REFERAT
VAKSIN DENGUE
PEMBIMBING:
dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A, M.Si, Med
dr. Slamet Widi Saptadi, Sp.A
dr. Lilia Dewiyanti, Sp.A, M.Si, Med
dr. Adriana Lukman, Sp.A
Disusun Oleh:
Brenda Elmina Japar
406161031
NIM : 406161031
PENDAHULUAN
Vaksinasi (atau sering juga disebut imunisasi) merupakan salah satu unsur
utama dalam upaya pencegahan penyakit, yang merupakan suatu tindakan dengan
sengaja memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari suatu pathogen. Antigen
yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun
mampu memproduksi limfosit yang peka sebagai antibody dan sel memori.
mencapai tingkat yang memuaskan. Namun, pengembangan vaksin dengue yang telah
dilakukan sejak tahun 1940 , hingga saat ini belum ada vaksin yang diresmikan.
Beberapa kandidat vaksin dengan berbagai formulasi masih terus dikembangkan dan
perlu diuji klinis. Tantangan dalam pengembangan vaksin meliputi tidak adanya model
hewan yang sesuai dengan manifestasi dengue pada manusia, formulasi vaksin yang
mampu mencetuskan respon imun seimbang terhadap keempat serotipe virus, efek
WHO memperkirakan sekitar 390 juta infeksi dengue terjadi setiap tahun di
dunia, dimana 96 juta diantaranya bergejala, sekitar 500.000 kasus di rawat inap
terutama anak-anak, dengan angka kematian sebesar 2,5%. Indonesia tercatat sebagai
negara dengan insidens dengue tertinggi di Asia Tenggara. Tahun 2009, angka
morbiditas dengue di Indonesia 68,22 per 100.000 penduduk dan angka mortalitas
0,89%. Infeksi umumnya menyerang usia kurang dari 15 tahun, namun saat ini telah
bergeser ke kelompok usia lebih tua disebabkan multifactor (lingkungan, biologis, dan
demografis). Terapi speseifik dengan antivirus efektif untuk infeksi Dengue belum
proses perkembangan dari virus intraseluler belum disetujui untuk digunakan pada
Pengendalian vektor yang dilakukan dinilai kurang efektif, karena sifat vektor
yang kosmopolit dan mudah beradaptasi, resistensi terhadap insektisida dan sifat
transovarial. Oleh sebab itu diperlukan pencegahan lain dengan vaksinasi. WHO
virus dengue pada 15 April 2016 lalu.nama vaksin yangdiresmikan WHO adalah
Dengvaxia, vaksin yang telah diteliti selama 20 tahun dan merupakan hasil penelitian
Sanofi Pasteur. Negara Meksiko, Brazil, El Savador, dan Filiphina telah memiliki
Nasional (RPJMN) sampai tahun tahun 2019, vaksin DBD sudah disiapkan . Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia menyetujui vaksin dengue tetravalent
impor milik Sanofi Pasteur untuk diproduksi dan diedarkan di daerah endemik demam
1. Definisi
Virus dengue (DENV) adalah virus golongan genus Flavivirus dan famili
Flaviviridae. Virus lain yang termasuk ke dalam genus Flavivirus antara lain adalah
Japanese Encephalitis Virus (JEV) , Tick Borne Encephalitis Virus (TBEV), West Nile
Virus (WNV), dan Yellow Fever Virus (YFV). 1 Virus dengue terdiri dari 4 serotipe,
yaitu DENV 1-4. Di Indonesia, DENV 3 paling banyak diidentifikasi pada infeksi
berat.2 Infeksi satu serotipe memberi kekebalan hanya pada reinfeksi serotipe tersebut,
tidak pada serotipe lain. Infeksi pertama menyebabkan demam (dengue fever/DF),
pada infeksi berikutnya oleh serotipe lain (secondary heterotypic infection) akan
timbul gejala lebih berat, yaitu demam disertai perdarahan (dengue haemorrhagic
diperantarai oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi virus
dengue. Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan
peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan dalam dekade ini, dari kota
kasus di lebih dari 30 negara. Sedangkan kasus DHF adalah sebanyak 106, 037 kasus.
Jumlah total kematian akibat dengue pada periode yang sama adalah 1,299, dengan
penduduk beresiko menderita dengue. Mianmar mencatat ada 9,578 kasus dengue
yang terjadi dari bulan Januari hingga September 2007, dengan tingkat fatalitas
sebesar 1%. Thailand pada bulan Juni 2007 terdapat outbreak di beberapa provinsi
Sawan dan Phit Chit dengan total kasus 58,836 kasus. Dengan tingkat fatalitas sebesar
0.2% 8
Sedangkan di Indonesia, terjadi peningkatan angka insiden penyakit DBD
dari tahun 1968 sampai tahun 2009. Pada tahun 2009 provinsi DKI Jakarta merupakan
provinsi dengan angka insiden DBD tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk),
sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan Angka Insiden DBD
terendah (8 kasus per 100.000 penduduk).(gambar 1). Dalam lima tahun terakhir
(2005-2009), lima provinsi dengan AI tertinggi (dapat dilihat pada gambar 2). Provisi
DKI dan Kalimantan Timur selalu berada dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan DKI
Jakarta selalu menduduki AI tertinggi setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh
kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang
lebih baik dibanding daerah lain, sehingga peyebaran virus menjadi lebih mudah dan
9
lebih luas.
Gambar 1. Angka Insiden DBD per 100.000 penduduk di Indonesia tahun 2009
Gambar 2. Lima provinsi tertinggi Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia tahun 2005-2009
2.1 Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD9
Jumlah Kasus KLB DBD yang dilaporkan pada tahun 1998-2009 tampak
berfluktuasi. Demikian juga dengan jumlah provinsi dan kabupaten yang melaporkan
KLB DBD dari tahun 1998-2009 tampak berfluktuasi. Tampak pada tahun 1998 dan
2004 jumlah kabupaten/kota melaporkan kejadian KLB DBD paling tinggi yaitu 104
kab/kota dan 75 kab/kota (gambar 3). Pada tahun tersebut juga dilaporkan jumlah kasus
(41.843/72.133) dari total laporan jumlah kasus DBD, sedangkan tahun 2004 kasus
KLB hanya menyumbang 9,5% (7588/79.462) dari kasus DBD. Setelah tahun 2004 AI
dan kasus absolut DBD terus meningkat namun laporan kasus KLB dan jumlah
Gambar 3. Kasus Pada KLB DBD, jumlah Provinsi dan Kab/Kota Pada tahun 1998-2009
2.2 Angka Kematian9
Angka Kematian (AK)/ Case Fatality Rate (CFR) pada tahun-tahun awal
kasus DBD terjadi di Indonesia sangat tinggi. Kemudian dari tahun ke tahun mulai
menurun 41,4% pada tahun 1968 terus menerus sampai menjadi 0,89% pada tahun
2009 (gambar 4). Pada tahun 2009, provinsi dengan AK tertinggi adalah Bangka
paling rendah adalah Sulawesi Barat (0%), DKI Jakarta (0,11%), dan Bali (0,15%). AK
nasional telah berhasil mencapai target di bawah 1%, namun sebagian besar belum
mencapai target agar meningkatkan upaya yang dapat menurunkan AK seperti
prasarana untuk deteksi dini dan penanganan yang tepat dan cepat.
Gambar 5. Jumlah Absolut kematian DBD dan Angka Kematian di Indonesia Tahun 1968- 2009
3. Struktur Virus Dengue dan Siklus Replikasinya
Dengue virus berbentuk sferis dengan diameter sekitar 50nm dan tersusun dari
tiga struktural protein , yaitu precursor membrane (prM), envelope (E) pada
genetic virus. Materi genetik virus dengue terdiri dari rantai RNA untai positif
berukuran sekitar 11 kb dengan satu opening frame. Materi genetik ini ditranslasi
menjadi satu poliprotein berukuran 3391 asam amino, yang kemudian dipotong-potong
oleh protease menjadi tiga protein struktural (protein E, prM, dan C) dan tujuh protein
Secara antigenik,
sampai 40 persen dan perbedaan pada nuklotida dan asam amino genotipnya berturut-
turut 6% dan 3%. Karena adanya perbedaan serotipe, maka dapat terjadi infeksi primer
dan infeksi sekunder. Infeksi primer adalah infeksi virus dengue dari serotipe apapun
untuk pertama kalinya. Sedangkan infeksi sekunder adalah infeksi virus dengue pada
dua cara, yaitu terikat pada reseptor virus yang ada di permukaan sel dan melalui
antibodi anti dengue yang terikat pada sel. Setelah menempel, virus masuk ke dalam sel
Perubahan ini menyebabkan fusi selubung virus dengan membrane endosomal yang
diikuti dengan pelepasan genom virus ke dalam sitoplasma sel, kemudian genom viral
sel host nya. Genom viral yang baru kemudian dibungkus menjadi inti virus, selubung
(envelope), dan protein membrane sehingga terbentuk virion imatur yang kemudian
4.
Patogenesis
Patogenesis DHF/DSS belum cukup dimengerti dan telah menjadi subjek
merupakan self-limiting diseases, namun yang menjadi masalah besar adalah sebagian
besar penderita yang terinfeksi virus dengue berpotensial menjadi kasus DHF atau DSS
serotipe itu sendiri tetapi tidak menyediakan imun proteksi-silang yang cukup lama
yang berasal dari infeksi sebelumnya sehingga memfasilitasi uptake virus oleh fagosit
mononuklear yang digunakan virus untuk bereplikasi. Proses ini meningkatkan volume
viral (viral load) yang akan mengarahkan pada kaskade imunopatogenik dan
derajat keparahan proses ini termasuk virulensi virus, mimikri molekuler, kompleks
imun, dan atau disregulasi yang dimediasi komplemen dan predisposisi genetik.
Antibodi neutralisasi merupakan faktor utama dari etiopatogenesis penyakit
dengue. Respon imunitas seluler juga merupakan faktor yang penting. Respon oleh
limfosit T memori dengue terjadi setelah infeksi primer termasuk diantaranya untuk
serotipe yang spesifik maupun limfosit T reaksi silang dengan serotipe virus. NS3
kasus DHF. Interferon juga meningkatkan uptake partikel-pertikel dengue oleh sel
target dengan meningkatkan jumlah reseptor Fc pada sel. Sitokin lain seperti IL-6, IL-
8, dan IL-10 juga meningkat. Aktivasi komplemen akibat komplek imun virus-antibodi
juga berperan dalam kebocoran plasma. Beberapa fragmen komplemen seperti C3a,
dan C5a juga berperan. Faktor-faktor sitotoksik seperti ini meningkatkan permeabilitas
kapiler yang terjadi pada pasien-pasien DHF. Antigen NS-1 pada virus dengue
diketahui untuk meregulasi akvtivasi komplemen. System imun juga berperan sebagai
sebagai sitolitik. MIP-1 diproduksi monosit dan sel dendritik dan mengaktifkan sel
NK dan limfosit yang dan merupakan kemoreaktan untuk merekrut sel NK lainnya ke
area inflamasi. Sel NK dapat menghambat replikasi virus dan ikut berperan dalam
neutralisasi reaksi silang dan memfasilitasi uptake virus via reseptor Fc dan
memperberat aktivasi sel T reaksi-silang spesifik dengue virus. Sel T yang teraktivasi
koagulopati.
Sembilan puluh persen kasus DHF atau DSS terjadi akibat infeksi virus
dengue serotipe heterolog, sehingga infeksi sekunder dengan virus dengue serotipe
heterolog merupakan resiko besar terjadinya DHF dan DSS. Saat ini beberapa aspek
imunologi dari infeksi virus dengue telah dipelajari lebih lanjut. Hal ini menyangkut
target sel virus, efek imunologikal dan efek antibody-mediated mechanisms pada
Setelah virus dengue masuk melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi, terjadi
duplikasi lokal viral pada sel target dendritik epidermal yang 10 kali lebih permisif
dibandingkan monosit atau makrofag. Migrasi sel dendritik yang terinfeksi ke lymph
node regional, memudahkan transfer virus ke sel-sel T. Infeksi sel dendritic CD-14
positif dan sel dendritik di sumsum tulang menyebabkan produksi TNF-, IFN-, IL-
10, dan menyebabkan pematangan sel dendritik yang tidak efisien sehingga mengalami
apoptosis. Selain itu sel dendritik tersebut juga mengalami penurunan dalam
memudahkan virus berkembang melalui jalur sistem imun, yaitu dengan mengurangi
infeksi sekunder oleh virus serotipe heterolog telah banyak dipelajari secara luas.
monosit atau makrofag, dan sel-sel granulosit dengan menggunakan reseptor Fc atau
keparahan DHF dan DSS. Antibodi dengue yang sudah ada pada infeksi sebelumnya
berada dalam keadaan non-neutralisasi dengan virus dengue heterolog sehingga virus
dapat masuk ke kedalam target sel melalui ikatannya dengan reseptor FcRII atau
penyebaran virus dengue di dalam tubuh . Antibodi reaksi silang juga mempunyai
imunitas terhadap serotipe heterolog dan diduga terjadi pada antibodi spesifik protein E
virus. Target utama respon antibody lainnya berupa protein viral M dan NS1. Antibodi
masuknya virus ke dalam sel host. Antibody juga berikatan dengan protein komplemen
Setelah infeksi primer virus dengue, antibodi reaksi silang melakukan perlawanan terhadap serotipe heterolog
selama kurang lebih 4 bulan. Setelah masa itu, antibodi yang beredar berada dalam konsentrasi sub-neutralisasi.
Keadaan ini, memberikan fasilitas bagi virus dengue untuk menginfeksi sel yang berikatan dengan FC gamma
dan mengaktivasikan kaskade komplemen. Aktivasi komplemen juga merupakan
gambaran dengue yang berat dan berperan dalam kebocoran plasma pada DHF.
terhadap infeksi dengue, memiliki manfaat sekaligus kerugian pada sel- sel targetnya.
Respon sel T spesifik serotipe berupa proliferasi sel T, lisisnya sel target, dan produksi
sitokin proinflamatori. Sel T helper memproduksi IFN, TNF, TNF, IL-2, dan
sitokin CCL4. Sel T memori pada infeksi primer akan mengenal epitope peptide virus
yang paling bertahan lama . Respon imun seluler yang efektif terjadi pada epitope yang
paling bertahan lama dan menyebabkan mecetuskan kebocoran plasma. Antigen yang
lama akan mencetuskan lisisnya target sel oleh respon imun seluler. Sedangkan antigen
yang baru akan mencetuskan sitokin yang lebih sedikit dan lisis sel yang kurang
efisien. Fenomena dari lemahnya afinitas serotipe heterolog sebagai antigen baru dan
tinggi nya afinitas serotipe infeksi primer sebagai antigen yang bertahan lama,
tidak terdapat vasculitis dan trauma pada dinding pembuluh darah, kebocoran plasma
intravaskular.
Sel yang terinfeksi DENV menghasilkan mediator inflamatori, pembentukan
sitokin-sitokin pada jaringan selama infeksi sekunder. Kebocoran plasma secara klinis
diartikan oleh WHO sebagai kebocoran plasma yang menyebakan syok atau akumulasi
berakhir hingga kurang lebih 24-48 jam. Kebocoran plasma terjadi terutama di dalam
rongga pleura, peritoneal, dan rongga perikardium. Pada umumnya, pasien tidak akan
terdapat adanya spesies oksigen reaktif, enzim, dan molekul pro-inflamatori (contoh:
pembuluh darah.
Dalam keadaan normal, glycocalyx endothelial berfungsi untuk menghambat
gerakan muatan negatif dan molekul-molekul berukuran besar yang berada dalam
plasma sehingga tidak bocor dari pembuluh darah. Pasien dengue sering disertai
hipoalbunemia dan proteinuria, karena albumin dan protein plasma berukuran kecil
elemen utama struktur dari glycocalyx. Peningkatan eksresi heparan sulfat dalam urin
6. Manifestasi perdarahan12
Manifestasi klinis perdarahan bisa berupa tourniquet test positif, petekie pada
kulit, ekimosis hingga epistaksis, gusi berdarah, dan perdarahan gastrointestinal yang
berat.
Trombositopenia terjadi akibat supresi sumsum tulang selama fase febril
viremia. Trombositopenia progresif yang terjadi pada keadaan suhu yang mulai
7. Manifestasi Klinis 14
7.1 Demam Dengue
Gejala Klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola
mata, nyeri otot, tulang atau sendi mual, muntah, timbul ruam makulopapular timbul
pada awal penyakit (1-2 hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya
timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki
dan tangan. Gejala lain berupa Petekie dan manifestasi perdarahan lainnya, seperti
Hasil pemeriksaan serologis (dengue rapid test) untuk infeksi akut, primer
menunjukkan peninggian (positif) IgM. Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu
yang berkepanjangan.
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,
disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,
tulang , sendi, mual dan muntah, nyeri menelan dan faring hiperemis sering ditemukan.
Biasanya juga ditemukan nyeri perut epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam
positif, kulit mudah memar, dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau bekas
wajah, dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang ditemukan, perdarahan
saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase awal dari demam. Hati biasanya
membesar dengan variasi dari just-palpable hingga sampai 2-4 cm di bawah arcus
costae kanan.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba dan disertai gangguan sirkulasi yang bervariasi berat-
ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi
minimal dan sementara, pada kasus berat ppenderita dapat mengalami syok.
7.3 Sindrom Syok Dengue
Syok biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3
sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mulaterlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh
dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab., sianosis sekitar mulut, nadi
cepat-lemah, tekanan nadi -20mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap
sadar sekalipun mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini, dan penggantian
cairan yang adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat
diketahui dan pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan
dalam 2-3 hari , kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul
ruam pada kulit. Tanda prognostic baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya
nafu makan.
8. Laboratorium15
- Jumlah leukosit
Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel
limfosit. Selanjutnya pada akhir fase demam, jumlah leukosit dan sel neutrophil
Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB)>4% didarah
tepu dapat dijumpai pada hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh. Peingkatan jumlah
- Jumlah Trombosit
Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/l atau kurang dari 1-2
trombosit / lapang pandang besar (Lpb) dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada
10 lpb. Pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit
terjadi antara hari ketiga sampai ketujuh. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai
terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun. Pemeriksaan
dilakukan perama pada saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang
pada hari sakit ketiga, tetapi bila perlu, diulangi setiap hari sampai suhu turun.
- Kadar Hematokrit
dijumpai pada DBD, merupakan indicator yang peka terjadinya perembesan plasma,
peningkatan hematokrit 20% atau lebih (misalya dari 35% menjadi 42%),
padabeberapa kasus
g. Serum komplemen menurun
h. Hipoproteinemia
i. Hiponatremia
j. Serum aspartate aminotransferase (SGOT dan SGPT) sedikit meningkat
k. Asidosis metabolic berat dan oeningkatan kadar urea nitrogen terdapat pada
syok berkepanjangan.
l.
10. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto thoraks (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II)
thoraks sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral decubitus kanan. Asites dan efusi
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak
gelisah.
2. Kriteria Laboratoris
- Trombositopenia (100.000/ atau kurang)
- Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematocrit 20% atau
lebih
atau peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi
pleura dan atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien
anemi dan atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan
laboratorium dengan cara, isolasi virus, deteksi antigen atau RNA dalam serum atau
jaringan tubuh (PCR) dan deteksi antibody spesifik dalam serum pasien.
3. Diagnosis Serologis
Dikenal beberapa jenis uji serologis yang dipakai untuk menentukan adanya
fase konvalesen terhadap titer antibody fase akut (naik 4 kali lipat atau lebih)
dengan:
o Nadi cepat, lemah, tekanan nadi -20mmHg, perfusi perifer
menurun
o Hipotensi, kulit dingin-lembab , dan anak tampak gelisah
12. Derajat Penyakit (WHO,1997)15
1. Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji Touniquet.
2. Derajat II : seperti I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain
3. Derajat III : didapatkan kegagalan sirkulasi , yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan
nadi menurun (-20mmHg) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin
pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi.
serebrospinalis
- Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat
II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan dibawah kulit. Pada hari
pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP
fase penyembuhan BDB jumlah trombosit lebih cepat kembali normal dari pada
ITP.
- Perdarahan dapat juga terjadi pada leeukimia atau anemia apalstik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis.
Pemeriksaan darah tepi dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan darah
aplastik anak sangat anemic, demam timbul karena infeksi sekunder. Pada
pemeriksaan foto thoraks dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan
diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda
perembesan plasma.
14. Komplikasi 15
1. Ensefalopati Dengue
Umumnya terjadi sebagai komplikasi yang berkepanjangan dengan
perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan
kemungkinan dapat juga disebabkan oleh thrombosis pembuluh darah otak sementara
akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID). Dilaporkan pula bahwa virus
dengue dapat menembus sawar darah otak , tetapi jarang dapat menginfeksi jaringan
otak. Dilaporkan juga keadaan ensefalopati yang berhubungan dengan kegagalan hati
akut.
2. Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase termninal, sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasi dengan biak. Dapat juga dijumpai sindrom uremik
hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati
telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter pertama yang penting dan
mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan
>1ml/kgBB/jam . oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume
cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat, sering kali
dijumpai acute tubular necrosis , ditandai dengan oenurunan jumlah urin dan
yang berlebihan (overload ). Pemeberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima
sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh
karena perembesan plasma masih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi
memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami distress penafasan, disertai sembab
pada kelopak mata, ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto dada. Gambaran
15. Penatalaksanaan 15
Pasien infeksi virus dengue yang berobat ke sarana kesehatan dapat
dengue dengan syok atau expanded dengue syndrome. Oleh karena itu pada pasien
tersangka infeksi virus dengue harus teliti pasien mana yang bisa dilakukan pengobatan
rawat jalan dan pasien mana yang harus menjalani rawat inap. Pada umumnya pasien
pada saat masuk didiagnosis sebagai demam dengue dapat diperlakukan sebagai pasien
rawat jalan, kecuali bila ditemukan komorbiditas seperti thalassemia, sindrom nefrotik,
hipertensi, HIV-AIDS atau terdapat resiko tinggi seperti asma bronkial, dan obesitas
atau apabila ditemukan indikasi social seperti rumah yang jauh, tidak ada orangtua, atau
pengasuh yang dapat diandalkan. Demikian juga pasien demam dengue yang mengalami
muntah persisten atau menolak makan dan minum harus menjalani rawat inap. Pasien
dengan demam berdarah dengue, demam berdarah dengue dengan syok, atau expanded
Tidak Ya
Rawat Jalan;
Nasihat kepada orang tua
dengan dosis 10-15 mg/kgBB/dosis yang dapat diulang setiap 4-6 jam bila demam.
Upaya menurunkan demam dengan metode fisik seperti kompres diperbolehkan. Anak
dianjurkan cukup minum. Tanda kecukupan cairan adalah diuresis setiap 4-6 jam.
Pasien diharuskan untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari, mengingat
karakteristik tanda dan gejala DBD baru timbul setelah beberapa hari kemudian. Pasien
dehidrasi akibat asu pan yang kurang misal karena timbul muntah, perdarahan berat
atau bahkan expanded dengue syndrome. Dengan kontrol setiap hari dapat diketahui
pasien hanya menderita Demam Dengue (DD), DD dengan penyulit, atau DBD.
Tatalaksana pasien di rumah harus disampaikan kepada orang tua dengan jelas. Untuk
mungkin timbul selama rawat jalan , orang tua diminta untuk memantau kondisi anak,
bila ditemukan tanda bahaya harus segera kembali ke rumah sakit tanpa harus
elektrolit, air tajin. Cukup minum ditandai dengan frekuensi buang air kecil
hangat.
- Pasien rawat jalan harus kembali berobat setiap hari dan dinilai oleh petugas
kesehatan sampai melewati fase kritis, mengenai: pola demam, jumlah cairan
yang masuk dan keluar (muntah, buang air kecil ), tanda-tanda perembesan
keadaan berikut: pada saat suhu turun keadaan anak memburuk, nyeri perut
hebat, muntah terus-menerus tangan dan kaki dingin dan lembab, letargi atau
gelisah / rewel, anak tampak lemas, perdarahan (misal b.a.b bewarna hitam
atau muntah hitam), sesak napas, tidak buang air kecil lebih dari 4-6 jam,
atau kejang.
15.2 Tatalaksana pasien rawat inap demam berdarah dengue
- Penggantian cairan
Cairan kristaloid isotonic merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD. Jenis
cairan rekomendasi WHO. Pada bayi <6 bulan diberikan cairan NaCl 0,45%
atas dasar pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda dengan anak yang
lebih besar. Jumlah cairan yang diberikan sesuai berat badan, kondisi klinis
- Berikan cairan isotonik dimulai dari 5-7 ml/kg/jam untuk 1-2 jam, lalu turunkan 3-5
ml/kg/jam untuk 2-4 jam dan turunkan ke 2-3 ml/kg/jam atau kurang tergantung
meningkat sedikit, lanjutkan dengan kecepatan yang sama (2-3 ml/kg/jam) untuk 2-4
jam. Jika tanda vital memburuk dan hematokrit meningkat cepat, naikkan kecepatan
ke 5-10 cc/kg/jam untuk 1-2 jam. Nilai kembali kondisi klinis, ulangi hematokrit dan
volume urin 0,5ml/kg/jam. Pemberian cairan intravena hanya dibutuhkan selama 24-
48jam. Turunkan secara bertahap kecepatan infus sesuai dengan penurunan kebocoran
plasma pada akhir masa kritis. Hal ini dapat dilihat dari perbaikan urine output dan
intake oral atau nilai hematokrit yg menurun dibawah basal pasien sebelumnya
- Pasien dengan warning signs harus dimonitor: tanda vital dan perfusi perifer (tiap 1-4
tekanan darah sistolik dan diastolik yang sempit.Ketika terjadi hipotensi, harus
dicurigai adanya perdarahan masif dan seringkali ialah perdarahan saluran cerna yang
tidak diketahui.
Resusitasi cairan pada DSS berbeda dengan tipe syok lainnya seperti syok
septik. Banyak kasus DSS akan berespon dengan 10 ml/kg pada anak-anak selama 1
jam. Secara lebih rinci, pemberian cairan sebaiknya mengikuti grafik dibawah ini.
Jumlah cairan IV harus dikurangi ketika perfusi perifer membaik, tetapi tetap
dilanjutkan untuk durasi minimal selama 24 jam dan boleh dihentikan dalam waktu 36 48
jam. Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan efusi masif karena peningkatan
permeabilitas kapiler.Penggantian cairan pada pasien dengan DSS seperti diilustrasikan di
bawah.
Gambar 11 . Alur penanganan pada DSS
Resusitasi cairan awal pada CHF grade 4 lebih banyak dan lebih cepat dalam
mengembalikan tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan secepat
mungkin dengan ABCS dan mencari keterlebitan organ.Hipotensi walaupun minimal harus
diatas secara agresif.Sepuluh ml/kg harus diberikan secepat mungkin, idealnya dalam 10
sampai 15 menit.Ketika tekanan darah sudah kembali normal, cairan IV dilanjutkan seperti
terapi cairan pada grade 3.Bila syok tidak teratasi setelah pemberian awal 10 ml/kg,
pemberian ulang bolus 10 ml/kg dan hasil laoratorium harus diperiksa dan dikoreksi secepat
mungkin. Transfusi darah segera harus dipertimbangkan sebagai tahap selanjutnya dan
diikuti dengan monitor ketat (kateter urin, central venous pressure).
Penggembalian tekanan darah sangatlah penting untuk menyelamatkan pasien dan
jika tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat maka prognosis sangatlah hebat. Inotropik
dapat digunakan untuk mengembalikan tekanan darah, jika penggantian volume cairan telah
diberikan adekuat pada keadaan pasien dengan central venous pressure (CVP) yang tinggi,
dengan kardiomegali, atau pada pasien yang telah diketahui memiliki kontraktilitas kardiak
yang jelek.
Jika tekanan darah telah dikembalikan setelah terapi cairan dengan atau tanpa
transfusi darah, tetapi terjadi gangguan organ, pasien harus diberikan terapi secara suportif
yang benar (dialysis peritoneal, continuous renal replacement therapy, ventilasi mekanik).
Jika akses intravena tidak dapat dicapai, coba dengan oral rehydration solution jika
pasien sadar atau dengan rute intraosseus jika sebaliknya.Rute intraosseus dapat
menyelamatkan nyawa dan harus dapat dicapai setelah 2 5 menit atau setelah dua kali gagal
mecoba akses vena perifer atau setelah rute oral.
o Pasien obesitas mempunyai cadangan respiratori yang lebih rendah dan harus lebih hati
hati untuk menghindari kelebihan cairan infus intravena. Berat badan ideal yang
didapatkan dengan memplot kurva pertumbuhan WHO pada P50 digunakan untuk
menghitung resusitasi cairan dan dilakukan penggantian cairan, koloid dapat
dipertimbangkan pada tahap awal terapi cairan. Jika pasien sudah stabil, furosemid
diberikan untuk menginduksi diuresis.
o Bayi juga memiliki cadangan respiratori yang lebih rendah dan lebih rentan untuk
gangguan hati dan ketidakseimbangan elektrolit. Pada pasien bayi, durasi kebocoran
plasma lebih singkat dan biasanya berespon cepat pada resusitasi cairan sehingga pada
bayi evaluasi harus lebih sering untuk input cairan oral dan output urin.
o Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati: pasien ini dalam risiko hemolisis dan
membutuhkan transfusi darah. Pada pasien ini harus lebih waspada karena dapat terjadi
hipokalsemia dan kelebihan cairan bila diberikan cairan dan terapi alkalisasi.
o Terapi anti koagulan harus dihentikan sementara waktu selama periode kritis.
o Insulan intravena biasanya dibutuhkan untuk mengkontrol kadar gula darah pada pasien
dengue dengan diabetes mellitus. Kritaloid yang tanpa glukosa dapat digunakan.
15.7 Manajemen pada pasien dengan perbaikan
- Perbaikan ditandai dengan parameter klinis, nafsu makan dan keadaan umum pasien.
- Keadaan hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik dan tanda vital yang stabil harus
diobservasi.
- Penurunan kadar hemotokrit ke nilai normal batas bawah atau lebih rendah dan diuresis
biasanya diobservasi.
- Cairan intravena harus dihentikan.
- Pada pasien dengan efusi masif dan ascites, hipervolemia mungkin terjadi dan terapi
diuretik harus diberikan untuk mencegah edem paru.
- Hipokalemia dapat terjadi karena stress dan diuresis dan harus dikoreksi dengan buah
buahan yang kaya dengan ptasium atau suplemen.
- Bradikardia biasanya ditemukan dan membutuhkan monitor ketat untuk menghindari
kompikasi yang mungkin terjadi walaupun jarang, seperti heart blok atau ventricular
premature contraction (VPC).
- Ruam merah (rash) konvalesens ditemukan pada 20 30% pasien.
15.8 Tanda tanda perbaikan
1. Vaksinasi
Vaksinasi adalah suatu usaha untuk memberikan kekebalan pada bayi dan anak
didapatkan tidak hanya di puskesmas atau di rumah sakit saja, akan tetapi juga
kesehatan dan diberikan secara gratis kepada masyarakat dengan maksud program
imunisasi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Program imunisasi di posyandu telah
menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni pemberian imunisasi pada bayi secara
lengkap. Imunisasi dikatakan lengkap apabila mendapat BCG 1 kali, DPT 3 kali,
Hepatitis 3 kali, Campak 1 kali, dan Polio 4 kali. Bayi yang tidak mendapat imunisasi
secara lengkap dapat mengalami berbagai penyakit, misalnya difteri, tetanus, campak,
polio, dan sebagainya. Oleh karena itu, imunisasi harus diberikan dengan lengkap
sesuai jadwal. Imunisasi secara lengkap dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit
tersebut.16
utama. Vaksinasi dan imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang
sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi
merupakan hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk
Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di
negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan
yang luas.
Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan
(imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar. Dengan melakukan
imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak
tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas
umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Banyak penyakit menular
yang bisa menyebabkan gangguan serius pada perkembangan fisik dan mental anak.
Imunisasi bisa melindungi anak-anak dari penyakit melaui vaksinasi yang bisa berupa
serotipe DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti
merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti
serotipe DEN-2.13 Gejala klasik demam dengue berupa demam tinggi mendadak,
kadang bifasik ( saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri
oto,tulang, atau sendi, mual, muntah dan timbulnya ruam dan petekie dan manifestasi
dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang selain memiliki manifestasi
perdarahan, juga dijumpai kebocoran plasma yang ditandai adanya efusi pleura dan
akibat kebocoran plasma. Syok padan demam dengue disebut Sindrom Syok Dengue
(SSD) dapat terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun. Apabila timbul tanda-
tanda syok seperti kesadaran menurun atau gelisah, akral dingin, sianosis di sekitar
mulut, nadi cepat dan melemah, tekanan darah menurun 20mmHg, dapat menyebabkan
keadaan gawat darurat seperti asidosis metabolik yang harus segera ditangani sebelum
terlambat. Saat ini jumlah kasus infeksi virus dengue tetap tinggi rata-rata 10-25 per
100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun bermakna <2%. Usia
terbanyak yang terkena infeksi dengue adalah kelompok usia 4- 10 tahun, walaupun
makin banyaj kelompok usia yang klebih tua terkena.18 Di Indonesia demam dengue
masih merupakan masalah yang belum sepenuhnya ditangani. Dalam beberapa tahun
terakhir, penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang semakin beratdan frekuensi
kejadian luar biasa meningkat. Jumlah kasus dengue berat yang meningkat dan fatal
3. Vaksin Dengue
keempat serotipe virus (tetravalen), harga murah, dapat memberikan kekebalan dalam
dosis tunggal, memberikan kekebalan jangka panjang, stabil dalam penyimpanan, dan
Dependent Enhacement). 21 Beberapa formulasi vaksin dengue berasal dari: virus hidup
yang dilemahkan, chimeric (subtitusi protein spesifik dari suatu virus pada virus
lainnya), subunit protein, virus inaktif dimurnikan, plasmid DNA, dan lain-lain.
Beberapa vaksin dengue yang saat ini sedang dikembangkan antara lain:21
backbone dengan premembrane (prM) dan envelope (E) DENV 1-4. Diberikan 3 dosis
berselang 6 bulan secara subkutan. Vaksin ini telah di evaluasi melalui uji klinis fase III
2-16 tahun. Efikasi vaksin melawan dengue simptomatik dan kasus dengue berat
efikasi vaksin CYD-TDV mencegah dengue simptomatik dan kasus rawat inap sekitar
mencegah dengue simptomatik dan DHF sebesar 56,5% dan 80,0% dalam 13 bulan
setelah pemberian dosis ketiga, serta menurunkan kasus rawat inap dalam observasi 25
bulan. Usia, status serologi tingkat keparahan dengue, dan jenis serotipe dapat
mempengaruhi efikasi vaksin. Efikasi vaksin melawan dengue simptomatik dan dengue
berat pada usia 9 tahun lebih tinggi (65,6% dan 93,2%) dibandingkan usia <9 tahun
( 44,6% dan 44,5%) selama observasi 25 bulan. Efikasi vaksin melawan serotipe 3 dan
4 cukup tinggi (74,0% dan 77,7%) dibandingkan serotipe 1 dan 2 (50,3% dan 42,3%)
Tidak ada efek samping serius berkaitan dengan vaksinasi pada penelitian di
India. Efek samping yang sering berupa nyeri lokal akibat injeksi. Pada penelitian di
Amerika Latin kejadian serius sebanding antara kelompok vaksin (0,6%) dan kontrol
(0,6%), dilaporkan terjadi dalam 28 hari pasca-vaksinasi berupa serangan asma, kejang,
3.2 DENVax
Merupakan vaksin hidup yang dilemahkan, tetravalen, formulasi
keseluruhan DENV 2 yang dilemahkan dengan premembrane (prM) dan envelope (E)
DENV 1,3,4. Pemberian intradermal atau subkutan. Reaksi lokal injeksi lebih sering
dilaporkan pada intradermal (95% vs 79%). Vaksin cukup aman, tidak dilaporkan efek
samping serius. Rekasi lokal injeksi (nyeri, gatal, dan kemerahan) lebih banyak pada
kelompok vaksin dibanding placebo. Kejadian lain yang cukup banyak dilaporkan
Singapore, dan Thailand sejak tahun 2011. Pada uji klinis fase I di Amerika,
serokonversi pada 120 hari pasca-vaksinasi terhadap DENV 1: 84-100%, DENV 2: 96-
dosis pertama. Respon antibodi paling tinggi terhadap DENV 2, diikuti DENV 1,3,4.
Pemberian dosis kedua, berselang 3 bulan dari dosis pertama, dinilai tidak meningkatan
respons antibodi secara bermakna. Infeksi virus DENVax terdeteksi lebih banyak pada
tetravalen berbeda (TV001- TV005). Rute pemberian subkutan dengan dosis tunggal,
dapat dilakukan booster setelah 6 bulan. Dosis kedua hanya sedikit bermanfaat dan
dinilai tidak perlu, sebab paparan DENV pada area endemic mampu memberikan efek
tetravalent sebesar 74% dan 90%. Kecepatan serokonversi DENV 1-4 pada TV003
sebesar 92%, 76%, 97%, dan 100%, sedangkan TV005 92%, 97%, 97%, dan 97%,
diukur 3 bulan setelah vaksinasi. Respon antibodi terhadap 4 serotipe masih terdeteksi
hingga 1 tahun setelah dosis pertama. Infeksi dengue masih dapat terjadi pada individu
dengan antibodi terdeteksi, tetapi disebutkan bahwa kadar antibodi tinggi memiliki
proteksi lebih baik dibandingkan individu tanpa antibody atau kadar antibodinya
rendah. Keamanan vaksin ini cukup baik. Tak ada kejadian serius bermakna, efek
samping yang dilaporkan meliputi rash ringan (60%), neutropenia ringan transien dan
peningkatan fungsi hati SGPT (2-5%). Vaksin ini dilakukan uji klinis fase II di
Thailand dan Brazil sejak 2014 dan 2013, dan memasuki uji klinis fase III pada
(plasmid DNA), dan TLAV-TPIV (kombinasi virus hidup dilemahkan dengan inaktif
dimurnikan). Vaksin lain yang masih dikembangkan meliputi DNA, VLP, EDIII, dan
virus vektor ( berasal dari baculovirus, alphavirus (VEEV), virus canpak, WNV).
Masih banyak dikembangkan vaksin dengue yang lain dengan berbagai formulasi
4. Dengvaxia 22
4.1 Komposisi
Setelah pencampuran, satu dosis 0,5ml, mengandung:
CYD dengue virus serotype 1*..4.8-6.0 log10 CCID50/ dose**
CYD dengue virus serotype 2*..4.8-6.0 log10 CCID50/ dose**
CYD dengue virus serotype 3*..4.8-6.0 log10 CCID50/ dose**
CYD dengue virus serotype 4*..4.8-6.0 log10 CCID50/ dose**
* di produksi dalam serum-free Vero cells dengan teknologi DNA rekombinan
Bubuk :
Asam amino esensial termasuk L-Phenylalamine, asam amino non-esensial, L-
Trometamol, Urea
Pelarut:
Seodium chloride, air untuk injeksi
4.3 Indikasi
Dengvaxia merupakan vaksin untuk memberikan proteksi pada dewasa dan
anak-anak melawan penyakit dengue yang disebabkan oleh virus dengue serotipe 1,2,3,
dan 4. Dengvaxia diberikan pada dewasa, remaja dan anak-anak usia 9- 45 tahun yang
dengan masing-masing berjarak 6 bulan (0, 6 , 12) dengan time window vaksin
20 hari.
Dosis Booster
Perlu atau tidaknya booster setelah vaksinasi primer pada Dengvaxia belum di
ketahui
injeksikan secara subkutan (SC). Area yang direkomendasi yaitu region deltoid
yang terdaftra pada deskripsi bahan Dengvaxia atau pada vaksin yang
HIV, atau sedang menajalani terapi yang mempengaruhi system imun seperti
vaksinasi.
Sebelum melakukan vaksinasi, pencegahan terhadap adanya reaksi alergi
2 minggu atau lebih, seperti prednisone atau obat yang setara dengan dosis
fungsi imun telah pulih, contoh 4 minggu setelah berhenti pengobatan sebelum
4.7 Interaksi dengan produk pengobatan lainnya dan bentuk interaksi lainnya
Dengvaxia tidak boleh dicampur dengan vaksin injeksi lainnya atau produk medis
lainnya
Pada pasien yang menerima pengobatan berupa immunoglobulin dan produk
yang menyusu pada ibu yang melakukan vaksinasi dengvaxia belum dipelajari.
masing injeksi baik dari segi reactogenicity maupun serious adverse events (SAEs),
termasuk kasus dengue, di data dan di teliti sekurangnya selama 6 bulan setelah injeksi
vaksin terakhir
Tabel 4. Data KIPI Vaksin Dengue pada subjek penelitian berusia 9-17 tahun
Pada subjek berusi 9 -17 tahun efek yang tersering berupa nyeri kepala, nyeri
lokal pada area injeksi, malaise dan mialgia. Derajat keparahan efek KIPI yang muncul
biasanya ringan sampai sedang, dengan durasi paling cepat 0-3 hari. Onset biasanya
terjadi 0-3 hari setelah penyuntikan, kecuali efek demam yang biasanya muncul dalam
14 hari setelah penyuntikan.Efek KIPI sistemik cenderung lebih jarang setelah injeksi
sekurangnya 1 tahun setelah injeksi ketiga pada penelitian efisiasi pivotal vaksin. Pada
subjek dengan usia 9 tahun dan lebih, tidak diperoleh perbedaan yang signifikan
mengenai profil keamanan vaksin jangka lama dari hasil data follow-up subjek.
dilakukan, virus akan bereplikasi secara lokal dan mencetuskan antibodi neutralisasi
tahun yang berada di area endemis yang setidaknya menerima 1 kali injeksi vaksin
formula akhir (pada area percobaan klinis fase II dan III), yaitu Asia Pasifik dan
Hasil di tunjukkan menurut GMT (Geometric Mean Titers), dinilai saat 28 hari setelah
terhadap dengue sebelum injeksi pertama, usia subjek, dan area tempat tinggal.
Semakin tinngi GMT sebelum injeksi pertama, semakin tinggi pula GMT pada 28 hari
setelah injeksi ketiga. Kadar GMT pada 28 hari setelah injeksi ketiga, lebih tinggi pada
subjek yang memiliki imun dengue sebelum mendapatkan injeksi vaksin pertama
dibanding subjek yang tidak memiliki imun dengue sebelum mendapatkan injeksi
vaksin pertama.
Status imunisitas terhadap virus dengue, adalah faktor perancu bagi usia
subjek: semakin tua subjek, semakin tinggi kadar GMT sebelum injeksi vaksin
pertama, dan semakin tinggi kadar GMT 28 hari setelah injeksi vaksin ketiga (respon
imun vaksin dengue dalam kadar GMT pada 28 hari setelah injeksi vaksin ketiga,
Pada subjek penelitian di daerah endemis berusia 9 tahun keatas, kadar GMT
injeksi vaksin ketiga dan cenderung stabil pada tahun-tahun berikutnya. Penurunan
dalam GMT bervariasi tergantung usia dan status imun dengue sebelum injeksi vaksin
pertama. GMT untuk setiap serotipe tetap lebih tinggi dibandingkan GMT saat sebelum
injeksi vaksin.
pelarut yang sesuai, Dengvaxia harus digunakan segera dan dibuang ketika vaksinasi
sudah dilakukan atau dalam 6 jam setelah pencampuran. Dengvaxia harus disimpan
dalam suhu antara 2 C dan 8 C (contoh: di dalam lemari pendingin) dan terlindung dari
sinar matahari.
Natrium klorida) yang disediakan dalam dosis 5 kapsul yang bertutup abu-abu gelap
dengan dosis 5 kapsul dengan tutup coklat berukuran menegah yang berisi serbuk hasil
freeze dried. Pencampuran dilakukan menggunakan alat penyuntik dan jarum steril.
Setelah peleburan 0,5mL dari dosis larutan yang sudah dicampur, diambil
menggunakan spuit steril masing-masing lima dosis. Ukuran jarum yang disarankan
KESIMPULAN
dengan antigen yang berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat
demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu memproduksi limfosit
yang peka sebagai antibodi dan sel memori. Vaksin dengue telah dikembangkan sejak
tahun 1940, namun belum membawa hasil yang memuaskan hingga saat ini. Tanggal
15 April 2016 WHO mengumumkan secara resmi terproduksinya vaksin dengue untuk
pencegahan infeksi virus dengue bernama Dengvaxia, vaksin ini telah diteliti selama 20
tahun dan merupakan hasil penelitian Sanofi Pasteur. Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) Indonesia menyetujui vaksin dengue tetravalent impor milik Sanofi
Pasteur untuk diproduksi dan diedarkan di daerah endemik demam berdarah dengue
(DBD) di Indonesia. Dengvaxia diberikan pada orang dewasa dan anak-anak berusia 9-
45 tahun untuk melawan penyakit dengue yang disebabkan oleh virus dengue serotipe
1,2,3, dan 4 yang tinggal di daerah endemis dengue. Vaksin dengue yang ideal
memberikan kekebalan jangka panjang, stabil dalam penyimpanan, dan tanpa efek
samping.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lidenbach BD, Thiel HJ, Rice CM. Flaviviridae : The Viruses and Their Replication.
In: Knipe DM, Howlrey PM. Fields Virology Fifth Edition. Boston: Lippincott
Williams & Wilkins, 2007; p.1101-1151.
2. WHO. Dengue and severe dengue [Internet]. 2015 [cited 2016 June 3]. Available
from: http//www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
3. Schwartz LM, Halloran ME, Durbin AP, Longini IM. The dengue vaccine pipeline:
Impplications for the future of dengue control. Vaccine 2015;33:3293-8.
4. Mcarthur MA, Edelman R. A promising , single-dose, live attenuated tetravalent
dengue vaccine candidate. J infect Dis [Internet].2015 Available from: http://jid.
Oxfordjournals.org/content/early/2015/03/22/infdis.jiv086.extract
5. Marbawati D, Wijayanti T. Dengue vaccine, challenges, development and strategies.
Balaba 2014;10:39-46.
6. WHO. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Factsheet N 117, revised May 2008.
Geneva, World Health Organization.[Internet] 2008 Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
7. PAHO. Number of reported cases of dengue and dengue hemorrhagic fever (DHF),
Region of the Americas (by country and subregion). Washington, DC, Pan American
Health Organization, 2008. [Internet ] Available from:
http://www.paho.org/english/ad/dpc/cd/dengue.htm
8. WHO/SEARO. Concrete measure key in controlling dengue in South East Asia. Press
Release SEA/PR/1479. New Delhi, World Health Organization Regional Office for
South-East Asia, 2008 [Internet]. Available from
http://www.searo.who.int/EN/Section316/Section503/Section2463_14619.htm
9. Pusat data dan surveilans epidemiologi kementrian kesehatan RI. Buletin Jendela
Epidemiologi demam berdarah dengue. [Internet]. Available from:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-
dbd.pdf
10. Paisal, Subangkit. Strategi pengembangan Vaksin dengue. Jurnal Biotek Medisiana
Indonesia. 2013;22(2): 43-49.
11. Guzman, M.G et al. Dengue: A continuing global threat. Nature Reviews
Microbiology 8, S7-S16 (2010).doi:10.1038/nrmicro2460
12. Anthony s-yleong, Kthong wong, Trishe y-m leong. The pathology of dengue
hemorrhagic fever. Seminars in Diagnostic Pathology. 2007;24(4): 228-229.
13. Ellahewa , K.H. Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic Fever and Its Impact on Case
Management. ISRN Infectious Diseases. [internet] Available from:
http://dx.doi.org/10.5402/2013/571646 [Accessed 22 February 2017].
14. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorrhagic fever.2011[Internet] Available from:
http://apps.searo.who.int/pds_docs/B4751.pdf?ua=1
15. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
16. Sri, Rezeki Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi di Indonesia.
Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005
17. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman
Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008.
18. Sri rezeki, H, dkk. Diagnosis Demam Dengue. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue
di Indonesia. Departemen Kesehatan Jakarta: Bakti Husada; 2004. p. 11-23.
19. Sri rezeki, H, Karyanti, M.R. Sari Perdiatri. Perubahan Epidemiologi demam
berdarah dengue di Indonesia. Weblog. [Internet] Available from:
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/10-6-12.pdf [Accessed 22 February 2017].
20. Marbawati D, Wijayanti T. Dengue Vaccine challenges, development and strategies.
Balaba 2014;10:39-46
21. Purnamasari , L. Potensi dan Keamanan Vaksin Dengue . Continuing professional
development. Weblog. [Internet] Available from:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/19_247CPD-Potensi%20dan%20Keamanan
%20Vaksin%20Dengue.pdf [Accessed 23 February 2017].
22. Sanofi pasteur sa. Dengvaxia MD powder and solvent for suspension for
injection. [Internet]. Available from:
http://pionas.pom.go.id/sites/default/files/obat_baru/Dengvaxia%20Serbuk
%2Bpelarut%20injeksi_Vaksin%20Dengue%20Tetravalen%20(Hidup,
%20dilemahkan)_DKI1659703344A1_2016.pdf.