Anda di halaman 1dari 13

1.

Pedoman Diagnostik Gangguan Somatoform1


Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang
disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti
hasilnya negative dan kelainan yang menjadi dasar keluhan.
Penderita juga menyangakal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan antara
keluhan fisiknya dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya, bahkan
meskipun didapatkan gejala-gejala anxietas dan depresi.
Tidak adanya saling pengertian antara dokter dan pasien mengenai kemungkinan
penyebab keluhan-keluhannya menimbulkan frustrasi dan kekecewaan pada kedua belah
pihak.

Klasifikasi dan Diagnosis Menurut PPDGJ-III


F45 Gangguan Somatoform

a. Gangguan somatisasi (F.45.0)

b. Gangguan somatoform tidak terinci (F.45.1)

c. Gangguan hipokondrik (F 45.2)

d. Disfungsi otonomik somatoform (F 45.3)

e. Gangguan nyeri somatoform menetap (F 45.4)

f. Gangguan somatoform lainnya (F. 45.8)

g. Gangguan somatoform YTT (F.45.9)

Pedoman Diagnostik

a. Gangguan somatisasi (F.45.0)

Menurut PPDGJ-III, gangguan somatisasi memiliki kriteria diagnosis pasti


memerlukan semua hal berikut:
a) Ada banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2
tahun.
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari bebarapa dokter bahwa tidak
ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhannya.
c) Terdapat disabilitas dalam fungsinya dimasyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluha-keluhannya dan dampak dari prilakunya

Menurut DSM-IV-TR, gangguan somatisasi memiliki kriteria diagnosis sebagai


berikut7

Untuk diagnosis gangguan somatisasi, DSM-IV-TR mengharuskan permulaan gejala


terjadi sebelum usia pasien 30 tahun, dan berlangsung selama beberapa tahun. Selama
perjalanan gangguan, pasien harus memiliki keluhan sedikitnya empat gejala nyeri,
dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurologis,
yang seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik atau laboratorium.

Kriteria Diagnostik DSM IV-TR : GANGGUAN SOMATISASI

A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama suatu periode beberapa tahun dan
menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lain yang signifikan.
B. Masing-masing criteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap gejala terjadi pada waktu kapanpun selama
perjalanan gangguan :
(1) empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya empat tempat atau fungsi yag berbeda (cnt
: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rectum, selama menstruasi, selama hubungan sekdual,
atau selama berkemih)
(2) dua gejala gastrointestinal : riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri (cnt: mual, kembung,
muntah selain selama hamil, diare, atau intoleransi terhadap beberapa makanan yang berbeda)
(3) satu gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau reproduksi selain nyeri(cnt: ketidakpedulian
terhadap seks, disfungsiereksi atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan,
muntah sepanjang hamil)
(4) satu gejala pseudoneurologis : riwayat sedikitnya satu gejala atau deficit yang mengesankan keadaan
neurologis tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis,
atau kelemahan lokal, kesulitan menela, atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya
sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilang
kesadaran selain pingsan)
C. Baik (1) atau (2) :
(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala Kriteria B tidak dapat dijelaskan secara utuh dengan keadaan
medis umum yang diketahui atau efek langsung suatu zat (cnt : penyalahgunaan obat, pengobatan)
(2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkan jauh
melebihi yang diperkirakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat seperti pada gangguan buatan atau malingering
b. Gangguan somatoform tidak terinci (F.45.1)

Pedoman Diagnostik Menurut PPDGJ-III berikut:


a) Ada banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2
tahun.
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari bebarapa dokter bahwa tidak
ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhannya.
c) Terdapat disabilitas dalam fungsinya dimasyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluha-keluhannya dan dampak dari prilakunya

c. Gangguan hipokondrik (F 45.2)

Pedoman Diagnostik Menurut PPDGJ-III untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus
ada5:
a) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yg
serius yg melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemerikasaan yg berulang-
ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yg memadai, ataupun adanya
peokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk
penampakan fisiknya ( tidak sampai waham);
b) Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari bebearap dokter
bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yg melandasi keluhan.

Kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sebagai berikut7:

A. Preokupasi pikiran ketakutan akan memiliki, atau munculnya ide bahwa dirinya
memiliki penyakit yang serius akibat dari kesalahan interpretasi gejala tubuhnya.
B. Keluhan tidak kunjung membaik meskipun sudah mendapatkan pertolongan
medis.
C. Keyakinan pada kriteria A adalah bukan merupakan suatu waham seperti yang
ditemukan pada gangguan waham, atau masalah dengan penampilan seperti yang
ditemukan pada BDD/ Body Dysmorphic Disorder.
D. Preokupasi pikiran akan penyakitnya membuat pasien mengalami gangguan
dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan perilaku bermasyarakat.
E. Gangguan berdurasi sekurang-kurangnya selama 6 bulan.
F. Preokupasi pikiran ini tidak ditemukan pada gangguan kecemasan, kelainan
obsesif-kompulsif, gangguan panic, episode depresif mayor, kecemasan akibat
perpisahan, atau kelainan somatoform yang lain.
Spesifik bila:

Dengan daya tilik buruk: apabila dalam tiap episodenya, pasien tidak menyadari
bahwa penyakit serius yang diyakini dia miliki adalah suatu ketakutan yang tidak
beralasan.

d. Disfungsi otonomik somatoform (F 45.3)

Pedoman diagnostik
Diagnosis pasti, memerlukan semua hal berikut:
a) Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat, tremor,
muka panas/flushing, yang menetap dan mengganggu;
b) Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (gejala tidak
khas);
c) Preokupasi dengan dan penderitaan (disterss) mengenai kemungkinan adanya
gangguan yang serius (sering tidak begitu khas) dari sistem atau organ tertentu,
yg tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan berulang, maupun penjelasan dari
para dokter;
d) Tidak terbukti adanya gangguan yg cukup berarti para struktur/fungsi dari sistem
atau organ yg dimaksud.

e. Gangguan nyeri somatoform menetap (F 45.4)

Pedoman diagnostik Menurut PPDGJ-III:


a) Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan
fisik.
b) Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau problem
psikososial yg cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi
terjadinya gangguan tersebut.
c) Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal maupun
medis, untuk yang bersangkutan.

f. Gangguan somatoform lainnya (F. 45.8)

Pedoman diagnostik5 :
Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom, dan
terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. Ini sangat berbeda
dengan gangguan Somatisasi (F45.0) dan Gangguan Somatoform Tak Terinci
(F45.1) yg menunjukkan keluhan yg banyak dan berganti-ganti
Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.
Gangguan berikut juga dimasukkan dalam kelompok ini:
a) globus hystericus (perasaan ada benjolan di kerongkongan yg menyebabkan
disfagia) dan bentuk disfagia lainnya.
b) Tortikolis psikogenik, dan gangguan gerakan spasmodik lainnya (kecuali
sindrom Tourette);
c) Pruritus psikogenik;
d) Dismenore psikogenik;
e) teet grinding

g. Gangguan somatoform YTT (F.45.9)

Kriteria Diagnosis kategori Gangguan somatoform tidak tergolongkan


(somatoform disorders not otherwise specified) berdasarkan DSM-IV TR antara
lain7 :

a. Pseudocyesis. Suatu kepercayaan yang salah bahwa diri sedang hamil


diikuti tanda obyektif kehamilian seperti pembesaran abdomen,
berkurangnya aliran mens, amenorea, sensasi subjektif gerakan fetal,
mual, perbesaran dan sekresi payudara, nyeri seperti mau melahirkan pada
hari perkiraan kelahiran. Dapat terjadi perubahan endokrin tetapi tidak
dapat dijelaskan melalui penjelasan medis umum seperti adanya tumor
pensekresi hormon

b. Gangguan melibatkan gejala hipokondriasis non-psikotik dengan durasi


kurang dari 6 bulan

c. Gangguan melibatkan gejala fisik yang tak dapat dijelaskan dalam durasi
kurang dari 6 bulan dan bukan disebabkan gangguan mental lain.

2. Pedoman Diagnostik Gangguan Anxietas1


Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform, Dan Gangguan Terkait Stres
Gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait stress,
dikelompokkan menjadi satu dengan alas an bahwa dalam sejarahnya aa hubungan
dengan perkembangan konsep neurosis dan berbagai kemungkinan penyebab
psikologis (psychological causation).
Konsep mengenai neurosis secara prinsip tidak lagi digunakan sebagai patokan dalam
pengaturan penggolongan, meskipun dalam beberapa hal masih diperhitungkan untuk
memudahkan bagi mereka yang terbiasa menggunakan istilah neurotik dalam
mengidentifikasi berbagai gangguan tersebut.

F40 Gangguan Anxietas Fobik


Anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari luar indifidu itu
sendiri), yang sebenarnya pada saat kejadian itu tidak membahayakan. Kondisi lain
(dari diri individu itu sendiri) seperti perasaan takut akan adanya penyakit (nosofobia)
dan ketakutan akan perubahan bentuk badan (dismorfobia) yang tak realistic
dimasukkan dalam klasifikasi F45.2 (gangguan hipokondrik)
Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi rasa terancam.
Secara subjektif, fisiologik dan tampilan perilaku, anxietas fobik tidak berbeda dari
anxietas yang lain dan dapat dalam bentuk yang ringan sampai yang berat (serangan
panik).
Anxietas fobik seringkali berbarengan (coexist) dengan depresi. Suatu episode
depresif seringkali memperburuk keadaan anxietas fobik yang sudah ada sebelumnya.
Beberapa episode depresif dapat disertai anxietas fobik yang temporer, sebaliknya
afek depresif seringkali menyertai berbagai fobia., khususnya agarofobia. Pembuatan
diagnosis tergantung dari mana yang jelas-jelas timbullebih dahulu dan mana yang
lebih dominan pada saat pemeriksaan.

40.0 Agarofobia.
Pedoman Diagnostik
Semua Kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
a) gejala psikosis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi
primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya
waham atu pikiran obsesif.
b) anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutamaterjadi dalam hubungan dengan
(setidaknya dua dari situasi berikut: banyak orang / keramaian, tempat umum,
bepergian keluar rumah, dan bepergian sendiri dan
c) menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol
(penderita menjadi house bound)
Karakter kelima: F40.00= tanpa gangguan panik
F40.01= Dengan gangguan panik
F40.1 Fobia Sosial
Pedoman Diagnostik
Semua Kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnostik pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi
primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya
waham atu pikiran obsesif.
b) Anxietasnya harus mendominasi atau terbatas pada situasi social tertentu (outside the
family circle); dan
c) Menghindari situasi fobik harus atau merupakan gejala yang menonjol. Bila terlalu
sulit membedakan antara fobia social dengan agarofobia, hendaknya diutamakan
diagnosis agarofobia (F40.0)
F40.2 Fobia Khas (Terisolasi)
Pedoman Diagnostik
Semua Kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnostik pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi
primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya
waham atu pikiran obsesif.
b) Anxietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik tertentu (highly specific
situation)
c) Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.
Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak seperti agarofobia dan
fobia sosial.

F40.8 Gangguan anxietas Fobik lainnya


F40.9 Gangguan Anxietas Fobik YTT

F41 Gangguan Anxietas Lainnya


Manifestasi anxietas merupakan gejala utama dan tidak terbatas (not restricted) pada
situasi lingkungan tertentu saja.
Dapat disertai gejala-gejala depresif dan obsesif, bahkan beberapa unsure dari
anxietas fobik, asal saja jelas bersifat sekunder atau ringan.

F41.0 Gangguan Panik (anxietas paroksismal episodik)


Gangguan panic baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan
adanya gangguan ansietas fobik (F40.-)
Untuk diagnostik pasti, harus ditemukan adanya bebrapa kali serangan anxietas berat
(severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa kira-kira satu bulan:
a) Pada keadaan-keadaan diman sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya;
b) Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau dapat diduga sebelumnya
(unpredictable situation)
c) Dengan keadaan yang relative bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode di
antara serangan-serangan panic (meskipun demikian, umumnya dapat terjadi
anxietas antisipatorik, yaitu anxietas yang terjadi setelah membayangkan
sesuatu yamng mengkhawatirkan akan terjadi).

F41.1 Gangguan cemas menyeluruh.


Pedoman Diagnostik
Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung
hamper setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak
terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya free
floating atau mengambang)
Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
a) Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit
konsentrasi dsb.);
b) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai);
dan
c) Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-
debar, sesak nafas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb)
Pada anak-anak sering terliahat adanya kebutuhan berlebihan, untuk ditenangkan
(reassurance) serta keluhan-keluhan somatic yang menonjol.
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya
depresi, tidak membatalkan diagnostikutama yakni gangguan anxietas menyeluru,
selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F32.-),
gangguan anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0) atau gangguan obsesif-
komfulsif (F42.-)

F41. 2 Gangguan campuran anxietas dan depresi


Pedoman diagnostik
Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana masing-masing tidak
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan
diagnostiktersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan
walaupun tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
Bila ditemukan anietas berat disertai depresi yang lebih ringan, maka harus
dipertimbangkan kategori gangguaqn anxietas lainnya atau gangguan anxietas fobik.
Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup berat untuk menegakkan
diagnostiktersebut harus dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak
fdapat digunakan. Jika karena suatu hal hanya dapat dikemukakan datu
diagnostikmaka gangguan depresif harus diutamakan.
Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stress kehidupan yang jelas, maka
harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian.

F41.3 Gangguan Anxietas Campuran lainnya


Pedoman Diagnostik
Memenuhi criteria gangguan anxietas menyeluruh dan juga menunjukkan (meskipun
hanya dalam jangka waktu pendek) cirri-ciri yang menonjol dari kategori gangguan
F40-F49, akan tetapi tidak memenuhi kriterianya secara lengkap.
Bila gejala-gejala yang memenuhi criteria dari kelompok gangguan ini terjadi dalam
kaitan dengan perubahan atau stress kehidupan yang bermakna, maka dimasukkan
dalam kategori F43.2, gangguan penyesuaian.

F41.8 Gangguan Anxietas lainnya YTD


F41.9 Gangguan anxietas YTT

3. OBAT ANTI ANXIETAS2


1. Golongan Benzodiazepin
Diazepam (Lovium, Mentalium, Valium dll.)
Chlordiazepoxide ( Cetabrium, Tensinyl, dll.)
Bromazepam (Lexotan)
Lorazepam (Ativan, Renaquil, Merlopan)
Alprazolam (Xanax, Alganax, Calmlet, dll.)
Clobazam (Frisium)
Golongan Benzodiazepin
a. Indikasi
1) Gangguan ansietas
2) Ansietas yang berhubungan dengan stress, penyakit medis
3) Gangguan tidur
4) Putus obat dan alkohol
5) Relaksasi skeletomuskular
6) Gangguan kejang
7) Ansietas preoperatif
b. Cara kerja obat golongan Benzodiazepine
Farmakokinetik :
1) Absorpsi : kecepatan berbeda-beda tergantung pada sejumlah factor , termasuk
lipofilisitas. Absorpsi oral dari trizolam sangat cepat dan juga diazepam metabolit
aktif clorazepate lebih cepat dibandingkan benzodiazepine umumnya.
2) Distribusi : transport sedative hinotika didalam darah merupakan proses dinamis
dimana molekul-molekul obat masuk dan keluar jaringan pada kecepatan yang
bergantung pada aliran darah perbedaan konsentrasi dan permeabilitas. Kelarutan
dalam lipid memegang peran penting dalam menentukan ketepatan dimana
sedative-hipnotika tertentu memasuki system saraf pusat. Misalnya, diazepam dan
triazolam lebih mudah larut di dalam lipid daripada Chlordiazepoxide dan
lorazepam sehingga dengan demikian, mula kerja pada system saraf pusat dari dua
obat tersebut lambat.
3) Biotransformasi : transformasi metabolis menjadi metabolit yang lebih mudah larut
dalam air sangat diperlukan bagi klirens seluruh obat di dalam kelas ini dari
seluruh tubuh. system enzim pemetabolis obat mikrosomal dari hati adalah sangat
penting dalam hal ini. Karena beberapa sedative-hipnotika di eksresikan dalam
tubuh dalam bentuk tidak berubah, waktu paruh eliminasi nya terutama bergantung
pada transformasi metabolisme.
4) Ekskresi : metabolit-metabolit larut air dari benzodiazepine dan sedative hipnotika
lain dieksresi terutama lewat ginjal.
Farmakodinamika :
Benzodiazepine barbiturate dan imidazopiridine berikatan dengan komponen-komponen
molekuler reseptor GABA yang terdapat didalam membrane neuron pada sisitem saraf
pusat. Reseptor ionotropik ini suatu protein heterolibomerik transmembran yang berfungsi
sebagai kanal ion klorida yang diaktivasi oleh neurotransmitter GABA inhibitor.
c. Efek samping
Efek sedative umum misalnya mengantuk, fatique, pusing, kerusakan psikomotor, CNS
efek (mengantuk, fatique, pusing, sakit kepala, paradoxical excitement, kerusakan
psikomotor, depresi SSP). Sedasi biasanya hilang 1-2 minggu pemberian. Benzodiazepine
dapat meningkatkan ketidaksukaan pada seksual, vaginismus, dan ejakulasi cepat.
Mungkin juga dapat menyebabkan masalah ereks. Efek kardiovaskuler terjadi dengan
pemberian intravena (hipotensi, kardiovaskuler kolaps) dan depresi pernafasan. Efek lain
adalah ketergantungan benzodiazepine menyebabkan gejala putus obat yang significant.
Efek psikologis pada klien adalah klien menjadi takut gejala ansietasnya muncul kembali
atau mereka tidak mampu mengatasi ansietas tanpa obat. Benzodiazepine yang digunakan
dalam waktu lama dapat beresiko terjadi syndrome withdrawal termasuk kejang, kram
abdomen dan otot lain, muntah dan insomnia. Obat ini harus diturunkan dosisnya secara
perlahan dan bertahap.
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas benzodiazepine, myasthenia gravis, infant, orang tua.
f. Mekanisme kerja
Mekanisme berkaitan dengan reseptor stereospesifik benzodiazeoine pada saraf GABA
postsinaptik di beberapa tempat CNS, termasuk sistem limbik, bentuk retikular.
Peningkatan efek penghambatan GABA pada saraf yang dapat dirangsang oleh
peningkatan permeabilitas membran saraf terhadap ion klorida sehingga terjadi
hiperpolarisasi dan stabil.
g. Yang perlu diperhatikan.
Benzodiazepine pada umumnya tidak menjadi adiktif kuat jika penghentian pemberiannya
dilakukan secara bertahap, jika obat ini digunakan untuk tujuan yang tepat, dan jika
penggunaannya disertai dengan penggunaan zat lain, seperti penggunaan kronis
barbiturate atau alkohol Benzodiazepine mempunyai indeks terapeutik yang sanat tinggi,
sehingga overdosis obat ini sendiri hampir tidak pernah menyebabkan fatal. Pada pasien
orangtua lebih rentan terkena efek samping karena penuaan otak menjadi lebih sensitive
pada sedative. Benzodiazepine lebih cocok digunakan pada anak-anak untuk pengobatan
tidur sambil berjalan, pada single dosis untuk mencegah ansietas dan mengobati panik.
Hindari penggunaan pada gangguan kepribadian karena dapat meningkatkan ansietas.
Selama kehamilan benzodiazepine dikaitkan dengan malformasi palatum dan intrauterine
growth retardatio, terutama pada trimester pertama. Pada menyusui dikaitkan dengan
floppy infant syndrome, neonatal withdrawal symptom, dan lemahnya reflex sucking.

Anda mungkin juga menyukai