Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

MENINGOENSEFALITIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusunoleh:
Habibi Hibatullah
1507101030110

Dokter Pembimbing:
dr. Anidar, Sp.A (K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan
judul Meningoensefalitis. Shalawat beserta salam penulis sanjungkan ke
pangkuan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa manusia ke zaman yang
berpendidikan dan terang benderang.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepaniteraan
klinik senior pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Unsyiah / RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis mendapat bantuan,
bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis
ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.Anidar, Sp.A (K) yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis
dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan
doa dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus
ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan kasus ini nantinya. Harapan
penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah SWT
selalu memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, 09 Agustus 2017


Penulis,

Habibi Hibatullah

ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS ....................................................................... 3


2.1 Identitas Pasien ....................................................................... 3
2.2 Identitas Keluarga................................................................... 3
2.3 Anamnesis .............................................................................. 3
2.4 Pemeriksaan Fisik................................................................... 5
2.5 Pemeriksaan Penunjang .......................................................... 7
2.6 Diagnosis ................................................................................ 8
2.7 Penatalaksanaan ...................................................................... 9
2.8 Edukasi ................................................................................... 9
3.9 Prognosis ................................................................................ 9
2.10 Follow up .............................................................................. 10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 13


3.1 Definisi ........................................................................... 13
3.2 Epidemiologi ........................................................................ 13
3.3 Etiologi ................................................................................. 14
3.4 Patogenesis ........................................................................... 16
3.5 Diagnosis .............................................................................. 17
3.5.1 Manifestasi klinis........................................................... 17
3.5.2 Pemeriksaan Penunjang ................................................. 19
3.6 Diagnosis Banding ............................................................... 20
3.7 Tatalaksana ........................................................................... 20

BAB IV ANALISIS KASUS .............................................................. 22


DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 24

iii
1 BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi susunan saraf pusat (SSP) sampai sekarang masih merupakan


keadaan yang membahayakan kehidupan anak, dengan berpotensi menyebabkan
kerusakan permanen pada pasien yang hidup. Infeksi ini juga merupakan
penyebab tersering demam disertai tanda dan gejala kelainan susunan saraf pusat
pada anak. Infeksi pada anak dapat disebabkan oleh mikroba apapun, patogen
spesifik yang dipengaruhi oleh umur dan status imun hospes dan epidemiologi
patogen. Pada umumnya, infeksi virus pada sistem saraf pusat jauh lebih sering
daripada infeksi bakteri, yang pada gilirannya lebih sering daripada infeksi parasit
dan jamur. Infeksi pada SSP dapat dibagi menjadi dua kategori besar: yang
utamanya melibatkan meningens (meningitis) dan terbatas pada parenkim
(ensefalitis). (1, 2)
Meningitis adalah radang pada leptomeningens (melibatkan araknoid dan
piamater) yang dapat terjadi secara akut ataupun kronis sementara ensefalitis
adalah radang yang terjadi pada jaringan otak. Meningitis dan ensefalitis dapat
dibedakan pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan
sehingga disebut meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama meningitis bakteri,
mediator radang dan toksin yang dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke
dalam parenkim otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada
ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan
gejala-gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan
ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi dapat menyerang meningens maupun
otak misalnya enterovirus. Meningoensefalitis merupakan peradangan pada
jaringan otak dan selaput otak atau meningens, yang dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, jamur, ataupun protozoa.(1, 2)
WHO memperkirakan jumlah kasus meningoensefalitis dan kasus kecacatan
neurologis lainnya pada tahun 2009 tercatat sekitar 500.000 dengan Case Fatality
Rate (CFR) 10 % di seluruh dunia. Sementara di Indonesia kasus meningitis
bakterialis sekitar 158/100.000 per tahun. (4, 5)Meningoensefalitis merupakan
salah satu penyebab kematian anak di banyak negara di dunia. Rata-rata mortalitas

1
2

paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, menurun pada usia muda, dan
kembali meninggi pada usia tua. (3, 4)
Penularan kuman dapat terjadi melalui kontak langsung dengan
penderita maupun melalui percikan droplet seperti percikan ludah, dahak, ingus,
cairan bersin ataupun cairan tenggorok penderita. Kuman-kuman yang terdapat
dalam droplet bebas di udara akan masuk melalui saluran napas dan sekresi
tenggorokan yang masuk melalui aliran darah ke dalam cairan serebrospinal akan
memperbanyak diri sehingga menimbulkan peradangan pada jaringan otak dan
selaput otak.(1, 5)
BAB II
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : An. Maulizatul
Usia : 2 tahun 3 bulan 25 hari
Jenis Kelamin : perempuan
Agama : Islam
Alamat : Samalanga, Bireun
Suku : Aceh
Pekerjaan : Belum Bekerja
No CM : 1-13-61-63
Tanggal Periksa : 24 Juli 2017
1.2 Anamnesis (Heteroanamnesis)
1.3 Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
1.4 Keluhan Tambahan : Kejang, Demam
1.5 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien rujukan dari RSUD Fauziah Bireun dengan diagnosa penurunan
kesadaran ec Suspect Meningitis. Kejang dialami pasien sejak 3 hari SMRS.
Kejang >1 Jam. Kejang bersifat seluruh tubuh badan kaku. Mata tertutup dan
mulut terkunci. Pasien juga mengalami kejang saat tiba di RSUDZA. Kejang <5
menit. Kejang seluruh tubuh dan mata mendelik keatas. Penurunan kesadaran
terjadi setelah kejang pertama sampai saat pasien tiba di RSUDZA. Demam juga
dialami pasien 5 hari SMRS. demam mendadak tinggi, demam bersifat naik turun
dan demam turun dengan obat penurun panas. Batuk pilek disangkal. Mencret
juga disangkal. BAK dan terakhir 12 jam SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat Penggunaan Obat-obatan:
Pasien dengan riwayat penggunaan inj.ceftriaxone 350 mg/12 jam,
Inj.Novalgin 100 mg/8 jam, Dexamethason 1 ampul/8 jam, Paracetamol Syrup 3x
cth.
Riwayat Penyakit Keluarga:

3
4

Riwayat penyakit keluarga kandung pasien tidak diketahui karena pasien


merupakan anak adopsi di dalam keluarganya saat ini.
Riwayat Persalinan:
Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara, lahir secara SC dengan
BBL : 4000 gram. Riwayat Lahir kebiruan dan pasien sempat dirawat di Rumah
Sakit pada saat itu.
Riwayat Imunisasi:
Riwayat imunisasi dasar tidak lengkap (ibu lupa)
Riwayat Makanan:
- 0 6 bulan : Asi ekslusif
- 6 12 bulan : ASI dan Makanan Pendamping ASI
- > 1 tahun sampai sekarang : pasien makan makanan keluarga

1.6 Pemeriksaan Fisik


a. Status present
1.7 Keadaan Umum : Buruk
1.8 Kesadaran : E2 M5 V2
1.9 Tekanan Darah :-
1.10 Nadi : 130 kali/ menit
1.11 Pernafasan : 30 kali/menit
1.12 Suhu aksila : 37,60C
Berat badan : 8,9 kg
Panjang badan : 84 cm
b. Kulit
Warna : kuning langsat
Turgor : cepat kembali
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Oedema : tidak ada
Anemia : tidak ada

c. Kepala
5

Bentuk : normocephali
Wajah : simetris, edema dan deformitas tidak dijumpai
Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-),
sklera ikterik (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-), berair (-/-),
pupil bulat isokor 3 mm/3 mm, RCL (+/+), dan RCTL (+/+)
Telinga : normotia, serumen (-/-), berair (-/-)
Hidung : NCH (-/-), sekret (-/-)
Mulut : bibir pucat dan kering (-), sianosis (-), lidah tremor (-),
mukosa pipi licin (+)
Tonsil : hiperemis (-/-), T1/T1
Faring : hiperemis (-/-)
Gigi : tidak ada caries dan gigi berlubang dan tanda-tanda
infeksi

d. Leher
TVJ (N) R-2 cm H2O, tidak ada pembesaran KGB, tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid.
e. Thoraks
Inspeksi
Statis : simetris, bentuk normochest
Dinamis : simetris, pernafasan abdomino thorakal, retraksi supra
sternal dan retraksi interkostal tidak dijumpai
Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, tidak ada jejas di dada
Kanan Kiri
Stem fremitus normal, Stem fremitus normal, nyeri
Palpasi
nyeri tekan tidak ada, tekan tidak ada

Perkusi Sonor Sonor

Vesikuler Normal Vesikuler Normal


Auskultasi
Rhonki(-) wheezing (-) Rhonki(-) wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
6

Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra


Perkusi : Atas : ICS III sinistra
Kiri : ICS V satu jari di dalam linea mid klavikula
sinistra
Kanan : ICS IV di linea parasternal dekstra
Auskultasi : BJ I > BJ II normal, reguler, murmur tidak dijumpai
f. Abdomen
Inspeksi : Bentuk tampak simetris dan tidak tampak pembesaran.
Auskultasi : Peristaltik usus normal, bising pembuluh darah tidak
dijumpai
Palpasi : Nyeri tekan dan defans muskular tidak dijumpai
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-/-)
Perkusi : Batas paru-hati relatif di ICS V, batas paru-hati absolut di
ICS VI, suara timpani di semua lapangan abdomen.
Pinggang: nyeri ketok kostovertebrae (-/-)
g. Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
h. Anus
Tidak dilakukan pemeriksaan
i. Tulang belakang
Simetris, nyeri tekan (-)
j. Kelenjar limfe
Tidak ada pembesaran KGB
k. Ekstremitas
Akral teraba hangat (+), sianosis (-), ikterik (-), edema (-), reflek
fisiologis (+) untuk keempat ekstremitas, reflek patologis (-) untuk
keempat ekstremitas, tonus dan tenaga normal.

Status neurologis
GCS : E2M5V2 = 9
7

TRM : Kaku kuduk (+)


Brudzinski I (+)
Brudzinski II (+)
Kernig (-)
Refleks fisiologis: Biceps (+/+)
Triceps (+/+)
Patella (+/+)
Refleks patologis: Babinski (+/+)
Chaddok (-/-)
Oppenheim (-/-)
Gordon (-/-)
Schaeffer (-/-)
Sensorik/otonom: Sulit dinilai

1.13 Status Antropometri


BBL : Tidak diketahui
BBS : 8,9 kg
BBI : 12 kg
PB : 84 cm
8,984
BSA : =
3600 3600

= 0,20766 = 0,45
8,9
BB/U : = 74 %
12
84
TB/U : 88 = 95 %

HA : 1 tahun 10 bulan

8,9
Status gizi : = = = 12,62 /2
()2 (0,84)2

= < 2
Kesan : kurus
Kebutuhan cairan : 900 cc/hari
Kebutuhan kalori : ()
8

= (45 57) 8,9


= (400 507) /
Kebutuhan protein : ()
= 1,0 12 = 12 /

1.14 Pemeriksaan Penunjang

Jenis 23/07/2017
Pemeriksaan Lab RSUDZA

Darah
Lengkap

Hemoglobin 8,9
Hematokrit 26
Eritrosit 3,4
Trombosit 150
Leukosit 9,8
MCV 78
MCH 27
MCHC 34

Hitung jenis:
Eosinofil 0
Basofil 0
Neutro batang 0
Neutro segmen 83
Limfosit 10
Monosit 7

Kimia Klinik:
Kol. Total 223
Kol. HDL 33
Kol. LDL 125

Trigliserida 405
9

Glukosa darah
93
sewaktu

Glukosa darah
270
puasa

Natrium 135
Kalium 3,7
Clorida 104
Ureum 29
Creatinin 0,23
Urine Rutin:
Warna Kuning
Kekeruhan Jernih

Pemeriksaan Radiologis
1. Foto thorax PA
Cor : Bentuk dan ukuran normal
Pulmo : Dalam batas normal
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Kesimpulan :Cor dan pulmo dalam batas normal

2. CT scan kepala irisan axial tanpa kontras


Tidak tampak area hypodens atau hyperdens abnormal di parenchym otak
Sistem ventrikel melebar
Sulci dan gyri normal
Tidak tampak deviasi mid line structure
Tidak tampak kalsifikasi abnormal
Tidak tampak fracture
Sinus maxillaris, ethmoidalis, sphenoidalis dan frontalis normal
Orbita normal
Kesimpulan: Normal
10

1.15 Diagnosis Kerja


Meningoensefalitis

1.16 Terapi
O2 1-2 L/I (nasal kanul)
IVFD 4 : 1 30 gtt/i
Injeksi Ceftriaxon 350 mg/12 jam
Injeksi Dexamethason 1 mg/8 jam
Injeksi Ranitidin 10 mg/8 jam
Injeksi novalgin 100 mg/8 jam s/s drip paracetamol 100 mg/8 jam
Selanjutnya maintenance dose fenitoin 25 mg + NaCL 0,9% 20 cc
(habis dalam 20 menit)
Diet sonde dengan 500 kkal dan 18 gram protein dibagi dalam 8 kali
pemberian, evaluasi cairan ngt
Kompres hangat
Diet susu formula 30 cc/jam

1.17 Planning

Pemeriksaan darah rutin, ureum kreatinin


Pasang kateter
Ct Scan Kepala
DPJP Neurologi

1.18 Foto Klinis Pasien


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Meningoensefalitis adalah peradangan pada jaringan otak dan mengenai


selaput otak atau meningens (araknoid dan pia mater) yang disebabkan oleh virus,
bakteri, jamur ataupun protozoa yang dapat terjadi akut ataupun kronis.
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa
adalah radang selaput araknoid dan piameter yang disertai cairan yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa,
Toxoplasma gondii, Ricketsia dan virus. Meningitis purulenta adalah radang
bernanah pada araknoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis.
Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria
meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas
aeuruginosa. (1, 2)

3.2 Epidemiologi
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Mycobakterium
tuberkulosa varian hominis dapat terjadi pada segala umur, yang tersering adalah
pada anak umur 6 bulan - 5 tahun. Insiden meningoensefalitis mumps lebih
banyak ditemui pada laki-laki yaitu sekitar 3-5 kali lebih banyak. Usia yang
tersering ialah tujuh tahun dan 40% berusia di atas 15 tahun. Meningoensefalitis
yang disebabkan oleh Japanese B encephalitis virus banyak menyerang anak
berusia antara 3 tahun dan 15 tahun.Ensefalitis herpes virus dapat terjadi pada
semua umur, paling banyak kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun.
Ensefalitis herpes virus memiliki angka mortalitas 15-20% dengan pengobatan
dan 70-80% tanpa pengobatan.H. influenzae penyebab yang paling sering di
Amerika Serikat, mempunyai insiden tahunan 32-71/100.000 anak di bawah 5
tahun. Insiden ini jauh lebih tinggi pada anak-anak Indian Navayo dan Eskimo
Alaska (masing-masing 173 dan 409/100.000/tahun). Insiden yang tinggi pada
populasi ini mungkin juga menggambarkan status sosio-ekonomi yang rendah,
yang beberapa cara tidak diketahui dapat mengurangi daya tahan terhadap

11
12

mikroorganisme ini. Insiden dengan infeksi H. influenzae juga empat kali lebih
besar pada orang kulit hitam daripada orang kulit putih. (3)
Frekuensi penyakit yang tinggi dilaporkan pada orang-orang
Afrika-Amerika, penduduk asli Amerika, dan masyarakat di daerah pedesaan.
Sekitar 20.000 kasus ensefalitis terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, dengan
ensefalitis herpes simpleks menyebabkan sekitar 10% dari kasus ini.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Tick born encephalitis dengan CFR di
Asia yaitu 20% dan di Eropa 1-5%.Meningoensefalitis yang disebabkan oleh
Ensefalitis Jepang tersebar luas di Asia Timur dari Korea sampai Indonesia, Cina,
India dan Kepulauan Pasifik Barat. Infeksi West Nile Virus meningkat di Amerika
Serikat dengan kasus pertama dilaporkan di New York pada tahun 1999. Tahun
2002 ada 4.161 kasus yang dilaporkan di 41 negara, dan dari catatan 8.500 kasus
dilaporkan pada tahun 2003. Infeksi Plasmodium falciparum tersebar di Afrika,
Amerika Selatan, Asia Tenggara. Taenia Solium tersebar di Amerika Latin dan
Rickettsia di Amerika bagian tenggara. (4)

3.3 Etiologi (2, 5)


Togaviridae
Alfavirus
Virus Ensefalitis Equine Eastern
Virus Ensefalitis Equine Western
Virus Ensefalitis Equine Venezuela
Flaviviridae
Virus Ensefalitis St. Louis
Virus Powassan
Bunyaviridae
Virus Ensefalitis California
Virus LaCrosse
Virus Virus Jamestown Canyon
Paramyxoviridae
Paramiksovirus
Virus Parotitis
Virus Parainfluenza
Morbilivirus
Virus Campak
Orthomyxoviridae
Influenza A
Influenza B
Arenaviridae
13

Virus khoriomeningitis limfostik


Picornaviridae
Enterovirus
Poliovirus
Koksakivirus A
Koksakivirus B
Echovirus
Reoviridae
Orbivirus
Virus demam tengu Colorado
Rhabdoviridae
Virus Rabies
Retroviridae
Lentivirus
Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2
Onkornavirus
Virus limfotropik T manusia tipe 1
Virus limfotropik T manusia tipe 2
Herpesviridae
Herpes virus
Virus Herpes simpleks tipe 1
Virus Herpes simpleks tipe 2
Virus Varisela zoster
Virus Epstein Barr
Sitomegalovirus
Sitomegalovirus manusia
Adenoviridae
Adenovirus
Haemophilus influenza
Neisseria menigitidis
Streptococcus pneumonia
Streptococcus grup B
Bakteri
Listeria monocytogenes
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Mycobacterium tuberkulosa
Protozoa
Plasmodium falciparum
Toxoplasma gondii
Naegleria fowleri (Primary amebic
meningoencephalitis)
Parasit
Granulomatous amebic encephalitis
Helminthes
Taenia solium
Angiostrongylus cantonensis
14

Rickettsia
Rickettsia ( Rocky Mountain)
Fungi
Criptococcus neoformans
Coccidiodes immitis
Fungi Histoplasma capsulatum
Candida species
Aspergillus
Paracoccidiodes

Tabel 3.1 Etiologi meningoensefalitis

3.4 Patogenesis
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui
peredaran darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan
kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau
berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat
melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus
paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak.
Proses peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh
darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami
peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak disertai
perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk dinding yang
kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi
leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini
memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah
dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat
mengakibatkan meningitis. (4, 5)
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus seperti parotitis, morbili,
varisela, dll masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Virus
polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks melalui mulut atau
mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti
gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat infeksi
melalui plasenta oleh virus rubela atau cytomegalovirus. Virus memperbanyak diri
secara local dalam tubuh manusia, kemudian terjadi viremia yang menyerang
susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain melalui saraf
15

perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes
simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar
secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat
menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis
terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak,
peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis dan mikroglia. (4, 5)

3.5 Diagnosis
3.5.1 Manifestasi klinis (2, 6)
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala
meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti
oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal,
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik.
Kualitas kesadaran pasien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran
pasien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran pasien
biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila pasien
sudah mengalami koma maka penilaian GCS (The Glasgow Coma Scale) sangat
penting untuk menilai tingkat kesadaran pasien dan bahan evaluasi untuk
memantau pemberian asuhan keperawatan.
Pada riwayat pasien meliputi demam, muntah, sakit kepala, letargi,
lekas marah, dan kaku kuduk. Kejang terjadi pada lebih kurang 44% anak dengan
penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumonia, 78% oleh
streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa apatis,
letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun)
yaitu demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis
dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk dan tanda Kernig dan
Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi, sakit kepala,
muntah yang diikuti oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi dan
teragitasi, halusinasi, perilaku agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig
dan Brudzinski positif. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan
16

penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali,
malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya dimulai
dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk,
opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan takikardi karena septikimia.
Keluhan utama pada penderita ensefalitis yaitu sakit kepala,
demam, kejang disertai penurunan kesadaran. Ensefalitis yang disebabkan oleh
infeksi Famili Togavirus (memiliki gejala yang sangat bervariasi, mulai dari yang
tanpa gejala sampai terjadinya sindrom demam akut disertai demam berdarah dan
gejala-gejala sistem saraf pusat). Western Equine Virus (WEE) pada umumnya
menimbulkan infeksi yang sangat ringan, gejala pada orang dewasa dapat berupa
letargi, kaku kuduk dan punggung, serta mudah bingung dan koma yang tidak
tetap. Gejala berat pada anak berupa konvulsi, muntah dan gelisah, yang sesudah
sembuh akan menimbulkan cacat fisik dan mental yang berat. Gejala yang
mungkin tampak dengan penyebab Japanese B enchephalitis virus adalah panas
mendadak, nyeri kepala, kesadaran yang menurun, fotofobi, gerak tidak
terkoordinasi, hiperhidrosis.
Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi pada jaringan
otak, juga sering mengenai jaringan selaput otak. Pada umumnya terdapat 4 jenis
atau bentuk manifestasi klinik, yaitu:
Bentuk asimtomatik
Umumnya gejalanya ringan, vertigo, diplopia. Diagnosis hanya ditegakkan
atas pemeriksaan CSS.
Bentuk abortif
Gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan kaku kuduk
ringan. Umumnya terdapat gejala-gejala seperti infeksi saluran pernafasan bagian
atas atau gastrointestinal.
Bentuk fulminan
Bentuk ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir
dengan kematian. Pada stadium akut terdapat demam tinggi, nyeri kepala difus
yang hebat, apatis, kaku kuduk, sangat gelisah dan dalam waktu singkat masuk ke
dalam koma yang dalam.
Bentuk khas ensefalitis
17

Bentuk ini mulai secara bertahap dengan gejala awal nyeri kepala ringan,
demam, gejala infeksi saluran nafas bagian atas. Kemudian muncul tanda radang
Sistem Saraf Pusat (SSP) seperti kaku kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah,
sukar tidur. Selanjutnya kesadaran mulai menurun sampai koma, dapat terjadi
kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi, gangguan bicara,
gangguan mental.
Manifestasi klinis yang disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans
berupa nyeri kepala akut atau subakut, demam dan kadang kejang tetapi jarang
ditemukan defisit neurologis fokal.Gejala awal pada amuba meningoensefalitis
adalah radang hidung dan sakit tenggorokan yang diikuti oleh demam dan sakit
kepala, muntah, kaku kuduk dan gangguan kesadaran yang dapat diikuti oleh
kematian penderita 1 minggu kemudian.
3.5.2 Pemeriksaan penunjang (2, 4, 7)
Pemeriksaan Pungsi Pumbal
a. Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan serebrospinal
yang keruh karena mengandung pus, nanah yang merupakan campuran leukosit
yang hidup dan mati, jaringan yang mati dan bakteri.
b. Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan serebrospinal,
biasanya disertai limfositosis, peningkatan protein, dan kadar glukosa yang
normal.
c. Penyebab dengan Mycobakterium tuberkulosa pada pemeriksaan cairan otak
ditemukan adanya protein meningkat, warna jernih, tekanan meningkat, gula
menurun, klorida menurun.
d. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amuba meningoensefalitis yang diperiksa
secara mikroskopik, mungkin dapat ditemukan trofozoit amuba.
Penyebab dengan Toxoplasma gondii didapat protein yang meningkat, kadar
glukosa normal atau turun. Penyebab dengan Criptococcal, tekanan cairan otak
normal atau meningkat, protein meningkat, kadar glukosa menurun.
Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil, atau terjadi
peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus seperti ini, pungsi lumbal dapat
ditunda sampai kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan melakukan
pemindaian CT scan atau MRI kepala.
18

Pemeriksaan darah
a. Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit, kadar
glukosa, kadar ureum. Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit
dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis, biasanya terdapat kenaikan jumlah
leukosit. Gangguan elektrolit sering terjadi karena dehidrasi. Di samping itu
hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran hormon ADH (Anti Diuretic
Hormon) yang menurun.
b. Pada Mycobacterium tuberculosa, leukosit meningkat sampai 500/mm3 dengan
sel mononuklear yang dominan, pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah
leukosit meningkat sampai 20.000, dan test tuberkulin sering positif.
Pemeriksaan Radiologis
a. CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat menyingkirkan
kemungkinan lesi massa dan menunjukkan edema otak.
b. Untuk menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks, diagnosa dini
dapat dibantu dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk amplifikasi
DNA virus.
c. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti disfungsi otak
difus.

3.6 Diagnosis Banding


Ada banyak penyakit yang juga memiliki tanda-tanda iritasi meningen dan
peningkatan tekanan intrakranial, termasuk meningitis dan ensefalitis karena
infeksi, perdarahan, penyakit rematik dan keganasan. Kejang dikaitkan dengan
meningitis, ensefalitis, dan abses intrakranial atau dapat merupakan gejala sisa
dari edema otak, infark serebral, perdarahan, atau vaskulitis. (2)

3.7 Tatalaksana
Terapi untuk meningoensefalitis bakterial bertujuan mensterilisasi CSS
dengan antibiotik dan mempertahankan perfusi serebral dan sistemik agar tetap
adekuat. Karena telah adanya peningkatan resistensi S. pneumonia terhadap
sediaan penisilin maupun sefalosporin, obat yang sebaiknya diberikan adalah
sefotaksim (atau seftriakson) ditambah vankomisin sampai hasil uji suseptibilitas
19

antibiotik diperoleh. Sefotaksim atau seftriakson merupakan terapi yang adekuat


untuk mengatasi N. meningitidis dan H. influenza tipe a hingga f. Durasi terapi
berkisar 10-14 hari untuk S. pneumonia, 5-7 hari untuk N. meningitidis dan 7-10
hari untuk H. influenza. Sementara pada infeksi oleh virus tidak memiliki terapi
spesifik terkecuali akibat HSV, varisela-zoster, CMV, dan HIV. Terapi yang
dilakukan bersifat suportif dan seringkali diperlukan perawatan di unit intensif,
tatalaksana kejang, dan deteksi berbagai kelainan elektrolit. (2)
Penggunaan terapi deksametason (0,6-0,8 mg/kg/hari, dibagi menjadi 2-3
dosis selama 2 hari) sebagai terapi tambahan dimulai tepat sebelum atau
bersamaan dengan dosis pertama antibiotik. Hal ini secara bermakna akan
mengurangi insidens gangguan fungsi pendengaran dan defisit neurologis akibat
meningitis H. influenza. Selain itu hal ini juga memperbaiki kondisis akhir anak
dan dewasa yang terkena meningitis pneumokokus. (2)
Terapi suportif mencakup terapi terhadap dehidrasi, syok, DIC
(disseminated intravascular coagulation), SIADH (syndrome of inappropriate
antidiuretic hormone), kejang, peningkatan tekanan intrakranial, apneu, aritmia,
dan koma. (2)
BAB IV
ANALISA KASUS

Dari hasil anamnesis terhadap keluarga pasien didapatkan pasien anak laki-
laki, usia 1 tahun 2 bulan dengan keluhan penurunan kesadaran. Selain itu pasien
juga mengalami kejang sejak 3 hari SMRS. Kejang >1 Jam. Kejang bersifat
seluruh tubuh badan kaku. Mata tertutup dan mulut terkunci. Pasien juga
mengalami kejang saat tiba di RSUDZA. Kejang <5 menit. Kejang seluruh tubuh
dan mata mendelik keatas. Penurunan kesadaran terjadi setelah kejang pertama
sampai saat pasien tiba di RSUDZA. Demam juga dialami pasien 5 hari SMRS.
demam mendadak tinggi, demam bersifat naik turun dan demam turun dengan
obat penurun panas. Batuk pilek disangkal. Mencret juga disangkal. BAK dan
terakhir 12 jam SMRS.
. Dari pemeriksaan status neurologis didapatkan tanda rangsangan
meningeal berupa kaku kuduk (+) dan Brudzinki I (+)Brudzinki II (+) serta nilai
GCS 9. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan gejala klinis penyakit
meningoensefalitis dapat berupa gejala-gejala meningitis dan ensefalitis (demam,
sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran,
konvulsi, dan peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik. Pada
anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti
oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi dan teragitasi, halusinasi,
perilaku agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif.
Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi
akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum,
kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung (2, 6)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dalam mendiagnosis pasien ini
adalah CT scan kepala dan foto thoraks. Dari hasil pemeriksaan CT scan kepala
tidak didapatkan system ventrikel melebar dengan kesimpulan hidrosephalus. Dari
hasil foto thoraks didapatkan hasil cor dan pulmo dalam batas normal. Hasil dari
pemeriksaan penunjang yang dilakukan kurang mendukung untuk menegakkan
diagnosis. Dalam kepustakaan dikatakan apabila telah dicurigai sebagai kasus
yang disebabkan oleh bakteri prosedur pungsi lumbal sebaiknya dilakukan kecuali
ditemukan adanya tanda-tanda instabilitas system kardiovaskular atau peningkatan

20
21

tekanan intracranial selain ubun-ubun membonjol (karena risiko terjadi herniasi).


Pemeriksaan cairan CSS rutin mencakup hitung leukosit, hitung jenis, kadar
protein dan glukosa, serta pewarnaan gram. Pemeriksaan hematologi biasanya
menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan radiologi berupa CT scan kepala
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya massa dan pembengkakan
parenkim otak secara difus, sementara pemeriksaan EEG merupakan metode
definitif dan menunjukkan aktivitas gelombang yang lambat dan difus, walaupun
dapat ditemukan kelainan fokal. Adanya focus lesi di lobus temporal pada EEG
atau pencitraan merupakan karakteristik infeksi HSV (2)
Penangganan darurat pada psien ini adalah mencegah kerusakan neuron
dengan mempertahankan jalan nafas dan pemberian oksigen saturasi 100%
disertai dengan pemberian obat anti kejang. Tindakan selanjutnya yang harus
dilakukan adalah pemantauan tanda vital, monitoring EKG dan pernafasan,
pemeriksaan CT Scan bila memungkinkan. Ada beberapa macam obat antiepilepsi
seperti golongan benzodiazepin, fenitoin/fosfofenitoin, barbiturate, dan lain-lain.
bila penderita kejang makan diberikan diazepam dan untuk maintenance cukup
diberikan fenitoin drip. Pada pasien ini tatalaksana kejang (2, 8)
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan cairan IVFD 4 :1 30 tetes
permenit mikro bertujuan untuk cairan yang rendah elektrolit karena fungsi ginjal
pada anak-anak masih belum sempurna. Pemberian ceftriaxone bertujuan untuk
mengatasi infeksi dan mencegah untuk terjadinya infeksi sekunder. Injeksi
dexamethasone bertujuan untuk mengurangi proses peradangan yang disebabkan
oleh infeksi. Pemberian Fenitoin bertujuan untuk mengatasi kejang. Injeksi
ranitidin bertujuan untuk menghambat sekresi asam lambung. Selain itu
penggunan dexamethason memberikan efek terhadap lambung sehingga akan
memperparah kondisi lambung pasien. (8)
2
22

BAB V
KESIMPULAN

Gejala yang timbul pada meningoensefalitis merupakan sekumpulan gejala


yang terjadi pada meningitis dan ensefalitis, disertai gejala ensefalitis seperti
kejang dan terdapat penurunan kesadaran. Diagnose ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik dan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
CT Scan, maupun EEG. Pemeriksaan tersebut juga dilakukan untuk
menyingkirkan diagnose banding

Tatalaksana yang diberikan pada pasien meningoensefalitis berupa resuisitasi


bila keadaan pasien lemah, diberikan juga tatalaksana simtomatik dan yang
terpentig adalah tatalaksana terhadap penyakit pasien ini adalah pemberian
antibiotik. Prognosis umumnya tergantung usia yang terkena. Pada usia tua maka
prognosasemakinjelek
DAFTAR PUSTAKA

1. Bartra P, Gupta S, Gomber S, Saha A. Predictors of meningitis in children


presenting with first febrile seizure. Pediatr Neurl: 2011.

2. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson: Ilmu
Kesehatan Anak Esensial 6th ed. Singapura: Elsevier; 2014
.
3. Ginsberg L. Difficult and recurrent meningitis. Journal of Neurology,
Neurosurgery and Psychiatry: 2004.

4. Corwin E. Buku saku: Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2009.

5. Price AS dan Wilson LM. Patofisiologi Edisi 6 Vol. 2. Penerbit Buku


Kedokteran EGC: Jakarta; 2012.

6. Susana CB, George HM. Bacterial meningitis in children. Department of


Pediatrics, Division of Pediatric Infectious Diseases, University of Texas
Southwestern Medical Center of Dallas. Pediatr Clin N Am 2005.

7. Rusdy G. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press: Yogyakarta.

8. I Putu AY dkk. Audit tatalaksana meningitis bakterialis. Sari Pediatri. 2014.

42

Anda mungkin juga menyukai