Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Osteoporosis dapat dijumpai tersebar di seluruh dunia dan sampai
saat ini masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama
di negara berkembang. Di Amerika Serikat osteoporosis menyerang 20-25
juta penduduk, 1 diantara 2-3 wanita post-menopause dan lebih dari 50%
penduduk di atas umur 75-80 tahun. Masyarakat atau populasi
osteoporosis yang rentan terhadap fraktur adalah populasi lanjut usia yang
terdapat pada kelompok di atas usia 85 tahun, terutama terdapat pada
kelompok lansia tanpa suatu tindakan pencegahan terhadap osteoporosis.
Proses terjadinya osteoporosis sudah di mulai sejak usia 40 tahun dan pada
wanita proses ini akan semakin cepat pada masa menopause.
Sekitar 80% penderita penyakit osteoporosis adalah wanita,
termasuk wanita muda yang mengalami penghentian siklus menstruasi.
Hilangnya hormon estrogen setelah menopause meningkatkan risiko
terkena osteoporosis. Penyakit osteoporosis yang kerap disebut penyakit
keropos tulang ini ternyata menyerang wanita sejak masih muda. Tidak
dapat dipungkiri penyakit osteoporosis pada wanita ini dipengaruhi oleh
hormon estrogen. Namun, karena gejala baru muncul setelah usia 50
tahun, penyakit osteoporosis tidak mudah dideteksi secara dini.
Meskipun penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang wanita,
pria tetap memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis. Sama seperti pada
wanita, penyakit osteoporosis pada pria juga dipengaruhi estrogen.
Bedanya, laki-laki tidak mengalami menopause, sehingga osteoporosis
datang lebih lambat. Jumlah usia lanjut di Indonesia diperkirakan akan
naik 414 persen dalam kurun waktu 1990-2025, sedangkan perempuan
menopause yang tahun 2000 diperhitungkan 15,5 juta akan naik menjadi
24 juta pada tahun 2015. Dapat dibayangkan betapa besar jumlah
penduduk yang dapat terancam penyakit osteoporosis.

1
Beberapa fakta seputar penyakit osteoporosis yang dapat
meningkatkan kesadaran akan ancaman osteoporosis berdasar Studi di
Indonesia:
Prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari 70 tahun untuk wanita
sebanyak 18-36%
sedangkan pria 20-27%, untuk umur di atas 70 tahun untuk wanita
53,6%, pria 38%.
Lebih dari 50% keretakan osteoporosis pinggang di seluruh dunia
kemungkinan terjadi di Asia pada 2050
Mereka yang terserang rata-rata berusia di atas 50 tahun, Satu dari tiga
perempuan dan satu dari lima pria di Indonesia terserang osteoporosis
atau keretakan tulang.
Dua dari lima orang Indonesia memiliki risiko terkena penyakit
osteoporosis. (depkes, 2006)

Berdasar data Depkes, jumlah penderita osteoporosis di Indonesia


jauh lebih besar dan merupakan Negara dengan penderita osteoporosis
terbesar ke 2 setelah Negara Cina.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi Osteoporosis?
2. Apakah jenis-jenis Osteoporosis?
3. Bagaimana anatomi fisiologi pada tulang?
4. Apakah etiologi Osteoporosis?
5. Bagaimanakah patofisiologi Osteoporosis?
6. Apakah manifestasi klinis Osteoporosis?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostic pada Osteoporosis?
8. Bagaiamana penatalaksanaan pada Osteoporosis?
9. Apa sajakah komplikasi Osteoporosis?
10. Bagaimana penelitian pada kasus Osteoporosis?

2
C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui definisi Osteoporosis
2. Mahasiswa mampu mengetahui klasifikasi Osteoporosis
3. Mahasiswa mampu mengetahui anatomi fisiologi tulang
4. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi Osteoporosis
5. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi Osteoporosis
6. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi klinis Osteoporosis
7. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan diagnostic Osteoporosis
8. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan Osteoporosis
9. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi Osteoporosis
10. Mahasiswa mampu mengetahui penelitian pada kasus Osteoporosis

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan massa
tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostatis normal,
kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang,
menyebabkan penurunan massa tulang total. Tulang secara progresif
mengalami porus, rapuh dan mudah fraktur. (brunner and suddarth, 2002)
Osteoporosis adalah penyakit tulamg sisitemik yang ditandai oleh
penurunan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan
mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH)
mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik
yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah
patah ( Sudoyo, 2009

B. Klasifikasi
Bila disederhanakan, terdapat dua jenis osteoporosis, yaitu
osteoporosis primer dansekunder.
1. Osteoporosis primer adalah kehilangan massa tulang yang terjadi
sesuai dengan proses penuaan. Sampai saat ini osteoporosis primer
masih menduduki tempat utama karena lebih banyak ditemukan
dibanding dengan osteoporosis sekunder. Proses ketuaan pada wanita
menopause dan usia lanjut merupakan contoh dari osteoporosis primer.
2. Osteoporisis sekunder didefinisikan sebagai kehilangan massa tulang
akibat hal hal tertentu. mungkin berhubungan dengan kelainan
patologis tertentu termasuk kelainan endokrin, epek samping obat
obatan, immobilisasi, Pada osteoporosis sekunder, terjadi penurunan
densitas tulang yang cukup berat untuk menimbulkan fraktur traumatik
akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan steroid, artritis reumatoid,
kelainan hati/ginjal kronis, sindrom malabsorbsi, mastositosis sistemik,

4
hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, varian status hipogonade, dan
lain-lain.
disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan :
a) Kelainan hepar
b) Kegagalan ginjal kronis
c) Kurang gerak
d) Kebiasaan minum alkohol
e) Pemakai obat-obatan atau corticosteroid
f) Kelebihan kafein
g) Merokok

3. Osteoporosis Kausal juga dapat dikelompokkan berdasarkan


penyebab penyakit atau keadaan dasarnya :
a) Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kurangnya hormon
estrogen (hormon utama pada perempuan ), yang membantu
pengangkutan kalsium ke- dalam tulang pada perempuan. Biasanya
gejala timbul pada peempuan yang berusia antara 51 75 tahun,
tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Tidak semua
perempuan memiliki risiko yang sama untuk menderita
osteoporosis postmenopausal, perempuan kulit putih dan daerah
timur lebih rentan menderita penyakit ini daripada kulit hitam.
b) Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari
kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan
ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang ( osteoklas )
dan pembentukan tulang baru ( osteoblas ). Senilis berarti bahwa
keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut yaitu terjadi pada orang
orang berusia di atas 70 tahun dan 2 kali lebih sering pada
perempuan.
c) Kurang dari 5 % klien osteoporosis juga mengalami osteoporosis
sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat
obatan. Penyakit ini disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan

5
kelainan hormonal ( terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal ) serta
obat obatan ( misalnya kortikosteroid, barbiturate, antikejang,
dan hormone tiroid yang berlebihan ). Pemakaian alcohol yang
berlebihan dan merokok dapat memperburuk keadaan ini.
d) Osteoporosis juvenile idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak anak dan
dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormone yang
normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki penyebab
yang jelas dari rapuh yang jelas.

C. Anatomi Fisiologi
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh
dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakkan rangka tubuh.
Ruang di tengah tulang-tulang tertentu berisi jaringan hematopoietik, yang
membentuk berbagai sel darah. Tulang juga merupakan tempat primer
untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fosfat. Komponen-
komponen nonselular utama dar jaringan tulang adalah mineral-mineral
dan matriks organik (kolagen dan proteoglikan). Kalsium dan fosfat
membentuk suatu garam kristal (hidroksiapatit), yang tertimbun pada
matriks kolagen dan proteoglikan. Mineral-mineral ini memampatkan
kekuatan tulang. Matriks organik tulang disebut juga sebagai osteoid.
Materi organik lain yang menyusun tulang berupa proteoglikan seperti
asam hialuronat.
Bagian-bagian khas dari sebuah tulang panjang :
a. Diafisis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk
silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki
kekuatan yang besar. Sumsum kuning terdapat pada diafisis, terutama
terdiri dari sel-sel lemak.
b. Metafisis, adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir
batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang

6
spongiosa yang mengandung sel-sel hematopoietik. Sumsum merah
juga terdapat di bagian epifisis dan diafisis tulang.
c. Lempeng epifisis, adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-
anak, dan bagian ini akna menghilang pada tulang dewasa. Bagian
epifisis langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang yang bersatu
dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang berhenti.
Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut perioteum
yang mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi yang berperan
dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan
tulang panjang mempunyai arteria nutrisi khusus. Lokasi dan keutuhan
dari arteri-arteri inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses
penyembuhan suatu tulang yang patah.

D. Etiologi
Faktor-faktor etiologi yang mempengaruhi pengurangan massa
tulang pada usia lanjut adalah :
1. Determinan Massa Tulang
a) Faktor genetik
Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat
kepadatan tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup
besar dan yang lain kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam pada
umumnya mempunyai struktur tulang lebih kuat/berat dari pacia
bangsa Kaukasia. Jacii seseorang yang mempunyai tulang kuat
(terutama kulit Hitam Amerika), relatif imun terhadap fraktur
karena osteoporosis. Semakin terang kulit, semakin tinggi risiko
terkena osteoporosis. Karena itu, ras eropa utara (swedia,
norwegia, denmark) dan asia berisiko lebih tinggi terkena
osteoporosis dibanding ras kulit hitam. Ras afrika memiliki massa
tulang lebih padat di banding ras kulit putih amerika. Mereka juga
mempunyai otot yang lebih besar sehingga tekanan pada tulang

7
pun besar. Ditamabah dengan kadar hormon estrogen yang lebih
tinggi pada ras afrika.
b) Faktor mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping
faktor genetik. Bertambahnya beban akan menambah massa tulang
dan berkurangnya beban akan mengakibatkan berkurangnya massa
tulang. Dengan perkataan lain dapat disebutkan bahwa ada
hubungan langsung dan nyata antara massa otot dan massa tulang.
Kedua hal tersebut menunjukkan respons terhadap kerja mekanik
Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan massa otot besar
dan juga massa tulang yang besar.
Sebagai contoh adalah pemain tenis atau pengayuh becak, akan
dijumpai adanya hipertrofi baik pada otot maupun tulangnya
terutama pada lengan atau tungkainya; sebaliknya atrofi baik pada
otot maupun tulangnya akan dijumpai pada pasien yang harus
istrahat di tempat tidur dalam waktu yang lama, poliomielitis atau
pada penerbangan luar angkasa. Walaupun demikian belum
diketahui dengan pasti berapa besar beban mekanis yang
diperlukan dan berapa lama untuk meningkatkan massa tulang di
sampihg faktor genetic.
c) Faktor makanan dan hormon
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi
yang cukup (protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan
mencapai maksimal sesuai dengan pengaruh genetik yang
bersangkutan. Pemberian makanan yang berlebih (misainya
kalsium) di atas kebutuhan maksimal selama masa pertumbuhan,
disangsikan dapat menghasilkan massa tulang yang melebihi
kemampuan pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai dengan
kemampuan genetiknya.
2. Determinan Penurunan Massa Tulang
a) Faktor genetik

8
Faktor genetik berpengaruh terhadap risiko terjadinya fraktur.
Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah
mendapat risiko fraktur dari pada seseorang dengan tulang yang
besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat
dipakai sebagai ukuran tulang normal. Setiap seseorang
mempunyai ketentuan normal sesuai dengan sifat genetiknya serta
beban mekanis dan besar badannya. Apabila seseorang dengan
tulang yang besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang
(osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka seseorang
tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih banyak dari pada
seseorang yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama.
b) Faktor mekanis
Di lain pihak, faktor mekanis mungkin merupakan faktor yang
terpenting dalarn proses penurunan massa tulang schubungan
dengan lanjutnya usia. Walaupun demikian telah terbukti bahwa
ada interaksi panting antara faktor mekanis dengan faktor nutrisi
hormonal. Pada umumnya aktivitas fisik akan menurun dengan
bertambahnya usia; dan karena massa tulang merupakan fungsi
beban mekanis, massa tulang tersebut pasti akan menurun dengan
bertambahnya usia.
c) Kalsium
Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam
proses penurunan massa tulang sehubungan dengan bertambahnya
usia, terutama pada wanita post menopause. Kalsium, merupakan
nutrisi yang sangat penting. Wanita-wanita pada masa peri
menopause, dengan masukan kalsiumnya rendah dan absorbsinya
tidak bak, akan mengakibatkan keseimbangan kalsiumnya menjadi
negatif, sedang mereka yang masukan kalsiumnya baik dan
absorbsinya juga baik, menunjukkan keseimbangan kalsium
positif. Dari keadaan ini jelas, bahwa pada wanita masa menopause
ada hubungan yang erat antara masukan kalsium dengan

9
keseimbangan kalsium dalam tubuhnya. Pada wanita dalam masa
menopause keseimbangan kalsiumnya akan terganggu akibat
masukan serta absorbsinya kurang serta eksresi melalui urin yang
bertambah. Hasil akhir kekurangan/kehilangan estrogen pada masa
menopause adalah pergeseran keseimbangan kalsium yang negatif,
sejumiah 25 mg kalsium sehari.
d) Protein
Protein juga merupakan faktor yang penting dalam
mempengaruhi penurunan massa tulang. Makanan yang kaya
protein akan mengakibatkan ekskresi asam amino yang
mengandung sulfat melalui urin, hal ini akan meningkatkan
ekskresi kalsium. Pada umumnya protein tidak dimakan secara
tersendiri, tetapi bersama makanan lain. Apabila makanan tersebut
mengandung fosfor, maka fosfor tersebut akan mengurangi
ekskresi kalsium melalui urin. Sayangnya fosfor tersebut akan
mengubah pengeluaran kalsium melalui tinja. Hasil akhir dari
makanan yang mengandung protein berlebihan akan
mengakibatkan kecenderungan untuk terjadi keseimbangan
kalsium yang negative.
e) Estrogen.
Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal
ini disebabkan oleh karena menurunnya eflsiensi absorbsi kalsium
dari makanan dan juga menurunnya konservasi kalsium di ginjal.
f) Rokok, kopi dan Alkohol
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung
akan mengakibatkan penurunan massa tulang, lebih-lebih bila
disertai masukan kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh
merokok terhadap penurunan massa tulang tidak diketahui, akan
tetapi kafein dapat memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin
maupun tinja. Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah

10
yang sering ditemukan. Individu dengan alkoholisme mempunyai
kecenderungan masukan kalsium rendah, disertai dengan ekskresi
lewat urin yang meningkat. Mekanisme yang jelas belum diketahui
dengan pasti .
3. Osteoporosis akibat pemakaian steroid
Harvey Cushing, lebih dari 50 tahun yang lalu telah mengamati
bahwa hiperkortisolisme berhubungan erat dengan penipisan massa
tulang. Sindroma Cushing relatif jarang dilaporkan. Setelah pemakaian
steroid semakin meluas untuk pengobatan pelbagai kondisi penyakit,
efek samping yang cukup serius semakin sering diamati. Diperkirakan,
antara 30% sampai 50% pengguna steroid jangka panjang mengalami
patah tulang (atraumatic fracture), misalnya di tulang belakang atau
paha. Penelitian mengenai osteoporosis akibat pemakaian steroid
menghadapi kendala karena pasien-pasien yang diobati tersebut
mungkin mengalami gangguan sistemik yang kompleks. Misalnya,
klien artritis rheumatoid dapat mengalami penipisan tulang (bone loss)
akibat penyakit tersebut atau karena pemberian steroid. Risiko
osteoporosis dipengaruhi oleh dosis dan lama pengobatan steroid,
namun juga terkait dengan jenis kelamin dan apakah klien sudah
menopause atau belum. Penipisan tulang akibat pemberian steroid
paling cepat berlangsung pada 6 bulan pertama pengobatan, dengan
rata-rata penurunan 5% pada tahun pertama, kemudian menurun
menjadi 1%-2% pada tahun-tahun berikutnya. Dosis harian prednison
7,5 mg per hari atau lebih secara jelas meningkatkan pengeroposan
tulang dan kemungkinan fraktur. Bahkan prednison dosis rendah (5 mg
per hari) telah terbukti meningkatkan risiko fraktur vertebra.

E. Patofisiologi
Remodeling tulang normal pada orang dewasa akan meningkatkan
massa tulang sampai sekitar usia 35 tahun. Genetik, nutrisi, gaya hidup
(merokok, minum kopi), dan aktifitas fisik mempengaruhi puncak massa

11
tulang. Kehilangan karena usia mulai segera setelah tercapai puncaknya
massa tulang. Menghilangnya estrogen pada saat menopause
mengakibatkan percepatan reasorbsi tulang dan berlangsung terus selama
tahun-tahun pasca menopause.
Faktor nutrisi mempengaruhi pertumbuhan osteoporosis. Vitamin
D penting untuk absorbsi kalsium dan untuk mineralisasi tulang normal.
Diet mengandung kalsium dan vitamin D harus mencukupi untuk
mempertahankan remodelling tulang dan fungsi tubuh. Asupan kalsium
dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun
mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis.

F. Manifestasi Klinis
Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata. Ciri-ciri khas nyeri
akibat fraktur kompressi pada vertebra (paling sering Th 11 dan 12 )
adalah:
Nyeri timbul mendadak
Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang
Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur
Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan dan akan bertambah oleh
karena melakukan aktivitas
Deformitas vertebra thorakalis Penurunan tinggi badan

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Radiologis
Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau masa tulang yang
menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat
korpus vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisa
korteks dan hilangnya trabekula transfersal merupakan kelainan yang
sering ditemukan. Lemahnya korpus vertebra menyebabkan
penonjolan yang menggelembung dari nukleus pulposus ke dalam
ruang intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf.

12
2. CT-Scan
CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang
mempunyao nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up.
Mineral vertebra diatas 110 mg/cm3 baisanya tidak menimbulkan
fraktur vetebra atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah
65 mg/cm3 ada pada hampir semua klien yang mengalami fraktur.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang
nyata.
Kadar HPT (pada pascamenoupouse kadar HPT meningkat) dan Ct
(terapi ekstrogen merangsang pembentukkan Ct).
Kadar 1,25-(OH)2-D3 absorbsi Ca menurun.
Eksresi fosfat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat
kadarnya.

H. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan pada klien dengan osteoporososis
meliputi :
1. Pengobatan
a. Perempuan yang menderita osteoporosis, harus mengonsumsi
kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang mencukupi dan
Bifosonat juga digunakan untuk mengobati osteoporosis.
b. Perempuan pascamenopause yang menderita osteoporosis juga bisa
mendapatkan estrogen ( biasanya bersama dengan progesterone)
atau alendronat, yang dapat memperlambat atau menghentikan
penyakitnya. Sebelum terapi sulih estrogen dilakukan,biasanya
dilakukan pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan payudara
dengan mammogram, pemeriksaan kandungan, serta PAP smear
untuk mengetahui apakah ada kanker atau tidak. Terapi ini tidak di
anjurkan pada perempuan yang pernah mengalami kanker payudara
dan kanker kandungan (ndometrium).

13
Pemberian alendronat, yang berfungsi untuk :
a) Mengurangi kecepatan penghancuran tulang pada perempuan
pasca menopause.
b) Meningkatkan massa tulang di tulang belakang dan tulang
panggul.
c) Mengurangi angka kejadian patah tulang.
c. Pemberian Kalsitonin, untuk diberikan kepada orang yang
menderita patah tulang belakang yang disertai nyeri. Obat ini bisa
diberikan melalui suntikan atau melalui semprot hidung.
d. Laki laki yang menderita osteoporosis biasanya menapatkan
kalsium dan tambahan vitamin D
e. Pemberian Nutrilife-deer Velvet merupakan alternative terkini
yang bisa mengatasi osteoporosis. Nutrilife-deer Velvet yang
terbuat dari tanduk Rusa Merah New Zealand, terbukti bermanfaat
untuk mencegah osteoporosis dan telah digunakan selama lebih
dari 10.000 tahun oleh China, Korea, dan Rusia. Obat ini
mengandung delapan factor pertumbuhan, prostaglandin, asam
lemak, asam amino, dan komponen dari kartilago, dan dosisnya
1x1/kapsul 1 hari.
f. Pengobatan patah Tulang pada Osteoporosis. Patah tulang panggul
biasanya di atasi dengan tindakan pembedahan. Patah tulang
pergelangan biasanya digips atau di perbaiki dengan pembedahan.
Jika terjadi penipisan tulang belakang disertai nyeri panggung yang
hebat, dapat di berikan obat pereda nyeri, di pasang supportive
back brace, dan dilakukan terapi fisik dengan mengompres bagian
yang nyeri dengan menggunakan air hangat atau dingin selama 10
20 menit.
g. Meningkatkan pembentukan tulang, obat-obatan yg dapat
meningkatkan pembentukan tulan adalah Na-fluorida dan steroid
anabolic

14
h. Menghambat resobsi tulang, obat-obatan yang dapat mengahambat
resorbsi tulang adalah kalsium, kalsitonin, estrogen dan difosfonat.
2. Pencegahan
Pencegahan sebaiknya dilakukan pada usia pertumbuhan/dewasa
muda, hal ini bertujuan:
a. Mencapai massa tulang dewasa Proses konsolidasi) yang optimal
b. Mengatur makanan dan life style yg menjadi seseorang tetap bugar
seperti:
a) Diet mengandung tinggi kalsium (1000 mg/hari)
b) Latihan teratur setiap hari
c) Hindari :
Makanan Tinggi protein
Minum kopi
Minum Antasida
Merokok
Mengandung Alumunium
Minum Alkohol
d) Pola hidup sehat antara lain cukup tidur, olahraga teratur
(seperti jalan kaki, berenang, senam aerobic).

I. Komplikasi
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi
panas, rapuh dan mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan
fraktur. Bisa terjadi fraktur kompresi vertebra torakalis dan lumbalis,
fraktur daerah kolum femoris dan daerah trokhanter, dan fraktur colles
pada pergelangan tangan .Penurunan fungsi, dan Nyeri dengan atau tanpa
fraktur yang nyata.

15
BAB III
PENELITIAN OSTEOPOROSIS
A. HASIL PENELITIAN 1
HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG OSTEOPOROSIS DENGAN
PENCEGAHAN OSTEOPOROSIS PADA LANJUT USIA DI DUSUN
PUHREJO DESA TULUNGREJO KECAMATAN PARE
KABUPATEN KEDIRI
Tulang keropos (osteoporosis) dan penuaan dini merupakan masalah
kesehatan yang menakutkan bagi hampir setiap orang dewasa ini. Menurut Siti
Fadilah Supari, secara keseluruhan percepatan proses penyakit tulang keropos
pada wanita Indonesia sebesar 80% dan kaum pria 20% seiring berubahnya gaya
hidup masyarakat Indonesia, maka bahaya penyakit itu semakin tinggi akibat
kurangnya melakukan olahraga, nutrisi, merokok, dan mengkonsumsi alkohol.
Menurut WHO (1994), osteoporosis diseluruh dunia mencapai 1,7 juta orang dan
angka ini diperkirakan akan meningkat. Di Indonesia prevalensi osteoporosis
untuk umur kurang dari 70 tahun pada wanita sebanyak 18-36%, sedangkan pria
20-27%, untuk umur diatas 70 tahun pada wanita 53,6%, pria 38%. Jumlah
penderita osteoporosis di Indonesia jauh lebih besar dari target yang ditetapkan
Depkes RI yang mematok angka sebesar 19,7% dari seluruh penduduk. Menurut
data yang diperoleh dari Puskesmas Pare Kecamatan Pare selama 3 bulan terakhir
didapatkan data kunjungan lansia yang sakit terdapat 100 orang. Pada buku data
kependudukan yang di peroleh dari kantor Desa Tulungrejo terdapat 39 lansia di
Dusun Puhrejo Desa Tulungrejo Kecamatan Pare. Terdapat 2% penderita
osteoporosis dari 39 lansia ditempat penelitian. Dampak yang timbul akibat
osteoporosis adalah nyeri persendian yang berakibat keterbatasan aktivitas.
Berbagai kejadian dan dampak osteoporosis tersebut harus diketahui setiap orang
terutama yang berusia menjelang usia tua.
Desa Tulungrejo Kecamatan Pare Kabupaten Kediri sebanyak 39 lansia. Jumlah sampel
yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah sejumlah 35 orang responden yang dipilih
secara acak. Pengambilan data penelitian dilakukan pada Bulan April 2009 dengan
menggunakan kuesioner penelitian yang memuat pertanyaan tentang pengetahuan dan

16
perilaku pencegahan osteoporosis. Penelitian dilakukan dengan mengunjungi rumah-
rumah responden (door to door) dengan menggunakan sumber data dari kepala Dusun.
Analisis data dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengolahan kuesioner menjadi
data (proses editing, coding dan tabulating) dan selanjutnya dilakukan presentasi data
menggunakan tabel dan grafik. Untuk mencapai tujuan penelitian, dilakukan uji korelasi
dua variabel dengan menggunakan korelasi koefisien kontingensi (contingency
coefficient), yang dilakukan dengan bantuan computer. Etika penelitian yang diperhatikan
untuk menyelenggarakan penelitian ini meliputi kerahasiaan (confidentiality) dan
ketanpanamaan (anonymity).

B. HASIL PENELITIAN 2

HUBUNGAN ANTARA POLA KONSUMSI PANGAN DAN AKTIVITAS


FISIK
DENGAN KEJADIAN OSTEOPOROSIS PADA LANSIA DI PANTI
WERDHA BOGOR
A. Karakteristik Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah 37 orang wanita lanjut usia
yang berusia di atas 55 tahun. Rentang usia subjek berkisar antara 5788
tahun. Sebesar 75.7% subjek berada pada rentang usia lebih atau sama
dengan 65 tahun, dan sebesar 24.3% berada pada rentang usia 5564
tahun.
B. Nilai Densitas Tulang
Menurut Broto (2004), pemeriksaan kepadat-an tulang dengan
bone densitometer merupakan pemeriksaan akurat dan presisi untuk
menilai kepadatan tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai
prediksi fraktur dan diagnosis osteoporosis. Berdasarkan Anlene Bone
Health Check yang sesuai dengan Harvey dan Cooper (2004), diketahui
bahwa bagi individu yang berusia lanjut, nilai normal densitas tulang (t-
score) adalah -1SD<2.5. Subjek dengan nilai densitas tulang -2.5
tergolong dalam kategori osteoporosis atau telah berisiko mengalami
osteoporosis. Berdasarkan kategori nilai t score Anlene Bone Health

17
Check, sebagian besar subjek (78.4%) mengalami osteoporosis dan sebesar
21.6% subjek tidak osteoporosis (t-score>-2.5).
C. Pola Kosumsi Pangan
a. Frekuensi makan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek yang
osteoporosis mengonsumsi nasi sebesar 20.5 kali/minggu, dan
subjek yang tidak osteoporosis rata-rata mengonsumsi nasi sebesar
21 kali/minggu sehingga rata-rata dari keseluruhan subjek
mengonsumsi nasi 23 kali/hari. Frekuensi konsumsi pangan
hewani yang paling se-ring di konsumsi dari seluruh subjek adalah
telur, yaitu 56 kali/minggu. Selain telur, jenis pangan hewani yang
sering dikonsumsi oleh subjek adalah susu yaitu rata-rata 3.1
kali/minggu. Tahu dan tempe adalah pangan sumber protein nabati
yang paling sering dikonsumsi oleh seluruh subjek. Rata-rata
frekuensi konsumsi tahu dan tempe pada subjek yang osteoporosis
dan tidak osteoporosis adalah sebanyak 8.84.1 dan 8.84.1
kali/minggu. Wortel dan jeruk merupakan jenis sayuran dan buah
yang paling sering dikonsumsi subjek. Frekuensi konsumsi wortel
pada subjek yang meng-alami osteoporosis rata-rata 3.8 kali/minggu
dan subjek yang tidak osteoporosis mengonsumsi wortel 2.8
kali/minggu. Frekuensi konsumsi jeruk subjek yang osteoporosis
rata-rata sebanyak 2.3 kali/minggu, sedangkan subjek yang tidak
osteoporosis sebanyak 2.8 kali/minggu. Rata-rata frekuensi kon-
sumsi pangan sumber kalsium yang paling sering dikonsumsi subjek
yaitu kacang-kacangan dan olahannya (5.2 kali/minggu). Hal ini
disebabkan keseluruhan subjek hampir setiap hari mengonsumsi tahu
dan tempe yang merupakan olahan dari kacang-kacangan. Menurut
Setyorini et al. (2009), frekuensi konsumsi pangan sumber kalsium
oleh seseorang akan memengaruhi jumlah kalsium yang masuk ke
dalam tubuh.
b. Kebiasaan makan. Sebagian besar subjek memiliki kebiasaan
makan yang sudah cukup baik dengan persentase sebesar 89.2%

18
subjek selalu sarapan pagi dan hanya sebesar 10.8% subjek yang
tidak sarapan pagi. Hal ini karena ada gangguan kesehat-an pada
subjek sehingga subjek merasakan mual jika sudah makan di pagi
hari. Makanan yang biasa dikonsumsi keseluruhan subjek pada saat
sarapan adalah nasi dan lauk pauk (97.3%) yang menunjukkan
bahwa sarapan pagi subjek terdiri dari makan-an sumber zat tenaga,
sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur. Waktu sarapan
subjek berkisar pada rentang pukul 05.0009.00 WIB, dimana se-
bagian besar subjek (81.1%) sudah sarapan pada pukul 05.00
06.30. Berdasarkan wawancara yang dilakukan juga menunjukkan
bahwa seluruh subjek terbiasa untuk makan siang dan makan malam
secara teratur. Menurut kesukaan terhadap makanan, sebagian besar
subjek yang tidak osteoporosis menyukai lauk hewani (37.5%). Hal
ini menunjukkan bahwa pada subjek yang tidak osteoporosis
kemungkinan besar banyak mendapatkan asupan mineral kalsium
dan fosfor dari lauk hewani yang dikonsumsi. Pada subjek yang
mengalami osteoporosis memiliki persentase kesukaan terbesar pada
makanan dari luar panti (jajanan) yaitu sebesar 34.5%.
c. Kebiasaan minum. Penelitian ini menunjukkan sebagian besar
subjek yang tidak osteoporosis (75.0%) mengonsumsi air putih
sebanyak 68 gelas dalam sehari. Hal ini berbeda dengan subjek
yang mengalami osteoporosis, sebagian besarnya (75.9%)
mengonsumsi air putih <6 gelas sehari.
Hasil wawancara yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dari
seluruh subjek sebesar 27.0% se-ring mengonsumsi susu. Sebesar
75.0% subjek yang tidak osteoporosis sudah terbiasa minum susu
sejak balita hingga sekarang. Hal ini merupakan salah satu faktor
yang mengakibatkan kepadatan tulang subjek lansia masih baik
(normal) dan tidak mengalami osteoporosis hingga saat ini. Subjek
yang mengalami osteoporosis rata-rata memiliki kebiasaan minum
susu dalam waktu baru-baru ini (34.9%) sehingga berdampak pada

19
risiko kejadian osteoporosis. Individu yang memiliki kebiasaan
minum susu sejak kecil memiliki kesehatan tulang yang lebih baik di
masa lanjut usia (McCabe et al. 2004).
D. Status Gizi
Status gizi didefinisikan sebagai keadaan ke-sehatan tubuh
seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan (absorpsi), dan penggunaan (utilisasi) zat-zat gizi makanan
(Hsu et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
subjek (40.5%) memiliki status gizi lebih (IMT>22.9). Sebagian besar
subjek yang tidak mengalami osteoporosis memiliki status gizi lebih
sebesar 50.0%, sedangkan yang berstatus gizi normal dan kurus masing-
masing sebesar 25%. Subjek yang osteoporosis sebagian besar memiliki
status gizi normal (41.4%), sebesar 37.9% memiliki status gizi lebih dan
20.7% memiliki status gizi kurang. Subjek yang berada pada kategori gizi
lebih cenderung disebabkan karena mengonsumsi pangan dalam jumlah
ba-nyak dan tidak melakukan aktivitas fisik. Sebaliknya, subjek yang
berada pada kategori gizi kurang cen-derung mengonsumsi pangan dalam
jumlah sedikit dan juga karena terdapat gangguan kesehatan yang
menyebabkan penurunan nafsu makan. Menurut Hsu et al. (2006), untuk
mencapai status gizi yang baik diperlukan pangan yang mengandung
cukup zat gizi dan aman.
E. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik pada subjek dalam penelitian ini dikelompokkan
menjadi 18 jenis aktivitas de-ngan rata-rata alokasi waktu yang dilakukan
pada 3 hari yaitu pada hari dengan kegiatan senam rutin, hari dengan
kegiatan keterampilan dan hari libur. Kegiatan yang paling lama dilakukan
subjek adalah tidur yang terbagi atas tidur siang dan tidur malam. Rata-
rata kegiatan tidur malam paling besar pada hari libur yaitu 6.60.9 jam,
sedangkan tidur siang memiliki rata-rata yang hampir sama setiap hari.
Selain tidur, kegiatan harian yang paling se-ring dilakukan subjek adalah
duduk-duduk dengan alokasi waktu paling besar pada hari mengerjakan

20
keterampilan, yaitu 3.31.4 jam. Kegiatan olahraga adalah kegiatan yang
paling jarang dilakukan subjek pada hari-hari libur maupun pada hari
mengerjakan keterampilan yaitu dengan alokasi waktu masing-masing
sebesar 0.020.1 jam dan 0.030.1 jam.
Secara keseluruhan tingkat aktivitas fisik subjek termasuk dalam
kategori aktivitas ringan (81.1%), namun terdapat perbedaan sebaran
antara subjek yang tidak osteoporosis dengan yang osteoporosis, dimana
sebesar 89.7% yang osteoporosis memiliki tingkat aktivitas ringan,
sedangkan pada subjek yang tidak osteoporosis hanya sebesar 50.0% yang
memiliki tingkat aktivitas ringan.
F. Hubungan Karakteristik Subjek dengan Kejadian Osteoporosis
Berdasarkan analisis antara subjek yang ber-usia 5564 tahun
dengan subjek yang berusia 65 tahun diketahui bahwa pada selang CI:
0.082.35 terdapat angka 1, maka usia 5564 tahun belum merupakan
faktor penghambat terjadinya osteoporosis pada subjek penelitian ini. Hal
ini menjelaskan bahwa meningkatnya usia bukanlah satu-satunya faktor
yang berpengaruh terhadap kejadian osteoporosis.
Berdasarkan analisis antara tingkat pendidik-an rendah dengan
tingkat pendidikan tinggi pada subjek diketahui bahwa pada selang CI:
0.283.84 terdapat angka 1, maka tingkat pendidikan rendah belum
merupakan faktor risiko terjadinya osteoporosis pada subjek penelitian ini.
Meskipun tingkat pendidikan subjek masih rendah, namun beberapa subjek
dalam penelitian ini sudah mencukupi kebutuhan gizinya dan terbiasa
melakukan aktivitas fisik atau olahraga sejak muda yang menurut Sizer dan
Whitney (2006) merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kepadatan
tulang di masa lanjut usia.
Penelitian yang dilakukan oleh Gur et al. (2003) menyatakan bahwa
wanita yang memiliki anak 3 orang berisiko untuk mengalami osteoporosis
dan fraktur lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah
punya anak. Berdasarkan analisis antara subjek yang tidak menikah dengan
subjek yang menikah diketahui pada selang nilai CI: 0.2321.7 terdapat

21
angka 1, maka status pernikah-an belum merupakan faktor risiko terjadinya
osteoporosis pada subjek penelitian ini.
Berdasarkan analisis besar keluarga pada subjek penelitian ini
diketahui bahwa pada selang CI: 0.213.93 terdapat angka 1, maka besar
keluarga belum merupakan faktor penghambat terjadinya osteoporosis pada
subjek penelitian ini. Hal ini memperkuat pernyataan Lane (2003), dimana
status pernikahan dan besar keluarga bukan merupakan salah satu faktor
risiko penyebab osteoporosis.

C. HASIL PENELITIAN 3

(Relationship between Food Consumption and Physical Activity with Risk of


Osteoporosis
in Elderly at Nursing Home in Yogyakarta)
The objective of this study was to analyze relationship between food
consumption and physical activity with incidence of osteoporosis in elderly
at nursing home in Bogor. The design of this study was cross sectional.
Subjects were taken purposively with certain criteria and the number of
subjects obtained were 37 elderly. Results showed that the adequacy level of
energy and protein were normal, phosphor was in adequate category and
calcium was in deficient category. There was no significant relationship
between nutritional status, the adequacy level of energy, protein and
phosphor with risk of osteoporosis (p>0.05). However, there was a
significant relationship between the adequacy level of calcium and physical
activity level with risk of osteoporosis (p<0.05). The deficit adequacy level
of calcium and physical activity was a risk factor for the risk of
osteoporosis.

22
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan massa
tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostatis normal,
kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang,
menyebabkan penurunan massa tulang total. Tulang secara progresif
mengalami porus, rapuh dan mudah fraktur. (brunner and suddarth, 2002)

B. Saran
Diharapkan makalah ini bisa memberikan masukan bagi rekan-
rekan mahasiswa calon perawat, sebagai bekal untuk dapat memahami
mengenai osteoporosis menjadi bekal dalam pengaplikasian dan praktik
bila menghadapi kasus yang kami bahas ini.

23

Anda mungkin juga menyukai