Anda di halaman 1dari 4

Oleh Salim A.

Fillah
seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi
Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan
didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan
angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah
dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak
unta.

Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang
pemilik, Utsman ibn Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan
menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan
mengenalnya,

Masya Allah Utsman berseru, Bukankah itu Amirul Mukminin?!

Ya, lelaki tinggi besar itu adalah Umar ibn Al Khaththab.

Ya Amirul Mukminin! teriak Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,

Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!

Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.

Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya
padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai Utsman! Umar berteriak dari
kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian
padang.

Masuklah kemari! seru Utsman,Akan kusuruh pembantuku menangkapnya


untukmu!.
Tidak!, balas Umar, Masuklah Utsman! Masuklah!

Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan
kembali.

Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai Utsman, anginnya makin keras,
badai pasirnya mengganas!

Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. Utsman pun masuk dan
menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,

Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat
lagi terpercaya.

Umar memang bukan Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-
masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.

Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras
& bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu keras, jantan,
tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang dibawa Umar, menjadi ciri
khas kepemimpinannya.

Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani Umayyah
yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. Umar tahu itu. Maka tak
dimintanya Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat
yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan Utsman. Rasa malulah yang menjadi
akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya.
Andai Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti
dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.

Itulah Umar. Dan inilah Utsman. Mereka berbeda.

Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa Utsman berusaha keras meneladani
sebagian perilaku mulia Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika
menjabat sebagai Khalifah misalnya.

Suatu hari aku melihat Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu Alaihi wa
Sallam di Masjid Nabawi, kata Anas . Aku menghitung tambalan di surban dan jubah
Utsman, lanjut Anas, Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki
latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan
mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.
Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak
memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi
amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia
terus-menerus kepada Umar ibn Abdul Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi
kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah
berinfaqnya Abdurrahman ibn Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan
membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang
menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama,
apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. Ali ibn
Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.

Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan Umar kata lelaki kepada Ali, Keadaannya
begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai
Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?

Sebab, kata Ali sambil tersenyum, Pada zaman Abu Bakar dan Umar, rakyatnya
seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita
teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu
Bakar, Umar, Utsman atau Ali.

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sad ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar,
fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang
paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para
salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak
mengikuti.

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan
kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam
dekapan ukhuwah.

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya,


masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai
sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai
pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah
juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal
bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai haq dan bathil. Istilah yang tepat adalah shawab dan
khatha.

Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara
satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita
terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafii pernah menyatakan hal ini dengan indah. Pendapatku ini benar, ujar
beliau,Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah,
namun bisa jadi mengandung kebenaran.

sepenuh cinta,
Salim A. Fillah

Anda mungkin juga menyukai