Anda di halaman 1dari 6

RUMAH GADANG

Rumah gadang is the traditional house of Minangkabau, an ethnic group indigeneous to


the highlands of West Sumatera.
Its architecture, construction, decoration and functions of the house reflect the culture
and values of Minangkabau people. The house is largely constructed of wood and has a
dramatic curved roof structure. Every aspect of the house has a symbolic significance related
to Minangkabau belief and law. The upward-curved finials (gonjong) on the peaks of the
roof, said to represent buffalo horns, symbolize reaching heaven. The walls on the front and
back elevations (dindiang tapi), symbolize the strength and utility of the community. The
arrangement of rooms in the house is seen as a reflection of a womans life pattern, forming a
journey from the central post to the public area (anjuang), the bedrooms (biliak) and lastly to
the kitchen.
Minangkabau people traditionally embellish the wooden walls, pillars and ceilings with
bas-relief carved wooden motifs that reflect and symbolize their belief. The motifs consist of
profuse floral designs based on a simple underlying geometric structure and they are similar
to those of the Minangkabau woven songket textiles.

TERJEMAHANNYA RUMAH GADANG

Rumah gadang adalah rumah adat Minangkabau, sebuah kelompok etnis yang tinggal di
dataran tinggi Sumatera Barat.

Arsitektur, konstruksi, dekorasi dan fungsi rumah mencerminkan budaya dan nilai
masyarakat Minangkabau. Rumah ini sebagian besar terbuat dari kayu dan memiliki struktur
atap melengkung yang dramatis. Setiap aspek rumah memiliki makna simbolis yang terkait
dengan kepercayaan dan hukum Minangkabau. Finials melengkung ke atas (gonjong) di
puncak atap, dikatakan mewakili tanduk kerbau, melambangkan mencapai surga. Dinding di
bagian depan dan belakang elevasi (dindiang tapi), melambangkan kekuatan dan kegunaan
masyarakat. Pengaturan ruangan di rumah ini dipandang sebagai cerminan pola hidup
seorang wanita, membentuk sebuah perjalanan dari pos pusat ke area umum (anjuang), kamar
tidur (biliak) dan terakhir ke dapur.

Orang Minangkabau secara tradisional menghiasi dinding kayu, pilar dan plafon dengan
motif kayu berukir relief yang mencerminkan dan melambangkan kepercayaan mereka.
Motifnya terdiri dari motif bunga yang berlimpah berdasarkan struktur geometris yang
sederhana dan serupa dengan kain songket tenunan Minangkaba.
RUMAH ADAT BETANG

Rumah Betang is a typical custom house of Borneo which is found in various parts of
Kalimantan.
The Dayak tribe lives in groups, forming colonies of their family members. With the
group lifestyle greatly affect the shape and size of their homes.
The shape and size of this Betang house varies, it depends on how big and many of their
families are. Large families of Dayak tribe usually live in one roof or one house, therefore
there is a Betang house that can have a length of 150 meters and a width of up to 30 meters
and some even more. Generally, Betang house is built in the form of a stage with a height of
three to five meters from the ground. The purpose of the stage house is to anticipate the
arrival of flooding in the rainy season because the river often overflows and occurs in the
upstream areas of Kalimantan.
They live together and group in one house down and down. Each household (family)
occupies a room (chamber) in the bulkhead of the large house Betang, in addition, in general
Dayak tribe also has single houses built temporarily to do the activity of cultivation, this is
because the distance between the field and the residential area.

RUMAH ADAT BETANG

Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru
Kalimantan.
Suku Dayak hidupnya berkelompok, membentuk koloni dari anggota keluarga
mereka. Dengan gaya hidup berkelompok tersebut sangat mempengaruhi bentuk dan besar
dari rumah mereka.
Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi, itu tergantung seberapa besar dan
banyak keluarga mereka. Keluarga besar suku Dayak biasanya tinggal dalam satu atap atau
satu rumah, oleh karena itu ada rumah Betang yang bisa mempunyai panjang mencapai 150
meter dan lebar hingga 30 meter bahkan ada yang lebih. Umumnya rumah Betang di bangun
dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari permukaan tanah.
Tujuan dari rumah panggung tersebut untuk mengantisipasi datangnya banjir pada musim
penghujan karena sering sungai meluap dan terjadi di daerah-daerah hulu sungai di
Kalimantan.
Mereka hidup bersama dan berkelompok dalam satu rumah secara turun menurun. Setiap
rumah tangga (keluarga) menempati satu bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah
Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-
rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal
ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.
RUMAH ADAT KRONG BADE

Rumah Adat Krong Bade - or also commonly called Rumoh Aceh, is a house with a
stage structure with a pole height of 2.5 to 3 meters from the ground. The whole house is
made of wood, except the roof is made of leaf of rumbia or enay leaves are woven, and the
floors are made of bamboo.
Because it has a stage structure, in this traditional house of Aceh we can find the
space below. This space is usually used as a warehouse for food storage, as well as a place for
women to perform activities, such as weaving activities typical Aceh.
To enter the house, we need to climb the stairs at the front of the house. The stairs
usually have an odd number of stairs. As after climbing to the top, we will find a lot of
paintings that stick on the walls of the house as decoration. The number of paintings on the
outside wall of the house can be a symbol of the economic level of the owner.

RUMAH ADAT KRONG BADE

Rumah adat Krong Bade atau juga biasa disebut Rumoh Aceh, adalah sebuah rumah
dengan struktur panggung dengan tinggi tiang 2,5 sd 3 meter dari permukaan tanah.
Keseluruhan rumah ini dibuat dari bahan kayu, kecuali atapnya yang terbuat dari bahan daun
rumbia atau daun enau yang dianyam, serta lantainya yang dibuat dari bambu.
Karena memiliki struktur panggung, pada rumah adat Aceh ini kita dapat menemukan
ruang bawah. Ruang ini biasanya digunakan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan
pangan, serta sebagai tempat para wanita untuk melakukan aktivitas, misalnya aktivitas
menenun kain khas Aceh.
Untuk memasuki rumah, kita perlu meniti tangga di bagian depan rumah. Tangga tersebut
biasanya memiliki jumlah anak tangga yang ganjil. Adapun setelah naik ke bagian atas, kita
akan menemukan banyak sekali lukisan yang menempel di dinding-dinding rumah sebagai
hiasan. Jumlah lukisan pada dinding luar rumah dapat menjadi simbol tingkat ekonomi
pemiliknya.
RUMAH ADAT BOLON

Rumah Adat Bolon is a term for traditional house of Batak tribe in North Sumatera.
The existence of several sub-tribe Batak cause architecture of traditional house this one is
also divided into several versions. There are Toba bolon houses, Bolon Karo houses,
Simalungun bolon houses, Pakpak bolon houses, Mandailing bolon houses, and Bolon
Angkola homes.

Although there are various architectural versions, bolon houses generally have some
characteristics that distinguish this traditional house of North Sumatra with traditional houses
from other provinces in Indonesia. Bolon House is a house on stilts that almost all parts are
made using building materials obtained from nature.

The house support pole, which is about 1.75 meters above ground level, is made of
logs of diameter> 40 cm, the walls are made of woven bamboo, the floor is made of boards,
while the roof is made of leaf material or fibers. To strengthen the bond between materials to
unite the bolon house does not use a single nail. It is made with a wooden interlock system
which is then tied with a rope.

RUMAH ADAT BOLON

Rumah adat Bolon merupakan sebutan bagi rumah adat suku Batak di Sumatera
Utara. Adanya beberapa sub suku Batak menyebabkan arsitektur rumah adat satu ini juga
terbagi ke dalam beberapa versi. Ada rumah bolon Toba, rumah Bolon Karo, rumah bolon
Simalungun, Rumah bolon Pakpak, rumah bolon Mandailing, dan rumah Bolon Angkola.

Kendati terdapat beragam versi arsitektur, rumah bolon secara umum memiliki
beberapa karakteristik yang membedakan rumah adat Sumatera Utara ini dengan rumah adat
dari provinsi-provinsi lain di Indonesia. Rumah Bolon merupakan rumah panggung yang
hampir seluruh bagiannya dibuat menggunakan bahan bangunan yang diperoleh dari alam.

Tiang penopang rumah yang tingginya sekitar 1,75 meter dari permukaan tanah dibuat dari
gelondongan kayu berdiameter > 40 cm, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, lantainya
terbuat dari papan, sementara atapnya dibuat dari bahan daun rumbia atau ijuk. Untuk
menguatkan ikatan antar bahan hingga dapat bersatu rumah bolon tidak menggunakan satu
paku pun. Ia dibuat dengan sistem kunci antar kayu yang kemudian diikat menggunakan tali.
RUMAH PANGGUNG KAJANG LEKO

Rumah Panggung Kajang Leko or commonly referred to as Rumah Kajang Leko is a


newly established residential design to become a traditional house of Jambi after going
through a long search process. In about the 70's, the Government planned to build TMII and
required each province to submit its own cultural icon design. The Governor of Jambi then
tried to find one of the many traditional house designs in Jambi to be designated as an icon of
Jambi traditional house. The search, conducted by a contest named "Sepucuk Jambi Nine
Lurah", then found the traditional house of Kajang Leko as the oldest design house in Jambi.

Kajang Leko traditional house itself is a house of structured stage concept of Marga
Batin architecture. House that when viewed from the top of a rectangular shape with a size of
12 x 9 meters, standing as supported by 30 large pillars consisting of 24 main pillars and 6
poles pelamban.

Because it is a house on stage, then it is equipped with a ladder as entrance to climb


the house. There are two stairs that dimilliki Jambi traditional house, one is on the right as the
main staircase, and another named penteh staircase.

RUMAH PANGGUNG KAJANG LEKO

Rumah Panggung Kajang Leko atau biasa disebut rumah Kajang Leko adalah sebuah
desain hunian yang baru ditetapkan menjadi rumah adat Jambi setelah melalui proses
pencarian yang panjang. Pada sekitar tahun 70 an, Pemerintah berencana membangun TMII
dan mewajibkan setiap provinsi untuk mengirimkan desain ikon budayanya masing-masing.
Gubernur Jambi pada masa itu kemudian berusaha mencari satu di antara banyak desain
rumah adat yang ada di Jambi untuk ditetapkan sebagai ikon rumah adat Jambi. Pencarian
yang dilakukan dengan sayembara bernama Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini kemudian
menemukan rumah adat Kajang Leko sebagai rumah dengan desain tertua di Jambi.

Rumah adat Kajang Leko sendiri adalah rumah berstruktur panggung yang dikonsep
dari arsitektur Marga Batin. Rumah yang jika dilihat dari atas berbentuk persegi panjang
dengan ukuran 12 x 9 meter ini, berdiri karena ditopang oleh 30 tiang berukuran besar yang
terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang pelamban.

Karena merupakan rumah panggung, maka ia dilengkapi dengan tangga sebagai pintu
masuk untuk menaiki rumah. Ada 2 tangga yang dimilliki rumah adat Jambi ini, satu terdapat
di sebelah kanan sebagai tangga utama, dan satu lagi bernama tangga penteh.

Anda mungkin juga menyukai