Anda di halaman 1dari 57

Kepada Yth,

dr. Adriana Lukman, Sp.A

REFERAT

VAKSIN DENGUE

PEMBIMBING:
dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A, M.Si, Med
dr. Slamet Widi Saptadi, Sp.A
dr. Lilia Dewiyanti, Sp.A, M.Si, Med
dr. Adriana Lukman, Sp.A

Disusun Oleh:
Brenda Elmina Japar
406161031

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 9 JANUARI 2017 18 MARET 2017
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2016
LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : Brenda Elmina Japar

NIM : 406161031

UNIVERSITAS : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

JUDUL REFERAT : Vaksin Dengue

BAGIAN : Ilmu Kesehataan Anak RSUD Kota Semarang

PEMBIMBING : dr. Adriana Lukman, Sp.A

Semarang, Maret 2017


Pembimbing

dr. Adriana Lukman, Sp.A


BAB I.

PENDAHULUAN

Vaksinasi (atau sering juga disebut imunisasi) merupakan salah satu unsur

utama dalam upaya pencegahan penyakit, yang merupakan suatu tindakan dengan

sengaja memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari suatu pathogen. Antigen

yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun

mampu memproduksi limfosit yang peka sebagai antibody dan sel memori.

Anak-anak di semua negara secara rutin telah mendapat imunisasi untuk

mencegah penyakit berbahaya sehingga imunisasi merupakan dasar kesehatan

masyarakat. Upaya imunisasi dan vaksinasi di Indonesia dapat dikatakan telah

mencapai tingkat yang memuaskan. Namun, pengembangan vaksin dengue yang telah

dilakukan sejak tahun 1940 , hingga saat ini belum ada vaksin yang diresmikan.

Beberapa kandidat vaksin dengan berbagai formulasi masih terus dikembangkan dan

perlu diuji klinis. Tantangan dalam pengembangan vaksin meliputi tidak adanya model

hewan yang sesuai dengan manifestasi dengue pada manusia, formulasi vaksin yang

mampu mencetuskan respon imun seimbang terhadap keempat serotipe virus, efek

samping setelah vaksinasi, dan lain-lain.

WHO memperkirakan sekitar 390 juta infeksi dengue terjadi setiap tahun di

dunia, dimana 96 juta diantaranya bergejala, sekitar 500.000 kasus di rawat inap

terutama anak-anak, dengan angka kematian sebesar 2,5%. Indonesia tercatat sebagai

negara dengan insidens dengue tertinggi di Asia Tenggara. Tahun 2009, angka
morbiditas dengue di Indonesia 68,22 per 100.000 penduduk dan angka mortalitas

0,89%. Infeksi umumnya menyerang usia kurang dari 15 tahun, namun saat ini telah

bergeser ke kelompok usia lebih tua disebabkan multifactor (lingkungan, biologis, dan

demografis). Terapi speseifik dengan antivirus efektif untuk infeksi Dengue belum

ditemukan. Pengembangan obat antivirus merupakan kebutuhan mendesak untuk

memcegah kematian akibat DBD. Penggunaan senyawa yang dapat menghambat

proses perkembangan dari virus intraseluler belum disetujui untuk digunakan pada

manusia. Interferon ribavirin, 6-azauridine, dan glycyrrhizin menghambat

perkembangbiakan Flavivirus termasuk virus Dengue secara in vitro, tetapi belum

dibuktikan secara in vivo.

Pengendalian vektor yang dilakukan dinilai kurang efektif, karena sifat vektor

yang kosmopolit dan mudah beradaptasi, resistensi terhadap insektisida dan sifat

transovarial. Oleh sebab itu diperlukan pencegahan lain dengan vaksinasi. WHO

mengumumkan secara resmi terproduksinya vaksin dengue untuk pencegahan infeksi

virus dengue pada 15 April 2016 lalu.nama vaksin yangdiresmikan WHO adalah

Dengvaxia, vaksin yang telah diteliti selama 20 tahun dan merupakan hasil penelitian

Sanofi Pasteur. Negara Meksiko, Brazil, El Savador, dan Filiphina telah memiliki

lisensi lisensi Dengvaxia. Indonesia, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) sampai tahun tahun 2019, vaksin DBD sudah disiapkan . Badan

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia menyetujui vaksin dengue tetravalent

impor milik Sanofi Pasteur untuk diproduksi dan diedarkan di daerah endemik demam

berdarah dengue (DBD) di Indonesia. Persetujuan vaksin dengue di Indonesia ini

merupakan pendaftaran kedua di Asia dan ketujuh di dunia.


BAB II
VIRUS DENGUE

1. Definisi
Virus dengue (DENV) adalah virus golongan genus Flavivirus dan famili

Flaviviridae. Virus lain yang termasuk ke dalam genus Flavivirus antara lain adalah

Japanese Encephalitis Virus (JEV) , Tick Borne Encephalitis Virus (TBEV), West Nile

Virus (WNV), dan Yellow Fever Virus (YFV). 1 Virus dengue terdiri dari 4 serotipe,

yaitu DENV 1-4. Di Indonesia, DENV 3 paling banyak diidentifikasi pada infeksi

berat.2 Infeksi satu serotipe memberi kekebalan hanya pada reinfeksi serotipe tersebut,

tidak pada serotipe lain. Infeksi pertama menyebabkan demam (dengue fever/DF),

pada infeksi berikutnya oleh serotipe lain (secondary heterotypic infection) akan

timbul gejala lebih berat, yaitu demam disertai perdarahan (dengue haemorrhagic

fever/ DHF) ataupun syok (dengue shock syndrome/DSS). 3,4,5


2. Epidemiologi
Dengue merupakan penyakit yang sangat cepat penyebarannya. Penularannya

diperantarai oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi virus

dengue. Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan

peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan dalam dekade ini, dari kota

ke lokasi pedesaan. 6 Penderitanya banyak ditemukan di sebagian wilayah tropis dan

subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.


Dari tahun 2001 hingga 2007, kasus dengue di Amerika sebanyak 4,332,731

kasus di lebih dari 30 negara. Sedangkan kasus DHF adalah sebanyak 106, 037 kasus.

Jumlah total kematian akibat dengue pada periode yang sama adalah 1,299, dengan

tingkat fatalitas kasus DHF sebesar 1.2%. 7


Di daerah Asia Pasifik, lebih dari 70% dari populasi atau sekitar 1,8 juta

penduduk beresiko menderita dengue. Mianmar mencatat ada 9,578 kasus dengue
yang terjadi dari bulan Januari hingga September 2007, dengan tingkat fatalitas

sebesar 1%. Thailand pada bulan Juni 2007 terdapat outbreak di beberapa provinsi

yaitu Trat, Bangkok, Chiangrai, Phetchabun, Phitsanulok, Khamkaeng Phet, Nakhon

Sawan dan Phit Chit dengan total kasus 58,836 kasus. Dengan tingkat fatalitas sebesar

0.2% 8
Sedangkan di Indonesia, terjadi peningkatan angka insiden penyakit DBD

dari tahun 1968 sampai tahun 2009. Pada tahun 2009 provinsi DKI Jakarta merupakan

provinsi dengan angka insiden DBD tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk),

sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan Angka Insiden DBD

terendah (8 kasus per 100.000 penduduk).(gambar 1). Dalam lima tahun terakhir

(2005-2009), lima provinsi dengan AI tertinggi (dapat dilihat pada gambar 2). Provisi

DKI dan Kalimantan Timur selalu berada dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan DKI

Jakarta selalu menduduki AI tertinggi setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh

kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang

lebih baik dibanding daerah lain, sehingga peyebaran virus menjadi lebih mudah dan
9
lebih luas.

Gambar 1. Angka Insiden DBD per 100.000 penduduk di Indonesia tahun 2009
Gambar 2. Lima provinsi tertinggi Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia tahun 2005-2009
2.1 Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD9
Jumlah Kasus KLB DBD yang dilaporkan pada tahun 1998-2009 tampak

berfluktuasi. Demikian juga dengan jumlah provinsi dan kabupaten yang melaporkan

KLB DBD dari tahun 1998-2009 tampak berfluktuasi. Tampak pada tahun 1998 dan

2004 jumlah kabupaten/kota melaporkan kejadian KLB DBD paling tinggi yaitu 104

kab/kota dan 75 kab/kota (gambar 3). Pada tahun tersebut juga dilaporkan jumlah kasus

DBD mengalami peningkatan. Tahun 1998 kasus KLB menyumbang 55%

(41.843/72.133) dari total laporan jumlah kasus DBD, sedangkan tahun 2004 kasus

KLB hanya menyumbang 9,5% (7588/79.462) dari kasus DBD. Setelah tahun 2004 AI

dan kasus absolut DBD terus meningkat namun laporan kasus KLB dan jumlah

kab/kota yang melaporkan KLB terus menurun.

Gambar 3. Kasus Pada KLB DBD, jumlah Provinsi dan Kab/Kota Pada tahun 1998-2009
2.2 Angka Kematian9
Angka Kematian (AK)/ Case Fatality Rate (CFR) pada tahun-tahun awal

kasus DBD terjadi di Indonesia sangat tinggi. Kemudian dari tahun ke tahun mulai

menurun 41,4% pada tahun 1968 terus menerus sampai menjadi 0,89% pada tahun

2009 (gambar 4). Pada tahun 2009, provinsi dengan AK tertinggi adalah Bangka

Belitung (4,58%), Bengkulu (3,08%), dan Gorontalo (2,2%), sedangkan AK yang

paling rendah adalah Sulawesi Barat (0%), DKI Jakarta (0,11%), dan Bali (0,15%). AK

nasional telah berhasil mencapai target di bawah 1%, namun sebagian besar belum
mencapai target agar meningkatkan upaya yang dapat menurunkan AK seperti

melakukan pelatihan manejemen kasus terhadap petugas, penyediaan sarana, dan

prasarana untuk deteksi dini dan penanganan yang tepat dan cepat.

Gambar 4. Angka Kematian DBD per Provinsi Tahun 2009

Gambar 5. Jumlah Absolut kematian DBD dan Angka Kematian di Indonesia Tahun 1968- 2009
3. Struktur Virus Dengue dan Siklus Replikasinya
Dengue virus berbentuk sferis dengan diameter sekitar 50nm dan tersusun dari

tiga struktural protein , yaitu precursor membrane (prM), envelope (E) pada

permukaannya, sedangkan bagian dalamnya terdapat protein capsid (C). Protein C

berbentuk ikosahedral berdiameter kurang lebih 30 nm, berfungsi membungkus materi

genetic virus. Materi genetik virus dengue terdiri dari rantai RNA untai positif

berukuran sekitar 11 kb dengan satu opening frame. Materi genetik ini ditranslasi

menjadi satu poliprotein berukuran 3391 asam amino, yang kemudian dipotong-potong

oleh protease menjadi tiga protein struktural (protein E, prM, dan C) dan tujuh protein

non-struktural (NS1,NS2A, NS2B,NS3,NS4A, NS4B, dan NS5).


Gambar 6. struktur virus dengue11

Secara antigenik,

virus dengue dibagi menjadi empat

serotipe, yaitu DENV 1, DENV 2,

DENV 3, DENV 4. Keempat serotipe ini

mempunyai perbedaan asam amino pada protein selubung (envelope), sekitar 25

sampai 40 persen dan perbedaan pada nuklotida dan asam amino genotipnya berturut-

turut 6% dan 3%. Karena adanya perbedaan serotipe, maka dapat terjadi infeksi primer

dan infeksi sekunder. Infeksi primer adalah infeksi virus dengue dari serotipe apapun

untuk pertama kalinya. Sedangkan infeksi sekunder adalah infeksi virus dengue pada

individu yang sama dari serotipe yang berbeda.10


Dalam siklus replikasinya, virus dengue menempel pada sel hospesnya melalui

dua cara, yaitu terikat pada reseptor virus yang ada di permukaan sel dan melalui

antibodi anti dengue yang terikat pada sel. Setelah menempel, virus masuk ke dalam sel

melalui endositosis dan pH yang asam mencetuskan perubahan pada protein E.

Perubahan ini menyebabkan fusi selubung virus dengan membrane endosomal yang

diikuti dengan pelepasan genom virus ke dalam sitoplasma sel, kemudian genom viral

tersebut ditranslasikan menjadi protein viral dan bereplikasi di reticulum endoplasma

sel host nya. Genom viral yang baru kemudian dibungkus menjadi inti virus, selubung
(envelope), dan protein membrane sehingga terbentuk virion imatur yang kemudian

disekresikan dari sel.12

Gambar 7. Replikasi Virus Dengue 11

4.

Patogenesis
Patogenesis DHF/DSS belum cukup dimengerti dan telah menjadi subjek

penelitian dibeberapa tahun terakhir. Meskipun kebanyakan kasus demam dengue

merupakan self-limiting diseases, namun yang menjadi masalah besar adalah sebagian

besar penderita yang terinfeksi virus dengue berpotensial menjadi kasus DHF atau DSS

yang mengancam jiwa.


Infeksi satu jenis serotipe virus dengue mencetuskan imunitas terhadap

serotipe itu sendiri tetapi tidak menyediakan imun proteksi-silang yang cukup lama

terhadap serotipe lainnya. Infeksi berikutnya dengan serotipe yang berbeda


menyebabkan ikatan virus yang baru dengan antibodi non-neutralisasi reaksi-silang

yang berasal dari infeksi sebelumnya sehingga memfasilitasi uptake virus oleh fagosit

mononuklear yang digunakan virus untuk bereplikasi. Proses ini meningkatkan volume

viral (viral load) yang akan mengarahkan pada kaskade imunopatogenik dan

mencetuskan respon sitokin-sitokin inflamatori dan menyebabkan peningkatan

permeabilitas mikrovaskular secara transien. Beberapa faktor yang berpengaruh pada

derajat keparahan proses ini termasuk virulensi virus, mimikri molekuler, kompleks

imun, dan atau disregulasi yang dimediasi komplemen dan predisposisi genetik.
Antibodi neutralisasi merupakan faktor utama dari etiopatogenesis penyakit

dengue. Respon imunitas seluler juga merupakan faktor yang penting. Respon oleh

limfosit T memori dengue terjadi setelah infeksi primer termasuk diantaranya untuk

serotipe yang spesifik maupun limfosit T reaksi silang dengan serotipe virus. NS3

merupakan target dari sel T CD4+ dan CD8+.


Sitokin-sitokin yang berperan dalam kebocoran plasma yaitu Interferon ,

interleukin 2 (IL-2), tumor necrosis factors(TNF) , yang meningkatkan kadarnya pada

kasus DHF. Interferon juga meningkatkan uptake partikel-pertikel dengue oleh sel

target dengan meningkatkan jumlah reseptor Fc pada sel. Sitokin lain seperti IL-6, IL-

8, dan IL-10 juga meningkat. Aktivasi komplemen akibat komplek imun virus-antibodi

juga berperan dalam kebocoran plasma. Beberapa fragmen komplemen seperti C3a,

dan C5a juga berperan. Faktor-faktor sitotoksik seperti ini meningkatkan permeabilitas

kapiler yang terjadi pada pasien-pasien DHF. Antigen NS-1 pada virus dengue

diketahui untuk meregulasi akvtivasi komplemen. System imun juga berperan sebagai

proteksi terhadap virus dengue. Sel NK melepaskan granzyme A yang berfungsi

sebagai sitolitik. MIP-1 diproduksi monosit dan sel dendritik dan mengaktifkan sel
NK dan limfosit yang dan merupakan kemoreaktan untuk merekrut sel NK lainnya ke

area inflamasi. Sel NK dapat menghambat replikasi virus dan ikut berperan dalam

kaskade sitokin pada kebocoran plasma.13


Saat Infeksi sekunder oleh DENV dengan serotipe berbeda, antibodi non-

neutralisasi reaksi silang dan memfasilitasi uptake virus via reseptor Fc dan

menyebabkan peningkatan replikasi virus. Antigen viral loads yang tinggi

memperberat aktivasi sel T reaksi-silang spesifik dengue virus. Sel T yang teraktivasi

mengeluarkan mediator inflamatori beserta teraktivasinya komplemen oleh protein-

protein viral. Kompleks imun kemudian meningkatkan permeabilitas vascular dan

koagulopati.
Sembilan puluh persen kasus DHF atau DSS terjadi akibat infeksi virus

dengue serotipe heterolog, sehingga infeksi sekunder dengan virus dengue serotipe

heterolog merupakan resiko besar terjadinya DHF dan DSS. Saat ini beberapa aspek

imunologi dari infeksi virus dengue telah dipelajari lebih lanjut. Hal ini menyangkut

target sel virus, efek imunologikal dan efek antibody-mediated mechanisms pada

infeksi sekunder serotipe heterolog.12

4.1 Antibody-enhanced viral duplication12


Target mayor dengue virus berupa monosit, makrofag, dan sel dendritik.

Setelah virus dengue masuk melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi, terjadi

duplikasi lokal viral pada sel target dendritik epidermal yang 10 kali lebih permisif

dibandingkan monosit atau makrofag. Migrasi sel dendritik yang terinfeksi ke lymph

node regional, memudahkan transfer virus ke sel-sel T. Infeksi sel dendritic CD-14

positif dan sel dendritik di sumsum tulang menyebabkan produksi TNF-, IFN-, IL-

10, dan menyebabkan pematangan sel dendritik yang tidak efisien sehingga mengalami
apoptosis. Selain itu sel dendritik tersebut juga mengalami penurunan dalam

meregulasi ekspresi sel dan kemampuannya menstimulasi sel-sel T alogenik sehingga

memudahkan virus berkembang melalui jalur sistem imun, yaitu dengan mengurangi

kemampuan sel dendritic sebagai antigen-presenting cell.


Tingkat keparahan dan mortalitas yang tinggi pada kasus DHF membuat

infeksi sekunder oleh virus serotipe heterolog telah banyak dipelajari secara luas.

Antibody-dependent enhancement merupakan suatu fenomena dimana antibodi

spesifik virus dengue memperbanyak masuknya virus dan replikasinya ke dalam

monosit atau makrofag, dan sel-sel granulosit dengan menggunakan reseptor Fc atau

komplemen sebagai medianya. Mekanisme yang menjelaskan tentang derajat

keparahan DHF dan DSS. Antibodi dengue yang sudah ada pada infeksi sebelumnya

berada dalam keadaan non-neutralisasi dengan virus dengue heterolog sehingga virus

dapat masuk ke kedalam target sel melalui ikatannya dengan reseptor FcRII atau

komplemen sehingga menyebabkan banyak sel yang terinfeksi.

4.2 Mekanisme Imunologikal11

Respon Imun Humoral


Respon imun humoral bertanggung jawab dalam mengontrol infeksi dan

penyebaran virus dengue di dalam tubuh . Antibodi reaksi silang juga mempunyai

imunitas terhadap serotipe heterolog dan diduga terjadi pada antibodi spesifik protein E

virus. Target utama respon antibody lainnya berupa protein viral M dan NS1. Antibodi

neutralisasi yang melawan protein E virus menghambat viral attachment dan

masuknya virus ke dalam sel host. Antibody juga berikatan dengan protein komplemen

Setelah infeksi primer virus dengue, antibodi reaksi silang melakukan perlawanan terhadap serotipe heterolog
selama kurang lebih 4 bulan. Setelah masa itu, antibodi yang beredar berada dalam konsentrasi sub-neutralisasi.
Keadaan ini, memberikan fasilitas bagi virus dengue untuk menginfeksi sel yang berikatan dengan FC gamma
dan mengaktivasikan kaskade komplemen. Aktivasi komplemen juga merupakan

gambaran dengue yang berat dan berperan dalam kebocoran plasma pada DHF.

Respon Imun Seluler


Gambar 8. Mekanisme Imunologi Dengue11
DENV dapat menginfeksi baik sel NK dan sel T helper. Respon imun seluler

terhadap infeksi dengue, memiliki manfaat sekaligus kerugian pada sel- sel targetnya.

Respon sel T spesifik serotipe berupa proliferasi sel T, lisisnya sel target, dan produksi

sitokin proinflamatori. Sel T helper memproduksi IFN, TNF, TNF, IL-2, dan

sitokin CCL4. Sel T memori pada infeksi primer akan mengenal epitope peptide virus

yang paling bertahan lama . Respon imun seluler yang efektif terjadi pada epitope yang

paling bertahan lama dan menyebabkan mecetuskan kebocoran plasma. Antigen yang

lama akan mencetuskan lisisnya target sel oleh respon imun seluler. Sedangkan antigen

yang baru akan mencetuskan sitokin yang lebih sedikit dan lisis sel yang kurang

efisien. Fenomena dari lemahnya afinitas serotipe heterolog sebagai antigen baru dan
tinggi nya afinitas serotipe infeksi primer sebagai antigen yang bertahan lama,

mencetuskan respon imun seluler yang disebut Original Antigenic Sin.

5. Kebocoran Plasma pada DHF12


Kebocoran Plasma spesifik dengan rongga pleura dan peritoneal. Pada DHF

tidak terdapat vasculitis dan trauma pada dinding pembuluh darah, kebocoran plasma

terjadi akibat peningkatan permeabilitas vaskular yang diperantarai oleh sitokin-sitokin

inflamatori. Berpindahnya albumin dan penuruan resultan tekanan onkotik

intravascular menyebabkan hilangnya cairan lebih banyak dari kompartemen

intravaskular.
Sel yang terinfeksi DENV menghasilkan mediator inflamatori, pembentukan

kompleks imun terbentuk dan mengaktivasikan kaskade komplemen yang

menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat dan manifestasi perdarahan yang

merupakan karakter dari dengue berat.


Limfosit T memori dapat mengenal DENV dan teraktivasi dan mensekresikan

sitokin-sitokin pada jaringan selama infeksi sekunder. Kebocoran plasma secara klinis

diartikan oleh WHO sebagai kebocoran plasma yang menyebakan syok atau akumulasi

cairan yang dapat menyebabkan distress pernapasan atau keduanya.


Kebocoran plasma biasanya terjadi ketika demam tinggi mulai turun dan

berakhir hingga kurang lebih 24-48 jam. Kebocoran plasma terjadi terutama di dalam

rongga pleura, peritoneal, dan rongga perikardium. Pada umumnya, pasien tidak akan

mengalami edema general , kecuali diberikan cairan intravena yang berlebihan.


Mekanisme kebocoran plasma tidak sepenuhnya diketahui, tetapi diketahui

terdapat adanya spesies oksigen reaktif, enzim, dan molekul pro-inflamatori (contoh:

TNF, IL-6, IL-8, dan IFN-)yang merusak lapisan glycocalyx, sehingga


menyebabkan plasma keluar, mencapai intercellular junctions dan keluar dari

pembuluh darah.
Dalam keadaan normal, glycocalyx endothelial berfungsi untuk menghambat

gerakan muatan negatif dan molekul-molekul berukuran besar yang berada dalam

plasma sehingga tidak bocor dari pembuluh darah. Pasien dengue sering disertai

hipoalbunemia dan proteinuria, karena albumin dan protein plasma berukuran kecil

lainnya keluar dari pembuluh darah.


DENV dan protein NS-1 DENV dapat melekat pada heparan sulfat, suatu

elemen utama struktur dari glycocalyx. Peningkatan eksresi heparan sulfat dalam urin

pada anak-anak menandakan adanya infeksi berat


Perubahan pada glycocalyx bersifat sementara, kebocoran plasma dapat

membaik secara spontan.

6. Manifestasi perdarahan12
Manifestasi klinis perdarahan bisa berupa tourniquet test positif, petekie pada

kulit, ekimosis hingga epistaksis, gusi berdarah, dan perdarahan gastrointestinal yang

berat.
Trombositopenia terjadi akibat supresi sumsum tulang selama fase febril

viremia. Trombositopenia progresif yang terjadi pada keadaan suhu yang mulai

normal, terjadi akibat destruksi

7. Manifestasi Klinis 14
7.1 Demam Dengue
Gejala Klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,

kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola

mata, nyeri otot, tulang atau sendi mual, muntah, timbul ruam makulopapular timbul

pada awal penyakit (1-2 hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya

timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki
dan tangan. Gejala lain berupa Petekie dan manifestasi perdarahan lainnya, seperti

epistaksis,perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuria, dan menoragi Hasil

pemeriksaan darah menunjukkan leukopenia kadang-kadang dijumpai trombositopenia.

Hasil pemeriksaan serologis (dengue rapid test) untuk infeksi akut, primer

menunjukkan peninggian (positif) IgM. Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu

yang berkepanjangan.

7.2 Demam Berdarah Dengue (DBD)

Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,

disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,

tulang , sendi, mual dan muntah, nyeri menelan dan faring hiperemis sering ditemukan.

Biasanya juga ditemukan nyeri perut epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam

tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.


Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji Tourniquet (Rumple leede)

positif, kulit mudah memar, dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau bekas

pengambilan darah. Petekie halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila,

wajah, dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang ditemukan, perdarahan

saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase awal dari demam. Hati biasanya

membesar dengan variasi dari just-palpable hingga sampai 2-4 cm di bawah arcus

costae kanan.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi

penurunan suhu yang tiba-tiba dan disertai gangguan sirkulasi yang bervariasi berat-

ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi

minimal dan sementara, pada kasus berat ppenderita dapat mengalami syok.
7.3 Sindrom Syok Dengue
Syok biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3

sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mulaterlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh

dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab., sianosis sekitar mulut, nadi

cepat-lemah, tekanan nadi -20mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap

sadar sekalipun mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini, dan penggantian

cairan yang adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat

diketahui dan pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan

berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolic, perdarahan hebat saluran cerna,

sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi

dalam 2-3 hari , kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul

ruam pada kulit. Tanda prognostic baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya

nafu makan.

8. Laboratorium15
- Jumlah leukosit
Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel

limfosit. Selanjutnya pada akhir fase demam, jumlah leukosit dan sel neutrophil

bersama-sama menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relative meningkat.

Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB)>4% didarah

tepu dapat dijumpai pada hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh. Peingkatan jumlah

leukosit menjurus kea rah timbulnya syok.

- Jumlah Trombosit
Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/l atau kurang dari 1-2

trombosit / lapang pandang besar (Lpb) dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada
10 lpb. Pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit

dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit menjadi <100.000/lbiasanaya

terjadi antara hari ketiga sampai ketujuh. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai

terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun. Pemeriksaan

dilakukan perama pada saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang

pada hari sakit ketiga, tetapi bila perlu, diulangi setiap hari sampai suhu turun.
- Kadar Hematokrit

Peningkatan nilai hematrokrit menggambarkan hemokonsentrasi selalu

dijumpai pada DBD, merupakan indicator yang peka terjadinya perembesan plasma,

sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya

penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan

peningkatan hematokrit 20% atau lebih (misalya dari 35% menjadi 42%),

mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma.

9. Pemeriksaan Laboratorium lain


a. Kadar albumin menurun sedikit dan bersifat sementara
b. Eritrosit dalam tinja hamper selalu ditemukan
c. Penurunan faktor koagulasi dan fibrinolitik yaitu fibrinogen, protrombin,

faktor VIII, faktor XII, dan antitrombrin III


d. Disfungsi hati, penurunan kelompok vitamin-K dependent protrombin ,

seperti faktor V, VII, IX<dan X.


e. Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang
f. Penurunan -antiplasmin (2-plasmin inhibitor) hanya ditemukan

padabeberapa kasus
g. Serum komplemen menurun
h. Hipoproteinemia
i. Hiponatremia
j. Serum aspartate aminotransferase (SGOT dan SGPT) sedikit meningkat
k. Asidosis metabolic berat dan oeningkatan kadar urea nitrogen terdapat pada

syok berkepanjangan.
l.
10. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto thoraks (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II)

didapatkan efusi pleura, terutama disebelah hemithoraks kanan. Pemeriksaan foro

thoraks sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral decubitus kanan. Asites dan efusi

pleura dapat dideteksi dengan pemeriksaan Ultrasonografi (USG). 15

11. Kriteria Diagnosis15


1. Kriteria Klinis
- Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus

menerus selama 2-7 hari.


- Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan
o Uji tourniquet positif
o Petekia, ekimosis, purpura
o Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
o Hematemesis dan atau melena
- Pembesaran hati
- Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi ,

hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak

gelisah.
2. Kriteria Laboratoris
- Trombositopenia (100.000/ atau kurang)
- Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematocrit 20% atau

lebih

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi

atau peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi

pleura dan atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien

anemi dan atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan

adanya trombositopenia mendukung diagnosis DBD.

Diagnosis definitive infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di

laboratorium dengan cara, isolasi virus, deteksi antigen atau RNA dalam serum atau

jaringan tubuh (PCR) dan deteksi antibody spesifik dalam serum pasien.

3. Diagnosis Serologis

Dikenal beberapa jenis uji serologis yang dipakai untuk menentukan adanya

infeksi virus dengue, misalnya:

1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibitoin test ) HI test


2. Uji komplemen fiksasi (Complement fixation Test) CF test
3. Uji neutralisasi ( Neutralization test ) NTtest
4. IgM Elisa (Mac. Elisa)
5. IgG Elisa
Pada dasarnya, hasil serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibody

fase konvalesen terhadap titer antibody fase akut (naik 4 kali lipat atau lebih)

11.1 Demam Berdarah Dengue

- Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-

menerus selama 2-7 hari


- Manifestasi perdarahan :
o Sekurang- kurangnya uji Toueniquet positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan
o Hematemesis atau melena
- Trombositopenia (jumlah trombosit 100.00/ l)
- Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
o Peningkatan nilai hematokrit 20% dari nilai baku sesuai umur

dan jenis kelamin atau penurunan nilai hematokrit 20% setelah

pemberian cairan yang adekuat. Nilai Ht normal, diasumsikan

sesuai nilai setelah pemberian cairan.


o Efusi pleura, asites, hipoproteinemia.

11.2 Sindrom Syok Dengue

- Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai

dengan:
o Nadi cepat, lemah, tekanan nadi -20mmHg, perfusi perifer

menurun
o Hipotensi, kulit dingin-lembab , dan anak tampak gelisah
12. Derajat Penyakit (WHO,1997)15
1. Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji Touniquet.
2. Derajat II : seperti I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain
3. Derajat III : didapatkan kegagalan sirkulasi , yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan

nadi menurun (-20mmHg) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin

dan lembab, dan anak tampak gelisah.


4. Derajat IV : syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan

darah tidak terukur.


13. Diagnosis Banding15
- Pada awal penyakit : infeksi bakteri, virus, atau infeksi parasite , seperti demem

tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunyah, leptospirosis, dan


malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonstrasi dapat

membedakan antara DBD dengan penyakit lain.


- Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit

infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis sejak semula

pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi.

Leukositosis jelas disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran kekiri pada

hitung jenis) pemeriksaan laju endap darah dapat dipergunakan untuk

membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis mengokokus jelas

terdapat gejala rangsangan meningeal, dan kelainan pada pemeriksaan cairan

serebrospinalis
- Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat

II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan dibawah kulit. Pada hari

pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP

demam cepat menghilang, tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai

hemokonsentrasi , tidak ddijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada

fase penyembuhan BDB jumlah trombosit lebih cepat kembali normal dari pada

ITP.
- Perdarahan dapat juga terjadi pada leeukimia atau anemia apalstik. Pada leukemia

demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis.

Pemeriksaan darah tepi dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan darah

tepid an sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia

aplastik anak sangat anemic, demam timbul karena infeksi sekunder. Pada

pemerikasaan darah ditemukan pansitopenia. Pada pasien perdarahan hebat,

pemeriksaan foto thoraks dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan
diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda

perembesan plasma.

14. Komplikasi 15
1. Ensefalopati Dengue
Umumnya terjadi sebagai komplikasi yang berkepanjangan dengan

perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan

metabolic seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan dapat menjadi penyebab

terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka

kemungkinan dapat juga disebabkan oleh thrombosis pembuluh darah otak sementara

akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID). Dilaporkan pula bahwa virus

dengue dapat menembus sawar darah otak , tetapi jarang dapat menginfeksi jaringan

otak. Dilaporkan juga keadaan ensefalopati yang berhubungan dengan kegagalan hati

akut.
2. Kelainan ginjal

Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase termninal, sebagai akibat

dari syok yang tidak teratasi dengan biak. Dapat juga dijumpai sindrom uremik

hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati

dengan menggantikan volume intravaskuler, penting diperhatikan apakah benar syok

telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter pertama yang penting dan

mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan

>1ml/kgBB/jam . oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume

cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat, sering kali

dijumpai acute tubular necrosis , ditandai dengan oenurunan jumlah urin dan

peningkatan kadar ureum dan kreatinin.


3. Udem paru
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi akibat pemberian cairan

yang berlebihan (overload ). Pemeberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima

sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh

karena perembesan plasma masih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi

reabsorbsi plasma dari rongga ekstravaskuler, cairan masih diberikan (kesalahan

memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami distress penafasan, disertai sembab

pada kelopak mata, ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto dada. Gambaran

udem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.

15. Penatalaksanaan 15
Pasien infeksi virus dengue yang berobat ke sarana kesehatan dapat

bermanifestasi sebagai demam dengue, demam berdarah dengue, demam berdarah

dengue dengan syok atau expanded dengue syndrome. Oleh karena itu pada pasien

tersangka infeksi virus dengue harus teliti pasien mana yang bisa dilakukan pengobatan

rawat jalan dan pasien mana yang harus menjalani rawat inap. Pada umumnya pasien

pada saat masuk didiagnosis sebagai demam dengue dapat diperlakukan sebagai pasien

rawat jalan, kecuali bila ditemukan komorbiditas seperti thalassemia, sindrom nefrotik,

hipertensi, HIV-AIDS atau terdapat resiko tinggi seperti asma bronkial, dan obesitas

atau apabila ditemukan indikasi social seperti rumah yang jauh, tidak ada orangtua, atau

pengasuh yang dapat diandalkan. Demikian juga pasien demam dengue yang mengalami

muntah persisten atau menolak makan dan minum harus menjalani rawat inap. Pasien

dengan demam berdarah dengue, demam berdarah dengue dengan syok, atau expanded

dengue syndrome dengan sendirinya harus menjalani rawat inap.


Gambar 9. Skrining tersangka infeksi dengue

Tersangka Infeksi Dengue

Demam 2-7 hari mendadak tinggi kontinua, nyeri kepala,mialgia,atralgia, nyeri


retroorbital, manifestasi perdarhan (spontan/rumple
Menolak makan dan leede), leukosit <4000/mm 3 ,dan
minum
kasus DBD Umum
di lingkungan Muntah persisten

Nyeri perut hebat, hepatomegaly yang nyeri tekan, letargi,


gelisah, akumulasi cairan, hematokrit awal tinggi,
Warning signs DBD
demam turun tetapikeadaan anak memburuk
Terkompensasi dan Dekompensasi
Tanda dan gejala syok
Ensefalitis-ensefalopati, perdarahan hebat seperti
Tanda dan gejala keterlibatan
melena,hematemesis, hematokesia, hematuri, urin
organ/ expanded dengue
berwarna gelap (hemoglobinuria), gangguan jantung, gagl
syndrome
ginjal akut, Haemolytic uraemic syndrome
Rumah jauh atau tidak ada orangtua/ wali yang dapat
Indikasi Sosial
diandalkan untuk merawat anak di rumah

Tidak Ya

Rawat Jalan;
Nasihat kepada orang tua

Apakah terdapat : Rawat Inap:


15.1 Signs
Warning Tatalaksana
? YaDengue
Rawat Jalan Demam -Demam dengue
-Demam berdarah dengue
-Demam berdarah dengue dengan syok
-Expanded dengue syndrome
Pasien diberi pengobatan simptomatik berupa antipiretik seperti parasetamol

dengan dosis 10-15 mg/kgBB/dosis yang dapat diulang setiap 4-6 jam bila demam.

Upaya menurunkan demam dengan metode fisik seperti kompres diperbolehkan. Anak

dianjurkan cukup minum. Tanda kecukupan cairan adalah diuresis setiap 4-6 jam.
Pasien diharuskan untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari, mengingat

karakteristik tanda dan gejala DBD baru timbul setelah beberapa hari kemudian. Pasien

DD, walaupun kecil mempunyai kemungkinan untuk mengalami penyulit seperti

dehidrasi akibat asu pan yang kurang misal karena timbul muntah, perdarahan berat

atau bahkan expanded dengue syndrome. Dengan kontrol setiap hari dapat diketahui

pasien hanya menderita Demam Dengue (DD), DD dengan penyulit, atau DBD.

Tatalaksana pasien di rumah harus disampaikan kepada orang tua dengan jelas. Untuk

mengantisipasi kemungkinan pasien menderita DD dengan penyulit atau DBD yang

mungkin timbul selama rawat jalan , orang tua diminta untuk memantau kondisi anak,

bila ditemukan tanda bahaya harus segera kembali ke rumah sakit tanpa harus

menunggu keesokan harinya.


Nasihat di rumah:
- Anak harus istirahat
- Cukup minum selain air putih dapat di berikan susu, jus buah, cairan

elektrolit, air tajin. Cukup minum ditandai dengan frekuensi buang air kecil

setiap 4-6 jam


- Paracetamol 10 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38 C dengan interval

4-6 jam, hindari pemberian aspirin /NSAID/ ibuprofen. Berikan kompres

hangat.
- Pasien rawat jalan harus kembali berobat setiap hari dan dinilai oleh petugas

kesehatan sampai melewati fase kritis, mengenai: pola demam, jumlah cairan
yang masuk dan keluar (muntah, buang air kecil ), tanda-tanda perembesan

plasma dan perdarahan, serta pemeriksaan darah perifer lengkap.


- Pasien harus segera dibawa ke rumah sakit jika ditemukan satu atau lebih

keadaan berikut: pada saat suhu turun keadaan anak memburuk, nyeri perut

hebat, muntah terus-menerus tangan dan kaki dingin dan lembab, letargi atau

gelisah / rewel, anak tampak lemas, perdarahan (misal b.a.b bewarna hitam

atau muntah hitam), sesak napas, tidak buang air kecil lebih dari 4-6 jam,

atau kejang.
15.2 Tatalaksana pasien rawat inap demam berdarah dengue
- Penggantian cairan
Cairan kristaloid isotonic merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD. Jenis

cairan rekomendasi WHO. Pada bayi <6 bulan diberikan cairan NaCl 0,45%

atas dasar pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda dengan anak yang

lebih besar. Jumlah cairan yang diberikan sesuai berat badan, kondisi klinis

dan temuan laboratorium . pasien obesitas, pemberian jumlah cairan harus

hati-hati karena mudah terjadi kelebihan cairan, perhitungan cairan

sebaiknya berdasarkan berat badan ideal. Pada DBD terjadi

hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh karena itu jumlah

cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan

(maintenance) ditambah dengan perkiraan deficit cairan 5%.

Tabel 1. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal


Tabel 2. Kecepatan pemberian cairan

- Berikan cairan isotonik dimulai dari 5-7 ml/kg/jam untuk 1-2 jam, lalu turunkan 3-5

ml/kg/jam untuk 2-4 jam dan turunkan ke 2-3 ml/kg/jam atau kurang tergantung

dengan respon klinis


- Nilai kembali klinis paasien dan ulang hematokrit. Jika nilai hematokrit tetap atau

meningkat sedikit, lanjutkan dengan kecepatan yang sama (2-3 ml/kg/jam) untuk 2-4

jam. Jika tanda vital memburuk dan hematokrit meningkat cepat, naikkan kecepatan
ke 5-10 cc/kg/jam untuk 1-2 jam. Nilai kembali kondisi klinis, ulangi hematokrit dan

review kecepatan infus cairan dengan sesuai


- Volume cairan infus diberikan secara minimun untuk menjaga perfusi yang baik dan

volume urin 0,5ml/kg/jam. Pemberian cairan intravena hanya dibutuhkan selama 24-

48jam. Turunkan secara bertahap kecepatan infus sesuai dengan penurunan kebocoran

plasma pada akhir masa kritis. Hal ini dapat dilihat dari perbaikan urine output dan

intake oral atau nilai hematokrit yg menurun dibawah basal pasien sebelumnya
- Pasien dengan warning signs harus dimonitor: tanda vital dan perfusi perifer (tiap 1-4

jam selama fase kritis), urine output (tiap 4-6jam)

15.3 Manajemen syok: DHF Grade 3

Dengue Shock Syndrome (sindrome renjatan dengue) adalah syok

hipovolemik yang disebabkan kebocoran plasma dan ditandai dengan peningkatan

resistensi pembuluh darah sistemik yang bermanifestasi dengan perbedaan antara

tekanan darah sistolik dan diastolik yang sempit.Ketika terjadi hipotensi, harus

dicurigai adanya perdarahan masif dan seringkali ialah perdarahan saluran cerna yang

tidak diketahui.

Resusitasi cairan pada DSS berbeda dengan tipe syok lainnya seperti syok

septik. Banyak kasus DSS akan berespon dengan 10 ml/kg pada anak-anak selama 1

jam. Secara lebih rinci, pemberian cairan sebaiknya mengikuti grafik dibawah ini.

Gambar 10. Laju pemberian infus pada kasus DSS


Pemeriksaan laboratorium (ABCS) harus dieperiksa pada keadaan syok maupun tidak
syok ketika tidak ada perbaikan setelah pemberian cairan pengganti yang adekuat.
Tabel 3. Pemeriksaan laboratorium (ABCS)

Jumlah cairan IV harus dikurangi ketika perfusi perifer membaik, tetapi tetap
dilanjutkan untuk durasi minimal selama 24 jam dan boleh dihentikan dalam waktu 36 48
jam. Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan efusi masif karena peningkatan
permeabilitas kapiler.Penggantian cairan pada pasien dengan DSS seperti diilustrasikan di
bawah.
Gambar 11 . Alur penanganan pada DSS

15.4 Manajemen syok berkepanjangan/ syok hebat: DHF Grade 4

Resusitasi cairan awal pada CHF grade 4 lebih banyak dan lebih cepat dalam
mengembalikan tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan secepat
mungkin dengan ABCS dan mencari keterlebitan organ.Hipotensi walaupun minimal harus
diatas secara agresif.Sepuluh ml/kg harus diberikan secepat mungkin, idealnya dalam 10
sampai 15 menit.Ketika tekanan darah sudah kembali normal, cairan IV dilanjutkan seperti
terapi cairan pada grade 3.Bila syok tidak teratasi setelah pemberian awal 10 ml/kg,
pemberian ulang bolus 10 ml/kg dan hasil laoratorium harus diperiksa dan dikoreksi secepat
mungkin. Transfusi darah segera harus dipertimbangkan sebagai tahap selanjutnya dan
diikuti dengan monitor ketat (kateter urin, central venous pressure).
Penggembalian tekanan darah sangatlah penting untuk menyelamatkan pasien dan
jika tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat maka prognosis sangatlah hebat. Inotropik
dapat digunakan untuk mengembalikan tekanan darah, jika penggantian volume cairan telah
diberikan adekuat pada keadaan pasien dengan central venous pressure (CVP) yang tinggi,
dengan kardiomegali, atau pada pasien yang telah diketahui memiliki kontraktilitas kardiak
yang jelek.

Jika tekanan darah telah dikembalikan setelah terapi cairan dengan atau tanpa
transfusi darah, tetapi terjadi gangguan organ, pasien harus diberikan terapi secara suportif
yang benar (dialysis peritoneal, continuous renal replacement therapy, ventilasi mekanik).

Jika akses intravena tidak dapat dicapai, coba dengan oral rehydration solution jika
pasien sadar atau dengan rute intraosseus jika sebaliknya.Rute intraosseus dapat
menyelamatkan nyawa dan harus dapat dicapai setelah 2 5 menit atau setelah dua kali gagal
mecoba akses vena perifer atau setelah rute oral.

15.5 Manajemen pada keadaan perdarahan masif

o Jika sumber perdarahan sudah diidentifikasi, penanganan untuk menghentikan


perdarahan jika memungkinkan. Epitaksis yang hebat, sebagai contohnya, dapat diatasi
dengan diberikan tampon. Transfusi darah segera dapat menyelamatkan nyawa dan
seharusnya tidak ditunda sampai hematokrit turun ke nilai rendah. Jika darah yang keluar
dapat diketahui kuantitasnya, maka harus diganti. Namun, jika tidak diketahui
kuantitasnya, fresh whole blood 10 ml/kg atau packed red cells (PRC) 5 ml/kg dapat
diberikan dan dievaluasi responnya. Pasien mungkin membutuhkan satu atau lebih
transfusi darah.
o Pada perdarahan gastrointestinal, H-2 antagonists dan proton pump inhibitors (PPI) telah
dipakai, tapi tidak ada penelitian yang membuktikan efikasinya.
o Tidak ada bukti dalam menggunakan komponen darah seperti, trombocyte concentrates
(TC), fresh frozen plasma atau cryoprecipitate. Pemakaiannya dapat menyebabkan
kelebihan cairan.
o Recombinant factor VII dapat membantu pada kradaan pasien tanpa kegagalan organ, tapi
sangatlah mahal dan tidak tersedia.

15.6 Manajemen pasien risiko tinggi

o Pasien obesitas mempunyai cadangan respiratori yang lebih rendah dan harus lebih hati
hati untuk menghindari kelebihan cairan infus intravena. Berat badan ideal yang
didapatkan dengan memplot kurva pertumbuhan WHO pada P50 digunakan untuk
menghitung resusitasi cairan dan dilakukan penggantian cairan, koloid dapat
dipertimbangkan pada tahap awal terapi cairan. Jika pasien sudah stabil, furosemid
diberikan untuk menginduksi diuresis.
o Bayi juga memiliki cadangan respiratori yang lebih rendah dan lebih rentan untuk
gangguan hati dan ketidakseimbangan elektrolit. Pada pasien bayi, durasi kebocoran
plasma lebih singkat dan biasanya berespon cepat pada resusitasi cairan sehingga pada
bayi evaluasi harus lebih sering untuk input cairan oral dan output urin.
o Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati: pasien ini dalam risiko hemolisis dan
membutuhkan transfusi darah. Pada pasien ini harus lebih waspada karena dapat terjadi
hipokalsemia dan kelebihan cairan bila diberikan cairan dan terapi alkalisasi.
o Terapi anti koagulan harus dihentikan sementara waktu selama periode kritis.
o Insulan intravena biasanya dibutuhkan untuk mengkontrol kadar gula darah pada pasien
dengue dengan diabetes mellitus. Kritaloid yang tanpa glukosa dapat digunakan.
15.7 Manajemen pada pasien dengan perbaikan

- Perbaikan ditandai dengan parameter klinis, nafsu makan dan keadaan umum pasien.
- Keadaan hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik dan tanda vital yang stabil harus
diobservasi.
- Penurunan kadar hemotokrit ke nilai normal batas bawah atau lebih rendah dan diuresis
biasanya diobservasi.
- Cairan intravena harus dihentikan.
- Pada pasien dengan efusi masif dan ascites, hipervolemia mungkin terjadi dan terapi
diuretik harus diberikan untuk mencegah edem paru.
- Hipokalemia dapat terjadi karena stress dan diuresis dan harus dikoreksi dengan buah
buahan yang kaya dengan ptasium atau suplemen.
- Bradikardia biasanya ditemukan dan membutuhkan monitor ketat untuk menghindari
kompikasi yang mungkin terjadi walaupun jarang, seperti heart blok atau ventricular
premature contraction (VPC).
- Ruam merah (rash) konvalesens ditemukan pada 20 30% pasien.
15.8 Tanda tanda perbaikan

- Denyut nadi, tekanan darah dan laju pernapasan yang stabil.


- Temperatur normal
- Tidak ada tanda perdarahan eksternal maupun internal
- Nafsu makan baik
- Output urin yang baik
- Nilai hematokrit stabil di nilai normal batas bawah
- Konvalsens petechie rash atau gatal gatal, khususnya pada ekstremitas.
BAB II
VAKSIN DENGUE

1. Vaksinasi

Vaksinasi adalah suatu usaha untuk memberikan kekebalan pada bayi dan anak

terhadap penyakit tertentu. Guna terwujudnya derajat kesehatan yang tinggi,

pemerintah telah menempatkan fasilitas pelayanan.15

Angka kesakitan bayi di Indonesia relatif masih cukup tinggi, meskipun

menunjukkan penurunan dalam satu dekade terakhir. Program imunisasi bisa

didapatkan tidak hanya di puskesmas atau di rumah sakit saja, akan tetapi juga

diberikan di posyandu yang dibentuk masyarakat dengan dukungan oleh petugas

kesehatan dan diberikan secara gratis kepada masyarakat dengan maksud program

imunisasi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Program imunisasi di posyandu telah

menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni pemberian imunisasi pada bayi secara

lengkap. Imunisasi dikatakan lengkap apabila mendapat BCG 1 kali, DPT 3 kali,

Hepatitis 3 kali, Campak 1 kali, dan Polio 4 kali. Bayi yang tidak mendapat imunisasi

secara lengkap dapat mengalami berbagai penyakit, misalnya difteri, tetanus, campak,

polio, dan sebagainya. Oleh karena itu, imunisasi harus diberikan dengan lengkap

sesuai jadwal. Imunisasi secara lengkap dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit

tersebut.16

Pemerintah telah memberikan berbagai upaya dan kebijakan dalam bidang

kesehatan untuk menekan angka kesakitan, namun masyarakat belum bisa


memanfaatkannya secara optimal karena ada sebagian ibu yang memiliki persepsi

bahwa tanpa imunisasi anaknya juga dapat tumbuh dengan sehat.17

Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas

utama. Vaksinasi dan imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang

sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi

merupakan hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk

mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi.

Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di

negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan

yang luas.

Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan

pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan

(imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar. Dengan melakukan

imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak

tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas

umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Banyak penyakit menular

yang bisa menyebabkan gangguan serius pada perkembangan fisik dan mental anak.

Imunisasi bisa melindungi anak-anak dari penyakit melaui vaksinasi yang bisa berupa

suntikan atau melalui mulut.


2. . Infeksi Virus Dengue

Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang

disebabkan oleh virus genus Flavivirus, family flaviviridae , mempunyai 4 jenis

serotipe DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti

atau Aedes albopictus. Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, DEN-3

merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti

serotipe DEN-2.13 Gejala klasik demam dengue berupa demam tinggi mendadak,

kadang bifasik ( saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri

oto,tulang, atau sendi, mual, muntah dan timbulnya ruam dan petekie dan manifestasi

perdarahan, seperti :epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuria,

dan menoragia. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan leukopenia dan kadang

trombositopenia. Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus

dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang selain memiliki manifestasi

perdarahan, juga dijumpai kebocoran plasma yang ditandai adanya efusi pleura dan

asites. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan trombositopenia dan hemokonsentrasi

akibat kebocoran plasma. Syok padan demam dengue disebut Sindrom Syok Dengue

(SSD) dapat terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun. Apabila timbul tanda-

tanda syok seperti kesadaran menurun atau gelisah, akral dingin, sianosis di sekitar

mulut, nadi cepat dan melemah, tekanan darah menurun 20mmHg, dapat menyebabkan

keadaan gawat darurat seperti asidosis metabolik yang harus segera ditangani sebelum

terlambat. Saat ini jumlah kasus infeksi virus dengue tetap tinggi rata-rata 10-25 per

100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun bermakna <2%. Usia

terbanyak yang terkena infeksi dengue adalah kelompok usia 4- 10 tahun, walaupun
makin banyaj kelompok usia yang klebih tua terkena.18 Di Indonesia demam dengue

masih merupakan masalah yang belum sepenuhnya ditangani. Dalam beberapa tahun

terakhir, penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang semakin beratdan frekuensi

kejadian luar biasa meningkat. Jumlah kasus dengue berat yang meningkat dan fatal

menunjukkan bahwa masih perlu pencegahan termasuk vaksinasi dengue. 19

3. Vaksin Dengue

Vaksin dengue yang ideal diharapkan mampu memberikan kekebalan terhadap

keempat serotipe virus (tetravalen), harga murah, dapat memberikan kekebalan dalam

dosis tunggal, memberikan kekebalan jangka panjang, stabil dalam penyimpanan, dan

tanpa efek samping.20 Vaksin tetravalen bertujuan membuat perlindungan jangka

panjang terhadap 4 serotipe sekaligus, sehingga mengurangi resiko ADE (Antibody

Dependent Enhacement). 21 Beberapa formulasi vaksin dengue berasal dari: virus hidup

yang dilemahkan, chimeric (subtitusi protein spesifik dari suatu virus pada virus

lainnya), subunit protein, virus inaktif dimurnikan, plasmid DNA, dan lain-lain.

Beberapa vaksin dengue yang saat ini sedang dikembangkan antara lain:21

3.1 CYD-TDV (Sanofi Pasteur)


Chimeric Yellow-fever-Dengue Tetravalent Dengue Vaccine merupakan vaksin

hidup yang dilemahkan , tetravalent, merupakan rekombinan virus yellow virus17D

backbone dengan premembrane (prM) dan envelope (E) DENV 1-4. Diberikan 3 dosis

berselang 6 bulan secara subkutan. Vaksin ini telah di evaluasi melalui uji klinis fase III

di 5 negara Asia (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam) dan 5 negara


Amerika Latin (Brazil, Colombia,Honduras, Mexico, Puerto Rico)pada peserta berusi

2-16 tahun. Efikasi vaksin melawan dengue simptomatik dan kasus dengue berat

setelah dosis ketiga cukup memuaskan. Berdasarkan penelitian di Amerika Latin,

efikasi vaksin CYD-TDV mencegah dengue simptomatik dan kasus rawat inap sekitar

60,8%dan 80,3% dalam observasi 25 bulanserupa dengan penelitian Asia, efikasi

mencegah dengue simptomatik dan DHF sebesar 56,5% dan 80,0% dalam 13 bulan

setelah pemberian dosis ketiga, serta menurunkan kasus rawat inap dalam observasi 25

bulan. Usia, status serologi tingkat keparahan dengue, dan jenis serotipe dapat

mempengaruhi efikasi vaksin. Efikasi vaksin melawan dengue simptomatik dan dengue

berat pada usia 9 tahun lebih tinggi (65,6% dan 93,2%) dibandingkan usia <9 tahun

( 44,6% dan 44,5%) selama observasi 25 bulan. Efikasi vaksin melawan serotipe 3 dan

4 cukup tinggi (74,0% dan 77,7%) dibandingkan serotipe 1 dan 2 (50,3% dan 42,3%)

pada penelitian di Amerika Latin.

Tidak ada efek samping serius berkaitan dengan vaksinasi pada penelitian di

India. Efek samping yang sering berupa nyeri lokal akibat injeksi. Pada penelitian di

Amerika Latin kejadian serius sebanding antara kelompok vaksin (0,6%) dan kontrol

(0,6%), dilaporkan terjadi dalam 28 hari pasca-vaksinasi berupa serangan asma, kejang,

dan urtikaria alergi.

3.2 DENVax
Merupakan vaksin hidup yang dilemahkan, tetravalen, formulasi

keseluruhan DENV 2 yang dilemahkan dengan premembrane (prM) dan envelope (E)

DENV 1,3,4. Pemberian intradermal atau subkutan. Reaksi lokal injeksi lebih sering

dilaporkan pada intradermal (95% vs 79%). Vaksin cukup aman, tidak dilaporkan efek
samping serius. Rekasi lokal injeksi (nyeri, gatal, dan kemerahan) lebih banyak pada

kelompok vaksin dibanding placebo. Kejadian lain yang cukup banyak dilaporkan

berupa nyeri kepala (52%), lemas (43%), dan mialgia (29%).


Saat ini vaksin sedang diuji klinis fase II di Colombia, Puerto Rico,

Singapore, dan Thailand sejak tahun 2011. Pada uji klinis fase I di Amerika,

serokonversi pada 120 hari pasca-vaksinasi terhadap DENV 1: 84-100%, DENV 2: 96-

100%, DENV 3: 83-100%, DENV 4: 33-77%. Di Columbia, dosis tinggi ataupun

rendah mampu menginduksi antibody terhadap 4 serotipe setelah 30 hari pemberian

dosis pertama. Respon antibodi paling tinggi terhadap DENV 2, diikuti DENV 1,3,4.

Pemberian dosis kedua, berselang 3 bulan dari dosis pertama, dinilai tidak meningkatan

respons antibodi secara bermakna. Infeksi virus DENVax terdeteksi lebih banyak pada

kelompok dosis tinggi (33%) dibandingkan dosis rendah (25%).


3.3 TV003/ TV005
Merupakan vaksin hidup dilemahkan, tetravalen, rekombinan DENV1-4,

dikembangkan oleh US National Institute of Allergy and Infection Diseases (NIAID).

Karena vaksin monovalen tidak melindungi terhadap 4 serotipe sekaligus, maka

dikembangkan kombinasi dari berbagai vaksin monovalen menjadi 5 campuran

tetravalen berbeda (TV001- TV005). Rute pemberian subkutan dengan dosis tunggal,

dapat dilakukan booster setelah 6 bulan. Dosis kedua hanya sedikit bermanfaat dan

dinilai tidak perlu, sebab paparan DENV pada area endemic mampu memberikan efek

booster itu sendiri terhadap respon imun setelah vaksinasi.


Pada uji klinis fase I,dosis tunggal TV003/TV005 menginduksi antibodi

tetravalent sebesar 74% dan 90%. Kecepatan serokonversi DENV 1-4 pada TV003

sebesar 92%, 76%, 97%, dan 100%, sedangkan TV005 92%, 97%, 97%, dan 97%,

diukur 3 bulan setelah vaksinasi. Respon antibodi terhadap 4 serotipe masih terdeteksi
hingga 1 tahun setelah dosis pertama. Infeksi dengue masih dapat terjadi pada individu

dengan antibodi terdeteksi, tetapi disebutkan bahwa kadar antibodi tinggi memiliki

proteksi lebih baik dibandingkan individu tanpa antibody atau kadar antibodinya

rendah. Keamanan vaksin ini cukup baik. Tak ada kejadian serius bermakna, efek

samping yang dilaporkan meliputi rash ringan (60%), neutropenia ringan transien dan

peningkatan fungsi hati SGPT (2-5%). Vaksin ini dilakukan uji klinis fase II di

Thailand dan Brazil sejak 2014 dan 2013, dan memasuki uji klinis fase III pada

Februari 2016 di Sao Paulo, Brazil.


3.4 Vaksin Lain
Beberapa vaksin yang telah atau masih dalam uji klinis fase I natara lain

DPIV (Vaksin dengue inaktif dimurnikan), DEN-80E (subunit protein), TVDV

(plasmid DNA), dan TLAV-TPIV (kombinasi virus hidup dilemahkan dengan inaktif

dimurnikan). Vaksin lain yang masih dikembangkan meliputi DNA, VLP, EDIII, dan

virus vektor ( berasal dari baculovirus, alphavirus (VEEV), virus canpak, WNV).

Masih banyak dikembangkan vaksin dengue yang lain dengan berbagai formulasi

untuk mendapatkan imunitas jangka panjang dan aman digunakan.

4. Dengvaxia 22
4.1 Komposisi
Setelah pencampuran, satu dosis 0,5ml, mengandung:
CYD dengue virus serotype 1*..4.8-6.0 log10 CCID50/ dose**
CYD dengue virus serotype 2*..4.8-6.0 log10 CCID50/ dose**
CYD dengue virus serotype 3*..4.8-6.0 log10 CCID50/ dose**
CYD dengue virus serotype 4*..4.8-6.0 log10 CCID50/ dose**
* di produksi dalam serum-free Vero cells dengan teknologi DNA rekombinan

** CCID50 : 50% Cell Culture Infectious Dose

4.2 Daftar eksipien :

Bubuk :
Asam amino esensial termasuk L-Phenylalamine, asam amino non-esensial, L-

Arginine hydrochloride, Sucrose, D-Trehalose dehydrate, D-Sorbitol,

Trometamol, Urea
Pelarut:
Seodium chloride, air untuk injeksi
4.3 Indikasi
Dengvaxia merupakan vaksin untuk memberikan proteksi pada dewasa dan

anak-anak melawan penyakit dengue yang disebabkan oleh virus dengue serotipe 1,2,3,

dan 4. Dengvaxia diberikan pada dewasa, remaja dan anak-anak usia 9- 45 tahun yang

tinggal di daerah endemis.


4.4 Metode Administrasi
Dosis vaksinisasi primer
Pemberian vaksin dilakukan sebanyak 3 kali injeksi masing-masing 0.5 ml

dengan masing-masing berjarak 6 bulan (0, 6 , 12) dengan time window vaksin

20 hari.

Dosis Booster

Perlu atau tidaknya booster setelah vaksinasi primer pada Dengvaxia belum di

ketahui

Ketika seluruh freeze-dried vaccine telah dicampur dengan pelarutnya, vaksin di

injeksikan secara subkutan (SC). Area yang direkomendasi yaitu region deltoid

secara subkutan di lengan atas (area deltoid).


4.5 Kontraindikasi
Pasien yang alergi (hipersensitif) dengan substansi aktif atau bahan lainnya

yang terdaftra pada deskripsi bahan Dengvaxia atau pada vaksin yang

mengandung bahan yang sama. Tanda-tanda reaksi alergi berupa ruam

kemerahan, gatal didaerah sekitar tempat penyuntikan, sesak nafas, dan

pembengkakan pada wajah dan lidah.


Pasien yang sedang menderita dengue berupa demam ringan hingga demam

tinggi atau manifestasi akut penyakit.


Memiliki system Imun yang lemah, misalnya akibat defek genetik, infeksi

HIV, atau sedang menajalani terapi yang mempengaruhi system imun seperti

kemoterapi atau kortikosteroid sistemik dosis tinggi yang diberikan selama 2

minggu atau lebirrrrh.


Ibu hamil dan menyusui
Dengvaxia tidak diperbolehkan pada orang dengan usia <9 tahun, karena data

klinis yang tersedia mengenai manfaat atau resiko vaksinasiDengvaxia pada

populasi tersebut belum sepenuhnya diketahui.

4.6 Perhatian Khusus dan Tindakan Pencegahan

Seperti vaksin lainnya, vaksinasi dengan Dengvaxia tidak memberikan

proteksi 100% pada individu yang mendapatkan vaksinasi. Pencegahan

terhadap gigitan nyamuk tetap direkomendasikan setelah mendapatkan

vaksinasi.
Sebelum melakukan vaksinasi, pencegahan terhadap adanya reaksi alergi

harus dipersiapkan. Epinefrin (1:1000) dan agen-agen lainya sebagai

tatalaksana terhadap adanya reaksi alergi seperti syok anafilaktik.


Pada pasien yang sedang dalam pengobatan dosis tinggi kortikosteroid selama

2 minggu atau lebih, seperti prednisone atau obat yang setara dengan dosis

20mg atau 2mg/KgBB (dosis imunosupresif), disarankan menunggu hingga

fungsi imun telah pulih, contoh 4 minggu setelah berhenti pengobatan sebelum

melakukan vaksinasi Dengvaxia.

4.7 Interaksi dengan produk pengobatan lainnya dan bentuk interaksi lainnya

Dengvaxia tidak boleh dicampur dengan vaksin injeksi lainnya atau produk medis

lainnya
Pada pasien yang menerima pengobatan berupa immunoglobulin dan produk

darah yang mengandung immunoglobulin seperti darah atau plasma, disarankan

untuk menunggu paling kurang 6 minggu, namun disarankan selama 3 bulan

setelah pemberhentian pengobatan sebelum melakukan vaksinasi


Wanita hamil
Kehamilan merupakan konraindikasi vaksin dengue
Wanita dengan usia produktif harus mencegah kehamilan selama 4 minggu

setelah menerima injeksi Dengvaxia.


Percobaan pada hewan tidak ditemukan adanya efek merugikan baik secara

langsung maupu tidak langsung terhadap organ reproduksi.


Menyusui
Menyusui merupakan kontraindikasi Dengvaxia
Belum diketahui apakan vaksin ini diekresikan ke dalam air susu. Efek pada infan

yang menyusu pada ibu yang melakukan vaksinasi dengvaxia belum dipelajari.

4.8 Efek samping


Berikut data kejadian ikutan paska imnunisasi (KIPI) pada subjek penelitian

berusi 9 17 tahun. Keamanan vaksinasi dimonitor selama 28 hari setelah masing-

masing injeksi baik dari segi reactogenicity maupun serious adverse events (SAEs),

termasuk kasus dengue, di data dan di teliti sekurangnya selama 6 bulan setelah injeksi

vaksin terakhir

Tabel 4. Data KIPI Vaksin Dengue pada subjek penelitian berusia 9-17 tahun
Pada subjek berusi 9 -17 tahun efek yang tersering berupa nyeri kepala, nyeri

lokal pada area injeksi, malaise dan mialgia. Derajat keparahan efek KIPI yang muncul

biasanya ringan sampai sedang, dengan durasi paling cepat 0-3 hari. Onset biasanya

terjadi 0-3 hari setelah penyuntikan, kecuali efek demam yang biasanya muncul dalam

14 hari setelah penyuntikan.Efek KIPI sistemik cenderung lebih jarang setelah injeksi

kedua dan ketiga dibandingkan dengan injeksi pertama.

Keamanan vaksin jangka panjang telah diteliti dan dipelajari selama

sekurangnya 1 tahun setelah injeksi ketiga pada penelitian efisiasi pivotal vaksin. Pada

subjek dengan usia 9 tahun dan lebih, tidak diperoleh perbedaan yang signifikan

mengenai profil keamanan vaksin jangka lama dari hasil data follow-up subjek.

4.9 Farmakologi Vaksin

Mekanisme kerja Vaksin


Vaksin mengandung virus hidup yang dilemahkan. Setelah vaksinasi

dilakukan, virus akan bereplikasi secara lokal dan mencetuskan antibodi neutralisasi

dan sel-sel imun lainnya berespon melawan keempat serotipe virus.


Imunogenisitas
Data imunogenisitas dikumpulkan pada subjek berjumlah 3104 berusia 9 45

tahun yang berada di area endemis yang setidaknya menerima 1 kali injeksi vaksin

formula akhir (pada area percobaan klinis fase II dan III), yaitu Asia Pasifik dan

Amerika Latin. Kebanyakan subjek berusia 9-17 tahun (n=2810)


Data imunogenisitas menunjukkan titer antibody neutralisasi terhadap masing-

masing serotipe dinilai menggunakan plaque reduction neutralization test (PRNT).

Hasil di tunjukkan menurut GMT (Geometric Mean Titers), dinilai saat 28 hari setelah

pemberian vaksin ketiga.


Perbedaan kadar GMT setelah injeksi ketiga ditentukan oleh status imun

terhadap dengue sebelum injeksi pertama, usia subjek, dan area tempat tinggal.

Semakin tinngi GMT sebelum injeksi pertama, semakin tinggi pula GMT pada 28 hari

setelah injeksi ketiga. Kadar GMT pada 28 hari setelah injeksi ketiga, lebih tinggi pada

subjek yang memiliki imun dengue sebelum mendapatkan injeksi vaksin pertama

dibanding subjek yang tidak memiliki imun dengue sebelum mendapatkan injeksi

vaksin pertama.
Status imunisitas terhadap virus dengue, adalah faktor perancu bagi usia

subjek: semakin tua subjek, semakin tinggi kadar GMT sebelum injeksi vaksin

pertama, dan semakin tinggi kadar GMT 28 hari setelah injeksi vaksin ketiga (respon

imun vaksin dengue dalam kadar GMT pada 28 hari setelah injeksi vaksin ketiga,

meningkat sesuai meningkatnya usia).


4.10 Persistensi antibodi jangka panjang

Pada subjek penelitian di daerah endemis berusia 9 tahun keatas, kadar GMT

antibody terhadap keempat serotipe ditemukan mengalami penurunan setelah 1 tahun

injeksi vaksin ketiga dan cenderung stabil pada tahun-tahun berikutnya. Penurunan

dalam GMT bervariasi tergantung usia dan status imun dengue sebelum injeksi vaksin

pertama. GMT untuk setiap serotipe tetap lebih tinggi dibandingkan GMT saat sebelum

injeksi vaksin.

4.11 Penyimpanan Vaksin

Batas waktu penyimpanan vaksin yaitu 3 tahun. Setelah dicampur dengan

pelarut yang sesuai, Dengvaxia harus digunakan segera dan dibuang ketika vaksinasi

sudah dilakukan atau dalam 6 jam setelah pencampuran. Dengvaxia harus disimpan

dalam suhu antara 2 C dan 8 C (contoh: di dalam lemari pendingin) dan terlindung dari

sinar matahari.

4.12 Cara pencampuran

Dengvaxia dicampur dengan cara memindahkan semua pelarut ( 0,9% larutan

Natrium klorida) yang disediakan dalam dosis 5 kapsul yang bertutup abu-abu gelap

dengan dosis 5 kapsul dengan tutup coklat berukuran menegah yang berisi serbuk hasil

freeze dried. Pencampuran dilakukan menggunakan alat penyuntik dan jarum steril.

Setelah peleburan 0,5mL dari dosis larutan yang sudah dicampur, diambil

menggunakan spuit steril masing-masing lima dosis. Ukuran jarum yang disarankan

berukuran 23G atau 25G. larutan Dengvaxia jernih, tidak berwarna.


BAB III.

KESIMPULAN

Vaksinasi merupakan suatu tindakan yang dengan secara memberikan paparan

dengan antigen yang berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat

demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu memproduksi limfosit

yang peka sebagai antibodi dan sel memori. Vaksin dengue telah dikembangkan sejak

tahun 1940, namun belum membawa hasil yang memuaskan hingga saat ini. Tanggal

15 April 2016 WHO mengumumkan secara resmi terproduksinya vaksin dengue untuk

pencegahan infeksi virus dengue bernama Dengvaxia, vaksin ini telah diteliti selama 20

tahun dan merupakan hasil penelitian Sanofi Pasteur. Badan Pengawas Obat dan

Makanan (BPOM) Indonesia menyetujui vaksin dengue tetravalent impor milik Sanofi

Pasteur untuk diproduksi dan diedarkan di daerah endemik demam berdarah dengue

(DBD) di Indonesia. Dengvaxia diberikan pada orang dewasa dan anak-anak berusia 9-

45 tahun untuk melawan penyakit dengue yang disebabkan oleh virus dengue serotipe
1,2,3, dan 4 yang tinggal di daerah endemis dengue. Vaksin dengue yang ideal

diharapkan mampu memberikan kekebalan terhadap keempat serotipe virus

(tetravalen), harga murah, dapat memberikan kekebalan dalam dosis tunggal,

memberikan kekebalan jangka panjang, stabil dalam penyimpanan, dan tanpa efek

samping.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lidenbach BD, Thiel HJ, Rice CM. Flaviviridae : The Viruses and Their Replication.
In: Knipe DM, Howlrey PM. Fields Virology Fifth Edition. Boston: Lippincott
Williams & Wilkins, 2007; p.1101-1151.
2. WHO. Dengue and severe dengue [Internet]. 2015 [cited 2016 June 3]. Available
from: http//www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
3. Schwartz LM, Halloran ME, Durbin AP, Longini IM. The dengue vaccine pipeline:
Impplications for the future of dengue control. Vaccine 2015;33:3293-8.
4. Mcarthur MA, Edelman R. A promising , single-dose, live attenuated tetravalent
dengue vaccine candidate. J infect Dis [Internet].2015 Available from: http://jid.
Oxfordjournals.org/content/early/2015/03/22/infdis.jiv086.extract
5. Marbawati D, Wijayanti T. Dengue vaccine, challenges, development and strategies.
Balaba 2014;10:39-46.
6. WHO. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Factsheet N 117, revised May 2008.
Geneva, World Health Organization.[Internet] 2008 Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
7. PAHO. Number of reported cases of dengue and dengue hemorrhagic fever (DHF),
Region of the Americas (by country and subregion). Washington, DC, Pan American
Health Organization, 2008. [Internet ] Available from:
http://www.paho.org/english/ad/dpc/cd/dengue.htm
8. WHO/SEARO. Concrete measure key in controlling dengue in South East Asia. Press
Release SEA/PR/1479. New Delhi, World Health Organization Regional Office for
South-East Asia, 2008 [Internet]. Available from
http://www.searo.who.int/EN/Section316/Section503/Section2463_14619.htm
9. Pusat data dan surveilans epidemiologi kementrian kesehatan RI. Buletin Jendela
Epidemiologi demam berdarah dengue. [Internet]. Available from:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-
dbd.pdf
10. Paisal, Subangkit. Strategi pengembangan Vaksin dengue. Jurnal Biotek Medisiana
Indonesia. 2013;22(2): 43-49.
11. Guzman, M.G et al. Dengue: A continuing global threat. Nature Reviews
Microbiology 8, S7-S16 (2010).doi:10.1038/nrmicro2460
12. Anthony s-yleong, Kthong wong, Trishe y-m leong. The pathology of dengue
hemorrhagic fever. Seminars in Diagnostic Pathology. 2007;24(4): 228-229.
13. Ellahewa , K.H. Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic Fever and Its Impact on Case
Management. ISRN Infectious Diseases. [internet] Available from:
http://dx.doi.org/10.5402/2013/571646 [Accessed 22 February 2017].
14. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorrhagic fever.2011[Internet] Available from:
http://apps.searo.who.int/pds_docs/B4751.pdf?ua=1

15. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
16. Sri, Rezeki Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi di Indonesia.
Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005
17. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman
Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008.
18. Sri rezeki, H, dkk. Diagnosis Demam Dengue. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue
di Indonesia. Departemen Kesehatan Jakarta: Bakti Husada; 2004. p. 11-23.
19. Sri rezeki, H, Karyanti, M.R. Sari Perdiatri. Perubahan Epidemiologi demam
berdarah dengue di Indonesia. Weblog. [Internet] Available from:
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/10-6-12.pdf [Accessed 22 February 2017].
20. Marbawati D, Wijayanti T. Dengue Vaccine challenges, development and strategies.
Balaba 2014;10:39-46
21. Purnamasari , L. Potensi dan Keamanan Vaksin Dengue . Continuing professional
development. Weblog. [Internet] Available from:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/19_247CPD-Potensi%20dan%20Keamanan
%20Vaksin%20Dengue.pdf [Accessed 23 February 2017].
22. Sanofi pasteur sa. Dengvaxia MD powder and solvent for suspension for
injection. [Internet]. Available from:
http://pionas.pom.go.id/sites/default/files/obat_baru/Dengvaxia%20Serbuk
%2Bpelarut%20injeksi_Vaksin%20Dengue%20Tetravalen%20(Hidup,
%20dilemahkan)_DKI1659703344A1_2016.pdf.

Anda mungkin juga menyukai

  • Malam Kudus Onggo PDF
    Malam Kudus Onggo PDF
    Dokumen2 halaman
    Malam Kudus Onggo PDF
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Referat HT
    Referat HT
    Dokumen21 halaman
    Referat HT
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Referat HT
    Referat HT
    Dokumen21 halaman
    Referat HT
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Gizi
    Gizi
    Dokumen1 halaman
    Gizi
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • 1 PB
    1 PB
    Dokumen6 halaman
    1 PB
    Sun Zia
    Belum ada peringkat
  • Inotropik - Vasopressor
    Inotropik - Vasopressor
    Dokumen9 halaman
    Inotropik - Vasopressor
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Journal Reading
    Journal Reading
    Dokumen16 halaman
    Journal Reading
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Case - OMA Final
    Case - OMA Final
    Dokumen10 halaman
    Case - OMA Final
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Trauma Kimia Pada Mata
    Trauma Kimia Pada Mata
    Dokumen2 halaman
    Trauma Kimia Pada Mata
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus ATK Ziky
    Laporan Kasus ATK Ziky
    Dokumen29 halaman
    Laporan Kasus ATK Ziky
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Abses Peritonsil
    Abses Peritonsil
    Dokumen30 halaman
    Abses Peritonsil
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • ATK
    ATK
    Dokumen7 halaman
    ATK
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Large Bowel Obsctruction in The Adult
    Large Bowel Obsctruction in The Adult
    Dokumen29 halaman
    Large Bowel Obsctruction in The Adult
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen16 halaman
    Referat
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Referat DBD
    Referat DBD
    Dokumen2 halaman
    Referat DBD
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Kasus Ujian
    Kasus Ujian
    Dokumen10 halaman
    Kasus Ujian
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen16 halaman
    Referat
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen16 halaman
    Referat
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Pathogenesis of Thypoid Fever
    Pathogenesis of Thypoid Fever
    Dokumen2 halaman
    Pathogenesis of Thypoid Fever
    Brenda Japar
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen16 halaman
    Referat
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen16 halaman
    Referat
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen16 halaman
    Referat
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Patofisiologi Ascites
    Patofisiologi Ascites
    Dokumen8 halaman
    Patofisiologi Ascites
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Pathogenesis of Thypoid Fever
    Pathogenesis of Thypoid Fever
    Dokumen2 halaman
    Pathogenesis of Thypoid Fever
    Brenda Japar
    Belum ada peringkat
  • Kasus Iii
    Kasus Iii
    Dokumen45 halaman
    Kasus Iii
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Case 2
    Case 2
    Dokumen13 halaman
    Case 2
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Aritmia
    Aritmia
    Dokumen16 halaman
    Aritmia
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Aritmia
    Aritmia
    Dokumen16 halaman
    Aritmia
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat
  • Foto Polos Abdomen
    Foto Polos Abdomen
    Dokumen36 halaman
    Foto Polos Abdomen
    ElisiaFitriTjuatja
    Belum ada peringkat