005).
Kebiasaan lansia yang minum kopi dan merokok dapat mempengaruhi lansia untuk
jatuh tertidur. Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur lansia adalah kondisi
lingkungan dan kebiasaan sebelum tidur yang tidak sehat seperti: makan dan minum,
7.2.2 Durasi tidur sebelum dan sesudah program rutin exercise aerobik dan
tidur berupa durasi. Berdasar hasil penelitian yang ditunjukan pada tabel 5.8
Sebelum dilakukan intervensi program rutin exercise aerobik dan pemberian relaksasi
durasi tidur buruk yaitu semua responden memiliki durasi tidur 3 dan 4 jam. Setelah 3
minggu diberikan intervensi program rutin exercise aerobik berupa senam 3 kali
seminggu dan relaksasi otot progresif selama 2 minggu berturut-turut sebelum tidur
responden yang memiliki durasi tidur yang buruk 7 orang meningkat dari buruk
menjadi cukup dan 3 responden meningkat dari buruk menjadi baik. Skor senam dan
skor relaksasi responden rata - rata berada pada level baik yaitu senam dengan skor
17 poin dan relaksasi otot progresif semua responden berada pada skoring baik
yaitu 15 poin, hal ini juga menjadi pengaruh meningkatnya durasi tidur pada lansia
durasi tidur sebanyak 1 jam, hal ini dikarenakan kebiasaan lansia sering bak dan
susah untuk mulai tidur sehingga mengurangi durasi tidur dan 1 responden
mengalami kenaikan durasi tidur, hal ini di karenakan responden tersebut banyak
melakukan aktifitas di siang hari dan kondisi musim hujan dimalam hari sehingga
waktu tidur menjadi lebih lama. Jadi kelompok kontrol baik pre atau post test durasi
tidur dalam posisi buruk. Hal ini membuktikan bahwa pemberian program rutin
exercise aerobik dan pemberian relaksasi otot progresif dapat menaikkan durasi tidur
lansia. Hal ini di perkuat dengan hasil uji statistik paired t test pada kelompok
kontrol p=1,000. Hasil uji independent t-test pada kelompok perlakuan dan kontrol
Berkurangnya tingkat kualitas tidur pada lansia yang diakibatkan oleh beberapa
keluhan di atas sesuai dengan pernyataan Potter dan Perry (2005) bahwa lansia
terdapat ciri khas yakni tidak tidur sepanjang malam yang disebabkan oleh
pemendekan siklus tidur; akibat pengosongan kandung kemih yang sering, nyeri dan
memiliki waktu pendek pada tidur yang dalam (delta sleep), dan lebih panjang
sering muncul ketika malam hari ini membuat terhambatnya siklus tidur. Lansia akan
kesulitan masuk ke dalam stadium III hingga fase REM ketika mendadak terbangun,
sehingga ketika tertidur kembali harus mengulang ke stadium awal terlebih dahulu.
7.2.3 Pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot
progresif terhadap latensi dan durasi tidur lansia di UPT PSLU Magetan
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa responden baik perlakuan atau kontrol berjenis
Jenis kelamin merupakan gender dari seseorang yaitu laki dan perempuan.
Menurut (Rawlins, 2001) wanita secara psikologis memiliki mekanisme koping yang
gangguann fisik dan psikologis wanita akan mengalami kecemasan, jika kecemasan
lanjut seseorang tersebut akan mengalami kejadian gangguan tidur dibanding laki-
laki. Sehingga dari teori tersebut dapat disimpulkan kenapa gangguan tidur berupa
berumur 71-75 tahun (50%) dan sebagian kecil berusia 66-70 tahun (20%).
Latensi dan durasi tidur sering ditemukan pada lansia. Seringkali lansia
mengatakan dirinya kesulitan untuk memulai tidur, sering terjaga tidurnya Kualitas
tidur pada lansia mengalami perubahan yaitu tidur REM mulai memendek.
Penurunan progresif pada tahap NREM 3 dan 4 dan hampir tidak memiliki tahap 4.
Perubahan pola tidur lansia disebabkan perubahan sistem saraf pusat yang
mempengaruhi pengaturan tidur (Saryono &Widianti, 2010). Seorang lanjut usia akan
membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama di tempat tidur
sebelum tertidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya
Tabel 5.3 menunjukkan sebagaian besar baik kelompok perlakuan atau kontrol
lama tinggal dipanti adalah 1-5 tahun (60%) dan sebagaian sedikit 5-10 tahun (10%).
Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur pada lansia antara lain penyakit,
stress psikologis, obat, nutrisi, lingkungan, motivasi, gaya hidup dan latihan (Saryono
& Widianti, 2010). Lama tinggal dipanti bisa menjadi stressor tambahan yang bisa
mempengaruhi latensi dan durasi tidur. Lansia harus beradaptasi dengan teman
sekamar, penghuni lain, petugas, peraturan yang berlaku di panti dan lingkungan fisik
panti. Dari sini dapat dilihat tentang lama tinggal di panti masing-masing lansia
sangat berpengaruh. Semakin lama tinggal di panti, maka lansia semakin lama
Tabel 5.4 sebagaian besar koresponden perlakuan dan kontrol dulunya bekerja
dapat dilihat dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat bermula dari
penyakit fisik, stres emosional, depresi, aktifitas fisik dan gaya hidup. Faktor
hormon (Potter & Perry, 2005). Bila di masa siang hari sibuk dan produktif sepanjang
hari, ketika malam hari gangguan tidur akan minimal. Hal sebaliknya jika lansia di
siang hari tidak ada aktifitas dan cenderung tidak aktif, ketika malam akan sulit untuk
tidur dengan baik. Aktifitas maupun pekerjaan yang cukup pada jam produktif dapat
membantu mengurangi waktu tidur di siang hari. Namun karena sudah menurunnya
kemampuan fisik, lansia sudah masuk masa pensiun dan kebanyakan tidak
Tabel 5.5 hampir semua lansia yang menjadi koresponden adalah duda/janda
kemiskinan, usia, jenis kelamin, penyakit fisik yang tak kunjung sembuh, perceraian
atau kematian pasangan. Dengan ketidak beradaan pasangan di hari tua pada lansia
durasi lansia.
Pada tabel 5.6 didapatkan semua lansia yang mengalami gangguan tidur adalah
Penghuni lansia di UPT PSLU semua beragama islam. Salah satu aktifitas yang
tidak bisa di kendalikan peneliti adalah aktifitas harian responden, beberapa lansia
yang beragama islam memiliki kebiasaan menjalankan ibadah setiap tengah malam
seperti solat tahajud, dzikir dan membaca Al Quran dan lain-lainnya . Hal ini
minggu dan relaksasi otot progresif selama 2 minggu didapatkan data penurunan
latensi tidur pada kelompok perlakuan dari rerata 58,5 menit menjadi 33 menit dan
peningkatan durasi tidur dari rerata 3,7 jam menjadi 5,3 jam. Hal ini di dukung oleh
uji statistik pada latensi dan durasi tidur paired t Test dan independent t-Test pada
kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil uji statistik latensi tidur menunjukkan paired t
Test pada kelompok perlakuan menunjukkan P=0.000 yang artinya H0 di tolak dan
p=0.726 yang artinya H0 di terima. Hal ini juga di perkuat dengan hasil uji statistik
independent t-Test yang menunjukkan hasil p=0.000. Hasil uji statistik durasi tidur
artinya H0 di tolak dan H1 diterima. Sedangkan uji paired t Test pada kelompok
kontrol menunjukkan p=1.000 yang artinya H0 di terima. Hal ini juga di perkuat
dengan hasil uji statistik independent t-Test yang menunjukkan hasil p=0.000. Jadi
program rutin exercise aerobik 3 kali seminggu dan relaksasi otot progresif 2 minggu
sebelum tidur memiliki pengaruh yang signifikan terhadap latensi dan durasi tidur
kali seminggu dan relaksasi otot progresif selama 2 sebelum tidur, lansia mengatakan
tidak mengalami kesulitan untuk memulai tidur, badan menjadi segar, tidur menjadi
nyenyak dan mudah memulai tidur lagi ketika bangun pada malam harinya.
waktu tidur serta munculnya gangguan yang menurunkan kualitas tidur. Seorang
lanjut usia akan membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama
di tempat tidur sebelum tertidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan tidur lansia dapat dilihat dari faktor internal
dan eksternal. Faktor internal dapat bermula dari penyakit fisik, stres emosional,
depresi, aktifitas fisik dan gaya hidup. Faktor eksternal meliputi penggunaan
medikasi, kondisi lingkungan, asupan makanan, dan hormon (Potter & Perry, 2005).
Menurut Kelly & Tracey (2005) latihan aerobik dapat meningkatkan detak
sistem kekebalan tubuh, dan memacu jantung. Salah satu olah raga yang dapat
aerobik adalah latihan yang dilakukan guna memelihara kesehatan jantung dan paru.
Jantung dan paru bekerja lebih keras untuk meningkatkan kebutuhan oksigen, latihan
ini bisa berupa gerakan gerakan tubuh secara umum seperti berjalan kaki. Bisa
sekitar 5-10 menit. Untuk lansia disarankan tidak melakukan aktifitas fisik yang
terlalu membebani tulang. Latihan aerobik dilakukan minimal 3 hari dalam satu
minggu sekali dan sebanyaknya banyaknya lima kali dalam satu minggu dengan
Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilaksanakan dan tidak
memberatkan, yang dapat dilaksanakan pada lansia. Kegiatan senam membuat lansia
tetap segar dan bugar, karena senam lansia melatih tulang tetap kuat, mendorong
jantung bekerja optimal dan membantu radikal bebas yang berkeliaran dalam tubuh
otak, menjaga kesegaran tubuh dan membuang energi negatif dari tubuh. Senam
lansia merupakan kombinasi gerakan otot dan teknik pernapasan. Teknik pernapasan
terangkat perlahan dan dada mengembang penuh. Teknik pernapasan tersebut bisa
jantung dan ke seluruh tubuh. Senam lansia merangsang penurunan aktifitas syaraf
transport oksigen ke otak dan seluruh tubuh menjadi lancar, kondisi ini akan
simpatis yang dapat mengembalikan tubuh dalam keadaan seimbang dari pupil,
pendengaran, tekanan darah. Denyut jantung kembali normal dan otot-otot menjadi
rilaks. Latihan relaksasi otot dapat menurunkan stress dan dapat berpengaruh pada
mengubah stimulus cemas akibat stressor menjadi tenang, senang dan nyaman
(Davis, 1995).
kejantung serta meningkatkan aliran darah ke seluruh tubuh. Aliran darah yang
meningkat juga dapat meningatkan nutrient dan oksigen dalam darah. Oksigen di
dalam otak akan merangsang peningkatan sekresi serotonin sehingga membuat tubuh
Olah raga secara teratur menjaga keseimbangan homeostasis tubuh melalui jalur HPA
melatonin yang sangat baik untuk pemenuhan kebutuhan tidur. Hormon encephalin,
dan endorphin menyebab tubuh menjadi rileks. Menurut Lousin Taylor dalam
Rahayu (2008), Endorfin tidak datang secara tiba-tiba dalam tubuh kita, tapi manusia
endorprin baru muncul kalau cadangan glukosa dalam tubuh mulai habis.
Pemberian program rutin exercise aerobik dan relaksasi otot progresif sangat
bermanfaat bagi lansia untuk membantu mengurangi latensi dan menambah durasi
tidur. Kondisi yang rileks dan nyaman akan mempercepat lansia untuk mampu
memulai tidur dengan waktu yang lebih cepat. Hormon melatonin dibantu oleh
serotonin dan endorfin membantu mencapai tidur yang dalam (delta sleep), sehingga
ketika tidur muncul respon rangsangan dari luar maupun dalam, lansia akan lebih
toleran dan tidak mudah terbangun. Pemenuhan tidur dalam yang cukup akan
meningkatkan proses regenerasi sel dan tercapainya kebugaran tubuh yang baik.
Latensi dan durasi tidur yang cukup juga membuat lansia dapat beraktifitas dengan
baik dan tidak mudah mengantuk di siang hari. Dengan demikian, lansia dapat
mengungkapkan secara personal bahwa kualitas tidur mereka lebih baik daripada
sebelumnya.
8 BAB VI
Pada bab ini akan disajikan simpulan dan saran dari hasil penelitian yang
berjudul pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi
otot progresif terhadap latensi dan durasi tidur lansia di UPT PSLU Magetan.
8.1 Kesimpulan
1. Sebelum intervensi program rutin exercise aerobik berupa senam lansia dengan
intensitas 3 kali dalam seminggu dan pemberian latihan relaksasi otot progresif
gangguan latensi tidur dan sesudah intervensi program rutin exercise aerobik
berupa senam lansia dengan intensitas 3 kali dalam seminggu dan pemberian
latihan relaksasi otot progresif selama 2 minggu sebelum tidur didapatkan hasil
2. Sebelum intervensi program rutin exercise aerobik berupa senam lansia dengan
intensitas 3 kali dalam seminggu dan pemberian latihan relaksasi otot progresif
gangguan durasi tidur dan sesudah intervensi program rutin exercise aerobik
berupa senam lansia dengan intensitas 3 kali dalam seminggu dan pemberian
latihan relaksasi otot progresif selama 2 minggu sebelum tidur didapatkan hasil
3. Hasil analisis data mengenai pengaruh program rutin exercise aerobik berupa dan
pemberian latihan relaksasi otot progresif pada lansia di UPT PSLU Magetan
penurunan latensi tidur dan peningkatan durasi tidur lansia di UPT PSLU
Magetan.
8.2 Saran
1. Bagi pengurus panti, program rutin exercise aerobik dan relaksasi otot progresif
dapat menjadi program alternatif untuk tetap dilaksanakan secara rutin bagi
aerobik dan relaksasi otot progresif karena bisa dilakukan secara mandiri
3. Bagi perawat gerontik program rutin exercise aerobik dan relaksasi otot progresif
pada lansia.
4. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat dilakukan dengan jumlah sampel
yang lebih besar dan homogen sehingga hasil penelitian lebih representatif.
Penelitian yang serupa dapat dilakukan pada area penelitian yang berbeda.
9 DAFTAR PUSTAKA
Afriadi, S. (2011). Ilmu kedoktera olah raga. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran
EGC.
Ann marier-Tomey,. & Martha Alligood. (2006),. Nursing Theorist and their work:
Elsevier Health Science
Buysse, et al, 1989. Pittsburgh Sleep Quality Index: a New Instrument for Psychiatric
Practice and Research. Psychiatry Research Elsevier. Volume 28 Issue 2
Budi, 2011. Buah Pala, Mengobati Gangguan Insomnia, Mual dan masuk angin.
http://budiboga.com/2006/05/buah-pala-mengobati-gangguan-
insomnia.%20html.%2020%20Agustus%202011.
Bompa, Tudor O, 1990 Theory and Methodology of Training; the key to athletic
performance Dubuque, Iowa: Kendall/ Hunt publishing company
Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI. 1997. Gizi Olahraga
UntukPrestasi. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Pp. 9.
Davis, M, Eshelman, E.R dan Matthew Mckay. 1995. Panduan Relaksasi dan reduksi
stress edisi III. Alih Bahasa: Budi Ana Keliat dan Achir Yani. Penerbit Buku
Kedokteran Jakarta
Gunters, k., 2002. Healty aktive aging: Physical activity guidelines for older adult.
United states:Oregon State University: s.n.
Gentili,. A. 2002 Geriatic Sleep Disorder
Http;//emedicine.medscape.com/article/292498-overview. Tanggal 13
November 2014 pukul 11.00
Ganong, WF, (2002). Buku Ajar Fisiologis Kedokteran Edisi 20. Jakarta: EGC
Heffner, et al. 2012. Sleep Disturbance and Older Adults Inflammatory Responses to
Acute Stress. The American Journal of Geriatric Psychiatry. 20(9): 744-52
Harber, P.M, T. & Scoot, T (2009) Aerobic Exercise Training improves whole
Muscle and Singgle Myofiber size and fungtion in Older Women. Journal
physical regular IntergralCompany Physical, 10,11-42
Kathy Gunter. 2002. Healty, active aging: Physical Activity Guidelines for Older
Aduls. Oregon State University.
Kartiko, H.C, 2011. Pengaruh senam lansia terhadap kualitas tidur pada lansia di
desa leyangan kecamatan ungaran timur Kabupaten Semarang. Skripsi tidak
dipublikasikan . Program Sarjana keperawatan Universitas Diponegoro,
Semarang.
Kelly, & Tracey. (2005). 50 Rahasia Alami detoks. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Martono, & Darmojo. (2010). Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Morre CA, W. (2000). Sleep Disorder . Kaplan & sadock (ed) Conprenhensive
texbook of Psychiatry. Philadelphia: Lippincot Will & Wilkins.
Nursalam. 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 Volume 2.
Jakarta: EGC
Poniman, F., Nugroho, I., & Azzaini, J. (2007). Kubik Leadership Solusi dan esensial
meraih sukses dan kemuliaan hidup. Jakarta: Penerbit Hikmah ( PT Mizan
Publika).
Purwanto & Zulaekah, 2007. Pengaruh pelatihan Relaksasi Religius untuk
mengurangi gangguan Insomnia(online), ( Sebastian Schmieg Blog at
wordpress, diakses 11 november 2014)
Putra, ST,(2005) Psikoneuroimunologi Kedokteran. Surabaya: graham Masyarakat
ilmu Kedokteran (GRAMIK)FK-Unair
Prasadja, A., 2009. Ayo Bangun dengan Bugar karena Tidur yang benar. Jakarta:
Penerbit Hikmah.
Rafknowledge, 2004. Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Rahayu, R.M. 2008. Pengaruh Perendaman Kaki Air Hangat Terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Tidur Lansia Di UPT PSLU Jombang. Skripsi untuk memperoleh
gelar Sarjana Keperawatan UNAIR. Tidak dipublikasikan.
Resti, I., 2014. Tehnik relaksasi otot progresif untuk mengurangi stress pada
penderita asma. http://ejournal.umm.ac.id.
Rawlins 2013. Kesehatan Mental Psikiatri. Jakarta : EGC
Saryono & Widianti ,A.T, 2010. Catatan kuliah kebutuhan dasar manusia (KDM).
cetakan ke2 . Yogjakarta : Nuha Mediaka
Satwiko,2009.Fisika Bangunan.Yogjakarta:Andi
Stanley & Beare, 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC
Sumedi, T, Wahyudi, & Kuswati,A. 2010. Senam Lansia terhadap Penurunan Skala
Insomnia pada Lansia di Panti Wredha Dewanata Cilacap. Jurnal
Keperawatan Soedirman, volume 5 no 1, maret 2010.
Thyer, et al, 2012. Human Behavior in the Social Environment. New York: John
Willey & Sons
Wirakusumah, E. 2004. Agar Tetap Sehat, Cantik dan Bahagia di Masa Menopause
dengan Terapi Estrogen Alami. Jakarta
Widianti,A.T& Proverawati,A. 2010. Senam Kesehatan. Yogjakarta : Nuha Medika
Widyastuti, NNS, Achjar KAH & Surasta W 2013, Perbedaan efektifitas terapi
musik dengan teknik relaksasi progresif terhadap peningkatan kualitas tidur
lansia di Banjar Peken desa Sumerta Kaja, Community Of Publishing In
Nursing, vol. 1, no. 1, diakses 22 September 2014,
<http://ojs.unud.ac.id/index.php/coping/article/download/6127/4618>
Lampiran 1
10 LAMPIRAN
Lampiran 2
Lampiran43
Lampiran
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
ENJELASAN PENELITIAN
Pelemasan Otot Seluruh Badan terhadap Waktu mulai dari persiapan di tempat tidur
sampai terpejam (latensi) dan waktu mulai tidur sampai terbangun (durasi) di UPT
PSLU Magetan
Tujuan Penelitian
A. Tujuan umum
Menjelaskan pengaruh program senam lansia dan pemberian latihan pelemasan otot
seluruh badan terhadap waktu mulai dari persiapan di tempat tidur sampai terpejam
(latensi) dan waktu mulai tidur sampai terbangun (durasi) di UPT PSLU Magetan
B. Tujuan khusus
4. Mengetahui waktu mulai dari persiapan di tempat tidur sampai terpejam (latensi)
sebelum dan sesudah dilakukan program senam lansia dan pemberian latihan
5. Mengetahui waktu mulai tidur sampai terbangun (durasi) lansia sebelum dan
pelemasan otot seluruh badan terhadap waktu mulai dari persiapan di tempat tidur
sampai terpejam (latensi) dan waktu mulai tidur sampai terbangun (durasi) di UPT
PSLU Magetan
Penelitian ini merupakan penelitian pemberian tindakan, berupa senam lansia yang
dilakukan tiga kali seminggu setiap hari selasa, kamis, minggu setiap pagi selama 20
sampai dengan 30 menit yang dipandu oleh instruktur senam lansia dan tindakan
pelemasan seluruh otot badan setiap hari selama dua minggu, dilakukan 2 sampai
sampai dengan 3 jam sebelum tidur yang dilakukan oleh peneliti di bantu oleh asisten
D. Manfaat
Membuat lansia sehat, bugar dan nyaman sehingga lansia bisa tidur nyenyak
E. Bahaya Potensial
Tidak ada bahaya potensial yang diakibatkan oleh keterlibatan subyek dalam
penelitian karena subyek hanya diberi perlakuan senam lansia dan pemberian
Keikutsertaan subyek dalam penelitian ini bersifat sukarela dan responden berhak
merugikan responden.
Karena keikutsertaan subyek bersifat sukarela, tidak ada insetif berupa uang yang
akan diberikan ke responden. Responden dan seluruh penghuni panti hanya akan
diberikan souvenir.
KELOMPOK INTERVENSI
Assalamualaikum wr wb
Pelemasan Otot Seluruh Badan terhadap Waktu mulai dari persiapan di tempat
tidur sampai terpejam (latensi) dan waktu mulai tidur sampai terbangun
Manfaat dari penelitian ini bagi para lansia adalah membuat lansia sehat,
bugar dan nyaman sehingga lansia bisa tidur nyenyak dan umumnya program ini bisa
dijadikan pilihan bagi lansia untuk mengatasi gangguan waktu mulai dari persiapan di
tempat tidur sampai terpejam (latensi) dan waktu mulai tidur sampai terbangun
(durasi) di UPT PSLU Magetan. Untuk keperluan diatas saya mohon kesedianan
ibu/bapak untuk mau ikut program senam lansia yang dilakukan tiga kali seminggu
setiap hari selasa, kamis, minggu setiap pagi jam 07 sampai dengan selesai, selama 20
sampai dengan 30 menit dengan jarak mulai tidur malam selama 14 jam dan tindakan
pelemasan seluruh otot badan setiap hari selama dua minggu, dilakukan selama 15
samapai dengan 20 menit dilakukan 2 - 3 jam jam sebelum tidur. Kegiatan tersebut
kuisioner yang sudah saya siapkan untuk mengetahui waktu mulai dari persiapan di
tempat tidur sampai terpejam (latensi) dan waktu mulai tidur sampai terbangun
(durasi) dan sesudah melakukan senam lansia dan pelemasan otot badan selama dua
minggu bapak/ibu akan di wawancarai secara terstuktur dengan kuesioner yang sudah
saya sediakan.
diberikan digunakan wahana untuk mengembangkan mutu pelayanan dan tidak akan
digunakan untuk maksud lain. Jika bapak/ibu tidak berkenan menjadi responden,
Sebagai bukti kesediaan menjadi responden dalam penelitian ini, saya mohon
Partisipasi bapak/ibu dalam penelitian ini sangat saya hargai, saya akan memberikan
Hormat saya
Komsiatiningsih
NIM.131311123033
Lampiran 10
KELOMPOK KONTROL
Assalamualaikum wr wb
Tempat Tidur Sampai Terpejam (Latensi) dan Waktu Mulai Tidur Sampai
Manfaat dari penelitian ini bagi para lansia adalah membuat lansia sehat,
bugar dan nyaman sehingga lansia bisa tidur nyenyak dan umumnya program ini bisa
dijadikan pilihan bagi lansia untuk mengatasi gangguan waktu mulai dari persiapan di
tempat tidur sampai terpejam (latensi) dan waktu mulai tidur sampai terbangun
(durasi) di UPT PSLU Magetan. Untuk keperluan diatas saya mohon kesedianan
ibu/bapak untuk mau ikut program yang saya adakan, sebelum memulai program
bapak/ibu saya beri pertanyaan terstruktur dengan pertanyaan (kuisioner) yang sudah
saya siapkan untuk mengetahui waktu mulai dari persiapan di tempat tidur sampai
terpejam (latensi) dan waktu mulai tidur sampai terbangun (durasi). Selama 2 minggu
bapak/ibu saya mohon untuk tidak ikut senam dan latihan pelemasan otot badan tapi,
setelah 2 minggu bapak/ibu bisa mengikuti senam dan akan saya beri latihan
pelemasan otot badan. Setelah 2 minggu tidak melakukan senam dan pelatihan
pelemasan otot badan bapak/ibu akan saya berikan pertanyaan terstruktur lagi dengan
pertanyaan (kuisioner) yang sudah saya siapkan untuk mengetahui waktu mulai dari
persiapan di tempat tidur sampai terpejam (latensi) dan waktu mulai tidur sampai
dan tidak akan digunakan untuk maksud lain. Jika bapak/ibu tidak berkenan menjadi
Sebagai bukti kesediaan menjadi responden dalam penelitian ini, saya mohon
Partisipasi bapak/ibu dalam penelitian ini sangat saya hargai, saya akan memberikan
Hormat saya
Komsiatiningsih
NIM.131311123033
Lampiran 11
INFORMED CONCENT
Komsiatiningsih
Saksi,
Lampiran 12
Progresif Terhadap Latensi Dan Durasi Tidur Lansia Di UPT PSLU Magetan
No Responden :
Tanggal pengisian :
Petunjuk :
penelitian ini
Data demografi
1. Usia
a. 60-65 tahun
b. 66-70 tahun
c. >75 tahun
2. Jenis kelamin
a. Laki-laki
b. Perem[puan
b. 1-5 tahun
c. 5-10 tahun
d. > 10 tahun
a. Tidak kawin
b. Kawin
c. Janda/duda
a. Tidak bekerja
b. PNS
c. Wiraswasta
6. Agama/kepercayaan
a. Islam
b. Kristen
c. Hindu
d. Budha
Lampiran 13
Waktu : 30 sd 45 menit
I. Analisa Situasional
gangguan tidur
III. Sarana
IV. Kegiatan
4. Gerakan Pemanasan
8x8 gerakan
12) Latihan 4, Dorong tumit kanan depan bergantian dengan tumit kiri,
5. Gerakan inti
2) Jalan maju mundur melatih koordinasi lengan dan tungkai 2x8 hitungan
2x8 hitungan
ke depan dengan tangan lurus keatas, koordinasi otot tungkai, 2x8 hitungan
7) Mengangkat kaki ke depan serong dengan tangan tekuk lurus 2x8 hitungan
8) Mengangkat kaki ke depan serong dengan tangan tekuk lurus 2x8 hitungan
tangan diayun kesamping 1x8 hitungan, gerakan sebaliknya juga sama 2x8
hitungan
1. Gerakan pendinginan
12) Buka kaki, tekuk iutut sambil mengangkat tangan ke kanan atas,
13) Kaki terbuka, tekuk lutut kanan sambil mengangkat tangan kanan ke
memindahkan kedua ujung kaki hitungan kekanan, dan kiri dengan hitungan
4x8
18) Gerakan pernapasan kaki terbuka lebar selebar bahu diangkat ke atas
Lampiran 15
SENAM LANSIA
Dilakukan
No Kegiatan
Ya Tidak
1. Persiapan
1) Persiapan tempat
2) Siapkan peralatan yang diperlukan
1. Tape recorder
2. Micropone
3. CD
3) Perkenalkan diri dan identifikasi pasien dengan
memeriksa gelang identitas
4) Jelaskan hal-hal yang akan dilakukan dan yang dapat
terjadi
2. Tahap Kerja
1. Gerakan pemanasan
1) Sikap permulaan dan pemanasan, sikap berdiri
tegak, menghadap ke depan dengan sikap
seperti gambar dibawah ini:
2) Latihan 1, Jalan di tempat dengan hitungan 4x8
hitungan
3) Latihan 2, Jalan maju mundur, gerakan kepala
menengok ke samping, miringkan kepala,
menundukkan kepala 8X8 hitungan.
4) Latihan 3, melangkah satu langkah ke samping
dengan menggerakkan bahu 8x8 gerakan
5) Latihan 4, Dorong tumit kanan depan
bergantian dengan tumit kiri, angkat kaki, tekuk
lengan dengan hitungan 8x8
6) Latihan 5, Peregangan dinamis dengan jalan di
tempat hitungan 8x8
7) Latihan 7,Gerakan peregangan dinamis dan
statis
2. Gerakan Inti
3. Gerakan Pendinginan
3. Tahap Terminasi
Lampiran 16
Waktu : 30 menit
A. Analisa Situasional
B. Tujuan Instruksional
Magetan
2. Bantal
4. Booklet
D. Metode
1. Demontrasi
2. Tanya jawab
E. Kegiatan
F. Kriteria Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
intervensi
2. Evaluasi Proses
3. Evaluasi Hasil
otot progresif
ditetapkan
Lampiran 17
Dilakukan
No Kegiatan
Ya Tidak
1. Persiapan
1) Persiapan tempat
2) Siapkan peralatan yang diperlukan
1. Bantal
2. Kursi atau kasur
3. Booklet
3) Perkenalkan diri
4) Jelaskan maksud dan tujuan
2. Tahap Kerja
a. Menjelaskan pengertian, tujuan dan manfaat dari
relaksasi otot progresif
b. Mendemonstrasikan prosedur teknik relaksasi otot
progresif :
1. Klien duduk atau berbaring dengan posisi yang
nyaman
2. Genggam tangan kanan dan buat suatu kepalan,
buatlah agar kepalan tersebut menjadi semakin
kuat dan tegang, kemudian lepaskan. Rasakan
keadaan rileks selama 10 detik. Lakukan hal yang
sama pada tangan kiri. Ulangi gerakan ini sekali
lagi
3. Tekuk kedua lengan ke arah belakang pada
pergelangan tangann sehingga otot di tangan
bagian belakang dan lengan bagian bawah menjadi
tegang. Tahan selama 10 detik dan rilekskan.
Ulangi gerakan ini sekali lagi
4. Genggam kedua tangan sehingga membentuk suatu
kepalan, arahkan kedua kepalan tersebut ke pundak
sehingga otot bisep menegang dan tahan selama 10
detik. Rilekskan kembali dan ulangi gerakan ini
sekali lagi
3. Tahap Terminasi
SPO latihan relaksasi otot progresif dengan total item 20, dengan nilai tertinggi 20
Lampiran 18
KUESIONER
1. Latensi Tidur
No. Keterangan Waktu (menit)
2. Durasi Tidur
No. Keterangan Waktu (jam)
Ketentuan Scoring
Lampiran 19
13. Gerakan 14-15 TEKNIK RELAKSASI OTOT PROGRESIF
SURABAYA
Daftar Isi
Hal
Progresif........................................................ 3
Manfaat
(1) Tarik nafas panjang untuk mengisi paru-paru darah tinggi, nyeri leher, nyeri punggung
Memenuhi kebutuhan oksigen tubuh
dengan udara sebanyak-banyaknya
Meningkatkan gelombang alfa otak
(2) Tahan selama beberapa waktu, sambil
Meningkatkan kemampuan dalam mengatasi stres
merasakan ketegangan yang terjadi pada Mengatasi kelelahan dan sulit tidur
bagian dada sampai turun ke perut, Membangun emosi positif
kemudian lepaskan.
Persiapan
(3) Lakukan nafas normal dengan lega saat
ketegangan dilepas Dilakukan sedikitnya satu (1) jam setelah makan
(4) Ulangi gerakan ini sekali lagi sampai dapat Ciptakan lingkungan yang tenang, kursi dan bantal
Longgarkan perhiasan dan baju yang ketat
merasakan perbedaan antara keadaan
tegang dan rileks
Gerakan 1
9. Gerakan 10 2. Gerakan 2
3. Gerakan 3 8. Gerakan 9
7. Gerakan 8 4. Gerakan 4
6. Gerakan 7
5. Gerakan 5 dan 6
Lampiran 20
Data Demografi
No Jenis
responden Kelamin Riwayat
Kelompok Usia Lama Status Agama
pekerjaan
tinggal perkawinan
1A 3 1 1 3 3 1
2A 2 1 2 3 3 1
3A 1 1 1 3 3 1
4A 1 1 3 3 3 1
Perlakuan
5A 3 2 2 3 3 1
6A 1 2 2 3 1 1
7A 3 2 2 3 3 1
8A 3 2 4 3 1 1
9A 2 2 2 3 1 1
10A 3 2 2 3 1 1
1B 3 1 1 3 3 1
2B 3 1 2 3 3 1
3B 1 1 1 3 3 1
4B 2 1 2 3 3 1
kontrol
5B 1 2 2 3 1 1
6B 1 2 2 3 1 1
7B 3 2 2 3 3 1
8B 2 2 2 1 1 1
9B 3 2 3 3 1 1
10B 3 2 3 3 3 1
Keterangan:
Usia:
1=60-65 tahun
2=66-70 tahun
3=71-75 tahun
Jenis Kelamin:
1= Laki-laki
2= perempuan
Riwayat Pekerjaan:
1= Tidak bekerja
2= Pensiunan
3= Wiraswasta
Status Perkawianan:
1= Tidak kawin
2= kawin
3= Duda/Janda
Agama:
1= Islam
2= Kristen
3= Hindu
4= Budha
Lampiran 21
1 55 Buruk
Buruk
2 70
Buruk
3 60
Buruk
4 50
Buruk
5 60
Buruk
6 60
Buruk
7 55
Buruk
8 60
Buruk
9 60
Buruk
10 50
Tabulasi Skor PSQI Modifikasi
Latensi Tidur Post Test (Kelompok Kontrol)
Lampiran 22
1 4 Buruk
Buruk
2 4
Buruk
3 3
Buruk
4 4
Buruk
5 3
Buruk
6 4
Buruk
7 4
Buruk
8 4
Buruk
9 4
Buruk
10 3
1 5 cukup
2 6 baik
3 5 cukup
4 5 cukup
5 5 cukup
6 5 cukup
7 6 baik
8 5 cukup
9 6 baik
10 5 cukup
Lampiran 23
1 4 Buruk
Buruk
2 4
Buruk
3 3
Buruk
4 4
Buruk
5 3
Buruk
6 3
Buruk
7 4
Buruk
8 4
Buruk
9 4
Buruk
10 4
Tabulasi Skor PSQI Modifikasi
Durasi Tidur Post Test (Kelompok Kontrol)
1 4 Kurang
2 4 Kurang
3 3 Kurang
4 5 cukup
5 4 Kurang
6 3 Kurang
7 3 Kurang
8 4 Kurang
9 4 Kurang
10 4 Kurang
Lampiran 24
Lampiran 25
N Correlation Sig.
Pair 1 Latensi tidur sebelum (perlakuan) & 10 .718 .019
Latensi tidur sesudah (perlakuan)
Pair 1 Latensi tidur 25.500 5.503 1.740 21.564 29.436 14.655 9 .000
sebelum
(perlakuan) Latensi
tidur sesudah
(perlakuan)
Paired Differences
95% Confidence Interval
of the Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)
Pair 1 Durasi tidur sebelum -1.600 .516 .163 -1.969 -1.231 -9.798 9 .000
(perlakuan) - Lama
Durasi tidur sesudah
(perlakuan)
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Latensi tidur sebelum kelompok perlakuan 10 58.50 7.472 2.363
kelompok kontrol 10 58.00 5.869 1.856
Latensi tidur sesudah kelompok perlakuan 10 33.00 7.149 2.261
kelompok kontrol 10 58.50 6.258 1.979
Durasi tidur sebelum kelompok perlakuan 10 3.70 .483 .153
kelompok kontrol 10 3.70 .483 .153
Durasi tidur sesudah kelompok perlakuan 10 5.30 .483 .153
kelompok kontrol 10 3.70 .483 .153
Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
status riwayat
jenis lama perkawin pekerjaa agam
umur kelamin tinggal an n a
N 20 20 20 20 20 20
Normal Mean 2.20 1.60 2.05 2.90 2.20 1.00
Parametersa,,b Std. Deviation .894 .503 .759 .447 1.005 .000c
Most Extreme Absolute .314 .387 .326 .538 .387
Differences Positive .210 .284 .326 .412 .284
Negative -.314 -.387 -.274 -.538 -.387
Kolmogorov-Smirnov Z 1.406 1.730 1.459 2.408 1.730
Asymp. Sig. (2-tailed) .038 .005 .028 .000 .005
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. The distribution has no variance for this variable. One-Sample Kolmogorov-
Smirnov Test cannot be performed.
Lampiran 26
N
Valid 20
Excludeda 0
Total 20
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
.704 2
Item-Total Statistics
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted