Pembimbing :
dr.Endang W. Sp.An,
Disusun oleh :
Muhamad Faishal Rizki 30101307001
Norma ulfa 30101206694
BAB I
PENDAHULUAN
1
kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk
bagi pasien tersebut. 1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.2 Anatomi
3
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars
oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi
kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 5-1). Faring
berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak
menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka
ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring
(pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi
mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan
orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya
aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah
suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9
kartilago (gambar 5-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid,
kornikulata dan kuneiforme. 3
4
Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 5-
3). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi
ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian
posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat
serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan
superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual
(cabang dari saraf divisi mandibula [V3] saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal
(saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior
dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf
glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga
mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf
vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf
laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf
laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang
bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang
lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan
trakhea.3
5
Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf
laringeal superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh
saraf laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita
suara, seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama.3
6
Kerusakan bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal
rekuren dan superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara
flasid dan midposisi mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun
fonasi terganggu berat pada pasien ini, kontrol jalan nafas jarang terjadi masalah.3
Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri
krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari
arteri karotis externa dan menyilang pada membran krikotiroid bagian atas, yang
memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior
ditemukan sepanjang tepi lateral dari membran krikotiroid. Ketika merencanakan
krikotirotomi, anatomi dari arteri krikoid dan arteri tiroid harus dipertimbangkan
tetapi jarang berefek pada praktek klinis. Teknik paling baik adalah untuk tetap
pada garis tengah, antara kartilago krikoid dan tiroid.3
7
6. Pita suara: pada anak, sudut anterior bersinggungan secara tegak lurus dengan
laring
7. Pada anak kartilago laryng dapat dibengkokkan
8. Mukosa pada anak cenderung mudah rusak karena tindakan manipulatif 1,2,4
Pemeriksaan airway
8
Gambar 2. Teknik Jaw Thrust
Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya
dilakukan Jaw Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan
leher.
9
Gambar 4. Abdominal Thrust
10
Gambar 6. Back Blow pada bayi
a. Faringeal airway
Jika manuver triple airway kurang berhasil, maka dapat dipasang
jalan napas mulut-faring lewat mulut dengan Nasopharyngeal
airway atau jalan napas hidung-faring lewat hidung dengan
Oropharyngeal airway
b. Face mask
Mengantar udara/gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem
anestesi ke jalan napas pasien.
c. Laringeal mask airway
Alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang
dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea.
d. Laringoskop dan Intubasi
Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara
langsung supaya kita dapat memasukan pipa trakea dengan baik
dan benar. 2,3
Intubasi
Intubasi adalah memasukan suatu lubang atau pipa trakea
melalui mulut ataupun hidung menuju trakhea dengan tujuan untuk
menjaga jalan napas 3.
Indikasi Intubasi
11
cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia
inguinal dan lain lain 3
Persiapan Intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan
dan posisi pasien. TT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat
ditest dengan menggembungkan balon dengan menggunakan spuit
10 ml. Pilih TT dengan ukuran yang sesuai. Laringoskop harus
diperiksa, blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola
lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap
walaupun bola lampu bergoyang 3
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang
benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan
pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian
belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop
memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis
langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi
kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi
dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi sniffing
yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi
dengan menempatkan kepala diatas bantal. 3
Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut
pasien terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari
orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah
ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade.
Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung
blade lurus menutupi epiglotis. Handle diangkat menjauhi pasien
secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara.
Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade serta pengungkitan
dari gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan kanan, dan
ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi).
12
Balon TT harus berada dalam trakea bagian atas tapi dibawah
laring. Langingoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari
kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang
dibutuhkan agar tidak ada kebocoran selama ventilasi tekanan
positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada
mukosa trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat
dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat.3
13
tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch
sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan
ada diatas level kartilago krikoid, karena lokasi intralaringeal yang
lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan
meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa
dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan
kecuali dalam ICU. 3
14
Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan
intubasi kembali karena hasilnya akan sama. Perubahan harus
dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan, seperti mengatur
kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan
mandrin, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau
meminta bantuan dokter anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit
untuk ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan nafas
yang lain (contoh LMA, combitube, krikotirotomi dengan jet
ventilasi, trakeostomi). Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA
untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk algoritma
rencana terapi. 3
Intubasi Nasotrakeal
15
kesulitan memasukkan ujung pipa menuju pita suara mungkin
difasilitasi dengan forcep Magil, yang dilakukan dengan hati-hati
agar tidak merusakkan balon. Memasukkan TT melalaui hidung
atau pemasangan kateter nasogastrik berbahaya pada pasien dengan
trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke
intrakranial. 3
Komplikasi Intubasi
1. Selama intubasi:
a. Trauma gigi-geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis (hipersekresi dan takikardia)
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esofagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus 5
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glotis-subglotis
e. Infeksi laring, faring trakea 5
16
Gambar 9. Teknik Suction
4) Trakeostomi
`Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan
atay anterior trakea untuk bernapas. Menurut letak stoma, traleostomi
dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini
ada;;ah cincin trakea ketiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan
tindakan maka trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi darurat, 2)
trakeostomi berencana. Syatan kulit trakeostomi dapat vertikal di garis
tengah leher mulai di bawah krikoid sampai fosa suprasternal ata jika
membuat sayatan horizontal dilakuakn pada pertengahan jarak antara
kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kira-kira 2 jari dibawah
krikoid orang dewasa. 6
5) Krikotirotomi
17
Merupakan tindakan penyayatan pada pasien dalam keadaan gawat
napas. Dengan cara membelah membran krikotiroid, diantara tulang rawan
tiroid dan kartilago krikoid 6
18
a. Tumor mendesak trakea
b. Benda asing bronkus
c. Spasme bronkustumor bronkus 7
4. Difficult Airway
4.1 Definisi
Dibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang
terakhir lebih dari 10 menit
Kegagalan intubasi
19
4.3 Etiologi & Faktor Resiko
Tabel 1. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas.
Kongenital
Sindroma Treacher Collins Defek telinga dan mata, hipoplasi malar dan mandibula,
(dysostosis mandibulofacial) mikrostomia, atresia choane
Sindroma Goldenhars Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan mandibula;
(okulo-aurikula-vertebral) oksipitalisasi tulang atlas
Sindrom Meckel
20
Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis
Infeksi
Supraglotis
Edema laryng
Croup
Edema laryng
Abses (intraoral,
retrofaringeal) Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus
Rheumatoid arthritis
Ankilosis sendi temporomandibula, artritis krikoarytenoid,
Spondilitis ankilosis
deviasi laryng, terbatasnya gerakan leher
21
Tumor Jinak temporomandibula, terbatasnya gerakan leher.
Kistik higroma,lipoma,
adenoma, goiter
Stenosis atau distorsi jalan napas
Tumor Ganas
Obesitas
4.5 Diagnosis
Anamnesis
22
terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas.
Tanda dan gejala yang berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan
misalnya snoring atau mengorok (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif),
gigi terkikis, perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan
leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi sendi
temporo-mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama
setelah pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat ,
berhubungan dengan penyulit tatalaksana jalan napas. 9
Pemeriksaan Fisik
Penilaian Kesulitan Ventilasi: (OBESE)
Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
Beard
Elderly (> 55 tahun)
Snoring
Edentulous 7
Mallampati
23
Klasifikasi Klinis
24
M = Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers3 - Fingers Mouth
Opening
25
Jika score pasien 8 atau lebih, maka memungkinkan
difficult airway
Pemeriksaan Penunjang
Radiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai
keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan
napas.
26
-
Endotrakea tube berbagai macam ukuran.
-
Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan
atau tanpa lubang tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan
mangil tang dirancang khusus untuk dapat memanipulasi bagian
distal endotrakeal tube.
-
Peralatan Intubasi fiberoptik.
-
Peralatan Intubasi retrograd.
-
Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya
sebuah jet transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan
stylet ventilasi, LMA, dan combitube.
-
Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat
(misalnya, cricothyrotomy).
-
Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf). 10
(2) Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang adanya atau
dugaan kesulitan jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan
kesulitan jalan nafas, dan risiko khusus yang kemungkinan dapat terjadi
(3) Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai asisten
dalam manajemen kesulitan jalan nafas,
(4) Melakukan preoksigenasi dengan sungkup wajah sebelum memulai
manajemen kesulitan jalan nafas,
(5) Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh proses manajemen
kesulitan jalan nafas. Dapat menggunakan nasal cannule, facemask, LMA.
8
1. Intubasi sadar.
27
kena plika vocalis. Diazepam 0,1- 0,2 mg/kg iv dapat diberikan untuk
mengurangi stres penderita dan memudahkanintubasi. 10
28
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir
bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor
berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang
dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi
pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah
dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring.
Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan
untuk memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah,
perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal dari
balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan
spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim
balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi
anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan
tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba
29
memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA
lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh
epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak,
maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan
laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada
kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan sebelum
insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA
melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap regurgitasi
lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai
reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk
atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai
lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia
dalam berbagai ukuran. 3
30
restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih
besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien
dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi,
bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam
trakea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian bronkospasme
lebih kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai
penganti untuk trakeal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu
terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat
diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan
angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan
sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet,
fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm). 3
31
6. Laryngoscopic bilah rigid dari berbagai desain dan ukuran,
32
Dalam beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang
tidak stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular joint, atau
dengan kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas-
laringoskopi langsung dengan penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak
dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibel mungkin
visualisasi tidak langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa
situasi dimana direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB yang dibuat
dari fiberglass ini mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-
contohnya sorotan cahaya akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah
pada sisi yang berlawanan. Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-
masing berisi 10.000 15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari
sumber cahaya ( sumber cahaya bundel) yang terdapat diluar alat atau berada
dalam handle yang memberikan gambaran resolusi tinggi. 3
33
mudah. O2 dapat diinsuflasi melalui ujung suction dan saluran untuk
aspirasi dari FOB untuk memperbaiki oksigenasi dan membuang sekret
dari ujung tip. 3
Pilihan lain, nasal airway ukuran besar (ukuran 36F) dapat dipasang dalam
lubang hidung kolateral. Breathing sirkuit dapat langsung dihubungkan pada
ujung dari nasal airway untuk memberikan O 2 100% selama laringoskopi. Jika
pasien tidak sadar dan tidak bernafas spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi
dilakukan melalui na sal airway tunggal. Bila teknik ini digunakan adekuat
ventilasi dan oksigenasi harus di konfirmasi dengan capnograph dan pulse
oximetry. TT yang telah diberi pelumas dan dimasukkan ke dalam lubang hidung
lainnya sepanjang nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi pelicin
dimasukan ke dalam lubang TT. Selama endoskopi, jangan dimajukan jika hanya
dinding dari TT atau membran mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk
mempertahankan tangkai bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala dari
bronkhoskop diputar secara langsung, ujung distal akan bergerak dengan derajat
yang sama. Ketika ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT, epiglotis dan
glotis harus tampak. Ujung dari bronchoskop dimanipulasi untuk melewati pita
suara yang telah abduksi. 3
34
Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat
bernafas adekuat dan pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi
tidak adekuat, FOB ditarik danlakukan ventilasi dengan face mask. Minta
asisten untuk jaw thrust atau lakukan tekanan pada krikoid dapat
membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika pasien bernafas spontan, tarik
lidah dengan klem dapat memfasilitasi intubasi. 3
Sekali dalam trakea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya
cincin trakhea dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di
dorong dari FOB. Sudut sekitar cartilago arytenoid dan epiglotis dapat
mencegah mudahnya memasukan pipa. Penggunaan pipa yang berkawat
baja biasanya menurunkan masalah ini disebabkan lebih besarnya
fleksibilitas dan sudut pada bagian distal lebih tumpul. Posisi TT yang
tepat dikonfirmasi dengan melihat ujung dari pipa diatas karina sebelum
FOB ditarik. 3
35
5.4 Akibat dari kesulitan jalan napas
Akibat dari kesultan jalan napas adalah:
Akibat yang dapat terjadi dari kesulitan jalan napas, adalah:
a. kematian,
b. kerusakan otak,
c. cardiac arrest,
d. trauma jalan napas,
e. kerusakan gigi.8
36
retardasi mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia.
Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi awake mungkin
membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth,
induksi inhalasi) 8
a) Pilihan lain termasuk: operasi menggunakan masker wajah atau supraglottic airway (SGA) (Misalnya,
LMA, ILMA, laringeal tube), infiltrasi anestesi lokal atau blokade saraf regional.
b) Akses jalan napas invasif meliputi bedah atau jalan napas percutaneous, jet ventilation, dan intubasi
retrograde.
c) Pendekatan alternatif : laringoskopi dengan video, bilah laringoskop alternatif, SGA (LMA atau
ILMA) sebagai saluran intubasi (dengan atau tanpa bimbingan serat optik), intubasi dengan serat
optik , intubasi dengan stylet atau tabung changer, light wand, dan blind oral or nasal intubation.
d) Pertimbangkan kembali persiapan pasien untuk intubasi sadar atau membatalkan operasi.
37
LMA. Jika berhasil, dilanjutkan jalur nonemergensi ASA-DAA dan dilakukan
intubasi trakea.
5.6 Ekstubasi
38
Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko aspirasi
atau yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah pencabutan TT. 3
39
DAFTAR PUSTAKA
40
8. ASA. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway. The
American Society of Anesthesiology. V 118. No. 2. P. 1-20
9. Ivan Atjeh. Difficult Airway. Available at: http://ivan-
th
atjeh.blogspot.com/search/label/Difficult%20Airway. Accesed on 5 March 2014.
10. Soenarjo, Marowoto ,et al,2010. Anestesiologi. Bagian Anesteiologi dan
terapi intensif Fakultas Kedokteran Undip/RSUP Dr. Kariadi .Semarang.
41