Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Atresia ani paling sering terjadi pada bayi baru lahir. Frekuensi seluruh

kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000 10000 kelahiran,

sedangkan atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus

dan dapat muncul sebagai penyakit tersering.

Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-laki lebih banyak ditemukan

dari pada pasien perempuan. Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500 5000

kelahiran hidup dengan sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki. 20 % - 75 % bayi

yang menderita atresia ani juga menderita anomali lain.

Kejadian tersering pada laki-laki dan perempuan adalah anus imperforata

dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada

perempuan.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Rektum

Bagian usus besar yang terakhir dinamakan rektum dan terbentang dari kolon

sigmoid sampai anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum

dinamakan kanalis ani dan dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus.

Panjang rektum dan kanalis ani sekitar 5,9 inci (15 cm). Sekum dan bagian kolon

transversum maupun banyak kolon sigmoideum seluruhnya di dalam

peritoneum,sedangkan sepertiga bawah rektum di bawah peritoneum dan sepertiga

atas ekstra peritoneum di atas permukaan posteriornya. Bagian asendens dan

desendens kolon ditutup oleh peritoneum hanya pada permukaan anterior.

Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ectoderm,

sedangkan rectum berasal dari endoderm. Karena perbedaan asal anus dan rectum ini

maka perdarahan, persarafan, serta penyaliran vena dan limfenya berbeda juga,

demikian pula epitel yang menutupinya.

Rektum memiliki empat lapisan morfologik seperti juga bagian usus

lainnya.Rectum dilapisi oleh mukosa glanduler usus sedangkan kanalis analis oleh

anoderm yang merupakan lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar. Tidak ada yang

disebut mukosa anus. Daerah batas rectum dan kanalis analis ditandai dengan

2
perubahan jenis epitel. Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya kaya akan

persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri , sedangkan mukosa

rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri. Nyeri

bukanlah gejala awal pengidap karsinoma rektum, sementara fissura anus nyeri

sekali. Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem orta, sedangkan

yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang v. Iliaka. Distribusi ini

menjadi penting dalam upaya memahami cara penebaran keganasan dan infeksi.

Sistem limfa sepanjang pembuluh hemoroidales superior ke arah kelenjar limfa

paraorta melalui kelenjar limfa paraorta melalui kelenjar limfa iliaka interna,

sedangkan limfa yang berasal dari kanalis analis mengalir kearah kelenjar inguinal.

Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3 cm. Sumbunya mengarah ke

ventrokranial yaitu kearah umbilikus dan membentuk sudut yang nyata ke dorsal

dengan rektum dalam keadaan istirahat. Batas atas kanalis anus disebut garis

anorektum, garis mukokutan, linea pektinata atau linea dentata. Di daerah ini terdapat

kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Infeksi yang terjadi

disini dapat menimbulkan abses anorektum yang dapt membentuk fistel. Lekukan

antar sfingter sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu melakukan colok

dubur.dan menunjukkan batas antara sfingter intern dan sfingter ekstern (garis hilton)

Cincin sfingtern anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter intern

dan sfingter ekstern. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi sfingter

intern, otot longitudinal, bagian tengah dari otot levator (puborektalis) dan komponen

3
m. Sfingter eksternus. M. Sfingter internus terdiri atas serabut otot polos, sedangkan

m. Sfingter eksternus terdiri atas serabut otot lurik.

Perdarahan arteri

Arteri hemoroidales superior adalah kelanjutan langsung a. Mesenterika

inferior. Arteri ini membagi diri menjadi dua cabang utama: kiri dan kanan.Arteri

hemoroidales medialis merupakan percabangan anterir a.iliaka interna , sedangkan a.

Hemoroidales inferior adalah cabang a. Pudenda interna. Anastomises antara arkade

pembuluh inferior dan superior merupakan sirkulasi kolateral yang mempunyai

makna penting pada tindak bedah atau sumbatan aterosklerotik di daerah percabangan

aorta dan a. Iliaka. Anastomises tersebut ke pembuluh kolateral hemoroid inferior

dapat memjamin perdarahan di kedua ekstremitas bawah. Perdarahan di pleksus

hemoroidales merupakan kolateral luas dan kaya sekali darah.

Perdarahan vena

Pembuluh vena kolon berjalan paralel dengan arterinya. Aliran darah vena

disalurkan dari Vena hemoridalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis internus

dan berjalan ke arah kranial ke dalam v. Mesenterika inferior dan seterusnya melalui

v. Lienalis ke vena porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan rongga perut

menentukan tekanan di dalamnya. V. Hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke

dalam v. Pudenda interna dan kedalam v. Iliaka interna dan vena kava. Pada batas

4
rektum dan anus terdapat banyak kolateral arteri dan vena melalui perdaran

hemoroidal antara sistem pembuluh saluran cerna dan sistem arteri dan vena iliaka

Aliran darah vena disalurkan melalui v.mesenterika superior untuk kolon

asendens dan kolon transversum, dan melalui v.mesenterika inferior untuk kolon

desendens, sigmoid dan rektum. Keduanya bermuara ke dalam v.porta, tetapi

v.mesenterika inferior melalui v.lienalis. Aliran vena dari kanalis analis menuju ke

v.kava inferior. Oleh karena itu, anak sebar yang berasal dari keganasan rektum dan

anus dapat ditemukan di paru, sedangkan yang berasal dari kolon ditemukan di hati.
1,2,3,5

Penyaliran limfa

Pembuluh limfe dari kanalis membentuk pleksus halus yang menyalurkan

isinya menuju ke kelenjar limfe inguinal, selanjutnya dari sini cairan limfe terus

mengalir sampai ke kelenjar limfe iliaka. Pembuluh limfe dari rektum di atas garis

anorektum berjalan seiring dengan v. Hemoroidalis superior dan melanjut ke kelenjar

limfe mesenterika inferior dan aorta.

Persarafan

Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan sistem parasimpatik.

Serabut simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior dan dari sistem parasakral

yang terbentuk dari ganglion simpatis lumbal ruas kedua, ketiga, dan keempat. Unsur

simpatis pleksus ini menuju kearah struktur genital dan serabut otot polos yang

mengendalikan emisi air mani dan ejakulasi. Persarafan parasimpatik (nervi

5
erigantes) berasal dari saraf sakral kedua, ketiga dan keempat. Serabut saraf ini

menuju ke jaringan erektil penis dan klitoris serta mengendalikan ereksi dengan cara

mengatur aliran darah kedalam jaringan ini. Oleh karena itu, cedera saraf yang terjadi

pada waktu operasi radikal panggul serta ekstirpasi radikal rektum atau uterus dapat

menyebabkan gangguan fungsi vesika urinaria dan gangguan fungsi seksual. Otot

volunter, yaitu levator ani, koksigeus dan sfingter eksternus, dilayani oleh saraf dari

segmen sakralis keempat.

2.2. Fungsi Dan Fisiologis Rektum

Fungsi anorektal secara normal adalah motilitas kolon yaitu mengeluarkan isi

feses dari kolon ke rectum; fungsi defekasi yaitu mengeluarkan feces secara

intermitten dari rectum; menahan isi usus agar tidak keluar pada saat tidak

defekasi. Fungsi fungsi tercebut saling berkaitan satu dengan yang lain dan

adanya ketidak seimbangan akan menyebabkan ketidaknormalan yang

mempengaruhi masing-masing fungsi. (1,3,5)

Motilitas Kolon

Motilitas kolon berbeda dengan motilitas usus dimana gelombang peristaltik

digantioleh adnya gerakan massa feces yang propulsive disepanjang kolon. Motilitas

kolon diatur oleh aktifitas listrik myogenik yang diperantarai oleh persarafan intriksik

dan pleksus mienterikus. Sebaliknya hal ini juga dirangsang oleh innervasi ekstrinsik

6
dadn reflex humoral seperti gastrokolik dan ileokolik. Motilitas kolon berfungsi

untuk abssorbsi cairan dan pendorongan massa pada waktu defekasi. Gerakan dari

sigmoid ke rectum dihambat oleh beberapa mekanisme yang digunakan oleh

kontinensi (1,3,5)

Kontinensi

Kontinensi adalah kemampuan untuk mempertahankan feses dalam hal ini

sangat tergantung pada konsistensi feses, tekanan dalam anus, tekanan rectum, serta

sudut anorektal. Feses yang cair sulit dipertahankan dalam anus. (1,3,5)

Kontinensi diatur oleh mekanisme volunter dan involunter yang menjaga

hambatan secara anatomiis dan fisiologis jalannya feses ke rectum dan anus.

Penghambat terbesar secara fisiologi adalah sudut antara anus dan rectum yang

dihasilkan oleh otot levator ani bagian puborektal anterior dan superior dan otot ini

berkontraksi secara involunter. Adanya perbedaan antara tekanan aktivitas motorik

anus, rectum, dan sigmoid juga menyebabkan progresifitas pelepasan feses terlambat.

Kontraksi sfingter ani eksternus seperti pada puborektalis diaktivasi secara involunter

dengan distensi rectum dan dapat meningkatkan secara volunteer selama 1-2 menit.
(1,3,5)

7
Tekanan istirahat dalam anus kurang lebih 25-100 mmHg, dalam rectum 5-20 mmHg.

Apabila sudut antara anus dan rectum lebih dari 80 maka feses akan sulit

dipertahankan. (1,3,5)

Defekasi

Pada bayi baru lahir defekasi bersifat ototnom tetapi dengan perkembangan,

maturitas defekasi dapat diatur. Pemindahan feses dari kolon sigmoid ke rectum

kadang dicetuskan juga oleh rangsang makanan terutama pada bayi. Apabila rectum

terisi feses maka akan dirasakan oleh rectum sehingga menimbulkan keinginan untuk

defekasi. Rektum mempunyai kemampuan yang lhas untuk mengenal dan

memisahkan bahan padat, cair, dan gas. (1,3,5)

Syarat untuk terjadinya defekasi normal adalah persarafan sensible untuk

sensasi isi rectum dan persarafan sfingter ani untuk kontraksi dan relaksasi, peristaltic

kolon dan rectum normal, dan struktur organ panggul yang normal. Sikap badan

waktu defekasi juga memegang peranan yang penting. Defekasi terjadi akibat

peristaltic rectum, relaksasi sfingter ani eksternus, dan dibantu mengedan. (1,3,5)

2.3. Definisi Atresia Ani

8
Atresia Ani atau Atresia Rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara

kongenital.(1)

Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau

saluran anus.(2)

Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus

atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi,2001).

Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau

makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya

atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut

juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya

berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan

sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.

Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani

yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus

imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi

untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya. 6

9
2.4. Etiologi Atresia Ani

Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada

sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :

1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan

pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.

2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa

lubang anus.

3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada

kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.

4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot

dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak

memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen

autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui

apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang

tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari

bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan

kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001). 7

10
2.5. Patofisiologi Atresia Ani

Kelainan atresia ani terjadi akibat kegagalan pembentukan septum urorectal

secara komplit. Embryogenesis dari kelainan ini masih belum jelas. Anus dan

rektum diketahui berasal dari bagian dorsal hindgut atau rongga cloacal ketika

pertumbuhan lateral bagian mesenchyme, kloaka akan membentuk sekat di tengah

yang disebut septum urorectal berasal dari bagian dorsal hindgut atau rongga

cloacal. Septum urogenital membagi kloaka (bagian caudal hindgut) menjadi

rektum dan sinus urogenital, urogenital sinus terutama akan membentuk kandung

kecing dan uretra. Penurunan perkembangan dari septum urorectal dipercaya

menutup saluran ini ketika usia 7 minggu kehamilan. Selama waktu ini, bagian

ventral urogenital mengalami pembukaan eksternal/keluar;bagian dorsal dari anal

membuka kemudian. Anus berkembang dari fusi antara tuberculum anal dan

invagination bagian luar/eksternal, yang dikenal sebagai proctodeum, yang

mendalam ke arah anus.pada awalnya. Perineum memisahkan kloaka membran

menjadi membran urogenital anterior dan membran anal posterior.. rektum dan

bagian superior kanalis anus terpisah dari eksterior oleh membran anal. selaput

pemisah ini akan menghilang saat usia kehamilan 8 minggu.

Gangguan pada perkembangan struktur anorectal bermacam-macam

tingkatannya dengan berbagai macam kelainan, antara lain anal stenosis, rupture

11
selaput yang anal yang tidak komplit , atau complete failure atau anal agenesis

dari bagian atas dari kloaka sampai kebawah dan kegagalan proktoderm

mengalami invaginasi. Hubungan langsung antara saluran urogenital dan bagian

rectal dari kloaka menyebabkan rectourethral fistule atau rectovestibular fistule.

Spincter eksternal, berasal dari mesoderm exterior, biasanya selalu ada tetapi

dengan berbagai macam derajat variasi, berkisar antara otot yang kuat ( perineal

atau vestibular fistule) sampai ke otot yang hampir tidak ada ( complex long

common-channel cloaca, prostatic atau bladder-neck fistule).

2.6. Klasifikasi Atresia Ani

Secara fungsional, atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :

1. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis

dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutama melibatkan bayi

perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar,

dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan

dekompresi usus yang adequate sementara waktu.

2. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan

keluar tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan

dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera.

12
Klasifikasi (Wingspread 1981)

Penggolongan anatomis malformasi anorektal:

Laki laki

Kelompok I
Kelainan Tindakan
- Fistel urin Kolostomi neonatus, operasi definitif

- Atresia rektum pada usia 4-6 bulan

- Perineum datar

- Fistel tidak ada

- Invertogram udara > 1 cm dari

kulit
Kelompok II
Kelainan Tindakan
- fistel perineum Operasi langsung pada neonatus

- membran anal

- stenosis anus

- fistel tidak ada

- invertogram udara < 1 cm dari

kulit
Perempuan

Kelompok I
Kelainan Tindakan

13
- kloaka Kolostomi neonatus

- fistel vagina

- fistel anovestibuler atau

rektovestibuler

- atresia rektum

- fistel tidak ada

- invertogram udara >1 cm dari

kulit
Kelompok II
Kelainan Tindakan
- fistel perineum Operasi langsung pada neonatus

- stenosis anus

- fistel tidak ada

- invertogram udara < 1cm dari

kulit

Kelainan bentuk anorektum juga dapat dikelompokkan berdasarkan hubungan

antara bagian terbawah rektum yang normal dengan otot puborektalis yang memiliki

fungsi sangat penting dalam proses defekasi berdasarkan letak ujung atresia terhadap

otot dasar panggul, yakni supralevator dan translevator, dikenal sebagai klasifikasi

Melboume.

Kelainan bentuk anorektum dikelompokkan menjadi:

1. kelainan letak rendah(infralevator)

14
Pada kelainan letak rendah, rektum telah menembus levator sling sehingga

jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.muskulus sfingter ani

interna dalam keadaan utuh, kelainan letak rendah lebih sering dijumpai pada

bayi perempuan. Bentuk yang dapat ditemukan berupa stenosis anus,

tertutupnya anus oleh suatu membran tipis yang seringkali disertai fistula

anokutaneus, dan anus ektopik yang selalu terletak di anterior lokasi anus

yang normal.

Gambar 5.Fistul anokutaneus(bucket handle) anus ektopik

2. Kelainan letak tengah(intermedia)

Pada kelainan letak tengah telah menembus otot puborektalis sampai sekitar

satu sentimeter atau kurang dari kulit perineum. Ujung rektum mencapai

15
tingkat m. Levator anus tetapi tidak menembusnya .Otot sfingter ani eksterna

telah terbentuk sempurna dan berada dalam keadaan berkesinambungan

dengan kompleks levator. Di daerah anus seharusnya terbentuk lazim terdapat

lekukan anus (anal dimple) yang cukup dalam. Pada kelainan yang jarang

ditemukan ini sering terdapat fistula rektouretra, yang menghubungkan

rektum yang buntu dengan uretra pars bulbaris

3. Kelainan letak tinggi(supralevator)

Pada kelainan letak tinggi, rektum yang buntu terletak di atas levator sling

dan juga dikenal dengan istilah agenesis rektum. Kelainan letak tinggi

lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki. Pada kelainan letak tinggi

acapkali terdapat fistula, yang menghubungkan antara rektum dengan

perineum, saluran kemih atau vagina.

2.7. Diagnosis

2.7.1 Manifestasi klinik

Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi

mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.

Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan

fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina)

dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki

16
dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan

jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul :

1.) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.

2.) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.

3.) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.

4.) Perut kembung.

5.) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

2.7.2 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto rontgen menurut metode Wangensteen dan Rice bermanfaat

dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu. Foto diambil setelah 24 jam

setelah lahir, jangan sampai kurang karena jika kurang usus bayi belum cukup berisis

udara sehingga diagnosisnya nanti bisa kabur. Setelah berumur sekurang-kurangnya

24 jam, bayi kemudian diletakkan dalam posisi terbalik selama sekitar 3 menit, sendi

panggul dalam keadaan sedikit ekstensi, dan kemudian dibuat foto pandangan

anteroposterior dan lateral, setelah suatu petanda diletakkan pada daerah lekukan

17
anus. Penilaian foto rontgen dilakukan terhadap letak udara di dalam rektum dalam

hubungannya dengan garis pubokoksigeus dan jaraknya terhadap lekukan anus.

Udara di dalam rektum yang terlihat di sebelah proksimal garis pubokoksigeus

menunjukkan adanya kelainan letak tinggi. Sebaliknya, udara di dalam rektum yang

tampak di bawah bayangan tulang iskium dan amat dekat dengan petanda pada

lekukan anus memberi kesan ke arah kelainan letak rendah. Pada kelainan letak

tengah, ujung rektum yang buntu berada pada garis yang melalui bagian paling bawah

tulang iskium sejajar dengan garis pubokoksigeus.

Dengan pemeriksaan voiding cystogram, dapat menentukan letak fistula

rektouretra. Gambaran udara di dalam kandung kemih menunjukkan adanya fistula.

Tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan primer anak-anak kelainan anorectal

karena kepekaannya lebih lemah dibandingkan dengan distal colostography

Distal colostography, Ini menjadi satu-satunya test diagnostik paling utama

yang digunakan untuk memperjelas anatomi pada semua anak-anak dengan kelainan

yang memerlukan colostomy. Kateter dimasukkan kedalam tubuh ditempatkan ke

distal stoma, dan balon dipompa. Kateter ditekan, dan kontras yang larut dalam air

disuntik dengan tangan. Tekanan ini diperlukan untuk memperlemah tekanan dari

levator otot dan untuk memasukkan kontras sehingga mengalir ke bagian paling

rendah kolon dan mengetahui letak fistule.

Semua bayi yang mengalami kelainan bentuk anorektum perlu menjalani

pemeriksaan foto rontgen seluruh bagian kolumna vertebralis dan urogram intravena

untuk menemukan kelainan bawaan lainnya di daerah tersebut. Apabila belum sempat

18
dilakukan pada masa prabedah, maka kedua pemeriksaan tersebut sebaiknya

dikerjakan setelah dilakukan kolostomi

Sacral Radiograpi. Dilakukan Untuk melihat sakrum, posteroanterior dan

lateral. Dilakukan untuk memastikan rasio sakral dan untuk melihat ada tidaknya

defek pada sakral, hemivertebra dan massa presacral. Ini dilakukan sebelum operasi

USG abdomen, Spesifik Untuk memeriksa saluran kemih dan untuk melihat

ada tidaknya massa lain. Dilakukan sebelum operasi dan harus diulang setelah 72

jam karena USG yang lebih awal menemukan sebab awal ultrasonography mungkin

tidak cukup untuk mengesampingkan hydronephrosis akibat vesicoureteral reflux

USG spinal atau MRI, CT scan Banyak anak dengan atresia ani juga

memiliki kelainan tethered spinal cord.

2.8. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :

1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.

2. Obstruksi intestinal

3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.

4. Komplikasi jangka panjang :

a. Eversi mukosa anal.

b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.

19
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.

d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.

e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.

f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi

2.9. Penatalaksanaan

Leape (1987) menganjurkan pada :

a) Atresia letak tinggi & intermediet sebaiknya dilakukan sigmoid kolostomi atau

TCD dahulu, setelah 6 12 bulan baru dikerjakan tindakan definitive (PSARP).

b) Atresia letak rendah sebaiknya dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya

dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untukidentifikasi batas otot sfingter

ani ekternus,

c) Bila terdapat fistula sebaiknya dilakukan cut back incicion.

d) Stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin , berbeda dengan Pena dimana

dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.

Perlu diperhatikan pula :

1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :

a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti

atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital

Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi

20
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi

terlebih

dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila

pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran

rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm

disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis,

rektouretralis dan rektoperinealis.

1. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.

Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa

kolostomi.

Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu.

Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit

dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit

dilakukan kolostomi terlebih dahulu.

Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :

a. Pembuatan kolostomi

Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah

pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya

sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi,

dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir.

3 jenis kolostomi, yaitu:

21
1.2.1 Kolostomi loop atau loop colostomy, biasanya dilakukan dalam keadaan

darurat .

1.2.2 End colostomy, terdiri dari satu stoma dibentuk dari ujung proksimal usus

dengan bagian distal saluran pencernaan. End colostomy adalah hasil pengobatan

bedah kanker kolorektal.

1.2.3 Double-Barrel colostomy terdiri dari dua stoma yang berbeda stoma bagian

proksimal dan stoma bagian distal (Perry & Potter, 2005).

Insidens komplikasi untuk pasien dengan kolostomi sedikit lebih tinggi

dibandingkan pasien ileostomi. Beberapa komplikasi umum adalah prolaps stoma,

perforasi, retraksi stoma, impaksi fekal dan iritasi kulit. Kebocoran dari sisi

anastomotik dapat terjadi bila sisa segmen usus mengalami sakit atau lemah.

Kebocoran dari anastomotik usus menyebabkan distensi abdomen dan kekakuan,

peningkatan suhu, serta tanda shock. Perbaikan pembedahan diperlukan

b. Teknik operatif definitif (Posterior Sagital Ano-Rekto-Plasti)

Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini

merupakan ganti dari teknik lama, yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT).

Teknik lama ini punya resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding perut.

Prinsip operasi :

1. Bayi diletakkan tengkurap

2. Sayatan dilakukan diperineum pada garis tengah, mulai dari ujung koksigeus

sampai batas anterior marka anus.

22
3. Tetap bekerja digaris tengah untuk mencegah merusak saraf.

4. Ahli bedah harus memperhatikan preservasi seluruh otot dasar panggul.

5. Tidak menimbulkan trauma struktur lain.

2.10. Diagnosa Banding

Penyakit Hirschprung, yang disebabkan oleh tidak terdpatnya sel ganglion

parasimpatis dari pleksus Auerbach di kolon. Sebagian besar segmen yang

aganglionik mengenai rektum dan bagian bawah kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi

serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal. Gejala utama pada

bayi baru lahir berupa muntah hijau, pengeluaran mekonium yang terlambat, serta

distensi abdomen. Gejala timbul pada umur 2-3 hari. Bila dilakukan colok dubur,

tinja akan keluar menyemprot. Diagnosis dapat ditegakkan setelah dilakukan

pemerikasaan barium enema dan biopsy rectum (biopsy hijau). (1,3,5)

2.11. Prognosis

1. Dengan menggunakan kalsifikasi diatas dapat dievaluasi fungsi klinis:

a. Kontrol feses dan kebiasaan buang air besar

b. Sensibilitas rektum

c. Kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur

23
2. Evaluasi psikologis

Fungsi kontinensia tidak hanya tergantung pada kekuatan sfingter atau sensasi

saja, tetapi tergantung juga pada bantuan orang tua dan kooperasi serta

keadaan mental penderita.

BAB III

KESIMPULAN

24
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate

meliputi anus, rectum atau keduanya. Dengan kata lain tidak adanya lubang di

tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran rongga tubuh. Hal ini

bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses

penyakit yang mengenai saluran itu.

Perlu diperhatikan pula :

1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :

a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti

atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital

Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi

b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi

terlebih

dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila

pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran

rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm

disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis,

rektouretralis dan rektoperinealis

2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.

Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa

kolostomi.

Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu.

25
Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit

dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit

dilakukan kolostomi terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Dorland, (1998). Kamus Saku Kedokteran Dorlana. Alih Bahasa: Dyah

Nuswantari Edisi : 25. Jakarta: EGC

2. Lawrence W, (2003). Anorectal Anomalies, Current Diagnosis & Treatment.

Edisi : 11, Mc. Graw Hill Professional, United States, hal 1324 1327.

3. Moritz M.Z, (2003), Operative Pediatric Surgery, Mc.Grow Hill Professional,

United State.

4. Prince A Sylvia, (1995). (patofisiologi). Clinical Concept. Alih bahasa : Peter

Anugrah EGC. Jakarta.

5. Reksoprodjo S, Malformasi Anorektal, Kumpulan Ilmu Bedah, FKUI, Jakarta

hal 134 139.

6. http://ilmubedah.wordpress.com/2010/02/23/atresia-ani/. Diakses pada tanggal

27 Februari 2012.

7. digilib.unimus.ac.id/download.php?id=4892. Diakses pada tanggal 27 Februari

2012

8. Sjamsuhidayat R, (2000), Anorektum, Buku Ajar Bedah, Edisi revisi, EGC,

Jakarta, hal 901 908.

27

Anda mungkin juga menyukai