Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau altivitas fisik di mana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan dengan umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan atau luka yang disebablan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
Jumlah korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia cenderung turun, yaitu
47.401 orang pada tahun 1989, menjadi 32.815 orang pada tahun 1995. Rasio jumlah
korban cedera sebesar 16,80 per 10.000 penduduk dan rasio korban menoinggal sebesar
5,63 per 10.000 penduduk. Ngka kematian tertinggi berada di wilayah Kalimantan
Timur, yaitu 11,07 per 100.000 penduduk dan terendah di Jawa Tengah, yaitu sebesar
2,67 per 100.000 penduduk (Depkes, 1996).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah definisi fraktur ekstremitas atas ?


2. Bagaimanakah klasifikasi fraktur ekstremitas atas ?
3. Bagaimanakah etiologi fraktur ekstremitas atas ?
4. Bagaimanakah patofisiologi fraktur ekstremitas atas ?
5. Bagaimanakah woc fraktur ekstremitas atas ?
6. Bagaimanakah manifestasi klinis fraktur ekstremitas atas ?
7. Bagaimanakah pemeriksaan fraktur ekstremitas atas ?
8. Bagaimanakah penatalaksanaan fraktur ekstremitas atas ?
9. Bagaimanakah komplikasi fraktur ekstremitas atas ?
10. Bagaimanakah asuhan keperawatan fraktur ekstremitas atas ?
1.3 Tujuan
1. Mampu menjelaskan.definisi fraktur ekstremitas atas
2. Mampu menjelaskan klasifikasi fraktur ekstremitas atas
3. Mampu menjelaskan etiologi fraktur ekstremitas atas
4. Mampu menjelaskan.patofisiologi fraktur ekstremitas atas
5. Mampu menjelaskan woc fraktur ekstremitas atas
6. Mampu menjelaskan manifestasi klinis fraktur ekstremitas atas
7. Mampu menjelaskan pemeriksaan fraktur ekstremitas atas
8. Mampu menjelaskan penatalaksanaan fraktur ekstremitas atas
9. Mampu memjelaskan komplikasi fraktur ekstremitas atas
10. Mampu menjelaskan askep fraktur ekstremitas atas
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi fraktur


Banyak sekali batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur. Fraktur
menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Demikian pula menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur atau patah
tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Sementara Doenges (2000) memberikan batasan,
fraktur adalah pemisahan atau patahanya tulang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Sedangkan fraktur menurut
Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Berdasarkan batasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang tulang yang utuh, yang biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma.

2.2 Klasifikasi fraktur ekstremitas atas


1. Trauma Bahu
a. Fraktur Klavikula
Fraktur klavikula adalah putusnya hubungan tulang. Klavikula yang disebabkan
oleh suatu trauma langsung dan tidak langsung pada posisi lengan
terputar/tertarik keluar (outstretched hand), dimana trauma dilanjutkan dari
pergelangan tangan sampai klavikula.
b. Fraktur Skapula
Fraktur skapula adalah putusnya hubungan tulang belikat (skapula) yang
disebabkan oleh suatu trauma langsung pada badan atau leher skapula.
c. Fraktur Batang Humerus
Fraktur Humerus adalah terputusnya hubungan tulang batang humerus. Secara
klinik bisa bersifat fraktur tertutup tanpa adanya disertai luka terbuka oleh
fragmen tulang dan bisa ersifat fraktur terbuka yang disebabkan oleh suatu
cedera dari trauma langsung atau tidak langsung yang mengenai lengan atass,
atau suatu cedera dari trauma langsung atau tidak langsung yang mengenai
lengan atas atau suatu kondisi fraktur patologis akibat metastasis pada tulang
humerus.
3 Trauma Siku
Trauma pada siku bisa terjadi pada tulang suprakondiler humeri, epikondilus
humeri, kaput radius, leher radius, olekranon, serta proksimal radius dan ulna oleh
berbagai keadaan yang meliputi cedera akibat trauma
a. Fraktur Suprakondiler Humeri (SPCH)
Fraktur suprakondiler humerus adalah terputusnya hubungan tulang sepertiga
distal humerus tepat proksimal troklea dan capitulum humeri yang disebabkan
oleh trauma langsung atau tidak langsung. Garis fraktur berjalan melalui apeks
koronoid yang sering terjadi pada anak anak. Pada orang dewasa, garis fraktur
terletak sedikit lebih proksimal daripada fraktur suprakondiler pada anak dengan
garis fraktur kominutif, spiral disertai angulasi.
b. Fraktur Olekranon
Fraktur olekranon adalah putusnya hubungan tulang ulna bagian atas yang
diseabkan oleh suatu trauma. Dua jenis cedera yang ditemukan, yaitu:
1. Fraktur kominutif akibat pukulan langsung atau jatuh pada siku
2. Patah melintang yang bersih, akibat traksi ketika pasien jatuh pada tangan
saatotot triseps berkontraksi

Fraktur memasuki sendi siku, karena itu juga merusak kartilago artikular. Pada
fraktur melintang, aponeurosis triseps dapat tetap utuh, dalam hal inni fragmen
fragmen fraktur tetap besama sama.

4 Trauma Tangan
Trauma tangan dapat terjadi pada tulang radius, tulang ulna dan tulang tulang
pergelangan tangan oleh berbagai keadaan yang meliputi cedera akibat trauma.
a. Fraktur Radius
Fraktur radius adalah terputusnya hubungan tulang radius. Pada kondisi klinik
bisa berupa frakrtur terbuka yang disertai kerusakan jaringan lunak (otot, kulit,
jaringan saraf, pembuluh darah) dan fraktur radius tertutup yang disebabkan
oleh cedera pada lengan bawah baik trauma langsung ataupun trauma tidak
langsung.
Fraktur terbuka pada radius sering terjadi dalam kecelakaan lalu lintas atau
suatu trauma tajam akibat luka bacok pada lengan bawa menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak dan tulang pada radius. Pada trauma tidak
langsung, daya pemuntir (biasanya jatuh pada tangan) menimbulkan
frakturspiral dengan kedua tulang patah pada tingkat yang berbeda. Pukulan
langsung atau daya tekukan menyebabkan fraktur melintang kedua tulang pada
tingkat yang sama. Deformitas rotasi tambahan dapat ditimbullkan oleh tarikan
otot otot yang melekat pada radius otot tersebut adalah biseps dan otot
supinatorpada sepertiga bagian atas, pronator teres pada sepertiga pertengahan
dan pronator quadratus pada sepertiga bagian bawah. Perdarahan dan
pembengkakan kompertemen otot pada lenga baah dapat menyebabkan
gangguan peredaran darah.
b. Fraktur Radius Ulna
Fraktur radius-ulna adalah terputusnya hubungan tulang radius dan ulna yang
disebabkan oleh cedera pada lengan bawah baik trauma langsung ataupun
trauma tidak langsung. Pada trauma tidak langsung, daya pemutar biasanya
menimbulkan fraktur spiral dengan kedua tulang patah pada tingkat yang
berbeda.
c. Fraktur Monteggia
Fraktur monteggia ialah terputusnya hubungan seperti bagian proksimal ulna
dan dislokasi kaput radius yang disebabkan oleh cidera akibat jatuh dengan
tangan dan pada saat yang sama tubuh memuntir. Pada daya pemuntir
menimbulkan daya gerak yang dapat dengan kuat mempronasikan lengan
bawah.
d. Fraktur Galeazzi
Fraktur Galeazzi adalah terputusnya hubungan tulang pada 1/3 distal radius
disertai dislokasi sendi radio-ulnar distal yang disebabkan oleh cedera pada
lengan bawah akibat jatuh pada tangan dengan posisi hiperekstensi.
e. Fraktur Colles
Fraktur colles ialah terputusnya hubungan tulang secara melintang pada radius
tepat di atas pergelangan tangan, dengan pergeseran dorsal fragmen distal.
f. Fraktur Smith
Fraktur jenis ini lebih sering ditemukan pada pria dari pada wanita. Ditemukan
deformitas dengan fragmen distal mengalami pergeseran ke volar dimana garis
fraktur tidak melalui persendian.
g. Fraktur Metakarpal
Fraktur metakarpal ialah terputusnya hubungan tulang-tulang metakarpal yang
disebabkan oleh trauma langsung dan tidak langsung pada tangan.
h. Fraktur Falang
Fraktur farang ialah terputusnya hubungan tulang jari-jari tangan yang
disebabkan oleh trauma langsung pada jari tangan. Jari biasanya mengalami
cedera akibat benturan langsung , dan mungkin terdapat banyak pembengkakan
atau luka terbuka.

2.3 Etiologi fraktur ekstremitas atas


1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.(Oswari E, 1993)
2.4 Patofisiologi fraktur ekstremitas atas
Fraktur kaput radii sering terjadi akibat jatuh dan tangan menyangga dengan siku
ekstensi. Bila terkumpul banyak darah dalam sendi siku (hemarthosis) harus diaspirasi
untuk mengurangi nyeri dan memungkinkan gerakan awal.
Bila fraktur mengalami pergeseran dilakukan pembedahan dengan eksisi kaput
radii bila perlu. Paska operasi lengan dimobilisasi dengan bebat gips posterior dan
sling. Fraktur pada batang radius dan ulna (pada batang lengan bawah) biasanya terjadi
pada anak-anak. Baik radius maupun ulna keduanya dapat mengalami patah. Pada
setiap ketinggian, biasanya akan mengalami pergeseran bila kedua tulang patah.
Dengan adanya fraktur dapat menyebabkan atau menimbulkan kerusakan pada
beberapa bagian. Kerusakan pada periosteum dan sumsum tulang dapat mengakibatkan
keluarnya sumsum tulang terutama pada tulang panjang. Sumsum kuning yang keluar
akibat fraktur terbuka masuk ke dalam pembuluh darah dan mengikuti aliran darah
sehingga mengakibatkan emboli lemak. Apabila emboli lemak ini sampai pada
pembuluh darah yang sempit dimana diameter emboli lebih besar daripada diameter
pembuluh darah maka akan terjadi hambatan aliran darah yang mengakibatkan
perubahan perfusi jaringan.
Kerusakan pada otot atau jaringan lunak dapat menimbulkan nyeri yang hebat
karena adanya spasme otot di sekitarnya. Sedangkan kerusakan pada tulang itu sendiri
mengakibatkan perubahan sumsum tulang (fragmentasi tulang) dan dapat menekan
persyaratan di daerah tulang yang fraktur sehingga menimbulkan gangguan syaraf
ditandai dengan kesemutan, rasa baal dan kelemahan.
2.5 WOC fraktur ekstremitas atas

Kecelakaan (Jatuh)

Tangan menyangga siku ekstensi

Hemarthosis

Fraktur

Kerusakan Otot & Kerusakan Periosteum Kerusakan pada Tulang


jaringan lunak dan sumsum tulang

Adanya spasme otot Sumsum tulang keluar Perubahan sumsum tulang

MK: Nyeri yang hebat Masuk pembuluh darah Persyarafan tertekan

Emboli lemak MK : Gangguan Syaraf

Masuk pembuluh darah

Hambatan Aliran darah

MK: Perubahan Perfusi


Jaringan
2.6 Manifestasi klinis fraktur ekstremitas atas
1. Trauma Bahu
a. Fraktur Klavikula
Keluhan nyeri pada bahu depan. Adanya riwayat trauma pada bahu atau jatuh
dengan posisi tangan yang tidak optimal (outstretched hand)
Look : pada fase awal cedera klien terlihat menggendong lengan pada
dada untuk mencegah gerakan. Suatu benjolan besar atau deformitas pada bahu
depan terlihat dibawah kulit dan kadang-kadang fragmen yang tajam
mengancam kulit.
Feel : didapatkan adanya nyeri tekan pada bahu depan.
Move : ketidakmampuan mengangkat bahu keatas, keluar, dan kebelakang
toraks.
b. Fraktur Skapula
Keluhan nyeri pada bahu belakang dan adanya riwayat trauma pada bahu
belakang. Pada pemeriksaan fisik regional umumnya didapatkan hal-hal berikut.
Look: pada fase awal cedera klien terlihat memar hebat pada skapula dan
dinding dada. Kadang pada jaringan lunak diatas tulang juga mengalami
kerusakan akibat dari trauma.
Feel : didapatkan adanya nyeri tekan pada bahu belakang.
Move : ketidakmampuan mengangkat bahu keseluruh posisi.
c. Fraktur Batang Humerus
Pada anamnesis dikaji tentang kronologis dari mekanisme trauma pada lengan
atas. Sering didapatkan adanya keluhan, seperti nyeri pada lengan atas adanya
deformitas pada lengan atas.
Pemeriksaan fisik regional, didapatkan adanya hal hal berikut ini.
Look : Terlihat adanya deformitas yang jelas pada lengan atas. Pada fase awal
fraktur didapatkan adanya perubahan warna kulit lebam dan kebiruan. Lengan
atas bengkak. Apabila didapatkan pembengkakan dan adanya keluhan nyeri
lokal hebat, maka perlu dikaji adanya perubahan nadi, perfusi yang tidak baik
(akral dingin pada sisi lesi) dan CRT >3 detik mana hal ini merupakan tanda
tanda penting terjadinya sindrom kompartemen.
Gambar 13.73 Klinis pemeriksaan look pada frakur humerus tertutup dengan
perubahan warna kulit lebam dan kebiruan disertai pembengkakan pada lengan
atas.
Feel : Adanya keluhan nyeri tekan dan adanya krepitasi
Move : Gerakan pada daerah lengan yang parah tidak boleh dilakukan karena
akan memberikan respons trauma pada jaringan lunak disekitar ujung fragmen
tulang yang patah. Klien terlihat tidak mampu melakukan pergerakan pada
lengan atas yan patah pada seluruh gerakan.
2. Trauma Siku
a. Fraktur Suprakondiler Humeri (SPCH)
Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma jatuh dengan tangan
terentang atau jatuh dengan poisisi siku lebih dahulu dalam kondisi fleksi.
Keluhan utama biassanya nyeri pada siku dan ketidakmampuan dalam
menggerakkan siku.
Look : Pada tipe ekstensi sendi siku dalam posisi ekstensi daerah siku tampak
bengkak, kadang bengkak hebat sekali akibat perdarahan yang luas. Nila
pembengkakan tidak hebat dapat teraba tonjolan fragmen dibawah subkutis.
Pada tipe fleksi posisi siku fleksi (semifleksi), dengan siku yang bengkak
dengan sudut jinjing yang berubah dan gejala sindrom kompartemen. Adanya
gangguan sirkulasi perifer memerlukan tindakan reduksi fraktur segera. Jika
penderita mengeluh gejala setempat yaitu nyeri (pain) dan baal (paresthesia),
disertai dengan adanya tanda passive strech pain, pucat (pale) dan paralisis
(kelumpuhan) haru dicurigai adanya sindrom kompartemen. Pada pergeseran
posterior terlihat deformitas yang jelas.

Gambar 13.78 Klinis fraktur SPCH dengan pergeseran posterior


Feel : Nyeri tekan pada siku
Move : Pada lesi nervus radialis didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu
jari dan ekstensi jari lainnya pada sensi metakarpofalangeal. Selain ini, juga
didapati gangguan sensorik pada bagian dorsai seia metakarpal I-II. Pada lesi
nervus ulnaris didapati ketidakmampuan untuk melakukan gerakan abduksi dan
aduksi jari jari. Gangguan sensorik didapati pada bagian volar satu setengah
jari sisi ulna. Pada lesi nervus medianus didapati ketidakmampuan untuk
melakkan oposisi ibu jari dengan jari lain. Gangguan sensorik didapati pada
bagian volar tiga setengah sisi radial. Sering didapati lesi pada sebagian nervus
medianus, yaitu lesi pada cabangnya yang disebut nervus interosseus arrerior,
disini didapati ketidakmampuan jari I dan II untuk melakukan fleki (pointing
sign).
b. Fraktur Olekranon
Keluhan nyeri pada siku dengan adanya riwayat trauma akibat pukulan
langsung atau jatuh pada siku dan akiat trraksi ketika pasien jatuh pada tangan
saat otot triseps berkontraksi.
Look : Pada fase awal ccedera pasien terlihat levet lecet atau memar pada
siku menunjukan fraktur kominutif triseps utuh dan siku dapat diekstensikan
melawan gaya gravitasi. Pada fraktur melintang mungkin terdapat celah yang
dapat diraba dan siku pasien tak dapat berekstensi melawan tahanan
Feel : Didapatkan adanya nyeri tekan pada siku dan didapatkan celah pada siku
Move : Ketidakmampuan siku karena adanya nyeri
3. Trauma Tangan
a. Fraktur Radius
Kaji kronologi dari mekanisme trauma pada lengan bawah. Biasanya kondisi
fraktur radius terbuka terjadi akibat trauma pada lengan bawah. Sering
didapatkan adanya keluhan meliputi nyeri dan keluhan luka terbuka pada lengan
bawah. Pada fraktur radius tertutup keluhan nyeri dan deformitas tangan
dilaporkan. Pada pemeriksaan lokalis biasanya didapatkan hal hal berikut :
Look : Pada fraktur radius terbuka, terlihat adanya luka terbuka pada lengan
bawah. Kaji beberapa luas kerusakan jaringan lunak yang terlibat. Kaji apakah
pada luka terbuka terdapat fragmen tulang yang keluar.

Gambar 13.82 Tampilan klinis fraktur radius terbuka


Pada frakturradius tertutup, terlihat adanya deformitas tanda jejas pascatrauma
dan pembengkakan.
Penting untuk dilakukan pemeriksaan tanda dan gejala dari sindrom
kompartemen. Periksa adanya keluhan nyeri lokal hebat isertai parestesia
adanya perubahan nadi, perfusi yang tidak baik (akral dingin dan pucat pada sisi
lesi), dan CRT >3 deik pada bagian lengan bawah yang merupakan respons dari
pembengkakan pada lengagn dimana hal ini merupakan tanda tanda penting
terjadinya sindrom kompartemen.
Feel : Adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya krepitasi
Move : Keterbatasan melakukan pergerakkan pada lengan bawah
b. Fraktur Radius Ulna
Pada anamnesis sering didapatkan adanya keluhan meliputi nyeri pada tangan
atas, adanya deformitas pada lengan atas.
Look pada fase awal trauma wajah klien terlibat meringis kesakitan. Terlihat
adanya detormitas yang jelas pada lengan bawah. Apabila didapatkan
pembengkakan dan adeanya keluhan nyeri local hebat, maka perlu dikaji adanya
perubahan nadi, perfusi yang tidak baik, dan CRT >3 detik dimana hal ini
merupakan tanda-tanda penting terjadinya sindrom kompartemen.
Feel adanya keluhan nyeri tekan dan adanya krepitasi
Move gerakan pada daerah lengan yang patah tidak bole dilakukan karena akan
memberikan respons trauma pada jaringan lunak disekitar ujung fragmen tulang
yang tajam.
c. Fraktur Monteggia
Pengkajian focus pada fraktur monteggia meliputi anamnesis yaitu adanya
riwayat terjatuh, adanya keluhan nyeri dan bengkak pada lengan bawah, serta
dating dengan tangan dalam posisi fleksi dan pronasi. Pada pemeriksaan lokalis
biasanya didapatkan hal-hal berikut.
Look terlihat adanya deformitas ulna biasnya jelas, tetapi kaput radius yang
berdislokasi tersembunyi akibat pembengkakan. Apabila terjadi open fracture
didapatkan adanya tabda-tanda trauma jaringan lunak sampai pada kerusakan
intregitas kulit.
Feel adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya krepitasi.
Move klien terlihat tidak mampu melakukan pergerakkan pada lengan bawah.
d. Fraktur Galeazzi
Fraktur galeazzi meliputi anamnesi yaitu adanya riwayat terjatuh dank lien
biasanya mengeluh nyeri dan bengkak pada lengan bawah. Pada pemeriksaan
lokalis biasanya didapatkan hal-hal berikut.
Look terlihat adanya perubahan dari kesejajaran tulang lengan bawah, kadang
didapatkan adanya pembengkakan pada lengan bawah.
Feel adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya krepitasi
Move klien terlihat tidak mampu melaksanakan pergerakan pada lengan bawah.
e. Fraktur Colles
Pengkajian focus pada fraktur colles meliputi anamnesis yaitu terdapat riwayat
trauma dengan pembengkakan pergelangan tangan pada orang yang berumur
lebih dari 50 tahun.
Look terlihat adanya suatu derfomitas yang khas berbentuk garpu makan
malam. Gambaran ini terjadi karena adanya angulasi dan pergeseran ke dorsal,
deviasi radial, supinasi, dan impaksi kearah proksima.
Feel adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya krepitasi
Move klien terlihat tidak mampu melakukan pergerakan pada lengan bawah.
f. Fraktur Smith
Terdapat riwayat trauma dengan pembengkakan pergelangan tangan pada orang
yang berumur lebih 50 tahun. Pada pemeriksaan lokalis biasanya didapatkan
hal-hal berikut.
Look terlihat adanya deformitas akibat adanya fraktur, tetapi tidak ada tanda
deformitas garpu makan.
Feel adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya krepitasi.
Move klien terlihat tidak mampu melakukan pergerakan pada lengan bawah.
g. Fraktur Metakarpal
Fraktur metacarpal lainnnya dapat terjadi pada satu metakarpal atau multiple
pada beberapa metakarpal. Fraktur leher metakarpal sering terjadi pada
seseorang yang mengalami trauma dengan pisisi kepalan tinju.
Manifestasi klinis pada anamnesis biasanya didapatkan adanya keluhan meliputi
nyeri pada tngan. Pada pemeriksaan lokalis biasanya didapatkan hal-hal berikut
ini.
Look terlihat adanya pembengkakan pada tangan. Pada fraktur batang
metakarpal melintang sering disertai kerusakan jaringan lunak. Pada tangan
akan terlihat luka lecet atau luka terbuka. Kaji berapa luas kerusakan jaringan
lunak yang terlihat.
Feel adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya krepitasi.
Move klien terlihat tidak mampu melakukan pergerakan pada tangan dan jari-
jari tangan.

2.7 Pemeriksaan fraktur ekstremitas atas


1. Trauma Bahu
a. Fraktur Klavikula
Pada pemeriksaan rontgen terlihat terputusnya hubungan tulang klavikula
dimana bagian fragmen medial terangkat keatas.
b. Fraktur Skapula
Pada pemneriksaan rontgen terlihat terputusnya hubungan tulang skapula baik
multiple pada bahu skapula atau garis fraktur pada leher skapula.
c. Fraktur Batang Humerus
Pemeriksaan foto polos aakan didapatkan adanya gariss patah pada tulang
batang humerus.

Gambar 133.74 Rdiologis fraktur batang humerus. A. Fraktur transversal B.


Fraktur multipel C. Fraktur spiral
2. Trauma Siku
a. Fraktur Suprakondiler Humeri (SPCH)
Fraktur terlihat paling jelas dalam foto lateral. Pada fraktur yang bergeser ke
posterior yang serring ditemukan, garis fraktur berjalan secara oblik ke bawah
dan kedepan, dan fragmen distal bergeser kebelakang lalu miring kebelakang.
Pada fraktur yang bergeser ke anterior garis fraktur bersifat oblik dan lebih
rendah diposterior, fragmen miring kedepan.

Gambar 13.79 Radiologis fraktur SPCH dengan pergeseran posterior


b. Fraktur Olekranon
Pada pemeriksaan Rontgen terlihat terputusnya hubungan tulang ulna dan
kadang disertai adanya dislokasi siku.

Gambar 13.81 Radiologis fraktur olekranon sebelum dan setelah pemasangan


fiksasi interna
3. Trauma Tangan
a. Fraktur Radius
Pemeriksaan foto polos akan didapatkan adanya garis patah tulang radius atau
ulna.

Gambar 13.83 Radiologis fraktur radius


b. Fraktur Radius Ulna
Pemeriksaan foto polos akan didapatkan adanya garis patah pada tulang radius-
ulna. Pemeriksaan juga dilakukan setelah dilakukan intervensi sebagai hasil
evaluasi tindakan yang telah dilakukan.
c. Fraktur Monteggia
Dalam kasus biasa, kapur radius (yang biasanya mengarah langsung ke
kapitulum) berdislokasi ke depan, dan terdapat fraktur pada sepertiga bagian
atas ulna dengan pelengkungan ke depan.
d. Fraktur Galeazzi
Fraktur melintang atau oblik yang pendek ditemukan pada sepertiga bagian
bawah radius, dengan angulasi atau tumpangtindih. Sendi radioulnar inferior
bersublukasi atau berdislokasi.
e. Fraktur Colles
Beberapa unit menggunakan pemeriksaan sinar X selama fase penyembuhan
untuk mengkaji posisi fraktur karena cedera ini sering menimbulkan komadvis
serta informasi tentang bagaimana mengurangi risiko fraktur lanjutan.
f. Fraktur Smith
Pada pemeriksaan rontgen didapatkan fraktur pada metafisis radius distal; foto
lateral menunjukkan bahwa fragmen distal bergeser dan miring ke anterior
sangat berlawanan dengan fraktur colles.
g. Fraktur Metakarpal
Pemeriksaan foto polos akan didapatkan adanya garis patah pada tulang
metakarpal

2.8 Penatalaksanaan fraktur ekstremitas atas


1. Trauma Bahu
a. Fraktur Klavikula
Untuk fraktur sepertiga tengah, intervensi reduksi tidak dilakukan.
Intervensi dengan pemasangan gendongan bahu dengan tidak menganjurkan
klien melakukan abduksi lengan dapat dilakukan hingga nyeri mereda (biasanya
2-3 minggu). Sesudah itu harus dilakukan latihan bahu secara aktif; hal ini
penting terutama pada pasien tua.
Fraktur sepertiga bagian luar yang mengalami pergeseran hebat (misalnya
pada pasien yang ligamen korakoklavikularnya robek) biasanya tidak dapat
direduksi secara tertutup. Bila dibiarkan tanpa terapi, fraktur tersebut akan
menyebabkan deformitas dan dalam beberapa kasus akan menimbulkan rasa tak
enak dan kelemahan pada bahu. Oleh karena itu, terapi oprasi diindikasikan :
melalui insisi supraklavikular, fragmen reposisi dan dipertahankan dengan
fiksasi interna dan kemudian kembali ke batang klavikular.
b. Fraktur Skapula
Pada fraktur skapula, sebagaian besar intervensi berhasil dengan reduksi
tertuitup. Pasien memakai kain gendongan agar nyaman, dan sejak awal
mempraktikkan latihan aktif pada bahu, siku dan jari.
c. Fraktur Batang Humerus
Konservatif
Tindakan konservatif untuk fraktur batang humerus, meliputi hal hal sebagai
berikut :
1. Gips menggantung (Hangging Cast). Pada beberapa kondisi, fraktur
humerus dapat diberikan intervensi dengan hanging cast dan tidak
membutuhkan reduksi yang sempurna ataupun imobilisasi. Intervensi ini
dilakukan dengan mengoptimalisasi berat lengan dan gips untuki menarik
secara gravitasi bagian bawah fragmen sehingga didapatkan kondisi sejajar
dari tulang humerus. Hanging cast dipasang dri bahu samapai pergelangan
tangan dengan siku yang berfleksi 90 derajat dan bagian lengan awah
tergantumg pada kain gendong yang melingkar pada leher pasien. Gips ini
dapat diganti setelah 2-3 minggu dengan gips yang pendek (dari bahu ke
siku) atau suatu penanan polipropilen fumgsional yang dipakai selama 6
minggu selanjutnya. Pergelangan tangan dan jari latihan sejak awal. Latihan
bahu dengan pemberat dimulai dalam seminggu, tetapi abduksi aktif ditunda
hingga fraktur telah menyatu.
2. Traksi. Pilihan lainnya, fraktur dapat dipertahankan tereduksi dengan
fiksator luar memulai pembebanan didni (Pembedahan membantu
penyembuhan). Traksi yang digunakan adalah Double skin traction.

Gambar 13.75 Gips menggantung (hanging cast) diberikan pada klien


fraktur batang humerus.

Gambar 13.76 Intervensi traksi dengan menggunakan metode doule skin


traction pada fraktur batang humerus tertutup. Pemberian beban traksi
secara bertahap. Berat badan traksi awal adalah 3,5-5 kg pada skin straksi
lengan bawah dan 3-4 kg pada skin traksi lengan atas.
Intervensi Bedah

Tindakan operatif dilakukan dengan adanya indikasi operasi yaitu,


terjadi lesi nervus radialis setelah dilakukan reposisi (jepitan nervus
radialis), non-union, dan pasien yang segera igin kembali bekerja secara
aktif. Beberapa prosedur intervensi bedah pada fraktur batang humerus,
meliputi hal hal sebagai berikut :

1. Fiksasi dengan plate dan serew atau pin


2. Fiksasi dengan intramedullary implants
3. Fiksasi eksterna

Gambar 13.77 Radiologis pascabedah fraktur batang humerus, A dan B:


Fiksasi interna dengan plate dan serew. C: Fiksasi dengan intramedullary
implants

2. Trauma Siku
a. Fraktur Suprakondiler Humeri (SPCH)
Penatalaksanaan Fraktur yang Bergeser ke Posterior
1. Jika tidak ada pergeseran, tidak diperlukan dilakukan reduksi
penanggualangan konservatif fraktur suprakondiler humerus diindikasikan
pada anak undisplacedl minimally desplaced fractures atau pada fraktur
sangat kominutif pada pasien dengan lebih tua dengan kapasitas fungsi yang
terbatas. Pada prinsipnya adalah reposisii dan imobilisasi. Pada undisplaced
fracture hanya dilakukan imobilisasi dengan elbow fleksi selama tiga
minggu.
2. Fraktur yang disertai pergeseran harus direduksi secepat mungkin, dibawah
anestesi umum. Hal ini dilakukan dengan manuver secara metodik dan
berhati hati:
a) traksi selama 2-3 menit di sepanjang lengan tersebut dengan traksi lawan
diatas siku
b) koreksi terhadap kemiingan, pergeseran atau pemuntiran ke samping
(dibanding dengan lengan sebelahnya)
c) siku difleksikan perlaan lahan sementtara traksi dipertahankan
d) tekanan jari di belakang fragmen distal untuk mengoreksi kemiringan
posterior.
Kemudian nadi diraba jika nadi tak ada, kenduran fleksi aiku hingga
naddi muncul lagi. Pemeiksaan Rontgen dilakukan untuk memastikan
reduksi, sambil memeriksa dengan cermat bahwa tidak terjadi angulasi
varus atau valgus dan tidak ada deformitas rotasional (tanda tanda ini
dapat terlihat dengan memperhatikan sudut Baumann).
Setelah reduksi, lengan dipertahankan dalam suatu collar dan menset,
terus menerus selama 3 minggu. Setelah itu, diperbolehkan melakukan fleksi
siku aktif, tetapi lengan disangga dalam kain gendongan dan ekstensi
dihindari selama 3 minggu lagi.
Traksi kerangka meluli olekranon, dengan lengan yang ditahan diatas, dapat
digunakan dalam situasi khusus:
a) Bila fraktur tidak dapat direduksi dengan manipulasi
b) Bila siku berfleksi 90 derajat, nadi hilang
c) Untuk cedera gabungan yang berat atau cedera ganda pada tungkai.
Setelah pembengkakan mereda, usaha selanjutnya dapat dilakukan
denga reduksi tertutup

Reduksi terbuka kadang kadang dipilih untuk mengatasi fraktur yang


tak dapat direduksi. Fraktur dibuka (terutama melalui dua insisi, pada kedua
sisi siku), hermatoma dievakuasi dan fraktur direduksi dan dipertahankan
dengan dua kawat Kirschner.

Gambar 13.80 Radiologis pascareduksi dengan K-wire


Penatalaksanaan Fraktur dengan Pergeseran Anterior

Fraktur direduksi dengan menarik lengan bawah dengan siku pada posisi
semi-fleksi, melakukan tekanan jempol pada bagian depan fragmen distal
kemudian mengekstensikan siku sepenuhnya. Suatu slab posterior dipasang
dan dipertahankan selama 3 minggu. Sesudah itu, dibiarkan untuk
memperoleh kembali fleksinya secara berangsur angsur.

b. Fraktur Olekranon
Penatalaksanaan pada fraktur olekranon kominutif dengan triseps yang
tidak cedera dilakukan imobilisasi siku. Lengan diistirahatkan menggunakan
mitela selama seminggu, kemudian dilakukan pemeiksaan Rontgen lagi untuk
memastikan bahwa tidak terjadi pergeseran kemudian pasien dianjurkan untuk
memulai gerakan aktif.
Fraktur melintang yang tak bergesr tidak terpisah ketika siku difoto
dengan sinar X dalam posisi fleksi dapat diterapi secara tertutup. Siku
dimobilisasi dengan gips pada posisi fleksi sekitar 60 derajat selama 2-3
minggu, kemudian latihan dimulai.
Fraktur yang bergeser hanya dapat dipertahankan dengan membebat
lengan pada posisi yang benar benar harus dan kekakuan pada posisi ini akan
memberikan komplikassi. Mekanisme ekstensor harus diperbaiki dengan
operasi. Fraktur direduksi dan ditahan sengan sekrup panjang atau dengan
pemasangan nail dan K-wire. Mitela dipakai selama 3 minggu dan pasien
diajarkan teknik ROM.
3. Trauma Tangan
a. Fraktur Radius
Intervensi yang dilakukan pada fraktur radius, meliputi hal hal berikut :
1. Debridemen. Bedah perbaikan dilakukan pada jaringan lunak yang membuat
kerusakan
2. Reduksi terbuka. Pemasangan fiksasi interna dengan reduki terbuka
dilakukan untuk fraktur radius
Gambar 13.84 Radiologis pada fraktur radius dan pemasangan fiksasi interna

b. Fraktur Radius Ulna


Pada anak-anak, reduksi tertutup biasanya berhasil dan fragmen dapat
dipertahankan dalam gips yang panjang lengkap, dari aksila sampai ke batang-
batang metacarpal. Alat ini diterapkan dengan posisi siku 90 derajat dan lengan
bawah pada posisi netral. Posisi tersebut diperiksa dengan sinar x setelah 2
minggu dan jika memuaskan, pembabatan dipertahankan hingga fraktur
menyatu (biasanya 6-8 minggu). Selain metode ini dianjurkan melakukan
latihan tangan dan bahu.
c. Fraktur Monteggia
Pada anak-anak dilakukan dengan manipulasi dan reduksi tertutup dengan
pemasangan gips sirkule : dengan hasil imobilisasi yang baik. Pada orang
dewasa semua jenis fraktur monteggia harus segera dilakukan operasi terbuka
dengan fiksasi interna yang rigid karena fraktur ini adalah suatu fraktur yang
juga mengenai sendi siku dan perlu imobilisasi secepatnya.
d. Fraktur Galeazzi
Pada anak-anak dilakukan dengan manipulasi dan reduksi tertutup dengan
pemasangan gips sirkuler dengan hasil imobilisasi yang baik. Pada orang
dewasa harus dilakukan reposisi secara akurat dan mobilisasi segera karena
bagian distral mengalami dislokasi. Dengan terposisi yang akurat dan cepat,
maka dislokasi sendi ulna distal juga tereposisi dengan sendirinya.
e. Fraktur Colles
Pada fraktur tak bergeser (atau hanya sedikit sekali bergeser). fraktur
dibebar dalam siap zips yang dibalutkan sekitar dorsum lengan bawah dan
pergelangan tangan. Serta dibalut kuat dalam posisinya . fraktur yang bergeser
harus direduksi dibawah anestersi. Tangan dipegang erat dan tarikan dilakukan
pada sepanjang tulang. Posisi kemudian diperiksa dengan sinar X. jika posisi
memuaskan, dipasang slab gips dorsal, membentang dari tepat dibawa siku
sampai leher metakapral dan dua pertiga keliling dari pergelangan tangan
tersebut.
f. Fraktur Smith
1) Konveservatif
Fraktur direduksi dengan traksi dan ekstensi pergelangan tangan. Lengan
bawah diimobilisasi dalam gips sirkuler selama 6 minggu.
2) Intervensi bedah
Terapi pembedahan dengan pemasangan fiksasi interna kemudian
dipertahankan dengan gips spalk.
g. Fraktur Metakarpal
Pada fraktur batang metakarpal spiral atau fraktur melintang dengan
sedikit pergerakan tidak memerlukan reduksi. Pembabatan juga tak diperlukan,
tetapi pembalut krep yang kuat mungkin memberi rasa nyaman. Pasien harus
didorong untuk melakukan gerakan jari aktif dan harus dilatih dengan tekun.
Tindakan ini dipertahankan selama 3 minggu dan jari tidak rusak juga dilatih.
h. Fraktur Falang
Fraktur falang yang tak bergeser dapat diterapi dengan pembebatan
fungsional. Jari diikat dengan jari sebelahnya dan gerakan dianjurkan sejak
permulaan. Pembebatan dipertahankan selama 2-3 minggu, tetapi saat ini
sebaiknya diperiksa posisinya dengan sinar X untuk memastikan tidak terjadi
pergeseran. Imobilisasi dengan posisi fleksi harus dipertahankan untuk menahan
reduksi, dan cara ini dapat menghasilkan hasil yang terbaik dengan memasang
gips pada lengan bawah yang berakhir pada telapak tangan, tetapi mempunyai
bebat distal yang menyokong jari dalam fleksi sekitar 80 derajat pada sendi
metakarpofalangeal dan fleksi pada sendi-sendi interfalangeal untuk menjegah
pergeseran tulang fraktur. Gips dipertahankan selama 3 minggu, dan pengikatan
dengan jari sebelahnya dilanjutkan selama 3 minggu.
Fraktur falang yang tak stabil dapat diterapi dengan fiksasi internal dengan
menggunakan kawat Kirschner atau sekrup mini. Falang terminal dapat terpukul
oleh matril, atau terjepit pintu, dan tulangnya dapat hancur. Fraktur tidak
dipedulikan dan terapi diputuskan untuk mengendalikan pembengkakan dan
memperoleh kembali gerakan.
2.9 Komplikasi fraktur ekstremitas atas
1. Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok.
Bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera.
2. Sindroma kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan.
3. Tromboemboli
4. Infeksi.

2.10 Asuhan keperawatan fraktur ekstremitas atas


Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian,
diagnose keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
no.register, tanggal MRS, diagnose medis.

b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan :
(1) Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menususk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari. (Ignatavicius, Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukann untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna
D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
member petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang
menyebabkan fraktur patalogis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko
terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetic (Ignatavicius, Donna D,
1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat menggangu metabolism kalsium, pengkonsumsian alcohol yang
bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak. (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
musculoskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah musculoskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi
Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat menggangu pola dan gerak, sehingga hal ini dapat
menggangu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur,
dan kesulitan tidur serta penggunaan obatt tidur. (Doengos. Marilynn
E, 1999)
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur disbanding pekerjaan yang
lain. (Ignativicius, Donna D, 1995)
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap. (Ignatavicius, Donna D,
1995)
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image). (Ignatavicius, Donna D, 1995)
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbbul gangguan, begitu
juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga,
timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignitavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktura yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan
gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji
status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
(Ignitavicius, Donna D, 1995)
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
(Ignitavicius, Donna D, 1995).
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignitavicius,
Donna D, 1995).

2) Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk


mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan :
(1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti :
a. Kesadaran penderita : apatis, spoor, koma, gelisah, komposmentid
tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit ; akut, kronik, ringan, sedang berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a. System Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
b. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalic, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
f. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
g. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru
1.) Inspeksi
Pernafasan meningkat, regular atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan paru.
2.) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3.) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
4.) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
k. Jantung
1.) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung
2.) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba
3.) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l. Abdomen
1.) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidakada hernia.
2.) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
3.) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
4.) Auskultasi
Peristaltic usus normal 20 kali / menit.
m. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak adapembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada system musculoskeletal
adalah :
(1) Look (inspksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
a. Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
b. Cape au lait spot (birth bark).
c. Fistulae.
d. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
f. Posisi dan bentuk dari ektrimitas (deformitas).
g. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa).
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari poisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah :
a. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
b. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
c. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1 / 3
proksimal, tengahh atau distal).
Otot :tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatn lingkup gerak inii perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atauu dalam ukuran metric. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak .
pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a.) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (x ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-
ray harus atas dasr indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya
dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray :
a. Bayangan jaringan lunak.
b. Tipis tablnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d. Sela sendi serta bentuknyaarsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray mungkin perlu tehnik khususnya
seperti :
a. Tomografi : menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja
tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi : menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
c. Arthrografi : menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
d. Computed Tomografi Scanning : menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
b.) Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim Otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Tranferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
c.) Pemeriksaan Lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas : didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsy tulang dan otot : pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d. Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
f. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignitavicius, Donna D, 1995)
b. Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianasia untuk


menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi
dua data yaitu, data sujektif dan objektif, dan kemudian ditentukan masalah
keperawatan yang timbul.

2. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik akyual maupun
potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan
mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi,
menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung
jawab.
3. Perencanaan

Dx Intervensi Rasional
1 - Kaji lokasi, intensitas dan tipe - Untuk menentukan tindakan
nyeri keperawatan yang tepat
- Imobilisasi bagian yang sakit - Untuk mempertahankan posisi
- Tingikan dan dukung ekstremitas fungsional tulang
yang terkena - Untuk memperlancar arus balik vena
- Dorong menggunakan teknik - Agar klien rileks
manajemen relaksasi - Untuk mengurangi nyeri
- Berikan obat analgetik sesuai
indikasi
2 - Kaji derajat imobilisasi yang - Untuk menentukan tindakan
dihasilkan oleh cedera keperawatan yang tepat
- Dorong partisipasi pada aktivitas - Melatih kekuatan otot klien
terapeutik - Melatih rentang gerak aktif/pasif klie
Bantu dalam rentang gerak secara bertahap
pasif/aktif yang sesuai - Untuk mencegah terjadinya dekubitus
- Ubah posisi secara periodik - Melatih rentang gerak aktif/pasif klien
- Kolaborasi dengan ahli secara bertahap
terapis/okupasi dan atau
rehabilitasi medic
3 - Kaji kulit untuk luka terbuka - Memberikan informasi mengenai
terhadap benda asing, kemerahan, keadaan kulit klien saat ini
perdarahan, perubahan warna - Menurunkan tekanan pada area yang
- Massage kulit, pertahankan peka dan berisiko rusak.
tempat tidur kering dan bebas - Untuk mencegah terjadinya dekubitus
kerutan - Mengurangi kontaminasi dengan agen
Ubah posisi dengan sering luar
- Bersihkan kulit dengan air - Untuk mengurangi resiko gangguan
hangat/NaCl integritas kulit
- Lakukan perawatan luka secara
steril
4 - Kaji tingkat kecemasan klien - Untuk mengetahui tingkat kecemasaan
(ringan, sedang, berat, panik) klien
- Dampingi klien - Agar klien merasa aman dan nyaman
- Beri support system dan motivasi - Meningkatkan pola koping yang
klien efektif
- Beri dorongan spiritual - Agar klien dapat menerima kondisinya
- Jelaskan jenis prosedur dan saat ini
tindakan pengobatan - Informasi dapat menurunkan ansietas

4. Pelaksanaan

Dx Intervensi Rasional
1 - Kaji lokasi, intensitas dan tipe - Untuk menentukan tindakan
nyeri keperawatan yang tepat
- Imobilisasi bagian yang sakit - Untuk mempertahankan posisi
- Tingikan dan dukung ekstremitas fungsional tulang
yang terkena - Untuk memperlancar arus balik vena
- Dorong menggunakan teknik - Agar klien rileks
manajemen relaksasi - Untuk mengurangi nyeri
- Berikan obat analgetik sesuai
indikasi
2 - Kaji derajat imobilisasi yang - Untuk menentukan tindakan
dihasilkan oleh cedera keperawatan yang tepat
- Dorong partisipasi pada aktivitas - Melatih kekuatan otot klien
terapeutik - Melatih rentang gerak aktif/pasif klie
Bantu dalam rentang gerak secara bertahap
pasif/aktif yang sesuai - Untuk mencegah terjadinya dekubitus
- Ubah posisi secara periodik - Melatih rentang gerak aktif/pasif klien
- Kolaborasi dengan ahli secara bertahap
terapis/okupasi dan atau
rehabilitasi medic
3 - Kaji kulit untuk luka terbuka - Memberikan informasi mengenai
terhadap benda asing, kemerahan, keadaan kulit klien saat ini
perdarahan, perubahan warna - Menurunkan tekanan pada area yang
- Massage kulit, pertahankan peka dan berisiko rusak.
tempat tidur kering dan bebas - Untuk mencegah terjadinya dekubitus
kerutan - Mengurangi kontaminasi dengan agen
Ubah posisi dengan sering luar
- Bersihkan kulit dengan air - Untuk mengurangi resiko gangguan
hangat/NaCl integritas kulit
- Lakukan perawatan luka secara
steril
4 - Kaji tingkat kecemasan klien - Untuk mengetahui tingkat kecemasaan
(ringan, sedang, berat, panik) klien
- Dampingi klien - Agar klien merasa aman dan nyaman
- Beri support system dan motivasi - Meningkatkan pola koping yang
klien efektif
- Beri dorongan spiritual - Agar klien dapat menerima kondisinya
- Jelaskan jenis prosedur dan saat ini
tindakan pengobatan - Informasi dapat menurunkan ansietas
BAB III
APLIKASI TEORI

3.1 Kasus Keperawatan


Pasien datang post jatuh waktu bermain bola di sekolah, posisi jatuh tangan
ekstensi menahan beban tubuh. Waktu kejadian sadar, keluhan lengan kiri sakit saat
digerakkan, bentuk lengan bengkok. Diagnosa Medis adalah Fraktur Supra Condiler
sinistra dan dilakukan Pembedahan Orif Plate. Setelah dilakukan Pembedahan keadaan
umum pasien adalah Pusing (-),Mual (-), Muntah (-), BAB (+), Flatus (+), Nyeri jika
lengan kiri digerakkan (+), baal (-), Kesemutan (-)

3.2 Proses Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas pasien
Nama : An. R
Usia : 9 tahun
Jenis Kelamin : Laki Laki
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
keluhan lengan kiri sakit saat digerakkan, bentuk lengan bengkok
c. Riwayat Alergi obat :-
d. Pemeriksaan
Pemeriksaan Lokalisasi : Nyeri pada lengan kiri, deformitas
Pemeriksaan Penunjang : Elbow AP dan lateral : frkatur
suprakondiler sinistra.
Diagnosis : Fraktur Supra Condiler sinistra
Planning : Pembedahan; Orif Plate
e. Riwayat Post Op Orif Plate
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : bengkak pada tangan kiri (+), Pucat (-)
Palpas : Akral distal hangat (+), Pulsasi (+), Rabaan (+)
Movement : Fleksi jari-jari (+), dorso fleksi pergengan tangan (+) tapi
sedikit nyeri, palmar fleksi (+) sedikit nyeri,fleksi dan ekstensi siku (-) Karen
sangat nyeri, tahanan otot (-) Kekuatan Otot Lengan Kiri :2

2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko untuk disfungsi Peripheral neurovascular
b. Nyeri Akut
c. Resiko Infeksi
d. Gangguan mobilitas Fisik

3. Intervensi Keperawatan
N
o
Tujuan
. & Kriteria
Intervensi Rasional
Hasil
D
x

Tujuan:
1 1. Immobilisasi sendi langsung di 1. Untuk
. bawah dan di atas tempat yang memfasilitasi
Pasien dapat
dicurigai fraktur. pemantauan status
mempertahankan
sirkulasi.
sirkulasi pada 2. Kaji sirkulasi sebelum
ektremitas setelah pemasangan gips. 2. Untuk medeteksi
dilakukan tindakan tanda-tanda
3. Tinggikan anggota gerak lebih
keperawatan gangguan sirkulasi
tinggi dari pada letak jantung
kurang dari 1jam
setelah pembedahan. 3. Untuk mengurangi
Kriteria hasil : penekanan
4. Hindari memfleksikan ektremitas
1. Pasien 4. Fleksi dapat
mempertahankan yang terkena menurunkan
sirkulasi pada sirkulasi vena
5. Ajarkan pasien, anggota kelurga
ektremitas
tentang posisi yang tepat untuk 5. Untuk menghidari
2. Pasien dapat berbaring ditempat tidur dan penumpukan darah
merasakan dan duduk. dan ulkus tekanan.
menggerakkan
masing-masing
kaki atau jari 1
setelah
pemasangan gips.

Tujuan
2 : 1. Kaji jenis dan tingkat nyeri 1. Untuk memberikan
. pasien penanganan yang
Nyeri pasien
2. Minta pasien untuk menjelaskan tepat
berkurang
tingkat nyerinya dengan skala 1- 2. Untuk
10 memfasilitasi
Kriteria Hasil :
3. Kolaborasi dengan dokter untuk pengkajian yang
1. Pasien memberian obat nyeri akurat tingkat
mengungkapnkan 4. Bant pasien untuk mendapatkan nyerri pasien.
perasaan nyaman posisi yang nyaman dan gunakan 3. Untuk mengurangi
berkurangnya bantal untuk menyokong daerah rasa nyeri
nyeri. yang sakit. 4. Untuk menurunkan
ketegangan otot
dan
mendistribusikan
kembali tekanan
pada bagian tubuh.

Tujuan
3 : 1. Kaji derajat imobilisasi yang 1. Untuk menentukan
dihasilkan oleh cedera tindakan
Pasien
. dapat 2. Dorong partisipasi pada aktivitas keperawatan yang
meningkatkan terapeutik tepat
kekuatan Bantu dalam rentang gerak 2. Melatih kekuatan
ektremitas setelah pasif/aktif yang sesuai otot klien
dilakukan tindakan 3. Ubah posisi secara periodik 3. Melatih rentang
keperawatan 4. Kolaborasi dengan ahli gerak aktif/pasif
selama terapis/okupasi dan atau klie secara
rehabilitasi medic bertahap
4. Untuk mencegah
terjadinya
Kriteria Hasil :
dekubitus
5. Melatih rentang
gerak aktif/pasif
klien secara
bertahap
Tujuan
3 : 1. Ajarkan pada pengunjung untuk 1. Untuk mencegah
Paien
. terbebas dari mencuci tangan sewaktu masuk penularan patogen
resiko infeksi dan meninggalkan ruangan 2. Agar pasien dapat
pasien berpastisipasi
Kriteria hasil :
2. Ajarken pasien teknik mencuci dalam perawatan
tangan yang benar 3. Untuk
1. Pasien tetap
3. Ajarkan pasien dan keluarganya mempertahankan
terbebas dari
tanda/gejala infeksi dan kapan tingkat kesehatan
infeksi
harus melaporkannya yang optimal
2 Suhu tetap dalam 4. Berikan terapi antibiotic bila 4. Untuk mengurai
keadaan normal. diperlukan bakteri pathogen
5. Pantau Suhu minimal setiap 4 5. Dapat merupakan
jam tanda awitan
adanya infeksi.
Tujuan
4 : 1. Kaji derajat imobilisasi yang 1. Untuk menentukan
. dihasilkan oleh cedera tindakan
Pasien dapat
2. Dorong partisipasi pada aktivitas keperawatan yang
meningkatkan
terapeutik tepat
kekuatan
Bantu dalam rentang gerak 2. Melatih kekuatan
ektremitas setelah
pasif/aktif yang sesuai otot klien
dilakukan tindakan
3. Ubah posisi secara periodik 3. Melatih rentang
keperawatan
4. Kolaborasi dengan ahli gerak aktif/pasif
selama
terapis/okupasi dan atau klie secara
rehabilitasi medic bertahap
4. Untuk mencegah
Kriteria Hasil : terjadinya
dekubitus
5. Melatih rentang
gerak aktif/pasif
klien secara
bertahap

4.Implementasi Keperawatan
Tanggal D Paraf &
Intervensi
Dan Waktu x Nama

9 Mei 2015 1 Membantu mengimmobilisasi sendi pasien


1.
langsung di bawah dan di atas tempat yang
Pukul
dicurigai fraktur.
08.00 WIB
2. Mengkaji sirkulasi sebelum pemasangan
gips.

3. Meninggikan anggota gerak lebih tinggi dari


pada letak jantung setelah pembedahan.
4. Menghindari memfleksikan ektremitas yang
terkena

5. Mengajarkan pasien, anggota kelurga tentang


posisi yang tepat untuk berbaring ditempat
tidur dan duduk.

9 Mei 2015 2 Kaji jenis dan tingkat nyeri pasien


1.
2. Minta pasien untuk menjelaskan tingkat
Pukul
nyerinya dengan skala 1-10
08.00 WIB
3. Kolaborasi dengan dokter untuk memberian
obat nyeri
4. Bant pasien untuk mendapatkan posisi yang
nyaman dan gunakan bantal untuk
menyokong daerah yang sakit.
9 Mei 2015 3 Mengajarkan
1. pada pengunjung untuk
mencuci tangan sewaktu masuk dan
Pukul
meninggalkan ruangan pasien
08.00 WIB
2. Mengajarken pasien teknik mencuci tangan
yang benar
3. Mengajarkan pasien dan keluarganya
tanda/gejala infeksi dan kapan harus
melaporkannya
4. Memberikan terapi antibiotic bila diperlukan
5. Memantau Suhu minimal setiap 4 jam

9 Mei 2015 4 Mengkaji derajat imobilisasi yang dihasilkan


1.
. oleh cedera
Pukul
2. Mendorong partisipasi pada aktivitas
08.00 WIB
terapeutik
Bantu dalam rentang gerak pasif/aktif yang
sesuai
3. Mengubah posisi secara periodik
4. Mengkolaborasi dengan ahli terapis/okupasi
dan atau rehabilitasi medic

5. Evaluasi Keperawatan
TGL/JAM EVALUASI PARAF

15/5/2015 S : Klien mengatakan nyerinya sudah


berkurang

O : Pasien terlihat tidak menyeringai lagi


Jam
19.00 A : Masalah Teratasi sebagian
WIB
P : Diteruskan Intervensi yaitu dengan
pemasangan gips
BAB IV
PEMBAHASAN

Fraktur ekstremitas atas cukup sering terjadi karena jatuh dengan tangan
terentang. Fraktur adalah terputusnya sebuah jaringan tulang yang pada umumnya
disebabkan oleh berbagai macam faktor diantaranya yaitu tekanan eksternal yang
dating lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Adapun fungsi dari tulang antara lain :
1. Member kekuatan pada kerangka tubuh
2. Tempat melekatnya otot
3. Melindungi organ penting
4. Tempat pembuatan sel darah
5. Tempat penyimpanan garam mineral

Terdapat berbagai jenis fraktur ekstremitas atas, fraktur yang paling sering terjadi
diantaranya :

1. Trauma Bahu
a. Fraktur Klavikula
Fraktur klavikula adalah putusnya hubungan tulang. Klavikula yang disebabkan
oleh suatu trauma langsung dan tidak langsung pada posisi lengan
terputar/tertarik keluar (outstretched hand), dimana trauma dilanjutkan dari
pergelangan tangan sampai klavikula.
b. Fraktur Skapula
Fraktur skapula adalah putusnya hubungan tulang belikat (skapula) yang
disebabkan oleh suatu trauma langsung pada badan atau leher skapula.
c. Fraktur Batang Humerus
Fraktur Humerus adalah terputusnya hubungan tulang batang humerus. suatu
cedera dari trauma langsung atau tidak langsung yang mengenai lengan atas
atau suatu kondisi fraktur patologis akibat metastasis pada tulang humerus.
2. Trauma siku
Trauma pada siku bisa terjadi pada tulang suprakondiler humeri, epikondilus
humeri, kaput radius, leher radius, olekranon, serta proksimal radius dan ulna oleh
berbagai keadaan yang meliputi cedera akibat trauma
3. Trauma Tangan
Trauma tangan dapat terjadi pada tulang radius, tulang ulna dan tulang tulang
pergelangan tangan oleh berbagai keadaan yang meliputi cedera akibat trauma.
Tanda dan gejala khas dari fraktur ekstremitas atas yaitu terlihat bengkak atau
benjolan besar atau deformitas, terlihat memar pada bagian yang fraktur,terkadang ada
jaringan lunak yang mengalami kerusakan, serta pasien akan terlihat menyeringai
kesakitan dan merasakan nyeri pada daerah fraktur.
Penanganan fraktur ekstremitas atas ini bermacam-macam dengan cara pemasangan
Gips, diberikan mobiliisasi, traksi, jika ada pergeseran maka perlu dilakukan reduksi.
Pada intinya reposisi sama mobilisasi harus dilakukan dengan tepat.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Demikian pula menurut Sjamsuhidayat (2005),
fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Sementara Doenges
(2000) memberikan batasan, fraktur adalah pemisahan atau patahanya tulang.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
(Price, 1995). Sedangkan fraktur menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau
patah pada tulang yang utuh.
2. Fraktur humerus proksimal dapat terjadi pada kolum anatomikum maupun kolum
sirurgikum humeri. Kolum anatomikum humeri terletak tepat di bawah kaput
humeri. Kolum sirurgikum humeri terletak di bawah tuberkulum. Fraktur impaksi
kolum sirurgikum humeri paling sering terjadi pada wanita tua setelah jatuh dengan
posisi tangan menyangga. Fraktur ini pada dasarnya tidak bergeser. Pasien usia
sebaya yang aktif dapat mengalami fraktur kolum humeri dengan pergeseran
dengan pergeseran dengan disertai kerusakan rotator cuff.
3. Fraktur barang humerus paling sering disebabkan oleh (1) trauma langsung yang
mengakibatkan fraktur transversal, oblik, atau kominutif, atau (2) gaya memutar tak
langsung yang menghasilkan fraktur spiral. Saraf dan pembuluh darah brakhialis
dapat mengalami cedera pada fraktur ini.
4. Fraktur humerus distal akibat kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dengan siku
menumpu (dengan posisi ekstensi atau fleksi), atau hantaman langsung. Fraktur ini
dapat mengakibatkan kerusakan saraf akibat cedera pada saraf medianus, radialis,
atau ulnaris
5. Fraktur radius distal (fraktur Colles) merupakan fraktur yang sering terjadi dan
biasanya terjadi akibat jatuh pada tangan dorsifleksi terbuka.
6. Tanda dan gejalanya antara lain nyeri hebat pada daerah fraktur dan nyeri
bertambah bila ditekan/diraba, tidak mampu menggerakkan lengan/tangan, spasme
otot.
1. Perubahan bentuk/posisi berlebihan bila dibandingkan pada keadaan normal.
2. Ada/tidak adanya luka pada daerah fraktur.
3. Kehilangan sensasi pada daerah distal karena terjadi jepitan syarat oleh fragmen
tulang.
4. Krepitasi jika digerakkan.
5. Perdarahan.
6. Hematoma.
7. Syok
8. Keterbatasan mobilisasi.

5.2 Saran
Diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat dan
benar sehingga klien dengan penyakit fraktur ekstremitas atas yang biasa terjadi pada
semua usia bisa segera ditangani dan diberikan perawatan yang tepat. Perawat juga
diharuskan bekerja secara profesional sehingga meningkatkan pelayanan untuk
membantu kilen dengan penyakit fraktur ekstremitas atas.
DAFTAR PUSTAKA

Cynthia M, Sheila, 2002, Diagnosa Keperawatan, Jakarta; EGC


Julia & Davis,Peter, 2002, Keperawatan Ortopedik dan Trauma, Jakarta; EGC
Lukman & Ningsih,nurma, 2012, Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal, Jakarta; Salemba Medika.
Noor, Zairin,2012, Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal,Jakarta; Salemba Medika
Padila,2012, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Yogyakarta; Nuha Medika
Suzanne & Brenda, 2012, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta; EGC
Syaifuddin, 2002, Anatomi Fisiologi, Jakarta; EGC.

Anda mungkin juga menyukai